Anda di halaman 1dari 5

Sejarah perladangan

Carak produksi pertanian yang umum bagi warga das kahayan adalah perladangan berpindah. Lading
berpindah ini dilakukan diatas kawasan hutan.
Istilah perladangan berpindah-pindah dalam bahasa Inggris adalah ShiftingCultivation, Slash and Burn
Agriculture, Swidden agriculture.
Definisi dan Pengertian dari Perladangan Berpindah adalah suatu sistem usaha tani yang dimulai dengan
penebangan pohon-pohonan (terutama pohon-pohon kecil).Pohon-pohonan yang ditebas dikeringkan,
kemudian dibakar. Sesudah dibersihkan,ladang ditanami tanaman pangan, antara lain padi gogo, jagung,
terong, cabe dansebagainya. Biasanya lahan digunakan 2 - 3 tahun untuk tanaman pangan. Padawaktu
akan ditinggalkan atau bersamaan dengan tanaman semusim, petani peladang menanam tanaman
keras, umumnya buah-buahan (durian, rambutan,duku, kelapa, dll.) tetapi juga tanaman perdagangan
(damar mata kucing, karet,dsb.). Tanaman keras ini tumbuh bersama belukar, yaitu pohon-pohonan
yang tumbuh secara alami di lahan bekas berladang.
Sesudah beberapa tahun, hutan belukar ditebang lagi, disusul dengan penanaman kembali dengan
tanaman pangan. Masa pertumbuhan belukar dari mulai lahan ditinggalkan, sampai penanaman kembali
disebut "masa bera" atau juga masa rotasi.
Perladangan berpindah merupakan cara-cara bercocok tanam secara tradisonal yang telah lama
dilakukan. Mereka membuka lahan baru lagi ketika lahan tempat bercocok tanam dirasakan produksinya
sudah mulai menurun. Lahan dibiarkan dalam masa bera, agar secara alami lahan tersebut dapat
memulihkan dirinya sendiri. Beberapa tahun kemudian mereka akan kembali bercocok tanam lagi pada
lahan semula
1
.
Oleh: HE. Benyamine
Pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) dibutuhkan suatu kearifan dan menjaga keseimbangan; pilihan yang lestari,
untuk memenuhi kebutuhan sekarang maupun generasi mendatang. Dalam pemanfaatan sumberdaya alam,
misalnya lahan pertanian diperlukan perencanaan dan penanganan yang tepat dan bertanggung jawab, agar lahan
tersebut tidak terdegradasi dan tetap memberikan keuntungan. Degradasi lahan untuk tanah-tanah tropis umumnya
disebabkan oleh erosi. Penanggulangan erosi telah banyak dilakukan dan dikembangkan melalui tekonologi-
teknologi konservasi tanah dan air.
Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan satu diantara yang menerapkan teknologi konservasi dalam
pertanian yang lebih berintegrasi dengan sistem alami. Menurut Lahajir (2001), bahwa dari perspektif sosial budaya,
sistem perladangan berpindah secara umum dianggap sebagai satu-satunya sistem pertanian yang sesuai dengan
ekosistem hutan tropis. Disamping itu, sistem perladangan dari segi ekologi, lebih berintegrasi ke dalam struktur
ekosistem alami (Geertz, 1976). Sedangkan dalam hal biodeversiti di dalam sistem perladangan berpindah lebih
tinggi dari sistem pertanian permanen seperti sawah. Tingginya biodeversiti/keanekaragaman hayati adalah berasal
dari pemberaan dan tanaman beraneka (mixed cropping).

1
http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/10/definisi-dan-pengertian-perladangan.html
Dalam perladangan berpindah, tahapan pemberaan (fallow) merupakan persentasi tertinggi dalam proses
penggunaan lahan, di mana tanah digunakan dalam waktu periode yang pendek, sehingga erosi dan sedimentasi di
sungai rendah. Memang, praktek pembakaran bisa menyebabkan kehilangan nutrient, tetapi dapat meningkatkan pH
yang baik untuk pertumbuhan tanaman, sedangkan kandungan bahan organik disimpan selama pemberaan. Dalam
sistem dengan periode pemberaan stabil tidak menyebabkan peningkatan CO2 pada atmosfir karena penghutanan
kembali. Rendahnya produktivitas dapat dipecahkan jika institusi penelitian agrikultural mengambil peranan yang
lebih baik dalam mengalokasikan sumberdaya dalam peningkatan agronomik pada sistem perladangan berpindah.
Oleh sebab itu, sistem perladangan berpindah dapat dijadikan alternatif sistem agrikulture yang permanen di wilayah
tropis basah.
Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan suatu sistem yang dibangun berdasarkan pengalaman
masyarakat dalam mengolah lahan dan tanah yang dipraktekan secara turun menurun. Berbagai hasil penelitian,
dengan dasar yang berbeda, akan menghasilkan suatu yang positif dan negatif. Secara negatif, perladangan
berpindah dianggap menyebabkan penggundulan hutan dan erosi tanah yang sangat kritis. Tuduhan yang paling
sering, saat kebakaran hutan di Kalimantan, salah satu yang dianggap menjadi sebab adalah sistem perladangan
berpindah. Kemudian, dari segi produktivitas dianggap sangat rendah, apalagi bila dibandingkan dengan resiko
lingkungan yang akan terjadi.
Namun demikian, sisi positifnya, bahwa sistem perladangan berpindah ini lebih akrab dengan sistem alami yang
tentunya lebih adaptif, karena mempertahankan struktur alami dari pada melakukan perubahan ekosistem yang
sangat baru. Pada kesempatan ini, sisi positif perlu mendapat perhatian yang lebih mendalam, terutam bila
dihubungkan dengan konservasi, yaitu (i) pemberaan (fallow) dalam konservasi tanah dan (ii) sistem perladangan
berpindah sebagai suatu bentuk pertanian konservasi.
Konservasi Tanah dan Air
Konservasi tanah merupakan cara penggunaan yang disesuaikan dengan kemampuan dan berupaya menghindari
terjadi kerusakan tanah, agar tanah dapat berfungsi secara lestari (Arsjad, 2000). Konservasi tanah berhubungan
erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, dan usaha untuk
mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air. Salah satu tujuan konservasi tanah adalah meminimumkan
erosi pada suatu lahan. Laju erosi yang masih lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan bisa menjadi masalah
yang bila tidak ditanggulangi akan menjebak petani kembali ke dalam siklus yang saling memiskinkan. Tindakan
konservasi tanah merupakan cara untuk melestarikan sumberdaya alam.
Ciri alam yang penting di daerah tropis seperti Indonesia adalah adanya intensitas penyinaran matahari dan curah
hujan yang tinggi dan hampir merata sepanjang tahun. Faktor geologi dan tanah dibentuk oleh kondisi tersebut dan
menghasilkan suatu proses yang cepat dari pembentukan tanah baik dari pelapukan serasah maupun bahan induk.
Sebagai hasil dari proses tersebut, sebagian besar hara tanah tersimpan dalam biomassa vegetasi, dan hanya
sedikit yang tersimpan dalam lapisan olah tanah. Hal yang berbeda dengan kondisi di daerah iklim sedang dimana
proses pertumbuhan vegetasi lambat dan sebagian besar hara tersimpan dalam lapisan olah tanah. Oleh karena itu
pengangkutan vegetasi ataupun sisa panen tanaman keluar lahan pertanian akan membuat tanah mengalami proses
pemiskinan.
Jadi jelas, tanah di luar Jawa sebagian besar merupakan tanah lanjut yang miskin, dan sumber utama kesuburan
tanah adalah bahan organik yang berasal dari pelapukan sisa-sisa tanaman hutan. Karena keterbatasan
pengetahuan, tuntutan keuntungan bisnis, dan batasan waktu, dalam membuka lahan, biasanya persayaratan yang
tertentu untuk usaha pertanian tidak dipahami. Sehingga untuk mempercepat pekerjaan, digunakanlah mesin-mesin
besar dalam memotong pohon, mengangkutnya dan meratakan tanah. Hasilnya, dalam bentuk permukaan tanah
menjadi rata, tetapi ditinjau dari kualitas tanah telah menjadi rusak, karena bahan organik tanah yang juga
merupakan bahan semen agregat, telah teraduk dan hilang. Jika kemudian turun hujan, maka dengan mudah tanah
dihancurkan untuk kemudian hara terangkut oleh air limpasan permukaan.
Disamping itu, menurut Wani Hadi Utomo (1989) bahwa sampai saat ini tanah masih diperlakukan sebagai objek
saja, yang masih sebatas bagaimana mendapatkan hasil yang setinggi-tingginya dari usaha yang dilakukan, tanpa
memikirkan apa akibat dari tindakan tersebut. Memang akhir-akhir ini telah tercetus pertanian konservasi atau
pertanian yang berkelanjutan, tetapi masih jauh dari pelaksanaannya. Karena, prioritas jangka pendek lebih
diutamakan untuk bagaimana caranya mendapatkan produksi maksimum, sedangkan usaha konservasinya pada
urutan terakhir.
Padahal, seperti yang dikemukakan G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, Mul Mulyani Sutedjo (2000), bahwa kunci
penting dari pengelolaan tanah ditempat mana saja adalah bagaimana menjaga atau memelihara sebaik-baiknya
lapisan tanah-atas (top soil layer) yang tebalnya tidak lebih dari satu jengkal (kurang lebih 35 sentimeter) agar tetap
dalam keadaan baik serta tidak terangkut ke lain tempat. Jadi pengertiannya adalah mencakup semua tindakan yang
bertujuan melindungi atau mengawetkan tanah agar kesuburannya bertahan dalam jangka panjang.
Untuk mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan, maka dalam memilih teknologi konservasi tanah dan air
untuk diterapkan oleh petani di lahan pertaniannya, perlu diperhatikan beberapa hal yaitu teknologinya harus sesuai
untuk petani, dapat diterima dan dikembangkan sesuai sumberdaya (pengetahuan) lokal. Kegagalan penerapan
teknologi konservasi tanah selama ini karena pembuat kebijakan bertindak hanya berdasarkan pikiran sendiri tanpa
memahami keinginan ataupun kemampuan petani. Dengan kata lain dalam pembangunan pertanian berkelanjutan
perlu ada bottom up planning. Pemilihan teknologi dengan melibatkan pendapat petani adalah salah satu cara untuk
mencapai pertanian berkelanjutan.
Perladangan Berpindah (shifting cultivatiion)
Pada wilayah tanah hutan, ada suatu area yang dibersihkan dan ditanami setiap tahun untuk pertanian perladangan.
Sistem pertanian ini dapat didefinisikan secara sangat umum sebagai suatu sistem pertanian yang menerapkan
konservasi secara langsung, sehingga dapat dikatakan sebagai sistem pertanian berkelanjutan di mana penebasan
dilakukan secara tidak menetap, atau hanya sementara dan ditanami dengan tanaman untuk beberapa tahun saja,
kemudian tanah hutan itu ditinggalkan untuk pemberaan lahan yang cukup lama.
Namun, menurut Lahajir (2001), sistem perladangan ini masih sangat sulit ditemukan dalam penelitian dalam hal:
soal-soal mengenai tipe penggunaan tanah perladangan, batas-batas kritis tanah yang luar biasa dan relasi-relasi
yang bermakna di antara waktu, tempat, teknik dan ekologi lokal. Metode yang beraneka ragam dan konsekuensi-
konsekuensi perladangan ini bagi manusia, tumbuhan, dan tanah tampaknya baru-baru ini mulai dipahami oleh para
peneliti perladangan di dunia.
Dalam perladangan, secara teknologi dapat dilihat dari cara-cara dalam mana lingkungan secara artifisial
dimodifikasi dan mencakup perawatan tanaman, tanah, hama, dan lain-lain, yang berhubungan sangat kompleks.
Pembedaan yang bersifat sementara menunjuk pada lamanya fase suksesif perladangan, seperti (1) pemilihan
(selecting), (2) penebasan (cutting), (3) pembakaran (burning), (4) penanaman (cropping), dan (5) pemberaan
(fallowing). Fase 1 sampai 2 merupakan pembersihan vegetasi-vegetasi tua yang tidak relevan bagi keperluan
pengolahan ladang, sedangkan dua fase terakhir merupakan kontrol terhadap vegetasi-vegetasi baru (baru ditanam
atau tumbuh/bertunas). Di sini, terlihat fase 4 dan 5 menujukkan bahwa keadaan lingkungan yang telah ada, lamanya
yang relatif tentang periode-periode penanaman bisa berubah-ubah dari pada fase pembersihan sebelumnya (fase 1
sampai 3). Selanjutnya, periode terlama yang proporsional adalah sebagai representasi dari pemberaan.
Perladangan berpindah ini juga merupakan sistem pertanian yang terintegrasi dan berkesinambungan dalam ruang
dan waktu. Sistem perladangan ini dilakukakan secar berpindah-pindah sebagai ciri utama kearifan ekologi, dari
lokasi lahan ladang yang satu ke lokasi lahan ladang berikutnya guna mengistirahatkan (fallow) hutan tanah lahan
perladangan yang telah diolah beberapa kali dalam siklus tahun ladang untuk jangka waktu bera yang ideal, yaitu
sekitar 10 15 tahun sebelum digunakan kembali pada rotasi berikutnya. Di sini jelas terlihat bahwa waktu bera
sangat berpengaruh besar pada kesuburan tanah dan tingkat produksi yang dihasilkan. Lahajir (2001)
mengklasifikasikan hutan sekunder berdasarkan masa bera seperti berikut ini, yakni: (1) hutan sekunder tua dengan
masa bera 10 -15 tahun, (2) hutan sekunder muda dengan masa bera 10 5 tahun, dan (3) hutan sekunder termuda
dengan masa bera kurang dari 5 tahun.
Bentuk Pertanian Konservasi
Sistem perladangan berpindah bagi sebagian ahli dianggap sebagai pemborosan dari sumberdaya alam, atau sangat
primitif (FAO Staff 1957), dan dikenal secara relatif mempunyai ouput yang rendah per unit areanya. Hal ini kalau
ditinjau dari segi ekonomi, tetapi mungkin karena perhatian terhadap sistem inilah yang masih sangat kurang, yang
sebenarnya membutuhkan tindakan yang lebih spesifik untuk menjadi sistem yang dapat diterima, untuk menjadi
alternatif sistem pertanian konservasi.
Perladangan berpindah tidak menyebabkan efek yang berbahaya terhadap lingkungan, bahkan mampu menyediakan
alternatif yang aman dibandingkan dengan sistem pertanian lainnya di hutan tropis basah. Adapun kurangnya
peningkatan produktivitas adalah merupakan konsekuensi dari pengabaian dari sistem ini di dalam kebanyakan
penelitian pertanian. Hal ini bisa dilihat dari hasil penelitian Lahajir, yang menemukan bahwa hasil perladangan
berpindah tidak sanggup lagi mencukupi kebutuhan subsisten mereka.
Dalam konteks pembahasan di sini, perladangan berpindah sebagai sistem pertanian yang menggunakan
pemberaan sebagai hal yang utama dalam menjaga produktivitas. Sistem perladangan dikerjakan hanya 1 2 tahun
dalam penanaman yang kemudian dilanjutkan dengan periode bera yang panjang.
Erosi sudah lama disadari sebagai masalah utama dalam perladangan berpindah, tetapi sangat sedikit studi
kuantitatif yang ada tentang erosi dari perladangan berpindah, sehingga masih begitu terbatas. Dari studi yang
pernah dilakukan menunjukkan pembersihan lahan pada perladangan berpindah secara tradisional lebih rendah
jumlah erosi dan kehilangan sedimin dari sistem dibandingkan pada beberapa bentuk pembersihan lahan (land
clearing) dan sistem pengolahan tanah (tillage). Alasan rendahnya erosi adalah sangat pendiknya periode
terbukanya tanah (setelah pembakaran, sebelum tanaman mantap), tanpa atau sedikit pengolahan tanah (tillage),
dan dengan membentangkan pohon-pohon yang tidak terbakar secara horisontal terhadap kemiringan (slope).
Dengan sedikit sedimin yang hilang dari sistem dan pemakaian bahan kimia yang terbatas sekali, maka sumberdaya
air tidak terpengaruh secara serius.
Selama penanam, nutrient kehilangan utamanya akibat pembakaran dan beberapa dari pencucian (leaching), tetapi
hanya jumlah terbatas yang dipindahkan oleh tanaman sebagai sisa tanaman yang tertinggal di lapangan dan
pertumbuhan kembali pada masa bera dapat menahan kembali nutrient.
Peningkatan penyimpanan karbon dalam jangka panjang, kalau bisa sampai 20 50 tahun di dalam tanah, tanaman
dan produksi tanaman mempunyai efek menguntungkan terhadap lingkungan dan pertanian. Lahan tanaman
budidaya, padang gembalaan dan hutan dapat dikelola baik untuk aspek produksi maupun penyimpanan karbon.
Kedua pendekatan pengelolaan lahan tersebut dapat dicapai dengan penerapan pengelolaan lahan yang sudah
banyak dikenal seperti pengolahan tanah konservasi, pengelolaan unsur hara yang efisien, pengontrolan erosi,
penggunaan tanaman penutup tanah, dan restorasi lahan-lahan terdegradasi.
Konservasi lahan melalui pemberaan (fallow) yang panjang dapat dengan cepat meningkatkan penyimpanan karbon
dalam tanah. Peningkatan bahan organik tanah secara global dalam jangka waktu yang lama akan mampu
memberikan efek yang menguntungkan terhadap penurunan rata-rata peningkatan CO2 atmosfer dan peningkatan
produktivitas tanah, khususnya dalam banyak areal tanah yang telah terdegradasi.
Pengolahan tanah merupakan kebudayaan yang tertua dalam pertanian dan tetap diperlukan dalam pertanian
modern. Menurut Arsjad (1989), yang mendefinisikan pengolahan tanah sebagai setiap manipulasi mekanik
terhadap tanah yang diperlukan untuk menciptakan keadaan tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Tujuan
pengolahan tanah adalah untuk menyiapkan tempat pesemaian, tempat bertanam, menciptakan daerah perakaran
yang baik, membenamkan sisa tanaman, dan memberantas gulma. Cara pengolahan tanah sangat mempengaruhi
struktur tanah alami yang baik yang terbentuk karena penetrasi akar, apabila pengolahan tanah terlalu intensif maka
struktur tanah akan rusak. Kebiasaan petani yang mengolah tanah secara berlebihan dimana tanah diolah sampai
bersih permukaannya merupakan salah satu contoh pengolahan yang keliru karena kondisi seperti ini mengakibatkan
butir tanah terdispersi oleh butir hujan, menyumbat pori-pori tanah. Untuk mengatasi pengaruh buruk pengolahan
tanah, maka dianjurkan beberapa cara pengolahan tanah konservasi yang dapat memperkecil terjadinya erosi. Cara
perladangan berpindah dengan :
1. Tanpa olah tanah (TOT), tanah yang akan ditanami tidak diolah dan sisa-sisa tanaman sebelumnya
dibiarkan tersebar di permukaan, yang akan melindungi tanah dari ancaman erosi selama masa yang
sangat rawan yaitu pada saat pertumbuhan awal tanaman. Penanaman dilakukan dengan tugal
2. Pengolahan tanah minimal, tidak semua permukaan tanah diolah, hanya barisan tanaman saja yang diolah
dan sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah
3. Pengolahan tanah menurut kontur, pengolahan tanah dilakukan memotong lereng sehingga terbentuk jalur-
jalur tumpukan tanah atau dengan melintangkan pohon yang tidak terbakar (logs) dan alur yang menurut
kontur atau melintang lereng. Pengolahan tanah menurut kontur akan lebih efektif jika diikuti dengan
penanaman menurut kontur juga yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan
tanah.
Dari sistem perladangan berpindah, cara pengolahan tanah sudah diterapkan, sehingga dapat menggunakan sesuai
dengan keperluan dan kemampuannya. Penyesuaian dengan ekologi setempat inilah yang menjadikan sistem
perladangan berpindah dapat dikatakan sebagai sistem pertanian konservasi. Sistem ini memang perlu lebih
ditingkatkan, atau diberikan sentuhan ilmu pengetahuan yang juga disesuaikan.
Berdasarkan penggunaan teknik tradisional, perladangan berpindah sangat sesuai dengan lingkungan dan dapat
lebih berkelanjutan dari sistem pertanian permanen dalam kondisi tropis basah. Kebanyakan studi tentang
perladangan berpindah telah memfokuskan pada efek terhadap praktek manajemen dan sangat sedikit penelitian
yang telah dilakukan untuk peningkatan secara agronomi terhadap produksi tanaman di dalam sistem, karena
sistem tersebut sudah melekat sebagai primitif dan anti pembangunan. Masalah lainnya, adalah bahwa perladangan
berpindah lebih sering dibandingkan dengan kegiatan kehutanan (seperti agroforentry yang hampir sama
dengan shifting cultivation) atau bahkan sumberdaya hutan daripada dengan sistem pertanian lainnya. Hal ini sangat
tidak realistis untuk mengharapkan perladangan berpindah menjadi sama tidak berbahaya seperti hutan alami. Ini
adalah sistem pertanian, yang dibuat dengan menggunakan hutan dan harus disadari seperti itu
2
.


2
http://borneojarjua2008.wordpress.com/2009/05/28/perladangan-berpindah-bentuk-pertanian-konservasi-
pada-wilayah-tropis-basah/

Anda mungkin juga menyukai