Anda di halaman 1dari 62

1

BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai
sifat yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang
bersangkutan, tetapi disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri
bukan hanya merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu
pengalaman.Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP),
nyeri didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensorik danemosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya atau potensirusaknya jaringan
atau keadaan yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.Berdasarkan
definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari komponen objektif(aspek
fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek emosional dan
psikologis).
1
Nyeri merupakan salah satu keluhan yang sering dikeluhkan pada seseorang yag
mengidap kanker, selain gejala gangguan fisik yang beranekaragam akibat dari
penyakit kanker itu sendiri. Keluhan nyeri pada kanker sering dianggap yang
paling penting. Nyeri yang tidak teratasi akan mempengaruhi kualitas hidup dan
menurunkan kemampuan dalam menjalani terapi untuk kembali sehat ataupun
untuk mendapat proses kematian yang tenang.
2
Sebanyak kurang lebih 19 juta orang di seluruh dunia mengalami nyeri kanker
setiap tahunnya dimana 40-80% diantaranya mengalami nyeri menengah dan
berat.Prevalensi nyeri pada kanker diperkirakan sebesar 25% pada pasien yang
baru didiagnosis, 33% pada pasien yang sedang menjalani terapi, dan 75% pada
stadium akhir. Nyeri kronik pada pasien kanker yang sudah menjalani terapi
diperkirakan sekitar 33%. Nyeri tersebut dapat diakibatkan oleh lesi kanker itu
sendiri, proses metastase, komplikasi seperti kompresi atau infeksi neural, proses
perawatan, atau faktor yang sama sekali tidak memiliki hubungan sama sekali.
3
Tata laksana nyeri merupakan salah satu bagian dari terapi paliatif. Terapi
paliatif adalah terapi yang bertujuan untuk menghilangkan gejala atau keluhan,
baik yang disebabkan oleh penyakit itu sendiri maupun sebagai komplikasi dari
2

terapi kuratif, agar pasien mendapatkan kualitas hidup yang terbaik menjelang
hari-hari terakhirnya. Terapi paliatif seharusnya mulai dipertimbangkan pada
saat terapi kuratif tidak memberikan perbaikan.
1
WHO dan komunitas nyeri internasional sudah mengidentifikasi nyeri pada
kanker sebagai masalah kesehatan global.Prevalensi nyeri yang tinggi pada negara
berkembang diakibatkan karena keterlambatan diagnosis dan terhalangnya akses
ke penggunaan opioid.Tata laksana nyeri mencakup terapi farmakologis dan non
farmakologis. World Health Organization (WHO) telah memberikan pedoman
terapi farma- kologis untuk nyeri yang digambarkan sebagai stepladder (anak
tangga). Pada nyeri ringan, digunakan obat anti inflamasi non steroid (AINS)
dan parasetamol. Jika nyeri tidak teratasi, maka dapat diberikan opioid lemah,
seperti tramadol dan AINS. Jika nyeri tetap tidak teratasi, maka perlu
dipertimbangkan pemberian opiod seperti morfin.
4















3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Nyeri
5,6
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri
sebagaiberikut nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang
tidakmenyenangkanakibat adanya kerusakan atau ancaman kerusakan
jaringan.Berdasarkan definisi tersebut nyeri merupakan suatu gabungan dari
komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri) dan komponen subjektif (aspek
emosional dan psikologis).
Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai
dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi,
hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah : menyeringai atau
menangis Bentuk nyeri akut dapat berupa:
b. Nyeri kronik
Nyeri kronis pernah didefinisikan sebagai rasa nyeri yang berlangsung 3
sampai 6 bulan di luar onset atau di luar perkiraan masa healing. Namun, saat
ini definisi membedakan nyeri kronis dari akut nyeri lebih dari sekedar batasan
waktu. Nyeri kronis kini diakui sebagai rasa sakit yang melampaui masa
penyembuhan, dengan tingkat patologi teridentifikasi yang relatif rendah dan
tidak cukup untuk menjelaskan keberadaan dan atau tingkat nyeri kronis.
Nyeri kronis juga didefinisikan sebagai rasa sakit terus-menerus yang
mengganggu tidur dan kehidupan sehari-hari pasien , tidak lagi berfungsi
sebagai alat proteksi diri.Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa
tanda-tanda aktivitas otonom kecuali serangan akut.Nyeri tersebut dapat berupa
nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau
awalnya berupa nyeri akut lalu menetapsampai melebihi 3 bulan.
4

Berdasarkan jenis nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Nyeri Nosiseptif
Nyeri yang diakibatkan kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Ada
dua macam nyeri nosisepsi, yaitu:
1. Nyeri somatik, adalah nyeri yang sifatnya terlokalisir, intermiten atau
terus menerus terjadi akibat adanya eksitasi dan sensitisasi nosiseptor di
Nyeri ini terjadi akibat kerusakan jaringan seperti tulang, jaringan lunak
peri-artikuler, sendi dan otot. Nyeri somatik ditandai dengan rasa nyeri
yang tajam, sakit berdenyut atau seperti ditekan.
2. Nyeri viseral, adalah nyeri yang sifatnya tidak terlokalisasi secara
topografik dan difus. Dapat bersifat intermiten atau konstan. Nyeri ini
berawal dari nosiseptor-nosiseptor yang terdapat pada jaringan visceral,
seperti jaringan kardiovaskuler, jaringan respirasi, jaringan
gastrointestinal, dan jaringan genitourinaria. Nyeri viseral ditandai dengan
rasa perih dan kram

b. Nyeri Neuropati
Nyeri ini terjadi akibat kerusakan serabut saraf perifer akibat dari, infiltrasi sel
kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer.Sensasi yang dirasakan
berupa rasa panas dan ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau
adanya rasa tidak mengenakan saat perabaan. Terdapat tiga macam nyeri
neurogenik :
1. Peripherally generated neuropathic pain
Mencakup nyeri yang terjadi akibat lesi saraf tepi (dari radiks spinalis, pleksus
sampai saraf tepi yang lain).
2. Centrally generated pain
Meliputi nyeri yang terjadi akibat trauma pada susunan saraf pusat, baik pada
level spinal maupun level diatasnya.
3. Sympathetically maintained pain
5

Gambarannya, selain nyeri, ada disregulasi otonom yang terlokalisasi di
daerah yang terkena, disertai perubahan vasomotor, sudomotor, udema,
keringat dan ada gangguan pertumbuhan otot (hipotropi atau atropi). Dulu
sering disebut reflex sympathetic dystrophy atau causalgia. Sekarang
gangguan ini disebut Complex Regional Pain Syndrome.

Tabel 1. Perbedaan Nyeri Nociceptif dan Neuropati
13
c. Nyeri Psikogenik
Nyeri psikogenik adalah nyeri yang berkaitan erat dengan kondisi kejiwaan
pasien. Nyeri akan berangsur-angsur hilang seiring perbaikan dari kondisi
kejiwaan yang mengalami gangguan.
Berdasakan derajat nyeri dibagi menjadi sebagai berikut:
a. Nyeri Ringan adalah nyeri yang hilang-timbul, muncul terutama saat
beraktifitas sehari-hari dan menghilang menjelang tidur.
b. Nyeri Sedang merupakan nyeri yang terus-menerus hingga aktifitas terganggu
dan hanya hilang bila penderita tidur.
c. Nyeri Berat adalah nyeri terus-menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat
tidur dan sering terjaga akibat nyeri.
Berdasarkan penyebabnya nyeri dibagi sebagai berikut:
a. Nyeri Onkogenik.
Merupakan kombinasi beberapa komponen nyeri akut, intermitten,
kronis.Nyeri kanker terjadi akibat adanya pendesakkan saraf akibat infiltasi sel-
sel kanker.Nyeri kanker dapat muncul pada tempat primer kanker sebagai
6

akibat ekspansi tumor.nyeri juga dapat terjadi pada tempat metastase dari
kanker.
b. Nyeri Nononkogenik.
Nyeri non-onkogenik adalah nyeri kronis yang disebabkan bukan oleh adanya
proses keganasan, melainkan adanya kerusakan pada susunan saraf maupun
kerusakan organ muskuloskletal yang bersifat kronis.
Berdasarkan manifestasinya, nyeri dapat dibagi sebgai berikut:
a. Nyeri Menusuk (Stabbing), contohnya jarum yang masuk ke kulit atau kulit
yang terpotong pisau.
b. Nyeri Terbakar (Burning) yang terjadi seperti pada kulit yang terekspos
temperatur yang tinggi.
c. Nyeri Tumpul (Aching) adalah nyeri pada tidak pada permukaan tubuh, tetapi
terasa dalam dan sulit dilokalisir.

2.2 Patofisiologi Nyeri
5,7
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahanakan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimiabersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri. akan terjadipelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat
algesik, sitokin serta produk-produkseluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid,
radikal bebas dan lain-lain. Mediatormediatorinidapatmenimbulkan
efekmelaluimekanismespesifik.
Zat Sumber Menimbulkan
nyeri
Efek pada aferen
primer
Kalium
Serotonin
Bradikinin
Histamin
Sel-sel rusak
Trombosis
Kininogen plasma
Sel-sel mast
++
++
+++
+
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
Mengaktifkan
7

Prostaglandin
Lekotrien
Substansi P
Asam arakidonat dan sel
rusak
Asam arakidonat dan
sel rusak



Sensitisasi
Sensitisasi
Sensitisasi
Tabel 2. Mediator yang berperan dalam proses transduksi nyeri
14
Proses saraf dalam mendeteksi nyeri tersebut dinamakan nociception.
Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus pada
jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Neuron aferen primer
terletak pada dorsal root ganglia, yang terdapat pada foramina vertebra di setiap
level spinal cord. Pada dorsal horn, neuron aferen primer bersinaps dengan
neuron ke dua (second-order neuron) dimana aksonnya melintasi garis tengah dan
menuju nukleus thalamikus. Second-order neuron bersinaps didalam nukleus
thalamikus dengan third-order neuron, dimana ini mengirimkan sinyal proyeksi
melalui kapsula interna dan korona radiata ke postsentral gyrus dari korteks
serebri. Disinilah persepsi terhadap nyeri terjadi
3,8

Gambar 1. Anatomi sistem saraf dalam mekanisme hantaran nyeri
13

8

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai
dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang
mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu
5,7
:

1. Transduksi
Adalahperubahanrangsangnyeri(noxiousstimuli)menjadiaktifitaslistrikpad
a ujung- ujungsarafsensoris.Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-
ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C. Reseptor-reseptor ini
banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan
jaringan tubuh yang lain. Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka
terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C peka
terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan
kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai
polymodal nociceptors.Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan
oleh serabut A di presinaps adalah asam glutamat, sedangkan serabut
C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P (neurokinin)
yang merupakan polipeptida.
Rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi depolarisasi membran reseptor
yang kemudian menjadi impuls saraf. Pada reseptor mekanis (mechano-
receptor) peregangan akan membuka saluran ion (ion-channel), demikian
pula temperatur maupun zat-zat kimia. Membukanya saluran ion
memungkinkan influks berbagai macam ion terutama Na+ keruangan
intraselluler sehingga terjadi depolarisasi. Depolarisasi akan membuka
saluran ion lainnya yang dinamakan voltage sensitive ion-channel (VSIC)
yang dalam keadaan istirahat tertutup rapat. VSIC terbuka menyebabkan
membanjirnya influks Na+ ke ruangan intraselluler dan kenaikan kadar
Na+ intraselluler membuka lebih banyak lagi VSIC.
Peristiwa ini dapat terus berlanjut sehingga memungkinkan untuk
bangkitnya potensial aksi yang dijalarkan akson ke kornu dorsalis.Begitu
potensial aksi muncul maka semua saluran ion menutup dan potensial
membran kembali ke keadaan istirahat.Akan tetapi bila stimuli masih ada
seperti misalnya pada jaringan yang mengalami inflamasi dapat
9

menyebabkan timbulnya gelombang potensial aksi yang membanjiri kornu
dorsalis dan nyeri terus berlanjut. Proses transduksi terjadi oleh adanya
stimuli yang menyebabkan membran reseptor mengalami depolarisasi.
2. Transmisi
Setelah terjadi proses tranduksi dilanjutkan dengan proses perambatan
impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang disebut dengan
transmisi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke
sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis. Serat
aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri
mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai
diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Oleh karena perbedaan
ukuran ini Serat A-delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk)
dibandingkan dengan serat C (0.5-5 m/dtk).
3. Modulasi
Modulasi adalah proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan
impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Pada
daerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem
inhibisi, baik sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen.
Sistem inhibisi endogen meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan
noradrenalin yang mempunyai efek menekan impuls nyeri pada kornu
posterior medulla spinalis. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat
A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla
spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus
spinotalamikus. Oleh karena itu kornu posterior diibaratkan sebagai pintu
gerbang nyeri yang bisa tertutup atau terbuka untuk menyalurkan impus
nyeri. Proses tertutupnya atau terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan
oleh sistem inhibisi endogen tersebut diatas.
4. Persepsi
Persepsi adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang
dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri.

10












Gambar2.Proses perjalanan nyeri
15

Sistem Inhibisi Descendens
Tidak semua stimulus noksius akan menghasilkan nyeri. Hal ini dikarenakan
adanya proses modulasi pada neuron-neuron kornu dorsalis medula spinalis.
10
Ini
dimungkinkan karena sistem inhibisi yang terjadi melalui beberapa mekanisme,
seperti:

a. Stimulasi Serat Aferen Diameter Besar
Stimulasi serat aferen dapat menghasilkan efek berupa aktifasi interneuron
inhibisi di kornu dorsalis. Stimulasi halus berulang serat A- atau menggunakan
alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.
b. Serat Inhibisi Desendens
Terdapat tiga lintasan midbrain ke kornu dorsalis medula spinalis, yaitu:

1). Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.
2). Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus.
3). Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger-Westphal.
11

Ketiga lintasan turun (descending pathways) menimbulkan hambatan fungsi
respon nyeri neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis. Bila diaktifkan,
ketiga lintasan ini akan melepaskan serotonin (5HT), norepinefrin (NE) dan
cholecystokinin (CCK).Peri-aquaductal gray (PAG) yang kaya reseptor opioid
mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan. Bila reseptor diaktifkan, PAG akan
mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG diaktifkan oleh endorphin
yang dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen.
Pelepasan endorphin dipicu oleh nyeri dan stres.
c. Beta Endorphin
Beta-endorphin diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke dalam ventrikulus
tertius. Oleh cairan serebrospinal, zat ini dibawa ke medula spinalis menimbulkan
efek depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.
10
Perubahan-perubahan pada sistem saraf yang menyebabkan nyeri kronik
Nyeri neuropatik terjadi akibat lesi neuronal sentral maupun perifer. Seringkali
nyeri ini sangat berat, menyebabkan gangguan fungsi, memiliki onset yang
lambat, dan menimbulkan nyeri dengan kualitas seperti rasa terbakar atau
tersengat listrik. Nyeri juga sering terjadi meskipun lesi awal sudah tidak ada.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya sejumlah perubahan fungsi neuronal
abnormal pada keadaan nyeri kronis:
Ephaptic cross-talk merupakan pembentukan kontak yang abnormal
(ephapsis) antara akson setelah cedera. Aktivasi pada satu saraf akan
menyebabkan aktivasi saraf yang lain.
Perubahan jumlah reseptor adrenergik. Setelah cedera, reseptor nosiseptif
yang mengalami regenerasi menjadi sensitif terhadap norepinefrin dan jumlah
reseptor adrenergik a-1 pada akson bertambah. Mekanisme ini dapat dilihat
pada keadaan nyeri simpatetik.
Perubahan hubungan neuronal. Serabut A-delta dan C secara predominan
berhubungan pada lamina I dan II. Sensasi sentuhan ringan dibawa oleh
12

serabut A-beta yang secara normal bersinaps pada lamina III dan IV. Setelah
cedera, serabut A-beta akan memiliki cabang yang lebih banyak, membuat
hubungan yang baru pada lamina superfisial dan bersinaps dengan neuron
yang menghantarkan rasa nyeri. Sehingga rasa nyeri dapat ditimbulkan
melalui sentuhan ringan pada keadaan neuropatik.
Timbulnya impuls ektopik. Dalam keadaan normal, proses neuromodulator
dapat menginhibisi efek serabut nyeri. Setelah terjadi cedera, terjadi aktivitas
spontan yang abnormal pada serabut saraf ini. Aktivitas spontan ini
kemungkinan terjadi akibat pelepasan neuromodulator eksitasi seperti
glutamat dan substansi-P.
Sympathetic-afferent coupling. Dalam keadaan normal, sistem simpatis tidak
memiliki pengaruh terhadap neuron-neuron aferen primer. Setelah terjadi
cedera pada saraf, akan muncul akson-akson noradrenergik pada kornu
dorsalis dan membentuk struktur yang melingkari neuron yang cedera. Seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, neuron yang cedera akan membentuk
reseptor-reseptor adrenergik, yang menyebabkan terbentuknya suatu sistem
yang baru. Sekarang, melalui aktivasi simpatis proses nyeri dapat terjadi.
Sebaliknya, dengan blokade simpatis, nyeri dapat diinhibisi. Keadaan ini
disebut dengan nyeri yang terjadi akibat aktivitas simpatis.
Sensitisasi Perifer
Kerusakan jaringan akibat suatu pembedahan selain akan menyebabkan
terlepasnya zat-zat dalam sel juga akan menginduksi terlepasnya mediator
inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit. Lebih dari itu terjadi impuls balik
dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang berakibat terjadinya
vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi ekstravasasi
protein plasma.
5

Interaksi ini akan menyebabkan terlepsnya suatu soup yang mengandung mediator
inflamasi seperti ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin
dan produk-produk siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam
13

arakidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator kimia inilah yang
menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas.
Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri
sekarang terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer yang
ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah
jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya
perubahan neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya.
Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya
menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar
penggunaan obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti
enzim siklooksigenase.
5

Sensitisasi Sentral
Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat
pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla
spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya
stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses
transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas
first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan second-
order neuron sebagai neuron penerima dari nuron pertama. Second-order neuron-
lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat
suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri
atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara
eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut A dan serabut C. Neuron kedua
disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik
stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya
respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan
signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.
5,6

Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu
dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut
sebagai sensitisasi sentral atau wind up. Wind-up ini dapat menyebabkan
14

neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi
bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak
bisa diibaratkan sebagai hard wired yang kaku tetapi seperti plastik , artinya
dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini
telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C
dari serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia
pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya
nyeri kronik yang sulit disembuhkan.
5,6

Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan
sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga
neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak
merupakan stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi
respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang. Dan yang terakhir,
terjadi pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal tidak
bersifat nosiseptif akan mentransmisikan informasi nosiseptif. Perubahan-
perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti nyeri pascabedah dan
perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai
hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan.
5,6

Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada
kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada
ujung terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah
sekitar kornu dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak
menghantarkan nyeri ke daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi
sebagai relay pada transmisi nyeri.Jika secara fungsional dilakukan hubungan
antara terminal-terminal yang normalnya menghantarkan informasi non-noxious
dengan neuron-neuron yang secara normal menerima input nosiseptif maka akan
terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas terhadap sentuhan ringan
sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.
15


Gambar 3. Sensitisasi sentral
15

Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri.
Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen
primer. Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari
alternatif pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak
mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat
memediasi proses fisiologis dari informasi sensoris, namun bukti yang kuat
menunjukkan peranan reseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada
mekanisme wind-up dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasilitasi,
sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Dengan demikian
antargonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyekat
reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan
sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif
lain karena penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan
penyekat reseptor NMDA.
5,6

16

Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam
proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses
nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan
influks Ca. Ca intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-
calmodulin yang selanjutnya akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide
Synthase) yang dapat mengubah arginin menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric
Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
8,9

Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal
sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang
akan merusak sel saraf itu sendiri.
Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan aktivasi reseptor
NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat menghambat
produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam pencegahan dan
penanganan nyeri.
Fenomena wind-up merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana
memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri
akut sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya
mengurangi kemungkinan terjadinya wind-up. Idealnya, pemberian analgesik
telah dimulai sebelum pembedahan.
9,10

Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan
nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang
bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa
dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba
mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah
mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam
mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri
pascabedah adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh
17

karena itu prinsip dasar pengelolaan nyeri pascabedah adalah mencegah atau
meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID
(COX, atau COX
2
), sedangkan untuk menekan atau mencegah terjadinya
sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau anestetik lokal
utamanya jika diberikan secara sentral.
Akibat dari teraktivasinya reseptor NMDA dalam waktu yang lama menyebabkan
nosiseptor melepaskan substansi P yang merupakan peptida neurotransmiter
(neurokinin) dan mediator inflamsi yang poten.Substansi P berikatan dengan
reseptor neurokinin- 1 di medula spinalis. Aktivasi reseptor NK-1 meningkatkan
sinyal nyeri dan merangsang pertumbuhan serta regenerasi saraf melalui ekspresi
gen c-fos. Produksi protein c-fos onkogen merupakan penanda hipersensitisasi
sentral yang didapatkan bila sel-sel aferen di medula spinalis menerima sinyal
nyeri. Jika nyeri berkepanjangan maka protein c-fos akan menyebar keluar dari
daerah asal yang memicu nyeri. Jadi pasien dengan nyeri yang menetap selama
beberapa bulan atau tahun mungkin akan merasakan nyerinya menyebar tidak
membentuk suatu pola dermatom tertentu
2.3 Respon Tubuh Terhadap Nyeri
1,8,9
Nyeriakanmenimbulkanperubahan-perubahandidalamtubuh.Impulsnyerioleh serat
afferentselainditeruskanke sel-selneuronnosisepsidikornudorsalismedulla
spinalis,juga akanditeruskanke sel-selneurondikornuanterolateraldankornuanterior
medullaspinalis.
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin
yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya
nyeri melalui serat saraf afferent diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di
kornu dorsalis medulla spinalisdan juga diteruskan melalui sel-sel dikornu
anterolateral dan kornu anterior medulla spinalis memberikan respon segmental
seperti peningkatan muscle spasm (hipoventilasi dan penurunanaktivitas),
vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi fungsi organ visera (distensi abdomen,
gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi). Nyeri juga mempengaruhi
responsuprasegmental yang meliputi kompleks hormonal, metabolik dan
18

imunologi yangmenimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga berespon
terjadappsikologis pasien seperti interpretasi nyeri, marah dan takut.

Gambar 4. Respon tubuh terhadap nyeri
8
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan
mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh
sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat
akan memberikan efek pada tubuh seperti :
a. Sistem respirasi
Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolism, pengaruh reflek
segmental, dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi
karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit
sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan
peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan
penyakit paru. Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume
19

tidal dan kapasitas residu fungsional. Hal ini mengarah pada
terjadinya atelektasis, intrapulmonaryshunting, hipoksemia, dan
terkadang dapat terjadi hipoventilasi.

b. Sistem kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan
perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap
kardiovaskuler berupa peningkatan produksi katekolamin, angiotensinII,
dan antideuretik hormon (ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik
tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh
darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan meningkat
tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami
penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya.
Karena nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard,
sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.

c. Sistem gastrointestinal
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan
menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus.
Hipersekresi asam lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan
dengan penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien
mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering
terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru dan
pulmonary dysfunction.

d. Sistem urogenital
Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih
dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.
e. Sistem metabolism dan endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan
ketekolamin. Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan
oksigen meningkat. Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan
hormon-hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon dan
menyebabkan penurunan hormone anabolik seperti insulin dan
testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah mempunyai
20

pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan
gangguan metabolism glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini
mendorong pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses
glukoneogenesis. Pasien yang mengalami nyeri akan menimbulkan
keseimbangan negative nitrogen, intoleransi karbohidrat, dan
meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormone kortisol bersamaan dengan
peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon anti diuretic yang
menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari
ruangan ekstraseluler.
f. Sistem hematologi
Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan
fibrinolisis, dan hiperkoagulopati
g. Sistem imunitas
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri
dapat mendepresi sistem retikulo endotelial. Yang pada akhirnya
menyebabkan pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi.
h. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan
(anxiety), ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur serta
depresi.
.
i. Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon
aldosterom berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi
ADH berupa retensi cairan dan penurunan produksi urine.
Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium,
magnesium dan elektrolit lainnya.

2.4 Penilaian Nyeri Kanker
3
Sebagian besar pasien dengan kanker tingkat lanjut memiliki dua tipe nyeri yang
berhubungan dengan kanker yang berasal dari bermacam etiologi. Enam puluh
sembilan persen pasien menilai nyeri yang paling sakit dirasakan sampai pada
level yang mengganggu aktivitas sehari-hari.
21

Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom). Berkenaan dengan hal ini diagnostik
nyeri sesuai dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini
meliputi langkah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
kalau perlu pemeriksaan radiologi serta pemeriksaan imaging dan lain-lain.
Dengan demikian diagnostik terutama ditujukan untuk mencari penyebab.
Dengan menanggulangi penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang.
Pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa nyeri tidak
ada.
8,9
Pemeriksaan terhadap nyeri harus dilakukan dengan seksama yng dilakukan
sebelum pengobatan dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, setiap
saat bila ada laporan nyeri baru dan setelah interval terapi 15-30 menit setelah
pemberian parenteral dan 1 jam setelah pemberian peroral.
a. Anamnesis yang teliti
Dalam melakukan anamnesis terhadap nyeri kita harus mengatahui bagaimana
kualitas nyeri yang diderita meliputi awitan, lama, dan variasi yang ditimbulkan
untuk mengetahui penyebab nyeri. Selain itu, kita juga harus mengetahui lokasi
dari nyeri yang diderita apakah dirasakan diseluruh tubuh atau hanya pada bagian
tubuh tertentu. intensitas nyeri juga penting ditanyakan untuk menetapkan derajat
nyeri. Tanyakan pula keadaan yang memperberat atau memperingan nyeri.
Tanyakan pula tentang penyakit sebelumnya, penggobatan yang pernah dijalani,
dan alergi obat.
4

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang benar sangat diperlukan untuk menguraikan patofisiologi
nyeri. Pemeriksaan vital sign sangat penting dilakukan untuk mendapatkan
hubungannya dengan intensitas nyeri karena nyeri menyebabkan stimulus
simpatik seperti takikardia, hiperventilasi dan hipertensi. Pemeriksaan Glasgow
come scale rutin dilaksanakan untuk mengetahui apakah ada proses patologi di
intracranial.
4

Pemeriksaan khusus neurologi seperti adanya gangguan sensorik sangat penting
dilakukan dan yang perlu diperhatikan adalah adanya hipoastesia, hiperastesia,
hiperpatia dan alodinia pada daerah nyeri yang penting menggambarkan
22

kemungkinan nyeri neurogenik.
3,9
c. Pemeriksaan psikologis
Mengingat faktor kejiwaan sangat berperan penting dalam manifestasi nyeri yang
subjektife, maka pemeriksaan psikologis juga merupakan bagian yang harus
dilakukan dengan seksama agar dapat menguraikan faktor-faktor kejiwaan yang
menyertai.Test yang biasanya digunakan untuk menilai psikologis pasien berupa
the Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Dalam menetahui
permasalahan psikologis yang ada maka akan memudahkan dalam pemilihan
obat yang tepat untuk penaggulangan nyeri.
2,4

d. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan bertujuan untuk mengatahui penyebab
dari nyeri. Pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan laboratorium dan
imaging seperti foto polos, CT scan, MRI atau bone scan.
Penilaian yang tepat dan menyeluruh sangat diperlukan oleh pasien dengan nyeri
yang dapat dilihat pada tabel 1.







23


Tabel 3. Panduan dalam menilai nyeri kanker
3
Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh
psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri
merupakan masalah yang relatif sulit.
Ada beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas
nyeri,antara lain
1. Verbal Rating Scale (VRS)
Metode ini menggunakan suatu wordlist untuk mendiskripsikan nyeri
yang dirasakan.Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang
menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari wordlist yang
ada. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri
dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian
24

ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
- Tidak nyeri (none)
- Nyeri ringan (mild)
- Nyeri sedang (moderate)
- Nyeri berat (severe)
- Nyeri sangat berat (very severe)
2. Numerical Rating Scale (NRS)
Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range
dari intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10. 0 menggambarkan
tidak ada nyeri sedangkan 10 menggambarkan nyeri yang yang
hebat.

Gambar 4.Numeric Rating Scale
3
3. Visual Analoque Scale (VAS)
Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas
nyeri.Metode ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang
menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat
hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode
ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri,
mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam
berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan
pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika
pasien sedang berada dalam nyeri hebat.


25


Gambar 5.Visual Analoque Scale
3
4. McGill pain Questionnaires
Metode ini menggunakan checklist untuk mendiskripsikan gejala-
gejala nyeri yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari
berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas
nyeri digambarkan dengan merangking dari 0 sampai 3.
5. The Faces pain Scale
Metode ini dengan cara melihat mimic wajah pasien dan biasanya
untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.

Gambar 6.The Faces pain Scale
3

Pada pasien usia tua dan adanya keterbatasan dalam komunikasi atau gangguan
kognitif seperti pada saat terakhir kehidupan membuat penilaian terhadap nyeri
menjadi lebih sulit. Ketika defisit kognitif yang terjadi cukup berat, observasi
terhadap perilaku dan ketidaknyamanan akibat nyeri, seperti ekspresi wajah.
Pergerakan tubuh, verbalisasi dan vokalisasi, perubahan dalah hubungan
interpersonal.dan perubahan aktivitas rutin adalah suatu strategi alternative untuk
menilai adanya nyeri pada pasien tetapi tidak untuk intensitas nyeri itu sendiri.


2.5 Penatalaksanaan Nyeri Kanker
3,4,10
26

Pengobatan nyeri kanker harus bersifat multidisiplin, melibatkan banyak keahlian
seperti onkologi medik, anestesi, psikiatri, saraf, bedah, rehabilitasi medik,
radioterapi, perawat onkologi, pengasuh perawat (caregivers), dan lain-lain.
Selain itu juga melibatkan anggota keluarga selain pasien itu sendiri.
8
Pengobatan nyeri kanker terdiri dari 2 bagian, non farmakologik yaitu pengobatan
bukan dengan obat seperti tindakan operasi, radiasi, tindakan oleh rehabilitasi
medik, dan sebagainya, namun pengobatan cara ini tidak banyak dilakukan.
Sedangkan, farmakologik adalah pengobatan dengan memakai obat, dan
dilaporkan sekitar 90% kasus nyeri kanker dapat diatasi dengan obat-obatan.
8

Terdapat berbagai macam kesulitan yang dijumpai dalam mengatasi nyeripada
pasien adalah sebagai berikut:
9
1) Dari pihak dokter:
a) Kurang pengetahuan tentang nyeri sehingga kurang tepat menilai
sifat dan beratnya nyeri
b) Phobia terhadap penggunaan morfin, karena adanya peraturan-
peraturan mengenai narkotika yang dirasakan terlalu kaku.
c) Kekhawatiran terhadap ketergantungan dan ketakutan terhadap
efek-efek samping.
2) Dari pihak pasien:
a) Kurang terbukanya pasien untuk melaporkan mengenai sifat dan
beratnya nyeri.
b) Phobia terhadap penggunaan morfin, disertai ketakutan bahwa ia
dianggap sebagai seorang morfinis juga takut efek samping lain.

3) Dari pihak pelayanan medis:
a) Sistem ganti pembiayaan (restitusi) yang kurang memadai,
sehingga memberatkan sekali keluarga pasien.
27

b) Peraturan yang terlampau ketat, sehingga penyediaan, pengadaan,
dan medikasi khususnya narkotika jenis opioid sangat kurang dan
susah di dapat.
Sebelum dilakukannya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus
memahami tatalaksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan
nyeri ini terdapat prinsip prinsip umum, yaitu:
9
1) Mengawali pemeriksaan dengan seksama
2) Menentukan penyebab dan derajat / stadium penyakit dengan tepat
3) Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga
4) Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan
5) Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
6) Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7) Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin
Hal-hal lain yang juga harus diperhatikan dalam pengobatan nyeri adalah:
6,7
1) Jangan memberi obat apapun sebelum benar-benar memerlukan.
2) Tentukan diagnosis nyeri dengan tepat.
3) Memakai modalitas pengobatan dengan benar.
4) Memakai modalitas pengobatan ganda atau multi-modal.
5) Harus konsisten tak boleh berubah-ubah dan terputus-putus.
6) Usahakan per oral.
7) Pada nyeri kronis, ikuti 3-Step Ladder Analgesic WHO.
8) Tentukan jenis obat dan dosis secara individual.
Setiap terapis nyeri perlu untuk mempelajari dasar dari konseling dan kemampuan
dalam komunikasi serta harus mempercayai apa yang pasien katakan mengenai
nyerinya. Nyeri adalah segala sesuatu apa yang pasien katakan, sakit.Hal ini
juga berkaitan mengingat nyeri kaker kerap kali disertai dengan gangguan
psikisUntuk mengatasi nyeri pada kanker, WHO menerapkan a three step
28

ladder yaitu 3 langkah bertahap sesuai dengan nyeri yang dialami passion. WHO
juga menerapkan konsep dalam terapi medikamentosa untuk nyeri yaitu lewat
mulut (obat per oral), dan obat diberikan teratur setiap 3-6 jam (untuk menjaga
kadar obat tetap stabil) dibandingkan dengan diberikan ketika diperlukan atau
ketika nyeri timbul. Berdasarkan panduan WHO, analgesik opoid merupakan
terapi analgesic utama dan terklasifikasikan berdasarkan kemampuan dalam
mengontrol nyeri dari intensitas ringan-menengah sampai menengah-berat.
Tabel 4. Three Step Analgesic Ladder WHO untuk Nyeri Kanker
10

Analgesik Nonopioid
Asetaminofen(Parasetamol)
Asetaminofen biasanya digunakan dalam terapi nyeri ringan sampai sedang,
dikombinasikan dengan analgetik lain.
6
Asetaminofen merupakan metabolit
aktif fenasetin dan bertanggungjawab atas efek analgesinya. Parasetamol
mempunyai sifat antipiretik / analgesik.Sifat antipiretik disebabkan oleh
gugus aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral.Sifat
analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri ringan sampai
sedang.Sifat antiinflamasinya sangat lemah sehingga tidak digunakan sebagai
antirematik.Sifat inhibitor terhadap sintesis prostaglandin sangat lemah.
6

Pada penggunaan per oral Parasetamol diserap dengan cepat melalui
saluran cerna.Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit
WHO analgesic ladder
step
Score on NRS Analgesics of Choice
Mild pain <3 out of 10 Nonopioid analgesics
adjuvant medications
Mild to moderate pain 3-6 out of 10 Weak opioids
Nonopioid analgesics
adjuvant medications
Moderate to severe pain >6 out of 10 Strong opioids
Nonopioid analgesics
adjuvant medications
29

sampai 60 menit setelah pemberian.Parasetamol diekskresikan melalui ginjal,
kurang dari 5% tanpa mengalami perubahan dan sebagian besar dalam bentuk
terkonyugasi. Dosis toksis dapat menyebabkan nekrosis hari, karena ia
dirusak oleh enzim mikrosomal hari. Paracetamol lebih disukai dibanding
aspirin karena efek samping terhadap lambung dan gangguan pembekuan
darah minimal.
6

Obat ini adalah penghambat enzin siklooksigenase-1 dan 2 yang lemah
pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek antiinflamasi yang bermakna.
Asetaminofen diberikan per oral dan kadar puncaknya dalam darah biasanya
tercapai dalam 30-60 menit, kemudian dimetabolisasi oleh enzim mikrosomal
hati menjadi bentuk yang tidak aktif. Waktu paruhnya adalah 2-3 jam. Dosis
oral adalah 500-1000 mg per 4-6 jam, dosis maksimal adalah 4000 mg per
hari, dosis yang lebih dari 4000 mg tidak dianjurkan.
6,13,
Dosis asetaminofen
dalam bentuk suppositoria adalah 650 mg setiap 4 sampai 6 jam.
13
Pada dosis
terapi kadang terjadi peningkatan ringan enzim hati yang reversibel tanpa
disertai dengan ikterus. Pada dosis yang lebih besar, dapat timbul pusing,
mudah terangsang, dan disorientasi.
13
Dosis toksis dapat meyebabkan
nekrosis hati, karena asetaminofen dirusak oleh enzim mikrosomal hati.
Kontraindikasi pada penggunaan paracetamol yaitu pasien mengalami
gangguan hepar, intoleran atau alergi terhadap paracetamol, dan pasien yang
alkoholik.
6

NSAID ( Non Steroid Anti Inflamasi Drug)
NSAID biasanya diindikasikan untuk pengobatan kondisi akut atau kronis di
mana rasa sakit dan peradangan hadir, seperti metastasis tulang. Namun,
dalam penanganan nyeri kanker kronis, masalah keamanan selalu
membayangi penggunaan NSAIDs.
1

Semua NSAID menghambat cyclooxygenase, dengan cara mengurangi kadar
prostaglandin jaringan. Efek anti inflamasi ini kemungkinan berperan dalam
fungsi analgesik dari NSAIDs dan merupakan dasar dari pendapat umum
bahwa obat ini bekerja secara perifer. Analgesia yang diberikan NSAIDs
dicirikan dengan ceiling dose, dimana dosis tambahan tidak memberikan efek
30

analgesik tambahan dan toksisitas terkait dosis bervariasi sangat luas,
sehingga dosis rekomendasi standar kemungkinan tidak cocok untuk setiap
pasien yang diberikan. Pertimbangan ini terutama menonjol pada pasien
kanker, yang mungkin mengalami perubahan farmakokinetik NSAID atau
predisposisi terhadap efek samping berdasarkan penyakit multisistemik atau
pemberian bersama obat-obatan lain. Hasil observasi ini menganjurkan nilai
titrasi dosis dari populasi ini.
13
Farmakokinetik dari NSAID :
11

NSAID adalah kelompok obat yang memiliki kelas kimia yang berbeda-beda.
Perbedaan kimiawi ini menimbulkan karakterisktik farmakokinetik obat yang
berbeda pula. Sebagian besar obat diabsorbsi baik dan tidak
dipengaruhimoleh makanan. Obat-obatan NSAID diabsorbsi secara cepat jika
diberikan peroral. NSAID juga sangat bergantung dengan keberadaan protein
dalam hal ini adalah albumin. Sebagaian besar obat NSAID juga
dimetabolisme secara cepat. Proses metabolisme ini melalui jalur CYP3A
dan CYP2C dari enzim P450 dihati. Ekskresi melalui ginjal merupakan rute
paling penting dalam eliminasi obat ( sirkulasi entero hepatik) dan memiliki
clearance yang lambat.

Farmakodinamik dari NSAID :
NSAID dapat menghambat pembentukan siklooksigenase-dependen
prostanoid sehingga terjadi penghambatan sintesis prostaglandin perifer,
menghambat fosfodiesterase intraseluler, menghambat level bradikinin, dan
menghambat interaksi protein-G-protein membran, serta mekanisme
antiinflamasi mayor yang terjadi pada tempat aksi perifer.
5,6
Prostaglandin
yang sudah terbentuk tidak terpengaruh oleh obat ini. Selain itu NSAID
menurunkan sensitivitas pembuluh darah terhadap bradikinin dan histamin,
mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T, dan memulihkan
vasodilatasi akibat peradangan.
11
Beberapa sifat dari NSAID :
11
31

- Memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti-radang. Obat-obat
NSAID memiliki mekanisme kerja sama, jadi jangan kombinasi dua obat
NSAID yang berbeda pada waktu bersamaan.
- Diketahui meningkatkan waktu perdarahan, dan bisa menambah
kehilangan darah.
- Bisa diberikan dengan banyak cara: oral, im, iv, rektal, topikal. Pemberian
oral lebih disukai jika ada. Diklofenak iv harus dihindari karena nyeri dan
bisa menimbulkan abses steril pada tempat suntikan.
Kontraindikasi NSAID yaitu riwayat tukak peptik, insufisiensi ginjal atau
oliguria, hiperkalemia, transplantasi ginjal, antikoagulasi atau koagulopati
lain, disfungsi hati berat, dehidrasi atau hipovolemia, terapi dengan
furosemide, dan riwayat eksaserbasi asma dengan NSAID.
11


Gunakan NSAID dengan hati-hati (risiko kemunduran fungsi ginjal) pada :
- Pasien > 65 tahun
- Penderita diabetes yang mungkin mengidap nefropati dan/atau penyakit
pembuluh darah ginjal
- Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata
- Penyakit jantung, penyakit hepatobilier, bedah vaskular mayor
- Pasien yang mendapat penghambat ACE, diuretik hemat- kalium, penyekat
beta, cyclosporin, atau metoreksat.
Elektrolit dan kreatinin harus diukur teratur dan setiap kemunduran fungsi ginjal
atau gejala lambung adalah indikasi untuk menghentikan AINS.
32


Tabel 5. Analgesik nonopioid yang biasa digunakan pada nyeri kanker
3
Pengobatan Tambahan
Beberapa kelas obat yang heterogen memeiliki peran dalam panduan WHO three-
step analgesic ladder. Pengobatan ini dibagi menjadi lima kategori, yaitu
antidepresan, antikonvulsan, anestesi local, kortikosteroid, dan kategori lain.
Pengobatan tambahan bertujuan untuk memberikan efek tertentu yang diinginkan
atau mencegah efek samping opioid pada pasien kanker.Antidepresan trisiklik
sangat berguna pada beberapa tipe nyeri neuropatik, khususnya nyeri disestesi
yang membakar.Pada dosis tinggi obat ini memeiliki efek samping sedasi.Secara
langsung, antidepresan sangat membantu pada pasien kanker dengan insomnia
dan depresi.Antikonvulsan dan anestesi lokal memiliki efek stabilisasi membrane
dan efektif untuk nyeri neuropati sekunder akibat jejas saraf pada system saraf
pusat dan perifer.Kortikosteroid memiliki efek anti inflamasi yang poten
dansangat membantu pasien kanker dengan kompresi medulla spinalis, tumor
intracranial, distensi kapsul organ, dan infiltrasi tulang.Steroid juga memiliki efek
SSP dalam memperbaiki mood dan perasaan untuk tetap sehat dalam pasien
kanker.Antiemetik dan laxative sebaiknya diresepkan pada pasien yang menerima
opioid.
a. Tricyclic Antidepressants
Terdapat banyak literatur yang menyokong pemberian tricyclic antidepressants
sebagai analgesik pada beberapa jenis sindrom nyeri kronis.Pada pasien kanker,
33

obat-obatan ini umumnya diberikan untuk nyeri neuropati (biasanya berkaitan
dengan infiltrasi nyeri atau kompresi) atau nyeri yang berkaitan dengan gangguan
tidur atau depresi. Untuk mengurangi risiko efek samping, sebaiknya opioid
dititrasi terlebih dahulu kemudian ditambahkan ajuvan.
1,5

Dosis awal tricyclic antidepressants sebaiknya rendah (10-25 mg
amitriptiline).Apabila baik, dosis dititrasi perlahan-lahan.Dosis analgesik biasanya
50-150 mg/hari, biasanya diberikan sebagai dosis single malam.Dosis dinaikkan
apabila obat nampak tidak efektif dan tidak menghasilkan efek samping yang
signifikan. Depresi meruapakan komponen menonjol dari sindrom nyeri.
3
b. Antikonvulsan
Antikonvulsan digunakan sebagai pelengkap analgesik.Golongan ini menekan
rasa terbakar dari saraf dan telah digunakan untuk mengobati nyeri neuropatik,
termasuk nyeri trigeminal, neuropati perifer.Yang termasuk golongan ini adalah
karbamazepin, sodium valproat, klonazeam, gabapentin, fenitonin. Obat-obatan
ini dimulai dari dosis rendah dan secara bertahap ditingkatkan untuk menghindari
efek samping seperti dizziness, ataksia, drowsiness, pandangan kabur, dan iritasi
saluran cerna dan pasien kanker sebaiknya diawasi ketat saat terapi.
1,5

c. Anestesi Lokal Oral
Mexiletine memiliki kegunaan pada polineuropati diabetik dan digunakan untuk
menangani nyeri neuropati yang bermacam-macam.Obat ini hanya tersedia pada
formulasi parenteral dan memiliki profil efek samping, termasuk keterbatasan
kegunaan pada pasien dengan penyakit lanjut.Dalam kondisi ini, kegunaan sedasi
dan ansiolitik dari obat bisa bermanfaat. Karena kurangnya bukti efek analgesik
serta potensi efek samping, neuroleptik lain sebaiknya dipertimbangkan sebagai
obat lini kedua untuk nyeri neuropati berkelanjutan yang yang tidak membaik
dengan pemeriksaan lainnya. Obat-obatan ini tetap menjadi terapi utama untuk
pasien nyeri dengan delirium atau nausea.
1,5


34

d. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat ajuvan yang penting pada penderita kanker
terutama stadium lanjut.Kortikosteroid memberikan efek anti inflamasi, perbaikan
mood, anti emetik, memperbaiki nyeri, dan meningkatkan nafsu makan.Obat ini
menurunkan nyeri dengan efek anti inflamasinya yang menurunkan pelepasan
asam arakidonat untuk membentuk prostaglandin.
3
Obat ini digunakan untuk
menanggulangi nyeri neuropatik karena peningkatan tekanan intrakranial.Steroid
sistemik diduga menurunkan edema perineural dan edema limfatik yang
menimbulkan nyeri dengan menekan saraf.Pengobatan ini spesifik untuk kasus-
kasus kompresi medula spinalis.Sedangkan terapi untuk mengatasi kompresi saraf
menggunakan deksametason dosis tinggi, hampir 30 mg/hari.Jika tidak didapatkan
peningkatan rasa nyeri, dosis dapat diturunkan secara bertahap selama 3-5
hari.Pada pemberian kortikosteroid harus diawasi timbulnya kandidiasis oral atau
vagina.
1
Efek yang tidak diinginkan pada obat ini adalah hiperglikemia,
peningkatan berat badan, miopati, disforia atau psikosis yang merupakan
komplikasi terapi jangka panjang.

Golongan Obat
Antidepresan Amitriptyline, Nortriptyline,
Imipramine, Desipramine, Duloxetine,
Maprotiline, Paroxetine, Venlafaxine
Antikonvulsan Gabapentin, Carbamazepine,
Oxcarbazepine, Pregabalin,
Clonazepam, Topiramate
Local Anastesi Mexiletine, Transdermal Lidocaine
Kortikosteroid Dexamethasone, Methylprednisolone,
Prednisolone, Cortisone
Golongan Lain Psychostimulans: Dextroamphetamine,
Methylpenidate,
35

GABA agonist: Baclofen

2
antagonist: Clonidine
NMDA antagonist: Ketamine,
Dextromethorpan
Antiemetics; Metoclopramide,
ondansentron, dronabinol
Laxatives: Senna, Docusate
Tabel 6. Terapi tambahan yang dapat diberikan pada nyeri kanker
3
Analgetik Opioid
3,11,12
Analgetik opioid merupakan pengobatan utama dalam nyeri kanker. Dalam WHO
three-step analgesic ladder, weak opioid direkomendasikan untuk penanganan
nyeri kanker sedang, dan strong opioid untuk nyeri kanker berat. Weak
opioid memiliki potensi yang lebih rendah dan efek samping yang lebih sedikit.
Weak opioid yang biasanya diproduksi mengandung acetaminophen atau
aspirin. Strong opioid lebih potent karena obat ini dibuat dalam bentuk yang
murni, tanpa penambahan aspirin atau acetaminophen.Strong opioid juga tidak
memiliki ceiling dose maksimum berbeda dengan Weak opioid yang memiliki
ceiling dose karena terdapat tambahan acetaminophen atau aspirin sehingga
semakin tinggi dosis akan meningkatkan risiko toksik pada hepar dan ginjal.
Semakin tinggi dosis Strong opioid, pasien cenderung akan mengalami efek
samping yang lebih signifikan, seperti mual dan muntah, konstipasi, pruritus,
mengantuk, dan gangguan kognitif.

36


Tabel 7. Analgesik opiod yang dapat diberikan pada nyeri kanker
3

Opium merupakan sumber morfin yang berasal dari getah tumbuhan Papaver
somniferum dan Papaver album (tanaman candu).Crude opium merupakan getah
tumbuhan tersebut yang berubah warna dari putih sejak diambil dan berubah
menjadi kecoklatan.Opiat merupakan obat yang dibuat dari opium.Opioid
merupakan semua zat sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
opioid.Diketahui bahwa opium banyak mengandung alkaloid.Kodein merupakan
bentuk komersial dari morfin.
Reseptor Opioid
Sebelum membahas tentang klasifikasi opioid, harus diketahui terlebih dahulu
mengenai sistem opioid dan reseptor opioid, karena analgesia oleh opioid sangat
bervariasi pada setiap individu yang disebabkan oleh adanya perbedaan yang unik
pada setiap sistem opioid. Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada
reseptor-reseptor opioid yang diketahui ada 4 reseptor.


37

Subtipe Fungsi
(mu) Analgesia supraspinal dan spinal; sedasi; inhibisi;
memperlambat transit di saluran cerna; modulasi
pembebasan hormon dan neurotransmiter; rasa segar;
euforia; dan depresi respirasi
(delta) Analgesia supraspinal dan spinal; modulasi pembebasan
hormon dan neurotransmiter; diduga memperkuat reseptor
mu
(kappa) Analgesia supraspinal dan spinal; efek psikotomimetik;
memperlambat transit di saluran cerna; sedasi; anestesia
(sigma) Disforia; halusinasi; pupil midriasis; dan stimulasi respirasi
Tabel 8.Subtipe reseptor opioid dan fungsinya
16
Pada sistem analgesia supraspinal, tempat kerja opioid adalah pada substansia
grisea, yaitu pada periakuaduktus dan periventrikular.Sedangkan pada sistem
spinal, tempat kerjanya adalah pada substansi gelatinosa medula spinalis.Reseptor
opioid dapat diaktivasi oleh opiat eksogenus (seperti morfin), oleh peptide
endogenus (seperti enkephalins, endorphins, dan dinorphins), dan respon terhadap
stres. Jika terjadi perangsangan terhadap reseptor mu maka akan mempengaruhi
respon terhadap rangsangan mekanik, kimia dan termal pada level supraspinal.
Reseptor kappa mengatur rangsang termal dan nyeri viseral kimia yang dimediasi
oleh spinal.Reseptor delta mengatur rangsang mekanik dan nyeri
inflamasi.Peptida opioid endogenus melekat pada reseptor opioid untuk mengatur
informasi rangsangan dan kontrol sensitivitas nyeri.
Klasifikasi Opioid
Opioid dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Opioid Agonis
Agonis opioid merupakan jenis opioid yang berikatan paling banyak
dengan reseptor mu dan dapat dibagi menjadi 3 kelas yang berbeda yaitu :
38

1. Phenanthrene opioid agonis (contoh: morfin, hydromorphone,
kodein, oksikodon, oksimorfon, dan hidrokodon)
2. Phenylpiperidine opioid agonis (contoh: meperidin, fentanil,
sufentanil, alfentanil, dan remifentanil)
3. Diphenylhepatane opioid agonis (contoh: metadon, propoksipen).
Aktivasi reseptor mu menimbulkan efek yang diharapkan seperti
analgesia namun juga menimbulkan efek yang tidak diinginkan seperti
konstipasi.
b. Opioid Agonis-Antagonis
Berikatan dengan satu reseptor opioid, mengaktifkan aktifitas agonis lalu
berikatan dengan reseptor opioid yang lain. Contoh obatnya antara lain
butorphanol, nalbuphine dan pentazocine. Obat ini agonis terhadap
reseptor kappa dan antagonis terhadap reseptor mu.Bila diberikan pada
pasien dengan riwayat penggunaan opiat yang kronis dan ketergantungan
opiat, obat analgesik opioid agonis-antagonis ini dapat menyebabkan
gejala withdrawal opioid.
c. Opioid Parsial Agonis
Berikatan dengan reseptor opioid dan menghasilkan sebagian dari respon
penuh agonis.Contoh obatnya adalah buprenorphine yang berefek parsial
agonis pada reseptor mu.Buprenorphine dapat menambah keinginan untuk
kembali menggunakan opioid pada pasien dengan riwayat
ketergantungan.Penggunaan agen parsial agonis dapat memberikan
analgesia dengan efek tertinggi.Pemberian opioid agonis setelah
penggunaan parsial agonis dapat menyebabkan efek parsial antagonism.
d. Opioid Antagonis
Berikatan dengan reseptor opioid namun tidak menghasilkan atau
menghasilkan aktivitas antagonis yang lemah dimana dapat membalikkan
atau menghambat efek agonis opioid dengan menghambat akses reseptor.
Contoh obatnya antara lain nalokson, naltrekson dan nalmefen. Nalokson
dan nalmefen digunakan untuk membalikkan efek sedasi dan depresi
39

pernafasan karena opioid. Naltrekson digunakan untuk pengobatan
ketergantungan opiate dan alkohol.
Farmakokinetik Opioid
Absorpsi
Kebanyakan opioid terabsorpsi dengan baik melalui subkutan, intramuskular,
intravena, dan oral. Oleh karena first pass effect, dosis opioid oral, misalnya
morfin, haruslah lebih tinggi daripada dosis parenteral untuk mencapai efek
terapeutik. Efek analgesik poten juga dapat dicapai melalui pemberian melalui
oral mukosa atau transdermal.
Distribusi
Semua opioid berikatan dengan protein plasma dan secara cepat meninggalkan
kompartemen darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi pada jaringan
dengan perfusi tinggi, seperti otak, paru-paru, hati, ginjal, dan limpa.Konsentrasi
obat di dalam tulang jauh lebih kecil.Walaupun konsentrasi obat pada jaringan
lemak lebih sedikit daripada jaringan dengan perfusi tinggi, ini merupakan hal
penting dalam hal akumulasi obat setelah pemberian ulangan dosis tinggi atau
drip infus kontinyu dari opioid lipofilik yang dimetabolisme lambat, seperti
fentanyl.
Metabolisme
Opioid dirubah menjadi metabolit glucoronides kemudian diekskresi oleh
ginjal.Contohnya morfin, yang mengandung gugus hidroksil bebas, pertama-tama
dikonjugasi terlebih dahulu menjadi morfin-3-glucoronide dengan efek
neuroeksitatori.Efek ini tidak dimediasi oleh reseptor , namun oleh Gamma-
amino butyric acid (GABA).10% morfin dimetabolisme menjadi morfin-6-
glucoronide dengan potensi analgesik.Metabolit ini mempunyai afinitas
menembus sawar darah otak, sehingga memberi kontribusi terhadap efek sistem
saraf pusat.Bahkan akumulasi metabolit ini dapat memberikan efek samping pada
penderita dengan gangguan ginjal atau penderita dengan pemberian opioid dosis
besar dan jangka panjang.Eksitasi saraf pada metabolit morfin-3-glucoronide
dapat menyebabkan kejang.
40

Metabolisme oksidatif hepatik merupakan rute primer degradasi opioid golongan
fenilpiperidin (meperidin, fentanyl, dan sufentanil).Fentanyl dimetabolisme di
hepar oleh P450 isozim CYP3A4.Isozim ini juga terdapat pada mukosa usus halus
dan berperan di dalam metabolisme fentanil dengan rute oral.Opioid kodein,
oksikodon, dan hidrokodon juga mengalami metabolisme di hati namun melalui
P450 isozim CYP2D6, dimana dihasilkan suatu metabolit dengan potensi yang
lebih besar.
Ekskresi
Metabolit opioid berupa konjugat glucoronide utamanya dieksresi melalui
urin.Sejumlah kecil obat yang belum dimetabolisme dapat pula ditemukan di urin.
Konjugat glucoronide juga ditemukan di empedu, dimana sirkulasi enterohepatik
mempunyai porsi yang kecil untuk proses ekskresinya.
Farmakodinamik Opioid
Mekanisme Kerja
Opioid agonis menghasilkan efek analgesia setelah berikatan dengan reseptor
jenis specific G-protein coupled receptors yang terdapat pada otak dan regio
medula spinalis yang berperan di dalam transmisi dan modulasi nyeri.Tiga
reseptor utama opioid antara lain, , , dan telah diidentifikasi keberadaannya di
berbagai tempat di susunan saraf pusat. Pada level molekuler, reseptor opioid
tersebut berpasangan dengan G-protein dan melalui interaksi ini akan memberi
pengaruh pada saluran ion. Opioid akan menutup voltage-gate calcium channel
pada neuron presinaptik terminal, sehingga menurunkan jumlah pengeluaran
neurotransmitter glutamate, serotonin, dan subtansi P. Kemudian opioid
menghiperpolarisasikan dan menghambat neuron post-sinaptik dengan membuka
kalium channel.
Efek opioid yang berupa euphoria dan depresi nafas cenderung merupakan hasil
dari afinitas terhadap reseptor .Usaha untuk menimbulkan efek analgesik opioid
dengan menurunkan efek depresi susunan saraf pusat dan ketergantungan
diarahkan kepada agen yang cenderung berikatan dengan reseptor .
41

Tiga reseptor opioid utama tersebut mempunyai konsentrasi tinggi pada kornu
dorsalis medula spinalis.Secara umum, reseptor opioid terdapat pada medula
spinalis tempat transmisi neuron dan pada neuron aferen.Opioid agonis
menghambat pengeluaran eksitatori neurotransmitter dari aferen primernya, dan
secara langsung menghambat transmisi nyeri pada kornu dorsalis.Opioid
menunjukkan efek analgesik yang kuat pada medula spinalis secara langsung.
Kerja opioid pada spinal secara klinis dilakukan dengan cara pemberian langsung
melalui medula spinalis dengan anestesi regional. Cara ini diharapkan dapat lebih
mengurangi efek depresi nafas, mual-muntah, dan sedasi, yang ditimbulkan oleh
kerja opioid supraspinal pada pemberian secara sistemik. Pemberian opioid secara
sistemik akan bekerja secara simultan pada berbagai tempat. Tidak hanya pada
jalur ascending transmisi nyeri, namun juga pada jalur descending/modulatory.
Interaksi antara peptide analgesik endogen dan opioid eksogen dapat
mengaktifkan beberapa reseptor sekaligus sehingga mekanisme blok nyeri dapat
dicapai melalui sejumlah sinaps, transmitter, dan tipe reseptor.
Suatu nyeri dengan inflamasi bereaksi sensitif terhadap aksi opioid di
perifer.Adanya reseptor pada terminal perifer neuron sensori menunjukkan
adanya aktivitas opioid di perifer1.
Pemberian opioid ulangan dengan dosis terapeutik dengan intensitas cukup tinggi
akan mengurangi keefektifannya secara gradual. Suatu ketergantungan fisik atau
yang sering disebut withdrawal atau abstinence syndrome terjadi ketika
pemberian opioid dihentikan atau diganti dengan antagonisnya.Aktivasi persisten
dari reseptor merupakan penyebab dari keadaan tersebut.Pemberian persisten
dari opioid juga dapat meningkatkan sensasi nyeri (hiperalgesia).Spinal dinorfin
dianggap agen opioid yang dapat memicu keadaan ini.

42


Gambar 7.Reseptor opioid dan mekanisme kerja opiod
17

Pada gambar tampak bahwa opioid yang bekerja pada reseptor , , dan agonis
akan menurunkan jumlah pengeluaran neurotransmiter glutamate dan
neuropeptide eksitatori dari terminal presinaptik neuron nosiseptif aferen. Opioid
agonis akan menghiperpolarisasikan transmisi neuron orde kedua dengan
meningkatkan konduktans kalium, sehingga menghasilkan suatu potensial inhibisi
postsinaptik. Alfa 2 agonis bekerja pada adrenoresptor terminal presinaptik pada
neuron aferen primer dengan memblok calcium channel.
Efek samping Penggunaan Opioid
1. Konstipasi
Konstipasi adalah efek samping opioid yang sering terjadi. Opioid dapat
menyebabkan nyeri pada abdomen, mual ,muntah, dan retensi urin. Peptida opioid
endogen dan reseptor opioid berlokasi di saluran pencernaan, dengan konsentrasi
yang tinggi di antrum dan duodenum proksimal.Opioid dapat menyebabkan
konstipasi melalui beberapa mekanisme, yang paling signifikan adalah
43

menurunnya motilitas saluran cerna dimana menyebabkan peningkatan waktu
transit kolon.
Opioid analgesik dan aktivitas metaboliknya mempunyai kerja yang berbeda pada
reseptor opioid dimana mempunyai efek yang berbeda pula pada saluran
gastrointestinal.Contohnya, metabolit aktif dari morfin (morfin-6-glukoronid) juga
merupakan agonis reseptor mu () yang poten dan dapat menyebabkan
terhambatnya transpor gastrointestinal.
Konstipasi yang disebabkan oleh opioid dapat diobati dengan laksatif tapi tidak
ada penelitian yang menunjukkan keuntungan yang jelas dari laksatif
dibandingkan yang lain.
2. Mual dan muntah
Mual dan muntah merupakan efek samping yang umum pada opioid.Namun,
biasanya terjadi toleransi yang cepat terhadap mual. Mual dan muntah yang
disebabkan oleh opioid diperantarai oleh reseptor opioid pada chemoreseptor
trigger zone. Chemoreseptor trigger zone diketahui sebagai postrema area yang
mempunyai sawar darah otak yang tidak lengkap dan dapat berinteraksi dengan
opioid antagonis perifer.
Opioid dapat menyebabkan mual dan muntah melalui beberapa mekanisme antara
lain karena adanya rangsangan terhadap apparatus vestibular, chemoreseptor
trigger zone, dan seperti mekanisme sebelumnya yang telah dijelaskan pada
konstipasi. Mual yang disebabkan karena stimulasi pada chemoreseptor trigger
zone sering ditangani dengan droperidol, proklorperasin, ondansentron, dan
hidroksisin.
3. Sedasi
Efek sedasi khususnya sering timbul pada pasien yang mendapatkan terapi opioid
jangka panjang.Timbulnya nyeri merupakan antagonis terhadap efek sedasi
opioid. Pada penggunaan opioid dengan dosis yang stabil dalam jangka waktu
yang lama biasanya akan terjadi toleransi terhadap efek sedasi dari opioid.
Meminimalisasi obat-obatan yang menekan sistem saraf pusat, menekan dosis
opioid, menggunakan analgesik adjuvan bukan opioid, mengganti opioid, dan atau
44

mulai menggunakan psikostimulan seperti metalpenidat dapat membantu
mengurangi efek sedasi pada pasien yang memerlukan terapi opioid jangka
panjang.
4. Gatal
Gatal adalah efek samping yang sering terjadi pada penggunaan opioid dan
ditemukan lebih sering pada pasien yang mendapatkan opioid neuraksial
dibandingkan dengan yang menggunakan opioid oral atau parenteral.Biasanya
efek samping ini ringan dan tidak memerlukan pengobatan.Beberapa opioid
agonis seperti morfin dapat menyebabkan pengeluaran histamin dan merangsang
gatal dengan mengaktifkan reseptor H1 pada C fiber. Sedangkan fentanyl tidak
menyebabkan pengeluaran histamin tapi menyebabkan gatal dengan mekanisme
yang lain. Penelitian terbaru menunjukkan ondansetron (5 HT 3 reseptor
antagonis) menurunkan gatal yang disebabkan oleh morfin intratekal dan fentanyl
intratekal tapi bukan pada kombinasi morfin dan fentanyl intratekal.Nalbuphine
sebagai mu reseptor antagonis efektif mengurangi gatal pada pasien yang
mendapatkan morfin epidural atau intratekal tanpa reversing analgesia.
5. Depresi nafas
Depresi nafas jarang terjadi pada pasien yang mendapatkan dosis opioid yang
dititrasi secara hati-hati untuk mendapatkan efek analgesia yang
diharapkan.Opioid agonis mengaktifkan mu reseptor di pusat napas di batang otak
sehingga terjadi depresi napas.
Patient Controlled Analgesia (PCA)
Patient-controlled analgesia (PCA) melibatkan pasien dalam memberikan
medikasi pada nyeri yang dideritanya. PCA digunakan bila opioid parenteral
harus diberikan lebih dari 24 jam. Jika kadar analgesia berada di bawah ambang
plasma, pasien dapat mentitrasi sendiri opioid pada kadar analgesia yang mereka
perlukan (selama masih dalam batasan terapi). Pemberian dengan cara ini sangat
efektif, mencegah kekambuhan nyeri dan menurunkan kecemasan pasien terhadap
nyerinya karena mereka dapat memanajemen pemberian obat untuk diri mereka
sendiri.. PCA memiliki beberapa mode administrasi. Dua yang paling umum
digunakan adalah demand dosing (dosis tetap yang diberikan sesuai permintaan
45

secara intermitten) dan infus kontinyu yang ditambahkan demand dosing
(didukung dengan infus kontinyu ditambahkan dengan dosis sesuai permintaan
pasien). Hampir semua perangkat PCA modern menawarkan kedua mode ini.
1,11

Dosis bolus adalah jumlah obat yang diberikan oleh pompa bila pasien bisa
menentukan kebutuhan. Waktu stop (lockout time) yaitu jumlah waktu di mana
pasien akan mendapat hanya satu dosis dari pompa. Keberhasilan PCA tergantung
pada :
a. Kecocokan pasien dan penyuluhan tentang cara penilaian nyeri dan bagaimana
cara untuk mengatasi nyeri dengan PCA.
b. Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat
c. Pemantauan yang baik terhadap tanda-tanda vital, nyeri, sedasi, kecepatan dan
kualitas respirasi pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.
d. Dana : pompa infus PCA mahal.
Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar
itulah PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak
ataupun lebih sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang
analgesik, pasien dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka
butuhkan (selama masih dalam batasan terapi).Dosis bolus dan waktu stop bisa
diubah sesuai dengan kebutuhan individu.
1,11
Multimodal Analgesia/Analgesia Balans
Obat analgetika nonnarkotika hanya efektif untuk mengatasi nyeri dengan
intensitas ringan sampai sedang. Sedangkan obat analgetika narkotika efektif
untuk mengatasi nyeri dengan intensitas berat. Dipihak lain blok saraf tidak selalu
mudah dapat dikerjakan.
4
Tidak jarang, untuk mendapatkan efek analgesia yang
adekuat diperlukan dosis obat yang besar. Hal ini dapat diikuti oleh timbulnya
efek samping.
Untuk menghindari hal ini, dapat diusahakan dengan menggunakan beberapa
macam obat analgetika yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda. Dapat
digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap yang berbeda. Dengan
pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut menjadi jauh lebih
46

kecil, tetapi akan menghasilkan kwalitas analgesia yang lebih adekuat dengan
durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek samping yang dapat
ditimbulkan oleh masing masing obat dapat dihindari.
Analgesia Balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan
pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan
dengan NSAID, proses transmisi dengan obat anestetik lokal, dan proses modulasi
dengan opiat. Pendekatan ini, memberikan penderita obat analgetika dengan titik
tangkap kerja yang berbeda seperti obat obat analgetika non narkotika, obat
analgetika narkotika serta obat anesthesia lokal secara kombinasi disebut Balans
analgesia atau pendekatan polifarmasi

Kegagalan pada Terapi Nonintervensional
Diperkirakan 70-90% pasien dengan nyeri kanker mendapatkan perbaikan yang
memuaskan hanya melalui terapi farmakologi saja yang telah disesuaikan dengan
panduan WHO untuk nyeri kanker.Bagaimanapun juga, masih ada 110-30%
pasien yang tidak dapat ditangani dengan terapi farmakologis saja.Alasan
terjadinya kegagalan terapi farmakologis inis sangat bervariasi, dari faktor yang
berhubungan dengan dokter sampai faktor yang berhubungan dengan pasien itu
sendiri.Faktor yang berhubungan dengan dokter termasuk tidak akuratnya
penilainan nyeri yang dialami pasien dan kurangnya pengeyahuan terhadap
analgesik dan pengobatan tambahan. Faktor yang berhubungan dengan pasien
bervariasi dari ketakutan akan terjadinya adiksi dan efek samping yang beraneka
ragam. Paling umum, biasanya pasien tidak dapat mentolerir efek samping dari
pengobatan yang telah diberikan, khususnya pada penggunaan opioid.Kegagalan
dalam konrtol farmakologis dari nyeri kanker biasanya sering terlihat seiring
dengan bertambah parahnya kanker itu sendiri.Pasien dengan penyakit tahap
lanjut dapat disertai dengan intractablepain dari berbagai metastasis dan lokasi
nyeri yang beranekaragam.
Terapi Interventional
Pasien yang gagal berespon dengan terapi farmakologis konservatif dapat menjadi
kandidat untuk terapi intervensional.Terapi intervensional tidak boleh digunakan
47

sebagai penanganan tunggal pada nyeri kanker, tetapi harus merupakan salah satu
pendekatan terapi nultimodal mengingat etiologi dari nyeri kanker
beranekaragam.Pendekatan multimodal yang diperlukan pada pasien dengan nyeri
kanker meliputi terapi antineoplastic yang tepat, manajemen analgesik dan
pemberian terapi tambahan, dukungan psikiatri dan behavioral, dan akhirnya
terapi intervensional.Tujuan terapeutik dari terapi interbensional adalah untuk
membantu menghilangkan nyeri kanker dan menurunkan seluruh keperluan
analgesik yang secara langsung meminimalisir efek samping yang disebabkan
oleh opioid.
Terapi intervensional dibagi menjadi 3 kelompok yaitu teknik neurolitik atau
neuro ablasi, teknik neuromodulasi dan teknik pembedahan.Teknik neurolitik atau
neuroablasi adalah suatu prosedur untuk merusak struktur saraf yang terlibat
dalam pembentukan dan transmiri dari sinyal nyeri.Lesi neurolitik dapat
diciptakan dengan berbagai agen, diantaranya dengan zat kimia (gliserol, alcohol,
atau fenol) panas (koagulasi radiofrekuensi) atau dingin (cryotherapy).
Teknik neuromodulasi dilakukan berdasakan dasar teori Wall dan Melzack
mengenai pengontrol gerbang nyeri, Teori ini mengatakan bahwa seluruh akhir
serat saraf kecuali yang mempersarafi hair cell adalah serupa dan stimulasi
supratreshold pada reseptor nonspesifik dapat menginisiasi sinyal nyeri. Menurut
Melzack dan Wall, substantia gelatinosa berfungsi sebagai penjaga gerbang
primer dalam mentransmisikan nyeri dari sistem saraf perifer ke sistem saraf
pusat.Teknik neuromodulasi bertujuan untuk memodulasi sinyal nyeri sepanjang
jalur transmisi. Dalam teknik ini termasuk blok anestesi local, infus regional obat-
obatan spesifik secara epidural, intrathecal, intraventricular, atau daerah
perineural dan stimulasi elektrik pada system saraf pusat.
Teknik pembedahan adalah kelompok ketiga pada prosedur terapi
intervensional.Prosedur pembedahan ini mulai dari tindakan vertebroplasty
percutaneous invasive minimal sampai teknik invasive dekstruksi neurosurgical
yang paling ekstrim.Teknik neurosurgical ini termasuk percutaneous cordotomy,
thalamotomy, cingulotomy, hypophysectomy, dan trigeminal tarctomy.

48

BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : IKS
Umur : 72 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Bali
Agama : Hindu
Bangsa : Indonesia
Alamat : Banjar Ulun Desa, Beraban, Kediri, Tabanan
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Petani
No CM : 01.61.14.37
II. ANAMNESIS
Anamnesis Khusus
Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah pada tanggal 9 Januari 2013 dan
merupakan rujukan dari RS Wisma Prashanti dengan keluhan utama nyeri dada
kiri atas. Keluhan nyeri dirasakan sejak kurang lebih 2 bulan yang lalu dan
dirasakan menetap sepanjang hari.Keluhan nyeri dikatakan menjalar dari dada kiri
atas sampai dengan ke bahu kiri.Nyeri dikatakan sampai mengganggu aktivitas
dan tidur pasien.Nyeri yang dirasakan seperti tertusuk dan kadangkala seperti
terasa terbakar.
Pasien mengeluhkan batuk-batuk sudah sejak lebih dari 2 tahun tetapi dengan
frekuensi jarang.Keluhan batuk darah dan sesak nafas disangkal.Pasien juga
mengeluhkan terjadi penurunan berat badan secara drastis sekitar 6 bulan
terakhir.Nafsu makan dan minum pasien masih seperti biasanya
49

Pasien juga mengatakan BAK masih normal seperti sebelumnya dengan frekuensi
3-4 kali sehari dengan volume 1-2 gelas aqua, berwarna kekuningan dan tidak
pernah mengeluh mengalami nyeri, disertai darah ataupun keluar batu. Begitupula
dengan BAB, pasien masih mengatakan normal seperti biasa, baik dalam
frekuensi, volume, dan warna.

Anamnesis Umum
Riwayat penyakit sistemik : tidak ada
Riwayat operasi/anestesi sebelumnya : tidak ada
Riwayat alergi obat : tidak ada
Riwayat merokok/minum alkohol : tidak ada

III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Present
Kesadaran : Compos mentis (E4 V5 M6)
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu aksilla : 36,7 C
Nyeri (NRS) : 5 dari 10
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI : 21,48 kg/m
2
(Normal)



50

Pemeriksaan Fisik Umum
Sistem saraf pusat : Kesadaran: Compos Mentis (GCS E4V5M6), RP
+/+ isokor
Respirasi : Inspeksi : dinding dada simetris saat statis dan
dinamis, retraksi subcostal (-),
suprasternal (-) dan supraklavikula (-)
Palpasi : Vokal fremitus
N
N N
N N

Perkusi : sonor redup
sonor sonor
sonor sonor
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki +/+, wheezing
+/+

Sirkulasi : S1S2 tunggal regular murmur (-)
Ginjal : BAK spontan
Gastrointestinal : Disternsi (-), Bising usus (+) normal
Hepatobilier : Hepar dan lien tak teraba
Metabolik : normal
Muskuloskeletal : normal
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Rutin
Darah Lengkap (9 Januari 2013)
51

- WBC : 11,56 x 10
3
/uL (4,1 - 11,0x 10
3
/uL)
- RBC : 3,65 x 10
6
/uL (4,50-5,90x10
6
/uL)
- HGB : 9,60 g/dL (13,50 - 17,50 g/dL)
- HCT : 29,60 % (41,0 - 53,0 %)
- PLT : 598x10
3
/uL (150 440x10
3
/uL)
Kimia Klinik (9 Januari 2013)
- SGOT : 27,00 U/L (11,00-33,00 U/L)
- SGPT : 12,00 U/L (11,001-50,00 U/L)
- Total protein : 6,20 g/dL (6,40-8,30 g/dL)
- Albumin : 2,110 g/dL (3,40-4,80 g/dL)
- Globulin : 4,09 g/dL (3,20-3,70)
- Bun : 17,00 mg/dL (8,00-23,00)
- Creatinin : 1,01 mg/dL (0,7-1,2)
- Asam Urat : 6,60 mg/dL (2,00-7,00)
- GDS : 94,00 mg/dL (70,00-140,00)
Analisa Gas Darah (9 Januari 2013)
- pH : 7,45
- pCO2 : 38,0 mmHg
- pO2 : 82,00 mmHg
- HCO3
-
: 26,40 mmol/L
- TCO2 : 27,60 mmol/L
- BEecf : 2,40 mmol/L
- SpO2 : 97,00 %
- Natrium : 133,00 mmol/L
- Kalium : 4,10 mmol/L

Foto Thorax PA/lateral:
Kesan: Suspek massa paru lobus superior kiri segmen apicoposterior
Kompresi corpus vertebrae thoracalis VIII
52

MS CT Scan
Kesan: Tumor lobus superior kiri dengan pembesaran kelenjar hilus kiri, suspect
pancoast tumor dengan metastase ke tulang, pleural effusion kanan dengan
penebalan pleura, Atherosclerosis, Spondylosis thoracalis dengan
kompresi Th 8. Destruksi costae 1, 2, 3 kiri.
EKG: Normal Sinus Rhytm

V. ASSESMENT
Suspek Tumor Paru (S)
- Destruksi Costa I-II (S)
- Cancer Pain
- Anemia ringan NN ec suspek ACD
- Suspek metastase tulang

V. PENANGANAN
- MRS
- IVFD NACL 0,9% 20 tetes per menit
- MST tab 10 mg 2xI
- Coditam tablet 4xI

VI. Follow Up

Tanggal S O A P
10/1/20
13
Dikonsulkan
kepada Tim APS
Nyeri hebat, sulit
tidur
VAS: 4-7 cm

Nyeri sedang-
berat ec suspek
tumor paru S
- Stop coditam tablet
- MST 2x10 mg
- Amitriptylin 1x12,5
mg
- Paracetamol tablet
53

4x750 mg
- PCA morphine
(PCA mode 1 mg,
LOI 6 menit,
maximal dose 10
mg/4 jam)
11/1/20
13
Nyeri berulang,
tidak ada mual
dan muntah
VAS istirahat: 0
cm
VAS bergerak:
2 cm
TD: 100/70
mmHg
Nadi 70x/menit

Nyeri sedang-
berat ec suspek
tumor paru S
- PCA morphine
- MST 2x10 mg
- Amitriptylin 1x12,5
mg
- Paracetamol tablet
4x750 mg
12/1/20
13
Nyeri pada
punggung kiri.
Pasien bisa tidur
VAS: 1-2 cm Nyeri kronis
sedang-berat
ec suspek
tumor paru S
- PCA morphine
- MST 2x10 mg
- Amitriptylin 1x12,5
mg
- Paracetamol tablet
4x750 mg
13/1/20
13
Nyeri sudah
berkurang, tetapi
sering timbul
serangan nyeri
setiap 45 menit
VAS istirahat
dan bergerak: 0
mm
VAS
breakthrough
pain: 70/100
mm
PCA demand:
Total PCA:
Nyeri kronis
sedang-berat
ec suspek
tumor paru S
- PCA lanjut, PCA
dose 1 mg, max 10
mg/4 jam,
konsentrasi 1 mg/ml
- MST 15-15-30 mg
- Amitriptyline
1x12,5 mg
- Parasetamol 3x500
mg
54

45mg/3hari
PCA delivery:
rata-rata
kebutuhan
morphine IV
15 mg/24 jam
- Lactulac 2 cth

15/1/20
13
Nyeri berkurang
jauh dan
semakin jarang
menekan tombol
PCA. Malam
mulai bisa tidur
Kes: CM
Hemodinamik
Stabil
VAS diam: 28
mm/100mm
VAS
bergerak:43
mm/100mm
- PCA lanjut, PCA
dose 1 mg, max 10
mg/4 jam,
konsentrasi 1 mg/ml
- MST 15-15-30 mg
- Amitriptyline
1x12,5 mg
- Parasetamol 3x500
mg
- Lactulac 2 cth











55

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada bab sebelumnya telah dipaparkan sebuah kasus pada seorang laki-laki
berusia 72 tahun didignosis dengan Suspek Tumor Paru (S)dan kecurigaan adanya
metastase ke tulang yang ditandai adanya destruksi costa I-II (S) serta terdapat
anemia ringan normokromik mormositer dan nyeri kanker. Pada bab ini akan
dibahas mengenai nyeri kanker yang terjadi pada pasien ini dan manajemennya.
4.1 Idetifikasi dan Penilaian Nyeri Kanker
Nyeri merupakan gejala utama pada kanker tahap lanjut dan telah
bermetastasis.Gejala ini terjadi pada 50-75% dari keseluruhan pasien.Pada pasien
kanker, keluhan nyeri timbul sejak mulai terdiagnosis sampai akhir perjalanan
penyakit.Pada suatu metaanalisis terhadap 32 studi, prevalensi nyeri pada kanker
paru adalah sebesar 47%.Nyeri didapatkan sebanyak 27% pada pasien kanker
paru rawat jalan dan 76% pada mereka menjalankan terapi paliatif.Sebelas persen
diantaranya mengalami nyeri sebagai akibat dari perawatan terhadap kanker yang
diterimanya.Sedangkan pada suatu studi prospektif didapatkan pada 90% pasien
dengan kanker paru yang mendapat perawatan paliatif, lokasi yang paling umum
pada nyeri kanker adalah pada daerah dada dan punggung.
Keluhan nyeri yang timbul bervariasi, ada yang terus menerus dan ada pula yang
hilang timbul.Nyeri dapat berasal dari tumor primer itu sendiri atau dari
pertumbuhan kanker atau dari kerusakan jaringan dekat kanker.Pada kanker paru,
tumor melakukan invasi ke dinding dada, mengenai pleura, dan menimbulkan
nyeri.Selain itu, tumor juga dapat menyerang ke tulang dinding dada sehingga
menimbulkan nyeri.Nyeri pada kanker paru juga dapat terjadi karena metastasis,
misalnya metastasis ke tulang atau ke kepala.
Nyeri kanker tidak hanya disebabkan oleh efek fisik kanker yang terdapat dalam
tubuh, namun juga oleh substansi kimia yang dilepaskan lesi-lesi
metastasis.Misalnya, pada kanker yang telah bermetastasis ke tulang, terdapat
mekanisme pelepasan sitokin yang menyebabkan nyeri.Terkadang nyeri juga
56

timbul akibat toksisitas pengobatan yang dilakukan.Kemoterapi merupakan
metode pengobatan kanker yang salah satu toksisitas nonhematologinya mialgia
dan neuropati.Sedangkan pembedahan menimbulkan nyeri akibat luka sayatan
dan membutuhkan waktu yang lama untuk pulih.Radiasi juga menimbulkan nyeri.
Manifestasi nyeri bermacam-macam, ada yang terasa berat ada pula yang seperti
tertusuk jarum.Derajat nyeri juga berbeda-beda, ada yang ringan, sedang, dan
berat.Pada kanker paru, nyeri yang sulit diatasi adalah pleuretic pain atau nyeri di
pleura.Nyeri ini biasanya muncul karena penebalan pleura sehingga setiap kali
bernapas menimbulkan nyeri. Pasien yang mengalami nyeri berat akan mengalami
penurunan kualitas hidup yang ditandai dengan gangguan tidur dan penurunan
vitalitas.
Pada kasus ini, pasien mengeluh nyeri yang dirasakan sejak 2 bulan dan dirasakan
menetap sampai ketika dibawa ke rumah sakit.Ketika mendapat perawatan di
rumah sakit, pasien juga mengeluh adanya nyeri akut mendadak yang lebih hebat
dibandingkan sebelumnya atau yang disebut juga dengan breakthrough
pain.Breakthrough pain adalah suatu peningkatan intensitas nyeri secara tiba-tiba
dari level baseline nyeri yang tidak lebih dari level sedang. Selain itu pasien juga
mengeluhkan timbulnya nyeri yang intermiten setiap 45 menit sekali.Sesuai
dengan penjelasan sebelumnya nyeri kanker dapat merupakan kombinasi dari
beberapa komponen nyeri akut, intermiten (berselang/hilang-muncul/sementara)
dan kronis.
Berdasarkan lokasinya, nyeri yang dikeluhkan pada pasien adalah nyeri pada
daerah dada kiri dan bahu kiri.Berdasarkan teori pada tinjauan pustaka, nyeri
dialami oleh 90% pasien kanker paru yang sedang mengalami perawatan paliatif
dan lokasi yang tersering adalah pada daerah dada dan punggung. Faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap nyeri yang dialami pasien ini adalah selain dari faktor
tumor primer itu sendiri, juga faktor pertumbuhan kanker atau dari kerusakan
jaringan dekat kanker, tumoryagmelakukan invasi ke dinding dada, mengenai
pleura, dan menimbulkan nyeri. Selain itu pada pemeriksaan radiologi dengan
foto rontgen dada dan MS-CT scan yang telah dilakukan pada pasien didapatkan
adanya tanda-tanda metastase, seperti destruksi tulang kosta I-II sinistra dan
57

adanya kompresi korpus vertebrae VIII. Hal-hal ini juga dapat berkontribusi
terhadap timbulnya nyeri pada pasien.
Pada pemeriksaan skala nyeri yang dilakukan kepada pasien, digunakan dua
metode pemeriksaan yaitu dengan menggunakan skala Numerical Rating Scale
ketika pasien dirawat di UGD dan menggunakan skala Visual Analogue Scale
ketika dirawat di ruangan. Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan
didapatkan skala nyeri pasien ketika berada di UGD adalah 5 dari 10 berdasarkan
sekala NRS sedangkan ketika pasien pasien dikonsulkan kepada tim Acute Pain
Service nyeri yang dirasakan mencapai skala 7 cm dari 10 cm berdasarkan skala
VAS. Berdasarkan tinjauan pustaka, dapat disimpulkan bahwa skala nyeri ketika
pasien di UGD masih tergolong dalam nyeri sedang dan ketika pasien
dikonsulkan kepada tim APS nyeri pasien tergolong nyeri berat.

4.2 Manajemen Nyeri Kanker
Tata laksana nyeri mencakup terapi farmakologis dan non farmakologis.World
Health Organization (WHO) telah memberikan pedoman terapi farmakologis
untuk nyeri yang digambarkan sebagai stepladder (anak tangga).Seperti terlah
dibahas sebelumnya penanganan nyeri kanker dapat dibagi menjadi terapi
nonintervensional atau farmakologis dan terapi intervensional.Dalam penanganan
nyeri kanker nonintervensional, WHO menerapkan a three step ladder, yaitu 3
langkah bertahap penanganan nyeri sesuai dengan tingkatan nyeri yang dialami
pasien.Untuk nyeri ringan dengan skala kurang dari 3 pada skala nyeri NRS
diberikan pilihan analgesik nonopioid dan pengobatan tambahan. Untuk nyeri
sedang dengan skala 3-6 pada skala nyeri NRS dapat digunakan analgesik weak
opioid, opioid non analgesik, dan pengobatan tambahan. Sedangkan untuk nyeri
berat dengan skala nyeri 7-10 pada skala NRS dapat digunakan analgesik
strong opioid, analgesik nonopioid, dan pengobatan tambahan.
Pada kasus ini, pasien mengeluhkan nyeri yang cukup hebat dimana nyeri tersebut
sampai membuat pasien tidak dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari dan
mengganggu tidur pasien.Ketika dilakukan pemeriksaan fisik di UGD didapatkan
skala nyeri yang dialami pasien adalah 5 dari 10 pada skala NRS, yang dapat
58

disimpulkan nyeri pasien tergolong dalam nyeri sedang ketika dirawat di
UGD.Adapun pilihan analgesia yang diberikan kepada pasien ketika dirawat di
UGD adalah MST tab 10 mg 2x1 dan Coditam tab 4x1.Jika dilihat berdasarkan
panduan WHO, penanganan untuk nyeri sedang adalah menggunakan golongan
weak opioid dan dapat ditambah dengan analgesi non opioid dan pengobatan
tambahan. Adapun penanganan yang diberikan kepada pasien tidak sesuai dengan
panduan WHO, dimana pasien diberikan weak opioid dan strong opioid
secara bersamaan. Coditam adalah obat dengan komposisi campuran codein 30
mg dan paracetamol 500 mg dengan waktu paruh 4-6 jam, oleh karena itu obat ini
termasuk kedalam golongan weak opioid. Sedangkan MST adalah obat dengan
komposisi morphine sulfat dengan sediaan yang tersedia 10mg, 30mg, dan 60 mg
dengan waktu paruh 12 jam, oleh karena itu obat ini dapat digolongkan strong
opioid.
Selanjutnya pada saat follow up pasien diruangan, pasien mengeluhkan nyeri yang
lebih hebat dari sebelumnya. Pasien kemudian dikonsulkan kepada tim Acute Pain
Service dan setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan skala nyeri pasien
mencapai 7 cm dari 10 cm menurut skala VAS dengan rentangan 4-7 cm dari 10
cm. Pasien didiagnosis dengan nyeri kanker menengah-berat. Penanganan yang
diberikan kepada pasien oleh tim APS adalah MST tablet 2x10 mg, Amitrptyline
1x12,5 mg, Paracetamol tablet 4x750 mg, serta diberikan PCA Morphine,
sedangkan coditam dihentikan. Berdasarkan penanganan WHO, penanganan nyeri
kanker berat menggunakan strong opioid dan dapat ditambah dengan analgesik
non opioid dan pengobatan tambahan. Pengobatan yang diberikan oleh tim APS
sudah sesuai dengan panduan WHO dengan memberikan strong opioid,
analgesik non opioid, dan pengobatan tambahan sekaligus. MST dan PCA
morphine termasuk dalam golongan strong opioid, paracetamol adalah
analgesik non opioid, dan amitryptiline adalah salah satu obat yang masuk dalam
pengobatan tambahan yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka.
Penderita juga diberikan terapi ajuvan antidepressant amitriptilin.Antidepresan
trisiklik (TCA) (misalnya amitriptyline, nortriptyline, desipramine) dan
antikonvulsan (misalnya carbamazepine, valproate, fenitoin, gabapentin) secara
tradisional telah digunakan sebagai pengobatan awal untuk nyeri neuropatik.Dosis
59

obat-obat ini untuk pengobatan nyeri neuropatik biasanya di bawah dosis yang
digunakan untuk mengobati kejang atau depresi. Jika pasien dengan gangguan
tidur, seperti pada nyeri neuropatik pemberian obat ini cukup masuk akal dan
dimulai dengan TCA pada dosis rendah (misalnya, amitriptyline 10 atau 25 mg)
dan titrasi secara bertahap untuk memperoleh efek yang maksimal.

Efek samping dari opioid dapat diatasi dengan berbagai cara. Efek samping dari
opioid yang dapat antara lain adalah depresi nafas, konstipasi, mual muntah dan
pruritus.Dalam kasus pasien diberikan lactulac 2x1, yang merupakan laxative
yang berfungi untuk mencegah konstipasi yang dapat terjadi pada pasien akibat
pemberian opioid. Keluhan lain akibat opioid seperti mual, muntah dan pruritud
tidak dikeluhkan pasien.
















60

BAB V
PENUTUP
Nyeri merupakan salah satu keluhan yang sering dikeluhkan pada seseorang yag
mengidap kanker, selain gejala gangguan fisik yang beranekaragam akibat dari
penyakit kanker itu sendiri. Keluhan nyeri pada kanker sering dianggap yang
paling penting. Nyeri yang tidak teratasi akan mempengaruhi kualitas hidup dan
menurunkan kemampuan dalam menjalani terapi untuk kembali sehat ataupun
untuk mendapat proses kematian yang tenang.
Nyeri kanker tidak hanya disebabkan oleh efek fisik kanker yang terdapat dalam
tubuh, namun juga oleh substansi kimia yang dilepaskan lesi-lesi
metastasis.Misalnya, pada kanker yang telah bermetastasis ke tulang, terdapat
mekanisme pelepasan sitokin yang menyebabkan nyeri.Terkadang nyeri juga
timbul akibat toksisitas pengobatan yang dilakukan.Kemoterapi merupakan
metode pengobatan kanker yang salah satu toksisitas nonhematologinya mialgia
dan neuropati.Sedangkan pembedahan menimbulkan nyeri akibat luka sayatan
dan membutuhkan waktu yang lama untuk pulih.Radiasi juga dapat menimbulkan
nyeri.
Nyerimerupakanmasalahyang sangatsubjektifyang dipengaruhiolehpsikologis,
kebudayaan dan hallainnya, sehingga mengukurintensitas nyerimerupakan
masalahyang relatifsulit.Oleh karena itu, dalam menganalisa nyeri yang dialami
pasien diperlukan teknik anmnesis yang tepat dan menggunakan beberapa
pengukuran skala nyeri untuk menentukan intensitas nyeri yang dialami pasien.
Metode yang dapat digunakan adalah Verbal Rating Scales, Numerical Rating
Scales, Visual Analogue Scales, McGill Pain Questionaires, dan Facial Rating
Scales.
Penangangan terhadap nyeri kanker dapat dibagi menjadi dua yaitu
nonintervensional dan intervensional. Penanganan nonintervensional
(farmakologis) telah disusun oleh WHO menjadi suatu panduan praktis yang
dapat diterapkan secara luas diseluruh dunia yang dikenal dengan WHO Three
Step ladder Analgesia yang membagi penatalaksanaan berdasarkan intensitas
nyeri yang dialami pasien mulai dari nyeri kanker ringan sampai berat.
61

DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan, G.E., Pain Management,In:Clinical Anesthesiology4
th
ed.
Stamford: Appleton andLange, 2006, 274-316
2. Damayani Farastuti dan Endang Windiastuti. Penanganan Nyeri pada
Keganasan. Sari Pediatri, Vol. 7, No. 3, Desember 2005: 153 159
3. Ripamonti, et al. Management of cancer pain: ESMO Clinical
PracticeGuidelines. Annals of Oncology 22 (Supplement 6): vi69vi77,
2011
4. Arnold. The World Health Organization: Three-step Analgesic Ladder
Comes of Age. Palliative Medicine 2004; 18: 175-/176
5. Mangku,G., Diktat Kumpulan Kuliah, Bagian/SMFAnestesiologi dan
ReanimasiFakultasKedokteranUniversitasUdayana, Denpasar, 2002.
6. Benzon, et al., TheAssesment of Pain, In Essential of Pain Medicineand
RegionalAnaesthesia,2
nd
ed, Philadelphia, 2005
7. Latief, S.A., Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II, Bag Anestesiologi
dan TerapiIntensif FK UI, Jakarta, 2001
8. Avidan, M., Pain Managemnet, In PerioperativeCare, Anaesthesia,
PainManagement and IntensiveCare,London, 2003,78-102
9. Nicholls, AJdan Wilson, IH., Manajemen nyeri akut, in Kedokteran
Perioperatif, Darmawan,Iyan(ed),Farmedia, Jakarta, 2001, bab 14, 57-
69.
10. Longnecker, et al. 2008. Anesthesiology. New York: The Mc Graw Hill
Companies.
11. Schumacher MA, Basbaum AI, Way WL. Opioid Analgesic and
Antagonists. In: Katzung Basic and Clinical Pharmacology, 10
th
ed.
Singapore: McGraw Hill, 2004.
12. Trescot AM, Datta S, Lee M, et al. Opioid Pharmacology. Journal of Pain
Physician. Vol. 11. No. 133-153. Pp.1-22, 2008.
13. Pedro Schestatsky, Osvaldo Jos M. Nascimento, What do general
neurologists need to knowabout neuropathic pain. Arq Neuropsiquiatr
2009;67(3-A):741-749
62

14. Patricia H. Berry, Pain: Current Understanding of Assessment,
Management, and Treatments. National Pharmaceutical Council:2001
15. Macintyre PE, Schug SA, Scott DA, Visser EJ, Walker SM; APM:SE
Working Group of the Australian and New Zealand College of
Anaesthetists and Faculty of Pain Medicine (2010), Acute Pain
Management: Scientific Evidence (3rd edition), ANZCA & FPM,
Melbourne.
16. R.Munglani.Biomolekuler of pain.British Journal of Anaesthesia. 1995 :
75 : 186-192
17. Robert Swarm,et all. Adult Cancer Pain. J Natl Compr Canc Netw.
2010;8:1046-1086

Anda mungkin juga menyukai