Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Individu mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 2006). Isolasi sosial adalah suatu keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Isolasi sosial atau perilaku menarik diri merupakan salah satu respon maladaptif dalam rentang respon sosial seseorang (Purba, 2008) Isolasi sosial adalah suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifeetasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang, 2007).
B. ETIOLOGI ISOLASI SOSIAL a. Faktor Predisposisi 1. Faktor perkembangan Kemampuan individu untuk membina hubungan interpersonal yang positif, tergantung dari pengalaman individu tersebut selama proses tumbuh kembang. Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi akan menghambat proses perkembangan selanjutnya. Kurangnya stimulasi, kasih sayang dan perhatian dari orang tua atau pengasuh akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya terhadap orang lain (Stuart, 2006). 2. Faktor biologi Genetik merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya gangguan jiwa. Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan gangguan jiwa berat (Stuart, 2006). 3. Faktor sosiokultural Beberapa faktor sosial budaya yang dikaitkan dengan terjadinya isolasi sosial meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan keyakinan. Faktor pendidikan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Sedangkan faktor usia berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menghadapi berbagai macam stressor, kemampuan memanfaatkan sumber dukungan dan ketrampilan dalam mekanisme koping. Isolasi sosial merupakan faktor utama yang menyebabkan gangguan pada individu dalam membina hubungan dengan orang lain (Stuart, 2006). b. Faktor Presipitasi Faktor presipitasi pada umumnya mencakup peristiwa dalam kehidupan yang menimbulkan stress seperti kehilangan orang terdekat. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan individu untuk membina hubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas. Faktor presipitasi dapat bersifat stressor biologis, psikologis, serta sosial budaya yang berasal dari dalam diri individu maupun dari lingkungan eksternal individu. Selain sifat dan asal stressor, waktu dan jumlah stressor juga merupakan komponen faktor presipitasi. Dimensi waktu meliputi kapan stressor terjadi, seberapa lama terpapar stressor, dan frekuensi terpapar stressor (Surtiningrum, 2011). 1. Stressor biologis Stressor biologis yang berkaitan dengan terjadinya isolasi sosial meliputi penyakit infeksi, penyakit kronis dan adanya kelainan struktur otak. Kondisi tersebut dapat menyebabkan seseorang malu dan merasa tidak berguna yang dimanifestasikan dengan perilaku menarik diri dari lingkungan sosial (Surtiningrum, 2011). 2. Stressor psikologis Respon sosial maladapif merupakan hasil pengalaman negatif yang mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Stressor psikologis dapat berupa kondisi seperti ketidakpuasan kerja dan kesendirian. Perpisahan individu dengan orang terdekat atau orang yang dicintainya dapat menimbulkan ansietas. Individu yang mengalami ansietas berat dalam waktu yang lama dan terjadi bersaman dengan keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya dapat menyebabkan gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain (Stuart, 2006). 3. Stressor sosial budaya Stress dapat ditimbulkan oleh menurunnya stabilitas unit keluarga, seperti hubungan yang tidak harmonis antar anggota keluarga dan berpisah dari orang yang dicintai. Stressor lain yang dapat menjadi pencetus terjadinya perilaku isolai sosial adalah kondisi lingkungan yang bermusuhan, lingkungan penuh dengan kritik, tekanan ditempat kerja atau kesulitan mendapatkan pekerjaan, kemiskinan, dan stigma yang ada di lingkunggan tempat tinggal seseorang (Stuart, 2006).
C. RENTANG RESPON SOSIAL
Adapun rentang sosial dari adaptif sampai terjadi respon yang maladaptif (Stuart & Sundeen, 2006), yaitu :
Respons Adaptif Respons Maladaptif
a. Solitude atau menyendiri Merupakan respon yang dilakukan individu untuk merenungkan apa yang telah terjadi atau yang telah dilakukan di lingkungan sosial dan merupakan suatu cara mengevaluasi diri dalam menentukan langkah selanjutnya (Townsend, 2009). b. Autonomy atau otonomi Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial (Townsend, 2009). c. Mutuality atau kebersamaan Merupakan suatu kondisi dalam hubungan interpersonal, dimana individu tersebut mampu untuk saling menerima dan memberi (Townsend, 2009). d. Interdependen atau saling tergantung Merupakan suatu kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam membina hubungan interpersonal (Townsend, 2009). e. Kesepian Kesepian adalah suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain (Townsend, 2009). f. Menarik diri Solitude Autonomy Mutuality Interdependent
Manipulasi Impulsif Narkisisme Kesepian Menarik diri Dependent Merupakan gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan dengan orang lain dan mencari ketenangan untuk sementara waktu (Stuart, 2006). g. Dependent Adalah suatu kondisi dimana individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang dimiliki dalam menyelesaikan masalah, sehingga dia selalu membutuhkan orang lain dalam menyelesaikan masalahnya (Townsend, 2009). h. Manipulasi Merupakan gangguan dalam hubungan sosial, dimana individu memperlakukan orang lain sebagai obyek, hubungan terpusat pada masalah mengendalikan orang lain. Tingkah laku mengontrol digunakan sebagai pertahanan terhadap kegagalan atau frustasi dan dapat menjadi alat untuk berkuasa pada orang lain (Stuart, 2006). i. Impulsif Merupakan respon maladaptif sosial yang ditandai dengan individu sebagai subyek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu merencanakan, tidak mampu untuk belajar dari pengalaman dan rendah dalam hal penilaian (Stuart, 2006). j. Narkisisme Merupakan respon maladaptif sosial yang ditandai dengan individu memiliki tingkah laku egosentris, harga diri yang rapuh, terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan mudah marah jika tidak mendapat dukungan dari orang lain (Stuart, 2006).
D. PROSES TERJADINYA ISOLASI SOSIAL Setiap individu akan menghadapi berbagai stressor disetiap proses tumbuh kembang sepanjang kehidupannya. Kegagalan yang terjadi secara terus menerus dalam menghadapi stresor dan penolakan dari lingkungan sosial akan mengakibatkan individu tidak mampu berpikir logis. Individu akan berpikir bahwa dirinya tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan perannya sesuai tahap tumbuh kembang. Kondisi ini apabila dibiarkan akan menyebabkan individu mengalami harga diri rendah yang kronis. Sehingga individu akan merasa tidak berguna, malu untuk berinteraksi dengan orang lain serta tidak percaya diri yang dimanifestasikan dengan perilaku menarik diri dari lingkungan sosial (Yosep, 2009).
E. TANDA DAN GEJALA ISOLASI SOSIAL Tanda dan gejala isolasi sosial menurut NANDA, (2012); Townsend, (2009) dan Keliat, dkk (2005), dapat dikelompokkan meliputi tanda dan gejala fisik, kognitif, perilaku dan afektif. Berikut ini dijelaskan tanda dan gejala isolasi sosial secara rinci: 1. Tanda dan gejala fisik Tanda dan gejala fisik merupakan manifestasi respon fisiologis tubuh terhadap masalah isolasi sosial yang ditandai dengan kurang energi, lemah, insomnia/hipersomia, penurunan atau peningkatan nafsu makan. Klien malas beraktivitas, kurang tekun bekerja dan sekolah, dan kesulitan melaksanakan tugas yang komplek (Keliat, 2005; Townsend, 2009; NANDA, 2012). 2. Tanda dan gejala kognitif Tanda dan gejala kognitif pada klien isolasi sosial misalnya klien merasa ditolak oleh orang lain, merasa orang lain tidak bisa mengerti dirinya, merasa tidak aman jika berdekatan dengan orang lain, merasa hubungannya tidak berarti dengan orang lain, tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan, merasa tidak memiliki tujuan hidup. Klien menjadi kebingungan, kurangnya perhatian, merasa putus asa, merasa tidak berdaya, dan merasa tidak berguna (Keliat, 2005; Townsend, 2009; NANDA, 2012). 3. Tanda dan gejala perilaku Tanda dan gejala perilaku dihubungkan dengan tingkah laku yang ditampilkan atau kegiatan yang dilakukan oleh klien berkaitan dengan pandangannya terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Pada klien isolasi sosial perilaku yang ditampilkan yakni kurangnya aktifitas, menarik diri, tidak/jarang berkomunikasi dengan orang lain, tidak memiliki teman dekat, melakukan tindakan berulang dan tidak bermakna, kehilangan gerak dan minat, menjauh dari orang lain, menunjukkan perilaku bermusuhan, menolak berhubungan dengan orang lain, menunjukkan perilaku yang tidak dapat diterima oleh kelompok dominan, tidak ada kontak mata, dan berdiam diri di kamar (Keliat, 2005; Townsend, 2009; NANDA, 2012). 4. Tanda dan gejala afektif Tanda dan gejala afektif terkait dengan respon emosi seseorang dalam menghadapi masalah. Respon emosi sangat bergantung dari lama dan intensitas dari stressor yang diterima dari waktu ke waktu. Tanda dan gejala yang ditunjukkan klien isolasi sosial meliputi perasaan yang sedih, afek tumpul, kurang motivasi, serta merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu. Rasa sedih karena kehilangan terutama terhadap sesuatu yang berarti dalam kehidupan. Hal ini seringkali menyebabkan seseorang menjadi takut untuk menghadapi kehilangan berikutnya.
F. PENATALAKSANAAN ISOLASI SOSIAL Jenis penatalaksanaan yang biasa dilakukan dalam kelompok penyakit skizofrenia termasuk isolasi sosial adalah : A. Psikofarmaka Adalah terapi dengan menggunakan obat, tujuannya untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gejala gangguan jiwa. Yang tergolong dalam pengobatan psikofarmaka antara lain : 1. Chlorpromazine (CPZ) Atas indikasi untuk sindrom psikosis yaitu berdaya berat untuk menilai realistis, waham halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku atau tidak terkendali tidak mampu bekerja. Dengan efek samping hipotesis, epilepsy, kelainan jantung, febris, ketergantungan obat. 2. Haloperidol (HLP) Atas indikasi berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental serta dalam fungsi kehidupan sehari hari dengan efek samping yaitu : penyakit hati, penyakit darah ( anemia, leucopenia, agranulositosis), epilepsy, kelainan jantung, febris, dan ketergantungan obat. 3. Tryhexipenidil (THP) Atas indikasi segala jenis perkinson, termasuk pasca encephalitis dengan efek samping yaitu mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urin. Kontra indikasinya yaitu hipersensitif terhadap tryhexipenidil, glukosa sudut sempit, hipertropi prostate dan obstruksi saluran cerna. B. Pemeriksaan Penunjang (ECT / Psikotherapy) Merupakan pengobatan untuk menurunkan kejang grandial yang menghasilkan efek samping tetapi dengan menggunakan arus listrik. Tujuan untuk memperpendek lamanya skizofrenia dan dapat mempermudah kontak dengan orang lain. Dengan kekuatan 75 100 volt, ECT diberikan pada klien dengan indikasi depresi berat dan terapi obat sebelumnya tidak berhasil, klien akan beresiko bunuh diri dan skizofrenia akut. C. Prinsip Keperawatan Menerapkan teknik terapeutik, melibatkan keluarga, kontak sering tetapi singkat, peduli, empati, jujur, menepati janji, memenuhi kebutuhan sehari-hari, libatkan klien TAK.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL
1. KASUS (MASALAH UTAMA) Isolasi Sosial : Menarik diri 2. POHON MASALAH DPD Gangguan sensori presepsi halusinasi intoleran aktifitas Isolasi sosial Gangguan konsep diri harga diri rendah
Koping individu tidak efektif koping keluarga tidak efektif
Pengkajian a. Identitas klien 1) Perawat yang merawat melakukan kontak dengan klien tentang : nama klien, nama panggilan klien, nama perawat, panggilan perawat, tujuan, waktu, tempat pertemuan, topik pembicaraan. 2) Usia 3) Nomor rekam medik 4) Perawat menuliskan sumber data yang didapat b. Keluhan utama/alasan masuk Menanyakan pada klien atau keluarga penyebab klien datang ke rumah sakit saat ini dan bagaimana koping keluarga yang sudah dilakukan untuk mengatasi masalah ini dan bagaimana hasilnya. c. Faktor predisposisi Tanyakan pada klien / keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu, pernah melakukan, mengalami, menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal, baik itu yang dilakukan, dialami , disaksikan oleh orang lain, apakah ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, pengalaman yang tidak menyenangkan. d. Aspek fisik Meliputi pengukuran tanda vital, tinggi badan, berat badan dan adanya keluhan fisik, misalnya tampak lemah, letih dan sebagainya. e. Aspek psikososial 1). Membuat genogram yang memuat minimal 3 generasi yang menggambarkan hubungan klien dengan keluarganya yang terkait dengan komunikasi, pengambilan keputusan, pola asuh, pertumbuhan individu dan keluarga. 2). Konsep diri, meliputi : Kaji lebih dalam secara bertahap dengan komunikasi yang sering dan singkat, meliputi : a). Citra tubuh Tanyakan dan observasi persepsi pasien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai. b). Identitas diri Tanyakan dan observasi tentang status dan posisi klien sebelum dirawat, kepuasan klien terhadap status dan posisinya (sekolah, tempat kerja, kelompok), kepuasan klien sebagai perempuan atau laki- laki. c). Peran Tanyakan tentang tugas / peran yang diemban dalam keluarga/kelompok, kemampuan klien dalam melaksanakan tugas / peran. d). Ideal diri Tanyakan tentang harapan terhadap tubuh; posisi, status, tugas/peran dan harapan klien terhadap lingkungan (keluarga, sekolah, tempat kerja, masyarakat). e). Harga diri. Tanyakan dan nilai melalui observasi lingkungan hubungan klien dengan orang lain sesuai dengan kondisi no. 2). (a), (b), (c) dan penilaian/penghargaan orang lain terhadap diri dan kehidupannya. 3). Hubungan sosial (di rumah dan di rumah sakit) a). Tanyakan pada klien / keluarga siapa orang yang paling berarti dalam kehidupannya, tempat mengadu, tempat bicara, minta bantuan atau sokongan. b). Tanyakan pada klien / keluarga, kelompok apa saja yang diikuti dalam masyarakat. c). Tanyakan pada klien / keluarga pada klien sejauh mana klien terlibat dalam kelompok di masyarakat. 4). Spiritual, meliputi pandangan, nilai dan keyakinan klien terhadap gangguan jiwa sesuai dengan agama yang dianut, kegiatan ibadah yang biasa dilakukan di rumah.
f. Status mental Nilai aspek-aspek meliputi : 1). Penampilan (rapi / tidak) , penggunaan dan cara berpakaian. 2). Pembicaraan; cepat, keras, gagap, membisu, apatis, lambat, inkoheren, atau tidak dapat memulai pembicaraan. 3). Aktifitas motorik; tampak adanya kelesuan, ketegangan, kegelisahan, agitasi, tik (gerakan involunter pada otot), grimasen (gerakan otot muka yang berubah-ubah yang tidak dapat dikontrol klien), tremor atau kompulsif. 4). Alam perasaan; sedih, gembira, putus asa, ketakutan, atau khawatir. 5). Afek; datar, tumpul, labil, tidak sesuai. 6). Interaksi selama wawancara; bermusuhan, tidak kooperatif, kontak mata kurang, defensif, curiga atau mudah tersinggung. 7). Persepsi; menentukan adanya halusinasi dan jenisnya. 8). Proses pikir; sirkumstansial (pembicaraan berbelit-belit, tapi sampai pada tujuan pembicaraan), tangensial (pembicaraan berbelit-belit tidak sampai pada tujuan pembicaraan), kehilangan asosiasi (pembicaraan yang tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya), flight of ideas (pembicaraan yang meloncat-loncat), blocking (pembicaraan terhenti sejenak tanpa gangguan eksternal, kemudian dilanjutkan kembali), perseverasi (pembicaraan yang diulang berkali-kali). 9). Isi pikir; obsesi (pikiran yang selalu muncul walaupun klien berusaha menghilangkannya), phobia (ketakutan patologis pada objek / situasi tertentu), hipokondria (keyakinan terhadap adanya gangguan organ di dalam tubuh yang sebenarnya tidak ada), depersonalisasi (merasa asing terhadap diri sendiri, orang lain atau lingkungan), ide yang terkait (keyakinan klien terhadap kejadian yang banyak di lingkungan yang bermakna dan terkait pada dirinya), pikiran magis dan waham. 10). Tingkat kesadaran; bingung, sedasi, stupor, orientasi waktu, tempat dan orang. 11). Memori; adanya gangguan daya ingat jangka panjang, gangguan daya ingat jangka pendek, gangguan daya ingat saat ini, konfabulasi. 12). Tingkat konsentrasi dan berhitung; perhatian klien yang mudah dialihkan, tidak mampu memperbaiki, tidak mampu berhitung. 13). Kemampuan penilaian; gangguan penilaian ringan dan gangguan kemampuan penilaian bermakna. 14). Daya tilik diri; pengingkaran terhadap penyakit yang diderita, menyalahkan hal-hal di luar dirinya. g. Kebutuhan persiapan pulang Observasi kemampuan klien akan; makan, BAB/BAK, mandi, berpakaian, istirahat dan tidur, penggunaan obat, pemeliharaan kesehatan, aktifitas di dalam dan di luar rumah h. Mekanisme koping Kaji koping adaptif ataupun maladaptif yang biasa digunakan klien dengan menarik diri, seperti regresi (kemunduran ke tingkat perkembangan yang lebih rendah dengan respon yang kurang matang), represi (koping yang menekan keadaan yang tidak menyenangkan ke alam bawah sadar), isolasi (respon memisahkan diri dari lingkungan sosial). i. Aspek medik Jenis obat-obatan klien saat ini, baik obat fisik, psikofarmaka dan terapi lainnya. Data yang didapat dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu data objektif dan subjektif. Data objektif ditemukan secara nyata dan didapatkan melalui observasi atau pemeriksaan langsung, sedangkan data subjektif merupakan data yang disampaikan oleh klien secara lisan dan keluarga yang didapat melalui wawancara perawat kepada klien dan keluarga.
3. DATA YANG PERLU DIKAJI Isolasi sosial adalah keadaan di mana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. Untuk mengkaji pasien isolasi sosial perawat dapat menggunakan wawancara dan observasi kepada pasien dan keluarga. Tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan dengan wawancara, adalah: Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain Pasien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan Pasien merasa tidak berguna Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini dapat perawat tanyakan pada waktu wawancara untuk mendapatkan data subyektif: Bagaimana pendapat pasien terhadap orang-orang di sekitarnya (keluarga atau tetangga)? Apakah pasien mempunyai teman dekat? Bila punya siapa teman dekat itu? Apa yang membuat pasien tidak memiliki orang yang terdekat dengannya? Apa yang pasien inginkan dari orang-orang di sekitarnya? Apakah ada perasaan tidak aman yang dialami oleh pasien? Apa yang menghambat hubungan yang harmonis antara pasien dengan orang sekitarnya? Apakah pasien merasakan bahwa waktu begitu lama berlalu? Apakah pernah ada perasaan ragu untuk bisa melanjutkan kehidupan? Tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat diobservasi: Tidak memiliki teman dekat Menarik diri Tidak komunikatif Tindakan berulang dan tidak bermakna Asyik dengan pikirannya sendiri Tak ada kontak mata Tampak sedih, afek tumpul
4. DIAGNOSA KEPERAWATAN SESUAI PRIORITAS a. Isolasi Sosial Menarik Diri b. Ganguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah c. Resiko Ganguan Sensori Persepsi : Halusinasi
5. RENCANA KEPERAWATAN Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional Isolasi sosial berhubungan dengan status mental harga diri rendah TUM : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 5x pertemuan: - Pasien dapat 1. Beri kesempatan klien mengungkapkan perasaannya 2. Bimbing klien mengungkapkan 1. Dengan mengungkapkan perasannya beban klien akan berkurang 2. Lingkungan yang menyadari penyebab isolasi sosial - Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain serta lngkungan
TUK 1 : - Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat perasannya dengan menggunakan pertanyaan terbuka) 3. Ciptakan lingkungan yang tenang dengan cara mengurangi stimulus eksternal yang berlebihan dalam interaksi tenang mampu membantu klien dalam memfokuskan pikirannya TUK 2: Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki 1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien 2. Hindari memberi penilaian negatif 3. Diskusikan kemampuan yang masih dimiliki klien dalam melaksanakan kegiatan sehari- hari 1. Memotivasi klien memandang dirinya secara positif 2. penilain negatif semakin menambah rasa tidak percaya diri klien 3. Kemampuan dalam melaksanakan kegiatan meningkatkan harga diri klien
TUK 3: Klien dapat menyadari penyebab isolasi sosial, keuntungan dan 1. Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain 1. Memberikan informasi tentang respon sosial dan keyakinan klien sebagai dasar kerugian berinteraksi dengan orang lain 2. Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi dengan orang lain 3. Diskusikan keuntungan bila pasien mempunyai banyak teman dan bergaul akrab dengan mereka 4. Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul dengan orang lain tindakan koping yang adaptif 2. Mengetahui respon maladaptif dari pasien dan berusaha memperbaikinya 3. Mengetahui kopinmg dari klien dan berusaha menguatkan koping yang adaptif dari pasien 4. Memperbaiki koping yang maladaptif dari pasien TUK 4: Klien dapat membuat rencana kegaiatan yang realistis sesuai kemauan dan kemampuan klien 1. Bimbing klien untuk dapat menentukan keinginanya dalam beraktivitas( berolahraga,mera wat diri) 2. Berikan contoh cara berinteraksi dengan orang lain 3. Berikan kesempatan pasien mempraktekan cara berinteraksi 1. Memberikan klien gambaran tentang kemampuannya 2. memberikan role model bagi klien sehingga mudah bagi klien untuk melakukan kegiatan/berintera ksi 3. Memberikan klien gambaran tentang kemampuannya dan penilain terhadap dirinya dengan orang lain yang dilakukan dihadapan perawat TUK 5 : Klien mendapatkan dukungan keluarga dalam meningkatkan harga dirinya 1. Anjurkan keluarga untuk dapat memotivasi klien untuk melakukan aktivitas 2. Anjurkan agar keluarga dapat menyediakan fasilitas yang terkait dengan kegiatan 1. Keluarga mempunyai arti yang penting bagi klien 2. Mendukung klien dalam melakukan aktivitasnya
Tindakan Keperawatan Untuk Pasien Tindakan Keperawatan untuk keluarga SP 1 1. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien 2. Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berintraksi dengan orang lain 3. Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain 4. Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang 5. Menganjurkan pasien memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan orang lain dalam kegiatan harian SP 1 1. Menjelaskan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien 2. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami pasien serta proses terjadinya 3. Menjelaskan cara merawat pasien dengan isolsi sosial SP 2 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien 2. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang 3. Membantu pasien memasukkan SP 2 1. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan isolasi sosial 2. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung pasien isolasi sosial kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian SP 3 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien 2. Memberi kesempatan kepada pasien untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih 3. Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian SP 3 1. Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat (dischange planning) 2. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
PENERAPAN SP PADA KLIEN DENGAN ISOLASI SOSIAL
SP 1 Klien : Membina hubungan saling percaya, membantu klien mengenal penyebab isolasi sosial, membantu klien mengenal keuntungan berhubungan dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, dan mengajarkan klien berkenalan
Orientasi (Perkenalan): Assalammualaikum Saya H .., Saya senang dipanggil Ibu Her , Saya perawat di Ruang Mawar ini yang akan merawat Ibu. Siapa nama Ibu? Senang dipanggil siapa? Apa keluhan S hari ini? Bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang keluarga dan teman-teman S? Mau dimana kita bercakap-cakap? Bagaimana kalau di ruang tamu? Mau berapa lama, S? Bagaimana kalau 15 menit Kerja: (Jika klien baru) Siapa saja yang tinggal serumah? Siapa yang paling dekat dengan S? Siapa yang jarang bercakap-cakap dengan S? Apa yang membuat S jarang bercakap-cakap dengannya? (Jika klien sudah lama dirawat) Apa yang S rasakan selama S dirawat disini? O.. S merasa sendirian? Siapa saja yang S kenal di ruangan ini Apa saja kegiatan yang biasa S lakukan dengan teman yang S kenal? Apa yang menghambat S dalam berteman atau bercakap-cakap dengan klien yang lain? Menurut S apa saja keuntungannya kalau kita mempunyai teman ? Wah benar, ada teman bercakap-cakap. Apa lagi ? (sampai klien dapat menyebutkan beberapa) Nah kalau kerugiannya tidak mampunyai teman apa ya S ? Ya, apa lagi ? (sampai klien dapat menyebutkan beberapa) Jadi banyak juga ruginya tidak punya teman ya. Kalau begitu inginkah S belajar bergaul dengan orang lain ? Bagus. Bagaimana kalau sekarang kita belajar berkenalan dengan orang lain Begini lho S, untuk berkenalan dengan orang lain kita sebutkan dulu nama kita dan nama panggilan yang kita suka asal kita dan hobi. Contoh: Nama Saya S, senang dipanggil Si. Asal saya dari Bireun, hobi memasak Selanjutnya S menanyakan nama orang yang diajak berkenalan. Contohnya begini: Nama Bapak siapa? Senang dipanggil apa? Asalnya dari mana/ Hobinya apa? Ayo S dicoba! Misalnya saya belum kenal dengan S. Coba berkenalan dengan saya! Ya bagus sekali! Coba sekali lagi. Bagus sekali Setelah S berkenalan dengan orang tersebut S bisa melanjutkan percakapan tentang hal- hal yang menyenangkan S bicarakan. Misalnya tentang cuaca, tentang hobi, tentang keluarga, pekerjaan dan sebagainya. Terminasi: Bagaimana perasaan S setelah kita latihan berkenalan? S tadi sudah mempraktekkan cara berkenalan dengan baik sekali Selanjutnya S dapat mengingat-ingat apa yang kita pelajari tadi selama saya tidak ada. Sehingga S lebih siap untuk berkenalan dengan orang lain. S mau praktekkan ke klien lain. Mau jam berapa mencobanya. Mari kita masukkan pada jadwal kegiatan hariannya. Besok pagi jam 10 saya akan datang kesini untuk mengajak S berkenalan dengan teman saya, perawat N. Bagaimana, S mau kan? Baiklah, sampai jumpa. Assalamualaiku
SP 2 Klien : Mengajarkan klien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan orang pertama - seorang perawat) Orientasi : Assalammualaikum S! Bagaimana perasaan S hari ini? Sudah dingat-ingat lagi pelajaran kita tetang berkenalan Coba sebutkan lagi sambil bersalaman dengan Suster ! Bagus sekali, S masih ingat. Nah seperti janji saya, saya akan mengajak S mencoba berkenalan dengan teman saya perawat N. Tidak lama kok, sekitar 10 menit Ayo kita temui perawat N disana Kerja : ( Bersama-sama S saudara mendekati perawat N) Selamat pagi perawat N, ini ingin berkenalan dengan N Baiklah S, S bisa berkenalan dengan perawat N seperti yang kita praktekkan kemarin (klien mendemontrasikan cara berkenalan dengan perawat N : memberi salam, menyebutkan nama, menanyakan nama perawat, dan seterusnya) Ada lagi yang S ingin tanyakan kepada perawat N . coba tanyakan tentang keluarga perawat N Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, S bisa sudahi perkenalan ini. Lalu S bisa buat janji bertemu lagi dengan perawat N, misalnya jam 1 siang nanti Baiklah perawat N, karena S sudah selesai berkenalan, saya dan S akan kembali ke ruangan S. Selamat pagi (Bersama-sama klien saudara meninggalkan perawat N untuk melakukan terminasi dengan S di tempat lain) Terminasi: Bagaimana perasaan S setelah berkenalan dengan perawat N S tampak bagus sekali saat berkenalan tadi Pertahankan terus apa yang sudah S lakukan tadi. Jangan lupa untuk menanyakan topik lain supaya perkenalan berjalan lancar. Misalnya menanyakan keluarga, hobi, dan sebagainya. Bagaimana, mau coba dengan perawat lain. Mari kita masukkan pada jadwalnya. Mau berapa kali sehari? Bagaimana kalau 2 kali. Baik nanti S coba sendiri. Besok kita latihan lagi ya, mau jam berapa? Jam 10? Sampai besok.
SP 3 Klien : Melatih Klien Berinteraksi Secara Bertahap (berkenalan dengan orang kedua- seorang klien)
Orientasi: Assalammualaikum S! Bagaimana perasaan hari ini? Apakah S bercakap-cakap dengan perawat N kemarin siang (jika jawaban klien: ya, saudara bisa lanjutkan komunikasi berikutnya orang lain Bagaimana perasaan S setelah bercakap-cakap dengan perawat N kemarin siang Bagus sekali S menjadi senang karena punya teman lagi Kalau begitu S ingin punya banyak teman lagi? Bagaimana kalau sekarang kita berkenalan lagi dengan orang lain, yaitu klien O seperti biasa kira-kira 10 menit Mari kita temui dia di ruang makan Kerja: ( Bersama-sama S saudara mendekati klien ) Selamat pagi , ini ada klien saya yang ingin berkenalan. Baiklah S, S sekarang bisa berkenalan dengannya seperti yang telah S lakukan sebelumnya. (klien mendemontrasikan cara berkenalan: memberi salam, menyebutkan nama, nama panggilan, asal dan hobi dan menanyakan hal yang sama). Ada lagi yang S ingin tanyakan kepada O Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, S bisa sudahi perkenalan ini. Lalu S bisa buat janji bertemu lagi, misalnya bertemu lagi jam 4 sore nanti (S membuat janji untuk bertemu kembali dengan O) Baiklah O, karena S sudah selesai berkenalan, saya dan S akan kembali ke ruangan S. Selamat pagi (Bersama-sama klien saudara meninggalkan perawat O untuk melakukan terminasi dengan S di tempat lain) Terminasi: Bagaimana perasaan S setelah berkenalan dengan O Dibandingkan kemarin pagi, N tampak lebih baik saat berkenalan dengan O pertahankan apa yang sudah S lakukan tadi. Jangan lupa untuk bertemu kembali dengan O jam 4 sore nanti Selanjutnya, bagaimana jika kegiatan berkenalan dan bercakap-cakap dengan orang lain kita tambahkan lagi di jadwal harian. Jadi satu hari S dapat berbincang-bincang dengan orang lain sebanyak tiga kali, jam 10 pagi, jam 1 siang dan jam 8 malam, S bisa bertemu dengan N, dan tambah dengan klien yang baru dikenal. Selanjutnya S bisa berkenalan dengan orang lain lagi secara bertahap. Bagaimana S, setuju kan? Baiklah, besok kita ketemu lagi untuk membicarakan pengalaman S. Pada jam yang sama dan tempat yang sama ya. Sampai besok.. Assalamualaikum