Anda di halaman 1dari 18

1

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit dan gangguan saluran napas masih merupakan masalah terbesar
di Indonesia pada saat ini. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran
napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut, tuberkulosis asma dan bronkitis
masih menduduki peringkat tertinggi. Infeksi merupakan penyebab yang tersering.
Kemajuan dalam bidang diagnostik dan pengobatan menyebabkan turunnya
insidens penyakit saluran napas akibat infeksi. Di lain pihak kemajuan dalam
bidang industri dan transportasi menimbulkan masalah baru dalam bidang
kesehatan yaitu polusi udara. Bertambahnya umur rata-rata penduduk, banyaknya
jumlah penduduk yang merokok serta adanya polusi udara meningkatkan jumlah
penderita bronkitis kronik.
1
Bronkitis kronik termasuk kelompok penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Di negara maju penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar, karena
bertambahnya jumlah penderita dari tahun ke tahun.














2


BAB II
BRONKITIS KRONIS

DEFINISI
Bronkhitis kronik didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yan
berlangsung 3 bulan dalam satu tahun selama dua tahun berturut-turut.
Bronkhitis kronis adalah gangguan sebagai suatu gangguan peru yang
obtruktif yang ditandai oleh produksi mokus berlabihan saluran napas bawah
selama panjang kurang 3 bulan berturut-turut dalam setahun untuk 2 tahun
berlarut-larut.
Bronkhitis kronis merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan-pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan
bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya
3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam 2 tahun berturut-turut.
Bronkhitis kronis adalah inflamasi luas jalan napas dengan penyempitan
atau hambatan jalan napas dan peningkatan produksi sputum mukoid,
menyebabkan ketidakcocokan ventilasi perfusi dan memyebabkan
sianosis. Inflamasi merupakn Inflamasi bronkus.
Bronkhitis kronis adalah batuk persisten dengan produksi sputum selama
paling sedikit 3 bulan dalam 2 tahun berturut-turut.
Bronkitis kronik berhubungan dengan hipertrofi dari kelenjar penghasil
mukus pada mukosa jalan nafas. Di Negara barat, symptom bronchitis kronis
sering memburuk pada musim sejuk.
4

EPIDEMIOLOGI
Di Negara barat, kekerapan bronkitis diperkirakan sebanyak 1,3% di
antara populasi (WHO,2003). Di Amerika Serikat, menurut National Center for
Health Statistics, kira-kira ada 14 juta orang menderita bronkitis. Lebih dari 12
juta orang menderita bronkitis akut pada tahun 1994, sama dengan 5% populasi
Amerika Serikat.
4
Di dunia bronkitis merupakan masalah dunia. Frekuensi
3

bronkitis lebih banyak pada populasi dengan status ekonomi rendah dan pada
kawasan industri.
5
Bronkitis lebih banyak terdapat pada laki-laki dibanding
wanita.
4
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka presentase yang pasti
mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini sering ditemukan di klinik.
6

FAKTOR RESIKO
7,8
Asap rokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Polusi udara
1) Polusi dalam ruangan
Asap rokok
Asap kompor
2) Polusi luar ruangan
Gas buang kenderaan bermotor
Debu jalanan
3) Polusi tempat kerja ( bahan kimia, zat iritasi, gas beracun,
Infeksi salur nafas bawah berulang
Social ekonomi

GEJALA DAN TANDA
7,8

Anamnesis
1.Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah memburuk dengan inhalasi
iritan, udara dingin atau infeksi
2. produksi mucus dalam jumlah yang sangat banyak
3. dyspnea
4. riwayat merokok, paparan zat iritan di tempat kerja.



4

PEMERIKSAAN FISIK

Pada stadium awal, pasien belum ada keluhan. Pada stadium yang lebih lanjut,
didapatkan fase ekspirasi yang memanjang dan mengi. Didapatkan juga tanda-
tanda hiperinflasi seperti barrel chest dan hipersonor pada perkusi. Pasien yang
dengan obstruksi jalan nafas berat akan menggunakan otot-otot pernafasan
tambahan duduk dalam posisi tripod.
5
Didapatkan juga sianosis pada bibir dan
kuku pasien.
8

1. Inspeksi
Pursed lips breathing.
Barrel chest
Penggunaan otot bantu pernafasan
Hipertrofi otot bantu pernafasan
JVP meningkat
Edema tungkai bawah
Penampilan blue bloater. Gambaran khas bronchitis kronis, gemuk,
sianosis, edema tungkai dan ronki basah di basal paru. Sianosis di sentral
dan perifer.
8


2. Palpasi
Fremitus melemah

3. Perkusi
Hipersonor

4. Auskultasi
Suara nafas vesikuler normal atau melemah
Ronki dan mengi saat nafas biasa atau eskpirasi paksa
Eskpirasi memanjang
5

Bunyi jantung terdengar jauh

PATOGENESIS
Asap rokok dan zat iritan
5,7,8

Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan bahan-bahan iritan
dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis kronik. Dari semua ini asap
rokok merupakan penyebab yang paling penting. Tidak semua orang yang
terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini dipengaruhi oleh status
imunologik dan kepekaan yang bersifat familial. Di dalam asap rokok terdapat
campuran zat yang berbentuk gas dan partikel. Setiap hembusan asap rokok
mengandung radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH). Sebagian bebas radikal
bebas ini akan sampai ke alveolus. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat
merusak pry; kerusakan parenkim paru oleh oksidan ini terjadi karena :
1) Kerusakan dinding alveolus
2) Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.
Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan menyebabkan fungsi ini
terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus. Partikulat yang
terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi mempunyai dampak yang
besar terhadap pembersihan oleh sistem mukosilier. Sebagian besar partikulat
tersebut mengendap di lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga
mengharnbat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa bronkus
akan sangat berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa
bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk menghasilkan mukus
yang lebih banyak, hal ini ditambah dengan gangguan aktivasi silia menyebabkan
timbulnya batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus yang
berlebihan memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses
penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi
hipersekresi. Di samping itu terjadi penebalan dinding saluran napas sehingga
dapat timbul mucous plug yang menyumbat jalan napas, tetapi sumbatan ini masih
bersifat reversibel. Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung
maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Disamping itu terjadi
6

pula metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini
mengakibatkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat ireversibel.

Infeksi
5,8
Infeksi pada saluran nafas bukan penyebab pada brokitis kronis tapi merupakan
factor pencetus terjadinya eksaserbasi akut pada penyakit ini. Infeksi akan
memperparah gejala dan memperburuk fungsi paru. Infesi pada traktus
respiratorius pada waktu anak merupakan factor predisposisi munculnya
bronchitis kronis saat dewasa. Ini mungkin menjelaskan kenapa bronchitis kronis
tidak muncul pada semua perokok. Infeksi pada traktus respiratorius waktu anak
mungkin mengganggu perkembangan dan fungsi paru yang berakibat pada
terjadinya bronchitis kronis saar dewasa.

PATOFISIOLOGI
5,8
Asap mengiritasi jalan nafas dan menyebabkan hipersekresi dan inflamasi. Karena
iritasi konstan menyebabkan hipertrofi dan hyperplasia kelenjar yang mensekresi
mucus. Secara umummnya, jumlah sel goblet pada saluran pernafasan turut
bertambah pada pasien dengan bronchitis kronis terutama di di bagian perifer dari
saluran pernafaan dengan fungsi silia yang menurun. Perubahan ini menyebabkan
sekresi mucus meningkat dan dengan komposisi yang lebih kental. Sebagai akibat
lumen bronkiolus menyempit dan tersumbat. Selain itu, alveoli yang berdekatan
bronkiolus menjadi rusak dan membentuk fibrosis yang kemudian mengakibatkan
perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan
partikel asing. Hal ini menyebabkan pasien lebih rentan terhadap infeksi
pernafasan. Pada dinding bronchial juga ditemukan terjadinya proses inflamasi
dengan infiltrasi sel-sel radang dan jaringan fibrosis yang menyebabkan
penyempitan lebih lanjut pada bronchial. Pada waktunya mungkin terjadi
perubahan yang irreversible. Temuan patologis utama pada bronchitis kronis
adalah hipertrofi kelenjar mukosa bronkus, hipertrofi dan hyperplasia sel-sel
goblet, infiltrasi sel-sel radang dengan edema pada mukosa bronkus.
7

Pembentukan mucus yang meningkat meyebabkn gejala yang khas yaitu batuk
produktif.


PEMERIKSAAN PENUNJANG
1)Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin : Hb, Ht dan leukosit boleh didapatkan meningkat
7
Analisa gas darah : hipoksia dan hiperkapnia
2) Pemeriksaan faal paru
Spirometri : Ditemukan adanya penurunan kapasitas vital (VC) dan volume
ekspirasi kuat (FEV) serta peningkatan volume residual (RV) dengan kapasitas
paru total (TC) normal atau meningkat.
7,8
3) Radiologi
Rontgen thorax (PA/Lateral)
Corakan bronkovaskuler meningkat
Tram-track appearance : penebalan dinding bronkial
8



9



DIAGNOSIS BANDING
5,7,8
Asma Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejla pada waktu malam/dini hari lebih menonjol
Dapat ditemukan alergi/rhinitis/eczema
Riwayat asma dalam keluarga
Hambatan aliran udara biasnya reversibel
10

Gagal jantung
kongestif
Riwayat hipertensi
Ronki basah halus di basal paru
Gambaran foto toraks cardiomegali dan edema paru
Pemeriksaan faal paru restriksi bukan obstruksi
Bronkiektasis Sputum purulen dalam jumlah banyak
Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
Ronki basah kasar dan jari tabuh
Gambaran foto toraks Nampak honeycomb appearance
dan penebalan dinding bronkus
TBC Onset di semua usia
Gambaran foto toraks infiltrate
Konfirmasi mikrobiologi (BTA)
Sindrom
obstruksi pasca
TB
Riwayat pengobatan anti TB adekuat
Gambaran foto toraks bekas TB : fibrotic dan kalsifikasi
minimal
Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang
tidak reversibel
Bronkiolitis
obliterasi
Usia muda
Tidak merokok
Mungkin ada riwayat arthritis rematoid
CT paru ekspirasi terlihat gambaran hipodens
Diffuse
bronchiolitis
Sering pada perempuan tidak merokok
Seringkali berhubungan dengan sinusitis
Rontgen dan CT paru resolusi tinggi memperlihatkan
bayanagn diffuse nodul opak sentrilobular dan
hiperinflasi
11


PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki kondisi
tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor risiko dan
mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam penatalaksanaan
umum ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal penyakitnya lebih
baik, menghindari polusi, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi
saluran napas, hidup dalam lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan
mencukupi kebutuhan cairan.
7
Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan komplikasi.
Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan rehabilitasi.
Bronkodilator merupakan obat utama pada bronkitis kronik; obat ini tidak saja
diberikan pada keadaan eksaserbasi akut tetapi juga untuk memperbaiki obstruksi
yang terjadi. Adanya respons sesudah pemberian bronkodilator merupakan
petunjuk penggunaan bronkodilator. Pemberian bronkodilator hendaklah selalu
dicoba pada penderita bronkitis kronik. Obat yang diberikan adalah golongan
antikolinergik agonis beta-2 dan golongan xanthin.
6
Golongan antikolinergik merupakan pilihan pertama, obat ini diberikan secara
inhalasi yaitu preparat ipratropium bromid.
7
Obat ini mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan golongan agonis beta-2, yaitu efek bronkodilatornya
lebih besar, tidak menimbulkan fenomena takifilaksis, tidak mempunyai efek
samping tremor dan palpitasi, tidak mempengaruhi sistem pembersihan
mukosilier, masa kerjanya cukup lama yaitu 6-8 jam dan theurapetic margin of
safety nya cukup panjang oleh karena obat ini tidak diabsorpsi.
Obat golongan agonis beta-2 yang diberikan secara oral bisa menimbulkan efek
samping tremor, palpitasi dan sakit kepala. Pemberian obat secara inhalasi
mengurangi efek samping ini, selain itu dapat memobilisasi pengeluaran dahak.
Obat ini bekerja dengan mengaktifkan adenilsiklase dengan akibat meningkatnya
produksi siklik AMP dan menimbulkan relaksasi otot polos saluran napas.
Golongan xanthin merupakan bronkodilator paling lemah, bekerja dengan
menghambat aksi enzim fosfodiesterase, yaitu enzim yang menginaktifkan siklik
12

AMP. Selain sebagai bronkodilator, obat ini mempunyai efek yang kuat dan
berlangsung lama dalam meningkatkan daya kontraksi otot diafragma dan daya
tahan terhadap kelelahan otot pada penderita. Bronkodilator hendaklah diberikan
dalam bentuk kombinasi, tiga macam obat lebih baik dari dua macam obat, oleh
karena mereka mempunyai efek sinergis. Pemberian secara kombinasi
memberikan efek yang optimal dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan
pemberian monoterapi; selain itu dosis yang rendah memberikan efek samping
yang minimal.
5,8
Bila terjadi perubahan warna sputum dengan peningkatan jumlah dahak dan
pertambahan sesak napas, diberikan antibiotika. Pada keadaan demikian
antibiotika diberikan walaupun tidak ada demam, leukositosis dan infiltrat yang
baru pada fototoraks. Diberikan antibiotika golongan ampisilin, eritromisin atau
kotrimoksasol selama 7-10 hari. Bila pemberian antibiotika tidak memberi
perbaikan perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme. Bila infeksi terjadi
selama perawatan di rumah sakit diberikan antibiotika untuk gram negatif.
7
Pada keadaan dekompensasi kordis diberikan digitalis; pemberian dilakukan
secara hati-hati, oleh karena intoksikasi dapat terjadi pada keadaan hipoksemi.
Diuretik diberikan apabila terdapat edema paru.
8
Pemberian kortikosteroid secara oral manfaatnya masih diperdebatkan. Pada
penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian steroid secara inhalasi
menunjukkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Pemberian steroid inhalasi jangka
lama memperlambat progresivitas penyakit. Pada serangan akut pemberian steroid
jangka pendek mempunyai manfaat. Diberikan prednison 60 mg selama 4-7 hari,
kemudian diturunkan secara bertahap selama 7-10 hari. Pemberian dosis tinggi
kurang dari 7 hari dapat dihentikan tanpa menurunkan dosis secara, bertahap.
5,7






13

Obat Inhaler (g) Larutan Oral Vial Durasi
Nebulizer injeksi (jam)
(mg/ml) (mg)

Adrenergik (2-agonis)
Fenoterol 100-200 (MDI) 1 0,5% (sirup)

4-6
Salbutamol 100, 200 MDI&DPI 5 5mg (pil),
0,24% (sirup)
0,1 ; 0,5 4-6
Terbutaline 400,500 (DPI)

2,5 ; 5 (pil) 0,2; 0,25 4-6
Formoterol 4,5-12 MDI&DPI

12+
Salmeterol 25-50 MDI&DPI

12+
Antikolinergik
Ipatropium bromide 20,40(MDI) 0,25-0,5

6-8
Oxitropium bromide 100 (MDI) 1,5

7-9
Tiotropium 18(DPI)

24+

Methylxanthines
Aminophylline

200-600mg (pil) 240mg 24
Theophylline

100-600mg (pil)

24
Kombinasi adrenergik & antikolinergik
Fenoterol/Ipatropium 200/80 (MDI) 1,25/0,5

6-8
Salbutamol/Ipatropium 75/15 (MDI) 0,75/4,5

6-8
Inhalasi Glukortikosteroid
Beclomethasone 50-400(MDI&DPI) 0,2-0,4

Budenosid 100,200,400(DPI) 0,20, 0,25, 0,5

Futicason 50-500(MDI &DPI)

Triamcinolone 100(MDI) 40

40

Kombinasi 2 kerja panjang plus glukortikosteroid dalam satu inhaler

Formoterol/Budenoside 4,5/160; 9/320 (DPI)

Salmoterol/Fluticasone
50/100,250,500(DPI)



25/50,125,250(MDI)
Sistemik Glukortikosteroid
Prednisone

5-60 mg(Pil)

Methy-Prednisone

4, 8 , 16 mg (Pil)


Keterangan: MDI = Metered Dose Inhaler; DPI = Dose Per Inhaler
Pemberian oksigen pada penderita yang mengalami hipoksemi kronik dapat
menghilangkan beberapa gejala akibat hipoksemi. Pada eksaserbasi akut dengan
hipoksemi sebagai gambaran yang karakteristik, pemberian oksigen merupakan
14

keharusan. Pada keadaan hipoksemi (PaO2 < lang="id-ID">-3 liter/menit secara
terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja
dan pola tidur.
7
Terdapatnya gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala merupakan petunjuk
dibutuhkannya oksigen pada waktu malam. Pada penderita hipoksemi dan retensi
CO2, pemberian oksigen konsentrasi tinggi dapat berbahaya, karena pada
penderita ini rangsangan terhadap pusat pernapasan yang terjadi tidak lagi
disebabkan oleh peninggian CO2 di dalam darah tetapi karena adanya hipoksemi.
Pemberian oksigen tinggi dapat menghilangkan hipoksemi ini, sehingga
rangsangan terhadap pusat napas menurun dan akibatnya terjadi hipoventilasi dan
diikuti oleh asidosis respiratorik. Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi,
rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk
mobilisasi dahak, latihan bernapas menggunakan otot-otot dinding perut sehingga
didapatkan kerja napas yang efektif. Latihan relaksasi berguna untuk
menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi kerja otot yang tidak perlu.
Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas dan takut. Pemakaian
obat-obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan pusat napas.
5,8
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan agar penderita dapat melakukan pekerjaan sesuai
dengan kemampuannya. Program rehabilitasi bertujuan mengembalikan penderita
pada tingkat yang paling optimal secara fisik dan psikis. Tindakan ini secara
subjektif bermanfaat buat penderita dan dapat mengurangi hari perawatan di
rumah sakit serta biaya perawatan dan pengobatan; tetapi tidak mempengaruhi
fungsi paru dan analisis gas darah.
5
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan penyakit
adalah
7
:
Menghentikan kebiasaan merokok.
Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko
terjadinya iritasi saluran napas.
Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak
terjadi eksaserbasi akut.
15

Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih
reversibel dapat dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari
penyakit berlanjut menjadi kelainan yang ireversibel dapat dilakukan.
Melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur agar dapat diberikan obat-obat
yang tepat sehingga didapatkan keadaan yang optimal.
Evaluasi faal paru secara berkala. Pemeriksaan faal paru pada PPOK selain
berguna sebagai penunjang diagnostik juga bermanfaat untuk melihat laju
penyakit serta meramalkan prognosis penderita.

PERANAN N-ASETILSISTEIN PADA BRONKITIS KRONIK
5
Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang terpolusi
mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik.
Anti oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari radikal-radikal anion
superoksid, hidrogen peroksid, radikal hidroksil dan anion hipohalida yang
diproduksi oleh sel radang. Anti oksidan dapat mengubah oksidan menjadi
molekul yang tidak berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek radikal
bebas dari asap rokok. N-asetilsistein merupakan suatu antioksidan, yaitu sumber
glutation.
Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru
oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di samping sebagai anti
oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu mengencerkan sekret bronkus sehingga
mudah dikeluarkan. Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita
bronkitis kronik memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi
sputum, banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna.

KOMPLIKASI
6,7
1) gagal napas
Kronik
Akut pada gagal nafas kronik yang ditandai dengan :
Sputum bertambah dan purulen
Sesak nafas dengan atau sianosis
16

Demam
Kesadaran menurun

2) cor pulmonale
Pembesaran jantung kanan (dilatasi atau hipertrofi) yang disebabkan oleh karena
kelainan-kelainan fungsi atau struktur paru. Tidak termasuk disini perubahan paru
yang disebabkan primer akibat kelainan jantung kiri serta kelainan bawaan.
3) hipertensi pulmonal
Peningkatan abnormal tekanan arteri pulmonal ( normal saat istirahat <20mmHg,
saat senam <30mmHg)





















17

BAB IV
KESIMPULAN

Bronkitis kronik adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditandai
dengan gejala batuk dan produksi sputum. Berbagai faktor dapat menimbulkan
penyakit ini. Bahan-bahan oksidan dan iritan yang terdapat dalam asap rokok dan
udara yang terpolusi merupakan faktor utama terjadinya bronkitis
kronik.Pemberian bronkodilator merupakan pengobatan utama untuk mengatasi
obstruksi yang terjadi, obat golongan antikolinergik merupakan bronkodilator
pilihan pertama. Pemberian obat secara kombinasi akan memberikan efek
bronkodilatasi yang optimal dan efek samping yang minimal. Antibiotika
diberikan bila terdapat tanda-tanda infeksi. Obat-obat lain diberikan bila ada
indikasi. Pemberian N-asetilsistein yang merupakan antioksidan mempunyai
manfaat mengurangi jumlah dan purulensi sputum lamanya sakit dan frekuensi
eksaserbasi akut. Usaha untuk menegakkan diagnosis secara dini, menghentikan
kebiasaan merokok, menghindari infeksi dan lingkungan yang terpolusi,
melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur dapat memperlambat laju
penyakit.













18

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Baliga, Ragavendra R., . 2006. 250 Cases In Clinical Medicine. New York
: W.B. Saunders Company Ltd.
2. Ganong, William F. 2007. A Lange Medical Book: Review of Medical
Physiology - 21st Edition, USA: McGraw-Hill Companies
3. Guyton, Arthur C., and John E. Hall. 2009. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran Edisi ke-9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Davey, Patrick, 2006. At a Glance Medicine, Jakarta: Penerbit Erlangga.
5. Harrison, T.R. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine
16th edition, USA: The Mac Graw-Hill Companies.
6. Mansjoer, Arif, dkk., ed. 2005. Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 edisi ke-
3 . Jakarta: Media Aesculapius.
7. Sudoyo, Aru W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV jilid
II. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
8. West, John B., 2009. Pulmonary Pathophysiology, The Essential Sixth
Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwers
Company.

Anda mungkin juga menyukai