Anda di halaman 1dari 8

TATA RUANG UDARA

Tugas Makalah Kewarganegaraan











Institut Teknologi Sepuluh Nopember
2013

BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA

Apabila mempelajari Konvensi Chicago 1944 maka terlihat bahwa tidak ada
satupun pasal yang mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat dimliki
oleh suatu negara bawah baik secara horisontal maupun secara vertikal.
Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, hukum internasioal memberikan
kepada para sarjana terkemuka untuk menggali dan mencari konsep-konsep
hukum yang dapat digunakan sebagai landasan hukum.

1. BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA SECARA HORISONTAL
Seperti telah diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah
berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan
demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara
horisontal adalah sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan
negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan
adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations
Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap
negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum
12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line).
Gambar : Batas wilayah udara secara horisontal :
Yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan
dengan negara tetangga dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum
Laut 1982.
Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau
berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut,
maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah
melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut
internasional.
Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada
mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous
zone) di ruang udara yang dikenal dengan istilah A.D.I.Z. (Air Defence
Identification Zone) yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju
negara Amerika Serikat atau Kanada dalam jarak 200 mil harus
menyebutkan jati diri pesawat udara.
Hal ini dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui
ruang udara.
2. BATAS KEDAULATAN WILAYAH UDARA SECARA VERTIKAL
Untuk menentukan batas kedaulatan di wilayah udara secara vertikal
masih tetap menjadi permasalahan sampai dengan saat ini, karena
perjanjian internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum
umum dan yurisprudensi internasional yang mengatur tentang batas
kedaulatan wilayah udara secara vertikal belum ada, maka beberapa
sarjana terkemuka khususnya ahli hukum udara berusaha untuk membuat
beberapa konsep (teori, ajaran atau pendapat) yang mungkin dapat
digunakan sebagai landasan pembuatan peraturan tentang batas ketinggian
kedaulatan negara di ruang udara, yaitu misalnya konsep dari :
a) Beaumont dan Shawcross yang menyebutkan bahwa batas ketinggian
kedaulatan negara di ruang udara adalah tidak terbatas.
b) Cooper yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di
ruang udara adalah setinggi negara itu dapat menguasainya.
c) Holzendorf yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan
negara di ruang udara adalah setinggi 1000 meter yang ditarik dari
permukaan bumi yang tertinggi.
d) Lee yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara di
ruang udara adalah sama dengan jarak tembakan meriam (canon theory).
e) Von Bar yang menyebutkan bahwa batas ketinggian kedaulatan negara
di ruang udara adalah 60 meter dari permukaan bumi.
f) Priyatna Abdurrasyid yang menyebutkan bahwa batas ketinggian
kedaulatan negara di ruang udara adalah setinggi sebuah pesawat udara
konvensional sudah tidak dapat lagi melayang.Pendapat Priyatna
Abdurrasyid ini pernah ditentang dengan adanya Pasal 30 ayat 3 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia yang
menyebutkan bahwa T.N.I.- A.U. selaku penegak kedaulatan negara di
udara mempertahankan wilayah dirgantara nasional . dstnya.
Kata dirgantara berarti mencakup ruang udara dan antariksa (ruang angkasa)
termasuk G.S.O. (Geo Stationer Orbit).Dengan demikian pada waktu itu negara
Indonesia tidak menganut pendapat Priyatna Abdurrasyid tetapi menganut
pendapat Beaumont dan Showcross.Dengan tidak adanya ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang mengatur tentang batas ketinggian wilayah udara yang
dapat dimiliki oleh negara bawah, maka banyak negara-negara di dunia
melakukan secara sepihak menetapkan batas ketinggian wilayah udara
nasionalnya seperti yang dilakukan oleh negara Amerika Serikat melalui Space
Command menetapkan batas vertikal udara adalah 100 kilometer.
Negara Australia di dalam Australian Space Treaty Act 1998 menetapkan batas
ketinggian wilayah udaranya adalah 100 kilometer yang diukur dari permukaan
laut.
Negara Korea Selatan mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 2003 bahwa batas
ketinggian wilayah udara adalah antara 100 sampai dengan 110 kilometer.
Negara Rusia mengusulkan dalam sidang UNCOPUOS 1992 batas ketinggian
wilayah udara adalah antara 100 sampai dengan 120 kilometer.
Sedangkan negara Indonesia pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebutkan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara
Republik Indonesia, serta pada Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara disebutkan bahwa batas wilayah
negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di
atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan atau trilateral mengenai batas
darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan hukum internasional.
Mengenai batas wilayah di darat maupun di laut hampir sebagian besar telah
dilakukan oleh negara Indonesia dengan negara-negara tetangga, tetapi tentang
batas wilayah di udara secara vertikal belum ada baik itu dalam ketentuan hukum
nasional maupun dalam perjanjian antar negara tetangga.
Pada Pasal 6 ayat 1 Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang
Pengelolaan Ruang Udara Nasional menyebutkan sebagai berikut : Batas vertikal
pengelolaan ruang udara nasional sampai ketinggian 110 (seratus sepuluh)
kilometer dari konfiguarsi permukaan bumi. Dengan demikian dapat terlihat
adanya ketidak seragaman konsep di antara para sarjana terkemuka ataupun oleh
negara-negara dalam menentukan batas ketinggian wilayah
udara yang dapat dimiliki oleh suatu negara bawah.
Berdasarkan Hukum Internasional Negara Kesatuan Republik Indonesia
mempunyai kedaulatan yang penuh dan eksklusif di atas wilayah udara Indonesia,
wilayah yang dimaksud adalah wilayah udara di atas daratan, wilayah laut
teritorial, perairan kepulauan dan perairan pedalaman.Dalam Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2009 ketentuan tersebut di atas diadopsi menjadi Pasal 5.
Selanjutnya didalam Pasal 6 UU penerbangan tersebut dijelaskan bahwa bahwa
dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung
jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian
nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.
Namun demikian tanggung jawab pengaturan ruang udara tersebut kenyataannya
tidak semua ruang udara Indonesia diatur sendiri oleh Pemerintah Indonesia
sebagai contoh ruang udara sekitar Tanjung Pinang dan Natuna yang dikendalikan
oleh Singapura.
Dasar hukum pendelegasian ini adalah Annex 11 dari Konvensi Chicago 1944
tentang Air Traffic Services.Dalam bagian umum ketentuan ini menjelaskan
bahwa setiap negara anggota ICAO wajib menentukan bagian-bagian dari wilayah
udaranya tempat pemberian pelayanan lalu lintas udara untuk kepentingan
keselamatan.
Dalam hal ini dimungkinkan kerjasama yang saling menguntungkan antar negara
untuk mendelegasikan tanggung jawab ruang udaranya yang diberikan ke negara
lain se-perti adanya pelayanan lalu lintas udara. Praktek atas ketentuan ini dikenal
dengan nama Flight Information Regions (FIR), dimana sebagian wilayah udara
NKRI masuk kedalam FIR Singapura.
Namun demikian pendelegasian ini tidak termasuk pendelegasian kedaulatan
negara. Dengan demikian kewenangan penegakan hukumnya apabila terjadi
pelanggaran kedaulatan tetap ada pada negara yang memiliki wilayah tersebut.
Keberadaan FIR Singapura saat ini sesuai dengan Agreement between the
Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of
Singapore on the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight
Information Region and the Jakarta Flight Information Region tertanggal 21
September 1995.
Dalam pelaksanaannya telah banyak me-nimbulkan kendala baik dari
penerbangan sipil Indonesia maupun pelaksanaan operasi dan penegakan hukum
di wilayah sekitar Tanjung Pinang dan Natuna yang dilaksanakan baik oleh
Komando Pertahanan Udara Nasio-nal maupun oleh TNI AL yang melaksanakan
Operasi Maritim, karena pengendalian ruang udara tersebut ada pada Air Traffic
Control Singapura (ATC Singapura).
Sebagai contoh jalur penerbangan dari Tanjung Pinang ke Ranai atau sebaliknya
tidak bisa terbang lurus, sehingga akan menambah air time yang juga akan
menambah biaya operasional pesawat.
Contoh lain bagi pesawat militer yang akan melakukan operasi, patrol udara dan
latihan militer disekitar Batam Tanjung Pinang dan Natuna se-ring terkendala
akibat pengaturan ruang udara oleh ATC Singapura yang semata-mata hanya
mendahulukan kepenti-ngannya sendiri. Hal ini tentu saja melukai rasa
nasionalisme kita.
Selain itu, Komando Perta-hanan Udara Nasional (Kohanudnas) sebagai
Komando Operasional TNI yang menyelenggarakan upaya pertahanan dan
keama-nan terpadu atas wilayah udara nasional tersebut belum memiliki
kerjasama antara ATC Singapura. Padahal ICAO mewajibkan adanya koordinasi
antara militer dan Air Traffic Services (ATS) sesuai dengan amanat Annex 11
Konvensi Chicago 1944.
Perjanjian tersebut di atas telah diratifikasi berdasarkan Keppres No. 7 tahun 1996
oleh Pemerintah Indonesia tertanggal 2 Februari 1996, dan sesuai dengan isi
perjanjian bahwa, perjanjian tersebut dapat ditinjau ulang setelah 5 (lima) tahun.
Telah ada upaya pengambil alihan sebagian FIR yang telah didelegasikan kepada
Singapura.Namun yang menjadi kendala saat itu adalah Peraturan Pemerintah No.
38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia belum didaftarkan ke Sekjen PBB.
Saat ini, Peraturan Pemerintah tersebut telah direvisi dan telah didaftarkan ke
sekjen PBB, sehingga perlu segera diambil langkah untuk menata ulang FIR
Singapura yang menguntungkan kepentingan Indonesia.
Dalam hal ini memang disayangkan bahwa,UU penerbangan kita yang baru
memberikan jangka waktu yang sangat lama yaitu paling lambat 15 (lima belas)
tahun untuk mengevaluasi dan akhirnya harus sudah dilayani oleh lembaga
penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan nasional.
Namun dalam jangka pendek perlu diusulkan pertama, penempatan Liasion
Officer (LO) dari Kohanudnas di ATS Singapura, dan kedua perlu ada
permintaan dari Indonesia bahwa, ATS Singapura harus memberikan prioritas
bagi pesawat sipil dan militer Indonesia yang melaksanakan penerbangan di
sekitar wilayah tersebut. (*)
Hukum Udara dan Ruang Angkasa
Hukum Udara, meliputi beberapa kajian ilmu, yaitu :
1. Hukum Udara yang bersifat Publik :
Hukum Tata Negara : meliputi Kedaulatan suatu negara
Hukum Tata Usaha Negara : meliputi Perijinan, bea cukai, dan lain
sebagainya.
Hukum Pidana : mencakup Perbajakan, penyelundupan, narkotika,
dsb.

2. Hukum Udara yang bersifat Privat, meliputi :
Pengangkutan udara/air transportasi (aspek tanggung jawab,
misalnya : jikaterjadi kerugian kepada pihak ke-3)
Tanggung jawab produsen / producent liability
Asuransi pangan / legal insurance
Hukum Angkasa, meliputi beberapa kajian ilmu, yaitu :
1. Hukum Ruang Angkasa yang bersifat Publik, meliputi :
Negara : untuk kepentingan riset.
Militer : untuk kepentingan perang.

2. Hukum Ruang Angkasa yang bersifat Privat, meliputi :
Hukum Pengangkutan ruang angkasa
Hukum Telekomunikasi : mencakup kontrak perdagangan
Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual : mencakup paten
Asuransi ruang angkasa tiap pemilik satelit diasuransikan
Tanggung jawab produsen
Tanggung jawab operator

Daftar Pustaka
[1] http://www.scribd.com/doc/65868503/CIC-Hukum-Udara-Dan-Ruang-Angkasa-Sari-
Kuliah
[2] http://www.scribd.com/doc/92563812/Batas-Kedaulatan-Wilayah-Udara

Anda mungkin juga menyukai