PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PRTANIAN UNIVERSITAS TADULAKO 2 0 1 4
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Tanaman padi (Oryza sativa L) adalah tanaman yang benar-benar sesuai dengan keadaan di negeri kita. Untuk hidupnya padi dapat tumbuh baik pada iklim tropis maupun sub tropis dan untuk pertumbuhannya padi membutuhkan air banyak terutama yang ditanam secara basah dan syarat ini dipenuhi oleh negeri kita yang memepunyai musim hujan dan kemarau (Sumartono dalam Mangitung, 2004). Padi termasuk golongan tanaman semusim atau tanaman yang mudah yaitu tanaman biasa yang berumur pendek, kurang dari satu uahun dan hanya satu kali
g Selatan mulai dari daerah pantai sampai ketinggian 24000 m dpl. Dalam pengembangan budidaya tanaman padi banyak mengalami hal-hal yang kurang menguntungkan seperti rendahnya produktifitas dan hasil yang diperoleh. Hal tersebut diakibatkan oleh berbagai faktor antara lain adanya gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Salah satu diantaranya adalah hama yang menyerang tanaman padi yaitu walang sangit kepik hijau. Akibat serangan hama tersebut dapat menurunkan hasil tanaman padi (Wardoyo, dkk. 1998). Pemanfaatan predator merupakan salah satu alternatif yang penting dikembangkan untuk mengatasi permasalahan yang disebabkan oleh hama walang sangit dan wereng hijau, karena predator merupakan sallah satu musuh alami yang berpotensi besar untuk dikembangkan bahkan hal ini sudah dikenal sejak dulu dalam taktik pengendalian secara biologi. Perkecualian sekitar 150 spesies dari suku Uloboridae dan Holarchaeidae, dan subordo Mesothelae, mampu menginjeksikan bisa melalui sepasang taringnya kepada musuh atau mangsanya. Meski demikian, dari puluhan ribu spesies yang ada, hanya sekitar 200 spesies yang gigitannya dapat membahayakan manusia. Kebanyakan laba-laba memang merupakan predator (pemangsa) penyergap, yang menunggu mangsa lewat di dekatnya sambil bersembunyi di balik daun, lapisan daun bunga, celah bebatuan, atau lubang di tanah yang ditutupi kamuflase. Beberapa jenis memiliki pola warna yang menyamarkan tubuhnya di atas tanah, batu atau pepngan pohon, sehingga tak perlu bersembunyi. Laba-laba penenun (misalnya anggota suku araneidae) membuat jaring- jaring sutera berbentuk kurang lebih bulat di udara, di antara dedaunan dan ranting-ranting, di muka rekahan batu, di sudut-sudut bangunan dan lain-lain. Jaring ini bersifat lekat, untuk menangkap serangga terbang yang menjadi mangsanya. Begitu serangga terperangkap jaring, laba-laba segera mendekat dan menusukkan taringnya kepada mangsa untuk melumpuhkan dan sekaligus mengirimkan enzim pencerna ke dalam tubuh mangsanya. Laba-laba pemburu (seperti anggota suku Lycosidae) biasanya lebih aktif. Laba-laba jenis ini bisa menjelajahi pepohonan, sela-sela rumput, atau permukaan dinding berbatu untuk mencari mangsanya. Laba-laba ini dapat mengejar dan melompat untuk menerkam mangsanya. Bisa yang disuntikkan laba-laba melalui taringnya biasanya sekaligus mencerna dan menghancurkan bagian dalam tubuh mangsa. Kemudian perlahan-lahan cairan tubuh beserta hancuran organ dalam itu dihisap oleh sipemangsa. Berjam-jam laba-laba menyedot cairan itu hingga bangkai mangsanya mengering. Laba-laba yang memiliki rahang (Chelicera) kuat, bisa lebih cepat menghabiskan makanannya dengan cara merusak dan meremuk tubuh mangsa dengan rahang dan taringnnya itu. Tinggal sisanya berupa bola-bola kecil yang merupakan remukan tubuh mangsa yang telah mengisut.(Wekepedia Bahasa Indonesia, 2009).
2.2 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengidentifikasi jenis kaba-laba (Ordo Araneae) yang berpotensial pada dua type habitat/ekosistem pertanaman padi (habitat pertanaman dengan isektisida dan pertanaman padi tanpa insektisida) di desa Kombo Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Toli-Toli, 2) mengetahui indeks keragaman jenis laba-laba pada kedua type habitat tersebut. Kegunaan dapat dipergunakan sebagai bahan informasi untuk mengetahui individu spesies laba-laba sebagai predator serangga hama, dan dapat diketahui status keseimbangan antara musuh alami laba-laba dengan serangga-serangga hama pada ekosistem pertanaman padi di Desa Kombo Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Toli-Toli.
II. TINJAUAN PUSTAKA 1.2. keanekaragaman Keanekaragaman merupakan suatu penomena pada mahluk hidup. Keanekaragaman tersebut mudah diamati pada penampilan luar yang merupakan kumpulan ciri-ciri setiap mahluk hidup. Berbagai ciri penyusun perbedaan,sementara beberapa ciri lain menunjukan persamaan ciri-ciri yang dapat diamati mahluk hidup yang sudah dikelompokkan atas dasar sistem klasifikasi dalam taksonomi, masih menunjukkan adanya keanekaragaman di antara anggota populasi (sufro, 1994). Hal yang sama di ungkapkan oleh Soegianto (1994), bahwa keanekaragaman jenis merupakan suatu karasteristik tingkat komunitas berdasarkan organisasi biologinya. Secara alami populasi suatu organisme di suatu ekosistem ditandai oleh karena adanya keanekaragaman dalam komunitas, antar jenis antar komponen ekosistem, serta keunggulan fungsional, tingkat stabilisasi suatu ekosistem pertanian ditentukan oleh struktur jaringan trofik dan interaksi antara komponen- komponen komunitas termasuk herbivora (hama), karnivora (predator dan parasitoid) (Untung, 1996). Price (1997) dalam Mahrub (1996), menyatakan bahwa tingkat keanekaragaman dan kelimpahan organisme dalam suatu komunitas berbeda- beda. Untuk mempelajari keanekaragaman suatu spesis dalam suatu ekosistem telah digunakan istilah keanekaragaman, nilai keanekaragaman dapat diukur dengan indeks keanekaragaman (H , ), melalui tinggi jumlah spesis dalam ekosistem, makin tinggi indeks keanekaragaman maka kondisi ekosistem mulai stabil dan olehnya tercapai keseimbangan. Lebih lanjut Groambridge (1992) dalam (Subagja, 1996) mengatakan bahwa ekosistem dengan jumlah spesies lebih banyak tetapi dalam satu famili adalah kurang beranekaragaman dibandingkan dengan ekosistem dengan jumlah lebih sedikit tetapi termasuk dalam beberapa famili. Keanekaragaman hayati sering di masukkan dengan keanekaragaman spesies, yaitu sebagai kekayaan spesies. Arus spesies pada umumnya di pandang sebagai keanekaragaman sebuah organisasi yang paling alami. 1.3. faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman laba-laba Secara umum populasi organisme di alam berada dalam keadaan seimbang pada jenjang populasi tertentu. (Sosromarsono dan Untung, 2000). Akan tetapi dapat menjadi tidak stabil dengan keanekaragaman yang rendah apabila berbagai komponen komunitas dan ekosistem telah direkayasa dan buat untuk memenuhi kepentingan manusia (Untung,1996). Global Biodiversity Assement (Hywood and Watsin, 1995 dalam Untung,1996) pertanian komersial moderen telah mendatangkan dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati pada semua tingkat dari keanekaragaman ekosistem, jenis dan genetik. Aktifitas pertanian mempunyai tiga bentuk dampak terhadap keanekaragamanhayati yaitu : (1) pada keanekaragaman genetik jenis tanaman atau hewan yang dikelola, (2) tehadap ekosistem alami di tempat kegiatan pertanian dilakukan, dan (3) melalui pengaruh pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian seperti erosi, pupuk buatan, pestisida kimia. Selanjutnya Odum (1994) mengatakan pengaruh aplikasi pestisida yang akut dapat menyebabkan indeks keanekaragaman berkurang, apabila pestisida membunuh sebagian besar serangga yang dominan mengakibatkan tingkat kemerataan menjadi lebih tinggi bukanya rendah, sebaliknya keanekaragaman akan berkurang. Lebih lanjut dikemukakan oleh Primack (1998), salah satu faktor yang juga mempengaruhi keanekaragaman Arthropoda adalah kompetisi dan pemangsa. Sering kali juga secara tidak lansung mengurangi jumlah spesies yang dimangsanya dan menghilangkan spesies tertentu dari habitatnya pemangsa secara tidak lansung menambah keanekaragaman dalam satu komunitas, karena beberapa kepadatan spesies mangsa terjadi. Jumlah suatu spesies populasi bisa di bawa daya dukung jika keseimbangan dijaga oleh pemangsa. Ketersediaan makanan dapat mempengaruhi keanekaragaman Arthropoda yang terdapat dalam ekosistem. Riyanto (1985), menyatakan bahwa keanekaragaman yang tinggi dapat terjadi karena rantai makanan yang lebih panjang dan banyak kasus seperti mutualisme, parasitisme dan komensalisme. Sugianto (1994), menyatakan bahwa keadaan lingkungan hidup mempengaruhi keanekaragaman bentuk-bentuk hayati dan banyaknya jenis mahluk hidup dan dan sebaliknya keanekaragaman dan banyaknya individu juga menentukan keadaan lingkungan. 1.4. Arthropoda Arthropoda merupakan filum yang terbesar dalam masyarakat binatang dan juga merupakan filum yang terpenting dalam kehidupan manusia. Dalam filum Arthropoda kelas insekta (Heksapoda) yang paling berperan (Borror, dkk., 1996). Dari sekian banyak spesies hewan yang ada di permukaan bumi terdapat bagian adalah serangga. Dari jumlah tersebut, lebih 750.000 spesies telah berhasil diketahui dan diberi nama. Jumlah tersebut merupakan 80% dari anggota filum Arthropoda (Jumar, 2000). Ciri-ciri filum Arthropoda yaitu tubuh beruas-ruas, kaki beruas-ruas, eksokeleton (dinding tubuh) berkiting dan beruas-ruas, alat mulut beruas-ruas, rongga tulung merupakan rongga darah, bernafas dengan permukaan tubuh, alat pencernaan makanan berbentuk tulang terletak disepanjang tubuh dan alat pembuangnya melalui pipa panjang pada rongga tubuh (Jumar, 2000). Pada filum Arthropoda terdapat dua kelas yang mempunyai peranan besar, yaitu pada kelas Arachinida dan kelas Insekta. Selama ini Arachinida merupakan kelas yang paling penting dan terbesar kira-kira 65.000 jenis yang diuraikan (Borror, dkk., 1996). Ciri-ciri khas dari ordo Arachinida yaitu tubuh terbagi menjadi dua daerah yaitu sefalotoraks terdapat mata, bagian mulut dan tungkai pada abdomen terdapat struktur alat kelamin, spirakel, dubur, dan alat benang (Siwi, 1992). Banyak spesies laba-laba (Araneida) hidup sebagai predator, memangsa kelompok sendiri, atau serangga. Kelompok laba-laba (Araneidae) terbagi dalam 60 famili, beberapa filum diantaranya dianggap penting sebagai predator serangga hama. Meskipun laba-laba umumnya predator generalis, namun mereka menunjukkan kekhususan habitat, oleh karena itu dapat dimanfaatkan dalam pengendalian serangga hama pertanian dengan konservasi jenis laba-laba lokal melalui konsevasi habitatnya di ekosistem pertanian (Untung, 1996). Sosromarsono dan Untung (2000) menyebutkan 8 spesies laba-laba predator yang umum ditemukan di ekosistem persawahan. Mereka tergolong dalam genus Pardosa (Lycosa) (Lycosidae) (1 spesies), Oxyopes (Oxyopidae) (2 spesies), Phidippus (Salticidae) (1 spesies), Atypena (Linyphiidea) (1 spesies). Namun Barrion dan Litsinger (1995) dalam Sosromarsono dan Untung (2000), setidaknya dapat mengoleksi dan mengindentifikasi 342 spesies laba-laba dari ekosistem persawahan di Asia Tenggara, yang tergolong dalam 132 genus dan 26 famili. Serangga adalah salah satu kelompok dalam filum Arthropoda yang mendominasi filum tersebut. Jumlah spesies serangga sebelas kali lebih besar dari jumlah spesies Arthropoda kelompok lain. Banyak tafsiran jumlah spesies serangga yang digunakan oleh berbagai ilmuan, salah satu tafsiran menyatakan bahwa serangga yang sudah di deskripsi adalah lebih kurang 950.000 spesies dan Arthropoda lain bukan serangga lebih kurang 125.000 spesies jumlah total spesies semua organisme yang sudah di deskripsi kurang lebih 1.956.000 (Sosromarsono dan Untung 2000).
2.4 Insektisida Insektisida adalah bahan-bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh serangga. Isektisida dapat mengurangi pertumbuhan, perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, sistem hormon, sistem pencernaan, serta aktivitas biologis lainnya hingga berunjung pada kematian serangga pengganggu tanaman (Subagya, 2006). 2.5 Hipotesis
III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei yang bertempat di Desa Kombo Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Toli-Toli dan kegiatan identifikasi Arthrpodadilaksanakan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, tanaman padi, alkohol 70%, label dan isektisida. Sedangkan ala-alat yang digunakan adalah jaring serangga (Sweep net), perangkap jebakan (Pitt fall trap), botol koleksi, alat sempreot, ember, kuas kecil, mikroskop binokuler, kaca pembesar dan karung nilon sebagai barier. 3.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan yaitu semi eksperimental. Pengambilan sampel dengan menggunakan alat perangkap yang digunakan pada dua hamparan partanaman yaitu hamparan pertanaman padi yang diaplikasi insektisida dan yang tidak diaplikasi insektisida. 3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Persiapan Lahan Persiapan lahan dalam sistem budidaya, dimulai dengan pembibitan, pengolahan lahan, penanaman dan pemeliharaan tanaman yang terdiri dari penyiangan, pemupukan dan penyiraman. Khususnya untuk pengendalian hama menggunakan insektisida yang dilakukan pada hamparan penelitian yang diaplikasikan dengan isektisida. Lahan pertanaman padi seluas 1000 m yang dibagi dalam 2 hamparan pertanaman, yaitu pertanaman padi yang diaplikasikan dengan insektisida dan hamparan untuk lahan pertanaman padi yang tanpa aplikasi insektisida. 3.4.2 Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan sebnyak 5 kali, dimulai pada tanaman padi berumur 1 bulan setelah tanam (hst) dan aplikasi dimulai pada umur 28 hari setelah tanam (hst) dengan interval waktu pengamatan sekali seminggu selama 6 minngu yang menggunakan 2 teknik pengambilan sampel yaitu: 1. Teknik Jaring Serangga (Sweep Net) 2. Teknik Jebakan (Pitt Fall Trap) 3.4.3 Identifikasi Arthropoda Arthropoda yang tertangkap dikelolah sebagai koleksi kering atau basah dalam alkohol 70%. Arthropoda dilakukan terbatas pada ordo dan famili.
3.4.4 Variabel Pengamatan 3.4.5 Analisis Data 1. Keanekaragaman Jenis 2. Kemelimpahan 3. Kemerataan 4. Uji t
DAFTAR PUSTAKA Borror, D.J., Triplehorn, C.A. dan Johnson, F.N., 1996. Pengenalan Serangga. Penerjemah drh. Soetiyono Partosoedjono, M.Sc. Gadja Mada University Perss, Yogyakarta. Jumar, 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta, Jakarta. Mahrub, E. 1996. Struktur Komunitas Arthropoda Pada Ekosistem Padi Tanpa Perlakuan Insektisida. Jurnal Ecology Vol. 77 No. 7 Mangitung, N., 2004. Pengaruh Penerapan Teknologi Usahatani Terhadap Produksi Padi Sawah di Desa Ranteleda Kecamatan Palolo Kabupaten Donggala. Skripsi. Universitas Tadulako, Palu. Odum, E.P., 1994. Dasar-Dasar Ekologi, Penerjemah Ir. Tjahjono Saingan, M.Sc. Gadjah Madaa University Perss. Yokyakarta. Primack. R.B., 1998. Biologi Konsevasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Riyanto, 1985. Ekologi Dasar. Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Negri Indonesia Bagian Timur, Ujung Pandang. Sofro, M., 1994. Keanekaragaman Genetik. Andi Offset. Yogyakarta. Sosromarsono, S.dan Untung, K., 2000. Keanekaragaman Hayati Arthropoda, Predator Dan Parasit di Indonesia dan Pemanfaatannya. Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI). Sgianto, A., 1994. Ekologi Kuantatif Metode Analisis Populasi Komunitas. Usaha Nasional, Surabaya. Siwi, S.S., 1992. Kunci Determinasi Serangga. Kanisius, Yogyakarta. Subagja, J., 1996. Prinsip Keanekaragaman Hayati dalam Ekosistem. Prosidin Makalah Utama Seminar Nasional Pengendalian Hayati (SNPH), Yogyakarta. Untung, K., 1996. Pengendalian Hayati Dalam Kerangka Konsensi Keanekaragaman Hayati.Prosidin Makalah Utama Seminar Nasional Pengendalian Hayati SNOH. Yogyakarta.
Dokumen Serupa dengan Proposal Penelitian Laba-Laba