TEKNOLOGI PENETASAN UNGGAS DAN PEMBIBITAN TERNAK TEKNOLOGI PENETASAN UNGGAS DAN MANAJEMEN PEMBIBITAN TERNAK
LAPORAN PRAKTIKUM PENEASAN TELUR ITIK LOKAL
PIPIT ANGGRAENI D1 B4 09 088
JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2012
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini peningkatan akan kebutuhan daging terus meningkat, dimana peningkatan kebutuhan ini terjadi seiring dengan peningkatan populasi penduduk dan kesadaran masyarakat tentang ilmu pengetahuan akan pentingnya gizi bagi tubuh. Tidak terkecuali pada kebutuhan daging itik dimana dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, seiring dengan permintaan akan daging yang terus meningkat. Itik merupakan salah satu komoditas yang memiliki potensi dan peran yang cukup stategis dalam penyediaan protein hewani yang mudah didapat dan dengan harga terjangkau. Indonesia memiliki banyak jenis itik yang sebagian besar populasinya berada di perdesaan dan sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Salah satu itik lokal yang cukup dikenal dan berpotensi adalah itik Alabio (Anas platyrhincos Borneo) yang banyak dipelihara dan dibudidayakan masyarakat di daerah Kalimantan Selatan dan terutama di daerah sentra yaitu Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU). Itik Alabio yang diusahakan utamanya berperan sebagai penghasil telur baik telur tetas maupun telur konsumsi. Namun setiap makhluk hidup memiliki kecenderungan untuk mempertahankan populasinya dengan cara yang berbeda dengan menetaskan telurnya. Untuk itu cara untuk mempertahankan populasi yaitu dengan program pembibitan melalui penetasan secara buatan/konvensional maupun secara modern, sehingga mampu meningkatkan jumlah telur dengan produksi tinggi. Namun banyak faktor yang mempengaruhi proses penetasan, salah satu diantaranya adalah telur tetas. Telur tetas yang akan ditetaskan sebaiknya sudah terseleksi sesuai dengan syarat telur tetas , sebab telur tetas akan mempengaruhi tingkat fertilitas, perkembangan embrio hingga daya tetas telur. Oleh karena itu dilakukan dilakukanlah praktikum mengenai Fertilitas, Daya Hidup Embrio dan Daya Tetas pada Telur Itik Alabio dengan menggunakan mesin tetas tradisional. 1.2. Tujuan dan Manfaat Praktikum Tujuan dari pelaksanaan praktikum ini yaitu untuk mengetahui persentase fertilitas, daya hidup embrio, dan daya tetas telur itik lokal. Manfaat dari pelaksanaan praktikum ini yaitu Sebagai sumber informasi yang berkaitan mengenai daya fertilitas, daya hidup embrio dan daya tetas pada telur itik Alabio. Selain itu mahasiswa mengetahui cara menetaskan telur itik yang dimulai dari persiapan telur tetas, tahap proses penetasan hingga sampai telur menetas.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Lokal Itik lokal adalah salah satu jenis itik yang banyak diternakkan dan dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Jenis itik lokal adalah itik bali, itik mojosari, itik magelang, itik tegal, itik rambon dan itik alabio ( Anonim, 2012). Sistem pemeliharaan itik tidak membutuhkan waktu yang lama dan tahan terhadap penyakit sehingga hanya dalam waktu 4-6 bulan sudah mulai berproduksi menghasilkan telur, ini disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya relative baik dan sampai pada umur 8-10 bulan mencapai puncak produksinya serta pada umur 11-15 bulan produksinya sudah mulai menurun sehingga umur produksi ini sudah dapat dilakukan pengafkiran (Murtidjo, 1987). 2.1.1. Itik Bali Menurut Agus (2001) dalam Anonim (2012) menyatakan bahwa itik Bali (Anas sp.) adalah itik yang berkembang di Pulau Bali dan Lombok. Itik bali mempunyai daya tahan hidup yang sangat tinggi sehingga dapat dipelihara di berbagai tempat di Indonesia. Sosoknya hamper sama dengan itik jawa, tetapi lehernya lebih pendek dan bagian belakang tubuhnya tidak terlalu leabar. Warna bulunya lebih terang dibandingkan dengan itik jawa. Ada tiga macam bulu itik bali yang biasa ditemukan yaitu warna sumbingan (menyerupai warna jerami padi), cemaning (kombinasi warna hitam dan putih ), dan selam gulai. Secara lengkap, ciri-ciri dan sifat itik bali adalah postur tubuhnya langsing berisi dan hampir berdiri tegak seperti burung penguin dengan ekor relative pendek, berat standar itik jantan 1,8-2 kg, sementara betinanya 1,6-1,8 kg, paruh dan kaki berwarna au-abu kehitaman, umumnya memiliki jambul dan bentuk lehernya kecil memanjang, bersifat tidak mengerami telurnya sendiri, produktivitas telur mencapai 220 butir / ekor / tahun, berat telur 59 gram / butir, cangkangnya lumayan tebal dan hijau keabuan atau putih kebiruan, mulai bertelur 6-7 bulan. 2.1.2. Itik Mojosari Menurut Sohibbul (2008) bahwa itik Mojosari merupakan salah satu itik petelur unggul lokal yang berasal dari Kecamatan Mojokerto Jawa Timur lebih spesifiknya lagi dari desa Modopuro Mojosari Mojokerto. Saat ini itik Mojosari telah tersebar di wilayah Indonesia. Itik ini berproduksi lebih tinggi dari pada itik Tegal. Itik Mojosari berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha ternak itik komersial, baik pada lingkungan tradisional maupun intensif. Ciri-ciri itik Mojosari, antara lain yaituWarna bulu kemerahan dengan variasi coklat kehitaman, pada itik jantan ada 1-2 bulu ekor yang melengkung ke atas, warna paruh dan kaki hitam, berat badan dewasa rata-rata 1,7 kg, produksi telur rata-rata 230-250 butir/tahun, berat telur rata-rata 65 gram, warna kerabang telur putih kehijauan 2.1.3. Itik Alabio Itik alabio merupakan salah satu plasma nutfah unggas lokal yang mempunyai keunggulan sebagai penghasil telur. Itik ini telah lama dipelihara dan berkembang di Kalimantan Selatan, terutama di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), dan Hulu Sungai Utara (HSU). Populasi itik alabio di Kalimantan Selatan tahun 2006 tercatat 3.487.002 ekor (Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan 2006).
Gambar 4. Itik Alabio (Anonim, 2011) Ciri-ciri dari itik Alabio, antara lain yaitu warna bulu coklat abu dengan bintik-bintik putih di seluruh badan dengan garis putih di sekitar mata. Pada jenis jantan, warna bulu cenderung gelap, sayapnya terdapat beberapa helai bulu suri berwarna hijau kebiruan mengkilap, warna paruh dan kaki kuning terang, berat badan bobot badan betina umur 6 bulan 1,60 kg dan jantan 1,75 kg, produksi telur rata-rata 220-250 butir/ekor/tahun, berat telur rata-rata 59-65 g/butir, warna kerabang telur putih kehijauan, bobot badan umur 8 minggu= 981-1.152 gr/ekor, bobot DOD 45-49 gr/ekor (Anonim, 2011) 2.2. Seleksi Telur Tetas Pada dasarnya salah satu faktor yang mempengaruhi proses penetasan adalah penyeleksian telur. Seleksi telur tetas merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memilih telur tetas yang memenuhi persyaratan untuk ditetaskan. Seleksi telur dilakukan oleh peternak pada dasarnya untuk menghindari kegagalan dalam penetasan telur yang akan mengkibatkan kerugian. Dimana telur yang akan ditetaskan harus disortasi terlebih dahulu untuk memisalahkan telur yang berkualitas dengan telur yang tidak berkualitas atau cacat. Telur tetas yang baik yang bisa dijadikan bibit atau bisa ditetaskan memiliki ciri-ciri antara lain: 1) kulit telur tampak bersih dan tidak cacat (seperti retak atau pecah), 2) kulit telur tidak tampak terlalu tipis, 3) bentuknya oval (bulat lonjong) dengan perbandingan lebar dan panjang 3:4. Telur yang terlalu lonjong atau bulat daya tetasnya rendah, 4) ukuranya seragam (normal, tidak terlalu kecil, atau terlalu besar). Bobot normalnya antara 35-40 g, dan jika kurang dari 35 g maka bibit yang dihasilkan berukuran kecil dan lambat pertumbuhannya. Sedangkan telur yang bobotnya lebih dari 40 g, daya tetasnya rendah karena sering mati sebelum keluar dari cangkang, 5) pada bagian dalam bulatan telur yang tumpul terdapat ruang udara yang masih utuh seperti saat dikeluarkan dari induknya. Ruang udara itu dapat dilihat dengan menyerotkan lampu senter, 6) telur berasal dari induk betina yang di kawini oleh pejantan yang baik dan sehat, dan 7) telur tidak disimpan lebih dari 6 hari. Penyimpanan sebaiknya dilakukan pada tempat yang bersuhu sedang atau tidak terlalu lembab (Sujionohadi dan Setiawan, 2007). Telur tetas yang baik adalah telur yang memiliki daya tetas tinggi. Daya tetas yang tinggi dapat dilihat dari nilai indeks telur. Indeks telur adalah perbandingan lebar maksimal dengan panjang maksimal telur dikalikan dengan 100%. Nilai indeks telur sebesar 74% berarti telur memiliki daya tetas yang paling tinggi. Dengan demikian, bentuk telur yang akan digunakan dalam penetasan janganterlalu bulat atau terlalu lonjong. Kisaran nilai indeks telur sebesar 74% akan mempermudah dalam pengepakan telur. Nilai Indeks Telur bervariasi antara 65-82 dimana yang ideal berkisar antara 69-77 % (Abidin 1999). 2.3. Teknologi Penetasan Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur sampai pecah menghasilkan anak. Dimana penetasan dapat dilakukan secara alami oleh induk atau secara buatan (artificial) menggunakan mesin tetas. Bagi beberapa spesies, penetasan secara alami merupakan cara penetasan paling efisien. Namun, bagi ayam, kalkun, dan itik, cara penetasan buatan lebih menguntungkan untuk tujuan ekonomis. Tingkat keberhasilan penetasan buatan tergantung dari banyak faktor, antara lain telur tetas, mesin tetas, dan tatalaksana penetasan (manajemen). (Suprijatna, 2008). Dalam tata laksana penetasan telur itik dikenal dua cara yaitu 1) cara tradisional, cara ini termasuk salah satu cara yang praktis, ekonomis dan menghasilkan indeks tetas yang tinggi. Penetasan dapat menggunakan ayam atau entog yang sedang mengeram. Kelemahannya, jumlah telur sangat terbatas dan harus bersamaan dengan waktu mengeram ayam atau enthog. Menetaskan telur itik dengan bantuan ayam hanya mempunyai kapasitas 10 butir per ekor. Pengeraman dengan cara ini memerlukan waktu 28 hari, terhitung mulai saat telur pertama kali dierami, 2) cara modern, cara ini merupakan usaha penetasan dengan menggunakan alat penetasan. Keistimewaannya, penetasan dapat dilakukan setiap saat dan dalam jumlah yang banyak, tetapi pelaksanaannya memerlukan keterampilan khusus supaya bisa menghasilkan angka tetas yang tinggi (Murtidjo, 1993). 2.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penetasan 2.3.1.1 Temperatur Embrio akan berkembang bila temperatur udara disekitar telur minimal 70oF (21,11oC) namun perkembangan ini sangat lambat. Di bawah temperatur udara ini praktis embrio tidak mengalami perkembangan, sehingga penyimpanan telur tetas sebaiknya sama atau di bawah temperatur tersebut (Jasa, 2006). Berdasarkan hal tersebut, temperatur lingkungan mesin tetas harus diatur sesuai dengan kebutuhan proses penetasan. Temperatur embrio harus sesuai dengan kondisi penetasan alami dengan menggunakan induk. Jasa (2006) menyatakan bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan embrio adalah berkisar diantara 35 37oC. Hal yang dilakukan supaya embrio dapat berkembang dengan baik maka suhu di dalam ruang penetasan diatur dengan kisaran suhu 95 104oF, untuk menjamin embrio mendapatkan suhu yang ideal untuk perkembangan yang normal. Saat ini, penetasan telur itik di Pedesaan masih banyak yang menggunakan induk untuk menetaskan telur. Hal ini dirasa kurang efektif karena jumlah telur yang dapat ditetaskan per induk relatif sedikit, yaitu hanya berkisar antara 5 - 10 telur. Sementara kebutuhan konsumsi telur dan daging terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya populasi penduduk di Indonesia, sehingga dibutuhkan suatu teknologi untuk dapat menetaskan telur itik sesuai dengan permintaan. Perkembangan embrio akan mengalami istirahat atau tidak berkembang pada kondisi temparatur tertentu, hal ini disebut physiological zero. Temperatur tersebut adalah 75oF (23,6oC). Telur ayam akan menetas pada penetasan buatan (menggunakan mesin tetas) bila tersedia temperatur sekitar 95-105oF (35-40,5oC). Diantara temperatur tersebut terdapat temperatur optimal, dimana dihasilkan perkembanagan embrio terbaik pada 19 hari pertama penetasan, temperatur optimal lebih tinggi dibandingkan dua hari terakhir penetasan (Suprijatna dkk., 2005). Dua masa paling kritis dalam kehidupan embrio yang sedang ditetaskan terjadi pada umur 2- 4 hari (24-96 jam) dan 19 -20 hari (pada saat anak ayam berusaha memecahkan kulit telur). Oleh sebab itu, waktu untuk candling (peneropongan telur) dan transfer telur dari setter ke hetcher (saat telur berada di luar mesin tetas) yang dilakukan pada hari ke 19 sebaiknya tidak lebih dari 30 menit. Selain itu fumigasi di inkubator/setter sebaiknya tidak dilakukan hari ke dua (24 jam) sampai hari ke empat (96 jam) dari saat telur masuk kemesin tetas. Untuk mendapatkan hasil tetas yang lebih tinggi, transfer dari setter ke hitcher dilakukan pada saat 5% telur mulai retak (Sudaryani, dkk., 2004). Pengaruh suhu terhadap lama waktu penetasan dapat dilihat pada Tabel 1. Penghambatan pertumbuhan embrio terjadi karena berhubungan dengan hal-hal berkut: (1) pengurangan pertukaran gas, kegagalan chorioallantois menjadi garis permukaan yang lengkap pada membran kerabang dalam; (2) pengurangan perluasan daerah vaceculosa, pembatasan pengambilan nutrien oleh embrio, dan (3) kegagalan embrio dalam menggunakan sisa albumen (Tullett dan Burton, 1987). Willson (1991) menyatakan bahwa pemutaran telur sebaiknya dilakukan setiap jam sekali dan dihentikan pada hari ke delapan belas inkubasi. Tabel 1. Pengaruh suhu terhadap lama waktu penetasan Temperatur (oC) Waktu tetas telur (hari) 36,1 22,5 36,7 21,5 37,3 21,0 38,9 19,5 Sumber: Sudaryani, dkk., (2004). 2.3.1.2 Kelembaban Selama penetasan berlansung diperlukan kelembaban yang sesuai dengan perkembangan embrio. Kelembaban nisbi yang umum untuk penetasan telur ayam sekitar 60-70%. Kelembaban juga dipengaruhi proses metabolisme kalsium (Ca) pada embrio. Saat kelembaban nisbi terlalu tinggi, perpindahan Ca dari kerabang ketulang-tulang dalam perkembangan embrio lebih banyak. Pertumbuhan embrio dapat diperlambat oleh keadaan kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Sedangkan pertumbuhan embrio optimum akan diperoleh pada kelembaban nisbi mendekati 60%. Mulai hari pertama hingga hari kedelapan belas kelembaban nisbi yang diperlukan sebesar 60%, sedangkan untuk hari- hari berikutnya diperlukan 70%. Biasanya, kelembaban dapat diatur dengan memberikan air ke dalam mesin tetas dengan cara meletakannya dalam wadah ceper (Paimin, 2001). Kelembaban udara yang diukur dengan hygrometer di dalam ruang inkubator haruslah dijaga pada pembacaan menggunakan hygrometer pada kisaran 55-60% untuk 18 hari pertama di incubator, dan 65-70% untuk 3 hari berikutnya. Hal ini menjadi penting karena ke tidak akuratan dalam penerapan kelembaban udara dapat mempengaruhi secara signifikan keberhasilan dalam penetasan telur. Bila kelembaban udara terlalu rendah maka akan terjadi peningkatan penguapan udara dari kulit telur yang kemudian dapat menyebabkan embrio ayam tidak kuat memecah kulit telur karena lapisan/selaput bagian dalam telur menjadi keras. Dalam hal demikian maka penambahan sebuah nampan dan diisi air diperlukan untuk mencapai kisaran angka yang diperlukan. Sebaliknya jika kelembaban udaranya terlalu tinggi maka penurunan kelembabannya dapat dengan cara mengganti nampan dengan yang lebih kecil atau menutupi sebagian permukaan Kelembaban di inkubator/setter 52-55% (setara dengan 28,9 oC-29,4 oC pada bola basah thermometer), sedangkan kelembaban pada hitcher mula-mula 52-55%. Apabila 1/3 dari jumlah telur di dalam hicher telur retak, maka kelembaban dinaikan menjadi 70-75% (32,8- 33oC) pada bola basah thermometer), untuk mendapatkan data kelembaban di dalam setter maupun hitcher, maka setiap saat kain kaos yang terdapat pada bola basah thermometer harus dibersihkan agar kain kaos tidak mengeras karena kalsium, maka untuk mengecek thermometer bola basah dipakai air minum/air destrilisasi. Untuk itu, dapat dipakai air hujan/aguades supaya tidak terjadi gangguan kelembaban pada hicher. Gangguan kelembaban ini dapat menyebabkan kegagalan pembukaan pintu hitcher pada saat telur mulai pecah kulit dan anak ayam mulai menyampul (Sudaryani dan Santosa, 2003). 2.3.2. Peubah Dalam Penetasan Telur 2.3.3.1 Fertilitas Faktor-faktor yang mepengaruhi fertilitas adalah motilitas sperma, ransum, hormon, lama penyinaran, umur, produksi telur, preferential mating, musim, perbandingan jumlah jantan dan betina dan lamanya jantan berada dalam kandang. Desinfektan tidak langsung mempengaruhi fertilitas, faktor yang langsung mempengaruhi fertilitas adalah kondisi semen, kandungan gizi pakan, produksi telur, heretabilitas, rasio jantan-betina, iklim, kualitas kulit telur dan kondisi mesin tetas (North dan Bell, 1990). Nurhayati dkk. (2000) menyatakan bahwa agar telur dapat menetas jadi anak, telur tersebut harus dalam keadaan fertil. Telur tetas merupakan telur yang telah dibuahi oleh sel kelamin jantan. Fertilitas adalah persentase telur yang fertil dari seluruh telur yang digunakan dalam satu penetasan. Telur unggas yang akan ditetaskan sebaiknya diambil dari induk betina yang dipelihara bersama pejantan dengan perbandingannya 2-3 : 1. Pengambilan telur tetas dapat dilakukan sebulan setelah dewasa kelamin, tujuannya agar semen unggas benar-benar telah dewasa kelamin dan semua telur tetas yang diambil diharapkan telah dibuahi dalam kondisi normal dengan sex rasio yang benar dan Pemberian ransum yang baik fertilitas dapat mencapai 85- 95% (Rasyaf 1993 dalam listiyowati dan Rospitasari 2004). Fertilitas telur unggas juga dipengaruhi oleh faktor-faktor, sperma, pakan, umur bibit, musim/suhu, sifat kawin pejantan, waktu perkawinan, dan produksi telur (Anonimous, 2002). 2.3.3.2 Daya Tetas Telur yang bersih mempunyai daya tetas yang lebih tinggi dibandingkan telur yang kotor, karena telur yang kotor mengandung mikroorganisme yang akan masuk kedalam telur pada proses penetasan, sehingga menurunkan daya tetas (Agus, dkk., 2001). Menurut North dan Bell (1990) bahwa faktor-faktor yang langsung mempengaruhi daya tetas adalah kondisi sperma, umur induk, kesehatan induk, kandungan zat gizi pakan, produksi telur, heretabilitas, rasio jantan betina, iklim, kualitas kulit telur dan kondisi mesin tetas (jumlah mikroorganisme). Sedangkan Putra (2009) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas adalah breeding, produksi telur, umur, tatalaksana pemeliharaan, kondisi kandang dan ransum.
2.3.3.3 Bobot Tetas Berat tetas tidak dipengaruhi oleh jenis desinfektan. Berat telur akan mempengaruhi berat tetas. Berat telur tetas yang seragam akan menghasilkan berat tetas yang sama (Mahfudz,1998). Beberapa penyakit pada breeder farm mempengaruhi perkembangan embrio, daya tetas dan kualitas anak ayam, sehingga menyebabkan infeksi pada hasil tetas, kematian dan anak ayam menjadi lemah (North dan Bell, 1990). Menurut Rasyaf (1989) dalam Ilmi (2005) bahwa ada hubungan yang positif antara berat telur dengan berat awal anak ayam yang menetas pada umur sehari. Djannah (1988) dalam Ilmi (2005) bahwa berat besarnya telur merupakan suatu karakter performans yang turun temurun, karakter itu berbeda setiap bangsa, varietas dan strain ayam. Untuk memperoleh hasil penetasan yang baik, maka lama penyimpanan maksimal telur yang akan ditetaskan adalah 7 hari (Triharyanto, 2001). Prayitno (1992) bahwa telur yang memiliki daya tetas yang tinggi yaitu telur yang berumur 1-7 hari dan telur yang baru dipungut dari kandang tidak baik hasilnya jika langsung ditetaskan. Telur yang akan ditetaskan hendaknya dalam keadaan bersih. Telur yang kotor dan terkontaminasi bakteri dapat menyebabkan telur membusuk (Nuryati, dkk 2002). Bentuk telur oval atau lonjong dengan ukuran telur normal, artinya tidak terlalu besar tidak kecil memiliki daya tetas yang baik. Tetapi bentuk telur yang bentuknya terlalu bulat atau lonjong memiliki daya tetas yang baik tetapi bentuk telur yang bentuknya terlalu bulat atau lonjong memiliki daya tetas rendah (Cahyono, 2000).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat Praktikum ini dilaksanakan mulai bulan Maret April 2012. Bertempat di Kandang Atas Jurusan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Haluoleo, Kendari.
3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum mengenai Fertilitas, Daya Hidup Embrio dan Daya Tetas Telur Itik Lokal dapat dilihat pada Tabel 2. sebagai berikut : Tabel 2. Alat yang digunakan dalam praktikum beserta kegunaannya No. Nama Alat Kegunaan 1. Mesin Tetas Untuk tempat menetaskan telur 2. Timbangan Digital Untuk menimbang telur dan DOD 3. Spidol Untuk menulis kode telur 4. Jangka Sorong Untuk mengukur panjang dan lebar telur 5. Egg Try Untuk menyimpan telur 6. Center Untuk meneropong telur 7. Alat Tulis Menulis Untuk mencatat hasil pengamatan
Bahan yang digunakan dalam praktikum mengenai Fertilitas, Daya Hidup Embrio dan Daya Tetas Telur Itik Lokal dapat dilihat pada Tabel 3. sebagai berikut : Tabel 3. Bahan yang digunakan beserta kegunaannya No. Nama Bahan Kegunaan 1. Telur Itik Sebagai obyek amatan 2. DOD Sebagai obyek amatan
3.3. Prosedur Kerja Adapun prosedur kerja praktikum mengenai Fertilitas, Daya Hidup Embrio dan Daya Tetas Telur Itik Lokal sebagai berikut : 1. Menyiapkan mesin tetas sederhana yang telah dirangkai seri menggunakan aliran listrik dan telur itik berumur 7 hari 2. Menimbang dan mengukur telur 3. Mengatur suhu ruang mesin tetas 4. Memasukkan telur kedalam mesin tetas yang rapi dengan hati-hati 5. Melakukan pembalikan telur setiap hari pada pagi dan sore agar telur mendapatkan suhu panas yang merata. 6. Megeluarkan telur dari mesin tetas 15 menit 7. Melakukan peneropongan telur, 7 hari pertama untuk melihat telur yang fertil dan tidak. 8. Melakukan peneropongan telur pada minggu ke-2 yaitu hari ke-14 untuk melihat perkembangan embrio (DHE). 9. Megelurakan dan menimbang DOD sebagai bobot awal. 3.4. Batasan Operasional Adapun peubah yang diamati dalam praktikum ini yaitu : 1. Fertilitas adalah persentase telur-telur yang bertunas dari sejumlah telur yang dieramkan, tanpa memperhatikan apakah telur-telur tersebut menetas atau tidak. Fertilitas diamati pada umur penetasan 7 hari yang dihitung dengan rumus :
Jumlah telur fertil Fertilitas = x 100% Jumlah telur yang ditetaskan 2. Daya hidup embrio adalah persentase telur-telur yang fertil dari umur 7 hari penetasan sampai pada umur 14 hari penetasan. Daya hidup embrio diamati pada umur penetasan 14 hari yang dihitung dengan rumus : Jumlah embrio yang masih hidup ke-14 hari Daya hidup embrio = x 100% Jumlah telur fertil yang ditetaskan 3. Daya tetas adalah persentase telur-telur yang menetas dari jumlah telur yang fertil dapat dihitung dengan rumus : Jumlah telur menetas Daya tetas = x 100% Jumlah telur fertil 4. Bobot tetas (g) adalah bobot badan anak itik (DOD) setelah menetas yang ditimbang setelah 95% bulunya kering.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Karakteristik Telur Itik Alabio
Berdasarkan hasil pengamatan, maka persentase karakteristik telur itik lokal dapat dilihat pada table 4 dibawah ini: Tabel 4. Karakteristik Telur Itik Karakteristik Telur Warna (%) Tekstur (%) Bentuk (%)
Pada tabel 4 terlihat bahwa persentase warna telur itik yang berwarna putih 53% dan biru 46%. Ini menunjukkan bahwa warna telur itik yang berwana putih lebih dominan dibandingkan dengan telur yang berwarna biru. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2011) yang menyatakan bahwa warna kerabang telur itik alabio yaitu putih kehijauan. Warna kerabang telur ini dipengaruhi oleh pigmen warna terhadap pakan yang diberikan kepada induk, dan genetic dari itik tersebut. Persentase tekstur telur itik pada tabel 4 sebesar 100% adalah halus. Ini menunjukkan bahwa tekstur telur pada itik alabio yang dijadikan sebagai telur tetas merupakan telur yang bagus, sebab jika tekstur telur yang dijadikan sebagai telur tetas adalah kasar biasanya menandakan bahwa pori-pori tersebut banyak dan besar serta memudahkan mikroorganisme akan mudah masuk dan merusak telur sehingga dapat menyebabkan kegagalan penetasan. Pada tabel 4 terlihat bahwa rata-rata bentuk telur yang dominan yaitu oval dengan persentase 87% dan lonjong sebesar 17%. Hal ini menunjukkan bahwa telur dengan bentuk oval sangat baik dijadikan sebagai telur tetas karena dihasilkan dari induk yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda. Telur dengan bentuk yang oval mempunyai daya tetas tinggi ini disebabkan karena kantong udara dalam telur dalam posisi yang sempurna yaitu antara abumin dan yolk seimbang, sehingga embrio dalam telur dapat berkembang dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sujionohadi dan Setiawan (2007) dalam Hazizi (2011), menyatakan bahwa telur tetas yang baik untuk dijadikan sebagai bibit atau bisa ditetaskan memiliki ciri salah satu diantaranya adalah bentuknya oval (bulat lonjong) dengan perbandingan lebar dan panjang 3:4, Telur yang berbentuk oval memiliki daya tetas yang tinggi,sedangkan Telur yang terlalu lonjong atau bulat daya tetasnya rendah. Hal ini diperkuat oleh pendapat Cahyono (2000) Bentuk telur oval atau lonjong dengan ukuran telur normal, artinya tidak terlalu besar tidak kecil memiliki daya tetas yang baik. Tetapi bentuk telur yang bentuknya terlalu bulat atau lonjong memiliki daya tetas yang baik tetapi bentuk telur yang bentuknya terlalu bulat atau lonjong memiliki daya tetas rendah 4.2 Persentase Dimensi Telur Itik Berdasarkan hasil pengamatan tentang pengukuran dimensi telur itik Alabio dapat dilihat pada table 5. Table 5. Dimensi Telur Itik Rata-Rata Dimensi Telur Itik Bobot (gr) Ukuran telur (mm) Indeks (%) 58,2 Lebar Panjang 75,1 42,7 57
Pada table 5, terlihat bahwa bobot telur itik rata-rata sebesar 58,2 gr. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Anonim (2011) yang menyatakan bahwa telur itik alabio mempunyai berat telur rata-rata 59-65 g/butir. Namun belum dipastikan bahwa berat telur tersebut dapat mempengaruhi kegagalan penetasan karena tidak ada literature yang mendukung. Kecuali pada telur ayam bobot normalnya antara 35-40 g, dan jika kurang dari 35 g maka bibit yang dihasilkan berukuran kecil dan lambat pertumbuhannya. Sedangkan telur yang bobotnya lebih dari 40 g, daya tetasnya rendah karena sering mati sebelum keluar dari cangkang (Sujionohadi dan Setiawan, 2007). Persentase indeks telur itik pada table 5 sebesar 75,1%. Hal ini menunjukkan bahwa daya tetas dari indeks telur cukup tinggi da berada pada kisaran normal. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abidin (1999) bahwa telur tetas yang baik adalah telur yang memiliki daya tetas tinggi. Daya tetas yang tinggi dapat dilihat dari nilai indeks telur Nilai indeks telur sebesar 74% berarti telur memiliki daya tetas yang paling tinggi. Dengan demikian, bentuk telur yang akan digunakan dalam penetasan janganterlalu bulat atau terlalu lonjong. Kisaran nilai indeks telur sebesar 74% akan mempermudah dalam pengepakan telur. Nilai Indeks Telur bervariasi antara 65-82 dimana yang ideal berkisar antara 69-77 %. 4.3 Persentase Daya Fertilitas Fertilitas adalah persentase telur-telur yang bertunas dari sejumlah telur yang dieramkan, tanpa memperhatikan apakah telur-telur tersebut menetas atau tidak menetas. Jumlah telur- telur yang bertunas tersebut ditentukan berdasarkan hasil peneropongan (candling) yang dilakukan pada hari ke 7 saat telur tetas dibalik pada sore hari. Telur fertil memperlihatkan adanya perkembangan embrio dari sejumlah telur yang dieramkan yang ditandai dengan adanya akar-akar serabut pembuluh darah dan di tengah serabut-serabut tersebut terdapat bintik darah, sedangkan telur yang infertil terlihat bening tanpa ada serabut pembuluh darah dan bintik darah. Persentase fertilitas telur itik Alabio dapat dilihat pada table 6. Tabel 6. Persentase fertilitas telur itik alabio Persentase fertilitas Telur Itik Jumlah (butir) Persentase Fertil 79 60.77 Infertil 37 28.46 Mortilitas 14 10.77
Tabel 6 menunujukkan bahwa persentase fertilitas telur itik Alabio yaitu 60,77% (hidup), infertile (mati dini) 28,46%, dan telur motil (kosong) sebesar 10,77%. Fertilitas yang diperoleh dari praktikum ini lebih tinggi dibandingkan dengan fertilitas telur ayam tolaki yang diperoleh Hazizi (2011) sebesar 52,72%. Fertilitas yang diperoleh pada praktikum ini kemungkinan pola pemeliharaan yang baik, ratio jantan dan betina yang tepat, dan manajemen yang tepat. hal ini sesuai dengan pebdapat Suprijatna (2005) yang meyatakan bahwa ratio jantan dan betina yang ideal 1:6-1:8 akan menhasilkan fertilitas yang tinggi. Ini diperkuat oleh pendapat North dan Bell (1990) bahwa faktor lain yang mempengaruhi fertilitas adalah kondisi semen, kandungan gizi pakan, produksi telur, heretabilitas, rasio jantan-betina, iklim, kualitas kulit telur dan kondisi mesin tetas. Selain itu data ini diperoleh dari hasil candling atau peneropongan pada hari ke-7. Telur yang tidak fertile dikeluarkan dari mesin tetas yaitu sekitar 28,79% karena dapat mempengaruhi perkembangan embrio yang ada didalam ruang penetasan. Telur-telur yang tidak fertile ini mungkin disebabkan karena jarak pengangkutan telur dari asalnya ke ruang penetasan, guncangan. Sedangkan telur yang mortil atau kosong disebabkan karena tidak dibuahi oleh pejantan. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Windyarti (2009), manyatakan bahwa telur yang tidak fertil berdasarkan hasil candling lebih baik dikeluarkan dari ruang inkubator. Telur telur tersebut yang ditemukan mati dini disebabkan karena pengagkutan telur dari asalnya ke ruang inkubator, karena goncangan, perolehan suhu yang tidak merata dan sebagainya. Sedangkan telur yang mortil atau kosong disebabkan karena tidak dibuahi oleh pejantan. 4.4 Persentase Daya Hidup Embrio Daya hidup embrio adalah persentase telur-telur fertil yang masih hidup sampai pada hari ke 14 umur penetasan. Untuk mengetahui daya hidup embrio dari telur-telur yang fertil dilakukan peneropongan (candling) pada hari ke-14 umur penetasan saat telur dibalik pada sore hari. Telur yang masih hidup pada 14 hari umur penetasan ditandai dengan bertambahnya jumlah dan ukuran akar-akar serabut pada telur, sedangkan telur yang mati ditandai adanya bintik dan benang darah merah yang mengelilingi telur. Persentase daya hidup embrio dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Persentase daya hidup embrio telur itik alabio Persentase DHE Telur Itik Jumlah Persentase Mortilitas 6 7.60% DHE hari ke-14 73 92.40%
Tabel 7 menunjukkan persentase daya hidup embrio (DHE) pada hari ke-14 yaitu sebesar 92.40% dan yang mortilitas sekitar 7,60%. Tingginya daya hidup embrio ini kemungkinan disebabkan penanganan telur tetas selama proses penetasan dilakukan secara hati-hati, penanganan telur pada saat pembalikan tidak terlalu lama, sehingga suhu dalam mesin tetas tetap stabil. Selain itu pada praktikum ini pembalikan telur dalam mesin tetas dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari, saat dilakukan pembalikan telur dilakukan dengan perlahan agar telur tidak retak atau pecah dan isinya tidak terguncang. Hal ini sesuai dengan pendapa Tullet Tullet (1990) dalam Hazizi (2012), menyatakan bahwa keberhasilan penetasan tergantung dari suhu, kelembaban, frekuensi pemutaran telur, ventilasi dan kebersihan telur. 4.5 Persentase Daya Tetas Telur Itik Daya tetas ditentukan berdasarkan jumlah telur tetas yang menetas dari sejumlah telur-telur tetas yang tertunas atau fertil (Djannah, 1998). Persentase daya tetas telur itIk dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8. Persentase daya tetas telur Persentase Daya Tetas Telur Itik Jumlah Persentase Telur tidak menetas 43 58.90% DOD menetas 30 41.10%
Berdasarkan tabel 8 menunujukkan bahwa persentase daya tetas telur yang menetas sebesar 41,10%. Dari data tersebut diketahui bahwa daya tetas tersebut sangat rendah. Hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Hazizi (2011) yang mendapatkan daya tetas ayam tolaki 55,21%. Rendahnya daya tetas pada praktikum ini kemungkinan besar disebabkan umur pajantan dan induk yang digunakan sudah tua yakni >24 bulan. Kemudian hasil ini sangat berbeda dengan pendapat Suryana (2011) yang menyatakan bahwa daya tetas berkisar 79,49-80%. Menurut North dan Bell (1990) bahwa faktor-faktor yang langsung mempengaruhi daya tetas adalah kondisi sperma, umur induk, kesehatan induk, kandungan zat gizi pakan, produksi telur, heretabilitas, rasio jantan betina, iklim, kualitas kulit telur dan kondisi mesin tetas (jumlah mikroorganisme). Sedangkan Putra (2009) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas adalah breeding, produksi telur, umur, tatalaksana pemeliharaan, kondisi kandang dan ransum. 4.6 Penimbangan Bobot Awal DOD Bobot tetas adalah bobot badan anak ayam setelah menetas yang ditimbang setelah kering bulunya. Berdasarkan hasil pengamatan tentang penimbangan bobot awal DOD dapat dilihat pada tabel 9 sebagai berikut : Tabel 9. Penimbangan bobot awal DOD Jumlah DOD (Ekor) Jumlah Bobot DOD (gram) Rata-rata BB DOD (gram) 30 1013.01 33.77
Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata bobot badan awal DOD setelah ditetaskan diperoleh hasil sekitar 33,77 gram. Hal ini berbeda dengan pendapat Anonim (2011) yang menyatakan bahwa bobot DOD bobot DOD pada telur itik alabio 45-49 gr/ekor. Rendahnya bobot badan disebabkan karena ukuran telur itik alabio lebih kecil dbandingkan dengan telur itik Mojosari dan itik Bali. Hal ini sesuai dengan pendapat Anonim (2011) bahwa berat telur itik Alabio yaitu bobot DOD 45-49 gr/ekor, sedangkan telur itik Mojosari berat telur rata-rata 65 gram (Sohibbul 2008) dan itik Bali berat telur 59 gram/butir (Agus, 2001),. Selain itu telur yang dijadikan sebagai telur tetas ukurannya tidak seragam. Ini sesuai dengan pendapat Ilmi (2005) dalam Hazizi (2011) bahwa ada hubungan yang positif antara bobot telur dengan bobot awal anak ayam yang menetas pada umur sehari. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiharto (1988) dalam Hazizi (2011), menyatakan bahwa penetasan dengan bobot telur seragam akan memberikan hasil yang baik karena anak-anak unggas yang menetas nantinya juga memiliki bobot yang seragam, telur harus seragam bentuk, warna dan bobotnya. 4.7 Pengamatan Fenotip DOD Hasil pengamatan fenotip DOD dapat dilihat pada Tabel 10 sebagai berikut : Tabel 10. Fenotip DOD Persentase Warna Bulu DOD (30 ekor) Warna Jumlah Persentase (%) Coklat 20 66.67 Hitam 3 10 Kuning 2 6.67 kuning + coklat 5 16.66 Jumlah 30 100
Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata persentase tertinggi yaitu pada warna bulu coklat sebesar sebesar 66,67% dan terndah pada warna bulu kuning yaitu 6,67%. Kemudian disusul dengan warna bulu kombinasi (kuning + cokelat ) 16,66% dan warna Hitam 10%. Secara keseluruhan DOD bulu yang dominan dari yang lain adalah berwarna cokelat. Hal tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Anonim (2011) bahwa warna bulu itik Alabio adalah cokelat. Namun, ada juga itik yang warna bulunya hitam dan kuning bahkan hanya hitam saja. Hal itu disebabkan karena kemungkinan ternak jantan bulunya berwarna hitam.
.
V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa persentase fertilitas telur itik sebesar yaitu sebesar 60,77%, daya hidup embrio 92,40%, dan daya tetas yaitu daya tetas sebesar 41,10%. Hal ini dipengaruhi oleh banyak factor diantaranya fakor telur tetas, mesin tetas, serta tatalaksana penetasan. 5.2. Saran Saran yang dapat saya ajukan untuk praktikum ini, sebaiknya dilakukan praktikum lanjutan mengenai penetasan telur itik dan telur ayam kampung dengan menggunakan mesin modern yang ada di UPT. Laboratorium Jurusan Peternakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2011. Itik alabio. http://www.sentralternak.com. Di akses 28 mei 2012
Anonim. 2012. Itik Alabio. Kendari. http://www.peternakandody.com/berita-135-itik- alabio.html. Di Akses 28 Mei 2012
Anonim. 2012. Seleksi Telur Tetas. Kendari. http://www.forumternak.com/t40-seleksi-telur- tetas. Di Akses 25 Mei 2012
Agus, G.T. K., K. A. Agus, A. Dinawati dan U.T. Dipo., 2001. Mesin Tetas. Cetakan 1. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Cahyono, B., 2002. Ayam Buras Pedaging. Penebar swadaya. Jakarta.
Djannah, D., 1998. Beternak Ayam. Yasaguna. Surabaya.
Hazizi. 2011. Daya Tetas Telur Ayam Tolaki pada Mesin Tetas dengan Sumber Panas Berbeda. Skripsi Sarjana. Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo, Kendari.
Ilmi, I., 2005. Pengaruh bentuk dan umur telur terhadap daya tetas dan proporsi jenis kelamin ayam arab. Universitas Haluoleo. Kendari Jasa, L., 2006. Pemanfaatan Mikrokontroler Atmega 163 Pada Prototipe Mesin Penetasan Telur Ayam. Teknologi Elektro. www. pdffactory.com. Vol 5 No.1 Januari-Juni 2006
Mahfudz, L. D., 1998. Manajemen Penetasan Telur Unggas. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.
Murtidjo, B., 1993. Mengelola Itik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Nurhayati, T., Sutarto, dan Karim, M., 2000. Sukses Menetaskan Telur. Penebar Swadaya. Cianjur.
North, M. O. dan D. D. Bell., 1990. Commercial Chicken Manual. 4th Ed. Avi Publishing Company Inc. West Port, California.
Paimin, F. B., 2001. Membuat dan mengelola mesin tetas. Penebar swadaya. Jakarta
Putra. Z., 2009. Fertilitas dan daya tetas. PSK Unggas Kelas Dua Untuk Siswa/I SPP- SPMAN Saree Provinsi Aceh. Banda Aceh. http://www.google.co.id.
Rassinglili, A., 2010. Tips Penetasan dan Setelah Penetasan. http://www.andela- rassinglili.co.id. Tanggal 18 bulan april 2010.
Rasyaf, M., 1994. Beternak Itik. Kanisius. Yogyakarta. Sudaryani, T. dan Santosa, H., 2003. Pembibitan Ayam Ras. Penebar swadaya. Jakarta.
Sudaryani, Titik dan Santosa, H., 2004. Pembibitan Ayam Ras. Penebar swadaya. Jakarta
Suprijatna, E., Atmomarsono, U., Kartasudjana, R., 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar swadaya. Jakarta.
Suprijatna, E., Atmomarsono, U., Kartasudjana, R., 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar swadaya. Jakarta.
Tullett, S. G. dan F.G. Burton, 1987. Effect of two gas mixtures on growth of the domestic fowl embryo from days 14 through 17 of incubation. J. Exp. Zool. Suppl. 1 : 347-350
Windhyarti S.S., 2009. Beternak Itik Tanpa Air Edisi Revisi. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Diposkan oleh Pipit_Anggraeni di 01.36 Tidak ada komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda Langganan: Entri (Atom) Arsip Blog 2013 (1) o Januari (1) TEKNOLOGI PENETASAN UNGGAS DAN PEMBIBITAN TERNAK 2012 (3) Mengenai Saya
Pipit_Anggraeni kendari, sulawesi tenggara, Indonesia aQ suka baca buku, olahraga, dengar music.. yang terpenting aQ suka belajar banyak hal dari Hidup... I LOve My family and my Life... ^^ aQ suka 2PM, Big Bang, 2AM and semua music yang enak didengar... ^^
Lihat profil lengkapku Template Awesome Inc.. Diberdayakan oleh Blogger.
Log In
Sign Up
Inseminasi Buatan Pada Unggasmore by andhika putra 3 Download (.docx) Inseminasi_Buatan_Pada_Unggas.docx 77.2 KB
16 stress pada unggas karena perubahan suasana kandang maka dapat diberikanvitamin anti stress. C. Persiapan Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dibutuhkan adalah : alat suntik (spuit), tabung penampung sperma, tabung pengencer, NaCl Fisiologis 0,9% (pengencer sperma)dan kain lap. Ala( dan bahan ini dapat diperoleh di apotik dan setiap kalidigunakan dalam keadaan steril (dicuci dengan air mendidih). 2. Pengambilan Sperma (Semen) Pejantan harus dipisahkan sekurang-kurangnya 1 hari dari betina sebelumdiambil air maninya. Unggas pejantan harus diperlakukan secara halus dan perlakuan yang kasar dapat mengakibatkan kegagalan memperoleh air mani.Makanan unggas jantan yang dipakai harus terdiri dari banyak makanan butir- butiran.Cara terbaik untuk mengambil air mani pada unggas jantan dengan caramengurut pada bagian sekitar anus. Pengambilan sperma dilakukan oleh 2 orang(satu orang memegang dan mengurut unggas sementara yang lain menampungsperma dengan tabung penampung sperma).Orang pertama memegang unggas jantan pada bagian diantara kedua kakidengan tangan kiri, sambil menarik ke bawah kedua sayapnya dengan tangankanan. Orang kedua dengan tangan kiri mengangkat ekornya ke atas, sambilmengadakan urutan ke muka dan ke belakang pada bagian sekeliling anus, dengancorong yang berisi tabung penampung pada tangan kanan menampung air maniyang keluar. Urutan pada anus dilakukan dengan jari telunjuk dan ibu jari secarateratur dan terus-menerus sampai unggas jantan member respon dengan keluarnya
17 penis dari kloaka dan pada saat ini akan diejakulasikan air maninya.Kada ng-kadang air mani yang diperoleh terkontaminasi oleh darah, ini disebabkanoleh adanya luka pada papilla penis, unggas jantan harus segera diistirahatkan.Pengambilan sperma dapat dilakukan 3-5 kali seminggu pada sore haridiatas pukul 15.00. Sperma yang sudah diperoleh diencerkan denganmenggunakan NaCl Fisiologis sehingga dapat membuahi banyak betina. Spermayang sudah diencerkan jangan disimpan terlalu lama dan harus dihindarkan darisinar matahari secara langsung.Pengambilan sperma dilaksanakan dalam berbagai tahapan sebagai berikut:1. Bersihkan kotoran yang menempel pada anus dan sekitarnya.2. Unggas jantan diapit diantara lengan dan badan, kemudian dilakukanrangsangan dengan cara mengurut berulangkali pada bagian punggung yaitudari bagian pangkal leher sampai pangkal ekor.3. Dengan rangsangan tersebut unggas akan reaksi, ditandai dengan meregangnya bulu ekor ke atas dan pada saat yang bersamaan tekan bagian bawah ekor makaalat kelamin akan mengeluarkan sperma berwarna putih agak kental,selanjutnya ditampung dengan tabung penampung.4. Encerkan sperma dengan larutan infuse atau NaCl Fisiologis 0,9% dengan perbandingan 1 : 6- 10. Caranya sedot NaCl Fisiologis dengan spuit sesuaiderajat pengencerannya, masukkan kedalam tabung yang sudah berisi sperma,goyangkan secara perlahan hingga bercampur dan siap untuk dimasukkankedalam saluran reproduksi betina. Umur sperma yang telah diencerkan kuranglebih 30 menit.
18 3. Inseminasi Buatan Pada Indukan Inseminasi Buatan pada unggas dapat dilakukan dengan dua metode yaitu:1. Metode intra vaginal artinya sperma disuntikkan ke dalam vagina dengankedalaman 3 cm.2. Metode intra uterin artinya sperma dimasukkan ke bagian uterus dengankedalaman 7-8 cm.Tahapan kegiatan pelaksanaan Inseminasi Buatan adalah:1. Bersihkan kotoran yang menempel di anus dan sekitarnya denganmenggunakan tissue pembersih.2. Pelaksanaan Inseminasi Buatan dilakukan 2 orang, melaksanakan 1 orangmemegang unggas dan 1 orang Inseminasi Buatan.3. Tekan bagian tubuh dibawah anus hingga terlihat saluran reproduksi (sebelahkid) dan saluran kotoran (sebelah kanan).4. Sperma yang sudah diencerkan disedot dengan spuit tanpa jarum sebanyak 0,1-0,2 ml kemudian dimasukkan kedalam alat kelamin betina.5. Berikan vitamin anti stress pada unggas yang di inseminasi. 6. Untukmendapatkan hasil yang baik, sebaiknya Inseminasi Buatan diulang 3 harisetelah Inseminasi Buatan yang sebelumnya. 4. Pengumpulan Telur Setelah dilakukan inseminasi buatan maka telur yang dapat digunakansebagai telur tetas adalah telur-telur yang dihasilkan 2 hingga 7 had setelahinseminasi. Telur tetas yang baik memiliki persyaratan antara lain: berbentukoval, tidak cacat, memiliki kerabang yang tidak terlalu tebal atau tipis. Telurtersebut disusun pada rak penampung telur dengan posisi bagian tumpul berada di
19 atas. Lama penyimpanan telur tidak boleh lebih dari 4 hari karena apabiladisimpan terlalu lama akan menurunkan daya tetas. 5. Evaluasi Hasil IB Untuk mengetahui keberhasilan IB dapat dilakukan dengan pemeriksaantelur (peneropongan telur) mulai hari ke-3 setelah pengeraman. 6. Metode Penetasan Rangkaian yang tidak kalah penting dalam tata laksana IB adalah penetasan telur hasil inseminasi. Penetasan secara massal dilakukan denganmenggunakan mesin tetas. Suhu mesin tetas diatur pada kisaran 36-39 0 C dengankelembaban 60-70%. Telur yang ditetaskan diberi tanda untuk memudahkan pembalikan telur supaya merata, banyaknya pembalikan minimal 3 kali dalam 24 jam, kecuali pada hari ke 19 hingga menetas tidak diperlukan pe mbalikan lagi,yang penting pemeriksaan air dalam mesin tetas jangan sampai kering karena bisamenyulitkan pecahnya kulit telur dan akhirnya bibit akan mati.Setiap hari hingga hari ke 19 telur diangin-anginkan dengan caramembuka pintu mesin tetas selama 30 menit. Pemeriksaan telur dilakukansebanyak 3 kali selama proses penetasan yaitu pada hari ke 4, 14 dan 18, untukmengetahui apakah telur tersebut fertil atau tidak. Yang perlu diingat pada proses penetasan dengan menggunakan mesin tetas adalah kecermatan dan kesabaransehingga kegagalan dapat dihindari.
20 Saran Teknologi Inseminasi Buatan (IB) perlu dikembangkan ditingkat petani peternak dengan tujuan untuk menyediakan anak unggas umur seha ri (DOC)dalam jumlah banyak, seragam dan memiliki kemampuan genetis yang baik untukdigunakan sebagai sumber penghasil telur ataupun daging. Kendala pelaksanaanteknologi ini adalah rendahnya kemampuan dan keterampilan petani peternaksehingga diperlukan pelatihan dan bimbingan yang berkesinambungan dari pihakterkait khususnya penyuluh peternakan di lapangan.
21 DAFTAR PUSTAKA Aminah, Y. 1994. "Pengaruh Tingkat Dosis Inseminasi Buatan dan MacamPengecer Semen Terhadap Daya Tunas Tetas Telur Unggas ": Skripsi S 1(Unpublish). Jurusan Biologi. FAMIPA-UNPAK, Bogor.Ditjennak. 1995. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan.Departemen Pertanian, Jakarta.Harjosubroto dan Supriyono. 1979. "Performant Unggas Kampung dan UnggasKedu".First Seminar on Poultry Science and Industry, Cisarua, Bo gor. Kismiati, S., 1999. Fertilitas telur dan mortalitas embrio unggas k edu hitam pada intervalinseminasi yang berbeda.Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis: Edisi Khusus:51-55.Lake, P.E. and Stewart, J.M., 1978. Artificial Insemination in Poultry. Ministry ofAgriculture, Fisheries and Food. Her Majestys Stationery Office, London. Otoro. 1992. "Prospek Pemasaran Unggas di DKI Jakarta". Dinas PeternakanDKI Jakarta, Jakarta.Sastrodihardjo, S., S. Sutarman, K. Heruswanto dan N. Hilmia. 1995. "PengaruhMacam Pengecer Semen dan Dosis Inseminasi Buatan Terhadap Periode Fertil Spermatozoa, Daya Fertilitas dan Daya Tetas TelurUnggas " . Proceeding Seminar Hasil Penelitian dan PengembanganBioteknologi (II). PUSLITBANG BIOTEK-LIPI, Jakarta.Sastrodihardjo, S. 1996. "Inseminasi Buatan Pada Unggas ". Leaflet. Cetakankedua BALITNAK, Ciawi-Bogor. Sastrodihardjo, S. dan Isk andar, S., 1997. Sistem Perkawinan Pada Unggas
MateriPelajaran dalam Pelatihan Perunggasan/ Pembibitan Unggas bagi PPL, KCDPeternak an se Indonesia. Balitnak -BLPP Ciawi, 6 Nov.-5 Desember 1997. Wihandoyo dan T. Yuwanto. 1981. "Study Tentang Produktivitas UnggasKampung yang Dipelihara Rakyat di Pedesaan Secara Tradisional" .Laporan Proyek No. 6951 PIT/DPP M/460. UGM, Jogjakarta. Wishart, G., 1996. How fertility works. Poultry International, 35 (2): 54-58. Job Board