Anda di halaman 1dari 148

ATRIBUSI PUBLIK TERHADAP KRISIS SEMBURAN LUMPUR DI SIDOARJO

(Studi Eksperimental Pengaruh Atribusi Publik atas Krisis Semburan Lumpur di Sidoarjo
terhadap Perilaku Menghukum dari Publik di Dusun Candi Sayang, Sidoarjo)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Minat Utama Public Relations


Oleh:
RIZKY IKA SAFITRI
0911220116





JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013


ii

Atribusi Publik Terhadap Krisis Lumpur Di Sidoarjo (Studi Eksperimental Pengaruh
Atribusi Publik Atas Krisis Lumpur di Sidoarjo Terhadap Perilaku Menghukum Dari
Publik Di Dusun Candi Sayang, Sidoarjo).
Rizky Ika Safitri
Rachmat Kriyantono dan Yuyun Agus Riani
ABSTRAKSI
Krisis dapat menjadi ancaman bagi setiap perusahaan dalam mempertahankan
reputasinya. Ketika krisis terjadi, beberapa publik akan mencari penyebab terjadinya
krisis sehingga proses ini disebut atribusi. Publik dapat mengetahui penyebab krisis
salah satunya melalui media massa dan nilai berita dalam pemberitaan dapat menjadi
pendukung atribusi publik. Atribusi yang dilakukan oleh publik dapat menentukan
bagaimana penilaian publik mengenai penanggung jawab krisis dan selanjutnya akan
berdampak pada perilaku menghukum publik terhadap organisasi yang bersangkutan.
Situational Crisis Communication Theory (SCCT) digunakan untuk mengkaji
penanggung jawab krisis, sedangkan Atttribution Theory digunakan untuk mengkaji
perilaku menghukum publik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan metode eksperimental. Sebelum melakukan metode eksperimen, analisis isi
digunakan sebagai metode penelitian pendahuluan untuk meneliti nilai berita yang
akan digunakan pada metode eksperimen. Sampel yang dipilih adalah publik di
Dusun Candi Sayang, Sidoarjo. Teknik pengambilan data yang digunakan berupa
kuisioner. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster sampling.
Teknik analisis menggunakan one-way anova untuk melihat pengaruh pemberitaan
media massa dengan mean atribusi publik antara kelompok eksperimen (kelompok
pemberitaan positif, kelompok pemberitaan negatif) dan kelompok kontrol (tanpa
diberi pemberitaan).
Untuk mengetahui pengaruh pemberitaan sebagai perlakuan terhadap atribusi
publik digunakan indikator yang meliputi penyebab krisis dan penanggung jawab
krisis. Selain itu, pengaruh atribusi publik terhadap perilaku menghukum digunakan
perilaku menghukum oleh publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh signifikan pemberitaan terhadap atribusi masyarakat Dusun Candi Sayang,
Sidoarjo. Namun, atribusi tersebut mempengaruhi perilaku menghukum oleh publik
terhadap PT Lapindo Brantas sebagai pihak yang dinilai harus bertanggung jawab
atas terjadinya krisis.

Kata Kunci: Situational Crisis Communication Theory, Attribution Theory, Atribusi
Publik, Krisis, Perilaku Menghukum


iii

Public Attribution Against Crisis in Sidoarjo Mud Flow (Experimental Study of
Effects of Public Attribution Over Crisis In Sidoarjo Mud Flow Against Punishing
From the Public Behavior In Candi Sayang, Sidoarjo ).

Rizky Ika Safitri
Rachmat Kriyantono and Yuyun Agus Riani
ABSTRACT

Crisis can be a threat to any company in maintaining of reputation . When the crisis
happens, the publics will find out some of the causes of the crisis so that the process
is called attribution. The publics can find out the causes of crisis one of them through
the mass media and news value in reporting can be a supporter of publics attribution.
Attributions made by the publics to determine how the publics assessment of the
person of the crisis and will have an impact on the behavior of publics punish the
organization concerned. Situational Crisis Communication Theory (SCCT) is used to
assess the persons in charge of the crisis, while Atttribution Theory is used to
examine the punitive behavior of the publics. This study used a quantitative approach
with experimental method. Before conducting the experimental method, content
analysis is used as a method of preliminary research to examine the value of news
that will be used on the experimental method. The sample selected is a public Candi
Sayang Hamlet, Sidoarjo. Data collection technique is a questionnaire. The sampling
technique used cluster sampling. Engineering analysis using one-way ANOVA to see
the influence of the mass media to publics attribution between the experimental
groups (groups of positive news, negative news group) and control group (without
being given the news).
To determine the effect of treatment on the news as a publics attribution used
indicators include causes of the crisis and the person in charge of the crisis. In
addition, the influence of publics attribution to punish behavior used to punish
behavior by the publics. The results showed that there was no significant effect of the
news on the publics attribution Candi Sayang Hamlet, Sidoarjo. However, these
attribution influence behavior by punishing the publics against PT Lapindo Brantas as
a party is considered to be responsible for the occurrence of a crisis.


Keywords: Situational Crisis Communication Theory, Attribution Theory, Publics
Attribution, Crisis, Punitive Behavior


iv


KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi
dengan judul: Atribusi Publik Terhadap Krisis Lumpur di Sidoarjo (Studi
Eksperimental Pengaruh Atribusi Publik atas Krisis Lumpur di Sidoarjo
terhadap Perilaku Menghukum dari Publik di Dusun Candi Sayang, Sidoarjo).
Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat dalam mencapai derajat Sarjana
Ilmu Komunikasi pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya. Atas
selesainya penyusunan skripsi ini, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
diberikan kepada:
1. Bapak Rachmat Kriyantono, Ph.D selaku dosen pembimbing utama dan Ibu
Yuyun Agus Riani, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua yang telah
memberikan bimbingan dan petunjuk teknis sehinga terselesaikannya laporan
ini.
2. Seluruh warga Dusun Candi Sayang, Sidoarjo yang bersedia menjadi objek
penelitian ini.
3. Seluruh perangkat Dusun serta perangkat RT RW di Dusun Candi Sayang
yang membantu dalam memberikan kemudahan menemui warga yang akan
dijadikan responden.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat saya harapkan. Semoga penelitian
ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Malang, April 2014
Rizky Ika Safitri



v

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ................................................................................................................ ii
ABSTRACT ................................................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iv
DAFTAR ISI ................................................................................................................ v
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 13
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 14
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 14
1.5 Pertimbangan Etis Penelitian ............................................................................ 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................... 16
2.1 Teori Atribusi dalam Situasi Krisis .................................................................. 16
2.2 Teori Komunikasi Situasi Krisis (Situational Crisis Communication Theory) 18
2.3 Publik dan Sifat Relasinya dengan Organisasi ................................................. 23
2.4 Media Massa dan Krisis ................................................................................... 25
2.5 Studi Pendahuluan ............................................................................................ 28
2.6 Kerangka Pemikiran ......................................................................................... 37
2.7 Hipotesis ........................................................................................................... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 44
3.1 Pendekatan Penelitian ....................................................................................... 44
3.2 Metode Penelitian ............................................................................................. 45
3.2.1 Metode Penelitian Pendahuluan .............................................................. 45
3.2.2 Metode Eksperimen ................................................................................. 46
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 48
3.4 Definisi Operasional ......................................................................................... 49
3.4.1 Metode Analisis Isi .................................................................................. 49
3.4.2 Metode Eksperimen ................................................................................. 52
3.5 Uji Validitas ...................................................................................................... 57
3.6 Uji Realibilitas .................................................................................................. 59
3.7 Populasi, Sampel, dan Teknik Penarikan Sampel ............................................ 62
3.7.1 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................... 62
3.7.2 Sampel dan Teknik Penarikan Sampel .................................................... 63
3.8 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................... 65
3.9 Teknik Analisis Data ........................................................................................ 66
3.9.1 Analisis Komparatif Ragam Satu Arah (One-Way Anova) .................... 66
3.9.2 Analisis Regresi Linier Sederhana .......................................................... 68
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 70
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian .................................................................. 70
4.2 Analisis Penelitian Pendahuluan ...................................................................... 72
4.2.1 Uji Reliabilitas ......................................................................................... 74
4.2.2 Makna Berita Lumpur di Sidoarjo pada Jawa Pos dan Kompas ............. 76


vi

4.3 Analisis Identitas Responden ............................................................................ 79
4.3.1 Jenis Kelamin .......................................................................................... 79
4.3.2 Usia .......................................................................................................... 80
4.3.3 Pekerjaan ................................................................................................. 80
4.4 Deskripsi Atribusi Publik ................................................................................. 81
4.4.1 Deskripsi Atribusi Publik Kelompok Eksperimen Positif ....................... 81
4.4.2 Deskripsi Atribusi Publik Kelompok Eksperimen Negatif ..................... 84
4.4.3 Deskripsi Atribusi Publik Kelompok Kontrol ........................................ 87
4.5 Deskripsi Perilaku Menghukum oleh Publik .................................................... 91
4.5.1 Deskripsi Perilaku Menghukum oleh Publik Kelompok Eksperimen
Positif ....................................................................................................... 91
4.5.2 Deskripsi Perilaku Menghukum oleh Publik Kelompok Eksperimen
Negatif ..................................................................................................... 92
4.5.3 Deskripsi Perilaku Menghukum oleh Publik Kelompok Kontrol .......... 92
4.6 Analisis Data..................................................................................................... 93
4.6.1 Ragam Satu Arah (One-Way Anova) ...................................................... 93
4.6.2 Analisis Regresi Linier Sederhana .......................................................... 98
4.7 Interpretasi Data ............................................................................................. 101
4.7.1 Tidak Terdapat Pengaruh Perlakuan terhadap Atribusi Publik ............. 101
4.7.2 Terdapat Pengaruh Atribusi Publik terhadap Perilaku Menghukum oleh
Publik ..................................................................................................... 107
BAB V PENUTUP ................................................................................................... 111
5.1 Simpulan ......................................................................................................... 111
5.2 Saran ............................................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN




vii

DAFTAR TABEL
TABEL 1 Variabel Penanggung Jawab Krisis ......................................................... 54
TABEL 2 Nilai Korelasi Variabel Penanggung Jawab Krisis.................................. 58
TABEL 3 Tingkat Reliabilitas.................................................................................. 60
TABEL 4 Hasil Pengujian Reliabilitas ..................................................................... 62
TABEL 5 Jumlah Penduduk di 15 Kecamatan pada Luar Area Peta Terdampak .... 73
TABEL 6 Pemberitaan Semburan Lumpur di Sidoarjo pada Jawa Pos dan Kompas
selama Januari Mei 2013 ...................................................................... 74
TABEL 7 Jumlah Persetujuan dan Ketidaksetujuan Antarkoder Mengenai Makna
Berita Lumpur di Sidoarjo pada Jawa Pos dan Kompas selama Januari-
Mei 2013 .................................................................................................. 75
TABEL 8 Pengkuadratan Proporsi Total Berita Hasil Antarkoder I dan II ............. 75
TABEL 9 Pengkuadratan Proporsi Total Berita Hasil Antarkoder I dan III ............ 80
TABEL 10 Jenis Kelamin Responden ........................................................................ 80
TABEL 11 Usia Responden ........................................................................................ 81
TABEL 12 Pekerjaan Responden. .............................................................................. 82
TABEL 13 Atribusi Penyebab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Positif ................ 82
TABEL 14 Atribusi Penyebab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Positif ................ 83
TABEL 15 Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Positif ............... 83
TABEL 16 Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Positif .............. 84
TABEL 17 Atribusi Penyebab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Negatif ............... 85
TABEL 18 Atribusi Penyebab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Negatif ............... 85
TABEL 19 Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Negatif .............. 86
TABEL 20 Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Negatif .............. 87
TABEL 21 Atribusi Penyebab Krisis oleh Kelompok Kontrol .................................. 88
TABEL 22 Atribusi Penyebab Krisis oleh Kelompok Kontrol .................................. 88
TABEL 23 Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Kontrol ................................. 89
TABEL 24 Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Kontrol ................................. 91
TABEL 25 Perilaku Menghukum oleh Kelompok Eksperimen Positif ...................... 92
TABEL 26 Perilaku Menghukum oleh Kelompok Eksperimen Negatif .................... 92
TABEL 27 Perilaku Menghukum oleh Kelompok Kontrol ........................................ 94
TABEL 28 Nilai Sig. One-Way Anova ...................................................................... 96
TABEL 29 Nilai F One-Way Anova .......................................................................... 96
TABEL 30 Regresi Linier Atribusi Internal ............................................................... 98
TABEL 31 Regresi Linier Atribusi Eksternal ........................................................... 100



viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Code Book
Lampiran B Kuisioner Penelitian
Lampiran C Data Tabulasi Nilai
Lampiran D Uji Validitas
Lampiran E Uji Reliabilitas
Lampiran F Uji One-Way Anova
Lampiran G Uji Regresi Linier Atribusi Internal
Lampiran H Uji Regresi Linier Atribusi Eksternal




1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis merupakan hal yang sering dialami oleh banyak perusahaan besar
maupun perusahaan kecil. Krisis dapat menjadi ancaman bagi setiap perusahaan
dalam mempertahankan reputasinya. Menurut Spillan (dalam An-Sofie Claeys,
Verolien Cauberghe, dan Patrick Vyncke Barton, 2010) tidak ada organisasi yang
terhindar dari krisis selama hidup. Barton dikutip Coombs (2007) menyatakan
perubahan yang terjadi akibat krisis juga dapat mempengaruhi bagaimana
stakeholder berinteraksi dengan perusahaan. Namun, di sisi lain krisis dapat
dimanfaatkan perusahaan untuk tujuan yang positif. Manajemen krisis yang baik akan
meningkatkan citra perusahaan dalam persaingan bisnis yang dijalankan. Sebaliknya,
manajemen krisis yang buruk akan menurunkan citra perusahaan terutama jika krisis
tersebut memiliki dampak buruk yang cukup luas pada masyarakat tentu citra dan
reputasi perusahaan menjadi taruhannya.
Definisi krisis menurut Davlin dikutip Kriyantono (2012a, h. 171) adalah
sebuah situasi yang tidak stabil dengan berbagai kemungkinan menghasilkan hasil
yang tidak diinginkan. Jika organisasi mengalami situasi krisis, maka prosedur-
prosedur normal tidak dapat berjalan dengan baik. Organisasi akan mengalami situasi
berbeda sehingga menyebabkan beberapa hal akan berubah secara spontan. Situasi
seperti ini jika tidak segera ditangani dengan cepat dan tepat akan memberikan
dampak yang negatif terhadap organisasi.
2



Tanggung jawab manajemen krisis terhadap reputasi perusahaan sangat
dibutuhkan. Salah satunya adalah komunikasi krisis. Penelitian komunikasi krisis
telah ditulis oleh banyak praktisi dan muncul di beberapa jurnal penelitian praktis
(Coombs, 2010, h. 23). Kemudian penelitian ini dimasukkan dalam penelitian
akademis karena dibutuhkan penyelesaian masalah dalam komunikasi krisis.
Walaupun penelitian komunikasi krisis dilakukan pada studi manajemen, namun
penelitian komunikasi krisis juga dapat dilakukan pada studi komunikasi dan public
relations. Penelitian di public relations dan di studi komunikasi membuat komunikasi
krisis menjadi poin utama dalam penelitian manajemen krisis (Coombs, 2010, h. 23)
sehingga penelitian ini dapat dikategorikan dalam penelitian komunikasi.
Beberapa literatur mengenai komunikasi krisis juga telah dipublikasikan dalam
Public Relations Review dan Journal of Public Relations Research (Coombs dan
Holladay, 2009). Salah satunya adalah W. Timothy Coombs yang terus melakukan
kajian mengenai komunikasi krisis dan Situational Crisis Communication (Coombs,
2007; Coombs dan Holladay, 2009). Pada dasarnya komunikasi krisis fokus pada
kategori krisis atau respon krisis, seperti apa yang harus dikatakan dan dilakukan
organisasi setelah krisis (Coombs, 2010, h. 20). Metode yang banyak digunakan pada
penelitian komunikasi krisis adalah studi kasus. Perkembangan terakhir dari teori
komunikasi krisis mengarahkan munculnya Situational Crisis Communication Theory
(SCCT) untuk melakukan penelitian komunikasi krisis secara spesifik.
Situational Crisis Communication Theory (SCCT) atau Teori Situasional
Komunikasi Krisis mulai dikembangkan oleh W. Timothy Coombs pada tahun 1995
3



(Coombs, 2010, h. 38). Premis yang dibangun dari teori ini adalah krisis merupakan
kejadian yang negative dan tak terduga, sehingga stakeholder akan membuat atribusi
mengenai tanggung jawab krisis, dan kemudian atribusi tersebut akan mempengaruhi
bagaimana stakeholder berinteraksi dengan organisasi dalam situasi krisis (Coombs
dan Holladay, dalam Coombs, 2010, h. 39). Namun selama ini, sebagian besar
penelitian lebih berpusat pada persepsi organisasi (Choi & Lin, dalam Kriyantono,
2012b). Maka dari itu, penelitian ini memilih berfokus pada atribusi publik. Publik
yang dipilih adalah publik yang masuk dalam kategori aware public, yaitu publik
yang menyadari adanya krisis namun hanya pada batas mencari informasi mengenai
krisis tersebut. Masyarakat di luar peta area terdampak termasuk dalam aware public
karena mereka secara tidak langsung terkena dampak akibat krisis yang terjadi
sehingga mereka mencari informasi mengenai krisis demi kepentingan mereka.
Pemilihan atribusi publik dalam penelitian sehingga penelitian ini menerapkan
metode kuantitatif untuk mendapat informasi yang lebih rinci karena tampaknya ada
sedikit penelitian kualitatif yang berpusat pada pendekatan publik (Moffitt, dalam
Kriyantono, 2012b).
Beberapa penelitian SCCT telah dilakukan pada krisis yang terjadi di Indonesia.
Kriyantono (2012b) menggunakan SCCT untuk mengukur reputasi perusahaan
selama krisis semburan lumpur yang mengaitkan perusahaan Lapindo. Hasilnya
adalah perusahaan harus menangani dengan baik dampak krisis terhadap para korban
dan harus memastikan bahwa tidak ada orang di luar perusahaan yang menderita
secara fisik dan psikologis. Perusahaan juga harus menyampaikan informasi dengan
4



cepat tentang apa yang orang harus lakukan dan memberikan kompensasi, daripada
menghabiskan waktu untuk membuktikan bahwa perusahaan tidak bersalah
(Kriyantono, 2012b). Meskipun penyebab letusan belum ditentukan, masyarakat
mengaitkan penyebab itu ke sebuah kesalahan pengeboran. Persepsi mampu
mempengaruhi realitas dan menciptakan kenyataan. Krisis dapat dibangun sebagai
sesuatu yang baik atau buruk, tergantung pada bagaimana persepsi orang
(Kriyantono, 2012b).
Jika penelitian Kriyantono (2012b) menggunakan pendekatan etnografi dan
dilakukan pada dua diskusi kelompok terfokus (12 orang) dan wawancara mendalam
dengan korban (10 informan) sebagai data primer, maka penelitian Wulandari (2011)
melakukan penelitian mengenai pengaruh tanggung jawab krisis terhadap perusahaan
menggunakan metode survei. Tujuan penelitian ini adalah menemukan korelasi antara
bentuk tanggung jawab krisis perusahaan bagi pemulihan reputasi. Analisis penelitian
menggunakan metode survei responden yang berisi tiga perlakuan kejadian krisis dan
dilakukan pada eksekutif manajemen public relations pada perusahaan riil dan jasa di
Jakarta. Hipotesis dalam penelitian ini adalah tanggung jawab organisasi berpengaruh
terhadap reputasi perusahaan. Hipotesis tersebut diuji dengan menggunakan tiga
perlakuan tipe kejadian krisis, mulai dari kejadian krisis yang meninggalkan masalah
(RS Omni Internasional), kejadian krisis yang tidak meninggalkan masalah (PT
Nutrifood), dan kejadian krisis akibat faktor eksternal (PT Lapindo).
Berkaitan dengan tipe kejadian krisis, maka hasil penelitian menunjukkan
bahwa perusahaan yang mengalami krisis berkelanjutan tidak memiliki kemampuan
5



yang baik dalam memilih tanggung jawab krisis yang berpengaruh pada reputasi,
perusahaan yang tidak mengalami krisis berkelanjutan memiliki kemampuan yang
baik dalam memilih tanggung jawab krisis sebagai upaya pemulihan reputasi dan
pada perusahaan yang mengalami kejadian akibat faktor eksternal cenderung
memiliki pilihan tanggung jawab krisis yang sudah baik sebagai upaya memperbaiki
reputasi (Wulandari, 2011). Seperti yang dijelaskan oleh Coombs (2007) bahwa
ketika dalam situasi krisis, manajer krisis harus dapat menentukan strategi respon
krisis yang dapat memaksimalkan perlindungan reputasi.
SCCT sebagai teori yang digunakan dalam membuat strategi respon krisis
mengacu pada metode eksperimental dan teori psikologi-sosial dan melakukan
pengujian hipotesis terkait dengan bagaimana persepsi situasi krisis mempengaruhi
respon krisis dan pengaruh respon krisis terhadap reputasi, emosi, dan niat pembelian
produk (Coombs, 2007, h. 137). Penelitian Kriyantono (2012b) dan Wulandari
(2011) memiliki kesamaan, yaitu membahas krisis semburan lumpur di Sidoarjo
dengan Situational Crisis Communication Theory (SCCT). Semburan lumpur di
Sidoarjo merupakan salah satu krisis di Indonesia yang hingga saat ini belum
terselesaikan dengan baik atau masih meninggalkan masalah. Sesuai Duke &
Masland dan Kouzmin yang dikutip oleh Kriyantono (2012a, h. 172) menekankan
bahwa krisis sebagai situasi yang menyebabkan kerusakan-kerusakan fisik dan
nonfisik, seperti peristiwa yang membahayakan jiwa manusia (meninggal atau luka-
luka) dan merusak sistem organisasi dan lingkungan secara keseluruhan, khususnya
6



bagi korban. Definisi ini sesuai dengan peristiwa semburan lumpur yang terjadi di
Sidoarjo, Jawa Timur yang menyebabkan kerusakan fisik maupun nonfisik.
Kriyantono (2012b) menyatakan bahwa manajemen krisis yang dilakukan oleh
PT. Lapindo Brantas berlangsung tidak efektif sehingga menimbulkan perkembangan
krisis yang semakin buruk. Perusahaan yang lebih fokus menjaga reputasi
perusahaan menjadi alasan lain penyebab Lapindo masih mengalami krisis.
It would be irresponsible to begin crisis communication by focusing on the
organizations reputation. To be ethical, crisis managers must begin their efforts by
using communication to address the physical and phsychological concern of the
victims. (Coombs, 2007, h. 165)
Tidak hanya strategi respon krisis yang diperlukan dalam situasi krisis. Namun,
manajer krisis juga perlu melihat bagaimana berbagai faktor dalam krisis dapat
mempengaruhi atribusi publik terhadap krisis (Coombs dan Holladay, 2010, h. 181).
Pada kasus semburan lumpur, permasalahan sosial pada korban tidak menjadi
prioritas perusahaan tetapi Lapindo terus berusaha membuktikan bahwa penyebab
terjadinya semburan lumpur bukanlah perusahaan. Sikap perusahaan ini kemudian
menimbulkan atribusi publik mengenai peristiwa semburan lumpur di Sidoarjo.
Atribusi dibutuhkan dalam situasi krisis karena atribusi merupakan bagaimana
individu mempersepsi sumber krisis (Kriyantono, 2012a, h. 292). Attribution
Theory atau Teori Atribusi menjelaskan bagaimana kita mengetahui penyebab
perilaku kita sendiri dan orang lain (Ardianto, 2010, h. 109). Teori Atribusi
merupakan teori pada bidang psikologi. Namun, kemudia teori ini diterapkan sebagai
panduan penelitian komunikasi krisis (Coombs, 2007). Karakteristik kunci dari
7



Teori Atribusi yang dijelaskan Bernard Weiner adalah kebutuhan seseorang untuk
mencari penyebab suatu event. Di sisi lain, kunci dari krisis adalah mereka tidak
terduga dan negatif. Alasan inilah yang kemudian menghubungkan krisis dan Teori
Atribusi (Coombs, 2007) sehingga Teori Atribusi dapat digunakan dalam bidang
komunikasi khususnya pada penelitian komunikasi krisis. Penelitian ini
mengaplikasikan Teori Atribusi sebagai dasar untuk melihat pengaruh atribui publik
terhadap perilaku menghukum publik terhadap pihak yang bertanggung jawab atas
krisis.
Penelitian yang mengaplikasikan Teori Atribusi dalam komunikasi krisis adalah
penelitian mengenai krisis di Korea Selatan (Jeong, 2009). Penelitian yang
menggunakan metode kuantitatif ini melihat bagaimana respon publik terhadap
perusahaan Samsung, perusahaan yang mengalami kecelakaan tumpahan minyak.
Penelitian yang dilakukan pada 180 orang dewasa di Korea Selatan ini menemukan
bahwa atribusi publik dapat mempengaruhi opini menghukum dan perilaku
menghukum publik terhadap Samsung (Jeong, 2009). Selain itu, penelitian ini juga
menerapkan SCCT untuk mengukur pengaruh informasi yang diberikan terhadap
atribusi publik mengenai jenis penanggung jawab krisis. Hasilnya, penelitian ini
menemukan bahwa kekhasan informasi dapat mempengaruhi atribusi tentang
penyebab krisis adalah perusahaan dan publik memberikan opini menghukum serta
perilaku menghukum kepada perusahaan (Jeong, 2009). Studi ini memberikan
kontribusi untuk komunikasi krisis, hubungan masyarakat, dan penelitian opini publik
dengan menerapkan Teori Atribusi untuk menjelaskan tanggapan hukuman publik
8



untuk aktor perusahaan dan dengan menghubungkan Teori Atribusi dan SCCT
(Jeong, 2009). Penelitian ini membuktikan bahwa Teori Atribusi yang digunakan
dalam penelitian psikologi dapat dilakukan pada penelitian studi komunikasi
khususnya komunikasi krisis.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian komunikasi krisis
dilakukan dengan metode studi kasus. Namun kemudian metode penelitian
komunikasi krisis berkembang menjadi penelitian yang menggunakan metode
eksperimen (Coombs & Holladay, 2009). Penelitian eksperimen digunakan untuk
melihat bagaimana orang merasakan krisis, bagaimana strategi krisis mempengaruhi
persepsi stakeholder dan bagaimana faktor-faktor tersebut membentuk organisasi
dalam krisis (Coombs & Holladay, 2009). Seperti penelitian Jeong (2009) yang
menggunakan metode eksperimen. Metode ini diterapkan pada 180 responden dewasa
di Korea Selatan. Metode eksperimental post-test only pada penelitian Jeong (2009)
dilakukan melalui new media atau internet. Perlakuan beserta kuisioner dikirimkan
kepada responden melalui masing-masing email responden. Perlakuan atau perlakuan
yang diberikan tiga kelompok yang berbeda, yaitu masing-masing adalah kelompok
yang diberi informasi positif (kegiatan CSR perusahaan Samsung), kelompok yang
diberi informasi negatif (kecelakaan tumpahan miyak), dan kelompok yang tidak
diberi informasi.
Antara tahun 1987 2008 terdapat 17 penelitian eksperimental mengenai
komunikasi krisis yang menggunakan media cetak sebagai stimuli atau perlakuan dan
diterbitkan dalam Public Relations Review dan Journal of Public Relations Research
9



(Coombs & Holladay, 2009). Menurut Coombs & Holladay (2009) banyak orang
menerima informasi atau berita melalui media cetak. Penelitian yang dilakukan oleh
Coombs & Holladay (2009) menggunakan metode eksperimen post-test only kepada
mahasiswa yang dibagi menjadi empat kelompok dan dilakukan di dalam kelas.
Empat kelompok tersebut mendapat perlakuan berupa informasi sebelum terjadi
ledakan kimia di Marcus Oil terjadi, informasi saat terjadi ledakan, dan informasi
sesudah terjadi ledakan yang dimuat di media cetak, News Reuters dengan perbedaan
isi berita, yaitu berita yang menunjukkan simpati perusahaan dan kompensasi yang
diberi perusahaan. Sedangkan kedua kelompok lainnya diberi stimuli berupa
informasi sebelum terjadi ledakan kimia di Marcus Oil terjadi, informasi saat terjadi
ledakan, dan informasi sesudah terjadi ledakan pada pemberitaan di televisi, TV
Lokal dengan perbedaan isi berita, yaitu berita yang menunjukkan simpati perusahaan
dan kompensasi yang diberi perusahaan (Coombs & Holladay, 2009).
One-way anova digunakan untuk mengukur pengaruh stimuli terhadap respon
publik terhadap krisis. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa stimuli yang diberikan
antara berita di media cetak dan televisi tidak memberikan pengaruh yang signifikan
sehingga kedua dapat digunakan dalam komunikasi krisis kepada publik (Coombs &
Holladay, 2009). Penelitian eksperimental lain dalam komunikasi krisis dilakukan
oleh An-Sofie Claeys, Verolin Cauberghe, dan Patrick Vyncke (2010). Penelitian
yang dilakukan pada 316 responden ini dibagi dalam sembilan kelompok stimuli.
Masing-masing kelompok diberi tiga berita dan dilakukan dengan dua kali pre-test.
Seperti penelitian Jeong (2009), penelitian ini juga memberikan perlakuan beserta
10



kuisioner melalui new media atau secara online. Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa dengan mencocokkan jenis krisis dengan tanggapan krisis tidak menyebabkan
persepsi yang lebih positif mengenai reputasi. Hasil ini ternyata bertentangan dengan
temuan Coombs dan Holladay (dalam Claeys dkk, 2010), yaitu menurut tipologi
SCCT kita dapat memanipulasi jenis krisis melalui penilaian tanggung jawab krisis.
Tidak hanya itu, penelitian dengan metode eksperimental ditujukan untuk
mengerti bagaimana berbagai elemen dalam krisis mempengaruhi persepsi orang
terhadap krisis dan reaksi terhadap usaha komunikasi krisis (Coombs & Holladay,
2010). Manipulasi yang digunakan adalah 4 kelompok dengan dua kelompok jenis
krisis (kecelakaan dan penarikan produk) dan dua kelompok tipe kesalahan
(kesalahan manusia dan kesalahan teknik). Kecelakaan industri kilang minyak, Tosco
di California menjadi manipulasi pada jenis krisis kecelakaan, sedangkan krisis botol
air Perrier yang mengandung zat kimia berbahaya dijadikan manipulasi pada jenis
krisis penarikan produk. Terdapat perbedaan yang signifikan tentang bagaimana
stakeholder menerima situasi krisis antara kedua jenis krisis dan jenis kesalahan.
Sebagian besar responden membuat atribusi bahwa perusahaan merupakan pihak
yang menyebabkan terjadinya krisis sehingga perusahaan sebaiknya bertanggung
jawab atas krisis akibat kesalahan manusia daripada krisis yang diakibatkan oleh
kesalahan teknik (Coombs & Holladay, 2010).
Berdasarkan penjelasan penelitian-penelitian sebelumnya, kesamaan penelitian
eksperimen tentang respon krisis, banyak menggunakan media cetak sebagai
perlakuan karena banyak orang menerima berita melalui media cetak (Coombs &
11



Holladay, 2009). Pfau dan Wan (dalam Coombs & Holladay, 2009) mengambarkan
jika orang menerima berita dari televisi maka orang akan fokus pada sumber pesan,
sedangkan jika orang menerima berita melalui media cetak maka orang akan fokus
pada isi pesan sehingga pesan di media cetak akan lebih mudah diproses. Kesamaan
lain yang terdapat pada penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu sebagian besar
penelitian menggunakan lebih dari dua kelompok dalam metode eksperimental yang
dilakukan. Sehingga, diperlukan perhitungan one-way anova untuk mengukur
pengaruh perlakuan pada lebih dari dua kelompok. Terbukti pada beberapa penelitian
sebelumnya, sebagian besar menggunakan rumus one-way anova untuk menghitung
pengaruh perlakuan yang diberikan pada responden (Coombs & Holladay, 2009;
Jeong, 2009; Coombs & Holladay, 2010; Claeys dkk, 2010).
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, berbagai studi dalam
masing-masing kajian komunikasi krisis, Teori Atribusi dan SCCT telah banyak
dilakukan. Namun dari temuan yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti belum
menemukan kajian komunikasi krisis di Indonesia yang diteliti dengan SCCT dan
Teori Atribusi secara bersamaan dalam kajian komunikasi. Krisis yang dipilih adalah
krisis semburan lumpur di Sidoarjo karena sesuai dengan tahapan isu, isu krisis
semburan lumpur ini masuk dalam kategori dormant stage issue. Ketika isu berada
dalam tahapan resolution (dormant stage) maka pada dasarnya organisasi telah
mampu mengatasi isu dengan baik (setidaknya, publik puas karena pertanyaan-
pertanyaan seputar isu dapat terjawab, pemberitaan oleh media mulai menurun,
perhatian masyarakat juga menurun, salah satu karena berjalannya waktu, ada solusi
12



dari organisasi atau pemerintah), sehingga isu diasumsikan telah berakhir
Kriyantono (2012a, 161). Namun, kemudian kondisi seperti itu dapat memunculkan
kembali isu yang sama karena masih ada ketidakpuasan publik terhadap penyelesaian
krisis. Hal ini dibuktikan dengan belum terselesaikannya pembayaran ganti rugi
korban hingga pada sidang kabinet paripurna, 14 Februari 2013, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono kembali mengingatkan PT. Lapindo Brantas untuk segera
menyelesaikan kewajibannya untuk penanganan korban bencana lumpur di Sidoarjo
(Jibi, 2013).
Masyarakat di luar peta area terdampak termasuk dalam publik yang memiliki
keterkaitan terhadap krisis semburan lumpur di Sidoarjo. Hal ini karena publik
tersebut masuk dalam kategori aware public, yaitu jika kelompok tersebut kemudian
menyadari dan dapat mengidentifikasi suatu permasalahan (isu) maka kelompok
tersebut berkembang (Grunig dalam Kriyantono, 2012a, h. 231). Publik di RW I,
Dusun Candi Sayang, Sidoarjo termasuk dalam kategori aware public karena mereka
terkena dampak tidak langsung sehingga termasuk dalam publik yang menyadari
adanya isu namun hanya pada batas mencari informasi. Pemilihan responden ini
untuk melakukan aplikasi SCCT dan Teori Atribusi dengan menggunakan metode
eksperimental dan desain posttest only, artinya hasil hanya dilihat setelah responden
mendapat perlakuan dan kemudian dibandingkan antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Peneliti menyajikan perlakuan berupa informasi melalui media
cetak, yaitu surat kabar dan belum ada yang meneliti persepsi (atribusi) publik
13



mengenai penyebab dan tanggung jawab krisis Lapindo dengan analisis SCCT dan
Teori Atribusi
Atribusi publik tidak hanya berdasarkan pengalaman namun juga berkaitan
dengan media massa, khususnya media cetak. Menurut Weitzer & Kubrin (2004, h.
499), terpaan oleh media kemungkinan akan semakin besar jika persepsi orang
mengenai dunia nyata sesuai dengan apa yang sering digambarkan media. SCCT
digunakan dalam penelitian ini untuk menjelaskan klaster atau jenis penanggung
jawab krisis oleh perusahaan sedangkan Teori Atribusi digunakan dalam penelitian
ini untuk menjelaskan sikap perilaku menghukum oleh publik terhadap perusahaan
setelah mengetahui jenis penanggung jawab krisis. Sehingga peneliti ingin melakukan
penelitian yang berjudul Atribusi Publik Terhadap Krisis Lumpur di Sidoarjo (Studi
Eksperimental Pengaruh Atribusi Publik atas Krisis Lumpur di Sidoarjo Terhadap
Perilaku Menghukum dari Publik di Dusun Candi Sayang, Sidoarjo).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh jenis pemberitaan tentang Lapindo terhadap atribusi
publik mengenai klaster aktor yang bertanggung jawab atas krisis lumpur di
Sidoarjo pada kelompok eksperimen positif, kelompok eksperimen negatif,
dan kelompok kontrol?
2. Bagaimana pengaruh atribusi publik terhadap perilaku menghukum dari
publik terhadap perusahaan?
14



1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji pengaruh jenis pemberitaan tentang Lapindo terhadap
atribusi publik mengenai klaster aktor yang bertanggung jawab atas
krisis lumpur di Sidoarjo berdasarkan Situational Crisis Communication
Theory (SCCT).
2. Untuk mengkaji pengaruh atribusi publik terhadap perusahan sehingga
menimbulkan perilaku menghukum dari publik terhadap perusahaan
yang terlibat dalam krisis lumpur di Sidoarjo berdasarkan Attribution
Theory.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini mengaplikasikan dua teori.Teori Situational Crisis
Communication diharapkan mampu mengkaji pengaruh pemberitaan Lapindo
terhadap atribusi publik tentang penanggung jawab krisis lumpur di Sidoarjo.
Sementara itu, Teori Atribusi diharapkan mampu mengkaji atribusi danperilaku
menghukum publik terhadap perusahaan yang terlibat dalam krisis lumpur di
Sidoarjo setelah adanya atribusi yang diperoleh oleh publik itu sendiri.
2. Manfaat Praktis
Hasil analisis atribusi publik mengenai aktor yang bertanggung jawab atas
krisis lumpur di Sidoarjo diharapkan mampu membantu perusahaan dalam
menyusun strategi manajemen krisis yang lebih efektif sehingga berdampak
15



baik pada reputasi perusahaan tanpa mengorbankan kepentingan
korban.Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Public Relations PT.
Lapindo Brantas dalam melakukan langkah-langkah terkait guna
memaksimalkan faktor-faktor program kehumasan mereka lebih efektif dalam
menjangkau khalayak. Hasil penelitian ini akan direkomendasikan kepada
perusahaan sebagai informasi tentang kondisi publik terkait krisis lumpur.
1.5 Pertimbangan Etis Penelitian
Semua partisipan (responden) dalam penelitian ini diminta untuk membaca dan
memahami surat keterangan penelitian yang berisi mengenai hak-hak responden
selama berpatisipasi dalam penelitian ini. Mereka menandatangani formulir
persetujuan ketika mereka setuju untuk menjadi responden. Selain itu, peneliti
memberikan kesempatan kepada responden untuk dapat menarik diri dari partisipasi
mereka dalam penelitian ini kapan pun dan tanpa denda apa pun.
Responden diberi informasi mengenai tujuan penelitian dan menjamin bahwa
respon mereka hanya akan digunakan untuk tujuan penelitian dan bahwa kerahasiaan
mereka akan dijaga. Namun, responden diminta untuk memberikan beberapa
informasi pribadi termasuk nama, usia, pekerjaan, dan aspek demografis yang
kerahasiaannya tetap dijaga. Alat instrument tersebut akan disimpan di lokasi yang
aman, yaitu dalam komputer pribadi yang hanya dapat diakses oleh peneliti melalui
password sampai penelitian telah selesai dan skripsi ini telah disampaikan dan
disetujui.


16

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Teori Atribusi dalam Situasi Krisis
Dua sifat utama dari krisis adalah mereka tak terduga dan negatif (Coombs,
2006). Sedangkan karakteristik Teori Atribusi yang dikemukakan oleh Bernard
Weiner adalah kebutuhan masyarakat untuk mencari penyebab suatu peristiwa
(Weiner dalam Coombs, 2006). Karakteristik tersebut yang menghubungkan krisis
dengan Teori Atribusi. Publik akan membuat atribusi tentang penyebab krisis dan
mereka menilai tanggung jawab krisis tersebut, apakah krisis akibat dari faktor
situasional (bencana alam) atau sesuatu yang sengaja dilakukan oleh organisasi.
Publik membuat atribusi tentang tanggung jawab krisis dan perilaku untuk
organisasi (Coombs & Holladay dalam Coombs, 2006). Jika organisasi dianggap
bertanggung jawab, maka reputasinya terancam. Dampaknya, para pemangku
kepentingan (stakeholder) dapat memutuskan hubungan atau membuat negative
word-of-mouth. Organisasi memiliki kepentingan untuk mencegah salah satu dari dua
hasil negatif.
Teori Atribusi merupakan kerangka penting untuk memahami mengapa orang
mendukung suatu stigma dan terlibat dalam perilaku diskriminatif. Atribusi
seseorang tentang penyebab dan pengendalian suatu situasi dapat menyebabkan
reaksi emosional yang mempengaruhi kesediaan mereka untuk membantu dan
kemungkinan mereka untuk menghukum (Littlejohn, 2009, h. 62). Jika Anda
17



menganggap bahwa krisis yang dialami seseorang akibat dari kesalahan yang mereka
lakukan maka orang lain cenderung bereaksi marah daripada menawarkan bantuan.
Atribusi publik tentang penyebab krisis dapat menyebabkan prasangka dan
diskriminasi.
Teori Atribusi Wiener dibangun pada premis bahwa orang perlu untuk
menetapkan tanggung jawab untuk suatu event. Kebanyakan ahli setuju bahwa krisis
adalah negatif dan tak terduga. Bila dihubungkan dengan Teori Atribusi, maka
ancaman krisis sebagian besar adalah bagaimana publik menilai penanggung jawab
krisis, bersimpati atau cenderung menyalahkan. Coombs (dikutip Coombs, 2007)
menjelaskan manajer harus mengevaluasi situasi untuk menentukan respon krisis
yang terbaik untuk situasi. Penelitian pertama dari komunikasi krisis muncul dalam
literatur manajemen pada 1980-an. Mowen (dalam Coombs, 2006) adalah di antara
yang pertama membicarakan gagasan respon krisis secara sistematis. Mowen juga
memulai konsep yang penting untuk menggunaan Teori Atribusi dalam komunikai
krisis. Selain itu, Bradford dan Garrett (dalam Coombs, 2006) mengembangkan
sebuah model, yang berbasis pada Teori Atribusi, yang dirancang untuk menjelaskan
respon krisis yang dipilih harus berdasarkan sifat dari krisis etika. Teori Atribusi kini
telah diterapkan untuk berbagai jenis krisis.
Teori Atribusi menyediakan dasar pemikiran untuk hubungan antara banyak
variabel yang nantinya akan digunakan dalam SCCT. SCCT memprediksi ancaman
reputasi akibat krisis dan untuk membuat strategi respon krisis untuk melindungi
reputasi. Melalui pernyataan mengenai sifat utama dari krisis dan atribusi maka wajar
18



apabila kita menghubungkan krisis dengan Teori Atribusi. Stakeholder akan membuat
atribusi tentang penyebab krisis dan mereka akan menilai siapa yang bertanggung
jawab atas krisis tersebut. Jika mereka menilai organisasi adalah pihak yang dianggap
bertanggung jawab maka kemungkinan mereka akan menghukum. Sebaliknya, jika
bukan organisasi penyebabnya maka kemungkinan mereka akan memberi bantuan.
Sehingga Teori Atribusi digunakan dalam penelitian ini karena sesuai untuk menilai
perilaku menghukum oleh publik terhadap pihak yang dianggap bertanggung jawab
atas krisis. Jeong (2009) juga menggunakan Teori Atribusi untuk menilai opini
menghukum dan perilaku menghukum dari publik terhadap Samsung, perusahaan
yang mengalami krisis tumpahan minyak di Korea Selatan.
2.2 Teori Komunikasi Situasi Krisis (Situational Crisis Communication Theory)
Situational Crisis Communication Theory atau SCCT merupakan teori yang
digagas oleh W. Timothy Coombs (Coombs, 2007). Teori ini bertujuan untuk
menjelaskan mekanisme antisipasi bagaimana stakeholder bereaksi terhadap krisis
untuk melindungi reputasi organisasi akibat krisis tersebut. Tujuan lain teori ini
adalah untuk menjelaskan reaksi publik terhadap sebuah krisis dan strategi krisis
yang dibuat oleh praktisi Public Relations (Kriyantono, 2012, h. 246). SCCT
merupakan perluasan dari Teori Atribusi sehingga kedua teori ini memiliki
keterkaitan dalam menganalisis sebuah krisis organisasi.
Publik pada dasarnya memiliki atribusi-atribusi mengenai sebuah krisis yang
terjadi dalam organisasi. Atribusi publik muncul akibat tindakan dan perkataan
manajemen dalam menyelesaikan krisis. Teori ini menegaskan bagaimana sebuah
19



organisasi seharusnya lebih berkonsentrasi terhadap apa yang menimpa korban
daripada fokus pada reputasi organisasi (Coombs, 2007). Claeys dkk (2010)
mengungkapkan bahwa organisasi yang melakukan permintaan maaf sebagai salah
satu strategi respon krisis mampu membangun kembali reputasi secara efektif
dibandingkan dengan menyangkal atau bertahan. Tanggung jawab organisasi
terhadap korban akibat krisis akan mempengaruhi atribusi publik terhadap reputasi
perusahaan. Kriyantono (2012, h. 245) menyebutkan pada kenyataannya persepsi
lebih menentukan daripada fakta karena ketika persepsi menjadi fakta maka reputasi
akan jatuh dan sulit untuk memulihkannya. Jika semakin banyak tanggung jawab
krisis yang dikaitkan pada organisasi, semakin negatif pula dampak pada reputasi
perusahaan (Claeys, Cauberghe, dan Vyncke, 2010).
SCCT membantu penanggung jawab krisis mengukur ancaman reputasi
organisasi dalam situasi krisis. Secara keseluruhan, bahasan SCCT akan mengarah
pada penyelamatan reputasi sebagai hasil dari strategi-strategi komunikasi yang
dilakukan manajemen selama krisis. Coombs (2007) menyebutkan bahwa
reputations are widely recognized as a valuable, intangible asset. Artinya bahwa
reputasi merupakan aset yang memiliki nilai dan bersifat tidak terlihat secara fisik.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa reputasi merupakan hasil
bentukan dari berbagai informasi yang diterima publik sehingga salah satu cara untuk
mempertahankan reputasi yang baik adalah dengan memiliki hubungan yang baik
dengan publik.
20



SCCT mengemukakan bahwa dengan memahami situasi krisis, manajer krisis
dapat menentukan strategi yang akan memaksimalkan perlindungan reputasi. SCCT
berpusat pada manajer krisis yang menilai tingkat ancaman reputasi akibat krisis.
Ancaman adalah jumlah kerusakan yang diakibatkan oleh krisis dan berdampak pada
reputasi organisasi jika tidak segera mengambil tindakan yang tepat (Coombs, 2007).
Ada tiga faktor yang menjadi ancaman reputasi dalam situasi krisis, yaitu:
1. Penanggung jawab krisis
Tingkat tinggi rendahnya atribusi publik terhadap tanggung jawab organisasi
atau seberapa besar kepercayaan publik bahwa krisis terjadi karena perilaku
organisasi. Termasuk di sini adalah persepsi tentang siapa aktor yang mesti
bertanggung jawab dalam krisis.
Penelitian SCCT memiliki identifikasi tiga klaster krisis (crisis cluster)
berdasarkan atribusi mengenai penanggung jawab krisismenurut jenis krisis:
a. Klaster korban (victim cluster)
(Atribusi mengenai penanggung jawab krisis lemah)
Sebuah organisasi akan dilihat sebagai korban apabila krisis yang terjadi
disebabkan oleh bencana alam (kisah kerusakan alam suatu organisasi, seperti
gempa bumi), kekerasan di tempat kerja (karyawan yang masih bekerja atau
mantan karyawan menyerang organisasi tersebut), kerusakan produk (pihak
eksternal menyebabkan kerusakan pada sebuah organisasi), dan rumor
(beredarnya informasi palsu dan merusak organisasi).
b. Klaster kecelakaan atau tanpa kesengajaan (accidental cluster)
(Atribusi mengenai penanggung jawab krisis sedang)
Organisasi melakukan tindakan yang mengarah ke krisis yang disengaja.
Organisasi yang mengalami krisis akibat kesalahan teknis (kegagalan
teknologi atau peralatan menyebabkan kecelakaan industri), kesalahan produk
yang berbahaya (kegagalan teknologi atau peralatan menyebabkan kesalahan
produk), dan tantangan (stakeholder mengklaim sebuah organisasi beroperasi
21



dengan cara yang tidak pantas) dianggap sebagai krisis yang tanpa disengaja
atau tidak terkendali oleh organisasi.

c. Klaster kesengajaan (Preventable Cluster)
(Atribusi mengenai penanggung jawab krisis kuat)
Organisasi sengaja menempatkan orang yang berisiko, mengambil tindakan
yang tidak pantas atau melanggar hukum/ peraturan. Kesalahan manusia
(human error yang menyebabkan kecelakaan industri), kesalahan produk
bahaya (human error yang menyebabkan produksi produk berbahaya),,
kesalahan manajemen organisasi (hukum atau peraturan yang dilanggar oleh
manajemen), dan kesalahan organisasi tanpa cidera (stakeholder yang tertipu
tanpa cedera), kesalahan organisasi dengan cidera (stakeholder ditempatkan
pada sebuah risiko oleh manajemen dan terjadi cedera), dan perbuatan jahat
organisasi dan acara ini dianggap tujuan (Coombs dan Holladay, dikutip
dalam Coombs, 2007).
Melalui penjelasan klaster krisis di atas dapat disimpulkan bahwa rendahnya
atribusi tentang penanggung jawab krisis terjadi pada klaster korban dan
atribusi tentang penanggung jawab krisis yang tinggi terjadi pada klaster
kesengajaan.
2. Sejarah krisis
Apakah organisasi mempunyai pengalaman mengalami situasi krisis yang
sama di masa lalu atau tidak (Kriyantono, 2012, h. 250).
3. Reputasi organisasi sebelumnya
Persepsi publik tentang bagaimana perlakuan organisasi terhadap korban
(publik) pada situasi-situasi sebelumnya. Misalnya, apakah organisasi memberikan
perhatian yang besar kepada publik atau tidak. Menurut SCCT, jika organisasi
tidak memperlakukan publik dengan baik pada beberapa situasi sebelumnya, dapat
dipastikan organisasi tersebut mempunyai prior relational reputation yang buruk.
22



Sejarah krisis dan reputasi organisasi sebelumnya memiliki efek langsung dan
tidak langsung pada ancaman reputasi yang ditimbulkan oleh krisis. Secara tidak
langsung, antara sejarah krisis atau reputasi organisasi sebelumnya yang tidak
menguntungkan mempengaruhi ancaman reputasi. Selain itu, menurut Coombs
(dikutip dalam Coombs, 2007) dua faktor ini memiliki efek langsung terhadap
ancaman reputasi yang terpisah dari penanggung jawab krisis.
Penelitian lain yang menunjukkan pengelompokkan klaster adalah penelitian
yang dilakukan oleh Jeong (2009). Jeong mengelompokkan penanggung jawab krisis
menjadi dua kelompok, yaitu organisasi sebagai korban (atribusi eksternal) dan
organisasi sebagai pelaku (atribusi internal). Dua kelompok ini kemudian menjadi
dasar peneliti untuk menggunakan dua variabel penanggung jawab krisis, seperti yang
dilakukan oleh Jeong (2009). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, SCCT
merupakan teori yang menjelaskan mengenai faktor yang menjadi ancaman reputasi
perusahaan dan strategi menjaga reputasi perusahaan berdasarkan ketiga faktor
tersebut. Salah satu faktor yang disebutkan adalah aktor penanggung jawab krisis
yang masing-masing klasternya menuntun manajer krisis untuk melihat ancaman
reputasi perusahaan. Namun, dalam penelitian ini SCCT digunakan untuk
menentukan aktor yang bertanggung jawab atas krisis tanpa meneliti strategi
komunikasi krisis yang dilakukan berdasarkan ancaman yang ditunjukkan. Maka dari
itu peneliti akan menganalisis atribusi publik mengenai penanggung jawab krisis
semburan lumpur di Sidoarjo, apakah krisis semburan lumpur terjadi akibat bencana
alam sehingga Lapindo sebagai perusahaan yang berkaitan dengan krisis dinilai
23



sebagai korban atau krisis terjadi akibat kesalahan pengeboran sehingga Lapindo
dinilai sebagai pelaku atau penyebab krisis.
2.3 Publik dan Sifat Relasinya dengan Organisasi
Publik merupakan sekumpulan orang atau kelompok dalam masyarakat yang
memiliki kepentingan atau perhatian yang sama terhadap suatu hal (Kriyantono,
2012a, h. 1). Grunig (dalam Kriyantono, 2012, h. 231) mengartikan publik sebagai
kelompok khusus yang anggota-anggotanya memepunyai alasan yang sama untuk
tertarik dalam aktivitas dan perilaku organisasi. Beberapa organisasi sering
menggunakan istilah public relations untuk bidang yang berhubungan dengan publik
organisasi. Seperti dijelaskan James E. Grunig dan Todd Hunt (dalam Kriyantono,
2012a, h. 2) public relations adalah bagian dari manajemen komunikasi antara
organisasi dan publiknya. Melalui penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa publik
memiliki relasi atau hubungan dengan sebuah organisasi.
Sifat-sifat relasi publik menurut Dewey (dalam Kriyantono, 2012a, h. 231)
mengalami perkembangan berdasarkan tiga aspek, yaitu aspek munculnya masalah,
aspek kesadaran akan masalah, dan aspek bentu-bentuk respon terhadap masalah
tersebut. Berdasarkan aspek tersebut, Grunig (dalam Kriyantono, 2012a, h. 231)
membagi populasi umum menjadi tiga macam tipe publik, yaitu:
a. Publik tersembunyi (latent public) adalah sekelompok orang yang sebenarnya
mempunyai permasalahan yang sama tetapi tidak dapat mengidentifikasi atau
menyadari permasalahan tersebut sehingga mereka tidak memberikan respon.
24



b. Publik teridentifikasi (aware public) adalah bentuk perkembangan dari latent
public, yaitru jika kelompok tersebut kemudian menyadari dan dapat
mengidentifikasi suatu permasalahan (isu) maka kelompok tersebut berkembang
menjadi "aware public".
c. Publik aktif (active public) adalah sekelompok orang yang mendiskusikan
merespon permasalahan tersebut dengan mengeluarkan opini atau melakukan
aksi-aksi tertentu.
Pada tahap public active individu akan memiliki kecenderungan untuk pro atau
kontra terhadap perusahaan, tergantung organisasi tersebut berdampak positif atau
negatif terhadap kepentingan individu, tingkat pendidikan, dan kekuatan politik
publik (Kriyantono, 2012a, h. 232). Seperti dalam penelitian Kriyantono (2012c)
yang menjelaskan sikap para korban lumpur Sidoarjo terhadap permasalahan-
permasalahan luapan lumpur dan respon sikap mereka merespon manajemen krisis
yang dilakukan Lapindo. Terkait dengan para korban menyadari bahwa krisis lumpur
memunculkan situasi problematik seperti ketidakpastian ganti rugi dan kekurangan
informasi (Kriyantono, 2012a, h. 347). Namun, penelitian tersebut tidak bertujuan
untuk menggeneralisasi data, tetapi menyelidiki karakteristik korban, sebagai salah
satu publik eksternal, sebagai publik yang menyadari masalah-masalah yang
dihadapinya (aware public) karena mereka dalam waktu singkat berupaya mencari
informasi (Kriyantono, 2012a, h. 347).
Penelitian ini dilakukan pada tipe aware public. Alasannya adalah pada tipe ini
publik telah menyadari peristiwa semburan lumpur di Sidoarjo dan kaitannya dengan
25



Lapindo. Publik di Dusun Candi Sayang bukan publik yang menjadi korban dari
krisis tersebut. Namun, publik di Dusun Candi Sayang terkena dampak tidak
langsung terhadap krisis tersebut sehingga mereka tidak sampai melakukan aksi-aksi
tertentu dalam merespon permasalahan tersebut. Mereka hanya pada batas publik
yang mencari informasi karena krisis semburan lumpur memepengaruhi kehidupan
mereka, salah satunya dampak polusi lingkungan yang mereka rasakan.
2.4 Media Massa dan Krisis
Penilaian krisis didasarkan pada jenis krisis. Penelitian framing dalam
komunikasi massa berfungsi untuk menjelaskan dasar pemikiran dibalik jenis krisis
sebagai frame krisis. Secara umum, frame adalah perhatian mengenai apa yang
menonjol atau penekanan dan beroperasi pada dua tingkatan terkait, yaitu frame
dalam komunikasi dan frame dalam pikiran (Druckman dalam Coombs, 2007).
Frames dalam komunikasi melibatkan cara (kata, frasa, gambar, dll) bahwa informasi
yang disajikan dalam pesan. Misalnya, media sesungguhnya menampilkan aspek-
aspek tertentu dari suatu masalah atau situasi ke dalam sebuah cerita (Yioutas dan
Segvic, dalam Coombs, 2007). Frame dalam pikiran melibatkan kognitif struktur,
seperti script atau skema, dan seseorang memanfaatkannya ketika menafsirkan
informasi (Druckman dalam Coombs, 2007). Frames dalam komunikasi membantu
membentuk frame dalam pikiran. Cara pesan dibingkai membentuk bagaimana
orang mendefinisikan masalah, penyebab masalah, atribusi tanggung jawab dan
solusi untuk masalah (Cooper, dalam Coombs, 2007). Penelitian komunikasi massa
26



menunjukkan bahwa bagaimana pembingkaian isu oleh media mempengaruhi
penilaian politik.
Frame menekankan fakta atau nilai tertentu yang membuat mereka menonjol
ketika individu membuat keputusan (Joslyn dalam Coombs, 2007). Efek framing
terjadi ketika komunikator memilih faktor-faktor tertentu untuk menekankan.
Perhatian orang-orang yang menerima pesan akan fokus pada faktor-faktor yang
membentuk pendapat mereka dan membuat penilaian (Druckman dalam Coombs,
2007). Jenis krisis adalah bentuk dari frame. Masing-masing jenis krisis memiliki
aspek-aspek tertentu dari sebuah krisis. Isyarat ini mengindikasikan bagaimana para
stakeholder harus menafsirkan krisis (Coombs dan Holladay dalam Coombs, 2007).
Manajer krisis mencoba untuk membangun atau membentuk frame krisis
dengan menekankan petunjuk tertentu. Termasuk petunjuk apakah ada atau tidak
pihak eksternal atau kekuatan lain penyebab krisis, apakah krisis adalah hasil dari
kebetulan atau tindakan disengaja oleh anggota organisasi dan apakah penyebab
krisis adalah kesalahan teknis atau kesalahan manusia. Hal itu tidak akan menjadi
masalah jika para stakeholder melihat krisis sebagai kecelakaan, sabotase atau pidana
kelalaian.
Penelitian Coombs dan Holladay (2009) melihat bagaimana pengaruh media
cetak dan media elektronik (televisi) terhadap sikap simpati dan kompensasi yang
dilakukan perusahaan. Hasilnya, kedua media tersebut tidak memiliki perbedaan yang
signifikan sehingga tidak mempengaruhi responden dalam menilai sikap simpati dan
kompensasi yang dilakukan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi,
27



dalam hal ini manajer krisis dapat memanfaatkan media cetak atau media elektronik
seperti televisi untuk melakukan komunikasi krisis. Berkembangnya media internet
pun menjadi salah satu saluran yang dapat dipilih untuk mengkomunikasikan sebuah
krisis. Bahkan jika perusahaan memiliki website maka komentar yang masuk pada
perusahaan tersebut dapat dikendalikan oleh perusahaan. Penelitian eksperimen
tentang respon krisis telah menggunakan media cetak karena banyak orang menerima
berita melalui media cetak. Pfau dan Wan (dalam Coombs dan Holladay, 2009)
mengambarkan jika orang menonton berita pada televisi maka orang akan fokus pada
sumber pesan, sedangkan jika di media cetak maka orang akan fokus pada isi pesan.
Sehingga pesan di media cetak akan lebih mudah diproses.
Temuan-temuan tersebut membuat peneliti memilih media cetak sebagai
perlakuan dalam penelitian ini dengan alasan bahwa publik akan lebih fokus pada
sumber pesan (Pfau dan Wan, dalam Coombs dan Holladay, 2009). Selain itu,
penelitian sebelumnya yang juga menggunakan media cetak sebagai perlakuan adalah
penelitian yang dilakukan oleh Jeong (2009). Jeong menggunakan media cetak yang
menginformasikan mengenai sisi positif, seperti kegiatan CSR dari perusahaan
Samsung, perusahaan yang mengalami krisis dan sisi negatif perusahaan, yaitu
tumpahan minyak di laut. Hasilnya, informasi pada media cetak tersebut memberikan
pengaruh yang cukup signifikan terhadap atribusi masyarakat mengenai krisis
tumpahan minyak tersebut.
ketika isu berada dalam tahapan resolution (dormant stage) maka pada dasarnya
organisasi telah mampu mengatasi isu dengan baik (setidaknya, publik puas karena
pertanyaan-pertanyaan seputar isu dapat terjawab, pemberitaan oleh media mulai
28



menurun, perhatian masyarakat juga menurun, salah satu karena berjalannya waktu, ada
solusi dari organisasi atau pemerintah), sehingga isu diasumsikan telah berakhir
Kriyantono (2012a, 161)
Sampai seseorang memunculkan kembali dengan pemikiran dan persoalan baru
atau muncul isu baru yang ternyata mempunyai keterkaitan dengan isu sebelumnya
atau pada waktu peringatan saat isu muncul pertama kali. Kondisi seperti itu dapat
memunculkan kembali isu yang sama jika masih ada ketidakpuasan pada publik. Oleh
karena itu, pemilihan waktu hanya sampai bulan Mei karena pada bulan Mei
bertepatan dengan peringatan tahunan krisis semburan lumpur sehingga diasumsikan
banyak terpaan media. Apalagi dengan tujuh tahun peringatan krisis semburan
lumpur proses ganti rugi yang dijanjikan perusahaan belum juga dilunasi.
2.5 Studi Pendahuluan
Peneliti menggunakan referensi dari beberapa penelitian terdahulu sebagai
bahan pijakan dalam penelitian ini yang menggunakan analisis Teori Komunikasi
Situasi Krisis (Situational Crisis Communication Theory) dan Teori Atribusi sebagai
teknik analisis data penelitian.
Pertama penelitian yang dilakukan oleh Rachmat Kriyantono di Indonesia
yang dilakukan pada tahun 2010. Penelitian yang dimuat di International Journal of
Bussiness and Social Science 3 (9) ini berjudul Measuring a Company Reputation in
a Crisis Situation: An Ethnography Approach on the Situational Crisis
Communication Theory (Kriyantono, 2012b). Tujuan penelitian untuk mengetahui
tindakan perusahaan yang dilakukan untuk mengatasi krisis dan mengaplikasikan
variabel-variabel dalam teori komunikasi situasi krisis terhadap reputasi perusahaan.
29



Situational Crisis Communication Theory digunakan sebagai landasan teori dalam
penelitian ini.
Pada penelitian tersebut peneliti mengamati tindakan-tindakan perusahaan
dalam menangani krisis semburan lumpur di Sidoarjo. Penelitian ini menggunakan
jenis penelitian deskriptif dengan metode etnografi untuk memungkinkan peneliti
mendapatkan data secara rinci dan lengkap mengenai segala aspek penyebab krisis
semburan lumpur. Jika yang dilakukan Kriyantono adalah lebih melihat pada sisi
korban dan perusahaan maka berbeda dengan yang dilakukan penulis pada penelitian
sekarang ini yang menggunakan metode eksperimen.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perusahaan tidak melakukan
manajemen krisis yang efektif sehingga merugikan para korban. Manajemen yang
tidak baik berdampak pada reputasi perusahaan sehingga korban cenderung
menyalahkan perusahaan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas krisis tersebut.
Selain itu berdasarkan teori komunikasi situasi krisis, perusahaan lebih berkonsentrasi
untuk mengembalikan reputasi perusahaan dibandingkan memikirkan nasib korban
sehingga tindakan-tindakan yang dilakukan tidak berjalan efektif.
Keterkaitannya dengan penelitian penulis sekarang ini terletak pada topik
yang diteliti yaitu sama-sama meneliti mengenai Situational Crisis Communication
Theory pada krisis semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur. Kesamaan ini menjadi
alasan untuk diadopsi karena permasalahan dalam penelitian ini, yaitu aktor yang
bertanggung jawab terhadap krisis hanya dapat diteliti dengan menggunakan
30



Situational Crisis Communication Theory. Maka dari itu, penelitian yang dilakukan
oleh Rachmat Kriyantono diadopsi di dalam penelitian.
Penelitian ini meneliti tentang atribusi publik mengenai krisis lumpur di
Sidoarjo dengan mengaplikasikan Situational Crisis Communication Theory dan
Teori Atribusi. Metode yang digunakan, yaitu studi eksperimental dan penerapan dua
teori yang meneliti mengenai atribusi publik mengenai penanggung jawab krisis dan
perilaku menghukum terhadap krisis yang terjadi. Tujuannya untuk melihat
perbedaan atribusi yang diterima publik antara dua tiga kelompok yang disebut
kelompok eksperimen positif, kelompok eksperimen negatif, dan kelompok kontrol.
Penelitian lain yang juga berkaitan dengan Situational Crisis Communication Theory
(SCCT) adalah penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2011) dengan judul
Pengaruh Tanggung Jawab Perusahaan dalam Menanggulangi Krisis terhadap
Reputasi Perusahaan. Penelitian yang dimuat dalam Jurnal Ilmu Komunikasi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Volume 8 Nomor 2 Tahun 2011 ini menjelaskan
mengenai pengaruh tanggung jawab krisis terhadap perusahaan menggunakan metode
survei. Survei ini dilakukan pada 50 reseponden di level eksekutif manajemen Public
Relation perusahaan sektor riil dan jasa di Jakarta. Masing-masing responden
menerima 8 pernyataan kuesioner yang mewakili dua variabel, yaitu variabel
tanggungjawab organisasi dan reputasi organisasi. Ke-8 pernyataan itu diulang pada
tiga stimulan kejadian krisis berdasarkan tipe krisis, yaitu kejadian krisis yang
meninggalkan masalah, kejadian krisis yang tidak meninggalkan masalah, dan
kejadian krisis akibat faktor eksternal.
31



Hipotesis dalam penelitian ini adalah tanggung jawab organisasi berpengaruh
terhadap reputasi perusahaan. Hipotesis tersebut diuji dengan menggunakan tiga
perlakuan tipe kejadian krisis, mulai dari kejadian krisis yang meninggalkan masalah
(RS Omni International), kejadian krisis yang tidak meninggalkan masalah (PT
Nutrifood), dan kejadian krisis akibat faktor eksternal (PT Lapindo). RS Omni
International dipilih sebagai perusahaan yang kejadian krisisnya meninggalkan
masalah karena setelah kasus Prita, banyak bermunculan pasien yang merasa tidak
mendapat pengobatan dengan benar. PT Nutrifood sebagai perusahaan yang
mengalami kasus produk yang dikeluarkan diduga mengandung aspartem, setelah
melakukan konferensi pers, krisis pun berakhir. Sedangkan kejadian krisis akibat
faktor eksternal dialami oleh PT Lapindo karena menurut peneliti kejadian semburan
lumpur di Sidoarjo tidak hanya berasal dari kesalahan pengeboran namun juga
dampak dari bencana alam yang terjadi sebelumnya.
Berkaitan dengan tipe kejadian krisis, maka hasil penelitian menunjukkan
bahwa perusahaan yang mengalami krisis berkelanjutan tidak memiliki kemampuan
yang baik dalam memilih tanggung jawab krisis yang berpengaruh pada reputasi,
perusahaan yang tidak mengalami krisis berkelanjutan memiliki kemampuan yang
baik dalam memilih tanggung jawab krisis sebagai upaya pemulihan reputasi dan
pada perusahaan yang mengalami kejadian akibat faktor eksternal cenderung
memiliki pilihan tanggung jawab krisis yang sudah baik sebagai upaya memperbaiki
reputasi (Wulandari, 2011).
32



Kesamaan penelitian tersebut dengan penelitian saat ini adalah sama-sama
mengaplikasikan SCCT. Namun, penggunaan metode yang dilakukan berbeda karena
penelitian tersebut menggunakan metode survei sedangkan penelitian ini
menggunakan metode eksperimental. Jika penelitian tersebut fokus pada pengaruh
tanggung jawab krisis perusahaan terhadap reputasi perusahan, maka penelitian ini
berfokus untuk melihat atribusi publik mengenai klaster penanggung jawab krisis
yang kemudian dilihat pengaruhnya terhadap perilaku menghukum oleh publik.
Tidak hanya krisis di Indonesia yang diaplikasikan dari SCCT, namun krisis
yang terjadi di beberapa negara juga mengaplikasikan SCCT. Se-Hoon Jeong, Korea
University, Korea yang berjudul Publics Responses To An Oil Spill Accident: aTest
of The Attribution Theory and Situational Crisis Communication Theory (Jeong,
2009). Penelitian yang dimuat di Public Relations Review 35 ini mengamati
tanggapan publik terhadap kecelakaan tumpahan minyak yang dialami oleh
perusahaan Samsung dengan mengaplikasikan Teori Situational Crisis
Communication dan Teori Atribusi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat persepsi
publik mengenai aktor yang bertanggung jawab terhadap kecelakaan tersebut, internal
atribusi (organisasi sebagai pihak yang bertanggung jawab) atau eksternal atribusi
(kecelakaan terjadi karena bencana sehingga perusahaan tidak bertanggung jawab).
Selain itu, Jeong juga bertujuan untuk melihat atribusi publik dengan perilaku dan
opini menghukum yang dilakukan terhadap perusahaan Samsung.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental. Metode ini
peneliti membagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok yang diberi perlakuan
33



dengan pemberitaan positif (sejarah CSR perusahaan), kelompok dengan pemberitaan
negatif (sejarah kesalahan manajemen), dan kelompok tanpa diberi pemberitaan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian informasi negatif
meningkatkan atribusi internal publik dan perilaku publik yang mengganggap
perusahaan yang bertanggung jawab dan berhak dihukum. Hasil tersebut berbeda
ketika yang diberikan adalah informasi positif, atribusi eksternal dan perilaku
menghukum tidak setinggi ketika pemberian informasi negatif.
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Coombs & Holladay (2009)
dengan judul Further explorations of post-crisis communication: Effects of media
and response strategies on perceptions and intentions. Penelitian ini dimuat di
Public Relations Review Volume 35. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen
kepada 184 mahasiswa dari Midwestern University dengan usia yang berkisar 17-56
tahun. Responden dibagi menjadi empat kelompok dan dilakukan di dalam kelas.
Empat kelompok tersebut adalah stimuli berupa informasi informasi sebelum terjadi
ledakan kimia di Marcus Oil terjadi, informasi saat terjadi ledakan, dan informasi
sesudah terjadi ledakan yang dimuat di media cetak, News Reuters dengan perbedaan
isi berita, yaitu berita yang menunjukkan simpati perusahaan dan kompensasi yang
diberi perusahaan. Sedangkan kedua kelompok lainnya diberi stimuli berupa
informasi mengenai sebelum ledakan kimia di Marcus Oil terjadi, saat terjadi
ledakan, dan sesudah ledakan pada berita berita di televisi, TV Lokal dengan
perbedaan isi berita, yaitu berita yang menunjukkan simpati perusahaan dan
kompensasi yang diberi perusahaan (Coombs & Holladay, 2009).
34



One-way anova digunakan untuk mengukur pengaruh stimuli terhadap respon
publik terhadap krisis. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa stimuli yang diberikan
antara berita di media cetak dan televisi tidak memberikan pengaruh yang signifikan
sehingga kedua dapat digunakan dalam komunikasi krisis kepada publik (Coombs &
Holladay, 2009). Penggabungan strategi krisis akan tetap baik jika media cetak dan
video, bahkan internet digunakan sebagai sumber berita . Hal ini penting untuk
mempertimbangkan bahwa ketika organisasi dalam krisis organisasi tidak dapat
menentukan bagaimana komentar publik yang muncul terkait reputasi organisasi yang
sebelumnya disampaikan oleh juru bicara perusahaan dalam sebuah pemberitaan.
Penelitian ini memiliki kesamaan dalam penggunaan metode penelitian, yaitu
metode eksperimental. Selain itu, kesamaan juga terjadi pada salah satu perlakuan.
Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah informasi dari media cetak,
yaitu Jawa Pos dan Kompas sedangkan dalam penelitian tersebut informasi dari
media cetak yang digunakan berasal dari News Reuters. Selain itu penelitian ini
berfokus pada pengaruh media yang digunakan dalam menanggulangi krisis terhadap
reputasi perusahaan. Sehingga perbedaan dengan penelitian saat ini adalah dari fokus
penelitian karena penelitian ini lebih melihat atribusi publik mengenai klaster
penanggung jawab krisis.
Penelitian dalam komunikasi krisis juga dilakukan oleh An-Sofie Claeys,
Verolin Cauberghe, dan Patrick Vyncke (2010). Penelitian dengan judul Restoring
reputations in times of crisis: An experimental study of the Situational Crisis
Communication Theory and the moderating effects of locus of control yang dimuat
35



di Public Relations Review volume 36 ini dilakukan pada 316 responden yang dibagi
dalam sembilan kelompok eksperimen. Responden dipilih secara acak dengan
memilih dari kelompok masyarakat Belgia laki-laki dan perempuan dengan rata-rata
usia 17 70 tahun. Masing-masing kelompok diberi tiga berita dan dilakukan dengan
dua kali pre-test. Penelitian ini memberikan perlakuant beserta kuisioner melalui new
media atau secara online.
Banyaknya kelompok perlakuan yang digunakan maka untuk mengecek hasil
perlakuan digunakan penghitungan one-way anova. Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa dengan mencocokkan jenis krisis dengan tanggapan krisis tidak menyebabkan
persepsi yang lebih positif mengenai reputasi. Hasil ini ternyata bertentangan dengan
temuan Coombs dan Holladay (dalam Claeys dkk, 2010), yaitu menurut tipologi
SCCT kita dapat memanipulasi jenis krisis melalui penilaian tanggung jawab krisis.
Persamaan dalam penelitian ini adalah adalah penggunaan metode eksperimental
dalam mengaplikasikan Situational Crisis Communication Theory (SCCT).
Perbedaannya dalam melakukan perlakuan di penelitian tersebut dengan penelitian
saat ini adalah penggunaan new media dan bertemu langsung kepada responden.
Sehingga diharapkan dapat mengontrol responden dalam mengisi kuisioner yang
diberikan.
Examining the effects of mutability and framming on perceptions of human
error and technical error crises: Implications for Situational Crisis Communication
Theory merupakan judul penelitian W. T. Coombs, & S. J. Holladay (2010) yang
dipublikasikan di The Handbook of Crisis Communications. Penelitian ini dilakukan
36



untuk melihat bagaimana tanggung jawab perusahaan kesalahan terhadap jenis krisis
dan jenis kesalahan yang mengakibatkan krisis. Responden yang dipilih dalam
penelitian ini adalah 74 mahasiswa di dua universitas di Midwestern. Penelitian ini
menggunakan metode eksperimen. Perlakuan yang digunakan adalah 4 kelompok
dengan dua kelompok jenis krisis (kecelakaan dan penarikan produk) dan dua
kelompok tipe kesalahan (kesalahan manusia dan kesalahan teknik). Kecelakaan
industri kilang minyak, Tosco di California menjadi manipulasi pada jenis krisis
kecelakaan, sedangkan krisis botol air Perrier yang mengangung zat kimia berbahaya
dijadikan manipulasi pada jenis krisis penarikan produk. Terdapat perbedaan yang
signifikan tentang bagaimana stakeholder menerima situasi krisis antara kedua jenis
krisis dan jenis kesalahan.
Penelitian Se-Hoon Jeong diadopsi dalam penelitian ini karena dalam
penelitian yang dilakukan olehnya dengan penelitian sekarang ini sama-sama
mengaplikasian Situational Crisis Communication Theory dan Teori Atribusi pada
sebuah krisis. Perbedaan dengan penelitian ini adalah objek yang diteliti berbeda
karena peneliti menggunakan krisis semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur dan
metode eksperimen yang dilakukan pun berbeda. Jika penelitian Jeong melakukan
metode eksperimennya dengan memberi perlakuan kepada responden melalui e-mail,
maka yang dilakukan peneliti pada metode eksperimennya kali ini dengan
memberikan perlakuan secara langsung atau face-to-face kepada responden.
Alasan mengadopsi penelitian Jeong pada penelitian ini karena krisis yang
dialami Lapindo, perusahaan yang terkait dalam krisis ini telah berlangsung hingga
37



hampir tujuh tahun.Banyaknya kerusakan fisik dan psikologis yang dialami oleh
korban masih terasa. Tidak hanya perusahaan yang terlibat, bahkan pemerintah pun
ikut menjadi pihak yang dinilai bertanggung jawab atas peristiwa ini karena masalah
yang berlarut-larut dan masih meninggalkan konflik. Dampak jika metode penelitian
Jeong diterapkan dalam kasus Lapindo adalah membantu penulis untuk melihat
pengaruh media dalam membentuk atribusi publik dalam menilai pihak yang
bertanggung jawab terhadap krisis. Selain itu, penelitian yang dilakukan setelah tujuh
tahun terjadinya krisis menjadi faktor lain yang membedakan antara penelitian ini
dengan penelitian Jeong yang dilakukan satu bulan setelah kejadian krisis tumpahan
minyak di laut oleh perusahaan Samsung.
2.6 Kerangka Pemikiran
Lapindo Brantas Inc. adalah perusahaan eksplorasi gas dan minyak yang
merupakan joint venture antara PT. Energi Mega Persada Tbk. (50%), PT Medco
Energi Tbk. (32%) dan Santos Australia (18%), di mana keluarga Bakrie melalui
investasinya memegang kendali atas PT. Energi Mega Persada Tbk. Pada tanggal 29
Mei 2006 di Desa Siring, serangkaian semburan lumpur terjadi, yang terdekat
berjarak 200 meter dari situs eksplorasi yang dioperasikan oleh perusahaan di Desa
Renokenongo (Lapindo, 2011). Berdasarkan pada fakta-fakta yang ada peneliti
tertarik untuk meneliti atribusi publik mengenai krisis lumpur di Sidoarjo yang
hingga tahun 2013 krisis masih terjadi karena masih ada korban yang belum
menerima pembayaran lunas atas ganti rugi tanah dan bangunan mereka yang
terendam lumpur.
38



Pemberitaan media massa yang melakukan pembingkaian terhadap krisis
lumpur di Sidoarjo memiliki nilai positif, negatif, dan netral. Masing-masing media
massa memiliki caranya sendiri untuk membingkai (framing) berita termasuk
pemberitaan mengenai semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur yang juga
melibatkan perusahaan Lapindo. Frames dalam komunikasi membantu membentuk
frame dalam pikiran.Cooper (dikutip dalam Coombs, 2007) menyebutkan bahwa cara
pesan dibingkai membentuk bagaimana orang mendefinisikan masalah, penyebab
masalah, atribusi tanggung jawab dan solusi untuk masalah. Melalui pemberitaan
tersebut publik akan mencari tahu siapakah pihak yang dianggap bertanggung jawab
terhadap krisis tersebut.
Weiner (dikutip dalam Coombs, 2007) mengatakan bahwa teori atribusi
mengemukakan bahwa orang mencari penyebab kejadian (membuat atribusi),
terutama yang negatif dan tak terduga. Begitu pula yang disampikan oleh Coombs,
2007) bahwa krisis bersifat tak terduga dan negatif. Kedua sifat dari krisis dan
atribusi inilah yang kemudian menyatukan Teori Atribusi dapat digunakan dalam
penelitian komunikasi krisis. Penelitian komunikasi krisis sering dilakukan dengan
metode studi kasus untuk mendapat informasi mendalam mengenai krisis yang terjadi
terutama bagi mereka yang terlibat dalam krisis (Coombs, 2007). Namun, beberapa
penelitian sebelumnya telah menggunakan metode eksperimental untuk mendapat
hasil yang dapat digeneralisasikan (Coombs, 2010).
Begitu pula yang dilakukan dalam penelitian ini, penggunaan metode
eksperimental bertujuan untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap atribusi publik.
39



Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah pemberitaan perusahaan yang
terkait dengan krisis, PT Lapindo Brantas. Perlakuan diberikan kepada tiga kelompok
yang berbeda, yaitu kelompok dengan perlakuan berita positif tentang PT Lapindo,
perlakuan berita negatif tentang PT Lapindo, dan kelompok yang tidak diberi
perlakuan.
Media massa memiliki peran dalam pembentukan persepsi (atribusi) publik
terhadap suatu krisis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa krisis memiliki
sifat negatif dan tidak terduga. Sehingga pembingkaian (frames) berita akan
membantu publik dalam membentuk atribusi mengenai penyebab masalah,
penanggung jawab masalah, hingga sikap terhadap penanggung jawab krisis. Tidak
semua publik memiliki atribusi yang sama antara satu dengan yang lain. Perbedaan
tipe publik akan membedakan publik dalam membentuk atribusi. Ketika publik telah
menemukan penyebab masalah dan penanggung jawab krisis maka selanjutnya adalah
publik akan menentukan sikap terhadap perusahaan. Menurut Jeong (2009), salah
satu sikap publik ketika krisis adalah berperilaku menghukum. Perilaku menghukum
dari publik terhadap perusahaan yang menjadi penanggung jawab krisis dipengaruhi
oleh atribusi publik. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka selanjutnya akan
ditarik hipotesis untuk membantu peneliti dalam menjawab rumusan masalah.
Pemilihan perlakuan dengan pemberitaan di media cetak, khususnya surat
kabar didasari penelitian sebelumnya yang juga melakukan metode eksperimental
dengan perlakuan pemberitaan di media cetak. Coombs dan Holladay (2009)
menggunakan perlakuan berupa berita di media cetak dan berita di televisi mengenai
40



krisis ledakan kimia di Marcus Oil. Penelitian tersebut melihat bagaimana pengaruh
perlakuan yang diberikan terhadap respon publik mengenai tanggung jawab krisis
yang dilakukan perusahaan (Coombs & Holladay, 2010). Pemilihan perlakuan berupa
pemberitaan di media massa karena pembingkaian (frames) dalam komunikasi
membantu membentuk frame dalam pikiran (Coombs, 2007). Cooper (dikutip dalam
Coombs, 2007) menyebutkan bahwa cara pesan dibingkai membentuk bagaimana
orang mendefinisikan masalah, penyebab masalah, atribusi tanggung jawab dan
solusi untuk masalah. Melalui pemberitaan tersebut publik akan mencari tahu
siapakah pihak yang dianggap bertanggung jawab terhadap krisis tersebut.
Begitu pula pada penelitian ini, masing-masing media massa memiliki
caranya sendiri untuk membingkai (framing) berita termasuk pemberitaan mengenai
semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa Timur yang melibatkan perusahaan Lapindo.
Masing-masing berita memiliki nilai positif, negatif, atau netral. Melalui hal ini orang
akan berpikir mengenai definisi masalah hingga membentuk atribusi tanggung jawab
masalah, seperti yang dijelaskan oleh Coombs (2007). Krisis semburan lumpur di
Sidoarjo memberikan ruang bagi publik untuk menilai penyebab krisis karena krisis
ini dibingkai dalam dua sudut pandang, yaitu krisis disebabkan oleh kesalahan
pengeboran yang dilakukan Lapindo karena kelalaiannya tidak menggunakan casing
ketika pengeboran. Opini yang lain adalah semburan lumpur terjadi akibat dampak
dari bencana gempa di Yogyakarta beberapa waktu sebelumnya.
Persepsi (atribusi) publik juga akan berbeda ketika dilihat dari kategori publik
yang menilai. Berdasarkan aspek tersebut, Grunig (dalam Kriyantono, 2012a, h. 231)
41



membagi populasi umum menjadi tiga macam tipe publik, yaitu publik tersembunyi
(latent public), publik teridentifikasi (aware public), dan publik aktif (active public).
Pada tahap public active individu akan memiliki kecenderungan untuk pro atau kontra
terhadap perusahaan, tergantung organisasi tersebut berdampak positif atau negatif
terhadap kepentingan individu, tingkat pendidikan, dan kekuatan politik publik
(Kriyantono, 2012a, h. 232). Penelitian ini memilih kategori aware public karena
sebagai salah satu publik eksternal, publik yang menyadari masalah-masalah yang
dihadapinya (aware public) karena mereka dalam waktu singkat berupaya mencari
informasi (Kriyantono, 2012a, h. 347).
Berdasarkan pada penelitian Se-Hoon Jeong (2009), atribusi internal
meningkat akibat adanya informasi yang negatif. Akibatnya perilaku publik untuk
menghukum perusahaan juga tinggi. Atribusi dapat menggiring opini serta perilaku
publik untuk menghukum perusahaan. Selain itu, informasi yang negatif dapat
mempengaruhi atribusi publik bahwa krisis disebabkan oleh perusahaan. Penelitian
ini akan mengadopsi gabungan antara variabel yang disebutkan oleh Coombs (2007)
mengenai penanggung jawab krisis dan variabel penanggung jawab yang disebutkan
oleh Jeong (2009). Selain itu, penelitian ini akan melihat pengaruh pemberitaan di
media massa terhadap atribusi publik mengenai penanggung jawab krisis dan dampak
pada perilaku menghukum publik setelah mengetahui penanggung jawab krisis.
Media massa memiliki peran dalam pembentukan persepsi (atribusi) publik
terhadap suatu krisis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa krisis memiliki
sifat negatif dan tidak terduga. Sehingga pembingkaian (frames) berita akan
42



membantu publik dalam membentuk atribusi mengenai penyebab masalah,
penanggung jawab masalah, hingga sikap terhadap penanggung jawab krisis. Tidak
semua publik memiliki atribusi yang sama antara satu dengan yang lain. Perbedaan
tipe publik akan membedakan publik dalam membentuk atribusi. Ketika publik telah
menemukan penyebab masalah dan penanggung jawab krisis maka selanjutnya adalah
publik akan menentukan sikap terhadap perusahaan. Menurut Jeong (2009), salah
satu sikap publik ketika krisis adalah perilaku menghukum. Perilaku menghukum dari
publik terhadap perusahaan yang menjadi penanggung jawab krisis dipengaruhi oleh
atribusi publik. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka selanjutnya akan
ditarik hipotesis untuk membantu peneliti dalam menjawab rumusan masalah.
2.7 Hipotesis
Berdasarkan pendapat Kriyantono (2010, h. 28) hipotesis ini merupakan
pendapat atau pernyataan yang masih belum tentu kebenarannya harus di uji lebih
dulu dan karena sifatnya sementara atau dugaan awal. Hipotesis muncul dari
kerangka teori yang telah disusun sebelumnya. Selain itu, hipotesis dapat diperoleh
dari data di lapangan.
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas maka hipotesis
penelitian ini adalah:
1. Terdapat pengaruh jenis pemberitaan media massa terhadap atribusi publik
mengenai aktor yang bertanggung jawab terhadap krisis semburan lumpur di
Sidoarjo antara kelompok eksperimen positif, kelompok eksperimen negatif, dan
kelompok kontrol.
43



2. Terdapat pengaruh atribusi publik terhadap perilaku menghukum publik yang
menganggap perusahaan pantas atau tidak mendapat hukuman atas krisis yang
ditimbulkan antara kelompok eksperimen positif, kelompok eksperimen negatif,
dan kelompok kontrol.




44

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan positivistik.
Positivistik ini yang mendasari cara bertindak dan acara berpikir (metodologi)
kuantitatif. Pendekatan ini menganggap perilaku manusia disebabkan oleh kekuatan-
kekuatan di luar kemauan mereka sendiri (Kriyantono, 2010, h. 54). Rangsangan
dalam lingkungan tersebut memengaruhi mereka untuk memberi respon dan bereaksi
terhadap suatu objek dengan cara-cara yang teratur dan karena itu dapat diramalkan
(Kriyantono, 2010, h. 54). Salah satu contoh penelitian yang berangkat dari
kuantitatif adalah eksperimen.
Berdasarkan Kriyantono (2010, h. 55) kuantitatif adalah penelitian yang
menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat
digeneralisasikan. Sehingga yang dibutuhkan peneliti adalah keluasan data bukan
kedalaman data agar dapat merepresentasikan dari seluruh populasi. Secara umum
ciri-ciri penelitian kuantitatif adalah hubungan penelitian dengan subjek jauh,
penelitian bertujuan untuk menguji teori atau hipotesis, mendukung atau menolak
teori, penelitian harus dapat digeneralisasikan, penelitian berangkat dari konsep-
konsep atau teori-teori yang digunakan (Kriyantono, 2010, h. 56).
45



3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Metode Penelitian Pendahuluan
Peneliti melakukan penelitian pendahuluan (awal) untuk menentukan jenis
perlakuan dalam eksperimen ini. Metode pendahuluan ini dimaksudkan sebagai
metode yang digunakan dalam menentukan isi berita, yaitu bagaimana Kompas dan
Jawa Pos memberitakan krisis semburan lumpur di Sidoarjo. Penentuan ini
menggunakan analisis isi kuantitatif. Menurut Berelson dan Kerlinger (dikutip dalam
Kriyantono, 2010, h. 232), analisis isi merupakan suatu metode untuk mempelajari
dan menganalisis komunikasi secara sistemati, objektif, dan kuantitatif. Unit yang
digunakan dalam analisis isi ini adalah unit referens, yaitu berupa kata atau kalimat
yang menunjukkan sesuatu yang mempunyai arti sesuai kategori (Kriyantono, 2010,
h. 237).
Unit analisis referens dalam metode analisis isi digunakan untuk meneliti
kecenderungan pemberitaan Jawa Pos dan Kompas terhadap peristiwa semburan
lumpur, apakah mendukung, menentang, atau netral terhadap aktivitas perusahaan.
Karena itu, penelitian ini mengukur pemberitaan dengan kategori mendukung, tidak
mendukung, dan netral (jika ada). Kalimat-kalimat yang mengandung kalimat
mendukung dimasukkan dalam kategori mendukung, kalimat yang tidak mendukung
dimasukkan dalam kategori tidak mendukung, dan kalimat yang netral dimasukkan
dalam kategori netral. Hasil analisis isi ini akan digunakan sebagai perlakuan yang
diberikan pada kelompok-kelompok metode eksperimental.
46



3.2.2 Metode Eksperimen
Metode yang digunakan adalah metode eksperimental untuk mengkaji atribusi
publik dan pengaruhnya pada perilaku menghukum oleh publik terhadap perusahaan
seperti disebutkan dalam rumusan masalah. Metode ini adalah memberi perlakuan
tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan (Sugiyono, 2011, h.
72). Artinya bahwa dalam metode ini terdapat dua kelompok atau lebih yang salah
satunya adalah kelompok kontrol, yang menjadi salah satu ciri dari metode ini dan
kelompok lainnya adalah kelompok eksperimen. Tujuan penggunaan metode
eksperimental dalam penelitian ini adalah untuk meneliti hubungan sebab-akibat pada
kelompok eksperimen dan membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol.
Peneliti mengeksperimen untuk dapat melihat perilaku nyata responden dalam
konteks yang aktual saat penelitian dilakukan. Nahartyo (2012, h. 3) menjelaskan
menurut lokasi pelaksanaannya, eksperimen lapangan dilakukan dalam situasi nyata
sehari-hari. Sehingga peneliti dapat mengetahui perilaku responden dalam menerima
perlakuan yang diberikan peneliti dengan keadaan yang sebenarnya dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Pelaksanaan eksperimen yang seperti ini cocok digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan praktis (Nahartyo, 2012, h. 4).
Desain eksperimental yang digunakan adalah true eksperimental design, yaitu
peneliti dapat mengontrol semua variabel luar yang mempengaruhi jalannya
eksperimen (Sugiyono, 2011, h. 75). Jenis yang digunakan dalam true eksperimental
design adalah Posttest Only Control Design. Lalu, efek manipulasi diukur pada grup
47



pertama dan dibandingkan dengan kondisi pada ukuran variabel dependen grup
kedua (Nahartyo, 2012, h. 93).

Penelitian ini menggunakan tiga kelompok yang masing-masing kelompok
memiliki subjek yang berbeda (

. Dua kelompok akan mendapat manipulasi


atau perlakuan yang berbeda (

dan satu kelompok tidak mendapat perlakuan


atau disebut kelompok kontrol.
Eksperimen tulen biasanya dilakukan pada eksperimen laboraturium yang
dapat mengontrol faktor eksternal respoden dalam menerima perlakuan. Namun,
ekperimen tulen dapat dilakukan pada eksperimen lapangan dengan kemampuan
memberikan perlakuan dan memilih responden yang sesuai. Sesuai dengan penjelasan
eksperimen lapangan, maka eksperimen ini dilakukan di rumah masing-masing
responden. Hal ini dilakukan untuk menjaga keobjektifan responden dalam menerima
perlakuan dan menjawab kuisioner yang diberikan oleh peneliti. Selain itu, dengan
memberikan perlakuan dengan bertatap muka langsung (face-to-face) dengan
responden, peneliti dapat mengontrol secara efektif agar responden dapat menerima
perlakuan yang diberikan. Cara memberikan perlakuan kepada responden pada
penelitian ini berbeda dengan penelitian Jeong (2009) yang diadopsi dalam penelitian
ini. Jeong (2009) melakukan memberikan perlakuan kepada responden melalui media


48



online atau internet. Peneliti akan melihat perbedaan antara kelompok yang diberi
perlakuan, dengan memberikan pemberitaan positif, dan pemberitaan negatif dengan
kelompok yang tidak diberi perlakuan (kelompok kontrol) mengenai pengaruh jenis
pemberitaan terhadap atribusi publik mengenai penanggung jawab krisis.
Hasil kedua yang ingin diteliti adalah pengaruh atribusi publik terhadap
perilaku menghukum publik pada aktor yang dianggap bertanggung jawab atas
terjadinya krisis. Batasan dalam menilai perilaku menghukum publik adalah mereka
tidak memberikan contoh dari hukuman yang diberikan misalnya jika responden
memberikan tanggapan bahwa perusahaan harus diberi hukuman berat maka contoh
hukuman berat tersebut adalah dihentikan usahanya. Namun, responden hanya
memberi pernyataan hukuman berat, sedang, ragu-ragu, ringan, atau tidak dihukum
untuk menunjukkan perilaku menghukum mereka terhadap pihak yang bertanggung
jawab atas terjadinya krisis.
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RW 1, Dusun Candi Sayang, Desa Candi,
Kecamatan Candi, Sidoarjo karena daerah tersebut berdekatan dengan kecamatan
Porong. Berdekatan yang dimaksud adalah selain karena letaknya yang berada dekat
dengan lokasi kejadian, juga sebagai publik eksternal, warga di Dusun Candi
termasuk aware public. Krisis yang mempengaruhi kepentingan mereka, seperti salah
satunya adalah polusi lingkungan (polusi udara) menjadi alasan masyarakat Dusun
Candi aktif mencari informasi.
49



Penelitian ini mulai dilakukan pada bulan November 2013 karena pencarian dan
penguatan data serta kondisi lapangan yang menyebabkan penelitian baru terlaksana
pada bulan November 2013.
3.4 Definisi Operasional
3.4.1 Metode Analisis Isi
Metode analisis isi ini digunakan untuk memilih berita positif dan berita
negatif. Pembagian kelompok berita yang akan digunakan dalam penelitian terlebih
dahulu dilakukan analisis isi kuantitatif. Budd dikutip Kriyantono (2010, h. 232)
menjelaskan bahwa analisis isi adalah suatu teknik sistematis untuk menganalisis isi
pesan dan mengolah pesan atau suatu alat untuk mengobservasi dan menganalisis isi
perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang dipilih. Tujuan
dilakukannya analisis isi kuantitatif sebagai metode pendahuluan adalah untuk
menggambarkan isi komunikasi berdasarkan nilai berita, yaitu positif, negatif, atau
netral. Sebelum melakukan analisis isi, maka terlebih dahulu menentuka unit analisis
yang digunakan. Unit analisis adalah sesuatu yang akan dianalisis (Kriyantono,
2010, h. 237). Menurut Kriyantono terdapat beberapa unit analisis dalam analisis isi,
yaitu unit tematik, unit fisik, unit referens, dan unit sintaksis. Namun, pada penelitian
ini unit analisis yang digunakan hanya unit referens, yaitu rangkaian kata atau
kalimat yang menunjukkan sesuatu yang mempunyai arti sesuai kategori
(Kriyantono, 2010, h. 237).
Berdasarkan kategorisasi dalam unit analisis referens yang disampaikan
Kriyantono (2010, h. 247), rumusan kategorisasi referens adalah sebagai berikut:
50



a. Favourable (mendukung/ positif)
Sikap positif yang dimaksud dalam kategorisasi ini adalah bila isi berita
yang ditampilkan dalam surat kabar secara eksplisit dan implisit mendukung
yaitu dengan memuji, menyanjung, dan menyetujui aktivitas atau tindakan
perusahaan (Lapindo) dalam mengatasi krisis.
b. Netral
Sikap netral yang dimaksud adalah apabila isi berita yang ditulis baik secara
eksplisit atau implisit tidak bersikap memihak atau netral terhadap aktivitas
atau tindakan perusahaan (Lapindo) dalam mengatasi krisis.
c. Unfavourable (tidak mendukung/ negatif)
Sikap negatif dimaksudkan bila isi berita yang ditampilkan dalam surat
kabar secara eksplisit atau implisit tidak mendukung, yaitu mencela,
meremehkan, dan menolak aktivitas atau tindakan perusahaan (Lapindo)
dalam mengatasi krisis.
Populasi dari tahap ini adalah pemberitaan mengenai lumpur di Sidoarjo yang
terdapat di surat kabar harian Kompas dan Jawa Pos selama bulan Januari Mei
2013. Pemilihan bulan Januari Mei 2013 didasarkan pada penjelasan Kriyantono
(2012a, 161) bahwa ketika isu berada dalam tahapan resolution (dormant stage) maka
pada dasarnya organisasi telah mampu mengatasi isu dengan baik (setidaknya, publik
puas karena pertanyaan-pertanyaan seputar isu dapat terjawab, pemberitaan oleh
media mulai menurun, perhatian masyarakat juga menurun, salah satu karena
berjalannya waktu, ada solusi dari organisasi atau pemerintah), sehingga isu
51



diasumsikan telah berakhir. Sampai seseorang memunculkan kembali dengan
pemikiran dan persoalan baru atau muncul isu baru yang ternyata mempunyai
keterkaitan dengan isu sebelumnya atau pada waktu peringatan saat isu muncul
pertama kali. Kondisi seperti itu dapat memunculkan kembali isu yang sama jika
masih ada ketidakpuasan pada publik. Oleh karena itu, pemilihan waktu hanya
sampai bulan Mei karena pada bulan Mei bertepatan dengan peringatan tahunan krisis
semburan lumpur sehingga diasumsikan banyak terpaan media. Apalagi dengan tujuh
tahun peringatan krisis semburan lumpur proses ganti rugi yang dijanjikan
perusahaan belum juga dilunasi.
Teknik sampling yang digunakan adalah sensus sampling (total sampling) dari
seluruh jumlah populasi digunakan sebagai sampel. Jumlah sampel dibagi sama rata
menjadi 2 berita positif dan 2 berita negatif. Uji reliabilitas yang digunakan
berdasarkan rumus Ole R. Holsty periset melakukan pretest dengan cara mengkoding
sampel ke dalam kategorisasi (Kriyantono, 2010, h. 238). Kegiatan ini dilakukan
periset dengan seseorang lain yang disebut hakim atau koder. Hasil dari periset dan
koder dibandingkan dengan rumus Hosty, yaitu:




Keterangan:
CR = Coeficient Reliability
M = Jumlah pernyataan yang disetujui oleh pengkoding (hakim) dan periset
N1, N2 = Jumlah pernyataan yang diberi kode oleh pengkoding (hakim) dan periset
52



Hasil perbandingan yang didapat setelah menggunakan rumus Holsty antara
koder I dan II adalah 0.5, sedangkan reliabilitas koder I dan III adalah 0.83. Hasil
yang diperoleh dari rumus Hosty tersebut kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan rumus Scott untuk memperkuat hasil uji reliabilitas.





Keterangan:
pi : Nilai keterandalan
Observed Agreement : presentase persetujuan yang ditemukan dari pernyataan yang
disetujui antar pengkode (Nilai CR)
Expected Agreement : Presentase persetujuan yang diharapkan, yaitu proporsi dari
jumlah pesan yang dikuadratkan.
Hasilnya, reliabilitas interkoder antara koder I dan II adalah 0.38.dan
reliabilitas interkoder antara koder I dan III adalah 0.77. Sehingga kesimpulan hasil
perhitungan reliabilitas unit referens yang telah dilakukan peneliti adalah 0.575.
3.4.2 Metode Eksperimen
Hasil keseluruhan analisis isi selanjutnya digunakan untuk mengkaji pengaruh
pemberitaan terhadap atribusi publik mengenai aktor atau pihak yang bertanggung
jawab terhadap krisis semburan lumpur di Siodarjo pada kelompok-kelompok yang
telah ditentukan sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok
eksperimen dibagi menjadi dua sub kelompok, yaitu kelompok yang diminta
membaca berita-berita positif, dan kelompok yang diminta membaca berita-berita
53



negatif. Sementara itu, kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak diberi
perlakuan atau tidak diminta membaca.
Kesulitan mengumpulkan responden dalam waktu dan tempat yang sama
karena kesibukan masing-masing responden maka eksperimen ini dilakukan di rumah
masing-masing responden sehingga responden memiliki banyak waktu dan
keleluasaan dalam menerima perlakuan yang diberi oleh peneliti. Selain itu, cara ini
digunakan untuk menjaga keobjektifan responden dalam menjawab kuisioner yang
diberi oleh peneliti. Langkah awal peneliti adalah memberikan perlakuan sesuai
dengan kelompok yang telah dibagi sebelumnya. Kelompok pertama akan diberi
pemberitaan yang positif mengenai lumpur di Sidoarjo. Setelah responden membaca
berita yang diberikan, responden akan memberikan tanggapannya dengan mengisi
kuisioner. Selanjutnya, kelompok kedua akan diberi pemberitaan yang negatif
mengenai krisis lumpur di Sidoarjo. Mengisi kuisioner adalah langkah selanjutnya
yang akan dilakukan oleh responden. Langkah-langkah tersebut juga akan dilakukan
pada kelompok kontrol. Namun, perbedaan antara kelompok eksperimen dengan
kelompok kontrol adalah tidak adanya pemberitaan yang diberikan kepada kelompok
kontrol sebelum menjawab kuisioner. Kelompok kontrol langsung mengisi kuisioner
tanpa adanya perlakuan sebelumnya oleh peneliti.
Pada penelitian ini, atribusi publik dioperasionalkan sebagai persepsi publik
mengenai penanggung jawab krisis, yaitu organisasi sebagai penanggung jawab krisis
atau pemerintah, pihak di luar organisasi sebagai penanggung jawab krisis. Variabel
penanggung jawab krisis disusun berdasarkan SCCT yang terbagi menjadi tiga
54



klaster, yaitu klaster korban, klaster kecelakaan, dan klaster kesengajaan. Namun,
penelitian ini hanya menggunakan dua klaster sebagai indikator. Hal ini tidak hanya
berdasarkan penelitian Coombs and Holladay (2006) yang mengelompokkan
penanggung jawab krisis pada tiga kelompok, namun penelitian Jeong (2009) yang
hanya menggunakan dua klaster dalam eksperimennya, yaitu internal (klaster korban
dan klaster kecelakaan) yang berarti krisis disebabkan oleh bencana alam sehingga
organisasi tidak perlu bertanggung jawab dan eksternal (klaster kesengajaan) yang
berarti krisis disebabkan oleh kesalahan perusahaan sehingga perusahaan yang harus
bertanggung jawab.
TABEL 1
Variabel Penanggung Jawab Krisis

Kelompok Konsep Indikator Deskriptor Item
Kelompok
Eksperimen
dan
Kelompok
Kontrol
Atribusi
Publik
a. Internal
(klaster
kesengajaan)
Organisasi sengaja mengambil
tindakan yang tidak pantas atau
melanggar hukum/ peraturan.
Kesalahan manusia (human
error yang menyebabkan
kecelakaan industri), kesalahan
manajemen organisasi (hukum
atau peraturan yang dilanggar
oleh manajemen).
Semburan Lumpur disebabkan
oleh kesalahan pengeboran
Perusahaan adalah pihak yang
harus bertanggung jawab atas
semburan lumpur di Sidoarjo
b. Eksternal
(klaster korban
dan
kecelakaan)
Sebuah organisasi akan dilihat
sebagai korban apabila krisis
yang terjadi disebabkan oleh
bencana alam (kisah kerusakan
alam suatu organisasi, seperti
gempa bumi), kerusakan produk
(pihak eksternal menyebabkan
kerusakan pada sebuah
organisasi), dan rumor
(beredarnya informasi palsu dan
merusak organisasi).

Semburan Lumpur disebabkan
oleh bencana alam
Pemerintah adalah pihak yang
harus bertanggung jawab atas
semburan lumpur di Sidoarjo
Sumber: Se-Hoon Jeong (2009) dan Coombs dan Holladay (dalam Coombs, 2007).
55



Selanjutnya adalah variabel perilaku menghukum oleh publik atau perilaku
publik untuk menghukum dioperasionalkan sebagai persepsi publik untuk
memberikan hukuman. Variabel ini berdasarkan Teori Atribusi yang diungkapkan
Littlejohn (2009, h. 62) bahwa atribusi seseorang tentang penyebab dan
pengendalian suatu situasi dapat menyebabkan reaksi emosional yang mempengaruhi
kesediaan mereka untuk membantu dan kemungkinan mereka menghukum.
Selanjutnya, pada penelitian perilaku menghukum dari publik diukur berdasarkan
penilaian responden mengenai atribusi yang digunakan. Kategori atribusi untuk
melihat perilaku menghukum publik dijadikan acuan dalam penelitian ini berdasarkan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Se-Hoon Jeong (2009). Penelitian tersebut
menggunakan kategori atribusi untuk melihat opini menghukum dan perilaku
menghukum publik terhadap tumpahan minyak di Korea Selatan oleh perusahaan
Samsung.
TABEL 2
Kategori Perilaku Menghukum dari Publik

Kelompok Konsep Indikator Deskriptor Item
Kelompok
Eksperimen
dan
Kelompok
Kontrol
Atribusi
Publik
Perilaku
Menghukum
dari Publik
Persepsi publik untuk
memberikan hukuman
Bagaimana hukuman
yang pantas diberikan
kepada pihak yang
bertanggung jawab
Sumber: Se-Hoon Jeong (2009).
Untuk membantu menganalisis data mengenai item-item jawaban dari
responden tentang penanggung jawab krisis dan atribusi untuk menentukan perilaku
menghukum publik dalam penelitian ini maka diperlukan sistem skoring untuk
56



menilai kuisioner. Sistem skoring tersebut diukur dengan menggunakan skala likert
(skala sikap). Menurut Sugiyono (2011, h. 93) skala likert adalah Skala yang
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok
orang tentang fenomena sosial.
Pada penelitian ini, penanggung jawab krisis dilihat melalui nilai pemberitaan
di media massa dalam memberitakan krisis semburan lumpur di Sidoarjo yang diukur
menggunakan Skala Likert, yaitu: Sangat Setuju, Setuju, Netral, Tidak Setuju, Sangat
Tidak Setuju. Sedangkan persepsi publik untuk memberi hukuman ini diukur dengan
menggunakan Skala Likert, yaitu: Hukuman Berat, Hukuman Sedang, Netral,
Hukuman Ringan, Tidak Dihukum. Atribusi publik mengenai penanggung jawab
krisis dan perilaku menghukum publik dapat diketahui dari tingkat kesetujuan dan
tidak kesetujuan responden pada kuisioner.
Cara pengukurannya adalah dengan menghadapkan responden dengan sebuah
daftar pertanyaan mengenai penanggung jawab krisis dengan sikap pertanyaan
kesetujuan dan ketidaksetujuan. Hal tersebut berarti semakin responden setuju dengan
pernyataan pada kuesioner maka akan semakin tinggi responden menganggap
perusahaan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas sebuah krisis.
Kemudian perilaku menghukum oleh publik akibat adanya atribusi publik
diukur melalui tingkat hukuman pada pernyataan kuesioner mengenai bagaimana
hukuman yang pantas diberikan kepada perusahaan yang berkaitan dengan krisis.
Pada penelitian ini, tiap alternatif jawaban diberi skor dengan penilaian nilai sebagai
berikut:
57



a. Sangat Setuju (SS) mendapat skor 5
b. Setuju (S) mendapat skor 4
c. Ragu-Ragu (R) mendapat skor 3
d. Tidak Setuju (TS) mendapat skor 2
e. Sangat Tidak Setuju (STS) mendapat skor 1
dan alternatif jawaban lain juga diberi skor dengan penilaian sebagai berikut:

a. Hukuman Berat (HB) mendapat skor 5
b. Hukuman Sedang (HS) mendapat skor 4
c. Ragu-Ragu (R) mendapat skor 3
d. Hukuman Ringan (HR) mendapat skor 2
e. Tidak ada Hukuman (TH) mendapat skor 1
Skala yang digunakan ini dapat dikategorikan sebagai skala interval. Skala
interval adalah suatu skala di mana objek/ kategori dapat diurutkan berdasarkan suatu
atribut tertentu, di mana jarak/ interval antara tiap objek/kategori sama (Siregar,
2013, h. 23). Skala ini sering digunakan dalam kuisioner untuk menilai sikap atau
perilaku yang kerap kali dinyatakan dengan data interval. Jarak antara Sangat Setuju
(SS) dan Setuju (S) atau Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS) adalah
sama, yaitu 1.
3.5 Uji Validitas
Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas
isi berkaitan dengan kemampuan suatu alat ukur mampu mengungkap isi (konsep)
yang harus diukur (Siregar, 2013, h. 46). Menurut Sugiyono (2011, h. 103)
58



mengatakan bahwa instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk
mendapatkan data tersebut valid. Valid berarti istrumen tersebut dapat digunakan
untuk mengukur apa yang seharusnya diukur. Uji validitas dilakukan untuk
menunjukkan bahwa instrument atau kuisioner yang digunakan untuk mengukur apa
yang akan diukur dan telah cukup valid untuk digunakan dalam pengolahan data
selanjutnya. Uji validitas dilakukan untuk melihat korelasi antar skor setiap butir
pertanyaan dengan total skor variabel. Pengujian validitas ini menggunakan rumus
teknik korelasi product moment (Siregar, 2013, h. 48):

}{

}


Keterangan:
r
xy
=koefisien korelasi Y = skor total
X = skor jawaban setiap item n = jumlah sampel
Membandingkan hasil perhitungan korelasi (r) atau corrected item-total correlation
dengan angka kritik tabel, dimana (significance level) ditetapkan 5%. Keputusan
valid tidaknya ditentukan dengan:
a) Bila nilai korelasi (r) > kritik tabel, maka pernyataan dinyatakan valid.
b) Bila nilai korelasi (r) < kritik tabel, maka pernyataan dinyatakan tidak valid.
Hasil uji validitas yang telah dilakukan dengan bantuan program SPSS Statistics 17.0
dengan menggunakan rumus korelasi product moment dari Pearson adalah:
TABEL 2
Nilai Korelasi Variabel Penanggung Jawab Krisis

59



Pertanyaan Koefisien Korelasi (r) Keterangan
1 0,634 Valid
2 0,696 Valid
3 0,711 Valid
4 0,684 Valid
5 0,738 Valid
Sumber: Data Hasil SPSS (Lampiran)
Pertanyaan dikatakan valid apabila masing-masing pertanyaan dalam kuisioner
tersebut memiliki keterkaitan yang tinggi. Setiap butir dikatakan valid apabila nilai
koefisien korelasi atau r > 0, 361. Nilai r pada tiap butir pertanyaan yang tercantum
dalam tabel 11 di atas memiliki nilai yang lebih besar daripada 0,361 sehingga dapat
dikatakan bahwa pertanyaan nomor satu hingga empat pada kuisioner dengan
variabel aktor yang bertanggung jawab adalah valid. Sedangkan pertanyaan nomor
lima pada kuisioner dengan variabel perilaku menghukum adalah valid.
3.6 Uji Realibilitas
Reliabilitas mengandung arti bahwa alat ukur tersebut stabil (tidak berubah-
ubah), dapat diandalkan (dependable), dan tetap/ajeg (consistent) (Kriyantono,
2010, h. 145). Jika alat ukur yang digunakan dalam penelitian gejalan yang sama dan
memberikan hasil yang sama walaupun digunakan berulang kali maka alat ukur
tersebut dapat dikatakan reliable.
Peneliti menjaga validitas konstruk dan konten melalui definisi operasional.
Agar tetap terjaga kestabilannya maka definisi operasional disusun berdasarkan teori
dan untuk lebih menjamin realibilitas digunakan rumus sebagai berikut:


60



Keterangan:
r = koefisien reliabilitas instrument (cronbach alpha)
k = banyaknya butir pertanyaan

= total varians butir


= total varians
Keputusan alat ukur dinyatakan reliable dengan:
1. Apabila r-alpha > nilai r-tabel maka dinyatakan reliable atau hasil pengukuran
relatif konsisten apabila dilakukan pengukuran ulang pada waktu berlainan.
2. Apabila r-alpha < nilai r-tabel maka dinyatakan tidak reliable.
3. Reliabel artinya data yang diperoleh melalui kuesioner hasilnya akan konsisten
bila digunakan peneliti lain.
Tingkat reliabiltas dengan metode Alpha Cronbach diukur berdasarkan skala
Alpha 0 sampai dengan 1. Apabila skala tersebut dikelompokkan ke dalam lima kelas
dengan range yang sama, maka ukuran kemantapan alpha dapat diinterpretasikan
seperti tabel berikut:
TABEL 3
Tingkat Reliabilitas

Interval Koefisien
(Alpha)
Tingkat Hubungan
(Reliabilitas)
0,00 s.d 0,199 Sangat tidak reliabel
>0,2 s.d 0,399 Kurang reliabel
>0,40 s.d 0,599 Agak reliabel
>0,60 s.d 0,799 Reliabel
>0,80 s.d 1,000 Sangat Reliabel
Sumber: Sugiyono (2011, h. 184)
61



Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan cara menghitung koefisien Alpha
Cronbach () terhadap semua item dalam instrumen yang valid. Kriteria alat ukur
(instrumen) dinyatakan reliable jika alpha cronbach > r-tabel dan jika alpha
cronbach < r-tabel maka dinyatakan tidak reliabel.

62



TABEL 4
Hasil Pengujian Reliabilitas

Cronbach's Alpha N of Items
.720 5
Sumber: Data Hasil SPSS (Lampiran)
Berdasarkan tabel 11 hasil pengujian reliabilitas, diketahui bahwa semua variabel
memiliki Alpha Cronbach lebih dari 0.720, sehingga instrument dikatakan reliabel.
3.7 Populasi, Sampel, dan Teknik Penarikan Sampel
3.7.1 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah semua bagian atau anggota dari objek yang akan diamati
(Eriyanto, 2007, h. 61). Populasi yang diambil pada penelitian ini adalah komunitas
(masyarakat) yang berada di luar peta area terdampak, yaitu kecamatan Balongbedo,
Buduran, Candi, Gedangan, Krembung, Krian, Prambon, Sedati, Sidoarjo, Sukodono,
Taman, Tarik, Tulangan, Waru, dan Wonoayu. Alasan peneliti untuk mengambil
populasi di luar peta area terdampak karena berdasakan teori tentang publik, publik di
luar peta area terdampak berada dalam tipe aware public, yaitu publik yang yang
menyadari adanya krisis namun hanya pada batas mencari informasi mengenai krisis
tersebut. Masyarakat di luar peta area terdampak bukan merupakan korban yang
merasakan krisis secara langsung, namun mereka termasuk masyarakat yang
merasakan dampak tidak langsung, yaitu bau gas atau belerang yang menganggu
terutama jika cuaca sedang hujan dan angin kencang maka mereka merasa perlu
untuk mencari tahu mengenai krisis tersebut.
63



Alasan lainnya adalah untuk menghindari kesubjektifan jawaban dari
responden bila responden yang dipilih adalah masyarakat dalam peta area terdampak
atau korban krisis korban krisis semburan lumpur di Sidoarjo. Daerah-daerah tersebut
diambil sesuai dengan peta area terdampak dan peta area luar terdampak yang diatur
dalam Keppres no. 14/ 2007. Selain itu, peta kabupaten Sidoarjo kemudian menjadi
langkah kedua untuk menetapkan nama-nama daerah dan letak daerah yang berada di
luar peta area terdampak sesuai dengan peta area terdampak.
3.7.2 Sampel dan Teknik Penarikan Sampel
Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster
sampling atau sampling klaster dilanjutkan dengan multistage random. Tahapan
dalam penarikan sampel itu hanya ada dua. Pertama, menarik klaster di mana
individu berada dan kedua, menarik anggota dalam gugus atau klaster itu sebagai
sampel (Eriyanto, 2007, h. 139). Peneliti memilih metode sampling ini karena
daerah populasi yang sangat luas sehingga untuk mengurangi kesalahan yang besar
dipilih gugus yang lebih kecil yang bersifat homogen antara satu dengan yang lain.
Eriyanto (2007, h. 115) menjelaskan penarikan sampel ini didasarkan pada gugus
(klaster) dan individu adalah bagian dari gugus atau klaster tertentu. Klaster yang
dipilih adalah berdasarkan wilayah tempat tinggal, lebih lengkapnya dijelaskan
sebagai berikut:
1. Populasi pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunitas
(masyarakat) yang berada di luar peta area terdampak, yaitu kecamatan
Balongbedo, Buduran, Candi, Gedangan, Krembung, Krian, Prambon, Sedati,
64



Sidoarjo, Sukodono, Taman, Tarik, Tulangan, Waru, dan Wonoayu.
Kemudian dirandom dan terpilih tiga kecamatan, yaitu kecamatam Krembung,
Tulangan, dan Candi.
2. Populasi kedua untuk penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang bertempat
tinggal di kecamatan Krembung, Tulangan, dan Candi sebagai wilayah yang
dekat dengan tempat kasus semburan lumpur di Sidoarjo. Kemudian dirandom
dan terpilih satu kecamatan, yaitu Kecamatan Candi.
3. Kecamatan Candi menjadi populasi ketiga. Kemudian dirandom untuk
memilih satu desa dan terpilih Desa Candi.
4. Desa Candi menjadi populasi keempat. Kemudian dirandom untuk memilih
satu dusun dan terpilih dusun Candi Sayang.
5. Populasi kelima adalah Dusun Candi Sayang. Kemudian dirandom untuk
memilih satu RW dan terpilih RW 1.
Sebagian dari keseluruhan objek atau fenomena yang akan diamati disebut
sampel (Kriyantono, 2010, h. 153). Data dari kantor Desa Candi menyatakan bahwa
jumlah warga di RW 1 Dusun Candi Sayang adalah 117. Berdasarkan jumlah
populasi di atas, maka sampel yang akan ditetapkan sebagai responden akan dihitung
berdasarkan rumus Slovin, yaitu rumus yang digunakan untuk menentukan ukuran
sampel dari populasi yang diketahui jumlahnya (Kriyantono, 2010, h. 164).




65



Keterangan :
n = besarnya sampel
N = Jumlah populasi
a = tingkat kesalahan yang bisa ditolerir
Batas kesalahan yang ditolerir ini bagi setiap populasi tidak sama. Ada yang 1%, 2%,
3%, 4%, 5%, atau 10% (Umar, dalam Kriyantono, 2012a, h. 164). Tingkat kesalahan
yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah sebesar 5%.




Jumlah sampel adalah 90 sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan
pembagian jumlah responden menjadi tiga kelompok sehingga terbagi sama rata.
Jumlah sampel 90 ini akan dibagi menjadi tiga untuk membagi sama rata jumlah
anggota pada masing-masing kelompok eksperimen. Hasil yang diperoleh adalah 30
untuk kelompok yang diminta membaca pemberitaan positif, 30 selanjutnya untuk
kelompok yang diminta membaca pemberitaan negatif, dan 30 terakhir untuk
kelompok kontrol atau kelompok yang tidak diminta membaca.
3.8 Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, yaitu:
1. Data Primer
66



Data yang langsung didapatkan dari obyek penelitian yang dilakukan dengan
menggunakan kuesioner yang diberikan pada responden. Kuesioner adalah
daftar pertanyaan yang harus diisi oleh responden. (Kriyantono, 2006, h.
97). Kuesioner tersebut berisikan serangkaian pertanyaan mengenai variabel
penelitian yaitu atribusi publik mengenai aktor yang bertanggung jawab atas
terjadinya krisis dan variabel perilaku menghukum dari publik terhadap
perusahaan yang dianggap bertanggung jawab atas krisis. Kuisioner akan
dibagikan kepada 90 responden sesuai dengan perhitungan sampel
penelitian.
2. Data Sekunder
Data yang diperoleh secara tidak langsung dan menjadi bahan pendukung
penelitian. Salah satunya adalah dokumentasi perusahaan tentang strategi
manajemen krisis yang telah dilakukan.
3.9 Teknik Analisis Data
3.9.1 Analisis Komparatif Ragam Satu Arah (One-Way Anova)
Analisis komparatif One Way Anova digunakan bagi penelitian yang
memiliki lebih dari dua sampel (Siregar, 2013, h. 202). One Way Anova (analisis
ragam satu arah) biasanya digunakan untuk menguji rata-rata atau pengaruh
perlakuan dari suatu percobaan yang menggunakan satu faktor, di mana satu faktor
tersebut memiliki tiga atau lebih kelompok (Siregar, 2013, h. 202). Penggunaan
rumus one-way anova juga digunakan pada penelitian Jeong (2009). Jeong
menggunakan rumus one-way anova untuk mengukur pengaruh manipulasi
67



pemberitaan media terhadap atribusi publik. Selain itu, pada penelitian Claeys,
Cauberghe, dan Vyncke (2010) juga menggunakan rumus one-way anova untuk
mengukur manipulasi jenis krisis dengan jumlah tanggung jawab krisis. Prosedur uji
statistik dalam One Way Anova adalah (Siregar, 2013, h. 203):
1) Membuat hipotesis dalam uraian kalimat.
2) Membuat hipotesis model statistik.
3) Menentukan taraf signifikan.
Pada tahap ini kita menentukan seberapa besar peluang membuat resiko
kesalahan mengambil keputusan menolak hipotesis yang benar. Biasanya
dilambangkan dengan yang sering disebut dengan istilah taraf signifikan.
Penelitian ini taraf signifikannya ditetapkan 5%.
4) Menentukan kaidah pengujian.
Jika:

maka Ho diterima
Jika:

>

maka Ho ditolak
5) Menghitung

dan


6) Membuat tabulasi ragam satu arah untuk Anova satu arah
Sumber Jumlah
Kuadrat
Derajat
Kebebasan
Ragam F Rasio
1.Antargrup

2.Galat
JKB

JKD


68



Total JKT K
7) Membandingkan

dan


Tujuan membandingkan

dan

adalah untuk mengetahui apakah


hipotesis ditolak atau dterima berdasarkan kaidah pengujian.
8) Membuat keputusan.
3.9.2 Analisis Regresi Linier Sederhana
Regresi linier digunakan hanya untuk satu variabel bebas (independent) dan
satu variabel tak bebas (dependent) (Siregar, 2013, h. 284). Tujuan penggunaan
metode ini untuk mengetahui bagaimana nilai variabel perilaku menghukum sebagai
variabel terikat yang dipengaruhi oleh variabel atribusi sebagai variabel bebas.
Prosedur uji statistik dalam regresi linier adalah:
1) Membuat hipotesis
2) Menentukan taraf signifikan.
Pada tahap ini kita menentukan seberapa besar peluang membuat resiko
kesalahan mengambil keputusan menolak hipotesis yang benar. Biasanya
dilambangkan dengan yang sering disebut dengan istilah taraf signifikan.
Penelitian ini taraf signifikannya ditetapkan 5%.
3) Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak. Namun, jika t tabel t hitung t
tabel maka Ho diterima.
4) Menghitung t hitung dan t tabel
Menghitung nilai t hitung
69






Menentukan nilai t tabel
t tabel =
(

)


70

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
Lapindo Brantas Inc. adalah perusahaan eksplorasi gas dan minyak yang
merupakan joint venture antara PT. Energi Mega Persada Tbk. (50%), PT Medco
Energi Tbk. (32%) dan Santos Australia (18%), di mana keluarga Bakrie melalui
investasinya memegang kendali atas PT. Energi Mega Persada Tbk. Pada tanggal 29
Mei 2006 di Desa Siring, serangkaian semburan lumpur terjadi, yang terdekat
berjarak 200 meter dari situs eksplorasi yang dioperasikan oleh PT. Lapindo Brantas
di Desa Renokenongo (Bakrie, 2011). Semburan itu terjadi tepat pukul 22.00 WIB
pada hari Senin, 29 Mei 2006 hany aberselang dua hari setelah terjadinya gempa yang
meluluh-lantakkan Kab. Bantul di Yogyakarta dan Klaten di Jawa Tengah (Akbar,
2007, h. 75). Lapindo menjelaskan dalam Laporan Dampak Sosial Gunung Berapi
Lumpur Lapindo (2011) bahwa para ahli geologi PT Lapindo Brantas meyakini
bahwa semburan memiliki kaitan dengan kegiatan seismik akibat gempa yang terjadi
dua hari sebelumnya, yang juga berkaitan dengan aktifnya kembali Gunung Semeru
yang terletak 300 km dari episentrum gempa bumi di Yogyakarta.
PT. Lapindo Brantas sendiri berusaha mengatakan bahwa semburan terjadi
bukan karena kesalahan pengeboran, namun karena dampak gempa bumi yang terjadi
di Jawa Tengah sebelumnya. PT. Medco Energi sebagai pemegang 32% saham
Lapindo, telah memperingatkan agar operator segera memasang selubung pengaman
(casing) berdiameter 9 5/8 inci (Akbar, 2007, h. 76). Namun ternyata casing hanya
71



dipasang sampai kedalaman 3.580 kaki, sisanya sedalam hampir 1.700 meter lebih,
dibiarkan bekerja tanpa casing. Kelalaian itu telah menimbulkan dampak yang luar
biasa dahsyat, bahkan telah memakan korban jiwa.
Pemerintah mengatakan bahwa luapan lumpur Lapindo yang semakin
menjadi-jadi hingga terjadinya ledakan pipa tersebut merupakan disaster sehingga
negara juga harus mulai ikut memikirkan hal ini (Suparmo, 2011, h. 55). Selain itu,
dari pihak Lapindo terus berusaha mengarahkan opini publik melalui beberapa media
elektronik atau cetak. Apabila kita menyimak pemberitaan media elektronik atau
cetak, maka jangan bingung ketika melihat ada dua istilah berbeda di kasus ini. Lihat
baik-baik, simak dan perhatikan, siapa yang menyebut Lumpur Lapindo dan siapa
menyebut Lumpur Sidoarjo (Suparmo, 2011, h. 56). Dampaknya adalah perusahaan,
Lapindo lebih fokus untuk mengembalikan citra perusahaan daripada fokus terhadap
pertanggung-jawabannya terhadap korban. Sehingga krisis yang dihadapi masih terus
berlanjut hingga saat ini.
Pelunasan ganti rugi kepada korban lumpur hingga saat ini masih terselesaikan.
Masih ada beberapa korban yang belum menerima uang ganti rugi karena
ketidakpastian perusahaan untuk melunasi hingga menimbulkan unjuk rasa yang
berlarut-larut. Krisis Lapindo merupakan contoh buruk perusahaan dalam
menangangi kriais.
Berita berasal dari pendapat para wartawan berbagai media dengan versi masing-
masing, komunikasi yang tidak lancar dan tidak jelas, adanya upaya humas ditampilkan
sejenak tetapi tidak konsisten, dikabarkan pula bahwa politik ikut campur tangan dan
pemilik ingin Pemerintah mengambil alih bencana tersebut sebagai Bencana Nasional,
hingga santunan yang dijanjikan tersendat (Suparmo, 2011, h. 41)
72



4.2 Analisis Penelitian Pendahuluan
Analisis isi ini digunakan sebagai penelitian pendahuluan sebelum melakukan
penelitian utama. Pemberitaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pemberitaan mengenai krisis semburan lumpur di Sidoarjo pada surat kabar Jawa Pos
dan Kompas selama bulan Januari Mei 2013. Konstruksi berita tersebut akan
dianalisis melalui unit analisis yang digunakan, yaitu unit referens. Selama bulan
Januari Mei 2013 Jawa Pos memuat tujuh berita sedangkan Kompas membuat lima
berita.
Berikut adalah jumlah pemberitaan semburan lumpur di Sidoarjo pada Jawa
Pos dan Kompas:
73

73

TABEL 5
Pemberitaan Semburan Lumpur di Sidoarjo pada Jawa Pos dan Kompas selama Januari Mei 2013

Media Massa Bulan Tanggal Judul Jumlah
J
a
w
a

P
o
s

Februari
19 Februari 2013 SBY Kembali Sentil Lumpur Lapindo
7
20 Februari 2013 Akui Punya Tunggakan Ical Janji Lunasi Korban
Lumpur
Maret 7 Maret 2013 Lapindo Janji Lunasi Kewajiban Akhir Mei
Mei
23 Mei 2013 Tagih Janji Lapindo, Kena Ringkus Aparat
29 Mei 2013 Tujuh Tahun Semburan Lumpur Lapindo, Tanda Tanya
di Lahan 1.041 Hektare
29 Mei 2013 Minarak Nunggak Rp 900 M
24 Mei 2013 Pasang Monumen, Tagih Pelunasan
K
o
m
p
a
s

Januari
4 Januari 2013 Tanggul Semakin Kritis Saat Hujan
5
28 Januari 2013 Sisa Ganti Rugi Bagi Korban Lumpur Rp 786 Miliar
Februari
15 Februari 2013 Presiden Ingatkan Menteri: Lapindo Diminta Segera
Bayar Ganti Rugi Rp 800 Miliar
16 Februari 2013 Bakrie Hormati Perhatian SBY
Lalu Mara: Kami Tak Pernah Lari dari Kesepakatan
Mei 11 Mei 2013 Lumpur Lapindo Tanggul Kritis Berangsur Teratasi
74



4.2.1 Uji Reliabilitas
Sebelum membahas mengenai makna pemberitaan atau nilai pemberitaan
semburan lumpur di Sidoarjo yang dimuat oleh Jawa Pos dan Kompas, peneliti akan
menjabarkan uji reliabilitas terlebih dahulu. Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat
interkoder atau kesepahaman antarkode sehingga penelitian dapat dijaga
keobjektivitasnya. Unit analisis referens dalam penelitian inilah yang membutuhkan
interkoder. Peneliti melakukan uji reliabilitas dengan rumus yang telah ditentukan.
TABEL 6
Jumlah Persetujuan dan Ketidaksetujuan Antarkoder Mengenai Makna Berita Lumpur di
Sidoarjo pada Jawa Pos dan Kompas selama Januari-Mei 2013

Koder Setuju Tidak Setuju
I dan II 9 3
I dan III 10 2

Tabel di atas menunjukkan persetujuan dan ketidaksetujuan antar koder yang
kemudian data tersebut dimasukkan dalam rumus Holsty.
a. Reliabilitas Koder I dan II



b. Reliabilitas Koder I dan III



Setelah menggunakan rumus Holsty didapatkan hasil reliabitas koder I dan II adalah
0.75, sedangkan reliabilitas koder I dan III adalah 0.83 yang akan disebut sebagai
observed agreement. Sebelum melakukan penghitungan menggunakan rumus Scott,
maka terlebih dahulu kita menghitung expected agreement.
75



TABEL 7
Pengkuadratan Proporsi Total Berita Hasil Antarkoder I dan II

Kategorisasi Frekuensi
Proporsi dari
Total Berita (X)
Pengkuadratan X
1+ 3 0.250 0.0625
1- 1 0.083 0.0069
2+ 2 0.167 0.0279
2- 2 0.167 0.0279
3+ 4 0.333 0.1109
3- 0 0 0
Jumlah 12 1 0.2361

Nilai expected agreement hasil dari koder I dan II yang muncul pada tabel di atas
sebesar 0.2361 dan selanjutnya dihitung menggunakan rumus Scott.




Reliabilitas interkoder antara koder I dan II adalah 0.67. Selanjutnya menghitung nilai
expected agreement dari hasil koding antara koder I dan III.
TABEL 8
Pengkuadratan Proporsi Total Berita Hasil Antarkoder I dan III

Kategorisasi Frekuensi
Proporsi dari
Total Berita (X)
Pengkuadratan X
1+ 4 0.333 0.1109
1- 0 0 0
2+ 3 0.250 0.0625
2- 1 0.083 0.0069
3+ 3 0.250 0.0625
3- 1 0.083 0.0069
Jumlah 12 1 0.2479

Tabel di atas menunjukkan nilai expected agreement antara koder I dan III adalah
0.248. selanjutnya nilai tersebut akan dihitung menggunakan rumus Scott.
76







Setelah dilihat bahwa hasil reliabilitas interkoder antara koder I dan III adalah 0.77
maka selanjutnya adalah menghitung rata-rata reliabilitas antara koder I dan II dengan
reliabilitas koder I dan III. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil akhir
reliabilitas dari keduanya.


Kesimpulan hasil perhitungan reliabilitas unit referens yang telah dilakukan peneliti
adalah 0.72.
4.2.2 Makna Berita Lumpur di Sidoarjo pada Jawa Pos dan Kompas
Berita yang tersebar di Jawa Pos dan Kompas selama Januari Mei 2013
dengan makna positif, negatif, dan netral tidak memiliki perbedaan jumlah yang
signifikan. Jumlah berita yang terkumpul sebanyak 12 berita terbagi rata menjadi
empat berita dengan makna positif, empat berita dengan makna negatif, dan empat
berita dengan makna netral. Empat berita yang masuk dalam kategori berita dengan
makna positif memiliki kecenderungan untuk memperlihatkan sisi tanggung jawab
Lapindo, perusahaan yang terkait dalam krisis ini. Dua berita positif yang disetujui
oleh koder I, II, dan III adalah Akui Punya Tunggakan, Ical Janji Lunasi Korban
Lumpur dan Lapindo Janji Lunasi Kewajiban Akhir Mei.
77



Seperti beberapa kalimat yang menunjukkan tanggung jawab perusahaan yang
terkait dalam krisis ini dalam berita yang berjudul Lapindo Janji Lunasi Kewajiban
Akhir Mei
PT Minarak Lapindo Jaya berjanji melunasi seluruh tunggakan Rp 766 miliar mulai
pekan keempat bulan ini.

Dalam rapat tersebut, pihak Lapindo menyanggupi untuk melunasi ganti rugi
seluruh lahan milik warga terdampak lumpur.

Sejauh ini Lapindo sudah menyelesaikan 9 ribu berkas di antara 13.277 tanggungan
yang ada. Berarti, masih ada 4.227 berkas yang harus diselesaikan. Menurut Andi,
jumlahnya mencapai Rp 768 miliar. Dananya dari keluarga (Bakrie, Red),
ucapnya.

Andi mengatakan, Lapindo telah dinyatakan tidak bersalah sehingga sebenarnya
bebas dari kewajiban. Karena itu, dia menyebut proses tersebut sebagai jual beli,
bukan ganti rugi.


Sedangkan contoh beberapa kalimat positif yang menunjukkan tanggung jawab
perusahaan dalam berita Akui Punya Tunggakan, Ical Janji Lunasi Korban Lumpur
adalah
Dia tidak membantah bahwa PT Lapindo Brantas, anak usaha Bakrie Group, masih
memiliki tanggungan kepada korban lumpur di Sidoarjo, Jatim.
Juru bicara Aburizal, Lalu Mara Satriawangsa, menyatakan bahwa keluarga Bakrie
hingga saat ini berkomitmen menuntaskan sisa pembayaran atas pembelian asset
masyarakat yang masuk peta terdampak.
Meski sudah ada putusan MA itu, keluarga Bakrie tetap berkomitmen menuntaskan
sisa pembayaran atas pembelian asset, tegas dia.
Dari Sidoarjo, pihak Lapindo menegaskan tidak bakal lari dari kewajiban melunasi
ganti rugi korban lumpur. Namun, mereka juga berharap dari solusi pemerintah.
Lapindo meminta pemerintah memberi jalan untuk mendapatkan dana pinjaman
guna pelunasan ganti sisa ganti rugi yang menurut mereka tinggal Rp 786 miliar
(bukan Rp 800 miliar).
Begitu pula dengan berita yang bermakna negatif atau tidak mendukung isu yang
diangkat. Dua pemberitaan negative yang disetujui oleh koder I, II, dan III adalah
78



berita dengan judul Pasang Monumen, Tagih Pelunasan dan Tagih Janji Lapindo,
Kena Ringkus Aparat. Beberapa kalimat negatif yang tertulis dalam berita Pasang
Monumen, Tagih Pelunasan adalah
Korban lumpur dan para penggiat social berharap pemerintah berperan aktif.
Mereka mendesak pemerintah berperan aktif. Mereka mendesak pemerintah
menekan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk secepatnya memenuhi
kewajibannya atas pembayaran 3.348 berkas senilai Rp 786 miliar.
Kami sudah lama menderita. Pemerintah harus memikirkan kami dan pelunasan
sisa ganti rugi kami segera dituntaskan, tegas salah seorang korban lumpur asal
Renokenongo, Porong, Sudarto.
Aktivis lingkungan hidup juga mendirikan monument lumpur Lapindo di atas
tanggul penahan lumpur sebagai pengingat tragedy semburan lumpur Lapindo yang
telah menenggelamkan ribuan rumah di tiga kecamatan di SIdoarjo, Jawa Timur,
tersebut. Ini sebagai bentuk peringatan bahwa masalah lumpur Lapindo belum
selesai. Pemerintah harus tanggap dengan kondisi ini, ujar Catur.
Beberapa kalimat negatif yang tertulis dalam berita Tagih Janji Lapindo, Kena
Ringkus Aparat adalah
Korban lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, terus berupaya mendapat ganti rugi.
Berbagai cara mereka lakukan agar pemerintah memberikan perhatian. Maklum,
sudah hamper tujuh tahun bencana luapan lumpur terjadi, pembayaran ganti rugi
tidak kunjung beres.
Sesuai dengan kesepakatan, BPLS memang dilarang beraktivitas selama ganti rugi
belum dilunasi. Nah, hingga sekarang kan pelunasan belum tuntas. Karena itu,
BPLS harus berhenti beraktivitas, tegas Kusno, korban lumpur lainnya.
BPLS juga memperhatikan hak warga. Mereka bakal terus mendorong pelunasan
ganti rugi korban lumpur yang saat ini masih tersisa 3.348 berkas dengan nilai Rp
786 miliar. Pembayaran terakhir dilakukan Desember tahun lalu. Setelah itu,
pembayaran mandek lagi hingga saat ini.
Kuncinya adalah pelunasa. Kami berharap dan terus mendorong PT Minarak
Lapindo Jaya memenuhi janjinya melunasi akhir Mei ini. Apa yang terjadi di
lapangan juga selalu kami laporkan ke dewan pengarah, ujar Dwinanto.
Berita-berita yang kemudian dipilih untuk digunakan dalam metode eksperimen
sebagai metode utama dalam penelitian ini adalah dua berita dengan makna positif
79



dan dua berita yang bermakna negatif. Pemilihan keempat berita ini berasal dari Jawa
Pos dan berdasarkan hasil pengkodingan oleh koder I, II, dan III.
4.3 Analisis Identitas Responden
Bab ini akan membahas mengenai identitas responden yang meliputi usia, jenis
kelamin, dan pekerjaan. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 90 orang.
Hasil data identitas responden ini menujukkan bahwa sebagian besar responden
berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 58%, usia 21 30 tahun sebanyak 37% dan
memiliki pekerjaan swasta dengan presentase 60%. Melalui hasil identitas responden,
secara demografis masyarakat di RW I Dusun Candi Sayang, Sidoarjo memiliki sifat
homogen karena sebagian besar dari mereka adalah karyawan di perusahaan swasta.
Secara social ekonomi berdasarkan pekerjaan mereka, masyarakat di Dusun Candi
Sayang ini berada dalam masyarakat ekonomi kelas menengah. Usia dari sebagian
besar responden pun menunjukkan usia-usia produktif sehingga mereka memiliki
kecenderungan lebih untuk mencari informasi mengenai apa yang terjadi di sekitar
mereka khususnya krisis yang secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan
mereka. Berikut adalah penjabaran hasil identitas responden yang telah diperoleh.
4.3.1 Jenis Kelamin
Penjelasan ini lebih dimaksudkan untuk mengetahui prosentase responden
perempuan dan laki-laki dalam penelitian ini.

80



TABEL 9
Jenis Kelamin Responden

No. Jenis Kelamin Frekuensi %
1. Laki-laki 52 58
2. Perempuan 38 42
Jumlah 90 100
Sumber: Identitas Responden dalam Kuisioner

Jumlah responden pria menjadi responden yang lebih banyak dalam penelitian ini
dibandingkan dengan responden wanita.
4.3.2 Usia
Usia masyarakat yang menjadi responden adalah usia 20 59 tahun. Persentase
jumlah responden berdasarkan usia akan dijelaskan melalui tabel berikut:
TABEL 10
Usia Responden

No. Tingkat Usia Responden (Tahun) Frekuensi %
1 21-30 33 37
2 31-40 18 20
3 41-50 27 30
4 51-60 12 13
Jumlah 90 100
Sumber: Identitas Responden dalam Kuisioner
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa tingkat usia 21-30 tahun memiliki
jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan usia responden lainnya.
4.3.3 Pekerjaan
Masyarakat yang dipilih menjadi responden tidak memiliki karakteristik
tertentu dalam hal pekerjaan sehingga terdapat berbagai macam pekerjaan yang
81



menjadi data pada identitas responden. Berikut adalah pengelompokkan identitas
responden berdasarkan pekerjaan:
TABEL 11
Pekerjaan Responden

No. Pekerjaan Responden Frekuensi %
1 Swasta 54 60
2 BUMN 9 10
3 PNS 8 9
4 Ibu Rumah Tangga 15 17
5 Tidak Bekerja 4 4
Jumlah 90 100
Sumber: Identitas Responden dalam Kuisioner
Penjabaran pekerjaan swasta yang dimaksud oleh responden adalah karyawan
swasta, wiraswasta atau memiliki usaha sendiri, dan security. Kondisi daerah
responden yang berdekatan dengan pabrik-pabrik menyebabkan sebagian besar
responden bekerja sebagai karyawan di pabrik tersebut. Tidak sedikit pula dari
mereka yang membuat usaha sendiri seperti berjualan makanan, membuka toko
sembako, dan sebagainya. Oleh karena itu, hasil penghitungan pekerjaan responden
berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa responden dengan pekerjaan swasta
menjadi responden terbanyak di penelitian ini.
4.4 Deskripsi Atribusi Publik
Berikut adalah deskripsi masing-masing indikator pada masing-masing
kelompok mengenai atribusi publik:
4.4.1 Deskripsi Atribusi Publik Kelompok Eksperimen Positif
Tanggapan responden mengenai indikator atribusi publik pada kelompok
eksperimen positif adalah sebagai berikut:
82



a) Sumber krisis disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan akibat kesalahan
pengeboran
TABEL 12.
Atribusi Penyebab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Positif
Tanggapan Responden
Atribusi Penyebab Krisis
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 15 50%
Setuju 12 40%
Ragu-Ragu 3 10%
Tidak Setuju 0 0%
Sangat Tidak Setuju 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 1
Sebagian besar responden pada kelompok yang mendapat perlakuan berupa
berita positif memberikan jawaban sangat setuju jika sumber krisis disebabkan
oleh kesalahan yang dilakukan akibat kesalahan pengeboran.
b) Sumber krisis disebabkan oleh bencana alam
TABEL 13
Atribusi Penyebab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Positif
Tanggapan Responden
Atribusi Penyebab Krisis
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 3 10%
Setuju 5 16%
Ragu-Ragu 8 27%
Tidak Setuju 11 37%
Sangat Tidak Setuju 3 10%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 2

c) Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab atas semburan lumpur di
Sidoarjo

83



TABEL 14
Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Positif
Tanggapan Responden
Penanggung Jawab
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 5 16%
Setuju 9 30%
Ragu-Ragu 6 20%
Tidak Setuju 7 24%
Sangat Tidak Setuju 3 10%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 3

d) Perusahaan adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas krisis semburan
lumpur di Sidoarjo
TABEL 15
Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Positif
Tanggapan Responden
Penanggung Jawab
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 17 57%
Setuju 8 27%
Ragu-Ragu 5 16%
Tidak Setuju 0 0%
Sangat Tidak Setuju 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 4

Berdasarkan hasil jawaban responden di atas, 57% responden berpendapat
bahwa perusahaan adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya
semburan lumpur di Sidoarjo. Jawaban ini berkaitan dengan item sebelumnya
yang menyatakan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa krisis
semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kesalahan pengeboran.

84



Responden yang menyatakan setuju jika pemerintah adalah pihak yang
bertanggung jawab atas terjadinya semburan lumpur di Sidoarjo sebanyak 9
responden atau 30%.
4.4.2 Deskripsi Atribusi Publik Kelompok Eksperimen Negatif
Tanggapan responden mengenai indikator atribusi internal pada ketiga
kelompok adalah sebagai berikut:
a) Sumber krisis disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh kesalahan
pengeboran
TABEL 16
Atribusi Penyebab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Negatif
Tanggapan Responden
Atribusi Internal
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 18 60%
Setuju 12 40%
Ragu-Ragu 0 0%
Tidak Setuju 0 0%
Sangat Tidak Setuju 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 1
Sebagian besar responden memberikan jawaban yang menyatakan bahwa
47% responden setuju jika sumber krisis disebabkan oleh kesalahan yang
dilakukan akibat kesalahan pengeboran.

85



b) Sumber krisis disebabkan oleh bencana alam
TABEL 17
Atribusi Penyebab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Negatif
Tanggapan Responden
Atribusi Internal
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 3 10%
Setuju 5 16%
Ragu-Ragu 7 24%
Tidak Setuju 10 34%
Sangat Tidak Setuju 5 16%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 2

Bencana alam yang dimaksud adalah semburan memiliki kaitan dengan
kegiatan seismik akibat gempa yang terjadi dua hari sebelumnya, yang juga
berkaitan dengan aktifnya kembali Gunung Semeru yang terletak 300 km dari
episentrum gempa bumi di Yogyakarta (Laporan Dampak Sosial Gunung
Berapi Lumpur Lapindo, 2011).
c) Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab atas semburan lumpur di
Sidoarjo
TABEL 18
Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Negatif
Tanggapan Responden
Atribusi Internal
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 5 17%
Setuju 5 17%
Ragu-Ragu 5 16%
Tidak Setuju 12 40%
Sangat Tidak Setuju 3 10%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 3
86



Responden yang menyatakan tidak setuju jika pemerintah adalah pihak yang
bertanggung jawab atas terjadinya semburan lumpur di Sidoarjo sebanyak 12
responden atau 40%.
d) Perusahaan adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas krisis semburan
lumpur di Sidoarjo
TABEL 19
Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Eksperimen Negatif
Tanggapan Responden
Atribusi Internal
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 17 57%
Setuju 8 27%
Ragu-Ragu 5 16%
Tidak Setuju 0 0%
Sangat Tidak Setuju 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 4
Berdasarkan hasil jawaban responden di atas, 57% responden berpendapat
sangat setuju jika perusahaan adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas
terjadinya semburan lumpur di Sidoarjo. Jawaban ini berkaitan dengan item
sebelumnya yang menyatakan bahwa sebagian besar responden menyatakan
bahwa krisis semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kesalahan
pengeboran.
Seperti pada data hasil observasi dan penelitian yang dilakukan oleh
Drilling Engineers Club yang menyatakan bahwa luapan lumpur di Sidoarjo
diakibatkan oleh kesalahan operasional pengeboran yang disengaja atau
87



intentional default (Revianur, 2012). Maka dari itu responden berpendapat
bahwa perusahaan adalah pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya krisis.
4.4.3 Deskripsi Atribusi Publik Kelompok Kontrol
Tanggapan responden mengenai indikator atribusi internal pada ketiga
kelompok adalah sebagai berikut:
a) Sumber krisis disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh kesalahan
pengeboran
TABEL 20
Atribusi Penyebab Krisis oleh Kelompok Kontrol
Tanggapan Responden
Atribusi Internal
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 10 34%
Setuju 17 56%
Ragu-Ragu 3 10%
Tidak Setuju 0 0%
Sangat Tidak Setuju 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 1

Sebagian besar responden memberikan jawaban yang menyatakan bahwa
56% responden setuju jika sumber krisis disebabkan oleh kesalahan yang
dilakukan akibat kesalahan pengeboran.

88



b) Sumber krisis disebabkan oleh bencana alam
TABEL 21
Penyebab Krisis oleh Kelompok Kontrol
Tanggapan Responden
Atribusi Internal
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 5 17%
Setuju 6 20%
Ragu-Ragu 12 40%
Tidak Setuju 7 23%
Sangat Tidak Setuju 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 2

Sebanyak 23% atau 7 responden memberikan jawaban tidak setuju jika
sumber krisis semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh bencana alam
sedangkan 20% lainnya atau 6 responden menyatakan setuju jika krisis terjadi
akibat bencana alam. Bencana alam yang dimaksud adalah semburan memiliki
kaitan dengan kegiatan seismik akibat gempa yang terjadi dua hari sebelumnya,
yang juga berkaitan dengan aktifnya kembali Gunung Semeru yang terletak 300
km dari episentrum gempa bumi di Yogyakarta (Laporan Dampak Sosial
Gunung Berapi Lumpur Lapindo, 2011).
c) Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab atas semburan lumpur di
Sidoarjo
TABEL 22
Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Kontrol
Tanggapan Responden
Atribusi Internal
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 5 27%
Setuju 10 33%
89



Ragu-Ragu 10 33%
Tidak Setuju 5 27%
Sangat Tidak Setuju 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 3
Responden yang menyatakan setuju jika pemerintah adalah pihak yang
bertanggung jawab atas terjadinya semburan lumpur di Sidoarjo sebanyak 10
responden atau 33%.
d) Perusahaan adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas krisis semburan
lumpur di Sidoarjo
TABEL 23
Penanggung Jawab Krisis oleh Kelompok Kontrol
Tanggapan Responden
Atribusi Internal
Jumlah Persentase
Sangat Setuju 10 34%
Setuju 10 33%
Ragu-Ragu 10 33%
Tidak Setuju 0 0%
Sangat Tidak Setuju 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 4

Berdasarkan hasil jawaban responden di atas, jawaban responden sangat
setuju, setuju, dan ragu-ragu memiliki nilai yang sama, artiny sebagian
responden berpendapat bahwa perusahaan adalah pihak yang harus bertanggung
jawab atas terjadinya semburan lumpur di Sidoarjo, sebagian responden
berpendapat bahwa pemerintah adalah pihak yang harus bertanggung jawab dan
sebagian lagi ragu-ragu atas pihak yang bertanggung jawab. Jawaban ini
berkaitan dengan item sebelumnya yang menyatakan bahwa sebagian besar
90



responden menyatakan bahwa krisis semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan
oleh kesalahan pengeboran.
Seperti pada data hasil observasi dan penelitian yang dilakukan oleh Drilling
Engineers Club yang menyatakan bahwa luapan lumpur di Sidoarjo
diakibatkan oleh kesalahan operasional pengeboran yang disengaja atau
intentional default (Revianur, 2012). Maka dari itu responden berpendapat
bahwa perusahaan adalah pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya krisis.
Berdasarkan hasil dari keseluruhan tabel pada atribusi publik di kelompok
eksperimen positif, kelompok eksperimen negatif, dan kelompok kontrol maka dapat
dijelaskan bahwa krisis termasuk dalam klaster kesengajaan. Hal ini berkaitan dengan
banyaknya pelanggaran aturan yang dilakukan oleh Lapindo ketika melakukan
pengeboran. PT. Medco Energi sebagai pemegang 32% saham Lapindo, telah
memperingatkan agar operator segera memasang selubung pengaman (casing)
berdiameter 9 5/8 inci, namun ternyata casing hanya dipasang sampai kedalaman
3.580 kaki, sisanya sedalam hamper 1.700 meter lebih, dibiarkan bekerja tanpa casing
(Akbar, 2007, h. 76). Kelalaian itu yang kemudian menyebabkan kecelakaan industri
sehingga menimbulkan dampak yang luar biasa dahsyat, bahkan memakan korban
jiwa.
Hal tersebut sesuai dengan banyaknya tanggapan responden yang menyatakan
bahwa krisis semburan lumpur disebabkan oleh kesalahan pengeboran yang
dilakukan oleh perusahaan, dalam hal ini adalah Lapindo. Tanggapan tersebut juga
mengarahkan atribusi publik untuk menilai bahwa perusahaan merupakan pihak yang
91



bertanggung jawab atas terjadinya krisis. Seperti yang telah dijelaskan Coombs
(2007) perusahaan masuk dalam klaster kesengajaan jika organisasi melanggar
hukum atau aturan yang menyebabkan kecelakaan industri. Maka dari itu, informasi
yang diberikan kepada responden tidak mempengaruhi atribusi yang telah dibangun
oleh responden sebelumnya mengenai krisis semburan lumpur di Sidoarjo.
4.5 Deskripsi Perilaku Menghukum oleh Publik
Berikut adalah deskripsi masing-masing indikator pada masing-masing
kelompok mengenai atribusi publik:
4.5.1 Deskripsi Perilaku Menghukum oleh Publik Kelompok Eksperimen
Positif
Sebagian besar tanggapan responden mengenai indikator perilaku menghukum
publik adalah hukuman berat. Tanggapan ini didukung oleh atribusi publik yang
sebelumnya telah dibuat oleh publik tersebut.
TABEL 24
Perilaku Menghukum oleh Publik Kelompok Eksperimen Positif
Tanggapan Responden
Perilaku Menghukum
Jumlah Persentase
Hukuman Berat 19 63%
Hukuman Sedang 8 47%
Ragu-Ragu 2 7%
Hukuman Ringan 1 3%
Tidak Ada Hukuman 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 5

92



4.5.2 Deskripsi Perilaku Menghukum oleh Publik Kelompok Eksperimen
Negatif
TABEL 25
Perilaku Menghukum oleh Publik Kelompok Eksperimen Negatif
Tanggapan Responden
Perilaku Menghukum
Jumlah Persentase
Hukuman Berat 22 73%
Hukuman Sedang 5 17%
Ragu-Ragu 3 10%
Hukuman Ringan 0 0%
Tidak Ada Hukuman 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 5

Sebagian besar tanggapan responden mengenai indikator perilaku menghukum
publik adalah hukuman berat. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil tanggapan
responden pada kelompok eksperimen positif.
4.5.3 Deskripsi Perilaku Menghukum oleh Publik Kelompok Kontrol
TABEL 26
Perilaku Menghukum oleh Publik Kelompok Kontrol
Tanggapan Responden
Perilaku Menghukum
Jumlah Persentase
Hukuman Berat 9 30%
Hukuman Sedang 17 57%
Ragu-Ragu 4 13%
Hukuman Ringan 0 0%
Tidak Ada Hukuman 0 0%
Jumlah 30 100%
Sumber: Kuisioner Nomor 5

Hukuman berat menjadi pilihan tertinggi dari responden mengenai perilaku
menghukum. Seperti hasil-hasil pada kelompok lainnya, hasil pada kelompok kontrol
93



ini pun tidak jauh berbeda dengan kelompok eksperimen positif maupun kelompok
eksperimen negatif.
Berdasarkan hasil tanggapan responden mengenai perilaku menghukum
kepada aktor yang bertanggung jawab, 63% responden dari kelompok eksperimen
positif dna 73% responden dari kelompok eksperimen negatif menyatakan perusahaan
sebaiknya diberi hukuman berat atas tindakan yang telah dilakukan sedangkan 30%
responden dari kelompok kontrol juga menyatakan dihukum tapi pada tahapan
hukuman sedang. Kesimpulannya adalah bahwa sebagian besar responden memilih
memberikan hukuman berat kepada perusahaan sebagai pihak yang bertanggung
jawab. Hal ini berkaitan dengan atribusi yang sebelumnya telah dibentuk oleh publik.
Publik membuat atribusi bahwa krisis terjadi akibat kesalahan pengeboran dan
pengeboran dilakukan oleh Lapindo sehingga Lapindo merupakan pihak yang harus
bertanggung jawab atas terjadinya krisis tersebut. Akibat krisis yang termasuk dalam
klaster kesengajaan ini, publik menilai bahwa perusahaan sebaiknya diberi hukuman
berat karena telah menyebabkan krisis yang berkepanjangan hingga saat ini.
4.6 Analisis Data
4.6.1 Ragam Satu Arah (One-Way Anova)
Analisis one-way anova digunakan untuk menguji rata-rata atau pengaruh
perlakuan dari sutu percobaan yang menggunakan satu faktor, di mana satu faktor
tersebut memiliki tiga kelompuk atau lebih (Siregar, 2013, h. 202). Analisis ini ingin
melihat perbedaan yang nyata antara rata-rata hitung tiga kelompok data dan uji
94



statistika yang digunakan adalah uji F. Proses pengolahan data ini menggunakan alat
bantu komputer dengan program SPSS 17 (Statistical Product and Service Solutions).
Analisis ragam satu arah ini melihat perbedaan rata-rata hitung antara ketiga
kelompok dalam metode eksperimen, yaitu kelompok eksperimen positif, eksperimen
negatif, dan kelompok kontrol. Berikut adalah hasil rata-rata ketiga kelompok
tersebut menggunakan analisis ragam satu arah.
TABEL 27
Deskriptif One-Way Anova


N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Positif 30 14.97 1.608 .294 14.37 15.57 12 18
Negatif 30 15.63 2.266 .414 14.79 16.48 12 20
Kontrol 30 15.03 2.414 .441 14.13 15.93 12 20
Total 90 15.21 2.123 .224 14.77 15.66 12 20
Sumber: Data SPSS
Tabel deskriptif di atas menunjukkan bahwa penelitian ini masing-masing
kelompok menggunakan sample berjumlah N = 30. Berdasarkan tabel di atas terdapat
masing-masing kelompok memiliki nilai mean yang berbeda. Nilai mean kelompok
eksperimen positif memiliki nilai lebih rendah daripada kelompok negatif dan
kelompok kontrol. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan dengan pemberitaan
negatif memberikan dampak yang lebih tinggi daripada kelompok yang mendapat
perlakuan dengan pemberitaan positif. Pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan
nilai probabilitas. Nilai probabilitas pada tabel di bawah adalah 0,022. Jika melihat
hasil perbandingan antara nilai sig dan adalah 0,022 > 0,05 maka keputusannya,
95



yaitu tidak ada perbedaan nilai varians antara kelompok eksperimen positif,
kelompok eksperimen negatif, dan kelompok kontrol.

96



TABEL 28


Sumber: Data SPSS





TABEL 29
Nilai F One-Way Anova


Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 8.089 2 4.044 .896 .412
Within Groups 392.900 87 4.516

Total 400.989 89

Sumber: Data SPSS
Selain itu, nilai F hitung pada tabel di bawah ini nilai F tabel, yaitu 0.896
3,101, artinya bahwa tidak ada perbedaan nilai rata-rata pada kelompok eksperimen
positif, kelompok eksperimen negatif, dan kelompok kontrol. Data kelompok
eksperimen negatif dan kelompok kontrol yang tidak berbeda dikarenakan persepsi
publik yang cukup kuat dalam melihat penyebab terjadinya krisis. Akibatnya
informasi positif yang diberikan tidak mempengaruhi atribusi publik sehingga
informasi positif yang diberikan pada kelompok eksperimen positif tidak berpengaruh
signifikan terhadap atribusi eksternal publik.
Waktu yang sangat lama dan ganti rugi yang tidak segera diselesaikan
menyebabkan beberapa korban terus berjuang untuk mendapatkan haknya.
Nilai Sig. One-Way Anova

Levene
Statistic df1 df2 Sig.
3.970 2 87 .022
97



Hasil penjabaran analisis komparatif ragam satu arah (one-way anova) yang
telah dilakukan menujukkan bahwa hipotesis ditolah, yaitu tidak ada pengaruh jenis
pemberitaan terhadap atribusi publik mengenai aktor yang bertanggung jawab atas
terjadinya krisis semburan lumpur di Sidoarjo. Hal ini terlihat dari tidak ada
perbedaan nilai rata-rata yang signifikan antara kelompok eksperimen positif,
kelompok eksperimen negatif, dan kelompok kontrol. Pemberian perlakuan atau
perlakuan berupa informasi positif tidak mempengaruhi atribusi publik secara
signifikan. Begitu pula pada kelompok yang diberi perlakuan berupa informasi
negatif juga tidak mempengaruhi secara signifikan. Mean pada kelompok positif lebih
rendah daripada nilai mean kelompok negatif. Begitu pula pada kelompok kontrol,
nilai meannya lebih rendah daripada nilai mean kelompok negatif. Artinya bahwa
pemberian pemberitaan negatif memberikan dampak walaupun tidak signifikan
hasilnya namun mampu mempengaruhi atribusi publik bahwa perusahaan merupakan
pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya krisis akibat kpelanggaran aturan yang
dilakukan.
Penelitian ini membuktikan bahwa dalam teori atribusi terdapat tiga asumsi,
yaitu individu menentukan penyebab perilaku mereka yang diamati, individu
menggunakan proses sistematik dalam menjelaskan perilaku, dan satu atribut dibuat,
mempengaruhi perasaan, dan perilaku berikutnya (Ardianto, 2010, h. 109). Publik
mencari tahu penyebab terjadinya krisis dengan bertanya kepada orang lain, mencari
tahu melalui media massa, dan melihat serta merasakan dampaknya kemudian publik
akan membuat suatu atribusi mengenai krisis tersebut.
98



Selanjutnya melalui SCCT membuktikan bahwa identifikasi tiga klaster krisis
(crisis cluster), publik menilai bahwa penanggung jawab krisis masuk dalam klaster
kesengajaan akibat pelanggaran aturan dalam melakukan pengeboran yang tidak
menggunakan casing pada kedalaman tertentu. Pada klaster ini atribusi eksternal yang
lebih tingga dibanding klaster korban atau atribusi internal.
4.6.2 Analisis Regresi Linier Sederhana
Analisis regresi linier ini dilakukan untuk mengukur pengaruh atribusi terhadap
perilaku menghukum oleh publik terhadap pihak yang bertanggung jawab atas krisis.
Analisis ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis atribusi internal dan atribusi eksternal
terhadap perilaku menghukum publik terhadap perusahaan. Proses pengolahan data
ini juga menggunakan alat bantu komputer dengan program SPSS 17 (Statistical
Product and Service Solutions). Berikut hasil analisis pertama mengenai pengaruh
atribusi internal terhadap perilaku menghukum publik.
TABEL 30
Regresi Linier Atribusi Internal

Perilaku Menghukum
Atribusi Internal
Publik
Pearson Correlation
Perilaku Menghukum 1.000 .645
Atribusi Internal
Publik
.645 1.000
Sig. (1-tailed)
Perilaku Menghukum . .000
Atribusi Internal
Publik
.000 .
N
Perilaku Menghukum 90 90
Atribusi Internal
Publik
90 90

99



Coefficients
a

Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
95.0% Confidence
Interval for B
B
Std.
Error
Beta
Lower
Bound
Upper
Bound
1
(Constant) 1.146 .420 2.732 .008 .313 1.980
Atribusi Internal
Publik
.374 .047 .645 7.912 .000 .280 .468


Berdasarkan tabel di atas dapat dianalisis bahwa adanya hubungan (korelasi)
yang positif antara atribusi internal dengan perilaku menghukum, yaitu r = 0,645.
Nilai positif yang dimaksud adalah hubungan variabel X dan Y yang searah. Searah
yang dimaksud adalah semakin tinggi atribusi internal publik maka semakin tinggi
pula perilaku menghukum publik. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah atribusi
internal publik maka akan semakin rendah pula perilaku menghukum publik.
Selanjutnya adalah membandingkan nilai t hitung dengan t tabel berdasarkan
probabilitas digunakan untuk menguji kevalidan persamaan regresi. Data pada
langkah ini dapat dilihat pada tabel Coefficients (). Hasilnya adalah berdasarkan uji
t, t hitung > t tabel, yaitu 7,91 > 1,98 sedangkan berdasarkan probabilitas, sig < ,
yaitu 0,00 < 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh atribusi internal
publik terhadap perilaku menghukum publik terhadap perusahaan karena perusahaan
dianggap pihak yang bersalah atas terjadinya krisis.
Selanjutnya adalah deskripsi mengenai hasil dari regresi linier atribusi
eksternal dengan perilaku menghukum publik. Pada tabel 31 dapat dilihat bahwa nilai
korelasi (r) antara atribusi eksternal dan perilaku menghukum adalah -0,047. Tanda
100



minus (-) menandakan bahwa variabel X dan Y memiliki hubungan yang negatif.
Dikatakan negatif karena tidak searah. Artinya adalah semakin tinggi atribusi
eksternal publik maka semakin rendah perilaku menghukum publik. Sebaliknya, jika
semakin rendah atribusi eksternal publik maka semakin tinggi perilaku menghukum
publik.
Membandingkan nilai t hitung dengan t tabel berdasarkan probabilitas
digunakan untuk menguji kevalidan persamaan regresi. Data pada langkah ini dapat
dilihat pada tabel Coefficients (). Hasilnya adalah berdasarkan uji t, t hitung t
tabel, yaitu 0,091 1,98 sedangkan berdasarkan probabilitas, sig < , yaitu 0,392 >
0,05.
TABEL 31
Regresi Linier Atribusi Eksternal

Perilaku Menghukum
Atribusi Eksternal
Publik
Pearson Correlation
Perilaku Menghukum 1.000 -.091
Atribusi Eksternal
Publik
-.091 1.000
Sig. (1-tailed)
Perilaku Menghukum . .196
Atribusi Eksternal
Publik
.196 .
N
Perilaku Menghukum 90 90
Atribusi Eksternal
Publik
90 90


101




Coefficients
a

Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
95.0% Confidence Interval
for B
B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound
1
(Constant) 4.618 .227 20.303 .000 4.166 5.070
Atribusi Eksternal Publik -.030 .035 -.091 -.861 .392 -.100 .039

Hasil analisis di atas menujukkan bahwa atribusi internal berhubungan positif
dengan perilaku menghukum publik dilihat dari nilai r = 7,91 sedangkan atribusi
eksternal berhubungan negatif dengan perilaku menghukum dilihat dari nilai r =
0,091. Jika pada atribusi internal berlaku searah, semakin tinggi atribusi internal
publik maka akan semakin tinggi pula perilaku menghukum publik, maka pada
atribusi ekternal berlaku sebaliknya atau berbanding terbalik, semakin tinggi atribusi
eksternal maka semakin rendah perilaku menghukum publik. Berdasarkan hasil di
atas secara keseluruhan atribusi memiliki pengaruh terhadap perilaku menghukum
publik.
4.7 Interpretasi Data
4.7.1 Tidak Terdapat Pengaruh Perlakuan terhadap Atribusi Publik
Pada SCCT dijelaskan bahwa dengan memahami situasi krisis, manajer krisis
dapat menentukan strategi yang akan memaksimalkan perlindungan reputasi. Salah
satu faktor yang menjadi ancaman reputasi dalam situasi krisis dan digunakan dalam
penelitian ini adalah aktor penanggung jawab krisis. Pada faktor ini tinggi rendahnya
atribusi publik terhadap tanggung jawab organisasi terjadi karena perilaku organisasi.
Termasuk dalam hal ini adalah persepsi tentang siapa aktor yang harus bertanggung
102



jawab dalam krisis. Penilaian awal sebuah krisis didasarkan pada jenis krisis atau
bagaimana krisis tersebut ditampilkan. Informasi positif dan negatif yang ada pada
surat kabar Jawa Pos, sebagai media massa yang membingkai krisis dapat
mempengaruhi penilaian publik terhadap pihak yang bertanggung jawab atas
terjadinya krisis. Informasi positif yang dimaksud adalah informasi yang memberi
dukungan atau menampilkan sisi positif dari perusahaan yang terlibat dalam krisis.
Sebaliknya, informasi negatif yang dimaksud adalah informasi yang tidak
mendukung atau menampilkan sisi negatif dari perusahaan. Druckman (dikutip dalam
Coombs, 2007) menjelaskan orang-orang yang menerima pesan akan memfokuskan
perhatian mereka pada faktor tersebut hingga mereka membentuk pendapat dan
membuat penilaian. Begitu juga yang terjadi pada penelitian ini, publik yang
menerima informasi memberi perhatian khusus kemudian membentuk pendapat dan
penilaian dengan menuliskannya pada kuisioner yang disediakan.
Bingkai krisis yang disajikan di media massa adalah usaha manajer krisis untuk
menekankan hal-hal tertentu, seperti ada tidaknya pihak atau faktor eksternal yang
menyebabkan terjadinya krisis. Pada krisis semburan lumpur di Sidoarjo, maka hal
tersebut juga dilakukan oleh perusahaan dengan menekankan bahwa semburan
lumpur terjadi karena faktor lain, yaitu bencana alam seperti yang dijelaskan dalam
Laporan Dampak Sosial Gunung Berapi Lumpur Lapindo (2011) bahwa para ahli
geologi PT Lapindo Brantas meyakini bahwa semburan memiliki kaitan dengan
kegiatan seismik akibat gempa yang terjadi dua hari sebelumnya, yang juga berkaitan
dengan aktifnya kembali Gunung Semeru yang terletak 300 km dari episentrum
103



gempa bumi di Yogyakarta. Usaha tersebut tidak akan menjadi masalah apabila
publik, yang menilai krisis merasa bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah
kecelakaan atau bencana alam. Namun, akan menjadi masalah apabila perusahaan
mengatakan seperti itu hanya untuk melindungi reputasi perusahaan karena jenis
krisis akan menentukan seberapa besar tanggung jawab pihak yang bersangkutan
dalam menangani krisis.
Data yang didapatkan dalam penelitian ini bahwa 50% responden dari
kelompok eksperimen positif, 47% responden dari kelompok eksperimen negatif, dan
60% dari kelompok kontrol menyatakan bahwa sumber krisis disebabkan oleh
kesalahan pengeboran sehingga 63% responden dari kelompok ekperimen positif,
53% responden dari kelompok eksperimen negatif, dan 77% dari kelompok kontrol
menyatakan bahwa perusahaan adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas
terjadinya semburan lumpur. Hasil ini juga didukung pada pernyataan 37% responden
pada kelompok eksperimen positif menyatakan bahwa ketidaksetujuannya jika
sumber krisis disebabkan oleh bencana alam. Sebanyak 34% responden dari
kelompok negatif menyatakan tidak setuju jika krisis terjadi akibat bencana alam
sehingga 40% responden menyatakan bahwa pemerintah bukanlah pihak yang harus
bertanggung jawab terhadap krisis semburan lumpur di Sidoarjo. Hasil pada
kelompok kontrol, 40% responden menyatakan ragu-ragu mengenai sumber krisis
sehingga 33% pernyataan responden juga masih ragu-ragu dan setuju jika pemerintah
yang bertanggung jawab atas krisis. Kesimpulan dari penjabaran data di atas
diketahui bahwa sebagian besar responden yang menilai sumber krisis berasal akibat
104



kesalahan pengeboran maka selanjutnya mereka membentuk atribusi bahwa
penanggung jawab krisis adalah perusahaan.
Sehingga berdasarkan hasil penelitian ini maka penanggung jawab krisis
semburan lumpur di Sidoarjo adalah perusahaan. Berdasarkan SCCT aktor
penanggung jawab krisis berada pada klaster kesengajaan bahwa perusahaan akan
dianggap bertanggung jawab apabila organisasi sengaja menempatkan orang yang
berisiko, mengambil tindakan yang tidak pantas atau melanggar hukum/ peraturan
(Coombs dan Holladay, dikutip dalam Coombs, 2007). Begitu pula dalam hal ini,
publik menilai perusahaan sengaja mengambil tindakan yang melanggar aturan
seperti yang disampaikan Akbar (2007, h. 76) bahwa PT. Medco Energi sebagai
pemegang 32% saham Lapindo, telah memperingatkan agar operator segera
memasang selubung pengaman (casing) berdiameter 9 5/8 inci.
Alasan Perlakuan ditolak
Hipotesis pada variabel ini adalah terdapat pengaruh jenis pemberitaan media
massa terhadap atribusi publik mengenai aktor yang bertanggung jawab terhadap
krisis semburan lumpur di Sidoarjo antara kelompok eksperimen positif, kelompok
eksperimen negatif, dan kelompok kontrol. Setelah melakukan analisis data, hasilnya
membuktikan bahwa hipotesis ditolak atau tidak ada pengaruh jenis pemberitaan
media massa yang diberikan terhadap atribusi publik. Hal ini berbeda dengan Teori
Atribusi dalam menangani krisis yang menjelaskan bahwa pemberian informasi pada
surat kabar mempengaruhi atribusi. Atribusi yang dibangun publik adalah penyebab
105



terjadinya krisis adalah perusahaan dan publik berperilaku menghukum terhadap
perusahaan tersebut. Alasan yang dapat menguatkan adalah karena krisis ini terjadi
sudah cukup lama dan krisis yang terjadi meninggalkan negative word of mouth.
Seperti yang dikatakan Coombs & Holladay (2006), akibat krisis, para pemangku
kepentingan (stakeholder) dapat memutuskan hubungan atau membuat negative
word-of-mouth. Publik menerima negative word of mouth tersebut dan membuat
atribusi bahwa perusahaan adalah pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya
krisis.
Berkaitan dengan SCCT, krisis semburan lumpur di Sidoarjo ini
mengakibatkan perusahaan, Lapindo termasuk aktor yang dinilai publik harus
bertanggung jawab atas terjadinya krisis. Atribusi aktor yang bertanggung jawab ini
disebabkan oleh atribusi penyebab krisis yang dibangun oleh publik bahwa krisis
terjadi akibat kesalahan pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo (atribusi internal).
Alasan publik membangun atribusi penyebab krisis adalah perusahaan karena isu
yang berada dalam tahap resolution (dormant stage). Seperti yang disampaikan oleh
Kriyantono (2012a, 161) pada dasarnya organisasi mampu mengatasi isu dengan baik
sehingga isu diasumsikan telah berakhir. Namun, pada kenyataannya pemberitaan
krisis semburan lumpur di Sidoarjo ini beberapa kali muncul di media massa karena
ketidakpuasan publik terutama korban yang belum mendapatkan ganti rugi atas harta
benda mereka yang tenggelam akibat semburan lumpur.
Sebagian besar stakeholder, terutama masyarakat non-korban menjadikan
krisis sebagai pengalaman. Hasil penelitian eksperimen ini menemukan sedikit
106



perbedaan antara informasi negatif dan positif mengenai respon krisis perusahaan.
Tampaknya ada manfaat sedikit untuk memberikan informasi positif sebagai salah
satu bentuk penyampaian respon krisis yang telah dilakukan oleh organisasi. Namun,
secara keseluruhan, hasilnya tidak menjamin bahwa pemberitaan positif memberi
pengaruh yang besar terhadap atribusi publik yang menilai perusahaan sebagai pihak
yang bertanggung jawab atas kesengajaan kesalahan yang dilakukan sehingga
menyebabkan terjadinya krisis. Tidak terkecuali dalam situasi krisis yang berlarut-
larut seperti yang dialami oleh Lapindo atas terjadinya semburan lumpur di Sidoarjo.
Alasan lain yang menyebabkan hipotesis ditolak adalah adanya faktor lain
yang menyebabkan teori tersebut tidak dapat diaplikasikan dalam krisis semburan
lumpur di Sidoarjo, yaitu situasi krisis. Mungkin teori dapat digeneralisasikan, namun
ketika terjadi pada situasi tertentu teori ini tidak dapat diterapkan. Seperti dalam
situasi krisis semburan lumpur di Sidoarjo ini, penelitian dilakukan pada tujuh tahun
pasca terjadinya krisis dibandingkan dengan penelitian Jeong (2009) yang dilakukan
pada satu bulan pasca terjadinya krisis tumpahan minyak di laut yang melibatkan
perusahaan Samsung. Sehingga perlakuan yang dilakukan tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan atribusi publik. Hal ini dapat
dijadikan bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya untuk mengaplikasikan
teori pada krisis yang belum lama terjadi sehingga publik masih memiliki kesempatan
untuk membangun atribusi yang berbeda.
107



4.7.2 Terdapat Pengaruh Atribusi Publik terhadap Perilaku Menghukum oleh
Publik
Krisis yang terjadi menimbulkan atribusi publik. Teori Atribusi yang
dijelaskan oleh Little John (2009, h. 62) bahwa atribusi seseorang tentang penyebab
dan pengendalian suatu situasi dapat menyebabkan reaksi emosional yang
mempengaruhi kesediaan mereka untuk membantu dan kemungkinan mereka
menghukum. Begitu pula pada penelitian ini yang melihat pengaruh atribusi publik
terhadap perilaku menghukum dari publik kepada perusahaan. Jeong (2009) juga
melakukan penelitian yang sama mengenai opini menghukum dan perilaku
menghukum dari publik. Namun, penelitian ini hanya melakukan penilaian terhadap
perilaku menghukum. Perilaku menghukum ini ditujukan untuk melihat bagaimana
sikap publik terutama sikap menghukum oleh publik terhadap perusahaan yang
dinilai bertanggung jawab atas terjadinya krisis.
Hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah adanya pengaruh atribusi terhadap
perilaku menghukum oleh publik terhadap pihak yang bertanggung jawab atas
terjadinya krisis. Hasil analisis data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa 63%
responden dari kelompok eksperimen positif, 73% responden dari kelompok
eksperimen negatif, dan 30% responden dari kelompok kontrol menyatakan bahwa
perusahaan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas krisis sebaiknya diberi
hukuman berat. Sehingga kesimpulannya adalah atribusi publik Dusun Candi Sayang
mempengaruhi perilaku menghukum dari publik. Semakin banyak atribusi publik
yang menyatakan bahwa perusahaan adalah pihak yang bertanggung jawab atas
108



krisis, maka semakin banyak pula publik yang menunjukkan perilaku menghukum
mereka terhadap perusahaan. Atribusi publik dalam analisis data yang dilakukan
dibagi menjadi dua, yaitu atribusi internal (krisis disebabkan oleh kesalahan
pengeboran sehingga perusahaan yang bertanggung jawab) dan atribusi eksternal
(krisis disebabkan oleh bencana alam sehingga pemerintah yang bertanggung jawab).
Hasilnya menunjukkan bahwa responden lebih banyak membuat atribusi internal
yang kemudian mempengaruhi perilaku menghukum mereka terhadap pihak yang
bertanggung jawab. Semakin tinggi atribusi internal yang dibuat publik maka
semakin tinggi pula perilaku menghukum yang ditunjukkan oleh publik kepada
perusahaan.
Sebagian besar responden yang membuat atribusi eksternal maka publik
cenderung memilih untuk menjawab netral atau tidak menjukkan perilaku
menghukumnya. Semakin tinggi atribusi eksternal publik makan semakin rendah
perilaku menghukum yang ditunjukkan oleh publik. Sebaliknya, semakin rendah
perilaku menghukum publik maka semakin tinggi perilaku menghukum yang
ditunjukkan oleh publik. Jika disimpulkan mengenai pengaruh atribusi terhadap
perilaku menghukum, maka atribusi memiliki pengaruh terhadap perilaku
menghukum publik walaupun tidak signifikan atau nilainya kecil. Walaupun atribusi
internal memiliki pengaruh yang lebih dari atribusi eksternal, namun tidak menjamin
atribusi internal yang dibuat oleh publik memberi pengaruh terhadap perilaku
menghukum oleh publik. Banyaknya publik yang memilih sikap menghukum
109



perusahaan menunjukkan bahwa respon tanggung jawab perusahaan tidak mampu
membendung negative word of mouth publik.
Hasil ini sesuai dengan Teori Atribusi yang diungkapkan oleh Litteljohn
(2009, h. 62) bahwa Atribusi seseorang tentang penyebab dan pengendalian suatu
situasi dapat menyebabkan reaksi emosional yang mempengaruhi kesediaan mereka
untuk membantu dan kemungkinan mereka untuk menghukum. Terbukti dengan
atribusi yang dibentuk oleh masyarakat Dusun Candi Sayang mengenai penyebab
krisis dan penanggung jawab krisis mempengaruhi kemungkinan mereka untuk
menghukum penanggung jawab tersebut. Faktanya bahwa dalam komunikasi krisis
Teori Atribusi mampu membantu perusahaan melihat atribusi yang dibangun oleh
publik mengenai sumber dan penyebab krisis sehingga dapat menentukan sikap
menghukum publik sejauh mana dan mengaitkannya dengan ancaman reputasi yang
akan diterima perusahaan tersebut.
Dari perspektif teoritis, SCCT digunakan untuk menjelaskan dari segi
komunikasi perusahaan terhadap manajemen krisis. Manajemen krisis yang dilakukan
perusahaan tidak dilakukan secara maksimal sehingga mengancam reputasi
perusahaan. Terbukti dengan banyaknya publik yang masih menganggap bahwa
perusahaan adalah pihak yang bersalah dan menunjukkan perilaku menghukum
kepada perusahaan. Strategi tetap dibutuhkan perusahaan atau organisasi untuk
membantu publik dalam membangun atribusi mereka mengenai krisis, salah satunya
menggunakan informasi di surat kabar walaupun saat ini usaha perusahaan, Lapindo
110



dalam mengembalikan reputasi melalui pemberitaan di media massa belum
membuahkan hasil yang signifikan.
Hal ini penting untuk mempertimbangkan bahwa ketika perusahaan
mengalami krisis pemberitaan mengenai krisis dan perusahaan akan muncul di media
massa sehingga penanganan korban, menunjukkan simpati atau memberikan
kompensasi dapat menjadi langkah awal untuk perusahaan dalam menanggulangi
krisis yang dialami, seperti yang diungkapkan Coombs (2007). Temuan dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa ketika krisis terjadi berlarut-larut maka informasi
yang disampaikan berupa pemberitaan positif ataupun negatif perusahaan melalui
media massa tidak memberi pengaruh yang cukup signifikan. Maka sebaiknya
perusahaan lebih fokus pada penyelesaian krisis dengan para stakeholder terutama
publik di sekitar kejadian krisis dan tidak mengkhawatirkan reputasi perusahaan itu
sendiri karena dengan menyelesaikan krisis dengan cepat dan tepat maka reputasi
juga dapat diperbaiki dengan tepat.


111

BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari data yang telah dikumpulkan dan dianalisis pada bab IV, maka simpulan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tidak terdapat pengaruh pemberitaan terhadap atribusi publik pada kelompok
eksperimen positif di Dusun Candi Sayang, Sidoarjo. Pemberitaan bernada positif
memberikan hasil pada atribusi publik, yaitu krisis disebabkan oleh kesalahan
pengeboran sehingga perusahaan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
terjadinya krisis.
2. Tidak terdapat pengaruh pemberitaan terhadap atribusi publik pada kelompok
eksperimen negatif di Dusun Candi Sayang, Sidoarjo. Pemberitaan bernada
negatif mengenai krisis semburan lumpur di Sidoarjo memberikan hasil yang
sama seperti pemberitaan positif, yaitu krisis disebabkan oleh kesalahan
pengeboran sehingga perusahaan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
terjadinya krisis.
3. Hasil pada kelompok kontrol di Dusun Candi Sayang, Sidoarjo memberikan hasil
yang sama pada atribusi publik, yaitu krisis disebabkan oleh kesalahan
pengeboran sehingga perusahaan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
terjadinya krisis.
112



4. Terdapat pengaruh atribusi publik terhadap perilaku menghukum oleh publik di
Dusun Candi Sayang, Sidoarjo. Atribusi internal dan atribusi eksternal
memberikan pengaruh terhadap perilaku menghukum oleh publik kepada
perusahaan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya krisis. Jika
atribusi internal menunjukkan bahwa semakin tinggi atribusi yang dibentuk maka
akan semakin tinggi pula perilaku menghukum oleh publik kepada perusahaan.
Sebaliknya, jika atribusi eksternal semakin tinggi maka akan semakin rendah
perilaku menghukum oleh kepada perusahaan.
5.2 Saran
Setelah dilakukan penelitian dan pengamatan, maka peneliti ingin memberikan
saran sebagai berikut:
1. Selama ini Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dasar
penelitiannya berasal dari komunikasi krisis maka dengan adanya penelitian
ini bisa dijadikan materi tambahan dalam pembahasan manajemen Situational
Crisis Communication. Selain itu, SCCT adalah teori yang digunakan untuk
menjelaskan masing-masing klaster dengan strategi yang sesuai dengan
klaster tersebut unutk menjaga reputasi perusahaan maka disarankan untuk
penelitian selanjutnya dapat mengaplikasikan SCCT dengan menentukan
klaster penanggung jawab krisis beserta strategi untuk menjaga reputasi
perusahaan yang terlibat krisis.
2. Teori Atribusi yang dasar penelitiannya berasal dari psikologi juga dapat
dijadikan materi tambahan dalam manajemen komunikasi krisis untuk
113



menentukan sikap perusahaan berdasarkan perilaku menghukum yang
ditunjukkan publik maka disarankan pada penelitian selanjutnya perilaku
menghukum dari publik terhadap perusahaan yang dianggap bertanggung
jawab dapat lebih spesifik dengan memberikan hukuman seperti apa yang
dimaksud.
3. Pada perusahaan PT Lapindo sebagai pihak yang berkaitan dengan krisis,
sebaiknya fokus untuk menjalin hubungan baik dengan stakeholder dan tidak
hanya berkonsentrasi pada reputasi perusahaan namun juga memikirkan
strategi yang efektif dalam mengembalikan reputasi tersebut. Perusahaan
dapat memanfaatkan media cetak, khususnya surat kabar dan media elektronik
sebagai sarana untuk menunjang manajemen komunikasi krisis agar tidak
berlarut-larut. Mengingat banyaknya masyarakat yang membentuk perilaku
menghukum kepada perusahaan akibat atribusi yang telah dibangun
sebelumnya bahwa sumber krisis berasal dari kesalahan yang dilakukan
perusahaan.
4. Setelah mengetahui bahwa tidak adanya pengaruh perlakuan yang signifikan
yang diberikan kepada publik mengenai krisis semburan lumpur di Sidoarjo
terhadap atribusi publik, menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang penggunaan perlakuan melalui media elektronik pada perusahaan
yang mengalami krisis dalam waktu yang relatif baru dan krisis yang
melibatkan pihak di luar organisasi sehingga isu yang muncul masih dalam
tahapan publik mulai memberikan opini mengenai isu yang muncul.
114



5. Kelemahan pada penelitian ini adalah eksperimen yang dilakukan hanya pada
sebagian kecil dari publik yang berada di luar peta area terdampak tanpa
melihat demografis responden dari segi pekerjaan dan pendidikan, disarankan
untuk melakukan penelitian yang sama dengan memperhatikan aspek
pendidikan dan pekerjaan responden.





DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Akbar, A. A. (2007). Konspirasi di balik lumpur lapindo: dari aktor hingga strategi
kotor. Yogyakarta: Galangpress
Ardianto, E. (2010). Metodologi penelitian untuk public relations kuantitatif dan
kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Coombs, W. T. (2010). Parameters for crisis communication. In W. T. Coombs, & S.
J. Holladay, The Handbook of Crisis Communications. West Sussex: Wiley-
Blackwell.
Coombs, W. T., & Holladay, S. J. (2010). Examining the effects of mutability and
framming on perceptions of human error and technical error crises: Implications
for Situational Crisis Communication Theory. In W. T. Coombs, & S. J.
Holladay, The Handbook of Crisis Communications. West Sussex: Wiley-
Blackwell.
Eriyanto. (2007). Teknik sampling analisis opini publik. Yogyakarta: LKiS

Kriyantono, R. (2010). Teknik praktis riset komunikasi: disertai contoh praktis riset
media, public relations, advertising, komunikasi organisasi, komunikasi
pemasaran. Jakarta: Kencana Prenada Media
Kriyantono, R. (2012a). Public relation & crisis management. Jakarta: Kencana
Prenada Media.
Littlejohn, Stephen W., & Karen A Foss. (2009). Encyclopedia of Communication
Theory. United State, America; Sage.
Nahartyo, E. (2012). Desain dan implementasi riset eksperimen. Yogyakarta: UPP
STIM YPKN
Siregar, S. (2013). Metode penelitian kuantitatif: dilengkapi dengan perbandingan
perhitungan manual dan spss. Jakarta: Kencana
Sugiyono. (2011). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan r&d. Bandung:
Penerbit Alfabeta
Suparmo, L. (2011). Crisis management & public relations. Jakarta: Indeks




Jurnal:
Claeys, An-Sofie, Cauberghe, Verolien., Patrick Vyncke. (2010). Restoring
reputations in times of crisis: An experimental study of the Situational Crisis
Communication Theory and the moderating effects of locus of control. Public
Relations Review 36, (256-262).
Coombs, W. T. (2006). Attribution Theory as a guide for post-crisis communication
research. Public Relations Review 33, 135-139.
Coombs, W. T. (2007). Protecting organization reputation during a crisis: The
development and application of situational crisis communication theory.
Corporate Reputation Review, 163-176.
Coombs, W. T., & Holladay, S. J. (2009). Further explorations of post-crisis
communication: Effects of media and response strategies on perceptions and
intentions. Public Relations Review, (35). 1-6
Jeong, Se-Hoon. (2009). Publics Responses to an oil accident: A test of the
attribution theory and situational crisis communication theory. Public Relations
Review 35, (307-309).
Kriyantono, R. (2012b). Measuring a Company Reputation in a Crisis Situation: An
Ethnography Approach on The Situational Crisis Communication Theory.
International Journal of Business and Social Science. Volume 3 No.9
Wulandari, T. D. (2011). Pengaruh tanggung jawab perusahaan dalam menanggulangi
krisis terhadap reputasi perusahaan. Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Atma
Jaya Yogyakarta 8(2).
Lain-lain:
Arifin. (2012, 28 Mei). Lapindo Janji Bayar Korban Lumpur Rp 154 Miliar Bulan ini.
Okezone. Diperoleh 28 April 2013, dari http://surabaya.okezone.com
Lapindo.(2011). Laporan Lumpur Sidoarjo. Mei 2011. Diakses14 Februari 2013, dari
http://lapindo-brantas.co.id/id/responsibilities/lumpur-sidoarjo/
Jibi. (2013, 14 Februari). Wow..Ini Dia Peringatan SBY agar LAPINDO Selesaikan
Kewajiban Ganti Rugi. Bisnis KTI. Diperoleh 20 Maret 2013, dari
http://www.bisnis-kti.com





Natalisa. (2008). Kajian Dampak Bencana Lumpur Lapindo Terhdap Faktor Ekonomi
Masyarakat Desa Renokenongo Kecamatan Porong Sidoarjo. Diperoleh 20
Februari 2013, dari
http://eprints.umm.ac.id/9399/1/KAJIAN_DAMPAK_BENCANA_LUMPUR_
LAPINDO_TERHADAPFAKTOR_SOSIAL_EKONOMI_MASYARAKAT_
DESA_RENOKENONGOKECAMATAN_PORONG_SIDOARJO.pdf
Prastyo. (2012, 15 Januari). Apa Kabar Kepastian Ganti Rugi Korban Lumpur
Lapindo?. Suara Surabaya. Diperoleh 28 April 2013, dari
http://kelanakota.suarasurabaya.net
Revianur. (2012, 7 Agustus). Pakar: Lumpur Siodarjo Murni Kesalahan Pengeboran..
Kompas News. Diperoleh 14 Februari 2013, dari http://nasional.kompas.com
Rouf, A. (2013, 1 Juli). Tak Ada Pembayaran, Korban Lumpur Temui Pansus. Sindo
News. Diperoleh 12 September 2013, dari http://daerah.sindonews.com
Susanto. (2013, 15 Februari). Mei Lapindo Janji Sisa Ganti Rugi Korban Lumpur
Lunas. Detik News. Diperoleh 28 April 2013, dari http://news.detik.com




LAMPIRAN A
Code Book
Penelitian ini berjudul Atribusi Publik Terhadap Krisis Lumpur di Sidoarjo.
(Studi Eksperimental Pengaruh Atribusi Publik atas Krisis Lumpur di Sidoarjo
terhadap Perilaku Menghukum Publik pada Masyarakat RW I Dusun Candisayang,
Desa Candi, Sidoarjo). Sesuai dengan metode yang dilakukan pada penelitian ini,
yaitu metode eksperimental maka dibutuhkan perlakuan untuk mendukung
penelitian ini. Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa berita
mengenai krisis lumpur di Sidoarjo yang melibatkan PT. Lapindo Brantas. Berita-
berita yang dikumpulkan selama bulan Januari-Mei 2013 akan dirumuskan
berdasarkan nilai berita yang terkandung dalam berita tersebut, yaitu nilai positif atau
negatif.
Human coder merupakan instrumen yang berperan sebagai pengukur data ke
dalam kategori yang telah dibuat peneliti. Masing-masing fokus penelitian akan
dianalisis oleh tiga orang coder, dimana peneliti sebagai coder 1. Pernyataan-
pernyataan dari ketiga coder nantinya akan dijadikan satu pernyataan yang sama.
Kriteria human coder dalam penelitian ini adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi yang
memahami nilai-nilai berita dan aktif membaca berita di media massa. Terdapat satu
fokus yang perlu diperhatikan oleh Anda sebagai coder, yaitu adanya rangkaian kata
yang bermakna positif, negatif, atau netral. Tabel berikut akan membantu Anda untuk
mengetahui kategori, spesifikasi, dan indikatornya:





Kategori Spesifikasi Indikator
Referens
Makna Berita
Makna Positif
Adanya rangkaian kata atau kalimat yang
bermakna positif, persetujuan, dukungan,
sanjungan, dan pujian.
Makna Negatif
Adanya rangkaian kata atau kalimat yang
bermakna negatif, mencela, meremehkan, atau
menolak suatu isu dalam berita.
Makna Netral
Adanya rangkaian kata atau kalimat yang
bermakna tidak mendukung ataupun
menentang atau dalam arti tidak memihak.

Selanjutnya, unit-unit analisis tersebut akan dianalisis dengan teknik
pengumpulan data Latent Content Coding sebagai berikut:
Aktivitas Penilai
Menilai Makna Berita Coder 1, 2, 3

Anda sebagai coder 2 dan 3 akan membantu penilaian latent content coding.
Latent coding adalah penilaian terhadap isi implisit yang dikandung teks,
mengungkapkan makna dari tulisan berdasarkan indikator yang telah disepakati. Cara
penilaiannya adalah menentukan makna berita dengan memperhatiakan rangkaian
kata atau kalimat yang bermakna positif, negatif, atau netral dan memberikan tanda
centang pada salah satu kolom
Nomor
Berita
Judul Berita
Makna
Positif Netral Negatif
1

2
3





Sebagai seorang coder, Anda diminta untuk memperhatikan beberapa hal
berikut, yaitu:
1. Data yang ada dalam codebook ini adalah berita dari Jawa Pos dan Kompas
mengenai krisis lumpur di Sidoarjo dalam jangka waktu tertentu. Coder
diharapkan dapat melihat isi berita sebagai sebuah keutuhan pesan sehingga
apapun yang coder persepsikan terhadap pesan tertulis adalah apa yang coder
nilai di lembar coding.
2. Coder bersifat independen sehingga segala pemikiran coder adalah
pernyataan yang dipercaya untuk dinilai dalam penelitian.
3. Coder diharapkan meminimalisir pernyataan data yang tidak termasuk dalam
kategori dengan benar-benar memperhatikan keterkaitan topik-topik dalam
seluruh berita dengan makna berita.




CURRICULUM VITAE
CODER 2
Nama : Titah Mranani
Alamat : Perum Bukit Singosari Raya G 13/12 Singosari
Malang
E-mail : titahmranani@rocketmail.com
Tempat, Tanggal Lahir : Jember, 22 Februari 1991
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Jurusan/ PT : Ilmu Komunikasi/ Universitas Brawijaya

Riwayat Pendidikan Formal
1997 2003 : SD Pagentan I Singosari
2003 2006 : SMPN I Singosari
2006 2009 : SMAN 4 Malang
2009 Sekarang : Universitas Brawijaya

Pengalaman Organisasi
Wartawan Malang Post (2012-2013)




CURRICULUM VITAE
CODER 3
Nama : Kurniatul Hidayah
Alamat : Jalan R.S. Bhakti Husada 12 RT 02/ RW 04 Tegalharj,
Glenmore, Banyuwangi
E-mail : hidayah1925@yahoo.com
Tempat, Tanggal Lahir : Banyuwangi, 25 Februari 1992
Jenis Kelamin :Perempuan
Agama :Islam
Jurusan/ PT :Ilmu Komunikasi, Komunikasi Massa

Riwayat Pendidikan Formal
SDN IV Tegalharjo, 1997 - 2003, Glenmore, Banyuwangi.
SMPN 1 Kalibaru, 2003 - 2006, Kalibaru, Banyuwangi.
SMAN 1 Glenmore, 2006 - 2009, Glenmore, Banyuwangi.
Ilmu Komunikasi (S1) FISIP Universitas Brawijaya, 2009 - sekarang, Malang.

Pengalaman Organisasi
Sekretaris Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) periode 2006/2007
Anggota Palang Merah Remaja (PMR) periode 2006/2008
Anggota SAKA Bhayangkara periode 2006/2008
Anggota Praja Muda Karana (Pramuka) periode 2006/2007
Bendahara Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) periode 2007/2008




Pradana (Ketua) Putri Praja Muda Karana (Pramuka) periode 2007/2008
Anggota Societo Sineklub LSO Seni FISIP UB periode 2009/2010
Koordinator Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Societo Sineklub
LSO Seni FISIP UB periode 2010/2011

Pengalaman Kerja
Wartawan Magang di Redaksi M-Teens Malang Post Periode Februari
Maret (2012)
Wartawan Malang Post (Karyawan) sejak Mei 2012 Juli 2013




LEMBAR CODI NG
Anda sebagai coder 2 akan membantu penilaian latent content coding. Latent
coding adalah penilaian terhadap isi implisit yang dikandung teks, mengungkapkan
makna dari tulisan berdasarkan indikator yang telah disepakati. Cara penilaiannya
adalah menentukan makna berita dengan memperhatiakan rangkaian kata atau
kalimat yang bermakna positif, negatif, atau netral dan memberikan tanda centang ()
pada salah satu kolom
Nomor
Berita
Judul Berita
Makna
Positif Netral Negatif
1 Minarak Nunggak Rp 900 M
2 Tujuh Tahun Semburan Lumpur Lapindo,
Tanda Tanya di Lahan 1.041 Hektare

3 Tagih Janji Lapindo, Kena Ringkus
Aparat

4 Lapindo Janji Lunasi Kewajiban Akhir
Mei

5 Akui Punya Tunggakan Ical Janji Lunasi
Korban Lumpur

6 SBY Kembali Sentil Lumpur Lapindo
7 Lumpur Lapindo Tanggul Kritis
Berangsur Teratasi

8 Bakrie Hormati Perhatian SBY
Lalu Mara: Kami Tak Pernah Lari dari
Kesepakatan

9 Presiden Ingatkan Menteri: Lapindo
Diminta Segera Bayar Ganti Rugi Rp 800
Miliar

10 Sisa Ganti Rugi Bagi Korban Lumpur Rp
786 Miliar

11 Tanggul Semakin Kritis Saat Hujan
12 Pasang Monumen, Tagih Pelunasan






LEMBAR CODI NG
Anda sebagai coder 3 akan membantu penilaian latent content coding. Latent
coding adalah penilaian terhadap isi implisit yang dikandung teks, mengungkapkan
makna dari tulisan berdasarkan indikator yang telah disepakati. Cara penilaiannya
adalah menentukan makna berita dengan memperhatiakan rangkaian kata atau
kalimat yang bermakna positif, negatif, atau netral dan memberikan tanda centang ()
pada salah satu kolom
Nomor
Berita
Judul Berita
Makna
Positif Netral Negatif
1 Minarak Nunggak Rp 900 M
2 Tujuh Tahun Semburan Lumpur Lapindo,
Tanda Tanya di Lahan 1.041 Hektare

3 Tagih Janji Lapindo, Kena Ringkus
Aparat

4 Lapindo Janji Lunasi Kewajiban Akhir
Mei

5 Akui Punya Tunggakan Ical Janji Lunasi
Korban Lumpur

6 SBY Kembali Sentil Lumpur Lapindo
7 Lumpur Lapindo Tanggul Kritis
Berangsur Teratasi

8 Bakrie Hormati Perhatian SBY
Lalu Mara: Kami Tak Pernah Lari dari
Kesepakatan

9 Presiden Ingatkan Menteri: Lapindo
Diminta Segera Bayar Ganti Rugi Rp 800
Miliar

10 Sisa Ganti Rugi Bagi Korban Lumpur Rp
786 Miliar

11 Tanggul Semakin Kritis Saat Hujan
12 Pasang Monumen, Tagih Pelunasan






LEMBAR CODI NG
Saya sebagai coder 1 akan melakukan penilaian latent content coding. Latent
coding adalah penilaian terhadap isi implisit yang dikandung teks, mengungkapkan
makna dari tulisan berdasarkan indikator yang telah disepakati. Cara penilaiannya
adalah menentukan makna berita dengan memperhatiakan rangkaian kata atau
kalimat yang bermakna positif, negatif, atau netral dan memberikan tanda centang ()
pada salah satu kolom
Nomor
Berita
Judul Berita
Makna
Positif Netral Negatif
1 Minarak Nunggak Rp 900 M
2 Tujuh Tahun Semburan Lumpur Lapindo,
Tanda Tanya di Lahan 1.041 Hektare

3 Tagih Janji Lapindo, Kena Ringkus
Aparat

4 Lapindo Janji Lunasi Kewajiban Akhir
Mei

5 Akui Punya Tunggakan Ical Janji Lunasi
Korban Lumpur

6 SBY Kembali Sentil Lumpur Lapindo
7 Lumpur Lapindo Tanggul Kritis
Berangsur Teratasi

8 Bakrie Hormati Perhatian SBY
Lalu Mara: Kami Tak Pernah Lari dari
Kesepakatan

9 Presiden Ingatkan Menteri: Lapindo
Diminta Segera Bayar Ganti Rugi Rp 800
Miliar

10 Sisa Ganti Rugi Bagi Korban Lumpur Rp
786 Miliar

11 Tanggul Semakin Kritis Saat Hujan
12 Pasang Monumen, Tagih Pelunasan






LAMPIRAN B
Form Kesediaan Menjadi Responden
Berdasarkan kegiatan penelitian yang berjudul Atribusi Publik Terhadap Krisis
Lumpur di Sidoarjo, saya menyatakan bahwa:
1. Saya telah diberi lembar informasi yang menjelaskan tentang kegiatan
penelitian ini.
2. Saya telah membaca dan memahami informasi dalam lembar tersebut.
3. Saya telah diberi kesempatan untuk bertanya dan diberi jawaban yang
memuaskan saya.
4. Saya telah diberi informasi kemana saya dapat menghubungi peneliti atau
pembimbingnya jika ada pertanyaan tambahan.
5. Saya memahami bahwa keikutsertaan saya dalam kegiatan ini akan mencakup
kegiatan mengisi kuisioner sebagai prosedur dari pengumpulan data.
6. Saya memahami bahwa informasi yang saya berikan akan dijaga
kerahasiaannya.
7. Saya menyadari bahwa informasi yang saya berikan hanya akan digunakan
untuk keperluan penelitian ini.
8. Saya memahami bahwa saya bebas menarik diri dari keikutsertaan dalam
penelitian ini kapan pun, tanpa penjelasan dan denda apa pun.
9. Saya setuju untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini.
10. Saya Bersedia/ Tidak Bersedia *) untuk disebutkan identitasn saya dalam
penelitian ini.
Saya menyatakan kesediaan saya sebagai responden dalam kegiatan ini:
Nama Responden : ____________________________________
Usia : ____________________________________
Jenis Kelamin : ____________________________________
Tanda Tangan Responden : ____________________________________




KUISIONER PENELITIAN
ATRIBUSI PUBLIK TERHADAP KRISIS LUMPUR DI SIDOARJO
(Studi Eksperimental Pengaruh Atribusi Publik atas Krisis Lumpur Sidoarjo terhadap
Perilaku Menghukum Publik pada Masyarakat RW I Dusun Candisayang, Desa Candi,
Sidoarjo)

Untuk mengetahui seberapa atribusi publik mengenai aktor yang bertanggung jawab
terhadap krisis lumpur di Sidoarjo, maka dibutuhkan pendapat dari responden untuk melengkapi
penelitian ini. Untuk itu saya mengharapkan kesediaan waktu Anda untuk mengisi kuesioner
sesuai dengan penilaian yang Anda miliki. Dan atas kesediaannya saya ucapkan terima kasih.

Petunjuk Pengisian
Pilihlah jawaban dengan memberi tanda check (v) pada salah satu jawaban yang paling sesuai
menurut anda sekalian. Penilaian dapat dilakukan berdasarkan skala berikut:
SS : Sangat Setuju = 5 HB : Hukuman Berat = 5
S : Setuju = 4 HS : Hukuman Sedang = 4
R : Ragu-Ragu = 3 R : Ragu-Ragu = 3
TS : Tidak Setuju = 2 HR : Hukuman Ringan = 2
STS : Sangat Tidak Setuju = 1 TH : Tidak ada Hukuman = 1





1. Variabel Aktor yang Bertanggung Jawab
Variabel Aktor yang
Bertanggung Jawab atas Krisis
Sangat
Setuju
(SS)-5
Setuju
(S)-4
Ragu-
Ragu
(R)-3
Tidak
Setuju
(TS)-2
Sangat
Tidak
Setuju
(STS)-1
1. Semburan Lumpur
disebabkan oleh kesalahan
pengeboran

2. Semburan Lumpur
disebabkan oleh bancana
alam

3. Pemerintah adalah pihak
yang harus bertanggung
jawab atas semburan
lumpur di Sidoarjo

4. Perusahaan adalah pihak
yang harus bertanggung
jawab atas semburang
lumpur di Sidoarjo


2. Variabel Perilaku Menghukum Publik
Pernyataan
Hukuman
Berat
(HB)-5
Hukuman
Sedang
(HS)-4
Ragu-
Ragu
(R)-3
Hukuman
Ringan
(HR)-2
Tidak ada
Hukuman
(TH)-1
Bagaimana hukuman yang pantas
diberikan untuk pihak yang
bertanggung jawab atas semburan
lumpur di Sidoarjo





LAMPIRAN C
Data Tabulasi Nilai

NO 1 2 3 4 5 TOTAL
1 3 2 2 3 3 13
2 4 2 3 5 5 19
3 5 3 3 5 5 21
4 4 4 4 4 5 21
5 4 2 4 4 5 19
6 4 2 2 5 5 28
7 5 1 1 5 5 17
8 5 3 3 5 5 21
9 5 1 1 4 5 16
10 5 2 2 5 4 18
11 4 3 2 4 5 18
12 4 5 5 5 5 24
13 4 3 4 3 4 18
14 5 4 4 5 5 23
15 3 3 3 3 3 15
16 3 3 3 3 3 15
17 4 3 3 5 5 20
18 5 4 4 5 5 23
19 5 1 1 5 5 17
20 5 2 5 4 4 20
21 5 2 5 5 5 22
22 4 2 2 4 5 17
23 5 2 2 5 5 19
24 5 2 2 5 5 19
25 4 2 2 4 4 16
26 5 5 5 5 5 25
27 4 3 4 3 4 18
28 5 5 5 5 5 25
29 4 4 4 4 5 21
30 5 4 4 5 5 24
31 5 3 2 5 5 20
32 4 3 2 5 5 19
33 4 2 4 5 5 20
34 4 4 3 5 5 21
35 4 2 2 5 5 18
36 5 2 2 5 4 18
37 4 1 2 4 5 16
38 5 3 2 5 4 19
39 5 1 1 5 5 17
40 5 1 1 5 5 17
41 4 3 3 4 4 18
42 5 5 5 4 2 21
43 5 4 5 4 4 22
44 5 1 1 5 4 16
45 4 2 2 4 5 17
46 4 3 2 5 4 18
47 4 3 4 4 3 18
48 5 4 4 5 5 23
49 5 2 2 5 5 19
50 5 2 3 5 5 20
51 5 2 5 5 5 22
52 5 1 2 5 5 18
53 5 2 2 5 5 19
54 5 2 4 5 5 21
55 4 2 2 5 4 17
56 5 5 5 5 4 24
57 4 3 4 4 3 18
58 5 5 5 5 5 25
59 4 4 4 4 5 21
60 5 4 3 5 5 22
61 4 3 4 3 4 18
62 4 5 4 4 4 21
63 4 4 4 4 4 20
64 3 3 3 3 3 17
65 5 3 5 5 5 23
66 5 3 5 3 5 21
67 4 4 4 4 4 20
68 5 4 4 5 5 23
69 4 3 3 3 4 17
70 4 5 5 5 4 23
71 4 3 4 3 4 18
72 5 2 2 4 4 17
73 4 3 2 4 4 17
74 3 3 3 3 3 15
75 5 5 5 5 5 25
76 5 3 3 5 5 21
77 4 4 4 4 4 20




78 4 4 3 4 4 19
79 4 3 3 3 4 17
80 4 5 5 5 4 23
81 5 2 2 5 5 19
82 4 2 2 4 4 16
83 4 2 2 4 4 16
84 3 3 3 3 3 15
84 5 3 3 5 5 21
86 5 5 3 3 5 21
87 5 4 4 5 5 23
88 4 2 4 4 4 18
89 4 2 3 3 3 15
90 4 2 4 5 4 19




LAMPIRAN D

Data SPSS Uji Validitas

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N
Skor Jawaban A 4.23 .626 30
Skor Jawaban B 3.30 1.022 30
Skor Jawaban C 3.50 .974 30
Skor Jawaban D 4.00 .830 30
Skor Jawaban E 4.17 .648 30
Total Jawaban 19.27 2.791 30







KORELASI VALIDITAS
Skor Jawaban A Skor Jawaban B Skor Jawaban C Skor Jawaban D Skor Jawaban E Total Jawaban
Skor Jawaban A Pearson
Correlation
1 .102 .141 .531
**
.921
**
.634
**

Sig. (2-tailed)

.590 .456 .003 .000 .000
N 30 30 30 30 30 30
Skor Jawaban B Pearson
Correlation
.102 1 .572
**
.203 .234 .696
**

Sig. (2-tailed) .590

.001 .282 .213 .000
N 30 30 30 30 30 30
Skor Jawaban C Pearson
Correlation
.141 .572
**
1 .256 .246 .711
**

Sig. (2-tailed) .456 .001

.172 .190 .000
N 30 30 30 30 30 30
Skor Jawaban D Pearson
Correlation
.531
**
.203 .256 1 .577
**
.684
**

Sig. (2-tailed) .003 .282 .172

.001 .000
N 30 30 30 30 30 30
Skor Jawaban E Pearson
Correlation
.921
**
.234 .246 .577
**
1 .738
**

Sig. (2-tailed) .000 .213 .190 .001

.000
N 30 30 30 30 30 30
Total Jawaban Pearson
Correlation
.634
**
.696
**
.711
**
.684
**
.738
**
1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000

N 30 30 30 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).





LAMPIRAN E
Data SPSS Uji Reliabilitas

Cronbach's Alpha N of Items
.720 5


Item Statistics

Mean Std. Deviation N
Skor Jawaban A 4.23 .626 30
Skor Jawaban B 3.30 1.022 30
Skor Jawaban C 3.50 .974 30
Skor Jawaban D 4.00 .830 30
Skor Jawaban E 4.17 .648 30


Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
19.20 8.234 2.870 5






LAMPIRAN F
Data SPSS Uji One Way Anova


Descriptives
Jawaban Responden

N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Positif 30 14.97 1.608 .294 14.37 15.57 12 18
Negatif 30 15.63 2.266 .414 14.79 16.48 12 20
Kontrol 30 15.03 2.414 .441 14.13 15.93 12 20
Total 90 15.21 2.123 .224 14.77 15.66 12 20







ANOVA
Jawaban Responden

Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 8.089 2 4.044 .896 .412
Within Groups 392.900 87 4.516

Total 400.989 89



Test of Homogeneity of Variances
Jawaban Responden
Levene
Statistic df1 df2 Sig.
3.970 2 87 .022




LAMPIRAN G
Data SPSS Uji Regresi Atribusi Internal

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N
Perilaku Menghukum 4.43 .720 90
Atribusi Internal Publik 8.79 1.241 90

Correlations

Perilaku
Menghukum
Atribusi Internal
Publik
Pearson Correlation Perilaku Menghukum 1.000 .645
Atribusi Internal Publik .645 1.000
Sig. (1-tailed) Perilaku Menghukum . .000
Atribusi Internal Publik .000 .
N Perilaku Menghukum 90 90
Atribusi Internal Publik 90 90

ANOVA
b

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 19.161 1 19.161 62.593 .000
a

Residual 26.939 88 .306

Total 46.100 89

a. Predictors: (Constant), Atribusi Internal Publik
b. Dependent Variable: Perilaku Menghukum











Model Summary
b

Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
Change Statistics
R Square
Change F Change df1 df2 Sig. F Change
1 .645
a
.416 .409 .553 .416 62.593 1 88 .000
a. Predictors: (Constant), Atribusi Internal Publik
b. Dependent Variable: Perilaku Menghukum


Coefficients
a

Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
95.0% Confidence Interval for B
B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound
1 (Constant) 1.146 .420

2.732 .008 .313 1.980
Atribusi Internal Publik .374 .047 .645 7.912 .000 .280 .468
a. Dependent Variable: Perilaku Menghukum






LAMPIRAN H
Data SPSS Hasil Uji Regresi Atribusi Eksternal

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N
Perilaku Menghukum 4.43 .720 90
Atribusi Eksternal Publik 6.12 2.182 90


Correlations

Perilaku
Menghukum
Atribusi Eksternal
Publik
Pearson Correlation Perilaku Menghukum 1.000 -.091
Atribusi Eksternal Publik -.091 1.000
Sig. (1-tailed) Perilaku Menghukum . .196
Atribusi Eksternal Publik .196 .
N Perilaku Menghukum 90 90
Atribusi Eksternal Publik 90 90


ANOVA
b

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression .385 1 .385 .741 .392
a

Residual 45.715 88 .519

Total 46.100 89

a. Predictors: (Constant), Atribusi Eksternal Publik
b. Dependent Variable: Perilaku Menghukum






Model Summary
b

Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
Change Statistics
R Square
Change F Change df1 df2 Sig. F Change
1 .091
a
.008 -.003 .721 .008 .741 1 88 .392
a. Predictors: (Constant), Atribusi Eksternal Publik
b. Dependent Variable: Perilaku Menghukum


Coefficients
a

Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
95.0% Confidence Interval for B
B Std. Error Beta Lower Bound Upper Bound
1 (Constant) 4.618 .227

20.303 .000 4.166 5.070
Atribusi Eksternal Publik -.030 .035 -.091 -.861 .392 -.100 .039
a. Dependent Variable: Perilaku Menghukum

Anda mungkin juga menyukai