Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindroma Nefrotik (SN) adalah kelainan keadaan klinik yang khas ditandai oleh
Proteinuria massive, hipoalbuminemia dan edema yang biasanya disertai dengan atau tanpa
hiperkolesterolemia. Di Amerika Serikat di laporkan kejadian tahunan penyakit tersebut adalah
2-5 per 100.000 anak usia < 10 tahun. Angka prevalensi kurang lebih 15,5 per 100.000 orang
usia <16 tahun. Angka kejadian tersebut lebih tinggi pada anak-anak Asia dan
afrrika. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. perbandingan anak laki-laki
dan perempuan adalah 2:1.
Pada anak-anak, sindroma nefrotik kelainan minimal merupakan suatu penyakit
primer pra sekolah dengan puncak insidensi terjadi pada usia 3-4 tahun, walaupun dapat juga
terjadi pada semua umur. Kejadian sindroma nefrotik anak adalah 15 kali lebih sering
dari pada orang dewasa. Sebagian besar kasus sindroma nefrotik pimer terjadi pada anak
dan disebabkan oleh jenis lesi minimal. Usia terjadinya penyakit tersebut tergantung
kepada macam sindroma nefrotiknya.
4

Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik)
yang berhubungan dengan kelainan pri mer glomerulus dengan sebab tidak
diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Kelainan histopatologi
pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal, nefropati membranosa, glomerulo-
sklerosisfokal segmental, glomerulonefritis membrano proliferatif. Di klinik (75%-80%)
kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering
ditemukan nefropati lesi minimal
Kebanyakan SN pada anak memberikan respon terhadap pengobatan kortikosteroid
(prednison / prednisolon), hanya 10 20% yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan
kortikosteroid. Disebut SN sensitif steroid (SNSS) bila penderita memberikan respon dan terjadi
remisi dalam empat minggu pengobatan dengan kortikosteroid, sedangkan bila tidak mengalami
remisi disebut SN resisten steroid (SNRS). Walaupun presentase SNRS dalam jumlah kecil,
namun jika tidak tertangani dengan baik dalam kurun 3 tahun akan mengalami komplikasi
ekstrarenal dan berkembang menjadi gagal ginjal terminal.
Mengingat pengobatan sindrom nefrotik pada anak memerlukan kecermatan dan ketelitian
dalam pemberian obat, seperti dosis dan indikasi pemberian. Perlu pembahasan lebih lanjut
dengan runtut mengenai tata laksana pada sindrom nefrotik steroid dependen atau steroid
sensitif dan sindrom nefrotik steroid resisten.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan proteinuria masif
(proteinuria >2+ dengan dipstik, atau protein urin >40 mg/m2/jam, atau >50 mg/kgbb/hari,
atau rasio protein:kreatinin >2 mg/mg); hipoalbuminemia (albumin < 2,5 g/dL), edema, dan
hiperkolesterolemia.
Terdapat beberapa definisi atau batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik, antara lain :
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4mg/m
2
LPB/jam) selama 3
hari berturut turut dalam 1 minggu.
2. Relaps, yaitu proteinuria > 2+ (proteinuria > 40 mg/m
2
LPB/jam ) selama 3 hari berturut
turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun perngamatan.
4. Relaps sering (frequent relapes), yaitu relaps terjadi > 2 kali dalam 6 bulan pertama atau
> 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan atau
dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan prednison
dosis penuh 2 mg/kg BB/hari selama 4 minggu.
2.2 Epidemiologi
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-anak paling
sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2, 5 tahun,
(80%) pada usia < 6 tahun saat diagnosis dibuat , dan laki -laki dua kali lebih
banyak dari pada wanita. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun.
2.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1) Primer atau idiopatik ( ~ 90% kasus)
a) Minimal change nephrotic syndrome (MNCS) 84,5%
b) Focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) 9,5%
c) Membranous nephropathy (MN) 3,5%
d) Membrano proliferative glumerulonephritis (MPGN)
e) Mesangial proliferative glumerulonephritis (Mes PGN) 2,5%
2) Sekunder (~ 10% kasus)
a) Infeksi (HIV, Hepatitis, Malaria, Toxoplasmosis, Sipilis, dan infeksi bakteri)
b) Obesitas
c) Toxin atau obat ( NSAID, Interferon, lithium)
d) Malignansi (lymphoma, leukimia)
e) Penyakit sistemik (SLE Nefritis, nefropati dabetikum, tiroiditis)




2.4 Patofisiologi
1. Proteinuria
Penyebab proteinuria pada SN adalah kerusakan fungsi atau struktur membran filtrasi
glomerulus. Membran filtrasi glomerulus terdiri dari endotel fenestra sebelah dalam, membran
basalis dan sel epitel khusus dibagian luar yang dikenal dengan podosit.
Podosit memiliki tonjolan tonjolan menyerupai kaki (foot processes), diantara tonjolan
tonjolan tersebut, terdapat celah diafragma, yang berperan penting dalam pemeliharan fungsi
filtrasi glomerulus.
Terdapat dua mekanisme yang berperan pada patogenesis SN, yaitu pertama secara
imunologis sel T memproduksi circulating factor, berupa vascular permeability factor (VPF)
yang merupakan asam amino identik dengan vascular endothelial growth factor (VEGF). Hal ini
menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler gromelurus sehingga terjadi kebocoran
protein. Mekanisme kedua adalah terdapatnya defek primer pada barier filtrasi glomerulus yang
mengakibatkan celah diafragma melebar.

Zat zat terlarut yang dapat melewati sawar gromelurus ditentukan oleh besarnya molekul.
Molekul > 10 kDa akan ditahan sehingga tidak dapat melewati sawar tersebut (size selectivity
barrier ). Bila ada gangguan pada mekanisme ini menyebabkan proteinuria baik protein dengan
berat molekul besar (proteinuria nonselektif). Faktor lain yang dapat mempengaruhi adalah
adanya daya elektrostatik dari muatan negatif permukaan molekul pada epitel foot processes
yang dibentuk oleh sialoprotein kapiler, heparan sulfat membran basalis gromelurus dan
podokaliksin (charge-selectivity barrier). Gangguan pada daya elektrostatik tersebut
menyebabkan proteinuria selektif (protein dengan berat molekul < berat molekul albumin dapat
melewati membran filtrasi gromelurus). Kerusakan struktur dan sawar elektrostatik ini
menyebabkan banyaknya protein plasma yang melewati filtrasi gromelurus. Pada penderita
SNRS diduga selain charge selectivity barrier juga berperan size selectivity barrier yang
menyebabkan proteinuria yang keluar selain berat molekul rendah (selektif) juga protein dengan
berat molekul tinggi (non-selektif).

2. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak
memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau
menurun.



3. Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill
menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, sehingga cairan bergeser
dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik
plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki
volume intravaskular tetapi juga akan mengekserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga
edema semakin berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium
oleh ginjal menyebabkan cairan ektraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju
filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat
teraktivasinya sistem renin angiotensin aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormon
aldosteron yang akan mempengaruhi sel sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium
sehingga eksresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf
simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler
glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan starling
kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan eksresi natrium.

4. Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL),
trigliserida meningkat, sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau
menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di
perifer (penurunan pengeluaran lipoprpotein, VLDL, kilomikron, intermediate densitiy
lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin
serum dan penurunan tekanan onkotik.

2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang sering ditemukan adalah edema menyeluruh dan terdistribusi
mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan dimulai dari daerah wajah dan kelopak
mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang, digantikan oleh edema di daerah peritibial pada
sore hari.
Asites sering ditemukan tanpa udem anasarka, terutama pada anak kecil dan bayi yang
jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstitial dibandingkan anak yang
lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemuakn, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati edema
dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum atau daerah vulva.
Dalam laporan International Study Of Kidney Diseases In Children (ISKDC), ditemukan
22% disertai hematuri mikroskopik, 15 20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan
kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.

2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
2. Protein urin kuantitatif, dan dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein / kreatinin pada
urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah, antara lain :
a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, LED)
b. Kadar albumin dan kolesterol plasma
c. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
Schwartz
d. Kadar komplemen C3 bila curiga Lupus Eritematous Sistemik, pemeriksaan ditambah
dengan komplemen C4, ANA (Anti Nuclear Antibody) dan anti ds-DNA.

2.7 Penatalaksanaan
1. Terapi awal sindrom nefrotik :
a. Prednison 2 mg/kgBB per hari selama 6 minggu (dosis maksimum 60mg)
b. Kemudian dilanjutkan prednison dengan dosis 1,5 mg/kgBB per hari selama 6
minggu ( maksimum 40 mg).
c. Kombinasi prednison 2mg/kgBB per hari selama 6 minggu ditambah
Cyclophospamid 2mg/kgBB selama 12 minggu, keduanya diberikan bersamaan.
Dosis prednison setelah 6 minggu tetap diturunkan menjadi 1,5mg/kgBB per hari
hingga 12 minggu.
2. Terapi pada relaps sindrom nefrotik relaps jarang :
a. Prednison 2 mg/kgBB per hari, diberikan sampai proteinuria negatif atau hasil
proteinuria negatif selama tiga hari.
b. Kemudian dilanjutkan prednison dengan dosis 1,5 mg/kg BB per hari, diberikan
hingga 4 minggu. Penggunaan prednison 2 mg/kgBB per hari, pada keadaan
kambuhan dapat diberikan hingga nilai proteinuria normal selama 3 hari.
3. Pilihan terapi untuk sindrome nefrotik relaps sering (frequent) :
a. Prednison 2 mg/kg BB per hari, diberikan hingga proteinuria negatif selama 3 hari.
Kemudian diturunkan dosis menjadi 1,5 mg/kgBB per hari selama 4 minggu,
kemudian dilanjutkan dengan dosis 0,5 mg/kgBB per hari selama 2 bulan. Total
pengobatan selama 3 4 bulan.
Pengobatan dengan glukokortikoid (prednison) dapat diindikasikan untuk dilanjutkan
pemberianya jika tidak ditemukan adanya efek samping atau tampak ada perbaikan
minimal > 4 minggu.
b. Oral cyclophospamide 2mg/kgBB per hari selama 12 minggu, dimulai bersamaan
dengan terapi inisiasi prednison 2 mg/kgBB per hari.
Cyclophospamid yang merupakan sitotosik agen dapat diberikan bersamaan atau
kombinasi dengan prednison. Dari hasil penelitian didapatkan hasil yang signifikan
terjadi remisi sebesar 72% dan menurunkan frekuensi relaps hingga 5 tahun atau
lebih.
c. Mycophenolate mofetil 25 36 mg/kgBB per hari (dosis maksimum 2 g/hari)
diberikan 2 kali sehari selama 1 sampai 2 tahun.
Mycophenolate mofetil lebih efektif digunakan bersamaan dengan prednison 1,5
mg/kgBB pada saat dosis prednison diturunkan (setelah nilai proteinuria normal).
d. Cyclosporine A 3 5 mg/kgBB per hari, diberikan 2 kali sehari selama 2 5 tahun.
Memiliki efek nefrotoksik sehingga jarang dipakai dalam praktek klinis.



4. Terapi pada sindrom nefrotik sensitif steroid / dependen steroid :
Pada sindrom nefrotik dependen steroid sangat bergantung pada glukokortikoid
(prednison) dapat dapat kambuh jika dosis diturunkan atau dihentikan. Mengingat efek
samping dari glukokortikoid seperti obesitas, hipertensi, katarak dll, sehingga diperlukan
pengobatan alternatif yang lebih aman dan memiliki efek yang baik untuk sindrom
nefrotik jenis ini. Antara lain :
a. Cyclophospamid 2 3 mg/kgBB per hari diberikan 8 12 minggu.
b. Tacrolimus 0.05 0.1 mg/kgBB per hari, diberikan dua kali sehari.
c. Mycophenolate mofetil 24 36 mg/kgBB per hari (maksimum 2g/hari).
Pada penelitian di eropa, membandingkan antara glukokortikoid dengan beberapa obat
seperti cyclophospamid, mychopenolate mofetil, clorambucil, tacrolimus atau torambucil
dapat menurunkan resiko relaps tanpa pemberiaan glukokortikoid.
5. Terapi pada sindrom nefrotik resisten steroid
Sindrom nefrotik resisten steroid meningkatkan resiko mengalami komplikasi dan
secara progresif dapat berkembang menjadi gagal ginjal terminal. Tujuan terapi pada
sindrom nefrotik resisten steroid adalah pengendalian proteinuria dan memelihara
fungsi ginjal. Berdasarkan guidelines EBM terdapat 3 kelompok kategori dalam
pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid, antara lain : 1) immunosuppresif, 2)
imunostimulator dan 3) non-immunosuppresif.
a. Immunosuppresif
Calnecerium inhibitor, mycophenolate mofetil, methylprednisolon dan sitotoksik
agen (cyclophospamid ).


b. Immunostimulator
Levamisole
c. Non-immunosuppresif
Pada pengobatan ini merupakan pengobatan konservatif antara lain ; ACE Inhibiotr,
Angiotensin Reseptor Blocker (ARB) dan vitamin E.

Disamping terapi utama, juga diberikan terapi supportif untuk membantu memperbaiki keadaan,
antara lain :
1. Manajemen hipertensi
- Kontrol tekanan darah sistolik < 90 mmHg
- Diet rendah garam, olahraga atau aktivitas dan kurangi BB pada anak dengan obesitas.
- ACE Inhibitor atau ARB dapat digunakan untuk manajemen hipertensi, dan merupakan
lini pertama sebagai antihipertensi. Efeknya dapat menurunkan proteinuria karena
sifatnya sebagai nefroprotektan dan mengontrol tekanan darah.
- ACE Inhibitor atau ARB direkomendasikan pada sindrom nefrotik resisten-steroid.
2. Manajemen edema
- Diet rendah sodium 1500 2000 mg per hari.
- Penggunaan diuretik ; loop diuretik, tiazide diuretik
- Dan infus albumin 25%.


2.8 Komplikasi

Anda mungkin juga menyukai