Definisi Suatu penyakit yang disebabkan oleh karena kontak dengan sumber panas, dapat berupa api, air panas, bahan kimia, listrik/petir, radiasi, sehingga menyebabkan kerusakan pada kult, mukosa, dan jaringan yang lebih dalam. Etiologi Berdasarkan penyebab terjadinya, luka bakar dapat terjadi karena : 1. Luka bakar karena api. 2. Luka bakar karena air panas. 3. Luka bakar karena bahan kimia. 4. Luka bakar karena listrik, radiasi, dan petir. 5. Luka bakar karena sengatan sinar matahari. 6. Luka bakar karena tungku panas / udara panas. 7. Luka bakar karena ledakan bom. Bahan kimia yang dapat menyebabkan luka bakar adalah asam kuat atau basa kuat. seperti sodium hidroksida, silver nitrate, dan bahan kimia berbahaya lainnya (seperti asam sulfur ataupun asam nitrat). Fase Luka Bakar Berdasarkan perjalanan penyakitnya luka bakar dibagi menjadi 3 fase, yaitu : 1. Fase akut Pada fase ini problema yang ada berkisar pada gangguan saluran napas karena adanya cedera inhalasi dan gangguan sirkulasi. Pada fase ini terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan elektrolit akibat cedera termis bersifat sistemik.
2. Fase subakut Fase ini berlangsung setelah shock berakhir. Luka terbuka akibat kerusakan jaringan (kulit dan jaringan dibawahnya), menimbulkan masalah : 1. Proses inflamasi.. 2. Infeksi yang dapat menimbulkan sepsis. 3. Proses penguapan cairan tubuh yang disertai evaporative heat loss yang menyebabkan perubahan dan gangguan proses metabolisme. 3. Fase lanjut Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadi maturasi. Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari luka bakar berupa parut hipertrofik, kontraktur, dan deformitas lainnya. Patofisiologi Patofisiologi luka bakar berdasarkan fase-fase luka bakar meliputi : 1. Fase akut Ada 3 masalah yang muncul pada fase ini : 1. Cedera inhalasi Adalah terminologi yang digunakan untuk menjelaskan perubahan mukosa saluran nafas akibat adanya paparan terhadap iritan dan menimbulkan manifestasi klinik berupa distress pernafasan. Reaksi tersebut berupa inflamasi akut dengan edema dan hipersekesi mukosa saluran nafas. Iritan ini jarang merupakan kontak langsung dengan sumber panas karena adanya refleks pernafasan dengan upaya menahan nafas. Iritan biasanya berupa produk toksik dari sisa pembakaran tidak sempurna (toxic fumes) ayau zat kimia. Hal ini dimungkinkan terjadi pada kecelakaan disebabkan api atau zat kimia di ruang tertutup atau korban dalam keadaan tidak sadar. Edema mukosa yang masif di saluran bagian atas menyebabkan obstruksi lumen, biasanya terjadi kurang dari 8 jam pasca cedera yang menyebabkan sumbatan total saluran nafas atas. Perubahan inflamatorik mukosa bagian bawah biasanya terjadi empat sampai lima hari setelah trauma. 2. Gangguan mekanisme bernafas Adanya eskar melingkar di permukaan dinding dada, menyebabkan gangguan ekspansi rongga dada pada saat respirasi, sehingga volume inspirasi berkurang sehingga menyebabkan gangguan secara tidak langsung pada oxygen exchange.
3. Gangguan sirkulasi Gangguan sirkulasi terjadi pada luka bakar disebabkan perubahan permeabilitas kapiler, perubahan tekanan onkotik dan tekanan hidrostatik yang diikuti ektravasasi cairan dengan manifestasi hipovolemik dan penimbunan cairan di runag interstisiil (edema). Reaksi yang timbul akibat adanya system homeostasis tersebut adalah dengan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Sirkulasi dipertahankan melalui kompensasi organ jantung untuk memenuhi perfusi organ-organ vital di tingkat sentral seperti otak, jantung, paru.
2. Fase subakut Pada fase ini didominasi dengan permasalahan sekitar kehilangan kulit dan jaringan yang menyebabkan penguapan cairan , elektrolit dan protein. Jaringan nekrosis menyebabkan dua hal utama, yaitu pelepasan mediator inflamasi yang menginduksi hipermetabolisme dan SIRS yang berakhir dengan SDOM (syndrome Disfungsi Organ Multipel) dan masalah infeksi (sepsis). 3. Fase lanjut Parut hipertrofik dan kontraktur. Luka yang mengalami penyembuhan dalam waktu 10 hari memiliki tendensi timbulnya parut hipertrofik 4%, bila penyembuhan lebih dari 21 hari memiliki tendensi parut hipertrofik 75 %. 2
Luka bakar mengakibatkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga air, klorida dan protein tubuh akan keluar dari dalam sel dan menyebabkan edema yang dapat berlanjut pada keadaan hipovolemia dan hemokonsentrasi. Burn shock ( shock Hipovolemik ) merupakan komplikasi yang sering terjadi.
Zona luka bakar : 1. Zona koagulasi : Daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi Protein) akibat pengaruh panas. 2. Zona Stasis : Daerah yang berada di luar Zona koagulasiterjdi, pada daerah ini terjadi kerusakan enotel pembuluh darah , trombosit, lekosit, dan gangguan perfusi jaringan, perubahan permeabilitas kapiler. 3. Zona Hiperemi : Daerah di luar zona stasis dimana terjadi vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi.
Luas Luka Bakar Banyak metoda perhitungan luka bakar, dari yang sederhana seperti rule of thumb, yaitu luas dihitung 1% setiap ukuran sebesar telapak tangan penderita. Luas luka bakar dinyatakan dalam % terhadap luas seluruh tubuh. Pada dewasa digunakan rumus 9. yaitu, luas kepala dan leher, dada, punggung, perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9 %. Sisanya 1 persen ada daerah genital. Pada bayi digunakan rumus 10 , sedangkan pada anak digunakan rumus 10-15-20. Untuk anak: kepala dan leher 15%, badan depan dan belakang masing-masing 20%, ekstremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10%, ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing 15%. Prognosis dan penanganan ditentukan oleh dalam dan luas permukaan yang terkena, juga oleh letak luka yang terbakar, usia, dan keadaan kesehatan penderita. Daerah perineum, ketiak, leher dan tangan sulit perawatannya antara lain karena mudah mengalami kontraktur. Karena bayi dan orang lanjut usia daya kompensasinya lebih rendah, maka prognosisnya lebih buruk.
Derajat Luka Bakar Dikelompokkan beradasarkan kedalaman kerusakan yang terjadi. Klasifikasi tradisional mengenal luka bakar derajat I, II, dan III, sedangkan sekarang digolongkan menjadi 1. Superficial thickness (grd I) 2. Partial thickness superficial (grd IIa) 3. Partial thickness deep (grd II b) 4. Full thickness (grd III) Klasifikasi dan temuan klinis
Derajat I II III Bagian Kulit yang Rusak Epidermis Epidermis dan sebagian dermis Epidermis, dermis, dan lapisan di bawahnya Bula - + - Dasar Hiperemis Merah/pucat Putih/pucat Eskar - - + Nyeri +, karena ujung saraf tidak terganggu + -
Berdasarkan berat ringannya luka bakar, diperoleh beberapa kategori luka bakar menurut American Burn Association: 1. Luka bakar berat/ kritis (major burn) 1. Derajat II-III > 20% pada pasien berusia < 10 tahun atau diatas 50 thn. 2. Derajat II- III > 25 % pada kelompok usia selain yang disebutkan pada butir pertama 3. Luka bakar pada muka, telinga tangan, kaki dan perineum 4. Adanya cedera pada jalan napas tanpa memperhitungkan luas luka bakar. 5. Luka bakar listrik tegangan tinggi 6. Disertai trauma lainnya 7. Pasien-pasien dengan resiko tinggi 2. Luka bakar sedang/moderate 1. Luka bakar dengan luas 15-25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %. 2. Luka bakar dengan luas 10-20% pada anak usia kurang 10 thn atau dewasa lebih dari 40 thn, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %. 3. Luka bakar dengan derajat III kurang dari 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai muka, tangan, kaki dan perineum. 3. Luka bakar ringan 1. Luka bakar dengan luas kurang dari 15 % pada orang dewasa. 2. Luka bakar dengan luas kurang dari 10 % pada anak-anak 3. Luka bakar dengan luas kurang dari 2 % pada segala usia yang tidak mengenai muka, tangan, kaki, perineum. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium darah yaitu darah rutin, ureum kreatinin, elektrolit, GDS dan analisa gas darah merupakan data dasar untuk menilai dan diagnosis awal keadaan penderita. Pada pemeriksaan radiologi foto thoraks, apabila dicurigai adanya trauma inhalasi, dan pasca pemasangan CVP. Pemeriksaan kultur dan resistensi tes. Komplikasi 1. Syok, karena kehilangan cairan 2. Sepsis/toksis 3. Gagal ginjal mendadak 4. Pneumonia Penatalaksanaan Pre-hospital 1. Sedapat mungkin penanganan ABC (sesuai ATLS) 2. Jauhkan dari sumber luka bakar 3. Ingatkan pada orang yang terbakar jangan lari atau berdiri karena api akan lebih besar 4. Padamkan api dengan disiram air, tutup kain basah atau berguling 5. Bilas dengan air jika luka bakar kimiawi, jangan dengan anti karena akan timbul reaksi panas 6. Trauma listrik putuskan aliran 7. Pada keracunan CO biasanya karena terjebak dalam ruangan tertutup, timbul gejala seperti pusing, sakit kepala dan muntah-muntah, terapi dengan oksigen murni 8. Lepaskan pakaian dan perhiasan 9. Early cooling, siram air 10. Jangan es/ice-pack ! 11. Luka bakar kimia : irigasi sebanyak-banyaknya, jangan netralisir. 12. Luka bakar listrik : padamkan sumber, gunakan non-conducting. Penanganan di Emergensi Tindakan penyelamatan jiwa sesuai dengan prosedur ATLS. Penanganan: 1. Bebaskan jalan nafas, perhatikan kemungkinan edema laring. 2. Oksigen lembab 5 liter/mnt 3. Resusitasi cairan sesuai formula Baxter-Parkland, 4. Monitoring tanda-tanda vital, diuresis dari waktu ke waktu 5. Pemasangan CVP bila luas luka bakar 40 %, dengan nilai normal pada fase akut adalah 0 2 cmH20 6. NGT apabila diperlukan, 7. Kateter untuk monitoring diuresis 8. Antitetanus profilaksis 9. Antibiotik spektrum luas 10. Analgetik, bila perlu golongan narkotik dengan pengawasan ketat 11. Debridement dalam narkose bila keadaan umum pasien sudah stabil. Tindakan debridemen dapat diulangi sesuai kondisi pasien 12. Penutupan defek dengan skin grafting 13. Perawatan luka dengan antibiotik topikal (silversulfadiazine, MEBO,dll) Indikasi rawat : 1. Derajat 2 > 15% pada dewasa, > 10% pada anak 2. Derajat 2 pada muka, tangan, kaki, perineum, atau persendian 3. Derajat 3 > 2% dewasa, setiap derajat 3 pada anak berapapun luasnya 4. Disertai trauma jalan nafas, luka listrik dan komplikasi lain Perawatan RS Apabila termasuk kriteria luka bakar sedang dan berat (sesuai American Burn Association) maka pasien dirawat : 1. Di burn unit bila tersedia 2. Rawat inap biasa/isolasi bila burn unit tidak tersedia 3. Dirawat di ICU sampai kondisinya stabil. Kemudian dapat dipindahkan ke burn unit bila tersedia. 4. Tindakan definitif berupa: Debridement ulang, escarotomi/escarectomy Penutupan defek dengan STSG/FTSG Fisioterapi