Anda di halaman 1dari 4

Berdasarkan berbagai data serta hasil penelitian banyak pihak, masalah gizi di Indonesia,

selain gizi buruk juga masih tingginya kasus gizi kurang. Belum lagi terjadinya trend
peningkatan masalah gizi lebih yang semakin meningkat. Menurut sebuah penelitian, tingkat
morbiditas pada balita mencapai 34,3 % pada umur
Masalah ini menjadi sangat penting untuk ditindak lanjuti, karena pada periode masa Balita,
merupakan periode masa kritis. Masa ini merupakan periode optimalisasi pertumbuhan dan
perkembangan otak. Menurut Depkes RI (2006) masalah kurang gizi masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat dan dapat menjadi penyebab kematian terutama pada kelompok resiko
tinggi (bayi dan balita). Gizi kurang pada balita tidak terjadi secara tiba tiba, tetapi diawali
dengan keterbatasan kenaikan berat badan yang tidak cukup. Perubahan berat badan balita
dari waktu kewaktu merupakan petunjuk awal perubahan status gizi balita. Dalam periode 6
bulan, bayi yang berat badannya tidak naik dua kali berisiko mengalami gizi kurang 12,6 kali
di bandingkan pada balita yang berat badannya naik terus.
Sebagaimana kita ketahui, salah satu cara mengetahui kesehatan dan pertumbuhan anak
dilakukan dengan memantau hasil penimbangan berat badan pada setiap bulan. Di Posyandu
hal ini dilakukan dengan menggunakan alat ukur pemantauan KMS atau kartu menuju sehat.
Kartu ini antara lain berfungsi sebagai alat bantu pemantauan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan anak.
Salah satu pengertian gizi buruk merupakan suatu keadaan kekurangan konsumsi zat gizi
yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan seharihari,
sehingga secara klinis terdapat tiga tipe, marasmus , kwashiorkor, dan marasmus kwashiorkor
Roedjito (1989), masalah kurang gizi dapat mencakup kekurangan energi, protein, zat besi,
juga kekurangan vitamin A. Sedangkan pendekatan masalah kurang gizi meliputi tiga
klasifikasi, antara lain keadaan biologi (yang mencakup umur, jenis kelamin, keadaan
fisiologis, gangguan penyakit infeksi, keadaan kesehatan), keadaan fisik (yang meliputi
pedesaan atau perkotaan dan ekologi daerah seperti hutan, rawa-rawa, pegunungan, dataran,
sumber makanan, petani dan pasar), serta keadaan sosial ekonomi dan kebudayaan meliputi
suku dan budaya, status sosial ekonomi, pendapatan, luas tanah).

Sementara menurut Azwar (2005), faktor kemiskinan merupakan penyebab mendasar yang
mengakibatkan masalah gizi kurang akibat minimnya asupan gizi dan tingginya penyakit
infeksi. Sedangkan menurut Kurniawan et all (2001), masalah inti yang menjadi penyebab
gizi kurang antara lain karena keadaan keluarga memburuk, pendidikan dan penyediaan
bahan makanan tidak baik, serta kurangnya hasil pertanian, sehingga menyebabkan
kurangnya ketersediaan makanan pada skala rumah tangga. Juga karena minimnya akses
rumah tangga pada sarana pelayanan kesehatan.
Pada dasarnya keadaan gizi kurang tidak semata masalah kesehatan tetapi juga masalah non
kesehatan, tidak semata masalah ekonomi tetapi juga masalah non ekonomi. Kebijakan
dalam pencegahan dan penanggulangan gizi buruk menurut Depkes RI (2006), antara lain
dilakukanp pendekatan pemberdayaan masyarakat yaitu dengan meningkatkan akses untuk
memperoleh informasi serta keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan.
Peningkatan insidensi dan sebaran kasus kurang gizi disebabkan oleh banyak faktor /
permasalahan, seperti faktor biologis yang meliputi umur, jenis kelamin, penyakit infeksi
kronis yang diderita oleh balita di daerah dengan kasus gizi kurang.

(Penyebab Kurang Gizi Menurut Unicef, 1998)
Sementara pada faktor geografi, sosial ekonomi dan politik, antara lain akan menyangkut
ketersediaan ketersediaan lahan, ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh,
penyakit infeksi dan non-infeksi, kesehatan lingkungan, pendidikan, kemiskinan, juga faktor
kebijakan.
Masalah gizi buruk dan gizi kurang berpengaruh erat pada kualitas sumber daya manusia.
Menurut Depkes RI (2006), pada tahun 2006 masih sekitar 28% dari jumlah balita di
Indonesia mengalami gizi kurang.
Terkait kompleksitas masalah gizi, menurut Depkes RI (2005), berbagai upaya dan kegiatan
penanganan kasus gizi, antara lain dilakukan dengan :
1. Penanggulangan kurang vitamin A ( KVA ) yaitu pendistribusian pada bayi di bulan
Pebruari dan Agustus.
2. Penanggulangan kurang gizi dengan pemberian makanan tambahan
3. Penanggulangan anemia gizi dan besi
4. Penanggulangan gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY)
5. Penimbangan Balita
Berbagai usaha telah dilakukan sebagai upaya perbaikan gizi, antara lain melalui usaha
promosi gizi seimbang, penyuluhan gizi di posyandu, fortifikasi pangan, pemberian makanan
tambahan termasuk MP-ASI, pemberian suplemen gizi seperti kapsul vitamin A dan Fe,
pemantauan dan penanggulangan gizi buruk, gerakan ASI Eksklusif, keanekaragaman
makanan, juga penggunaan garam beryodium. Kita masih memerlukan inovasi dan usaha
lebih untuk menyelamatkan anak cucu generai bangsa ini, dengan peran kita dalam berbagai
aspek dan tingkatan.
Referensi, antara lain :
Pencegahan dan penanggulangan gizi buruk. Depkes RI. 2006.
Program Perbaikan Gizi Masyarakat, Direktorat Gizi Masyarakat. Jakarta. Depkes RI.
2005
Kecendrungan Masalah Gizi dan Tantangan di masa depan Disampaikan pada
Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi Menuju Keluarga Sadar Gizi, Azwar,
A.,(2005)
The State of the Worlds Children 1998. Oxford University Press. Unicef. 1998.

Anda mungkin juga menyukai