SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
KAJIAN YURIDIS TENTANG JAMINAN KEPASTIAN HUKUM BAGI INVESTASI ASING DI INDONESIA
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SUKIRAN 067011085/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Judul Tesis : KAJIAN YURIDIS TENTANG JAMINAN KEPASTIAN HUKUM INVESTASI ASING DI INDONESIA Nama : Sukiran NIM : 067011085 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Sanwani Nasution, S.H) Ketua
(Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI) Anggota (Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum) Anggota
Mengetahui:
Ketua Program Studi
Direktur
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,M.S.,C.N) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Tanggal Lulus: 18 September 2008 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Telah Diuji Pada
Tanggal: 18 September 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Sanwani Nasution, S.H. Anggota : 1. Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI. 2. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum. 3. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. 4. Dr. T. Keizerina Devi Anwar, S.H., C.N., M.Hum. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
ABSTRAK
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Oleh karena itu menjadi permasalahan tentang jaminan kepastian hukum bagi investasi asing menurut ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia, dan kewenangan Pemerintah Daerah terhadap investasi asing menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang dilakukan secara pendekatan yuridis normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan perundang-undangan hukum investasi di Indonesia yang didukung dengan wawancara kepada narasumber pada BAINPROM Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan hasil penelitian diketahui, jaminan kepastian hukum investor asing menurut UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 adalah pada prinsipnya Pemerintah tidak akan melakukan pengambialihan atau nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, dan jika terpaksa harus dilakukan pengambilalihan, maka kepada investor akan diberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar (Pasal 7), dan jika tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi atau terjadinya sengketa investasi asing di Indonesia, penyelesaiannya dapat dibawa ke lembaga lembaga arbitrase (Pasal 32). Lembaga arbitrase yang dimaksud adalah Internasional Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID), karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi ICSID dengan UU No.5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam kaitan investasi asing sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2008 yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah provinsi ataupun kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 13 ayat 1 butir n dan Pasal 14 ayat 1 butir n, adalah kewenangan untuk pelayanan administrasi penanaman modal. Berhubung pemerintah sudah meratifikasi lembaga arbitrase dalam undang- undang, maka sebaiknya ditegaskan penyelesaian sengketa antara WNA dengan pemerintah dalam hal penanaman modal melalui lembaga arbitrase internasional namun tetap menjunjung asas kebebasan berkontrak. Dengan kata lain tetap mengacu pada ketentuan Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase jo Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, bahwa putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Kemudian perlu lebih tegas batasan pelayanan administrasi penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, sehingga tidak terjadi persepsi yang berbeda antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh karena itu Pemerintah harus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah dengan mempedomani UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah. Kata kunci: Jaminan hukum; Investasi Asing. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
ABSTRACT
Target of management of investment can only be reached by if supporter factor pursuing investment climate can be overcome, for example passing repair co-ordinate between Central Government with Local Government, creation of efficient bureaucracy, rule of law in capital cultivation area, expense of highly competitive economics, and also effort climate which is conducive in labour and security business of. Therefore become problems about rule of law guarantee to foreign investment according to Law of Investment in Indonesia, and regulations Local Government authority to foreign investment according to regulation of Local Governance. The character of this research is descriptive of conducted analysis normative approach, because this research represent research of conducted document study or bibliography or addressed only at law and regulation punish investment in Indonesia which is supported with interview to guest speaker at BAINPROM North Sumatra Province. Pursuant to result of research known, rule of law guarantee to foreign investor according to Law No. 25 Year 2007 is in principle Government will not conduct foreign company nationalization in Indonesia, and if its cannot help conducted by nationalization, hence to investor will be given by compensation which is its amount is specified pursuant to market price (Section 7), and otherwise there is agreement concerning indemnation or the happening of foreign investment dispute in Indonesia, its solution can be brought to institute institute arbitrate (Section 32) such Arbitrate institute is International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID), because Indonesia have ICSID with Law No. 5 Year 1968 about Solving of Dispute Between State and Foreign Citizen Concerning Investment. Authority of Local Governance in foreign investment bearing as according to Law No. 12 Year 2008 becoming local government business is obliged to province and or sub-province/arranged town in Section 13 article 1 n item and Section 14 article 1 n item, is authority for the administrative services of foreign investment. Referring to Government have ratified arbitrate institute in law, hence better be affirmed by the solving of dispute between WNA with Government in the case of investment through international arbitrate institute but remain to contract business principle. Equally remain to relate at rule of Section 66 Law No. 30 Year 1999 about Arbitrate jo Regulation of Supremacy Court (Peraturan Mahkamah Agung) No.1 Year 1990 about International Execution Decision Arbitrate, that international arbitrate decision can only be executed in Indonesia limited to decision which do not oppose against public interest. Then need more coherent investment administrative services definition becoming local governance authority, so that do not happened different perception between central government and local government. Therefore Government have to immediately publish Governmental Regulation with guidance of Law No. 12 Year 2008 about Local Government.
Keyword: Investment Guarantee; Foreign Investment. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
KATA PENGANTAR Pertama-tama dengan segala kerendahan hati dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan anugrah-Nya yang telah menambah keyakinan dan kekuatan bagi penulis dengan segala keterbatasan yang dimiliki telah dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Sanwani Nasution, S.H., Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., MLI., dan Ibu Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum atas kesediaannya memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Kemudian juga, kepada para dosen penguji di luar komisi pembimbing, yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H dan Bapak Dr. T. Keizerina Devi Anwar, S.H., C.N., M.Hum yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Chairudin P. Lubis, DTM&H., Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh Staf atas bantuan dalam memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn.) Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan. 5. Kepada seluruh rekan-rekan seangkatan mahasiswa Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selalu membantu dan memotivasi penulis dalam rangka penyelesaian studi Program Magister Kenotariatan (M.Kn). Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang selalu mengasihi, Ayahanda Soe Tjiu Hoe dan Ibunda Tok Saikim yang selalu memberikan limpahan kasih sayang dan nasihat untuk berbuat sesuatu yang terbaik demi masa depan penulis. Demikian juga kepada orang tua mertua, yang telah memberikan motivasi untuk penyelesaian studi. Ucapan terima kasih kepada isteri tercinta Anny dan anak-anakku tersayang Yudha Pratama dan Ovilya yang menjadi motivasi penulis sejak dalam masa studi sampai dengan penulisan dan penyelesaian tesis ini. Akhir kata kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebaikan, ketulusan dan dukungan serta doa kepada penulis selama proses penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amen.
Medan, 18 September 2008 Penulis,
Sukiran Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi Nama : Sukiran Tempat/ Tgl. Lahir : 15 Februari 1975 J enis Kelamin : Laki-Laki Status : Menikah Agama : Budha Alamat : J l. J emadi Gg. Bahagia II No. 23 Kelurahan Pulo Brayan Darat II, Kecamatan Medan Timur, Kota Medan. II. Orang Tua Nama Ayah : Soe Tjiu Hoe Nama Ibu : Tok Saikim
III. Pendidikan 1. SD Teladan Medan, Tamat Tahun 1983 2. SMP Teladan Medan, Tamat Tahun 1989 3. SMA Letjen S. Parman, Tamat Tahun 1992 4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, Tamat Tahun 1999. 5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana USU Medan Tahun 2006 - 2008.
Medan, 18 September 2008 Penulis,
Sukiran Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK.................................................................................................... i ABSTRACT.................................................................................................. ii KATA PENGANTAR ................................................................................. iii RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................ vii DAFTAR TABEL ........................................................................................ x DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xi BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1 A. Latar Belakang...................................................................... 1 B. Permasalahan ....................................................................... 18 C. Tujuan Penelitian ................................................................. 18 D. Manfaat Penelitian ............................................................... 18 E. Keaslian Penelitian ............................................................... 19 F. Kerangka Teori dan Konsepsi .............................................. 19 1. Kerangka teori ................................................................ 19 2. Konsepsi ......................................................................... 29 G. Metode Penelitian ................................................................ 30 BAB II. TINJ AUAN TENTANG INVESTASI ASING..................... 33 A. Pengertian Investasi Asing............................................. 33 B. Bentuk Kerjasama dan Bidang Usaha Investasi Asing ........ 35 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
C. Perbedaan Investasi Asing Langsung dan Tidak Langsung ...................................................................... 65 D. Prosedur Penanamn Modal Asing dan Masalah Yang Dihadapi ....................................................................... 70 BAB III. J AMINAN KEPASTIAN HUKUM BAGI INVESTASI ASING MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL... 76 A. Substansi Baru, Insentif dan Pembatasan Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ......................................................... 76 1. Substansi Baru dalam Undang-Undang Penanaman Modal ...................................................................... 76 2. Insentif dalam Undang-Undang Penanaman Modal .. 80 3. Pembatasan dalam Undang-Undang Penanaman Modal ...................................................................... 107 B. Respon dan Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal yang Baru......................................... 113 1. Respon terhadap Undang-Undang Penanaman Modal .. 113 2. Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal ...................................................................... 126 C. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan ................ 138 D. J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia ...................................................................... 143 BAB IV. KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP INVESTASI ASING MENURUT UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH............................................................................. 155 A. Pelimpahan Wewenang Pengelolaan Penanaman Modal Kepada Pemerintah Daerah ........................................... 155 B. Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Investasi Asing Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah......................................... 164 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................... 170 A. Kesimpulan .......................................................................... 170 B. Saran .................................................................................... 171 DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 172 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perbedaan Antara Investasi Asing Langsung dan Investasi Tidak Langsung ......................................................................... 69 Tabel 2. Bahan Masukan Muatan Materi RPP Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Penanaman Modal Sumatera Utara ........ 162 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
DAFTAR SINGKATAN
APEC : Asia Pasific Economic Country APIT : Angka Pengenal Importir Terbatas BAINPROM : Badan Investasi dan Promosi BAMI : Badan Arbitrase Muamalat Indonesia BANI : Badan Arbitrase Nasional Indonesia BKPM : Badan Koordinasi Penanaman Modal CSR : Corporate Social Responsibility DNI : Daftar Negatif Investasi DSP : Daftar Skala Prioritas FDI : Foreign Direct Investment FII. : Foreign Indirect Investment ICSID : The International Center for the Settlement of Investment Disputes. IFC : International Finance Corporation IKTA : Izin Kerja Tenaga Asing ISIC : International Standard for Industrial Classification KBLI : Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia KPPOD : Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah LoI : Letter of Intent MIGA : Multilateral Investment Guarentee Agency PMA : Penanaman Modal Asing PMDN. : Penanaman Modal Dalam Negeri PMN : Perusahaan Multi Nasional RKL : Rencana Pengelolaan Lingkungan ROI : Return On Investment RTRW : Rencana Tata Ruang dan Wilayah SPI : Sales and Profit Income TDP : Tanda Daftar Perusahaan UKL : Upaya Pengelolaan Lingkungan UMKMK : Usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi WTO : World Trade Organization
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya perekonomian di banyak negara mengakibatkan interdepensi pada akhirnya menciptakan derajat keterbukaan ekonomi yang semakin tinggi di dunia, yang terlihat bukan hanya pada arus peningkatan barang tapi juga pada arus jasa serta arus uang dan modal. Pada gilirannya arus investasi di dunia semakin mengikuti perkembangan keterbukaan ini, sehingga dewasa ini peningkatan arus investasi itulah yang memacu arus perdagangan di dunia. 1
Untuk itu, cukup beralasan jika setiap negara saling bersaing untuk menarik calon investor khususnya investor asing (Foreign Direct Investment atau FDI) untuk menanamkan modal di negaranya. Dalam suasana seperti ini peluang yang begitu terbuka di era globalisasi agaknya perlu disikapi secara positif. Perdebatan tentang globalisasi itu sendiri hingga saat ini masih terus berlangsung. Namun apa pun alasannya, terjadinya globalisasi dalam berbagai hal termasuk dalam penanaman modal suatu hal sulit dihindari. Satu hal yang pasti bahwa transformasi, penetrasi, modernisasi, dan investasi merupakan bagian dari banyak hal yang akan memberi ciri sebuah dunia global yang tidak lagi mengenal batas-batas teritorial. Dalam suasana seperti ini penting untuk disadari bahwa memasuki arena pasar global, tentunya harus
1 Yanto Bashri (ed), Mau Ke Mana Pembangunan Ekonomi Indonesia Prisma Pemikiran Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Predna Media, J akarta, 2003, hal. 12-13. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
disertai persiapan yang matang dan terintegrasi terlebih lagi jika ingin mengundang investor asing. 2
Kehadiran investor asing dalam suatu negara menimbulkan berbagai pendapat dengan argumentasi masing-masing. Pendapat tersebut antara lain ada yang mengemukakan, kehadiran investor asing dapat mengancam industri dalam negeri sendiri dan bahkan mungkin mengancam kedaulatan negara. Hal ini bukannya tidak disadari oleh negara penerima modal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Rusdin: Salah satu kritik terhadap globalisasi adalah meningkatnya ketergantungan antara ekonomi global, kekuatan ekonomi yang menggantikan dominasi pemerintah dan memfokuskan ke arah organisasi perdagangan bebas (WTO). Ketika dunia ini menjadi salah satu pasar berakibat pada semakin kuatnya interdepensi atau saling ketergantungan antara satu negara dengan negara lainnya yang sama-sama mempunyai kedaulatan nasional. J adi yang sebenarnya terjadi bukanlah satu negara tergantung pada negara lainnya, melainkan suatu situasi dan kondisi di mana semuanya saling memerlukan untuk mempertahankan keseimbangan politis, ekonomis dan tentu pula dalam rangka pemenuhan kepentingan masing-masing negara. 3
Oleh karena itu, terbukanya hubungan antara satu negara dengan negara lainnya, terlebih lagi bagi negara-negara yang selama ini menutup diri dengan dunia luar, mulai membuka diri. Hal ini berarti peluang untuk berinvestasi cukup luas. Negara penerima modal pun menyadari bahwa implikasi yang akan muncul dengan kehadiran investor asing di negara suatu hal yang sulit untuk dihindari. Negara membutuhkan modal dalam membangun berbagai sektor. Modal yang dimaksud disini, tidak semata-mata berupa dana segar, akan tetapi meliputi teknologi, keterampilan serta sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya alam dan potensi ekonomi lainnya.
2 Freddy Roeroe dkk., Batam Komitmen Setengah Hati, Aksara Karunia, Jakarta, 2003, hal. 108. 3 Rusdin, Bisnis Internasional dalam Pendekatan Praktik, Jilid 1, Alfabeta, Bandung, 2002, hal. 34. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Modal dibutuhkan untuk mengelola sumber daya alam dan potensi ekonomi yang berada di bawah otoritas negara. Adanya pengelolaan secara optimal terhadap sumber daya alam dan potensi ekonomi yang ada, diharapkan ada nilai tambah tidak saja bagi negara akan tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya. Adapun wujud pengelolaan sumber daya alam dan potensi ekonomi yang ada tersebut antara lain dapat dilakukan oleh investor baik lokal maupun asing. Dalam berbagai kepustakaan ekonomi atau hukum bisnis, terminologi penanaman modal dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung oleh investor lokal (domestic investor), investor asing (foreign direct investment atau FDI) dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak asing (foreign indirect investment atau FII). Untuk yang terakhir ini dikenal dengan istilah penanaman modal dalam bentuk portofolio yakni pembelian efek lewat Lembaga Pasar Modal (Capital Market). 4 Menurut Gunarto Suhardi, Investasi langsung (FDI) lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena investasi langsung lebih permanen. 5
Motivasi investor asing dalam melakukan investasi tidak dapat dilepaskan dari perhitungan bisnis, sehingga di satu sisi kehadiran investasi asing sangat dibutuhkan, terlebih bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Di sisi lain, ada kekhawatiran berbagai pihak investor hanya berpikiran bisnis.
4 Investasi dalambentuk portofolio atau pembelian efek lewat pasar modal diatur dalamUndang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. DalamPasal 1 butir 13 disebutkan, pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umumdan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasal 1 butir 5 mengemukakan, efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi, kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Portofolio efek adalah kumpulan efek yang dimiliki oleh pihak (Pasal 1 butir 24). 5 Gunarto Suhari, Beberapa Elemen Penting dalam Hukum Perdagangan Internasional, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2004, hal. 45. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Sebagaimana dikemukakan Robert Gilpin dan J ean Milies Gilpin dalam Haris Munadar: Para penerima investasi asing langsung (FDI), bersikap mendua menyangkut kegiatan perusahaan multi nasional. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa investasi asing langsung (FDI) membawa modal dan teknologi berharga ke dalam negara. Di sisi lain, mereka takut didominasi dan dieksplotasi perusahaan- perusahaan yang kuat ini. 6
Sejumlah pakar ekonomi mengkaitkan ekspansi perusahaan multi nasional (PMN) ke negara berkembang dengan dampak positif yang ditimbulkan oleh aktivitas PMN sehingga mendorong pemerintah negara berkembang untuk lebih membuka diri bagi investasi asing. Mereka pada umumnya bersepakat bahwa negara berkembang menginginkan investasi asing karena manfaat langsung yang dapat dirasakan dari kehadiran PMN. Dampak positif dari kehadiran PMN yakni pertama memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi suatu negara; kedua menciptakan lapangan kerja baru dan ketiga modal yang dibawa oleh PMN dapat memperbaiki neraca pembayaran negara berkembang. 7
Dengan demikian, perlu dicari hubungan antara motif investor mencari untung dengan tujuan negara penerima modal yakni usaha untuk mencapai tujuan pembangunan nasionalnya. Agar investor mau menanamkan modalnya maka pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana serta fasilitas lainnya. Sebagai konsekuensi, maka pemerintah perlu menyelenggarakan perencanaan dengan mantap, termasuk menetapkan kebijakan pelaksanaan dan pengawasan yang efektif sehingga tercapai tujuan pembangunan nasional. Dengan pendekatan ini, maka peran investor
6 Robert Gilpin dan J ean Milies Gilpin, The Challenge of Global Capitalism (Tantangan Kapitalisme Global) Penerjemah: Haris Munadar, Dudy Priatna, Raja Grafindo Persada, J akarta, 2002, Edisi 1, Cetakan 1, hal. 173. 7 Bos Sugeng Hadiwinata, Politik Bisnis Internasional, Kanisius, Yogyakarta, 2002, Cet 1, hal. 146. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
dapat diarahkan ke prioritas pembangunan. Dengan pendekatan semacam ini, maka teori pembangunan merupakan satu proses kerjasama dan bukan masalah ketergantungan dan bukan pula masalah pertentangan kepentingan. 8
Faktor yang terdekat atau utama yang mendorong perusahaan dari perusahaan negara industri baru untuk memindahkan modalnya ke luar negeri, karena meningkatnya biaya lahan dan tenaga kerja di negaranya, akibatnya hasil produksi tidak mempunyai daya saing. Selain faktor upah, juga dipengaruhi oleh perselisihan perburuhan yang tidak jarang disertai dengan kekerasan. 9
Faktor lain disebabkan kebijakan pemerintah negara asal investor dan sikap positif pemerintah negara industri baru terhadap penanaman modal di luar negeri. Sebagai contoh sejak tahun 1986, pemerintah Taiwan menghapuskan pengawasan devisa. Hal ini berarti mempermudah pengusaha Taiwan untuk menanamkan modalnya ke luar negeri. Demikian juga halnya pemerintah Korea Selatan mendorong penanaman modal ke luar negeri. Selain itu, sejak tahun 1987 pemerintah Korea Selatan mengirim misi pengkaji ke Indonesia untuk menganalisis lingkungan penanaman modal di Indonesia, dan menyediakan informasi bagi para penanam modal prospektif Korea di samping mengorganisasi pertemuan-pertemuan orientasi mereka yang melakukan penanaman modal di Indonesia. 10
Dengan demikian kehadiran investor membawa manfaat bagi Indonesia sebagai penerima modal untuk kelangsungan pembangunan, di sisi lain investor yang
8 Sumantoro, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal/Problems of Investment in Equities and in Securities, Binacipta, Bandung, 1990, hal. 59. 9 Thee Kian Wie, Industrialisasi di Indonesia berbagai Kajian, LP3ES, J akarta, 1996, Cetakan Kedua, hal. 149. 10 Ibid. hal. 149. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
hendak menanamkan modalnya juga tidak lepas dari orientasi bisnis yaitu modal yang diinvestasikan aman dan bisa menghasilkan keuntungan. Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka bila suatu negara ingin menjadi tujuan investasi asing perlu menciptakan iklim usaha yang memadai. Artinya dilihat dari perspektif hukum ada aturan yang jelas. Itulah sebabnya mengapa para pemimpin pemerintahan mengadakan berbagai pertemuan internasional untuk menyatukan persepsi dalam merumuskan norma-norma yang terkait dengan investasi. Dengan kata lain, dengan adanya pertemuan baik secara bilateral maupun multilateral yang wujud konkretnya dalam perjanjian internasional bisa diangkat menjadi hukum nasional dengan mengadopsi norma-norma atau nilai-nilai yang terkandung dalam tatanan global. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini, dalam berbagai pertemuan para pemimpin APEC, telah disepakati berbagai hal antara lain pada pertemuan bulan November 1994, Indonesia sebagai tuan rumah pertemuan anggota APEC mengeluarkan deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Bogor. Dalam pertemuan tersebut, para pemimpin negara anggota APEC menyepakati sejumlah asas-asas yang tidak mengikat dalam bidang investasi (nonbinding investment principles), antara lain: 11
a. Transparency (keterbukaan) b. Nondiscriminatory between source economics (non diskriminasi antar sumber ekonomi). c. National treatment (perlakuan nasional) d. Investment incentives (rangsangan investasi) e. Performance requirement (persyaratan kinerja) f. Dispute settlement (penyelesaian sengketa) g. Avoidance of double taxation (penghindaran pajak berganda) h. Investor behavior (perilaku investor) i. Removal of barriers to foreign capital (penghapusan rintangan modal asing). j. Penyelesaian sengketa Penanaman Modal Asing (PMA) melalui lembaga arbitrase.
11 M. Solly Lubis, Sistem Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 35. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Pertemuan para pemimpin dunia yang cukup berpengaruh dalam dunia bisnis yakni pembentukan World Trade Organization (WTO). Bagi Indonesia sendiri, jauh sebelum ditandatanganinya Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994, sudah mulai timbul pemikiran dari para ahli hukum bahwa ketentuan yang mengatur tentang investasi secara langsung (FDI) yang dibuat sekitar empat puluh tahun yang lalu, dianggap sudah tidak memadai lagi sebagai dasar hukum untuk menarik investor, baik investor asing maupun dalam negeri. 12 Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam World Investment Report (WIR) 2003, dari 140 negara tujuan investasi yang disurvei, dilihat dari indeks kinerja investasi ternyata Indonesia masuk dalam urutan ke 138. 13
Untuk memacu kegiatan investasi, Pemerintah Indonesia ketika memasuki awal tahun 2002 telah mencanangkan sebagai tahun investasi. Namun tingkat kehadiran investasi asing ke Indonesia belum berjalan sesuai dengan harapan. J ika ditelusuri lebih seksama mengapa kegiatan investasi berjalan lamban, agaknya ada beberapa faktor yang cukup mempengaruhi, 14 antara lain: a. Faktor Politik Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya ke suatu negara adalah kondisi di negara tujuan investasi, apakah kondisi politiknya stabil atau tidak. Sebab dengan tidak adanya kestabilan politik
12 Peter Kuin (Penyunting) dengan Kata Pengantar Sjahrir, Perusahaan Transnasional, J akarta: Gramedia Obor, 1987, hal. 2. 13 WIR 2003 yang dipublikasikan oleh UNCTAD, dalam www.unctad.org. 14 Hulman Panjaitan, Hukum Penanaman Modal, Indhill Co., J akarta, 2002, Cetakan 1, hal. 8-13. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
sulit untuk memprediksi kebijakan apa yang akan diambil oleh pemerintah yang berkaitan dengan dunia usaha. b. Faktor Ekonomi Faktor ekonomi dan politik dalam investasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, artinya adanya stabilitas politik dapat menggerakkan roda perekonomian. Oleh karena itu tidak mengherankan, dengan terselenggaranya pelaksanaan Pemilihan Umum 15 sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan, pihak yang terkait dengan masalah investasi dengan rasa optimis menyampaikan kepada masyarakat, sekaranglah saatnya untuk berinvestasi. c. Faktor Hukum Selain faktor politik dan ekonomi, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian hukum. Berbagai ketentuan hukum yang terkait dengan investasi dirasakan perlu untuk menyesuaikan dengan berbagai perjanjian multilateral, regional maupun bilateral yang diikuti oleh Pemerintah Indonesia. 16
15 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam penjelasan umum disebutkan, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI merupakan suatu rangkaian Pemilu Anggaran DPR, DPD, dan DPRD yang dialskanakan sekali dalam lima tahun. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung oleh rakyat akan memberikan legitimasi yang kuat kepada Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih dalam menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan negara. 16 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat R.I Nomor IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Dalam bab IV tentang arah kebijakan, bagian b tentang Ekonomi butir 27 disebutkan, tugas pemerintah adalah melaksanakan secara proaktif negosiasi dan kerjasama ekonomi bilateral dan multilateral dalam rangka meningkatkan volume dan nilai ekspor terutama dari sektor industri yang berbasis sumber daya alam, serta menarik investasi finansial dan investasi asing langsung tanpa merugikan pengusaha nasional. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Dari uraian yang dikemukakan di atas, memberikan pengertian bahwa masuknya Indonesia ke lalu lintas perdagangan internasional, maka kaidah- kaidah hukumnya pun harus mengadopsi norma-norma yang telah menjadi acuan umum. Peraturan perundang-undangan investasi di Indonesia diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kemudian undang-undang ini dicabut dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 (UUPM), yang berlaku sejak diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2007 Nomor 6 pada tanggal 26 April 2007. Pasal 1 angka 3 UUPM menyatakan penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas, atau membeli saham. 17
Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di
17 Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UUPM Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Indonesia. Perlakuan ini tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. 18
Dalam penjelasan umum UUPM, agar memenuhi prinsip demokrasi ekonomi, undang-undang ini juga memerintahkan penyusunan peraturan perundang-undangan mengenai bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan, termasuk bidang usaha yang harus dimitrakan atau dicadangkan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 UUPM berikut ini: (1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. (2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. (3) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertanahan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya. (4) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden. (5) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. Bidang usaha atau jenis usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan ditetapkan melalui Peraturan Presiden disusun dalam suatu daftar yang
18 Pasal 6 UUPM, dalam penjelasannya dinyatakan, yang dimaksud dengan hak istimewa adalah antara lain hak istimewa yang berkaitan dengan kesatuan kepabeanan, wilayah perdagangan bebas, pasar bersama (common market), kesatuan moneter, kelembagaan yang sejenis, dan perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah asing yang bersifat bilateral, regional, atau multilateral yang berkaitan dengan hak istimewa tertentu dalam penyelenggaraan penanaman modal. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
berdasarkan standar klasifikasi tentang bidang usaha atau jenis usaha yang berlaku di Indonesia, yaitu klasifikasi berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan/atau International Standard for Industrial Classification (ISIC). 19
Dalam Pasal 13 UUPM, Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan, pembinaan dan pengembangan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi (UMKMK). 20 Namun dalam pasal itu tidak disebutkan secara tegas, bagaimana bentuk pengaturan yang dicadangkan untuk bidang usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. 21
Demikian juga dalam hal fasilitas fiskal (pajak) menjadi pertimbangan bagi calon investor untuk menanamkan modalnya. Walaupun, dalam berbagai fasilitas fiskal (pajak) yang diatur dalam Pasal 18 UUPM sudah memberikan ruang gerak kemudahan bagi investor, namun ketentuan yang tercantum dalam UUPM juga harus terjadi kesesuaian dengan peraturan yang terkait dalam hal ini ketentuan tentang pajak.
19 Penjelasan Pasal 12 UUPM. Selanjutnya, peraturan presiden yang dimaksud, yaitu: 1) Peraturan Presiden R.I. Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. 2) Peraturan Presiden R.I Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. 20 Lihat Pasal 13 UUPM 21 Secara normatif, untuk usaha kecil sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil (UUUK). Dalam undang-undang usaha kecil disebutkan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana yang diatur dalam UUUK (Pasal 1 butir 1 UUUK). Demikian juga halnya untuk koperasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi. Dalam undang-undang koperasi disebutkan, koperasi adalah badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan (Pasal 1 butir 1 UU Koperasi). Yang menjadi masalah adalah bidang usaha apa saja yang dapat dimasuki oleh badan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Selanjutnya, hal yang sering menjadi kekhawatiran bagi investor dalam berinvestasi adalah panjangnya rantai birokrasi yang harus dilewati. Dalam Pasal 26 UUPM secara tegas dikemukakan pelayanan investasi dilakukan dalam satu pintu. Sehingga investor tidak harus membutuhkan jangka waktu yang terlalu panjang dalam mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan investasi yang hendak dilakukan. Hanya saja untuk melaksanakan sistem pelayanan satu pintu perlu diatur dalam Peraturan Presiden. 22
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan realiasi penanaman modal akan membaik secara signifikan. 23 Mengenai ketenagakerjaan di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Calon investor investasi fisik dimanapun akan selalu mencari informasi selengkap-lengkapnya mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan
22 Pasal 26 ayat (3) UUPM, yang menyatakan mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.. 23 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
investasinya di suatu negara. Mereka akan mencari informasi dari klipping-kliping di kantor kedutaannya, rekan-rekannya (komunitasnya, asosiasi international), majalah/koran/Televisi(TV), KADIN, pengamatan langsung, jurnal-ilmiah, dan global independent rater (misalnya corruption perception index yang diterbitkan transparency international, PERC, Instititutional Investor Credit Rating, dan lain- lain). 24 Hal ini menunjukkan bahwa investor asing sangat membutuhkan pengamanan terhadap modal yang diinvestasikannya di negara penerima modal. Investasi diharapkan membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan. Hal ini mendorong semua negara saling berlomba untuk menarik investasi, tak terkecuali Indonesia. Persaingan memperebutkan investasi juga semakin sengit sehingga semua negara saling berlomba memperbaiki iklim investasi guna mendorong perekonomian. Di antara negara-negara berkembang, iklim investasi di Indonesia masih kalah jauh, termasuk dengan negara tetangga. Lemahnya arus masuk investasi turut membuat daya saing Indonesia menurun. Karena itu, kenaikan arus investasi yang juga akan membawa keahlian akan bisa menolong pemulihan daya saing Indonesia. Perkembangan ini bisa disimak dari laporan hasil penelitian yang dikeluarkan International Finance Corporation (IFC) dan Bank Dunia serta Bank Pembangunan Asia yang tertuang dalam laporan IFC dan Bank Dunia mengenai Doing Business 2007. Indonesia menduduki peringkat 135 dari 175 negara dalam hal kemudahan
24 CPI Investasi Asing dan Potensi Industri Asing , Pidato ilmiah Prof.Dr.Ir. Kresnohadi Ariyoto Karnen, dibacakan pada saat upacara pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Manajemen FEUI yang berlangsung hari Rabu, 14 Nopember 2007 di Kampus Depok, dalam Website Universitas Indonesia, hal. 1. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
memulai usaha baru. Peringkat itu turun dari posisi 131 tahun lalu karena perbaikan tak sesignifikan negara lain. 25
Satu hal yang sering menjadi pertimbangan calon investor, jika investor ingin menanamkan modalnya di luar negeri adalah eksistensi lembaga penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tuan rumah. Sebenarnya secara konvensional di negara manapun di dunia ini telah tersedia lembaga penyelesaian sengketa yakni lembaga peradilan, yang dalam teori hukum ketatanegaraan dikenal sebagai lembaga yudikatif. Hanya saja, jika penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tuan rumah diselesaikan lewat lembaga peradilan ada keraguan di kalangan calon investor asing. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tineke Louise Tuegeh Longdong: Pertimbangan utama dari investor untuk melakukan investasi adalah adanya jaminan hukum yang memadai, menyediakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase luar negeri terhadap kerugian-kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari penanaman modal. Investor dan pedagang asing selalu berupaya untuk melepaskan diri dari peradilan negara berkembang karena merasa tidak mengenal hukum setempat yang berlainan dengan sistem hukum negaranya sendiri. Selain itu ada keragu-raguan bahwa peradilan setempat akan bersikap tidak obyektif. Alasan lain adalah, apakah lembaga peradilan negara berkembang ada kemampuan dalam memeriksa sengketa perdagangan internasional dan alih teknologi yang demikian rumit. 26
Gencarnya ajakan Pemerintah Indonesia untuk menarik investasi asing ternyata belum dibarengi dengan sistem kebijakan, perundang-undangan, birokrasi, dan jaminan rasa aman yang memadai. Publik memandang berbagai kondisi yang ada di Tanah Air saat ini belum mendukung iklim investasi yang kondusif. Padahal, cukup tersirat harapan di benak publik bahwa masuknya investasi asing ini bisa turut
25 Ali Mubarak, Memutus Hambatan Investasi, terdapat dalamhttp://www.seputarindonesia.com, diakses tanggal 4 September 2007. 26 Tineke Louise Tuegeh Longdong, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 2. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
membantu memulihkan kondisi perekonomian nasional yang dirasakan kian memburuk. Undangan pemerintah kepada pihak asing untuk terus menanamkan investasi di Indonesia tak pernah henti diserukan. Namun, tampaknya berbagai hal belum siap mendukung keseriusan pemerintah menarik investasi asing. Dalam memberikan jaminan keamanan berusaha, misalnya kondisi di beberapa wilayah di Indonesia memang masih belum cukup aman untuk membuat perusahaan-perusahaan asing tertarik menanamkan modalnya di Indonesia. 27 Hal ini juga dipengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintahan daerah sejak diberlakukannya Otonomi Daerah. Pelaksanaan otonomi daerah sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dua kali dilakukan perubahan yaitu dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan sekarang dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Sejak otonomi daerah dilaksanakan telah lahir berbagai peraturan daerah. Peraturan daerah ini semestinya dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan daerah, namun demikian yang terjadi justru sebaliknya, peraturan daerah cenderung membuat masyarakat dan dunia usaha dirugikan. 28
Berdasarkan penelitian Departemen Keuangan peraturan daerah dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu: 29
1. Peraturan daerah tentang pajak dan retribusi yang telah sesuai dengan jenis- jenis pajak dan retribusi sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. 2. Peraturan daerah tentang jenis-jenis pajak dan retribusi baru (di luar peraturan tentang biaya perizinan untuk bongkar pasang di wilayah perbatasan).
27 Mencemaskan Masuknya Investasi Asing, Kompas, 4 Februari 2006. 28 Pemerintah Diminta Beri Perlakuan Yang Sama Untuk Tarik PMA, Bisnis Indonesia, 25 J anuari 2000. 29 Laporan Penelitian Departemen Keuangan, Tahun 2003. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Peraturan ini lebih banyak didorong untuk meningkatkan pendapatan dan cenderung mengabaikan kepentingan publik. 3. Peraturan daerah tentang kewajiban memberikan sumbangan perusahaan kepada pihak ketiga. Dengan peraturan ini maka perusahaan harus menyediakan bayaran sukarela kepada pihak ketiga termasuk pemerintah daerah setempat. Sumbangan pihak ketiga beroperasi sebagai pajak, tapi tidak dimasukkan ke dalam kas pemerintah. Alasannya, karena sumbangan ini diartikan sebagai sumbangan sukarela dari masyarakat kepada pemerintah daerah. Selain itu, ada juga peraturan tentang biaya pungutan jalan dan transport. Pungutan ini dimaksudkan untuk membiayai pekerjaan jalan dan perawatan, tapi seringkali membebankan pajak dan biaya lainnya seperti pajak pendaftaran kendaraan. 4. Peraturan daerah yang bersifat pengaturan namun di dalamnya tercantum pula pungutan-pungutan yang mirip pungutan pajak dan/ atau retribusi. 5. Peraturan daerah yang bersifat pengaturan yang di dalamnya juga membuat pungutan namun pungutan tersebut berkaitan dengan jasa di bidang kepelabuhan. Pada sisi lain, Departemen Keuangan juga melakukan penelitian terhadap 1.528 Perda yang terdiri dari sektor Energi dan Sumber Daya Mineral, sektor Pertanian dan Peternakan, sektor Perdagangan dan Industri, sektor Kehutanan dan Perkebunan, sektor Pariwisata, sektor Perkebunan. Berdasarkan penelitian ini, Departemen Keuangan merekomendasikan 206 Perda untuk dibatalkan karena tumpang tindih dengan pajak pusat, pungutan retribusi yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip retribusi, menimbulkan duplikasi dengan pungutan daerah, menghambat arus lalu lintas, menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan berakibat meningkatnya beban subsidi pemerintah. 30
Selain itu dana moneter internasional (IMF) juga merekomendasikan pembatalan peraturan daerah karena memberatkan investor. Melalui letter of intent (LoI), IMF meminta agar 100 peraturan daerah dibatalkan. 31
30 Suparji, Penanaman Modal Asing di Indonesia Insentif vs Pembatasan, Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, J akarta, 2008, hal. 150. 31 Perda, atau Pembunuh Investor, Kompas, 27 J anuari 2002. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Pada tahun 2003, menurut hasil penelitian Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) ditemukan sebanyak 257 dari 353 peraturan daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah adalah Perda bermasalah. Perda ini terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, pungutan non pajak, non retribusi, dan non pungutan. 32
Pada tahun 2008, sebanyak 41 Peraturan Daerah yang dinilai mengganggu investasi migas dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri. Peraturan Daerah itu terkait langsung maupun tidak langsung dengan iklim investasi di industri migas, seperti perda pengelolaan air limbah, pengambilan air tanah dan pengelolaan migas. 33
Banyaknya pungutan dan retribusi yang sebenarnya tidak perlu, kemudian peraturan yang tumpang tindih dan bertentangan dengan semangat otonomi daerah, membuat biaya investasi menjadi lebih tinggi. Investor harus mengeluarkan biaya ekstra yang memberatkan bagi kelangsungan usahanya. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi, pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Dalam melayani kebutuhan investor, kemungkinan terjadinya perbedaan interpretasi dalam pelaksanaannya sangat mungkin terjadi. Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian yuridis tentang jaminan kepastian hukum bagi investasi asing di Indonesia menurut ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal dan kewenangan daerah dalam kaitan dengan otonomi daerah.
32 UU Otonomi Daerah Vs Perda, Forum Keadilan, No. 35,1 Februari 2004. 33 Ganggu Investasi Migas, 14 Perda Dibatalkan, Bisnis Indonesia, 9 Mei 2008. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan adalah: 1. Bagaimana jaminan kepastian hukum bagi investasi asing menurut ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia? 2. Bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah terhadap investasi asing menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan di atas, maka yang dijadikan tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan jaminan kepastian hukum bagi investasi asing menurut ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal di Indonesia. 2. Untuk menjelaskan kewenangan Pemerintah Daerah terhadap investasi asing menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangsih pengetahuan bagi pengembangan hukum investasi secara umum dan secara khusus pada kajian yuridis tentang jaminan kepastian hukum bagi investasi asing di Indonesia. 2. Secara praktis Diharapkan hasil penelitian ini nantinya bermanfaat dan dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta instansi-instansi terkait lainnya, dalam pelaksanaan investasi asing di Indonesia. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dari penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul: Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Investasi Asing di Indonesia belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya. Sebelumnya memang penelitian yang berjudul Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Investasi Dalam Pembangunan Daerah Sumatera Utara Tahun 2005 yang diteliti oleh H. Amiruddin, Magister Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. J ika dikonfrontir penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah berbeda dalam pembahasannya. Sehingga penelitian ini adalah asli dan keasliannya secara akademik keilmuan dapat dipertanggungjawabkan. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 34 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 35 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 36 Kerangka teori yang akan dijadikan pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.
34 J .J .J . M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, J ilid I, FE UI, J akarta, 1996, hal. 203, dalam S. Mantayborbir, Sistem Hukum Pengurusan Piutang, Pustaka Bangsa Press, J akarta, 2004, hal. 13. 35 Ibid., hal. 16. 36 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Soerjono Soekanto, mengemukakan: Wujud kepastian hukum adalah peraturan-peraturan dari pemerintah pusat yang berlaku umum di seluruh wilayah negara. Kemungkinan lain adalah peraturan tersebut berlaku umum, tetapi hanya bagi golongan tertentu. Selain itu dapat pula peraturan setempat yaitu peraturan yang dibuat oleh penguasa setempat yang hanya berlaku di daerahnya saja, misalnya peraturan kotapraja. 37
Dari pendapat di atas, terlihat bahwa wujud kepastian hukum pada umumnya berupa peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan yang mempunyai otoritas untuk itu. Arti pentingnya kepastian hukum itu menurut Sudikno Mertokusumo adalah: Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya sehingga akhirnya timbul keresahan. Tetapi jika terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, dan ketat menaati peraturan hukum maka akibatnya akan kaku serta menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya tetap seperti demikian, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-Undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat, lex dure, sed tamen scripta (undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya). 38
Dalam melakukan investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi, juga ada ketentuan lain yang terkait dan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Ketentuan tersebut, antara lain berkaitan dengan perpajakan, ketenagakerjaan, dan masalah pertanahan. Semua ketentuan ini akan menjadi pertimbangan investor, dalam melakukan investasi.
37 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan Indonesia, UI Pres, J akarta, 1974, Cet.4, hal. 56 38 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, Cetakan I, edisi kedua, hal. 136. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Charles Himawan menyatakan: Peraturan-peraturan itu kadang-kadang demikian banyaknya sehingga menimbulkan kekaburan akan hukum yang berlaku. Untuk memanfaatkan modal multinasional secara maksimal diperlukan kejernihan hukum. Apabila hukum yang berwibawa berarti hukum yang ditaati orang, baik orang yang membuat hukum itu maupun orang terhadap siapa hukum itu ditujukan, akan terlihat di sini kaitan antara manusia dan hukum. Dirasakan pula perlunya hukum yang berwibawa untuk menunjang pembangunan. Dalam konteks yang berlainan diamati perlunya kepastian hukum untuk menjamin arus modal (capital flow) ke Indonesia. 39
Satu hal yang menarik dari pandangan yang dikemukakan di atas, yakni perlunya hukum yang berwibawa. Dengan kata lain berwibawanya hukum menjadi indikator hukum yang dipatuhi. Tampaknya hal ini tidak dapat dilepaskan dari tujuan pembentukan hukum itu sendiri. Hal ini memang tidak dapat dilepaskan dari latar belakang pemikiran yang mendasari lahirnya suatu norma hukum. Selain itu, waktu dan tempat berlakunya hukum juga cukup berpengaruh. Lawrence M. Friedman, menyatakan: hukum ditentukan secara tegas berdasarkan kebangsaan: hukum berhenti sampai di perbatasan negara. Di luar negaranya, hukum tidak sah sama sekali. J adi tidak ada dua sistem hukum betul-betul serupa. Masing-masing sistem hukum bersifat khusus bagi negaranya atau yuridiksinya. Hal ini tidak berarti bahwa sistem hukum sepenuhnya berbeda dengan sistem hukum lainnya. 40
Dari apa yang dikemukakan di atas, jelas bahwa keberadaan hukum di tengah- tengah masyarakat sebagai pegangan dalam menjalankan hubungan satu dengan yang lain terlebih lagi dalam lalu lintas bisnis sangat dibutuhkan.
39 Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, Penerbit Buku Kompas, J akarta, 2003, Cetakan 1, hal. 113, 155. Lihat juga Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 118, yang menjelaskan bahwa: wibawa hukum itu tidak terletak dalam kekuasaan pemerintah yang menciptakannya. Bila demikian halnya hukum ditakuti, bukan dihormati. Tetapi sebaliknya wibawa ada pada hukum, oleh sebab hukum itu mengatur dan membimbing. 40 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction, Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Penerjemah: Wishnu Basuki), Tatanusa, J akarta, 2001, hal. 19. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Investor membutuhkan adanya kepastian hukum sebagai salah satu ukuran yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan investasinya, yaitu suatu aturan yang dibuat oleh yang mempunyai otoritas untuk itu, ada aturan itu berlaku untuk semua pihak. Budiono Kusumohamidjojo, menyatakan: Dalam keadaan tanpa patokan sukar bagi kita untuk membayangkan bahwa kehidupan masyarakat bisa berlangsung tertib, damai, dan adil. Fungsi dari kepastian hukum adalah tidak lain untuk memberikan patokan bagi perilaku seperti itu. Konsekuensinya adalah hukum itu sendiri harus memiliki suatu kredibilitas, dan kredibilitas itu hanya bisa dimilikinya, bila penyelenggaraan hukum mampu memperlihatkan suatu alur konsistensi. Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak membuat masyarakat mau mengandalkannya sebagai perangkat kaedah yang mengatur kehidupan bersama. 41
Bertitik tolak dari pemikiran tentang asas kepastian hukum sebagaimana yang dikemukakan di atas, dapat diketahui adanya korelasi antara kepastian hukum dengan kegiatan investasi. Artinya apabila ada kepastian hukum dalam berinvestasi, maka kegiatan investasi pun akan berjalan dengan baik. Dalam menggerakkan sektor perekonomian lewat pranata hukum investasi dibutuhkan aturan hukum yang jelas, demi kepastian hukum bagi investasi asing, karena Indonesia membutuhkan investasi asing untuk pembangunan di segala sektor yang membutuhkan dana yang tidak sedikit, sementara dana dalam negeri tidak mencukupi, maka pemerintah sebagai penyelenggara negara mencari alternatif lain, di antaranya mengundang investasi asing masuk ke Indonesia. Pengertian investasi dalam Kamus Istilah Keuangan dan Investasi, digunakan investment (investasi) yang mempunyai arti:
41 Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil Problematika Filsafat Hukum, Grasindo, J akarta, 1999, Cetakan 1, hal. 150-151. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke risiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula berarti menunjuk ke suatu investasi keuangan (di mana investor menempatkan uang ke dalam suatu sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya. 42
Dalam Eksiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, dijelaskan istilah investment atau investasi, penanaman modal digunakan untuk: Penggunaan atau pemakaian sumber-sumber ekonomi untuk produksi barang- barang produsen atau barang-barang konsumen. Dalam arti yang semata-mata bercorak keuangan, investment mungkin berarti penempatan dana-dana kapital dalam suatu perusahaan selama jangka waktu yang relatif panjang, supaya memperoleh suatu hasil yang teratur dengan maksimum keamanan. 43
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. Dalam berbagai kepustakaan ekonomi atau hukum bisnis, terminologi penanaman modal dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung oleh investor lokal (domestic investor), investor asing (Foreign Direct Investment atau FDI) dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak asing (Foreign Indirect Investment atau FII). Untuk yang terakhir ini dikenal dengan
42 Lihat, J ohn Downes dan J ordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan & Investasi. Alih bahasa oleh Soesanto Budhidarmo, Elex Media Komputindo, J akarta, 1994, hal. 300. 43 Lihat, A. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Pradnya Paramita, J akarta, 1991, Cetakan ke 6, hal. 340. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
istilah penanaman modal dalam bentuk portofolio yakni pembelian efek lewat Lembaga Pasar Modal (Capital Market). 44
Menurut Gunarto Suhardi, Investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena investasi langsung lebih permanen. Selain itu investasi langung: a. Memberikan kesempatan kerja bagi penduduk b. Mempunyai kekuatan penggandaan dalam ekonomi lokal. c. Memberikan risidu baik berupa peralatan maupun alih teknologi. d. Bila produksi diekspor memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal di samping seketika memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara. e. Lebih tahan terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing. f. Memberikan perlindungan politik dan keamanan wilayah karena bila investor berasal dari negara kuat niscaya bantuan keamanan juga akan diberikan. 45
Pernyataan ini memperlihatkan manfaat kehadiran investor asing dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan permintaan bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku, menambah devisa apalagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah penghasilan negara dari sektor pajak, adanya alih teknologi maupun alih pengetahuan. Dengan demikian kehadiran investor asing cukup berperan dalam pembangunan ekonomi suatu negara, khususnya pembangunan di daerah di mana investasi asing langsung (FDI) menjalankannya aktivitasnya. Mencermati peran investasi asing cukup signifikan dalam membangun perekonomian, tidaklah mengherankan jika di berbagai negara di dunia, baik negara-
44 Investasi dalam bentuk portofolio atau pembelian efek lewat pasar modal diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal. Dalam Pasal 1 butir 13 disebutkan, pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasal 1 butir 5 mengemukakan, efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi, kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Portofolio efek adalah kumpulan efek yang dimiliki oleh pihak (Pasal 1 butir 24). 45 Gunarto Suhari, op. cit., hal. 45. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
negara maju maupun negara-negara berkembang berusaha secara optimal agar negaranya dapat menjadi tujuan investasi asing tidak terkecuali Indonesia. Di lain pihak, dari sudut pandang investor adanya keterbukaan pasar di era globalisasi membuka peluang untuk berinvestasi di berbagai negara. Tujuannya sudah jelas yakni mencari untung, sedangkan negara penerima modal berharap ada partisipasi investor asing dalam pembangunan nasionalnya. Untuk menyatukan antara kepentingan investor asing dengan penerima- penerima modal harus disadari tidak mudah. Artinya apabila negara penerima modal terlalu ketat dalam menentukan syarat penanaman modal investor, mungkin saja para investor tidak akan datang lagi bahkan bagi investor yang sudah ada pun bisa jadi akan merelokasi perusahaannya. Karena di era globalisasi ini, para pemilik modal sangat leluasa dalam menentukan tempat berinvestasi yang tidak terlalu dibatasi ruang geraknya. Untuk itu dalam menyikapi arus globalisasi yang terus merambah ke berbagai bidang tersebut maka, peraturan perundang-undangan investasi asing di berbagai negara pun terus diperbarui sesuai dengan perkembangan dunia bisnis yang semakin mengglobal. Dengan kata lain dalam perspektif, dunia bisnis tidak lagi mengenal sekat- sekat atau batas negara. Tidak kalah pentingnya, ikut andil dalam perubahan kebijakan investasi asing adalah pesatnya perkembangan teknologi di berbagai sektor, khususnya di sektor informasi. Hal ini ialah menimbulkan ekspansi perusahaan- perusahaan multinatisional terutama di bidang jasa keuangan. Menyikapi hal ini, maka sejumlah negara pun melakukan kebijakan liberalisasi di bidang investasi, antara lain membuka seluas-luasnya bidang usaha yang dapat dimasuki oleh investor asing yang Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
sebelumnya tertutup. Selain itu prosedur untuk berinvestasi pun disederhanakan. 46 Jadi, agar dapat berkompetisi dalam menarik investor berbagai ketentuan hukum yang terkait dengan investasi di Indonesia perlu disesuaikan dengan tuntutan global. Sondang P. Siagian menyatakan: Jika suatu negara hendak mengundang investor asing dalam rangka pembangunan ekonominya, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni: 1) Bahwa kesahan (legitimacy) pemerintah yang sedang berkuasa harus berada pada tingkat yang tinggi, oleh karena kesahan yang tinggi tersebut diduga akan menjamin kontinuitas dari pemerintahan yang bersangkutan. 2) Pemerintah harus dapat menciptakan suatu iklim yang merangsang untuk penanaman modal asing tersebut. Artinya bahwa kepada para penanam modal asing harus diberikan keyakinan bahwa modal yang mereka tanamkan memberikan kepada mereka keuntungan yang wajar sebagaimana halnya apabila modal tersebut ditanam di tempat lain, baik di negara asalnya sendiri maupun di negara lain. 3) Pemerintah perlu memberi jaminan kepada para penanam modal asing tersebut, bahwa dalam hal terjadinya goncangan politik di dalam negeri, maka modal mereka akan dapat dikembalikan kepada pemiliknya dan badan usaha mereka tidak dinasionalisasi. 4) Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa pemerintah itu mempunyai kesungguhan dalam memperbaiki administrasi negaranya, agar dalam hubungannya dengan penanam modal asing itu, maka permintaan izin dan hal lain yang menyangkut pembinaan usaha tidak mengalami perubahan- perubahan birokratisme yang negatif akan tetapi dapat berjalan lancar dan memuaskan. 47
Di sini terlihat yang menjadi perhatian investor adalah legitimasi dari pemerintahan yang sedang berkuasa. Hal ini memang ada kaitannya dengan risiko yang akan dihadapi oleh investor. Sebenarnya dalam tatanan global berkaitan dengan risiko non-komersial (non-commercial risk), sudah ada satu pengaturan bagi investor yakni apa yang dicantumkan dalam Multilateral Investment Guarentee Agency,
46 Lihat, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.I. Laporan Akhir: Penelitian Tentang Aspek Hukum Perdagangan Dikaitkan dengan Penanaman Modal Asing, J akarta, 1996, hal. 7. 47 Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan, Gunung Agung, J akarta, 1985, cetakan kesebelas, hal. 88. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
(MIGA) yang diprakarsai Bank Dunia (World Bank). 48 Indonesia sendiri telah turut serta dalam konversi MIGA berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1986 tentang Pengesahan Convention Establishing The Multilateral Investment Guarentee Agency. Hal ini berarti secara normatif jika menyangkut risiko politik tidak menjadi masalah. Artinya jika terjadi risiko politik, maka MIGA sebagai suatu institusi akan memberikan ganti rugi kepada investor. Gunarto Suhardi menyatakan: Ada banyak persetujuan lainnya di antara kelompok anggota-anggota PBB dalam berbagai hal yang menjadi hukum internasional yang mempengaruhi ekonomi rakyat berbagai negara. Satu contoh yakni perbaikan pengaturan perdagangan dunia yang sangat mempengaruhi kepada kelancaran hubungan ekonomi antar negara khususnya ekspor, impor, dan perdagangan jasa-jasa internasional. Pengaturan yang dimaksud di sini adalah General Agreement on Tariffs and Trade, GATT. 49
Dengan demikian masuknya Indonesia ke lalu lintas perdagangan internasional, maka kaidah-kaidah hukumnya pun harus mengadopsi norma-norma yang telah menjadi acuan umum. Bismar Nasution menyatakan: Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum juga tidak dapat dihindarkan, sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi tersebut, dalam arti berbagai substansi undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara. Disinilah diperlukan pembaruan hukum investasi sebagai perangkat aturan untuk mengantisipasi kegiatan investasi di Indonesia era AFTA 2003. Dengan ini berarti hukum investasi harus diperbarui sesuai dengan ritme tuntutan AFTA guna menampung ketentuan AFTA. 50
48 Lihat, A.F. Elly Erawati, Meningkatkan Investasi Asing Di Negara Berkembang: Kajian Terhadap Fungsi dan Peran dari The Multilateral Inevstment Guarantee Agency, Pusat Studi Hukum Unpar, Bandung, 1989, hal. 30. 49 Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Unika Atmajaya, Yogyakarta, 2002, cetakan 1, hal.30. 50 Bismar Nasution, Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi Hukum Investasi Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, edisi J anuari-Februari, 2003, hal. 48. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Untuk menyikapi ini semua, hal yang harus dilakukan oleh penerima modal adalah bagaimana melengkapi berbagai ketentuan hukum yang terkait dengan undang-undang penanaman modal. Perlunya melengkapi berbagai ketentuan investasi tiada lain karena lingkungan dunia usaha baik di tingkat nasional, regional maupun internasional telah mengalami berbagai perkembangan yang demikian pesat, sehingga mau atau tidak, ketentuan investasi juga harus disesuaikan dengan ketentuan hukum nasional termasuk ketentuan investasi. Seperti yang dikemukakan oleh Baharuddin Lopa, agar hukum nasional senantiasa mampu menyesuaikan perkembangan keadaan, maka ia harus membuka diri, menerima unsur-unsur dari luar yang dapat memperlancar pembangunan nasional yang sedang dikerjakan oleh bangsa ini. 51
Dengan demikian jika ingin bersaing dengan negara lain dalam merebut calon investor, ketentuan yang terkait dengan penanaman modal harus disesuaikan dengan kondisi era globalisasi. Sebagaimana dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Badan Pembinaan Hukum Nasional: Upaya menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif menjadi semakin perlu mengingat bahwa untuk menarik penanaman modal, Indonesia dihadapkan pada tantangan yang semakin besar dan kompleks, serta persaingan semakin tajam baik sesama negara berkembang maupun dari negara maju, terutama dalam menarik modal asing. Peningkatan penanaman modal dapat dilakukan melalui peningkatan peran aktif masyarakat berinvestasi, membuka kesempatan berusaha secara luas. Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai forum kerjasama bilateral, regional dan multilateral atas dasar kepentingan nasional menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan ditaati. 52
J adi, salah satu faktor yang dijadikan parameter untuk menilai apakah tempat berinvestasi kondusif atau tidak, yakni adanya kepastian hukum. Investasi asing
51 Lihat, Baharuddin Lopa, Etika Pembangunan Hukum Nasional, dalam Artidjo Alkostar (ed), Identitaqs Hukum Nasional, FH UII, Yogyakarta, 1997, hal. 25. 52 Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman Dan HAM RI., Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penanaman Modal, J akarta, J uli 2003, hal. 66, 67. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
membutuhkan jaminan oleh peraturan perundang-undangan negara penerima investasi guna memberikan perlindungan hukum bagi keamanan terhadap modal yang dikeluarkannya. 2. Konsepsi Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. 53 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 54 Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: a. Investasi asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. b. Investasi asing langsung adalah penanaman modal dilakukan secara langsung pemilik modalnya. 55
c. Investasi asing tidak langsung adalah penanaman modal dilakukan melalui pembelian obligasi-obligasi, surat-surat kertas perbendaharaan negara, emisi-
53 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, J akarta, hal. 10. 54 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertai, PPs-USU, Medan, 2002, hal.35. 55 Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
emisi lainnya (saham-saham) yang dikeluarkan oleh perusahaan, serta deposito dan tabungan yang berjangka waktu sekurang-kurangnya satu tahun. 56
d. Pemerintahan Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. 57
e. Pemerintahan Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 58
f. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 59
g. J aminan kepastian hukum adalah satu ukuran yang menjadi pegangan bagi investor dalam melakukan kegiatan investasinya, yaitu suatu aturan yang dibuat oleh yang mempunyai otoritas untuk itu, ada aturan itu berlaku untuk semua pihak. 60
G. Metode Penelitian 1. Sifat dan jenis penelitian Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisa jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia, maka penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Penelitian ini dilakukan secara pendekatan yuridis
56 Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) 57 Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) 58 Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) 59 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) 60 Budiono Kusumohamidjojo, op. cit., hal. 150-151. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
normatif, karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain, 61 mengenai jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia. 2. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek penelitian. 62 Oleh karena itu, sumber data penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 63
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945. b) Peraturan perundang-undangan yang berkait dengan objek penelitian yaitu: Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; Undang- Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri; Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah; dan peraturan pelaksanaan yang terkait. 2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum yang berkaitan jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia.
61 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, J akarta, 1996, hal.13 62 Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, J akarta, 1982, hal. 24. 63 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (J akarta: Rajawali Press, 1995), hal.39. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
3) Bahan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang berkaitan jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia. 3. Alat pengumpulan data Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat objektif ilmiah maka dibutuhkan data-data yang akurat dan dapat dipertanggung jawabkan kebenaran hasilnya, maka dalam hal ini peneliti memperoleh data dengan menggunakan alat pengumpulan data studi dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan masalah jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia, yang didukung dengan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara kepada narasumber, yaitu: Pejabat/Pegawai pada Badan Investasi dan Promosi (BAINPROM) Provinsi Sumatera Utara sebanyak 2 orang. 4. Analisa data Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang jaminan kepastian hukum investasi asing di Indonesia. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang berlaku, menghubungkan dengan pendapat pakar hukum. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif. 64
64 Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, hal. 2. Prosedur Deduktif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus. pada prosedur ini kebenaran pangkal merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self efident) yang esensi kebenarannya sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi. BAB II TINJAUAN TENTANG INVESTASI ASING A. Pengertian Investasi Asing Dalam berbagai kepustakaan hukum ekonomi atau hukum bisnis, terminologi penanaman modal dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung oleh investor lokal (domestik investor), investor asing (Foreign Direct Investment atau FDI) dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak asing (Foreign Indirect Investment atau FII). Untuk yang terakhir itu dikenal dengan istilah penanaman modal dalam bentuk portofolio yakni pembelian efek lewat Lembaga Pasar Modal (Capital Market). Untuk jenis investasi seperti itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Dalam Pasal 1 butir 13 disebutkan, pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Pasal 1 butir 5 mengemukakan, efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, globalisasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek. Portofolio efek adalah kumpulan efek yang dimiliki oleh pihak (Pasal 1 butir 24). Dalam Kamus Istilah Keuangan dan Investasi digunakan istilah investment (investasi) yang mempunyai arti: Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke risiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula berarti menunjuk ke suatu investasi keuangan (di mana investor menempatkan uang ke dalam satu sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya. 65
Dalam Eksiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, dijelaskan istilah Investment atau investasi, penanaman modal digunakan untuk: Penggunaan atau pemakaian sumber-sumber ekonomi untuk produksi barang- barang produsen atau barang-barang konsumen. Dalam arti yang semata-mata bercorak keuangan, investment mungkin berarti penempatan dana-dana kapital dalam suatu perusahaan selama jangka waktu yang relatif panjang, supaya memperoleh suatu hasil yang teratur dengan maksimum keamanan. 66
Dalam Kamus Ekonomi dikemukakan, Investment (investasi) mempunyai 2 makna, yakni: Pertama. Investasi berarti pembelian saham, obligasi dan benda-benda tidak bergerak, setelah dilakukan analisa akan menjamin modal yang dilekatkan dan memberikan hasil yang memuaskan. Faktor-faktor tersebut yang membedakan investasi dengan spekulasi. Kedua. Dalam teori ekonomi investasi berarti pembelian alat produksi (termasuk didalamnya benda-benda untuk dijual) dengan modal berupa uang. 67
Dalam Kamus Hukum Ekonomi digunakan terminologi, Investment, penanaman modal, investasi yang berarti penanaman modal yang biasanya dilakukan untuk jangka panjang misalnya berupa pengadaan aktiva tetap perusahaan atau membeli sekuritas dengan maksud untuk memperoleh keuntungan. 68
65 J ohn Downes dan J ordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan & Investasi, Alih bahasa oleh Soesano Budhirdamo, Elex Media Komputindo, J akarta, 1994, hal. 300. 66 A. Abdurrachman, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Cet. ke-6, Pradnya Paramita, J akarta, 1991, hal. 340. 67 Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), Cet ke 8, Alumni, Bandung, 1982, hal. 190. 68 Lihat, A.F. Elly Erawaty dan J .S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Indonesia Inggris, edisi keempat, Balai Pustaka, J akarta, 1995), hal. 386. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) dikemukakan, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dari berbagai pengertian investasi seperti yang dikutip di atas, tampak bahwa tidak ada perbedaan yang prinsipil antara investasi dengan penanaman modal. Makna dari investasi atau penanaman modal adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, menyisihkan sebagian pendapatnya agar dapat digunakan untuk melakukan suatu usaha dengan harapan pada suatu waktu tertentu akan mendapatkan hasil (keuntungan). B. Bentuk Kerjasama dan Bidang Usaha Investasi Asing 1. Bentuk Kerjasama Investasi Asing Peningkatan penanaman modal khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang kemudian mengalami perubahan dan penambahan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, kemudian kedua undang-undang tersebut diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Pelaksanaan Penanaman Modal Asing di Indonesia seperti yang ditetapkan dalam ketentuan penanaman modal asing sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal) dinyatakan penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanaman modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya, maupun yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri. Dengan adanya pengaturan tersebut di atas seperti yang termuat dalam Pasal 3 UU Penanaman Modal, maka penanaman modal asing di lndonesia diperkenankan melaksanakan usahanya dalam bentuk usaha kerja sama (joint-venture) dengan pihak swasta nasional dalam bentuk dan cara kerjasama yang ditetapkan melalui peraturan pemerintah khususnya dalam hal komposisi kepemilikan saham perusahaan. 69
a. Pengaturan Kerjasama Penanaman Modal Pengaturan pemerintah dalam menetapkan bentuk usaha kerja sama (joint- venture) antara penanaman modal asing dengan modal nasional dalam penjabarannya dilaksanakan pertama kali melalui instruksi Presidium Kabinet Nomor 36/U/IN/6/I967 yang ditetapkan dalam bentuk usaha kerja sama joint enterprise (perusahaan campuran) yang juga merupakan salah satu bentuk usaha kerja sama (joint-venture).
69 Bandingkan dengan Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Kencana, J akarta, 2007, hal. 48. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Gejala peningkatan kerja sama penanaman modal asing di Indonesia semakin ditingkatkan setelah pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan pada tanggal 22 J anuari 1974 yang berkaitan dengan masalah kerjasama penanaman modal asing dengan modal nasional Indonesia. Adapun kebijaksanaan tersebut menyangkut 2 (dua) hal, yaitu: a. Meningkatkan peranan perimbangan partisipasi dalam pengelolaan modal antara modal asing dengan modal nasional. b. Menyusun daftar skala prioritas penanaman modal. Lebih lanjut kebijaksanaan tahun 1974 tersebut dijabarkan secara terperinci, di mana usaha-usaha peningkatan peranan dan partisipasi kerjasama dengan pihak asing dalam hal penanaman modal khususnya usaha kerjasama dengan pihak asing dalam hal penanaman modal asing di Indonesia ditetapkan beberapa syarat sebagai berikut: 70
a. Penanaman modal asing harus dalam bentuk joint- venture. b. Pcnyertaan pihak Indonesia dalam penanaman modal asing harus menjadi 51%. c. Persyaratan penggunaan tenaga kerja, tenaga teknis maupun manajemen. d. Kredit investasi hanya untuk pribumi. Dengan adanya pengaturan kebijaksanaan tahun 1974 tersebut, maka penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia yang akan melaksanakan usahanya diharuskan untuk melakukan usaha kerja sama (joint- venture) dengan modal nasional meskipun pengaturan tersebut sedikit bertentangan dengan semangat yang ada dalam UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
70 Ibid., hal. 49. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Modal Asing (PMA) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang pada prinsipnya memperkenankan adanya penanaman modal asing secara penuh (direct-investment). Sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang penanaman modal asing bahwa pelaksanaan atau aplikasi penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk usaha, yaitu: a. Oleh pihak asing (perorangan atau badan hukum), ke dalam suatu perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing; atau b. Dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional (swasta nasional). Secara yuridis hal yang pertama itu tidak menimbulkan persoalan yang terlalu rumit, oleh karena sudah jelas bahwa bukan hanya modal tetapi kekuasaan maupun pengambilan keputusan '(decision making) dilakukan oleh pihak asing, sepanjang segala sesuatu itu memperoleh persetujuan dari pemerintah Indonesia, atau selama pengaturannya tidak melanggar hukum serta ketertiban umum yang berlaku di Indonesia. Lebih sulit adalah hal yang kedua mengenai bentuk dan cara kerjasama penanaman modal asing dengan modal nasional. Scbabnya adalah adanya berbagai variasi yang meliputi antara lain; perimbangan modal, kekuasaan (manajemen) yang sesungguhnya, aspek makro ekonomis, mikro ekonomis, dan aspek sosio-kulturil. 71
Belum lagi masalah teknis operasional seperti; perbedaan bahasa, sistem hukum, maupun bargaining position di antara keduanya.
71 B. Napitupulu, Joint-Ventures di Indonesia, Erlangga, J akarta, 1986, hal. 9. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Menurut Aminuddin Ilmar, bahwa: Masalah penggunaan bentuk dan cara kerjasama (joint-venture) memang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang cukup pesat bila dikaitkan dengan kemampuan modal nasional yang sudah dapat melakukan usaha kerja sama dengan penanaman modal asing khususnya yang dilakukan dalam bentuk investasi asing secara langsung di Indonesia. Berbagai faktor yang menyebabkan dipilihnya bentuk usaha kerjasama (joint-venture) oleh para pemilik modal yang umumnya tergabung dalam perusahaan Transnational atau Multinational Corporation diwamai kekhawatiran bagi sebagian pemilik modal asing tersebut, yakni kemungkinan adanya pengambilalihan secara sewenang-wenang tanpa melalui suatu prosedur hukum oleh negara penerima modal yang lebih dikenal dengan nasionalisasi. 72
Sejak perang dunia pertama maupun dengan adanya revolusi Rusia, negara- negara tempat penanaman modal telah memperlihatkan keinginannya untuk menyita aktiva milik perusahaan multinational, bahkan tanpa memberi ganti rugi sedikit pun kepada penanaman modal (investor). Pemerintah Indonesia zaman Orde Baru pernah pula menerapkan hal yang sama dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan penanaman modal asing yang berada di Indonesia dalam rangka aplikasi usahanya. Menyadari bahaya pengambilalihan ini, banyak perusahaan transnational (multinational) mcnghindari risiko penanaman modal asing mereka dengan cara hedging yakni sama seperti yang dilakukan pada pasar valuta asing. Mereka sering kali menyeimbangkan sebagian besar aktiva nyata (tangible) mereka di negara tempat penanaman modal dengan pinjaman di negara tersebut (di mana aktiva nyata tersebut berperan sebagai agunan). 73
Pengaturan lain yang ditetapkan pemerintah Indonesia dalam hal pelaksanaan usaha kerjasama (joint-venture) antara penanaman modal asing dengan modal
72 Arminuddin Ilmar, op. cit., hal. 50 73 Peter H. Lindert & Charles P. Kindleberger, dalam Ibid., hal. 50-51. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
nasional yang mengubah kebijaksanaan tahun 1974 yakni dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing yang ditetapkan pemerintah pada tanggal 16 April 1992. Pengaturan tersebut diikuti pula dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 32, 33 dan 34 Tahun 1992 yang bersangkut paut dengan masalah bidang usaha, tata cara penanaman modal serta pertanahan untuk kegiatan penanaman modal asing. Dalam peraturan tersebut seperti yang tertuang dalam PP No. 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing setidak-tidaknya mengatur 4 (empat) masalah pokok, yaitu: 1) Penentuan jumlah/nilai minimum modal yang ditanam; 2) Penentuan bentuk usaha; 3) Pengecualian terhadap ketentuan jumlah/nilai minimum modal yang ditanam dan bentuk usaha; serta 4) Penggunaan laba perusahaan. Selain itu, diletakkan pula landasan bagi persetujuan penanaman modal khususnya penanaman modal asing, yakni dengan memberikan batas minimum atas modal yang hendak ditanamkan. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia pada prinsipnya akan mengabulkan aplikasi penanaman modal asing jika memenuhi minimum modal tertentu, yaitu US$ 1.000.000,00. Namun ketentuan tersebut tidak bersifat final, sebab untuk dapat dikabulkannya aplikasi tersebut masih ada syarat- syarat lain yang harus dipenuhi seperti bidang usaha, rencana pengendalian Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
lingkungan, struktur kepemilikan saham, dan yang lainnya. Mengenai ketentuan modal minimum yang harus ditanam (reinvestasi) hal itu pun tidak mutlak, oleh kriteria ternyata masih diberikan pengecualian oleh peraturan tersebut. 74
Selanjutnya, dari peraturan tersebut diatur pula mengenai bentuk usaha bagi penanaman modal khususnya penanaman modal asing yang pada dasamya harus dilakukan dalam bentuk kerjasama "usaha patungan" (Joint-venture). Bila dicermati ketentuan tersebut yang menggunakan kata pada dasamya menunjukkan bahwa hal tersebut bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang membolehkan penanaman modal asing secara langsung atau penuh 100% meskipun bukan dalam bentuk usaha kerja sama (Joint- venture) dengan modal nasional. Dengan perumusan demikian, tentunya secara implisit adanya suatu political will (kemauan politik) dari pemerintah untuk mendorong tumbuhnya kegiatan usaha patungan dalam rangka penanaman modal khususnya penanaman modal asing. Tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa penanaman modal secara langsung (tanpa adanya partner Indonesia) tidak diperbolehkan. Penanaman berbentuk kerjasama, tetap diperbolehkan sepanjang memenuhi beberapa syarat, seperti modal minimum, bidang usaha, lokasi usaha, dan persyaratan divestasi. Mengenai pemilikan modal saham perusahaan ditetapkan bahwa pada prinsipnya pada saat pendirian perusahaan oleh penanam modal khususnya penanaman modal asing, tentunya modal saham perusahaan yang dimiliki peserta
74 Aminuddin Ilmar, op. cit., hal. 52. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Indonesia, sekurang-kurangnya 20% dari seluruh nilai modal saham. Selain itu, diatur pula mengenai bidang-bidang usaha tertentu yang karena sifat usaha dan kebutuhan dalam pengembangan sosial ekonomi dalam arti luas memerlukan kelonggaran terhadap ketentuan jumlah minimum modal yang harus ditanam, Bahkan diperbolehkan untuk menanamkan modalnya kurang dari jumlah minimum sebagaimana yang celah dipersyaratkan terlebih dahulu yakni US$ 1.000.000,00 asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu seperti bidang usaha yang dipilih, sifat usaha, bentuk usaha, komposisi pemilikkan saham, dan divestasi sahamnya. Dengan pengaturan seperti itu pula memberi kemungkinan jalan kepada pengusaha modal dalam negeri maupun perusahaan kecil serta usaha koperasi untuk ikut berpartisipasi dalam bidang penanaman modal khususnya dalam bidang-bidang usaha tertentu yang kemungkinannya pihak penanaman modal asing melakukan usahanya. 75
Adanya persyaratan divestasi juga diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing, yakni secara filosofis penanaman modal asing harus berbentuk perusahaan patungan dengan pihak pengusaha Indonesia dan secara bertahap, saham peserta nasional harus meningkat sampai pada suatu saat akan mencapai mayoritas saham. Namun, dalam rangka pemberian insentif yang menarik bagi penanaman modal asing, khususnya untuk wilayah Indonesia bagian Timur pemerintah memberikan beberapa kelonggaran bagi investor asing untuk menunda kewajiban patungan dengan pihak modal dalam negeri sampai 5 (lima) tahun disertai syarat-syarat tertentu. Hal lain yang juga turut diatur adalah penggunaan laba perusahaan, di mana laba perusahaan setelah dipotong pajak dapat digunakan untuk mendirikan
75 Ibid., hal. 52-53. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
perusahaan baru atau untuk membeli perusahaan lain di Indonesia. Dalam hal yang terakhir berlaku ketentuan bahwa dalam hal pembelian perusahaan baru oleh penanaman modal asing harus dipenuhi persyaratan yakni bidang usaha perusahaan yang dibeli itu baik perusahaan lama ataupun baru tidak tercantum dalam daftar bidang usaha yang tertutup bagi perusahaan asing, jika perusahaan yang dibeli adalah perusahaan yang berstatus penanaman modal dalam negeri (PMDN) maka komposisi pemilikan saham dalam perusahaan tersebut harus tetap dipenuhi kriteria pemilikan saham yang berlaku serta tetap berkewajiban memenuhi program divestasi. Dengan demikian, maka dalam proses reinvested profit tersebut, baik untuk pembelian maupun pendirian usaha baru berlaku sepenuhnya ketentuan-ketentuan yang telah ada. 76
Ada 6 (enam) hal pokok yang menyangkut persyaratan divestasi seperti yang diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 1992, yaitu: (1) Bagi perusahaan penanaman modal asing yang berlokasi di kawasan berikat yang seluruh usahanya dimiliki oleh pihak asing, maka dalam waktu 5 (lima) tahun setelah perusahaan tersebut berproduksi komersial, harus menjual sekurang-kurangnya 5% modal sahamnya kepada Warga Negara Indonesia atau badan hukum yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau badan tertentu yang diperlakukan sama. Ketentuan ini bersifat final. Artinya, setelah itu tidak ada kewajiban divestasi lebih lanjut. (2) Bagi perusahaan penanaman modal asing dengan modal minimal US$ 50 juta dan seluruh sahamnya dimiliki oleh pihak asing maka dalam waktu 5 (lima) tahun setelah perusahaan tersebut berproduksi secara komersial harus menjual sekurang-kurangnya 5% modal sahamnya kepada Warga Negara Indonesia atau yang dipersamakan dengan itu. Kemudian dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun sejak produksi komersial harus meningkatkan menjadi 20% modal sahamnya. (3) Bagi perusahaan penanaman modal asing yang sahamnya dimiliki oleh pihak asing seluruhnya dan berlokasi di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat
76 Ibid., hal. 53-54. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
(NTB), Nusa TenggaraTimur (NTT), Maluku, Irian jaya, J ambi, dan Bengkulu, maka dalam waktu 5 (lima) tahun sejak berproduksi secara komersial, wajib menjual sekurang-kurangya 5% modal sahamnya kepada Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia atau yang dipersamakan dengan itu. Kemudian dalam waktu 20 (dua puluh) tahun sejak produksi komersial harus meningkatkan menjadi 20% modal sahamnya. (4) Perusahaan penanaman modal asing yang didirikan dengan modal saham minimal US$ 250.000, dengan syarat: a. Padat karya dengan tenaga kerja langsung minimal 50 (lima puluh) orang, dan 65% hasil produksinya untuk ekspor, atau bahan baku atau bahan penolong atau komponen untuk memenuhi kebutuhan industri lain. b. Melakukan kegiatan di bidang usaha jasa tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku; pada saat didirikan harus mengikutkan peserta nasional dengan sekurang-kurangnya 5% dari modal sahamnya. J umlah tersebut harus ditingkatkan menjadi sekurang-kurangnya 20% dalam jangka waktu 10 tahun dan dalam waktu 20 tahun sejak produksi komersial harus menjadi 51%. (5) Perusahaan penanaman modal asing dengan modal saham minimal US$ 1.000.000, pada saat didirikan harus mengikutkan peserta Indonesia dengan minimal saham 20% dan dalam jangka waktu 20 tahun setelah berproduksi secara komersial jumlah tersebut harus ditingkatkan menjadi 51%. (6) Laba perusahaan penanaman modal asing dapat dipakai untuk membeli maksimum 80% perusahaan yang sudah ada, dengan ketentuan peserta nasional harus ditingkatkan menjadi 51% dalam jangka waktu 20 tahun. Hal khusus yang diatur di luar ketentuan PP Nomor 17 Tahun 1992 yaitu pemerintah telah menempuh kebijaksanaan lain terhadap perusahaan penanaman modal asing bilamana saham milik peserta Nasional minimal 51% atau saham peserta nasional minimal 41% atau diantaranya 20% sebagai saham atas nama yang dijual melalui pasar modal, maka tidak diwajibkan lagi meningkatkan sahamnya menjadi 51% dan tidak berubah status perusahaan penanaman modal asing tersebut yakni tetap sebagai perusahaan penanaman modal asing. Ketentuan dari adanya perlakuan semacam itu adalah perusahaan tersebut dapat beroperasi atau melakukan usahanya di bidang-bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing, dapat memperoleh Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
pinjaman modal kerja dari bank pemerintah, dan dapat pula menjual hasil produksinya di pasar dalam negeri tanpa diwajibkan lagi menunjuk distributor atau agen perusahaan nasional. Adanya pengaturan tentang bidang kerja sama usaha patungan (joint-venture), diharapkan penanaman modal dapat lebih bergairah untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kendati demikian dalam praktiknya penanaman modal di Indonesia masih menemui berbagai hambatan yang bersifat teknis operasional meskipun iklim kerjasama telah diperbarui oleh pemerintah untuk menghilangkan kekuatan pengusaha nasional dalam melakukan kerjasama usaha patungan (joint-venture) dengan modal asing. b. Pengertian Kerjasama Penanaman Modal Sebagaimana diuraikan di muka bahwa ketentuan mengenai kerja sama (joint- venture) antara modal asing dengan modal nasional yang diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1992 serta Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 32, 33, dan 34 Tahun 1992 atau yang lebih dikenal dengan Paket J uli (Pakjul) 1992 telah ditetapkan bentuk kerjasama yakni, dengan melalui suatu usaha patungan. Penetapan terhadap bentuk kerjasama usaha patungan antara modal asing dengan pihak nasional dimaksudkan oleh pemerintah untuk memberikan perlindungan serta peranan atau partisipasi pihak swasta nasional dalam pelaksanaan penanaman modal asing di Indoensia. Hal lain adalah memberikan kesempatan pula kepada perusahaan-perusahaan swasta nasional yang berskala kecil maupun dalam usaha koperasi untuk dapat ikut berpartisipasi di dalamnya melalui pemilikan saham terhadap penanaman modal asing yang telah melakukan aplikasi usahanya di Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Indonesia. Dengan demikian diharapkan akan terjadi perimbangan modal antar- penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri yang dirasakan sampai sekarang ini belum seimbang dalam hal pelaksanaannya. Oleh Todung Mulya Lubis disebut sebagai tidak adanya suatu "domestic countervailing power", sehingga kerjasama yang dilakukan antara penanaman modal asing dengan modal nasional diibaratkan sebagai istri yang kesekian kalinya tidak mempunyai bargaining position untuk bertindak seimbang dalam hal penanaman modal di Indonesia. 77
Pelaksanaan atau aplikasi penanaman modal khususnya Penanaman Modal Asing di Indonesia yang tidak melalui suatu usaha kerjasama dengan modal nasional baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum secara yuridis telah jelas diatur di dalam ketentuan undang-undang penanaman modal, bahwa baik terhadap modal, kekuasaan maupun pengambilan keputusan seluruhnya dilakukan sepenuhnya oleh pihak asing bilamana suatu perusahaan 100% modal sahamnya dimiliki oleh pihak asing. Lain halnya bilamana dilakukan atau dilaksanakan dalam suatu usaha kerjasama dengan pihak nasional, maka terdapat berbagai bentuk atau corak maupun variasi kerjasama antara modal asing dengan modal nasional baik dalam wujud perimbangan modal, kekuasaan dan pengambilan keputusan. 78
Untuk lebih jelas mengenai kerjasama (joint-venture) ini, terlebih dahulu perlu dirumuskan atau diberikan batasan pengertian apa yang dimaksudkan dengan kerjasama (Joint-venture) agar tidak menimbulkan berbagai macam penafsiran. "Joint-venture" kalau diterjemahkan secara langsung dapat diartikan sebagai "bekerja secara bersama-sama". Akan tetapi, timbul permasalahan bilamana usaha bersama ini
77 Todung Mulya Lubis, Hukum Ekonomi, Sinar Harapan, J akarta, 1992, hal. 23 78 Aminuddin Ilmar, op. cit., hal. 57. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
diartikan dengan "Joint-venture" sebab bisa saja mencakup semua jenis kerjasama, padahal dalam kenyataan atau praktiknya istilah "Joint-venture" ini hanya dipergunakan dalam suatu pengertian yang khusus, Friedman membedakan 2 (dua) macam bentuk joint-venture. J enis yang pertama tidak melaksanakan penggabungan modal, sehingga kerjasama tersebut hanya terbatas pada know-how sajayang dibawa kedalam joint venture. Know-how bisa mencakup "technical service agreement, franchise and brand-use agreement, construction and other job performance contract, management contract and rental agreements". Selanjutnya menurut Friedman, penggabungan know-how ke dalam joint venture biasanya merupakan babak permanen, yang pada saatnya akan beralih pada kerjasama berdasarkan penggabungan modal. 79
Joint-venture yang kedua ditandai oleh adanya partisipasi modal. Untuk membedakan jenis pertama dengan jenis yang kedua, maka Friedman menggunakan istilah "joint-venture" untuk yang pertama, dan "equity joint-venture" untuk jenis kerja sama yang kedua. Pengertian yang diberikan oleh Friedman tersebut dalam praktiknya tidak sesuai dimana dalam pemakaiannya istilah "joint-venture" diartikan sebagai suatu kerjasama yang dilakukan secara bersama-sama dan merupakan suatu perusahaan baru yang didirikan secara bersama-sama oleh dua atau lebih pihak dengan menggabungkan potensi usaha termasuk know-how dan modal, dalam perbandingan yang telah ditetapkan menurut perjanjian yang telah sama-sama disepakati. Di dalam literatur sering juga istilah "joint-venture" ini dinyatakan dengan istilah lain seperti "foreign collaboration", "international enterprise", dan sebagainya. 80
79 Friedman dalam B. Napitupulu, op. cit., hal. 24. 80 Aminuddin Ilham, op. cit., hal. 58-59. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Melihat pengertian yang dikemukakan oleh Friedman maupun penggunaannya dalam praktik, maka dapat disimpulkan beberapa ciri dari suatu usaha kerjasama (joint-venture) sebagai berikut:
(1) Suatu perusahaan baru atau badan hukum baru yang didirikan baik oleh perorangan maupun badan hukum swasta asing dengan pihak modal nasional. (2) Modal perusahaan "joint-venture" terdiri dari know-how dan modal saham yang disediakan oleh para pihak, dengan kekuasaan baik manajemen maupun pengambilan keputusan sesuai dengan banyaknya saham yang ditanam. (3) Para pihak yang mendirikan perusahaan tersebut tetap memiliki eksistensi dan kemerdekaan masing-masing. (4) Khusus untuk Indonesia seperti yang dikenal sekarang ini merupakan kerja sama antara modal asing dengan modal nasional. 81
Ismail Suny dan Rudiono Rochmat, mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) macam bentuk kerjasama (Joint-venture) antara modal asing dengan modal nasional sesuai dengan Pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yakni; joint-venture, joint-enterprise, dan kontrak karya. Meskipun sebenamya istilah "joint-enterprise" adalah juga merupakan atau termasuk dalam pengertian "joint-venture". 82 Oleh Sunaryati Hartono diuraikan bahwa sebenarnya istilah-istilah "joint-venture" oleh para ahli yang berbahasa Inggris dipergunakan sebagai istilah "verzamelnaam" untuk berbagai bentuk kerja sama antara penanaman modal nasional dengan penanaman modal asing. 83
J adi, apa yang disebut oleh Ismail Suny dan Rudiono Rochmat dengan "Joint- enterprise" juga merupakan salah satu bentuk daripada "joint-venture". Namun pembedaan yang dilakukan oleh Ismail Suny dan Rudiono Rochmat tersebut secara
81 Ibid., hal. 59. 82 Ismail Suny dan Rudiono Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan UUPMA dan Kredit Luar Negeri, Pradnya Paramita, J akarta, 1967, hal.108. 83 Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Tradisional dalam Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1970, hal. 127 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
resmi telah dipergunakan oleh pemerintah, sehingga pemakaian istilah tersebut sudah menjadi lazim adanya. Dalam hal "joint-venture" diartikan sebagai para pihak tidak membentuk badan hukum baru, akan tetapi suatu kerjasama yang semata-mata bersifat kontraktuil, sedang dalam hal "joint-enterprise" terjadi penggabungan modal nasional ke dalam satu badan hukum Indonesia. Lalu kemudian kontrak karya diartikan sebagai pihak asing membentuk suatu badan hukum Indonesia dan badan hukum Indonesia itu bekerjasama lagi dengan badan hukum (nasional) Indonesia yang lain. 84
c. Bentuk Kerjasama Penanaman Modal Selain ketiga bentuk kerjasama yang telah disebutkan di atas, masih terdapat juga bentuk lain yang dalam kenyataannya atau dalam praktik dilakukan oleh pemodal khususnya pemodal asing. Dengan kata lain, terdapat berbagai macam bentuk kerjasama (joint-venture) yang dilakukan oleh para penanam modal khususnya penanam modal asing dengan pemodal nasional seperti; production sharing, management-contract, technical assistance atau technical service contract, franchise and branduse agreement rnaupun dalam bentuk Build, Operation and Transfer atau lebih dikenal dengan istilah BOT. Di samping itu, dikenal pula adanya bentuk usaha kerjasama yang khusus seperti penanaman modal asing dengan Debt Investment Convertion Scheme (DISC-Rupiah) maupun kredit untuk proyek (barang modal). Semua bentuk usaha kerjasama (joint-venture) tersebut untuk lebih jelasnya akan diuraikan berikut ini:
84 Aminuddin Ilham, op. cit., hal. 60 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
1) Joint-Venture Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu bahwa bentuk usaha kerja sama (joint-venture) memiliki berbagai macam bentuk atau corak maupun variasi, namun pada intinya joint-venture adalah suatu usaha kerjasama yang dilakukan antara penanaman modal asing dengan modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian atau kontrak belaka (kontraktuil), di mana tidak membentuk suatu badan hukum baru seperti halnya pada joint joint-enterprise. Sebagai contoh dapat dikemukakan, yakni; Adanya perjanjian kerjasama antara Van Sickel Associates Inc. suatu badan hukum yang berkedudukan di Delaware, Amerika Serikat dengan FT Kalimantan Plywood Factory suatu badan hukum Indonesia untuk secara bersama-sama mengolah kayu di Kalimantan Selatan. Kerjasama ini juga biasa disebut dengan "Contract of Cooperation" yang tidak membentuk suatu badan hukum Indonesia seperti yang dipersyaratkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Berbagai macam corak atau variasi dari joint-venture yang diketemukan dalam praktik aplikasi penanaman modal asing dikemukakan sebagai berikut: a) Technical Assistance (service) Contract: suatu bentuk kerjasama yang dilakukan antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang yang bersangkut paut dengan skill atau cara kerja (method) misalnya; Suatu perusahaan modal nasional yang ingin memajukan atau meningkatkan produksinya . Membutuhkan suatu peralatan baru disertai cara kerja atau metode kerja. Dalam hal demikian, maka dibutuhkan (diperlukan) technical assistance dari perusahaan modal asing di luar negeri dengan cara pembayaran dalam bentuk royalti yakni pembayaran sejumlah uang tertentu yang dapat diambilkan dari penjualan produksi perusahaan yang bersangkutan. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
b) Franchise and brand-use Agreement: suatu bentuk usaha kerjasama yang digunakan, apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal seperti Coca-Cola, Pepsi-Cola, Van Houten, Mc'Donalds, Kentucky Fried Chikken, dan sebagainya. c) Manajemen Contract: suatu bentuk usaha kerjasama antara pihak modal asing dengan modal nasional menyangkut pengelolaan suatu perusahaan khususnya dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak modal asing terhadap suatu perusahaan nasional. Misalnya yang lazim dipergunakan dalam pembuatan maupun pengelolaan hotel yang bertaraf internasional oleh pihak Indonesia diserahkan kepada swasta luar negeri seperti; Hilton Internasional Hotel, Mandarin Internasional Hotel, dan sebagainya. d) Build, Operation and Transfer (B.O.T): suatu bentuk kerjasama yang relatif masih baru dikenal yang pada pokoknya merupakan suatu kerjasama antara para pihak, di mana suatu objek dibangun, dikelola atau dioperasikan selama jangka waktu tertentu diserahkan kepada pemilik asli. Misalnya; pihak swasta nasional mempunyai gedung atau bangunan mengadakan kerjasama dengan pihak luar negeri untuk membangun suatu Departement Store ataupun Hotel di mana biaya pembangunan, perencanaan, pelaksanaan operasinya dilaksanakan oleh pihak asing dengan jangka waktu sesuai kerja sama lalu kemudian diserahkan kepada pihak nasional. 85
2) Joint-Enterprise Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu bentuk kerjasama dalam bentuk joint-enterprise merupakan suatu kerjasama antara penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri dengan membentuk suatu perusahaan atau badan hukum baru sesuai dengan yang disyaratkan dalam Pasal 5 UU Penanaman Modal. Joint-Enterprise merupakan suatu perusahaan terbatas, yang modalnya terdiri dari modal dalam nilai rupiah maupun dengan modal yang dinyatakan dalam valuta asing. Pada permulaan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, tampaknya bentuk usaha kerjasama ini yang paling
85 Ibid., hal. 61-62. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
dikehendaki oleh para pihak khususnya penanaman modal asing. Alasan yang mendasari adalah: a) Setiap usaha di Indonesia memerlukan rupiah untuk pembayaran barang- barang yang lebih murah dan mudah diperoleh di Indonesia. J uga untuk pembayaran gaji pegawai dan lain-lain pengeluaran dibutuhkan rupiah oleh penanaman modal asing. b) Penanaman modal asing tidak perlu menanamkan modal dalam bentuk valuta asing, tetapi modal asing dapat berbentuk mesin-mesin atau lain hasil produksi penanaman modal asing itu. Sehingga penanaman modal asing di Indonesia oleh penanam modal asing itu telah menghasilkan efek yang menguntungkan, yaitu bahwa tidak hanya dapat membayangkan dapat memperoleh keuntungan dalam masa yang akan datang, akan tetapi pada saat ia diizinkan memasukkan mesin-mesinnya (barang-modal) ke Indonesia dengan bebas bea masuk, maka ia pun telah mengekspor barang-barangnya ke luar negeri tanpa membayar pajak impor untuk itu. c) Dengan bekerja sama dengan pengusaha nasional, apalagi yang telah berpengalaman, maka penanam modal asing itu dapat mengecilkan rislko seminimal mungkin, sehingga sebenarnya penanaman modalnya di Indonesia lebih merupakan pemberian kredit daripada penanaman modal asing yang langsung (direct-invesyment) seperti yang diisyaratkan dalam Pasal 1 UU PMA. 86
3) Kontrak Karya Pengertian kontrak karya (contract of work) sebagai suatu bentuk usaha kerjasama antara penanaman modal asing dengan modal nasional terjadi apabila penanam modal asing membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan perjanjian kerjasama dengan suatu badan hukum yang mempergunakan modal nasional. 87 Bentuk kerjasama kontrak karya ini hanya terdapat dalam perjanjian kerjasama antara Badan Hukum Milik Negara (BUMN) seperti; Kontrak Karya antara PN. Pertamina dengan PT Caltex Pacific Indonesia yang merupakan
86 Ibid., hal. 63. 87 Ismail Suny dan Rudiono Rochmat, loc. cit. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
anak perusahaan dari Caltex Internasional Petroleum yang berkedudukan di Amerika Serikat. 88
Ditinjau dari segi penanaman modal asing sendiri, maka cara tersebut sering kali lebih memuaskan, oleh karena masing-masing pihak dengan demikian dapat mengadakan pembukuan dan kebijaksanaan yang terpisah. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi di dalam suatu perusahaan campuran, berhubung dengan perbedaan pembukuan dalam rupiah dan pembukuan dalam valuta asing, atau berhubung dengan perbedaan pendapat mengenai manajemen perusahaan dengan demikian lebih mudah dapat dihindari. Menurut Sunaryati Hartono: Oleh karena negara tidak menjadi pemilik daripada bumi dan air dan kekayaan alam Indonesia, akan tetapi hanya mempunyai hak untuk menguasai saja. Oleh sebab itu, perusahaan negara (BUMN) juga hanya paling banyak dapat mengadakan perjanjian dengan pihak lain (asing) untuk mengerjakan pengolahan (eksploitasi dan eksplorasi) untuk dan atas nama perusahaan negara tersebut. Perjanjian semacam itu disebutnya dengan nama kontrak karya, yang memberi tugas dan kewajiban (dan karena itu hak) kepada pihak lain untuk menggali dan mengolah tanah yang menjadi kuasa pertambangan perusahaan tersebut. Adapun besarnya imbalan tergantung dari hasil perjanjian kontrak karya tersebut. 89
Dalam kontrak karya itu juga pengawasan (controle), manajemen, marketing, dan lain tindakan yang berhubungan dengan pengambilan, pengolahan, distribusi, dan penjualan barang yang diproduksi di Indonesia itu sepenuhnya ada di tangan pihak asing, dan bahkan boleh memindahkan hak-haknya itu kepada seorang sub-kontraktor dengan berdasarkan ketentuan dan hukum yang berlaku di Indonesia.
88 Aminuddin Ilham, op. cit., hal. 64. 89 Sunaryati Hartono, loc. cit., hal. 140. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Adanya berbagai bentuk dan corak kontrak karya dalam kerjasama antara modal asing dengan modal nasional disebabkan adanya beberapa pertimbangan di antaranya keleluasaan pihak asing untuk melakukan perjanjian kerjasama dengan perusahaan Negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sudah terjamin kepercayaannya oleh karena ditopang dengan unsur negara di dalamnya, penguasaan dimulai dari manajemen sampai kepada pemasaran tetap berada di tangan penanaman modal asing. 4) Production Sharing/Bagi hasil Menurut Sunaryati Hartono cara dengan production sharing ini sebelum UU Nomor 1 Tahun 1967, yaitu dengan terhapusnya UU Penanaman Modal Asing tahun 1958 oleh UU Nomor 16 Tahun 1965 boleh dikatakan merupakan satu-satunya cara yang terpenting dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara. Karena penanaman modal asing sudah dilarang dengan UU Nomor 16 Tahun 1965 itu, maka untuk memenuhi kebutuhan akan modal dan alat perlengkapan dari luar negeri, dipikirkan orang suatu bentuk kredit yang dinamakan production sharing atau bagi hasil. 90
Suatu production sharing atau bagi hasil, oleh karena kredit yang diperoleh dari pihak asing ini beserta bunganya akan dikembalikan dalam bentuk hasil produksi perusahaan yang bersangkutan, yang biasanya dikaitkan dengan suatu ketentuan mengenai kewajiban perusahaan Indonesia untuk mengekspor hasilnya kepada negara pemberi kredit. Dengan kata lain, bahwa production sharing adalah suatu perjanjian
90 Ibid., hal. 145 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
kerja sama kredit antara modal asing dengan pihak Indonesia yang memberikan kewajiban kepada pihak Indonesia untuk mengekspor hasilnya kepada negara pemberi kredit. 91
Setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, maka oleh pemerintah dilakukan pembaruan terhadap kontrak kerjasama production sharing ini lewat Instruksi Presidium Kabinet Nomor 34/EK/IN/5/67 tanggal 30 Mei 1967 yang pada pokoknya menekankan penyesuaian proyek-proyek maupun kredit dalam rangka production sharing ini. 5) Penanaman Modal dengan DICS-Rupiah Dibandingkan dengan kerjasama production sharing, maka penanaman modal asing dengan DICS-Rupiah ini merupakan suatu bentuk campuran atau variasi antara kredit dengan penanaman modal. J ika pada production sharing suatu perusahaan (nasional) Indonesia memperoleh modal asing dalam bentuk kredit, maka penanaman modal asing dengan DISC-Rupiah ini kredit modal asing yang harus dikembalikan kepada kreditomya oleh pihak Indonesia disesuaikan dengan adanya ketentuan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 28/EK/1N/5/1967 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa tagihan-tagihan para kreditor asing yang menyangkut utang-utang yang tidak dijamin oleh pemerintah asing dapat diubah menjadi penanaman modal asing di lndonesia. Kebijaksanaan tersebut dinamakan dengan Debt Investment Convertion Scheme (DISC), oleh sebab itu pelunasan utang-utang tersebut di atas, yang semula diperhitungkan berdasarkan valuta asing tetapi dibayar dengan rupiah
91 Ibid., hal. 146. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
yang dilakukan dengan DISC-Rupiah yang merupakan Kertas Perbendaharaan Negara berbunga 3% setahun. Menurut Ismail Suny dan Rudiono Rochmat, apabila kreditornya sendiri yang menggunakan DISC-Rupiah, maka yang akan dicatat sebagai modal adalah jumlah utang Republik Indonesia yang telah dihapuskan dengan pembayaran berupa DISC, pencatatan mana dilakukan dengan valuta asing. 92
6) Penanaman Modal dengan Kredit Investasi Adanya penanaman modal dengan menggunakan kredit investasi adalah merupakan kebijaksanaan pemerintah pada tahun 1970 dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri Nomor 2l/MENKUIN/4/1970. Di mana di dalam bidang penanaman modal ternyata kredit luar negeri dan penanaman modal tidak dapat dipisahkan dengan tegas, oleh karena kredit luar negeri dapat menjadi penanaman modal asing di dalam negeri. Dalam kenyataan tampak bahwa kredit luar negeri via kredit investasi menjadi modal nasional yang setelah bergabung dengan modal asing dalam joint-venture dapat digolongkan sebagai penanaman modal asing. Kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan kredit investasi kepada para pengusaha nasional yang kemudian mengadakan kerjasama (Joint-venture) dengan penanam modal asing sudah dapat digolongkan menjadi penanaman modal asing meskipun jalan yang ditempuh sangat berbelit-belit. Dalam praktik penanaman modal dengan kredit investasi ini banyak dilakukan oleh para pemodal dalam negeri untuk membiayai setiap proyeknya yang ada di Indonesia. 93
92 Ismail Suny dan Rudiono Rochmat, op. cit.,hal 129. 93 Aminuddin Ilham, op. cit., hal. 67. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
7) Portofolio Investment Penggabungan modal asing dengan modal nasional dalam bentuk portofolio investment tidak diatur dalam UU Penanaman Modal. Akan tetapi, di dalam praktik yang dilakukan oleh para pemodal dalam negeri khususnya pemodal WNI keturunan, penanaman modal asing semacam ini telah lama dilaksanakan dan dilakukan secara meluas. Sunaryati Hartono menyatakan bahwa oleh karena cara ini dilakukan dengan diam-diam (disguised), maka sukar sekali untuk memperoleh angka-angka yang terang mengenai pembentukan penanaman modal jenis ini. Lagi pula cara yang terselubung ini menyebabkan, bahwa bentuk penggabungan modal nasional dan modal asing ini tidak dianggap dan diperhitungkan sebagai penanaman modal, khususnya Penanaman Modal Asing (PMA). Akan tetapi, dalam praktik yang termasuk dalam kategori ini adalah investasi yang dilakukan melalui pembelian saham baik di pasar modal maupun melalui penempatan modal pihak ketiga dalam perusahaan (strategic partner). 94
2. Bidang Usaha Penanaman Modal Pertama kali sebelum penanaman modal khususnya penanaman modal asing mengaplikasikan modalnya, terlebih dahulu harus melalui beberapa prosedur dan tata cara Penanaman Modal khususnya penanaman modal asing. Pengaturan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1992 Tentang Tata Cara Penanaman Modal. Dalam ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut ditetapkan bahwa calon penanaman modal asing yang akan mengadakan usaha dalam rangka
94 Sunaryati Hartono, op. cit., hal. 156. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 J o Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, terlebih dahulu harus mempelajari daftar bidang-bidang usaha yang tertutup (Daftar Negatif Investasi atau DNI) atau dulunya disebut dengan Daftar Skala Prioritas (DSP) dan apabila diperlukan penjelasan lebih lanjut dapat menghubungi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Selanjutnya setelah mengadakan penelitian yang cukup mengenai bidang usaha yang terbuka, lokasi proyek, tingkat prioritas dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan, tentunya calon penanam modal khususnya penanaman modal asing dapat mengajukan permohonan penanaman modal kepada ketua BKPM dengan mempergunakan formulir yang telah ditetapkan oleh BKPM. Adanya penegasan yang dimaksud seperti dalam aturan tersebut di atas, sehingga semua calon penanaman modal sebelum melakukan aplikasi usahanya terlebih dahulu harus mempelajari daftar bidang usaha yang tertutup seperti yang tercantum dalam DNI bagi penanaman modal. Hal itu sejalan dengan pengaturan pemerintah terhadap penanaman modal yang melakukan usahanya di Indonesia yakni, untuk lebih mengarahkan penanaman modal khususnya penanaman modal asing pada bidang-bidang usaha yang memerlukan modal yang cukup besar, lokasi usaha, tingkat penguasaan teknologi, skill atau kemampuan, maupun manajemen. Sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 12 UU Penanaman Modal yang pada pokoknya menyarankan bahwa pemerintah menetapkan perincian bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing menurut urutan prioritas dan menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oieh penanaman modal asing dalam tiap-tiap bidang usaha tersebut. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Data investasi menunjukkan pasang surut penanaman modal khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal) terhadap pelaksanaan penanaman modal asing di Indonesia, maka tampak bahwa adanya bidang-bidang usaha yang banyak mendapat minat dari penanaman modal khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) seperti bidang usaha industri sub- bidang usaha industri kimia terbukti dengan munculnya 323 proyek dengan nilai investasi sebesar US $ 12,591 miliar, perhotelan sebanyak 104 proyek dengan nilai investasi sebesar US $ 7,167 miliar, bidang usaha pertambangan dengan 121 proyek mempunyai nilai investasi sebesar US $ 6,005 miliar, industri barang logam sebanyak US $ 5,752 miliar, perumahan dengan 40 proyek dan modal investasi sebesar US $ 4,729 miliar, industri kertas dengan 40 proyek dan modal investasi sebesar US $ 4,607 miliar, industri tekstil dengan 365 proyek dan modal yang ditanam sebanyak US $ 4,429 miliar, industri logam dasar sebanyak 46 proyek dengan nilai investasi sebesar US $ 4,415 miliar, industri non-logam sebanyak 61 proyek dengan nilai investasi sebesar US $ 3,087 miliar, dan bidang usaha pelayanan jasa dengan 257 proyek dan nilai investasi sebesar US $ 3,389 miliar. Bidang-bidang usaha tersebut paling banyak menyerap nilai penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia hampir mencapai 79 % dari total nilai penanaman modal asing menurut bidang usaha yang diminati. Dengan demikian, masih banyak bidang-bidang usaha yang belum tergarap oleh penanaman modal khususnya penanaman modal asing. Mengantisipasi keadaan tersebut seyogianya dievaluasi lagi bidang-bidang usaha yang kurang produktif dan yang kurang mendapat perhatian dari penanaman modal. Hal itu berkaitan erat dengan upaya Indonesia untuk menarik minat penanaman modal guna menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha yang mendapat prioritas dari pemerintah. Namun, dalam aplikasinya penanaman asing justru menanamkan modalnya bukan pada bidang-bidang usaha yang telah mendapat prioritas dari pemerintah. 95
Adanya keengganan sebagian penanaman modal khususnya penanaman modal asing untuk tidak menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha yang telah diprioritaskan oleh pemerintah disebabkan oleh beberapa alasan yang mendasari di antaranya di sektor-sektor bidang usaha yang telah diprioritaskan oleh pemerintah bagi penanaman modal dirasakan tidak dapat memberikan keuntungan yang maksimal misalnya dalam bidang usaha pertanian, sub-sektor perkebunan, tanaman
95 Aminunddin Ilham, op. cit., hal. 78-79. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
pangan, perikanan, peternakan. Di samping itu, penanam modal merasakan dukungan yang diberikan oleh pemerintah dalam bidang-bidang usaha yang telah diprioritaskan belum dapat memberikan keuntungan sesuai dengan studi kelayakan yang telah dilakukan, sehingga pemilihan bidang-bidang usaha oleh penanaman modal kadang- kala hanya didasarkan kepada pertimbangan praktis semata. Misalnya saja bidang- bidang usaha yang dapat segera menghasilkan atau secepatnya berproduksi. Sebabnya adalah para penanam modal asing selalu memperhitungkan adanya aspek Return On Investment (ROI) dan Sales and Profit Income (SPI). 96
Ketiga aspek tersebut diatas selalu menjadi bahan pertimbangan bagi para penanaman modal khususnya penanaman modal asing sebelum menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha yang memenuhi kriteria tersebut di atas. Alasannya adalah sangat sederhana yakni kembalinya modal secara cepat dengan keuntungan yang maksimal. Hal itu bisa dipahami bahwa sebagian besar penanaman modal atau investasi dibiayai oleh dana bank. Dengan lamanya suatu modal ditanamkan, maka return on investment yang diharapkan itu tidak akan dapat memberikan keuntungan yang maksimal. Oleh karena itu, sebagian besar penanaman modal khususnya penanaman modal asing lebih suka memilih bidang-bidang usaha yang berkaitan dengan pengembalian pinjaman yang dimodali oleh bank. Hal ini perlu dimengerti sebab banyak anggapan bahwa penanaman modal tidak mau menanamkan modalnya pada bidang-bidang usaha yang telah diprioritaskan oleh pemerintah disebabkan kurangnya fasilitas dan kemudahan-kemudahan yang
96 Ibid., hal. 79. lihat juga Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal, dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
diberikan terhadap bidang-bidang usaha tersebut. Padahal dalam kenyataannya pemerintah malahan telah menyediakan berbagai fasilitas dan kemudahan terhadap bidang usaha yang menjadi prioritas, namun tetap saja penanaman modal asing merasa lebih tertarik pada bidang-bidang usaha yang tidak diprioritaskan oleh pemerintah. Disinilah kendala yang dihadapi dalam hal penetapan bidang-bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal. Bagaimanapun juga bidang-bidang usaha tetap menjadi landasan utama atau menjadi bahan acuan (reference) bagi penanaman modal sebelum melakukan usahanya. Hal itu sejalan dengan ditetapkannya bidang- bidang usaha oleh pemerintah untuk menjadi petunjuk atau pedoman awal sebelum melakukan aplikasi modalnya. 97
Setiap pengaplikasian penanaman modal khususnya penanaman modal asing selalu berkaitan dengan bidang usaha penanaman modal. Mengenai bidang-bidang usaha penanaman modal telah diatur dalam Pasal 5, 6, 7, dan 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang pada prinsipnya menentukan bahwa pemerintah berwenang untuk: a. Menentukan perincian bidang-bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal asing menurut urutan prioritasnya melalui suatu ketetapan dari pemerintah dalam bentuk suatu daftar bidang-bidang usaha baik yang terbuka maupun yang dinyatakan tertutup bagi penanaman modal asing. b. Menentukan pula syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penanaman modal asing dalam hal memilih bidang-bidang usaha yang dinyatakan terbuka untuk penanaman modal asing.
97 Ibid., hal. 79-80. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Adanya ketentuan tersebut di atas secara tegas menentukan bahwa pemerintah berwenang untuk menetapkan perincian bidang-bidang usaha penanaman modal khususnya penanaman modal asing serta menentukan pula syarat-syarat tiap bidang penanaman modal asing. Selanjutnya pengaturan bidang-bidang usaha ini dijabarkan lebih lanjut oleh pemerintah lewat ditetapkannya bidang-bidang usaha dalam suatu daftar setiap tahunnya oleh pemerintah melalui suatu keputusan presiden, mana yang terbuka dan yang tertutup bagi penanaman modal. Dalam UU Penanaman Modal ditetapkan bidang-bidang usaha yang tertutup sama sekali atau secara penguasaan penuh bagi penanaman modal asing dengan alasan pertimbangan bahwa bidang- bidang usaha tersebut merupakan bidang-bidang yang penting bagi negara dan sangat vital serta menguasai hajat hidup orang banyak yaitu: 98
a. Pelabuhan b. Produksi, transmisi, dan distribusilistik untuk umum c. Telekomunikasi d. Pelayaran e. Penerbangan f. Air minum g. Kereta api umum h. Pengembangan tenaga atom i. Mass media Dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 sebagaimana telah diubah dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, ditetapkan pula bahwa bidang-bidang usaha yang menduduki peranan penting dalam pertahanan negara antara lain produksi senjata, mesin, alat-alat peledak, dan peralatan perang terlarang sama sekali atau tidak dibuka kemungkinan bagi usaha penanaman modal asing baik secara penuh maupun dengan
98 Ibid., hal. 81-82. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
usaha kerja sama patungan (joint-venture) dalam hal penanaman modalnya di In- donesia. Realisasi pengaturan mengenai penetapan bidang-bidang usaha penanaman modal asing dan penetapan prioritasnya oleh pemerintah pertama kali dilaksanakan melalui Instruksi Presidium Kabinet Nomor 06/EK/1N/1969 yang pada pokoknya menetapkan bahwa penanaman modal asing diundang dalam: 1. Bidang usaha yang dapat menambah penerimaan devisa bagi negara, misalnya dalam bidang usaha pertambangan, produksi pertanian, industri processing untuk ekspor, dan sebagainya. 2. Bidang usaha yang dapat membantu mengurangi impor untuk barang-barang tertentu seperti bahan-bahan yang dapat segera dikonsumsi maupun jasa. 3. Bidang usaha yang meskipun tidak menambah penerimaan devisa ataupun mengurangi impor secara berarti, namun: a. Bidang usaha yang dapat memberikan hasil dengan cepat (quick yielding) misalnya kurang dari 2 (dua) tahun. b. Bidang usaha yang dapat menambah kesempatan kerja secara berarti. c. Bidang usaha yang mengintroduksi teknologi atau cara-cara kerja baru yang dapat menaikkan produktivitas dalam sektor produksi. d. Bidang usaha yang dapat menambah alat-alat perlengkapan modern yang dapat memperbesar efektivitas kerja atau menurunkan biaya produksi. Selanjutnya dalam Pasal 2 dari Instruksi Presidium Kabinet Nomor 06/EK/ IN/1/1969 disebutkan bahwa dewan penanaman modal asing yang memilih bidang usaha tertentu dapat memberikan manfaat pada ekonomi nasional atau tidak dengan mempertimbangkan setiap permohonan penanaman modal asing berdasar pada ketentuan tersebut di atas. Dan selanjumya memberikan pertimbangan yang lebih luas untuk penanaman modal yang berupa kerja sama patungan (joint-venture) antara modal asing dengan modal nasional. Dalam perkembangan selanjutnya bidang usaha penanaman modal dan penetapan prioritasnya diatur dan ditetapkan dalam Keputusan Presiden baik dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sampai dengan masa 3 (tiga) tahun. Pengaturan dan Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
penetapan bidang usaha kemudian diatur kembali lewat Keppres Nomor 78 Tahun 1982 tentang Daftar Bidang-bidang Usaha Penanaman Modal dan telah beberapa kali mengalami perubahan, 99 terakhir ditentukan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Dalam Peraturan Presiden ditentukan bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal, antara lain perjudian/kasino, peninggalan sejarah dan purbakala serta museum. 100
Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro,Kecil Menengah dan Koperasi (UMKMK), bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikannya modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. 101
Persyaratan tersebut merupakan persyaratan bagi pembentukan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia bagi penanam modal (khususnya penanaman modal asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia).
99 Keppres Nomor 78 Tahun 1982 tentang Daftar Bidang-bidang Usaha Penanaman Modal dan telah beberapa kali mengalami perubahan, di antaranya dengan Keppres 34 Tahun 1984 tentang Daftar Bidang Usaha Penanaman Modal Jo. Keppres Nomor 55 Tahun 1984 Keppres Nomor 22 Tahun 1986 J o. Keppres Nomor 15 Tahun 1987 dicabut dengan Keppres Nomor 29 Tahun 1989 J o Keppres Nomor 23 Tahun 1991 J o. Keppres Nomor 23 Tahun 1991 J o. Keppres Nomor 32 Tahun 1989 J o tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Bagi Penanaman Modal yang Mengatur 51 Sektor Bidang Usaha dan terakhir dengan Keppres Nomor 54 Tahun 1993 yang menyederhanakan sektor bidang usaha menjadi 34 bidang usaha 100 Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. 101 Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Adanya pengaturan dan penetapan bidang usaha bagi penanaman modal oleh pemerintah, tentunya harapan dari pemerintah untuk mengarahkan penanaman kodal sesuai dengan rencana pembangunan nasional maupun dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan bangsa Indonesia. Untuk itu penentuan bidang usaha bagi penanaman modal khususnya penanaman modal asing sangat wajar dan sesuai dengan landasan dan dasar Negara Indonesia untuk mengundang penanaman modal khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) masuk ke Indonesia. Di sinilah peran penting pemerintah bagaimana menyerasikan dan memadukan keinginan terhadap masuknya penanaman modal dengan interest atau kepentingan penanaman modal itu sendiri. 102
C. Perbedaan Investasi Langsung dan Tidak Langsung Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam berbagai kepustakaan ilmu hukum dapat ditemui istilah penanaman modal langsung dan tidak langsung. J ika ditelusuri lebih lanjut paling tidak di Indonesia, kedua terminologi tersebut muncul ketika pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1976 tentang Penanaman Modal disebutkan: Pengertian penanaman modal di dalam undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut.
102 Aminuddin Ilham, op. cit., hal. 81. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri disebutkan, penanaman modal dalam negeri ialah penggunaan daripada kekayaan seperti tersebut dalam Pasal 1, baik secara langsung atau tidak langsung, untuk menjalankan usaha menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Dalam penjelasan Pasal 2 UU PMDN tersebut, bahwa penanaman modal dalam negeri ialah penggunaan modal tersebut dalam Pasal 1 bagi usaha-usaha yang mendorong pembangunan ekonomi pada umumnya. Penanaman tersebut dapat dilakukan secara langsung, yakni oleh pemiliknya sendiri, atau tidak langsung, yakni melalui pembelian obligasi-obligasi, surat-surat kertas perbendaharaan negara, emisi- emisi lainnya (saham-saham) yang dikeluarkan oleh perusahaan, serta deposito dan tabungan yang berjangka waktu sekurang-kurangnya satu tahun. Dari ketentuan itu, jenis penanaman modal dilihat dari sumber dana yang digunakan, yakni modal asing dan modal dalam negeri yang membawa konsekuensi terhadap risiko yang akan dihadapi oleh pemilik modal. Artinya, bagi pemodal asing maupun dalam negeri yang hendak menanamkan modalnya secara langsung, maka secara fisik investor hadir dalam menjalankannya usahanya. Dengan hadirnya atau tepatnya dengan didirikannya badan usaha yang berstatus sebagai Penanaman Modal Asing (PMA), maka badan usaha tersebut harus tunduk kepada ketentuan hukum di Indonesia. 103
103 Dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri disebutkan, perusahaan yang dimaksud dengan Pasal 1 yang dijalankan untuk seluruhnya atau bagian terbesar di Indonesia sebagai kesatuan perusahaan tersendiri harus berbentuk Badan Hukum menurut Hukum Indonesia darn berkedudukan di Indonesia. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Pada jenis investasi secara tidak langsung, investornya tidak perlu hadir secara fisik, sebab pada umumnya (mungkin untuk kasus-kasus tertentu investor mau memiliki perusahaan secara permanen dengan perhitungan bisnis tentunya cukup menjanjikan pendapatan) tujuan utama dari investor bukanlah mendirikan perusahaan, melainkan hanya membeli saham dengan tujuan untuk dijual kembali. Tujuan investor di sini adalah bagaimana memperoleh hasil yang maksimal dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama sudah bisa menikmati keuntungan. Dengan kata lain, jenis investasi seperti ini, yang diharapkan oleh investor adalah capital gain, artinya adanya penghasilan dari selisih antara beli dan jual saham di bursa efek. 104
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa ada perbedaan karakter antara investasi secara langsung dengan investasi tidak langsung. Dilihat dari sudut pandang ini, masih menjadi perdebatan tentang adanya perbedaan karakteristik investasi langsung dengan investasi tidak langsung. Dahniel Khumarga, mengemukakan: Guna meluruskan pandangan yang kurang pada tempatnya dibedakan antara penanaman modal langsung dan tidak langsung, maka Fakultas Hukum UPH akan memelopori pergantian sebutan atau nama mata kuliah hukum investasi dirubah menjadi Hukum Investasi Langsung yang meliputi Hukum Penanaman Modal Asing Langsung (Foreign Direct Investment Law) dan Hukum Penanaman Modal Dalam Negeri Langsung (Domestic Direct Investment Law). Sedangkan Hukum Pasar Modal akan diganti sebutannya dengan nama Hukum Investasi Tidak Langsung (Indirect Investment Law) atau biasa juga disebut dengan Portofolio Investment Law yang sumbernya adalah UU No.8 Tahun 1995. 105
104 Dalam Pasal 1 butir 4 UU Pasar Modal disebutkan, bursa efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan atau sarana untuk mempertemukan penawaran dan jual dan beli efek. Pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka. Pasal 6 ayat (1) mengemukakan, yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai bursa efek adalah perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Bapepam. 105 Dahniel Khumarga, Regulasi Investasi, Kendala dan Faktor Penunjangnya, Pidato Pengukuhan Penerimaan J abatan Sebagai Besar Tetap Dalam Bidang Pengantar Tata Hukum Indonesia Fakultas Hukum UPH Tangerang, 2 Maret 2002, hal. 10-11. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Dari pandangan tersebut, tampak bahwa penggolongan investasi langsung dan tidak langsung dianggap masih relevan. Hanya saja, penyebutannya disesuaikan dengan perkembangan dunia bisnis yang telah berkembang dengan pesat. Barangkali pemikiran semacam ini ada benarnya, mengingat investasi secara langsung mempunyai karakteristik tersendiri jika dibandingkan dengan investasi secara tidak langsung. Gunarto Suhardi, mengemukakan: Investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena Investasi langsung lebih permanen. Selain itu investasi langsung: 1. Memberikan kesempatan kerja bagi penduduk; 2. Mempunyai kekuatan penggandaan dalam ekonomi lokal; 3. Memberikan risidu baik berupa peralatan maupun alih teknologi; 4. Bila produksi diekspor memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal di samping seketika memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara; 5. Lebih tahan terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing; 6. Memberikan perlindungan politik dan keamanan wilayah karena bila investor berasal dari negara kuat niscaya bantuan keamanan juga akan diberikan. 106
Secara teoritis dapat dibedakan antara penanaman modal secara langsung dan tidak langsung, dan jika dilihat dari manfaat yang dapat diambil oleh negara penerima modal maka kehadiran jenis investasi secara langsung lebih menguntungkan bagi negara penerima modal, sebab kehadiran investasi dapat menggerakkan roda perekonomian negara tersebut. Selain itu, dengan kehadiran investor asing dapat tidak hanya meningkatkan nilai tambah bagi pemerintah tetapi juga berdampak langsung kepada masyarakat.
106 Gunarto Suhardi, op. cit., hal. 45 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Perbedaan antara investasi asing langsung dengan investasi asing tidak langsung, sebagaimana terlihat di bawah ini: Tabel 1 Perbedaan Antara Investasi Asing Langsung dan Investasi Tidak Langsung
No Langsung (Foreign Direct Investment/FDI) Tidak Langsung (Foreign Indirect Invesment/FII) 1 Transfer aset dari satu negara ke negara lain Perpindahan uang dengan tujuan membeli saham 2 Mendirikan perusahaan Tidak mendirikan perusahaan 3 Perusahaan dikendali seluruh atau sebagian oleh pemilik perusahaan Ada pemisahan antara pemilik dengan manajemen 4 Investasi tidak dapat ditarik setiap saat Investasi setiap saat dapat dipindahkan 5 Membutuhkan kehadiran secara fisik Tidak perlu hadir secara fisik 6. Landasan hukum UU No.25 Tahun 2007 Landasan hukum UU No. 8 Tahun 1995 7. Pengelola BKPM (PEMDA) Pengelola BAPEPAM-LK (DEPKEU Republik Indonesia) Sumber: diadaptasi dan dikembangkan lebih lanjut dari buku M. Sarnarajah, The International law on Foreign Investment Cambrigde University Press 1994. 107
Dari tabel di atas terlihat bahwa pada investasi langsung terjadi transfer aset dari satu negara ke negara sedangkan pada investasi tidak langsung perpindahan uang itu adalah untuk membeli saham, jadi investor pada investasi tidak langsung tidak perlu hadir secara fisik.
107 Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, PT. Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hal. 84. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Dalam investasi langsung investor mendirikan perusahaan di negara tujuan investasi sedangkan investasi tidak langsung tidak perlu mendirikan perusahaan. Kemudian juga dalam investasi langsung perusahaan dikendali seluruh atau sebagian oleh pemilik saham, sedangkan investasi tidak langsung terjadi pemisahan antara pemilik dengan manajemen. Dalam investasi langsung, investor tidak dapat setiap saat menarik investasi tersebut, sedangkan pada investasi tidak langsung hal ini dapat dilakukan atau dapat dipindahkan setiap saat. Yang menjadi landasan umum investasi asing langsung adalah Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sedangkan landasan umum investasi asing tidak langsung adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Sehingga lembaga pengelola dari kedua sifat investasi itu juga berbeda, di mana investasi asing langsung dikelola Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sedangkan investasi asing tidak langsung dikelola BAPEPAM. D. Prosedur Penanaman Modal Asing dan Masalah Yang Dihadapi 1. Prosedur dan Persyaratan Penanaman Modal Asing (PMA) Prosedur dan persyaratan Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu Pintu. Mekanisme Penanaman Modal Asing (PMA) berdasarkan Keputusan Presiden Nmor 29 Tahun 2004 sebagaimana terlihat pada gambar berikut ini: Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Gambar 1 Mekanisme Penanaman Modal Asing (PMA)
SURAT PERSETUJUAN PMA AKTE PENDIRIAN PERUSAHAAN PMA IZIN LOKASI IMB SERTIFIKAT TANAH HO AMDAL, UPL - UKL APIT MASTERLIST TDP IZIN USAHA TETAP (IUT) APLIKASI MODEL I PMA Sumber: Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu Atap Adapun syarat-syarat dalam melakukan penanaman modal asing berdasarkan pada mekanisme penanaman modal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 108
1. Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing Syarat-syarat: a. Fotocopy KTP Pemegang Saham yang WNI b. Fotocopy NPWP Pemegang Saham yang WNI c. Fotocopy Lengkap Paspor WNA d. Flowchart uraian Proses Produksi mulai dari bahan baku hingga produk yang dihasilkan. e. Proposal singkat tentang usaha yang akan dibangun. Lamanya proses izin tersebut adalah 10 hari kerja dengan ketentuan berkas lengkap dan benar. Setelah berkas lengkap dan diproses di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) J akarta selama 10 15 hari kerja. Dalam melakukan proses izin tersebut tidak dikenakan biaya.
108 Hasil wawancara dengan Ibu Hj. R. Sabrina, M.Si., Kepala Badan Investasi dan Promosi (BAINPROM) Provinsi Sumatera Utara, tanggal 26 Agustus 2008 di Medan. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
2. Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT) Syarat-syarat: a. Spesimen tanda tangan dan pas photo b. Fotocopy Akte Pendirian dan perubahannya c. Fotocopy Surat Persetujuan PMDN/PMA d. Surat Keterangan Domisili Perusahaan e. Fotocopy NPWP f. Fotocopy LKPM Semester terakhir g. Fotocopy sertifikat gedung kantor perusahaan atau fotocopy sewa menyewa gedung kantor h. Kartu APIT yang telah ditandatangani dan cap perusahaan Lamanya Proses Izin 10 hari kerja dengan ketentuan berkas lengkap dan benar, dan tidak dikenakan biaya.
3. Pengesahan Master List Syarat-syarat: a. Daftar induk barang modal b. Denah pabrik dan gambar tata letak mesin-mesin/peralatan c. Brosur/spesifikasi teknis mesin-mesin/peralatan d. Uraian proses produksi/flow chart perhitungan kapasitas mesin-mesin e. Fotocopy surat persetujuan pma/pmdn f. Fotocopy Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) g. Fotocopy Nomor Wajib Pajak (NPWP) h. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir Lamanya proses izin 10 hari kerja dengan ketentuan berkas lengkap dan benar, dan tidak dikenakan biaya. 4. Izin Lokasi, IMB, HO, AMDAL (UPL-UKL), TDP Izin lokasi, IMB, HO, AMDAL (UPL-UKL), TDP syarat-syaratnya mengikuti ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dimana lokasi Proyek PMA berdomisili. Lamanya proses izin 10 hari kerja dengan ketentuan berkas lengkap dan benar. Kewenangan ini menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sejak tahun 1993. Dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004, efektif kewenangan penerbitan Surat Persetujuan PMA terhitung mulai tanggal 23 Agustus 2004 menjadi kewenangan BKPM dengan Sistem Pelayanan Satu Atap.
5. Izin Usaha Tetap (IUT) Syarat-syarat: a. Fotocopy akte pendirian perusahaan yang telah disahkan Menteri Hukum dan HAM b. Fotocopy hak atas tanah atau bukti perjanjian menyewa c. Fotocopy IMB Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
d. Fotocopy Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) atau Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) atau Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) e. Fotocopy surat persetujuan pma/pmdn f. Fotocopy HO atau HO Non Industri g. Fotocopy Tanda Daftar Perusahaan (TDP) h. Fotocopy PPKP dan NPWP perusahaan. Lamanya Proses Izin 10 hari kerja dengan ketentuan berkas lengkap dan benar, dan tidak dikenakan biaya. Selanjutnya daftar positif dan negatif bagi Penanaman Modal itu mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal, dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. 2. Masalah-Masalah Penanaman Modal Yang Dihadapi a. Fiskal Sejak 1 Mei 2000 bahwa insentif Free Tax bagi Investor PMA/PMDN tidak lagi bebas Pajak, dirubah menjadi keringanan Pajak/Bea. Sebelum kebijakan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 135/KMK.05/2000 tanggal 1 Mei 2000 jo Nomor 28/KMK.05 /2001 tanggal 26 J anuari 2001 terbit, Import Bea Masuk, PPn & PPh atas Barang Modal tidak dikenakan kutipan apapun. Setiap Pengimportan Barang Modal, Investor diwajibkan harus mengurus Surat Keterangan Bebas Pajak PPn dari Kantor Pelayanan Pajak setempat, sehingga kewajiban ini menambah birokrasi jalur untuk mengeluarkan barang import dari pelabuhan. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
b. Perizinan Sejak diterbitkan Surat Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), maka semua permohonan Surat Persetujuan Baru PMA maupun PMDN diajukan dan diproses oleh BKPM, berapapun besar investasi yang akan ditanamkan. Sehingga kebijakan ini jelas akan memperpanjang birokrasi dan memperjauh titik pelayanan, serta tidak sesuai dengan jiwa otonomi daerah. Izin-izin lanjutan yang menjadi kewenangan daerah Kabupaten/Kota sering tidak tepat waktu, sehingga investor tidak dapat dengan segera merealisasikan rencana proyek yang sudah diprogramkan. c. Tata Ruang Sering terjadi rencana proyek PMA/PMDN yang telah mendapat persetujuan, tidak dapat melanjutkan pembangunan, karena lokasi proyek yang akan dibangun tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota, karena Tata Ruang Pemerintah Propinsi dengan Tata Ruang Kabupaten/Kota atas lokasi proyek PMA/PMDN yang akan didirikan tidak sama, malah ada yang bertentangan. d. Administrasi Urusan Tenaga Kerja Asing Ketentuan yang mengatur administrasi tenaga kerja asing yang berlaku saat ini, mengundang kebingungan bagi para investor, di satu sisi pihak Departemen Tenaga Kerja membuat ketentuan bahwa departemen tenaga kerja yang berhak memproses administrasi urusan tenaga kerja asing, di pihak lain BKPM menyatakan bahwa BKPM yang berhak. Kejadian seperti ini juga terjadi di Propinsi, satu sisi Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Dinas Tenaga Kerja menyatakan bahwa kewenangan perpanjangan Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA) adalah wewenangnya, disisi lain mengacu kepada petunjuk dari BKPM perpanjangan IKTA adalah wewenang Instansi Penanaman Modal Tingkat Propinsi. Keadaan seperti ini, jelas akan menimbulkan ketidakpastian Instansi Pemerintah mana sebenarnya yang berhak untuk urusan IKTA, dan hal ini akan menimbulkan iklim investasi yang tidak kondusif. 109
109 Hasil wawancara dengan Bapak Anthon Malau, S.H., Kasubbid Pelayanan ADM Industri Provinsi Sumatera Utara, tanggal 26 Agustus 2008 di Medan. BAB III JAMINAN KEPASTIAN HUKUM BAGI INVESTASI ASING MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL A. Substansi Baru, Insentif dan Pembatasan Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal 1. Substansi Baru dalam Undang-Undang Penanaman Modal a. Perlakuan yang Sama Terhadap Penanam Modal Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa, Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan bahwa perlakuan tersebut tidak berlaku bagi penanam modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia. Ketentuan ini menyesuaikan dengan prinsip yang dianut oleh Trade Related Investment Measures-WTO. Ketentuan ini, sesuai dengan prinsip WTO "the most favored nations", yaitu suatu ketentuan yang diberlakukan oleh suatu negara harus diperlakukan pula kepada semua negara anggota WTO. Ketentuan ini untuk menegakkan prinsip Non Diskriminasi yang dianut WTO. Prinsip perlakuan nasional (national treatment, non diskriminasi) mengharuskan negara tuan rumah/penanam modal untuk tidak membedakan perlakuan antara penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri di negara penerima modal tersebut. 110
110 J .H.J ack, dalam Suparji, op. cit., hal. 211. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Prinsip ini membawa konsekuensi bagi negara-negara anggota, yaitu tidak diperkenankan untuk memberikan perlakuan istimewa terhadap penanaman modal dalam negeri. J ika ada peraturan (measure) investasi yang memberikun perlakuan diskriminatif, hal itu bertentangan dengan GATT. 111
Berkaitan dengan mekanisme perdagangan bebas multilateral, prinsip ini melarang negara-negara anggota GATT/WTO menerapkan kebijakan yang menyebabkan diskriminasi perlakuan antara produk impor dengan produk buatan sendiri. Dengan kata lain negara-negara anggota tidak dapat memaksakan pemakaian produk dalam negeri. 112
Dengan demikian prinsip "National Treatment" ini menghindari peraturan- peraturan yang menerapkan perlakuan diskriminatif yang ditujukan sebagai alat untuk memberikan proteksi terhadap produk-produk buatan dalam negeri. Tindakan yang demikian ini menyebabkan tergangggunya kondisi persaingan antara barang-barang buatan dalam negeri dengan barang impor dan mengarah kepada pengurangan kesejahteraan ekonomi. 113
Dengan kata lain, ketentuan dalam TRIMs ini pada dasarnya diarahkan untuk menghilangkan aturan dalam bidang investasi yang dapat menimbulkan distorsi dalam perdagangan internasional. Selain itu, dalam TRIMs ada sebagian ketentuan yang dianggap sebagai retriksi kuantitatif terhadap impor, yaitu: pertama, pembatasan impor produk yang dipakai dalam proses produksi atau terkait dengan produksi lokal yang harus diekspor; kedua, pembatasan impor yang dipakai dalam proses produksi atau terkait dengan produksi lokal dengan membatasi akses devisa yang dapat diperoleh oleh
111 Victor Salgado, dalam Ibid., hal. 212. 112 National Treatment Principle, http://www.meti.go.jp/English/report/get0002e.pdf., hal. 1 dalam Ibid., hal. 212. 113 Ibid., hal. 112. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
perusahaan yang bersangkutan; ketiga, pembatasan ekspor menurut jumlah, jenis, maupun nilai produk atau persentase dari volume, nilai produk lokal. 114
Sebelumnya ada peraturan penanaman modal di Indonesia yang dikategorikan sebagai TRJ Ms negatif atau bertentangan dengan GATT/WTO, yaitu: Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 114/M/SK/6/1993 tentang Penetapan Tingkat Kandungan Lokal Kendaraan Bermotor atau Komponen Buatan Dalam Negeri. Adanya persyaratan kandungan lokal terhadap pembuatan kendaraan roda 2 (dua) dan roda 4 (empat) serta pembuatan jenis mesin dan peralatan lainnya adalah bertentangan dengan prinsip national treatment. Surat Keputusan ini tidak berlaku lagi. b. Tanggung Jawab Bagi Penanam Modal Substansi baru yang lain dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah ketentuan tentang tanggung jawab penanam modal. Pasal 16 menyebutkan bahwa, setiap penanam modal bertanggung jawab: a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan, meninggalkan, menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; d. menjaga kelestarian lingkungan hidup; e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing mempunyai tanggung jawab hukum dan kewajiban menaati
114 H.S.Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Press, J akarta, 1997, hal. 220. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
hukum Indonesia, jika ada kewajiban hukum yang harus diselesaikan, kewajiban pajak, dan kewajiban lainnya maka Bank Indonesia atas permintaan Pemerintah atau Badan Koordinasi Penanaman Modal dapat menunda hak untuk melakukan transfer atau repatriasi. Selain itu, penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi, dan pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan. 115
c. Sanksi bagi Penanam Modal Substansi baru dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah sanksi bagi penanam modal. Pasal 33 ayat (1) menyebutkan bahwa, penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk Perseoran Terbatas dilarang membuat perjanjian dan/ atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. Ayat (2) menyebutkan bahwa, dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perjanjian dan/ atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.
115 "Pemerintah Belum Pernah Tuntaskan Kasus Investor Pengemplang", Kompas, 8 April 2008. lihat juga "1.300 Buruh Telantar Akibat PMA Hengkang", Kompas, 8 Februari 2007. Ketentuan tentang tanggung jawab penanaman modal didasarkan pada fakta adanya investor yang kabur meninggalkan berbagai persoalan saat usahanya bermasalah. Pada tahun 2006-2007 ada beberapa investor yang meninggalkan Indonesia dan belum menyelesaikan kewajibannya, antara lain; pertama, PT. Dong J oe yang tutup Oktober 2006, jumlah karyawan 6.000 orang; kedua, PT. Tong Yang, tutup Oktober 2006, jumlah karyawan 8.300 orang; ketiga, PT. Tirai Tapak Tiara dan PT. Tampuk Yudha Inti, yang tutup Oktober 2006, jumlah karyawan 3.000 orang dan kecmpat, PT. Bridor Indonesia, tutup sejak bulan Desember 2007, jumlah karyawan 38 orang; kelima, PT. Livatech Eletronik Indonesia yang bergerak di bidang perakitan komponen elektronik hengkang dari Indonesia sehingga menyebabkan 1.300 buruh terlantar. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Selanjutnya, ayat (3) menyebutkan bahwa, dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan,
dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerjasama dengan penanam modal yang bersangkutan. Pasal 34 menyebutkan bahwa bentuk sanksi, yaitu peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan atau fasilitas penanaman modal atau pencabutan kegiatan usaha dan/ atau fasilitas penanaman modal. 116
2. Insentif dalam Undang-Undang Penanaman Modal a. Insentif Pajak bagi Penanam Modal Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan insentif pajak sangat luas, yaitu sesuai Pasal 18 ayat (4): a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu. b. Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. c. Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu.
116 Ketentuan tentang sanksi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan ketentuan yang baru, karena baik dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing maupun Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada waktu yang lalu, masalah sanksi tidak diatur. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
d. Pembebasan atau Penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu. e. Penyusutan atau Amortisasi yang dipercepat, dan f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. 117
Insentif pajak diberikan secara selektif, karena penanam modal akan mendapat insentif jika perusahaan tersebut melakukan investasi pada sektor yang menyerap tenaga kerja, bidang usaha termasuk skala prioritas tinggi dan membangun infrastruktur. Selain itu, perusahaan tersebut harus melakukan alih teknologi, industri tersebut merupakan industri pionir dan usahanya dilakukan di daerah terpencil/daerah tertinggal/daerah perbatasan. Selanjutnya, perusahaan tersebut harus menjaga kelestarian lingkungan hidup dan bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi. 118
Dalam sejarah kebijakan penanaman modal Indonesia, tax holiday pernah diberikan pada tahun 1970-an. Fasiltas ini dicabut pada tahun 1980-an ketika terjadi reformasi perpajakan. Hal ini dipengaruhi pendapat bahwa pemberian fasililas tax holiday dinilai tidak adil karena yang dapat menikmati hanya sebagian pengusaha tertentu sedangkan pengusaha kecil yang jumlahnya sangat banyak tidak dapat menikmati dan malah memikul bebannya. Selain itu, pemberian tax holiday dianggap bukan merupakan fasilitas yang ampuh untuk menarik minat para investor memasuki suatu industri, 119 dan tax holiday terbukti bukan merupakan suatu kebijakan yang efektif dalam menarik investor asing. Kemudian, pada tahun 1996 pemberian insentif
117 Penjelasan Pasal 18 ayat 3 huruf e Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 118 Lihat, Pasal 18 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 119 Pande Radja Silalahi, "Menghidupkan Kembali Tax Holiday", Tempo, edisi 22/01, 26 J uli 1996. Lihat juga, "Tax Holiday Bukan J aminan untuk Tarik Minat Investor" Harian Ekonomi Neraca, 9 Agustus 2003. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
tax holiday dihidupkan kembali melalui Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1996 yang antara lain pemberian insentif kepada industri-industri tertentu. 120
Insentif pajak dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, jika dibandingkan dengan undang-undang negara lain, dapat dinyatakan kalah bersaing. Karena, Undang-Undang ini tidak memberikan fasilitas tax holiday. Sementara di negara-negara lain memberikan insentif berupa tax holiday. Misalnya, China memberikan tax holiday selama 2 tahun ditambah dengan PPh 50% sampai tahun ke 5, dan reinvestasi uang pajak dikembalikan 40%.Thailand memberikan insentif tax holiday kepada penanam modal berupa pembebasan bea masuk pada impor barang modal dan bahan baku selama 3 - 8 tahun. Dalam Investment Promotion Act diatur kriteria insentif yang diberikan kepada penanam modal asing, yaitu: memberikan keuntungan secara ekonomis dan teknologi. Pemberian insentif ini juga mempertimbangkan jumlah produsen yang sudah ada, kapasitas produksi nasional dan proyek yang dipromosikan. kemudian perusahaan tersebut harus mempertimbangkan sumber daya nasional bahan baku dan tenaga kerja, serta jumlah mata uang asing yang tersimpan. 121
b. Transfer Aset dan Repatriasi Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberikan insentif lain berupa hak transfer dan repatriasi. Dibandingkan dengan Undang- Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, hak transfer dan repatriasi tersebut, lebih rinci dan lebih komprehensif . Hal ini dapat dilihat pada Pasal 8 yang berbunyi: (1) Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Aset yang tidak termasuk aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aset yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai aset yang dikuasai oleh negara. (3) Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap; a. modal;
120 Lihat juga Keputusan Presiden No.45 tahun 1996 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Insentif Kepada Perusahaan. 121 Suparji, op. cit., hal. 219. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain; c. dana yang diperlukan untuk: 1. pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau 2. penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal; d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal; e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman; f. royalti atau biaya yang harus dibayar; g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal; h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal; i. kompensasi atas kerugian; j. kompensasi atas pengambilalihan; k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengalihan aset pada prinsipnya memang dapat dilakukan oleh penanam modal sesuai dengan keinginannya, tetapi tidak sepenuhnya "bebas" karena masih harus mengacu pada peraturan perundang-undangan, misalnya, peraturan tentang pelaporan kepada Bank Indonesia. 122 Selain itu, kebebasan pengalihan aset juga dibatasi dari jenis asetnya, yaitu aset yang dikuasai negara tidak diizinkan dialihkan, misalnya hutan, pertambangan, kekayaan laut dan energi yang lain. Selanjutnya, ayat (5) menyebutkan hak transfer dan repatriasi tidak mengurangi: a. kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana; b. hak Pemerintah untuk mendapatkan pajak dan/atau royalti dan/atau pendapatan Pemerintah lainnya dari penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. pelaksanaan hukum yang melindungi hak kreditor; dan d. pelaksanaan hukum untuk menghindari kerugian negara.
122 Lihat , Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Di samping itu, untuk mengantisipasi terhadap beberapa investor yang meninggalkan begitu saja perusahaan di Indonesia, tanpa menyelesaikan kewajiban mereka membayar upah buruh dan kewajiban lainnya, Pasal 9 ayat (1) menyebutkan, bahwa dalam hal adanya tanggung jawab hukum yang belum diselesaikan oleh penanam modal: a. penyidik atau Menteri Keuangan dapat meminta bank atau lembaga lain untuk menunda hak melakukan transfer dan/atau repatriasi; dan b. pengadilan berwenang menetapkan penundaan hak untuk melakukan transfer dan/atau repatriasi berdasarkan gugatan. Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan, bahwa Bank atau lembaga lain melaksanakan penetapan penundaan berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hingga selesainya seluruh tanggung jawab penanam modal. Pengaturan yang memberikan kepada penanam modal, hak untuk melakukan transfer dan repatriasi itu didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu; pertama, merupakan konsekuensi dari pelaku usaha untuk dan di dalam melaksanakan kegiatan usahanya; kedua, konsekuensi dari melakukan tindakan korporasi. 123 Penanaman modal diperbolehkan melaksanakan repatriasi. Hal ini sesuai dengan peraturan tentang lalu lintas devisa sejak tahun 1970 dimana Indonesia menganut sistem lalu lintas devisa bebas. J adi dengan demikian apa yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, bukan hal yang baru, tidak ada sesuatu yang istimewa tentang transfer dan repatriasi. Itu semuanya sudah dijamin bisa dilakukan oleh setiap penduduk Indonesia untuk bisa menggunakan, memanfaatkan devisa secara bebas. Penegasan khusus ini hanya berlaku pada mereka
123 Felix Untung Soebagjo, Pendapat Pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20 November 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
yang menanam modal di Indonesia. Ini adalah salah satu cara dalam rangka melakukan promosi, karena Undang-Undang Penanaman Modal itu bukan hanya undang-undang yang mengatur norma-norma yang berlaku bagi pelaku usaha yang berada di Indonesia, bukan hanya mengatur norma-norma hukum bagi penduduk Indonesia, tetapi juga mempromosikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang layak untuk dikunjungi, untuk dijadikan tempat untuk melakukan investasi. 124
c. Jaminan Tidak Ada Nasionalisasi Ketentuan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang juga dapat dikategorikan sebagai insentif adalah jaminan tidak ada nasionalisasi hak kepemilikan penanam modal. J aminan tidak ada nasionalisasi dapat dikategorikan sebagai insentif, karena para penanam modal akan mendapat kepastian hukum dalam menjalankan usahanya dan tidak khawatir hak kepemilikannya diambil alih negara. Pada dasamya substansi tentang nasionalisasi bukan hal baru, karena substansi ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Hal yang membedakan adalah nilai kompensasi jika terjadi nasionalisasi. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, jumlah kompensasi didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, sedangkan
124 Supanji, op. cit., hal.223-224. Sebagai perbandingan insentif berupa hak transfer aset bagi penanam modal juga diberikan di Vietnam. Bagi penanam modal yang telah menyelesaikan kewajiban perpajakannya, negara memberikan jaminan untuk melakukan pengiriman kembali keluar Vietnam atas keuntungan yang didapat, pembayaran yang diterima atas hak intelektual, pinjaman luar negeri beserta bunganya, modal, pendapatan dari proses likuidasi. Sementara itu, Thailand dalam Alien Business Act menentukan bahwa, penanam modal dapat melakukan transfer dalam valuta asing atas modal dan deviden yang diperoleh maupun pinjaman luar negeri yang diperoleh dengan persetujuan Board of Investment. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, nilai kompensasi berdasarkan harga pasar yaitu harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh para pihak. 125
Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. Ayat (2) menyebutkan, bahwa dalam hal pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Kemudian ayat (3) menjelaskan, jika di antara dua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase. Selanjutnya, penjelasan pasal 7 ayat (3) menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan "arbitrase" adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan tertulis oleh para pihak yang bersengketa. J ika pemerintah melakukan nasionalisasi dan tidak tercapai kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi dan bagaimana cara pembayarannya, maka sengketa ini akan dibawa kepada Arbitrase. 126
125 Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. 126 Indonesia dengan undang-undang No. 5 tahun 1968 telah meratifikasi Konvensi ICSID ini. Konvensi ICSID mengatur tentang penyelesaian sengketa antara pemerintah dan Investor Asing berkaitan dengan penanaman Modal. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
J aminan tidak ada nasionalisasi bagi perusahaan penanam modal asing di Indonesia sangat penting. Karena, Indonesia pernah dua kali melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, yaitu: 127
Pertama, pemerintah mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1958, berkaitan dengan perjuangan mengembalikan Irian Barat dari pendudukan Belanda. Berkaitan dengan nasionalisasi ini, timbul gugatan perusahaan tembakau Belanda di Bremen (German), ketika tembakau dari perkebunan di Deli akan dilelang pada pasar tembakau di Bremen. Kasus ini terkenal dengan kasus tembakau Bremen. Pokok permasalahannya bermula dari penjualan tembakau dari bekas perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia Pemilik perusahaan yang dinasionalisasi tersebut mengklaim tembakau tersebut sebagai miliknya. Pengadilan Bremen dalam putusannya, antara lain, menyatakan nasionalisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah hak negara yang berdaulat. Kedua, pemerintah melakukan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika Serikat, pada waktu Indonesia mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Pada tahun 1962 Indonesia menganggap Amerika Serikat dan Inggris sebagai pendukung utama pembcntukan Malaysia, yang oleh pemerintah Soekarno dianggap neo-kolonialisme dan neo-imperialisme. Politik luar negeri Indonesia pada waktu itu anti Barat. Amerika Serikat dan Inggris dianggap menjadi pendukung utama neo-kolonialisme dan neo-imperialisme sehingga Indonesia membuka hubungan erat dengan Soviet Uni, negara-negara Eropa Timur, Cuba, China, Vietnam Utara dan Korea Utara. Dengan adanya ketentuan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dan pengalaman nasionalisasi yang pernah dilakukan Indonesia, maka pada masa yang akan datang diperkirakan Indonesia tidak akan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, berdasarkan alasan-alasan berikut ini: Pertama, sejak pemerintah Indonesia membuka diri kepada modal asing dengan lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, selama 40 tahun sampai sekarang ini tidak ada indikasi atau tanda-tanda pemerintah berencana melakukan nasionalisasi.
127 Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Anatomi Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, J akarta, 2007, hal. 48. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Kedua, sebaliknya keadaan sosial ekonomi lndonesia yang antara lain ditandai dengan besamya pengangguran, sampai 10,5% atau sekitar 10.000.000 (sepuluh juta) jiwa dan kekurangan prasarana seperti jalan, pelabuhan, pembangkit tenaga listrik, penggalian sumber-sumber daya alam alam, memerlukan modal asing yang tidak sedikit. 128
Ketiga, keanggotaan Indonesia dalam organisasi perdagangan internasional dan perjanjian bilateral mengenai promosi dan perlindungan penanaman modal dengan berbagai negara, membuat tipis kemungkinan Pemerintah Indonesia akan melakukan nasionalisasi perusahaan asing. Selain itu, Indonesia juga telah menandatangani perjanjian keamanan berinvestasi dengan 60 negara. 129
Praktik perlindungan investasi berupa jaminan tidak ada nasionalisasi merupakan praktik internasional. Syarat-syarat untuk melakukan nasionaliasasi yang berlaku secara internasional sangat ketat, yaitu; harus dilakukan melalui suatu undang-undang, harus ada kompensasi terhadap perusahaan yang dinasionalisasi sesuai dengan harga pasar dan nasionalisasi tidak boleh didasarkan pada alasan politis, tetapi semata-mata alasan ekonomis. 130
d. Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat. Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan bahwa dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
128 Lihat, Biro Pusat Statistik, 2007. 129 "Presiden J amin Tak Lakukan Nasionalisasi", Bisnis Indonesia, 3 November 2006. 130 Suparji, op. cit., hal. 227. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Kemudian, ayat (3) pasal ini menyebutkan bahwa, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan. Ayat (4) mengatur dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanaman modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. Ketentuan ini pada dasarnya bukan merupakan substansi baru, karena pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga diatur tentang mekanisme arbitrase dalam penyelesaian ketidak-sepakatan mengenai jumlah, macam dan cara pembayaran kompensasi. Pasal 22 ayat (2) menyebutkan, bahwa jikalau antara kedua belah pihak tidak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak. 1) Pengertian arbitrase Mengenai Arbitrase di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) undang-undang tersebut dinyatakan Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Menurut Frank Alkoury dan Eduar Elkoury dalam Ningrum Natasya Sirait mengemukakan: Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Arbitrase adalah suatu proses mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus netral sesuai dengan pilihan mereka, di mana putusan mereka didasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat. 131
Bila dibandingkan kedua definisi tersebut maka pada definisi yang pertama difokuskan pada ada atau tidak adanya perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak. Perjanjian arbitrase adalah kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. 132
2) Dasar hukum arbitrase Pada mulanya ketentuan tentang arbitrase diatur di dalam RV dan HIR. RV atau Burgelijke Reglement op de Rechtsvoerdering adalah suatu ketentuan yang mengatur tentang tata cara beracara yang diberlakukan bagi golongan Eropa dan dipersamakan dengan itu ketentuan tentang arbitrase di dalam RV diatur dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 RV. Ketentuan dalam RV ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pertimbangan dikeluarkannya undang-undang tersebut adalah: 133
a. bahwa berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata, dapat diajukan ke pengadilan umum, terbuka kemungkinan melalui arbitrase penyelesaian sengketa;
131 Frank Alkoury dan Eduar Elkoury, dalam Ningrum Natasya Sirait, Mengenal Perjanjian Arbitrase, Fakultas Hukum USU, 14 Agustus 2008, hal. 5 132 Ibid., hal. 11. 133 Ibid., hal. 13. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
b. bahwa peraturan-perundangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak sesuai dengan perkembangan dunia usaha dan hukum c. bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, perlu membentuk undang-undang tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Lembaga Arbitrase dibagi dua, yaitu: arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional. Arbitrase ad hoc atau volunter adalah arbitrase yang ditujukan untuk kasus tertentu untuk satu kali penunjukan. Sedangkan arbitrase institusional (institutional arbitration) adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen (Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York Tahun 1958). Arbitrase institutional dibagi dua yaitu: nasional dan internasional. 134 Bersifat nasional karena pendiriannya hanya untuk kepentingan bangsa dari negara yang bersangkutan. Yang termasuk arbitrase nasional Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMI). Arbitrase internasional pusat penyelesaian persengketaan antara berbagai pihak yang berbeda kewarganegaraannya, yaitu melalui: (1) The Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) Paris. (2) The London Court of International Arbitration. (3) Arbitration Institute Stocholon (4) The American Arbitration Association (5) The International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), dan (6) The United Nations Commission on International Trade (UNCINTRAL).
134 Pasal 59 dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
3) Alasan memilih arbitrase Alasan memilih arbitrase, yaitu: 135
a. Penyelesaian cepat Prosedur arbitrase dicantumkan dengan batas-batas waktu penyelesaian dalam setiap tahap penyelesaian sengketa (di negara maju hanya memerlukan waktu sekitar 60 hari). Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (final and binding) sehingga tidak tersedia upaya naik banding. b. Terjaga kerahasiaannya (confidential) Proses pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999) dan tidak ada publikasi. Pihak-pihak bersengketa terjaga kerahasiaannya. c. Para arbiter terikat oleh ketentuan untuk tidak memberitahukan materi sengketa tanpa seizin seluruh pihak yang bersengketa. Pelanggaran terhadap batasan ini maka para arbiter dianggap melampaui wewenang (exceeded its power) dan merupakan perbuatan melawan hukum, sehingga dapat dituntut pertanggungjawaban hukumnya. Asas ini bertolak belakang dengan praktik pengadilan, karena di pengadilan berlaku asas terbuka untuk umum, setiap putusan pengadilan harus dalam sidang terbuka. d. Biaya lebih rendah karena arbitrase ditentukan oleh arbiter. Biaya itu meliputi: (1) honorarium; (2) biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan (3) biaya administrasi (Pasal 76 UU No. 30 Tahun 1999). e. J asa pengacara tidak terlalu diperlukan dalam proses arbitrase, karena prosedur arbitrase dibuat sesederhana mungkin, tidak formal bahkan dapat dengan tata cara yang diusulkan oleh pihak-pihak yang berperkara sendiri. Di samping itu, para arbiter adalah para ahli dan praktisi di bidang yang menjadi pokok sengketa, serta memiliki reputasi tinggi sehingga diharapkan mampu memberikan putusan dengan cepat dan objektif. Secara umum dapat dikatakan bahwa biaya arbitrase lebih rendah dibanding biaya perkara melalui pengadilan. 136
Tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Sengketa yang dapat diputus melalui arbitrase, yaitu sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
135 Ningrum Natasya Sirait, op. cit., hal. 18. 136 Hal ini masih perlu diteliti karena biaya profesionalitas dihitung dari keahlian kadang- kadang sangat mahal sekali. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
yang bersangkutan. Sedangkan yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. 137
Ada 3 (tiga) hal yang dapat dirangkum dari ciri-ciri arbitrase, yaitu: 138
1) Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian 2) Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis 3) Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum. Bentuk klausula perjanjian arbitrase diatur pada Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang dibagi 2 jenis, yaitu: 139
1) Pactum de compromittendo Perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum terjadinya perselisihan, dikenal dengan istilah klausula arbitrase. Isi klausula arbitrase ini bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase (Pasal 7 UU No.30 Tahun 1999). Klausula ini dibuat bersamaan dengan perjanjian pokok sehingga isinya hanya bersifat umum. Keuntungan mencamtumkan klausula arbitrase dalam perjanjian pokoknya bila terjadi perselisihan maka otomatis akan diselesaikan oleh arbiter. Kelemahannya belum adanya penunjukan arbiter yang akan menangani perselisihan tersebut. Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, teleks, faksimili, e-mail, atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan antara pemohon dengan termohon berlaku (Pasal 8 UU No.30 Tahun 1999). 2) Akta komporomis Suatu akta yang berisi perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak setelah terjadinya sengketa. Perjanjian arbitrase ini dibuat dalam Akta Notaris (Pasal 9 ayat (1) dan yat (2) UU No.30 Tahun 1999).
137 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 138 Susanti Adi Nugroho, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Slide tidak dipublikasikan. 139 Ningrum Natasya Sirait, op. cit., hal. 21-24. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Keuntungan menggunakan akta ini adalah penunjukan siapa arbiter yang akan menangani perselisihan sudah jelas. Kelemahannya bila terjadi perselisihan belum tentu bisa diselesaikan melalui arbitrase. 4) Prosedur penyelesaian sengketa arbitrase Prosedur penyelesaian sengketa arbitrase diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 48 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Alternatif, yang prinsip-prinsip sebagai berikut: 140
a. Pemeriksaan sengketa dilakukan secara tertutup; b. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain akan digunakan; c. Pada pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapatnya masing-masing; d. Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus; e. Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase; Syaratnya: 1) terdapat unsur kepentingan yang terkait; 2) keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa; 3) disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase. f. Para pihak bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa dengan syarat harus dituangkan dalam perjanjian yang tegas dan tertulis; g. Semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputuskan menurut ketentuan dalam UU No.30 Tahun 1999. h. Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dalam mengambil keputusan provisional atau putusan lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan yang memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang rusak; i. Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
140 Ibid., hal. 28-31. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Selanjutnya prosedur pemeriksaan dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase adalah pemohon mengajukan permohonan pemeriksaan sengketa secara tertulis kepada arbiter atau majelis arbitrase. Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak. Setelah menerima permohonan, maka arbiter atau majelis arbitrase melakukan: 141
a. Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbitrase; Surat tuntutan itu harus memuat: (1) nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak; (2) uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-bukti (3) isi tuntutan yang jelas; b. Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan suatu salinan tuntutan tersebut dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawaban secara tertulis dalam waktu paling lama 14 hari sejak diterimanya salinan tersebut oleh termohon; c. Setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah arbiter ketua majelis arbitrase, salinan jawaban diserahkan kepada pemohon; d. Arbiter atau Ketua Majelis Arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu; e. Apabila termohon setelah lewat 14 hari tidak menyampaikan jawabannya, termohon dipanggil menghadap pada sidang arbitrase berikutnya; f. Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesempatan untuk menangapinya. Tuntutan balasan diperiksa dan diputuskan oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama dengan sengketa; g. Bila pada hari yang ditentukan, pemohon tanpa alasan yang sah tidak dapat menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat tuntutannya dinyatakan gugur, dan oleh arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai. Sebaliknya, termohon tanpa alasan yang sah tidak datang menghadap sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase melakukan pemanggilan sekali lagi.
141 Ibid., hal. 33-39. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
h. Paling lama 10 hari setelah pemanggilan ke-2 diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum; i. Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara pihak yang bersengketa; j. Apabila usaha perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase, membuat akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut; k. Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila perdamaian tidak tercapai; l. Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan arbiter/majelis arbitrase; m. Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh majelis arbitrase; n. Sebelum ada jawaban tertulis dari termohon, pemohon dapat mencabut surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase; o. Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon, perubahan atau penambahan surat tuntutan hanya diperoleh dengan persetujuan termohon dan sepanjang perubahan dan penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan tidak menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar permohonan. Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. J angka waktu itu dapat diperpanjang, asal ada persetujuan para pihak dan diperlukan. Supaya dapat mengambil keputusan adil, arbitrase atau majelis arbitrase mempunyai kewenangan: 142
a. Menentukan tempat arbitrase, kecuali ditentukan oleh para pihak; b. Mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu di luar tempat arbitrase diadakan; c. Pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase; d. Mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan.
142 Ibid., hal. 41. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Arbiter atau majelis arbitrase dapat juga diminta oleh para pihak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan tertentu dan suatu perjanjian. Pendapat yang mengikat ini tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apapun. Pendapat atau putusan lembaga arbitrase itu harus dituangkan dalam putusan arbitrase. Putusan arbitrase memuat hal-hal berikut ini: 143
a. Kepala putusan yang berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa b. Nama singkat sengketa; c. Uraian singkat sengketa; d. Pendirian para pihak e. Nama lengkap dan alamat arbiter; f. Pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa; g. Pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedan pendapat dalam majelis arbitrase; h. Amar putusan; i. Tempat dan tanggal putusan; j. Tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase; 5) Pelaksanaan putusan arbitrase Terdapat dua sifat lembaga arbitrase, yaitu nasional dan internasional. Sifat arbitrase nasional dan internasional berbeda prosedur yang ditempuh oleh pemohon dalam pelaksanaan putusan lembaga arbitrase. Prosedur pelaksanaan putusan arbitrase nasional: 144
a. Dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera Pengadilan Negeri/PN;
143 Ibid., hal. 43. 144 Ibid., hal. 45-46. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
b. Lembar asli atau salinan putusan dilakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir putusan oleh panitera PN yang merupakan akta pendaftaran; c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan autentiknya kepada panitera PN. Apabila ketiga hal itu tidak dipenuhinya berakibat tidak dapat dilaksanakan. Akta kekuatan bersifat final, mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan mengikat pada pihak. Apabila para pihak tidak dapat melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela maka pelaksanaan putusan ditentukan sebagai berikut: 145
a. Putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua PN atau permohonan salah satu pihak yang bersengketa. b. Perintah dimaksud diberikan dalam waktu paling lama 30 hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada panitera pengadilan negeri; c. KPN sebelum memberikan perintah, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum; d. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan, Ketua PN menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua PN tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun; e. Ketua PN tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase; f. Perintah Ketua PN ditulis pada lembaran asli dan salinan autentik putusan arbitrase yang dikeluarkan; g. Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua PN dilaksanakan sesuai ketentuan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 62-64 UU No.30 Tahun 1999) Sedangkan prinsip-prinsip pelaksanaan arbitrase internasional, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah PN J akarta Pusat. Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 146
145 Ibid., hal. 47-49. 146 Ibid., hal. 51-52. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional; b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan; c. Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri J akarta Pusat. e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara RI sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekutor dari Mahkamah Agung RI dilimpahkan kepada PN J akarta Pusat (Pasal 65-66 UU No.30 Tahun 1999). Konvensi-konvensi arbitrase internasional (Internasional Arbitration Conventions) yang diakui oleh Republik Indonesia adalah: 1. Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York Convention) yang ditandatangani tanggal 10 J uni 1958 dan mulai berlaku tanggal 7 J uni 1958. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981. Semula menurut Mahkamah Agung Republik Indonesia, New York Convention belum dapat dilaksanakan di Indonesia, oleh karena menurut sistem perundang-undangan di Indonesia, setelah ratifikasi masih diperlukan peraturan pelaksanaannya yang hingga sekarang masih belum diundangkan. Akan tetapi pendirian MARI telah berubah dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990 tentang Tatacara Pelaksanaan Arbitrase Asing. Berdasarkan PERMA tersebut putusan BANI yang menyangkut warga negara asing dapat dieksekusi di negara domisili warga negara asing atau badan hukum asing dalam hal pihak warga negara atau badan hukum itu dikalahkan. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
2. Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of other States (Washington Convention) Keputusan Arbitrase berdasarkan Washington Convention ini telah disahkan dengan UU No. 5 Tahun 1968, sehingga putusan arbitrase internasional dapat dieksekusi di Indonesia, dengan izin tertulis dari Mahkamah Agung. Mahkamah Agung hanya boleh menolak keputusan arbitrase Washington Convention apabila terdapat hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban umum. Mahkamah Agung tidak diperbolehkan untuk menilai atau menguji isi dan materi inti dari keputusan arbitrase Washington Convention. Indonesia meratifikasi konvensi ICSID atau International Centre for Settlement of Investment Disputes dengan UU No.5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal. Konvensi ini semula dilahirkan untuk mendorong penanaman modal asing ke negara- negara berkembang. Indonesia menjadi anggota konvensi ini untuk meyakinkan dunia internasional, bahwa bila terjadi sengketa dengan Pemerintah Indonesia mengenai penanaman modal, tidak harus diselesaikan pada pengadilan di Indonesia yang oleh penanam modal asing dapat dinilai akan bersifat subjektif atau tidak obyektif. Walaupun Indonesia menjadi anggota konvensi ini, tidak serta-merta semua sengketa penanaman modal antara penanam modal asing dengan Pemerintah Indonesia diselesaikan melalui ICSID. Harus ada kesepakatan antara para pihak yang Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
bersengketa secara tertulis bahwa mereka sepakat akan menyelesaikan sengketa melalui ICSID tersebut. 147
Selanjutnya, Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on The Recognition and Enforcement of Arbitral Awards, menjadi anggota Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri. Demikian juga dengan keikut-sertaan dalam Konvensi New York tersebut tidak menjadikan Indonesia serta-merta melaksanakan keputusan arbitrase luar negeri. Hal ini sesuai dengan Konvensi New York yang menyatakan, antara lain, bahwa negara peserta dapat menolak pelaksanaan arbitrase luar negeri apabila perjanjian pokok yang berisi penyelesaian sengketa arbitrase tersebut bertentangan dengan undang-undang nasionalnya atau public policy negara tersebut. 148
Keanggotaan Indonesia dalam konvensi New York 1958 tidak berarti menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia kepada arbitrase.
147 Pasal 25 ayat (1) ICSID Convention menyatakan: "the jurisdiction of the Centre Shall extend to any legal dispute arising directly out of an investment, between a Contracting State (or any constituent subdivision or agency of a Contracting State designated to the Centre by that State) and a national of another Contracting State, which the parties to the dispute consent in writing to submit to the Centre. When the parties have given their consent, no party may withdraw its consent unilaterally". 148 Lihat, Suparji, op. cit., hal. 231. Misalnya, dalam Bakrie Brothers v. Trading Corporation of Pakistan, No. 4231K/PDT/1986; Mahkamah Agung RI memutuskan memperkuat Putusan Pengadilan Negeri J akarta Selatan dan Pengadilan Tinggi J akarta yang menolak pelaksanaan keputusan arbitrase London dengan alasan bahwa Bakrie Brothers tidak cukup didengar di dalam proses arbitrase dan Bakrie Brothers telah membayar performance bond. Contoh lainnya, Yani Heriyanto v. E.D & F Man Sugar, No. 1205K/Pdt/1990, dimana Mahkamah Agung memutuskan menolak melaksanakan putusan arbitrase London dengan alasan perjanjian pokok yang memuat klausula arbitrase bertentangan dengan public policy Indonesia. Pada waktu itu berdasarkan Keppres Nomor 33 tahun 1971, tanggal 14 J uli 1971 hanya Bulog yang boleh melakukan impor gula. Artinya pihak swasta tidak boleh melakukan impor gula seperti yang diperjanjikan antara Yani Heriyanto dengan E.D & F Man Sugar suatu perusahaan Inggris. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
e. Fasilitas Keimigrasian untuk Penanam Modal Asing Fasilitas keimigrasian untuk penanam modal asing sebagaimana pada Pasal 23 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan insentif yang sangat menarik bagi investor asing. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 23 ayat (3) yang menyebulkan bahwa, fasilitas keimigrasian untuk penanam modal asing, yaitu pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun, pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun berturut-turut, pemberian izin masuk kembali unluk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untukjangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan. Pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan. Pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan. Ketentuan tentang fasilitas keimigrasian dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal bukan merupakan ketentuan baru, karena pada Undang-Undang 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing juga diatur tentang fasilitas keimigrasian. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
f. Hak Atas Tanah. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyediakan fasilitas berupa hak atas tanah kepada penanam modal. Pasal 22 ayat (1) menyebutkan bahwa perizinan hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa: a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun; b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. Penjumlahan menjadi 95 tahun, 80 tahun dan 70 tahun tersebut tidak akurat dan menimbulkan salah pengertian. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai diperpanjang di muka sekaligus, setelah jangka waktu itu selesai, harus mengalami evaluasi. Evaluasi tersebut menentukan hak atas tanah itu dapat diperbarui atau tidak sebagaimana diuraikan oleh Pasal 22 ayat (3). Selanjulnya, Pasal 22 ayat (2) menyebutkan bahwa hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing; b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. Selain itu, ayat (3) menyebutkan bahwa, hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Akhirnya, ayat (4) menyebutkan bahwa pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui, dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Fasilitas hak atas tanah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pada dasarnya lebih moderat jika dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. Hak atas tanah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, juga terkesan liberal jika dibandingkan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria adalah anti modal asing, sebagaimana terlihat dalam jawaban Menteri Agraria Mr. Sadjarwo yang mewakili pemerintah atas pemandangan umum Anggota DPR-RI terhadap naskah RUU Pokok Agraria di muka Sidang Pleno DPR-GR, 14 September I960: 149
149 Sadjarwo dalam Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, cetakan ke XIX, Penerbit Djambatan, J akarta, 2003, hal.607-614. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
"...Rancangan Undang-Undang ini selain akan menumbangkan puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dengan aparat-aparatnya yang mengadu-dombakan aparat-aparat pemerintah dengan rakyatnya sendiri, yang akibatnya mencetus sebagai peristiwa berdarah dan berkali-kali pentraktoran- pentraktoran yang sangat menyedihkan". Selanjutnya dalam sidang terakhir pembahasan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Sadjarwo menegaskan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria mengeleminasi investasi asing. J angka waktu hak atas tanah dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, tidak memadai lagi, sehingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Dalam Pasal 11 disebutkan: (2) Untuk kepentingan penanam modal, permintaan perpanjangan dan pembaruan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Usaha. (3) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. (4) Persetujuan untuk dapat memberikan perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan rincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Usaha yang bersangkutan. Perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah untuk Hak Guna Bangunan diatur lebih lanjut oleh Pasal 28 yang berbunyi: (1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
(2) Dalam hal pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Bangunan hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan olch Menteri setelah mendapat persetuan dari Menteri Keuangan. (3) Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Bangunan. Ketentuan mengenai perpanjangan dan pembaruan Hak Pakai diatur dalam Pasal 48 sebagai berikut: (1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaruan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Pakai. (2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Pakai hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. (3) Persetujuan untuk pemberian perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) serta perincian uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Pakai. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka hak atas tanah dalam Undang- Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal lebih moderat dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Kedua peraturan ini mengatur tentang jangka dan pembaharuan hak atas tanah. Meskipun ketentuan ini tidak diatur dalam UUPA, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tidak bisa dinyatakan bertentangan dengan UUPA. Setidak-tidaknya ada dua alasan bahwa Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tidak bertentangan dengan UUPA, karena: 150
150 Maria Sumardjono, Kompas, 24 September 1993 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
1) UUPA tidak mengatur tindak lanjut setelah berakhirnya HGU dan HGB. Dengan demikian, memberi kemungkinan adanya perpanjangan dan pembaruan. 2) UUPA tidak melarang adanya perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah. 3) Dalam hukum dikenal metode penemuan hukum, artinya jika tidak diatur secara jelas, maka memberikan ruang untuk melakukan interpretasi. g. Bidang usaha yang terbuka lebih banyak Ketentuan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang juga dapal dikategorikan sebagai insentif adalah bidang usaha yang terbuka lebih banyak. Pasal 12 ayat (2) menyebutkan bahwa, beberapa bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing, yaitu produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang, dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Selanjutnya pada ayat (2) menyebutkan bahwa bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam pertahanan negara, antara lain, produksi senjata, mesin, alat-alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi modal asing. Bidang usaha yang terbuka dalam Undung-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan insentif yang menarik bagi investor asing, karena semakin banyak bidang usaha yang dapat dimasuki oleh modal asing. 3. Pembatasan Dalam Undang-Undang Penanaman Modal a. Penanaman Modal Asing harus memprioritaskan tenaga kerja Indonesia Pasal 10 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan: (1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja Warga Negara Indonesia. (2) Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
(3) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja Warga Negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja Warga Negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pada dasarnya hampir sama dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 yang juga menyebutkan perusahaan asing mempunyai kewajiban untuk menggunakan tenaga kerja Warga Negara Indonesia dan menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas-fasilitas latihan dan pendidikan. 151
Mengenai ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 42 menyebutkan: 1. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 2. Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja asing. 3. Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. 4. Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu. 5. Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. 6. Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak dapat di perpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya. Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, sekurang-kurangnya memuat keterangan: 152
151 Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. 152 Pasal 43 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
a. alasan penggunaan tenaga kerja asing; b. jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan; c. jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; dan d. penunjukan tenaga kerja Warga Negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan. Ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku bagi instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing. Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib: 153
a. Menunjuk tenaga kerja Warga Negara Indonesia sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja asing; dan b. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing. Ketentuan ini tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris. Kemudian juga tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu yang diatur dengan Keputusan Menteri. 154
b. Pemegang Saham "Nominee" Dilarang Pembatasan lain yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah larangan pemegang saham nominee. Pasal 33 ayat (1) menyebutkan bahwa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseoran terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain.
153 Pasal 45 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 154 Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Pengaturan tentang larangan pemegang saham nominne, merupakan ketentuan baru yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebelumnya, tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang adanya pemegang saham nominee. Tujuan pengaturan larangan pemegang saham nominee adalah untuk menghindari terjadinya perseroan yang secara normatif dimiliki seseorang, tetapi secara materi atau substansi pemilik perseroan tersebut adalah orang lain. Praktek kepemilikan saham melalui nominee dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Satu pihak karena sesuatu pertimbangan tidak dapat atau dapat menjadi pemilik saham, tetapi tidak menjadi pemilik saham pada suatu perseroan sehingga menggunakan pihak lain sebagai nominee-nya. Pada pihak lain, tidak dapat menjadi pemilik saham, tetapi menjadi pemilik saham. Dalam keadaan yang lain, pihak-pihak tertentu sebenarnya dapat menjadi pemcgang saham pada perusahaan tertentu di Indonesia. Pada dasarnya yang bersangkutan adalah warga negara Indonesia, yang dapat menjadi pemilik saham. Tetapi, karena berbagai pertimbangan (di antaranya menghindari public exposure yang berkelebihan), yang bersangkutan tidak memunculkan nama sendiri sebagai pemegang saham pada suatu perseroan, namun memilih menggunakan nominee untuk mewakili kepentingannya. 155 c. Alokasi dana lingkungan Pasal 17 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa, penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, penjelasan Pasal 17 menjelaskan, bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penanaman modal.
155 Felix Oentong Soebagjo, Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan di Indonesia, (J akarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2006), hal. 17. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
d. Kewajiban Penanam Modal Ketentuan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang juga dapat dikategorikan sebagai pembatasan adalah tentang kewajiban bagi penanam modal. Pasal 15 menetapkan setiap penanam modal berkewajiban: a. menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik; b. melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan; c. membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; d. menghormali tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal; dan e. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 15 huruf b menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan "tanggung jawab sosial perusahaan" adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Kemudian, penjelasan Pasal 15 huruf c menyebutkan, bahwa laporan kegiatan penanaman modal yang memuat perkembangan penanaman modal dan kendala yang dihadapi penanam modal disampaikan secara berkala kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal. Selanjutnya, Pasal 16 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab: a. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; c. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktek monopoli, dan hal lain yang merugikan negara; Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
d. menjaga kelestarian lingkungan hidup; e. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan a. kesejahteraan pekerja; dan f. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembentukan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah memperbaiki iklim investasi. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan investasi setelah disahkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 yang sudah mencapai 31 % melampaui capaian sebelum krisis ekonomi yang selalu di atas 30% dan realisasi melonjak 52,60% menjadi Rp.65,27 triliun dari periode yang sama tahun 2006. 156 Sedangkan pasca krisis pertumbuhan investasi mencapai antara 25% -30%. 157
Namun demikian tingkat pertumbuhan investasi jika dibandingkan antara setelah lahirnya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal lebih rendah jika dibandingkan dengan setelah lahimya Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Hal ini menunjukkan bahwa lahirnya suatu undang-undang tidak akan dapat menyelesaikan semua masalah. Terkait dengan pertumbuhan investasi, selain ditentukan faktor undang-undang, juga ditentukan aparat hukum, budaya hukum, stabilitas politik dan kesempatan ekonomi. Untuk dapat meningkatkan investasi secara signifikan, harus didukung integritas dan profesionalitas aparat hukum, serta budaya hukum yang berkualitas tinggi. Dari sisi stabilitas politik, dimana Indonesia pada saat ini berada dalam masa transisi menuju demokrasi, yang memberikan ruang kebebasan partisipasi yang luas bagi daerah, publik maupun pers, harus didukung dengan kepemimpinan yang kuat dan efektif. Dengan demikian, akan tercipta suatu kondisi yang demokratis dalam bingkai kepastian hukum.
156 "Menjaga Iklim Investast", Tajuk Utama, Bisnis Indonesia, Selasa, 10 J uli 2007. 157 "Iklim bisnis membaik dorong investasi" Bisnis Indonesia, Rabu, 19 September 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
B. Respon dan Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal Yang Baru 1. Respon terhadap Undang-Undang Penanaman Modal a. Harapan pelaku usaha pada Undang-Undang Penanaman Modal Secara umum, para pelaku usaha menyambut baik disahkannya Undang- Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, karena sudah sejak lama ditunggu-tunggu kalangan investor dalam rangka menciptakan kepastian hukum, kepastian berusaha dan iklim investasi yang menarik bagi investor. Sambutan yang sama terhadap Undang-Undang Penanaman Modal ini juga disampaikan oleh Wolfgang Piccha, Wakil Duta Besar Republik Federal J erman. Dalam salah satu pernyataannya, Wolfgang Piecha menyampaikan: "kami seluruh investor asing yang ada di Indonesia sangat menyambut baik Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Undang-Undang tersebut merupakan semangat baru di Indonesia dan akan mampu mendorong masuknya investasi asing ke Indonesia. 158
Setidak-tidaknya ada empat substansi dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menarik bagi para pelaku usaha: 159
1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya yang dibuat tahun 1967. Undang-undang ini telah disesuaikan dengan kondisi rill yang ada dewasa ini dan diharapkan mampu mengantisipasi perkembangan kegiatan investasi di masa yang akan datang. 2) Undang-undang ini comparable, yaitu sebanding dengan undang-undang di negara lain, di antaranya menyangkut masalah hak atas tanah dan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. 3) Kejelasan tanggung jawab antara pusat dan daerah sesuai otonomi daerah dan juga sesuai dengan kriteria eskternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Dalam
158 "Indonesia Memiliki Undang-Undang Penanaman Modal Baru", Media Industri, No.02, 2007, hal. 17. 159 Suparji, op. cit., hal. 249-250. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
kaitan ini dilakukan penyederhanaan perizinan dan prosedur melalui pelayanan satu pintu dan kejelasan peran BKPM yang menjadi koordinator pelaksanaan kebijakan penanaman modal. 4) Terdapat serangkaian fasilitas untuk penanaman modal yang juga mempunyai dasar hukum pada undang-undang dan peraturan lain. Hal-hal spesifik yang ada dalam undang-undang dan peraturan lain dimasukkan dalam Undang- Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sehingga ada kejelasan sebagai insentif bagi penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri. b. Lembaga Swadaya Masyarakat Mengajukan Judicial Review Undang- Undang Penanaman Modal. 1) Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dianggap bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia. Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalain negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Para pemohon menyatakan ketentuan di atas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Alasannya, ketentuan ini memberikan keutamaan bagi penanam modal asing dengan memberikan jaminan bahwa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing akan mendapatkan perlakuan yang sama. Di samping itu, pemohon berpendapat bahwa, meskipun terdapat klausula memperhatikan "kepentingan nasional", prinsip persamaan perlakuan dan tidak Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
membedakan antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing, telah melanggar perekonomian nasional. 160
Pemerintah memberikan jawaban, bahwa Pasal 1 angka 1 dan angka 2, merupakan definisi operasional mengenai istilah penanaman modal. Mengingat, hanya sebagai definisi operasioal maka tidak ada hubungannya sama sekali dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya, ketentuan ini tidak bisa dianggap bertentangan UUD 1945. Di samping itu, ketentuan ini juga tidak merugikan hak dan/ atau kewenangan konstitusional para pemohon. Mahkamah Kontitusi memutuskan bahwa Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan definisi operasional. Dengan demikian, ketentuan ini tidak bertentangan dengan UUD 1945. 161
2) Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 Para Pemohon menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d, yang menyebutkan penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. 162
160 Register Perkara Konstitusi No. 22/PUU-V/2007. 161 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, No.21-22/PUU-V/ 2007 mengenai Pengujian Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 162 Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU PM berbunyi Yang dimaksud dengan "asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara" adalah asas perlakuan pelayanan non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya. Lihat, Register Perkara Konstitusi No. 22/PUU-V/2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Pemohon mengemukakan bahwa, seharusnya perlakuan yang sama hanya berlaku untuk sesama penanam modal dari luar negeri. J ika ada perlakuan yang sama antara penanam modal dalam negeri dengan penanam modal asing, akan mengarah pada liberalisasi ekonomi. Pemerintah dalam Opening Statement Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Undang-UndangNomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Repubiik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa, Indonesia tidak perlu anti modal asing. Pemerintah mengutip kata-kata Mohammad Hatta, Proklamator dan Bapak Bangsa Indonesia, yang juga perumus Pasal 33 tersebut ketika UUD 1945 dirancang, pada sebuah pertemuan dengan wakil- wakil organisasi rakyat di gedung Sono Suko di Solo pada tahun 1951 mengatakan: 163
Untuk membangun negara Kita, Kita tidak mempunyai kapital, karena itu kita pakai kapital asing untuk kepentingan Kita, Kita anti kapitalisme, tetapi tidak anti kapital. Kita djuga tidak segan-segan memakai tenaga bangsa asing, karena kita memang kekurangan tenaga ahli. Mereka itu kita bajar, menurut ukuran pembajaran internasional jang memang tinggi, djika dibanding dengan pembajaran kepada tenaga2 ahli kita. Hal itu djangan diirikan, karena mereka itu tidak mempunjai kewadjiban terhadap Negara kita, sedang kita mempunyai kewadjiban terhadap Negara dan bangsa... Ada sementara golongan dalam masjarakat kita jang kawatir, bahwa dgn memakai kapital asing itu, kita akan djatuh kembali kedalam pendjadjahan. Demikian Hatta selandjutnya. Terhadap mereka itu Bung Hatta katakan, bahwa mereka itu masih dihinggapi oleh restan2 zaman kolonial yang minderwaardigheids complex dari zaman kolonial dahulu. Sebagai bangsa jang telah merdeka, kita harus mempunyai kepertjajaan atas diri kita sendiri.
163 Lihat, Opening Statement Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, 3 November 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Selanjutnya, Pemerintah memberikan jawaban, bahwa Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d merupakan penjabaran dari ketentuan dalam GATT/WTO dimana Indonesia telah meratifikasi perjanjian ini dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Di samping itu, Pemerintah menyatakan bahwa pasal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945, karena Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah mengatur mengenai bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing maupun daiam negeri. 164 Selain itu, Pemerintah juga menegaskan bahwa Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal memberi perlakuan yang sama, bukan kesempatan yang sama, bagi investor dari dalam dan luar negeri. 3) Pasal 4 ayat (2) huruf a dan Penjelasannya dianggap bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 Para Pemohon menyatakan bahwa, Pasal 4 ayat (2) huruf a dan penjelasannya bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (2) dan Pasal 28D ayat (l) UUD1945. Pasal 4 ayat (2) huruf a menyebutkan bahwa, dalam menetapkan kebijakan dasar penanaman modal, Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing. Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf a menyebutkan bahwa, "perlakuan yang sama" adalah Pemerintah tidak membedakan perlakuan terhadap penanam modal yang telah menanamkan modalnya di Indonesia.
164 J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Pemohon menyatakan ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945, karena memberikan keutamaan (privilege) bagi penanam modal asing dengan memberikan jaminan bagi penanam modal asing dan penanam modal dalam negeri akan diperlakukan sama. Di samping itu, memberikan kemudahan-kemudahan bagi investor asing. Pemerintah memberikan jawaban, bahwa perlakuan yang sama, tidak akan mendatangkan kesulitan bagi penanaman modal dalam negeri. Karena, pasal-pasal lain dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, memberikan kemudahan-kemudahan untuk penanaman modal dalam negeri sejak pendirian badan usaha dan pemberian insentif serta fasilitas. 165
4) Pasal 8 ayat (1) dan (3) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dianggap bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945. Para Pemohon menyatakan Pasal 8 ayat (1) dan (3) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pemohon mengemukakan alasan bahwa, hak tranfer dan repatriasi akan mengakibatkan investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri secara legal melakukan capital flight. Peralihan aset ke luar jelas akan berdampak kerugian bagi bangsa Indonesia, khususnya para tenaga kerja yang sebelumnya berada di bawah perusahaan yang beralih dan pemutusan hubungan kerja massal pasti akan semakin marak dan akan mempengaruhi nilai rupiah. Di samping itu, ketentuan ini juga akan
165 J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.l Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
mempersempit peluang kesempatan pekerja dalam negeri. Sebab, melalui kebijakan undang-undang ini, liberalisasi tenaga kerja asing dibuka lebar. Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 8 ayat (1) dan (3) tidak bertentangan UUD 1945. Alasannya: 166
1) Kebebasan melakukan repatriasi modal tidak akan menimbulkan pengangguran dan tidak akan mempengaruhi rupiah. Repatriasi modal tidak berarti penutupan perusahaan. Repatriasi modal bisa terjadi karena perusahaan dialihkan kepada pihak lain melalui penjualan saham atau penjualan asset. 2) Penjelasan bahwa Pasal 8 ayat (1) dan (3) pada dasarnya merupakan insentif bagi penanaman modal, yang sudah menjadi standar bisnis internasional berkenaan dengan penanaman modal. 3) Hak untuk melaksanakan transfer dan repatriasi tidak melanggar Undang- Undang Dasar 1945, karena dilaksanakan setelah memenuhi syarat-syarat tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di samping itu, hak untuk melakukan transfer dan repatriasi tersebut tidak mengurangi kewenangan Pemerintah untuk memberlakukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mewajibkan pelaporan pelaksanaan transfer dana. 5) Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal tentang Bidang Usaha dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), (3) dan (5) UUD 1945 Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 12 Ayat 4 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945. Pasal 12 ayat (4) menyebutkan bahwa kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden. Alasannya, Undang-Undang memberikan kebebasan penuh kepada Presiden untuk menentukan kriteria dan bidang usaha yang terbuka dengan
166 J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
persyaratan dalam suatu Peraturan Presiden. Di samping itu, menurut Pemohon, seharusnya bidang-bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan harus disebutkan secara jelas dalam undang-undang a quo, sedangkan yang diatur dalam Peraturan Presiden hanyalah masalah-masalah teknis pengaturan. Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), (3) dan (5) Undang-Undang Dasar 1945. 167
Pemerintah mengemukakan beberapa alasan, bahwa bidang-bidang usaha yang masuk kriteria tersebut di atas diatur dengan Peraturan Presiden, dengan pertimbangan masalah tekhnis. Dengan Peraturan Presiden, dapat dikurangi atau ditambah, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi. 168
6) Pasal 21 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD1945. Para pemohon menyatakan Pasal 21 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 21 menyebutkan bahwa: "Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/ atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: hak atas tanah; fasilitas pelayanan keimigrasian; dan fasilitas perizinan impor".
167 Lihat Keterangan Pemerintah pada Sidang Mahkamah Konstitusi, pada 3 November 2007. 168 J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Pemohon mengemukakan alasan, sebagai berikut: Pertama, Pasal 21 bertentangan dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar 1945, karena kemudahan pelayanan dan/ atau perizinan terutama untuk hak atas tanah, justru diberikan kepada perusahaan penanam modal termasuk penanam modal asing, bukan kepada rakyat Indonesia yang bergerak di sektor riil yang menjalankan ekonomi kerakyatan. Kedua, kemudahan pelayan dan/ atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal ini juga merupakan pelecehan terhadap hak-hak kelompok- kelompok usaha kecil, menengah. Ketiga, kemudahan khusus untuk pihak-pihak tertentu ini berarti kesulitan-kesulitan masih harus dihadapi oleh pihak-pihak lain yang tidak secara khusus diberi kemudahan. Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 21 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 169
Pemerintah mengengemukakan alasan, kemudahan pelayanan dan/ atau perizinan selain kepada perusahaan penanaman modal asing, tetapi juga kepada penanam modal dalam negeri yang berbentuk Badan Hukum atau bukan Badan Hukum, bahkan perusahaan perseorangan. Untuk pedagang tradisional, Pemerintah juga memberikan fasilitas tertentu. Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha
169 J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerjasama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. c. Mahkamah Konstitusi batalkan Perpanjangan Di Muka Sekaligus Hak Atas Tanah Para Pemohon menyatakan bahwa ketentuan pada Pasal 22 ayat (1) huruf a, b dan c dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28E ayat (l) dan Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Alasannya, antara lain: 170
1) Penguasaan hak atas tanah kepada penanam modal dalam bentuk HGU selama 90 tahun, HGB selama 80 tahun, dan Hak Pakai selama 70 tahun, mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia. 2) Ketentuan ini akan membatasi akses petani untuk mendapatkan tanah garapan yang berakibat pada meningkatnya jumlah petani gurem yang tidak mendapatkan jaminan untuk mengembangkan diri. J angka waktu yang sangat lama akan mengakibatkan masyarakat terjauhkan dari peluang untuk mengakses tanah untuk pertanian atas tanah negara, sementara pertumbuhan dan tingkat populasi masyarakat terus bertambah. 3) Ketentuan ini lebih lama daripada atas tanah yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahkan lebih lama dari hak atas tanah yang diberikan Pemerintah Kolonial Belanda dalam Agrarisehc Wet 1870 yang hanya membolehkan jangka waktu penguasaan selama 75 tahun. Sebagai perbandingan HGU dan HGB yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 selama 60 tahun untuk HGU dan 50 tahun untuk HGB sedangkan untuk HGU dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 HGU diberikan paling lama 95 tahun dan untuk HGB diberikan paling lama 80 tahun dan Hak Pakai paling lama 70 tahun. 4) Tanah sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33. Ketentuan ini memberikan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. 5) Menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan Politik Pertanahan Nasional dan aturan perundang-undangan lainnya. 6) Menempatkan Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan menjadi individualistik dan melupakan fungsi sosialnya serta meniadakan kedaulatan rakyat.
170 Suparji, op. cit., hal. 262. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf a, b dan c dan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, tidak bertentangan dengan UUD 1945: 171
1) Perpanjangan sekaligus pada waktu pemberian hak-hak atas tanah tersebut bagi penanam modal adalah merupakan insentif. Pelaksanaannya harus memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (2) Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 2) Hak atas tanah tersebut baru dapat diperbaharui setelah dilakukan evaluasi. Evaluasi ini meliputi, apakah tanah tersebut masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak. Pemerintah menegaskan, tidak benar bahwa pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan hak atas tanah tersebut diberikan dimuka sekaligus, sehingga tidak otomatis Hak Guna Usaha (HGU) berjangka waktu 95 (sembilan puluh lima tahun) tahun, Hak Guna Bangunan (1IGB) 80 (delapan puluh) tahun dan Hak Pakai 70 (tujuh puluh) tahun. 3) Hak atas tanah tersebut setiap saat dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah. Pembatalan hak atas tanah ini, jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya. 4) Perpanjangan yang diberikan dimuka adalah berupa jaminan dari negara bagi penanam modal untuk mendapatkan jangka waktu yang cukup guna pengembalian modalnya. Ini berlaku untuk penanam modal asing dan dalam negeri. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), menyatakan pemberian hak-hak atas tanah yang "dapat diperpanjang di muka sekaligus maupun kata-kata "sekaligus di muka" telah mengurangi, memperlemah, atau bahkan dalam keadaan tertentu menghilangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. 172 Pendapat Mahkamah Konstitusi didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:
171 J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.l Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007. 172 Putusan Mahkatnah Konstitusi Republik Indonesia, No.21-22/PUU-V/ 2007 mengenai Pengujian Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
1) Ketentuan yang memungkinkan negara, in casu Pemerintah, untuk menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah menghadapi kesulitan, karena sudah ada perpanjangan di muka sekaligus. 2) Kewenangan negara yang terdapat dalam Pasal 22 Ayat (4) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal tersebut bersifat sangat eksepsional dan terbatas. Dikatakan eksepsional dan terbatas karena negara tidak boleh menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah tersebut di luar alasan-alasan yang secara terbatas (limitatif) telah ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dengan kata lain, negara tidak lagi bebas menjalankan kehendaknya untuk menghentikan atau tidak memperpanjang hak-hak atas tanah sebagaimana jika perpanjangan hak atas tanah itu tidak diberikan secara di muka sekaligus. 3) Negara akan menghadapi persoalan hukum, karena perusahaan penanaman modal akan mempersoalkan keabsahan tindakan negara, yang menghentikan atau membatalkan perpanjangan hak-hak atas tanah yang sudah diberikan perpanjangan di muka sekaligus. 4) Pemerintah tidak dapat menggunakan alasan pemerataan kesempatan, untuk menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah. 5) Berkurang atau melemahnya kedaulatan rakyat di bidang ekonomi sebagai akibat dari adanya kata-kata "dapat diperpanjang di muka sekaligus" makin jelas jika dihubungkan dengan ketentuan tentang penyelesaian sengketa, di antaranya melalui arbitrase. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, No. 21-22/ PUU-V/2007 mengenai Pengujian Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak bulat, karena ada dua hakim kontitusi yang berbeda pendapat, yaitu: 173
1) Hakim Konstitusi H.A.S. Natabaya, menyetujui amar putusannya, tetapi memiliki alasan berbeda (Concurring Opinion). Menurut H.A.S Natabaya, kata-kata "dapat diperpanjang dimuka sekaligus" bertentangan dengan UUD 1945. Karena, telah mengurangi dan melemahkan kedaulatan rakyat. Hal ini dapat terjadi jika dihubungkan dengan Pasal 39. 174 Pada dasarnya Pasal 39 merupakan pasal penutup dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Ini berarti, merupakan Kaedah Penunjuk (anwijzing regel), artinya pasal tersebut
173 Suparji, op. cit., hal. 270. 174 Pasal 39 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal berbunyi: "Semua Ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berkaitan secara langsung dengan penanaman modal wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Undang-Undang ini". Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
memberikan arahan bahwa apabila di kemudian hari ada ketentuan peraturan perundangan yang berkaitan secara langsung dengan penanaman modal harus mengacu dan menyesuaikan pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 2) Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion), disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Semestinya, menurut Maruarar Siahaan, Mahkamah Konstitusi juga menyatakan Pasal 4 Ayat (2) huruf a dan Pasal 12 Ayat (3) dan (4) bertentangan dengan UUD 1945, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keputusan Mahkamah Konstitusi mengembalikan pengaturan izin hak atas tanah kepada Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 menimbulkan ketidak-pastian hukum, 175 dan menimbulkan kekecewaan investor lokal dan investor asing, karena akan menambah biaya investasi. 176 Pengusaha Rahmat Gobel menyatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi tidak kondusif bagi upaya perbaikan iklim investasi. Dampaknya akan negatif terhadap iklim investasi. Senada dengan pernyataan tersebut adalah pernyataan Teguh Satria Ketua Umum DPP REI yang menyatakan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk ketakutan yang berlebihan. 177
Ketentuan masalah tanah pada UUPA yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hsak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah, menyebutkan perpanjangan sekaligus dimuka tersebut ditafsirkan sebagai suatu jaminan saja bagi investor, bahwa pemberian perpanjangan tersebut sebagaimana yang dimohonkan. 178
175 "Pengusaha Kecewa Atas Putusan Mahkamah Konstitusi", Tempo, 27 Maret 2008. 176 ''Mahkamah Konstitusi Matikan Daya Saing Ekonomi", Media Indonesia, Senin, 7 April 2008. 177 Suparji, op. cit., hal. 271. 178 Lihat Maria S. W. Sumardjono, "Pokok-Pokok Pikiran Dalam Rangka Pelaksanaan PP No. 40 Tahun tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai (HP), Makalah Disajikan dalam: Lokakarya tentang Pemasyarakatan PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai (HP), Lembaga Penelitian dan Pengkajian Pertanahan (LP3), J akarta, 30 Juli 1996, hal. 12-13. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Masalah hak atas tanah tersebut dapat diperbaharui, berdasarkan Pasal 34 dan Pasal 40 UUPA J o. Pasal 17, Pasal 36 dan Pasal 56 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak GunaUsaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Pembaruan hak atas tanah harus memenuhi persyaratan, sebagai berikut: tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak atas tanah; syarat-syarat pemberian hak tersebut harus dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak. 2. Tantangan Pelaksanaan Undang-Undang Penanaman Modal a. Penetapan Bidang Usaha yang Terbuka Belum Aspiratif. Pasal 12 ayat (3) menyebutkan bahwa, Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden tentang bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri. Pelaksanaan Pasal 12 ayat (3) ini harus melakukan koordinasi dengan departemen lain yang terkait, termasuk Pemerintah Daerah. Hal ini sesuai dengan, Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pada bagian kebijakan penanaman modal, pemerintah daerah provinsi mempunyai kewenangan penyiapan usulan bidang-bidang usaha tertentu yang perlu dipertimbangkan tertutup, terbuka dengan persyaratan, prioritas tinggi dalam skala provinsi. Sementara pemerintah daerah kabupaten, juga mempunyai kewenangan untuk penyiapan usulan bidang-bidang usaha tertentu yang perlu dipertimbangkan tertutup, terbuka dengan persyaratan, prioritas tinggi dalam skala kota/kabupaten. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Pemerintah telah menindaklanjuti ketentuan Pasal 12 ayat (3) Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Perpres ini ada 25 bidang usaha yang dinyatakan tertutup, 43 bidang dicadangkan untuk UKMK, ada 36 bidang yang diwajibkan untuk dijalankan melalui prinsip kemitraan, ada sekitar 120 bidang yang kepemilikan asingnya dibatasi, ada 19 bidang lainnya dibatasi operasinya dilokasi tertentu, ada 25 bidang yang membutuhkan perizinan khusus, ada 48 bidang yang harus 100% dimiliki domestik, ada 17 bidang yang terkena pembatasan kepemilikan asing plus izin lokasi, ada 4 bidang yang terkena pembatasan kepemilikan asing plus izin khusus, dan hanya satu yang dimiliki 100% domestik plus izin khusus. 179
Dalam lampiran Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007, daftar bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, antara lain: Perjudian kasino, peninggalan sejarah dan purbakala (candi, keraton, prasasti, petilasan, bangunan kuno, temuan bawah laut), museum, pemukiman/lingkungan adat, monumen, obyek ziarah, pemanfaatan koral alam, penangkapan species ikan yang tercantum dalam Appendix I Cites, manajemen dan penyelenggaraan stasiun monitoring spektrum frekuensi radio dan orbit satelit, lembaga penyiaran publik, penyelenggaraan dan pengoperasian jembatan timbang, penyelenggaraan pengujian tipe kendaraan bermotor, penyelenggaraan pengujian berkala kendaraan bermotor, telekomunikasi/sarana bantu navigasi pelayaran, vessel trafic mfovmation syslem (VTIS), pemanduan lalu lintas udara (ATS) provider,
179 Lihat, Iman Sugema, "Catatan atas Perpres No.77/2007", Bisnis Indonesia, 7 J uli 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
industri bahan kimia yang merusak lingkungan, 180 industri bahan kimia skedul-1 Konvensi Senjata Kimia, 181 industri minuman mengandung alkohol, 182 industri pembuat chlor alkali dengan bahan mengandung merkuri, industri siklamat, sakarin, industri logam dasar bukan besi, dan budi daya ganja. Selain bidang usaha di atas, dalam Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 juga diatur kepemilikan modal asing dalam daftar bidang usaha terbuka dengan persyaratan, antara lain: Sebesar 99% bank devisa, bank non devisa, bank syariah, pialang pasar uang; 95% jasa pengeboran minyak dan gas bumi, pembangkit tenaga listrik, PLTN, pembentukan lembaga pengkajian perangkat telekomunikasi, pengusahaan jalan tol dan air minum, budi daya padi (seluas lebih 25 ha), budi daya jagung dan ubi kayu, pembenihan padi, perkebunan tanpa pengelohan, 85% leasing, pembiayaan non leasing, modal ventura, 80% perusahaan asuransi kerugian, asuransi jiwa, reasuransi, pialang asuransi, jasa penilai asuransi, 75% indsutri farmasi, 65% rumah sakit, klinik, jasa layanan penunjang, jasa konsultasi bisnis dan manajemen, penyelenggara jaringan bergerak selular dan satelit; 55% jasa konstruksi, konsultasi konstruksi, 50% galeri seni, gedung pertunjukan, hotel bintang 1, 2 dan melati, katering, spa, bar/kafe, restoran, ketangkasan, usaha rekreasi dan hiburan, biro perjalanan wisata, PCO, 49% pengusahaan perburuhan di Taman Baru, penangkaran tumbuhan dari satwa liar, nursing service, penyewa peralatan medik, akupuntur, penyelenggara jaringan telekomunikasi, angkutan sungai dan udara, jasa tenaga kerja, 25% pengusahaan pari wisata alam, ekowisata di kawasan hutan. 183
Ditinjau dari substansinya, Perpres No. 77 Tahun 2007 memuat hal-hal yang sangat mendasar, yaitu; Perpres ini mudah dipahami, memuat hal-hal yang dicadangkan usaha mikro kecil dan menengah, mendorong usaha kemitraan di 36 bidang usaha, mengenai kepemilikan asing di berbagai bidang usaha. 184
180 Penta Chhrophcno), Dicbloro Diphenyl Trichloro EJbane (DDT), Dieldrin, Chlordane, Carbon Tetra Chloride, Halon, dan sebagainya. 181 Sarin, Soman, Tabun Mustard, Levisite, Ricine, Saxitoxin, VX, dan Iain-lain. 182 Minuman keras, anggur, minuman mengandung malt. 183 DNI sarat area abu-abu", Bisnis Indonesia, 5 J ul) 2007. 184 Lihat, Iman Sugema, "Catalan atas Perpres No.77/2007", Bisnis Indonesia, 7 J uli 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Tujuan kedua Peraturan Presiden tersebut adalah meniadakan daerah abu-abu bagi investor asing dan memberikan kejelasan mengenai bidang-bidang usaha sehingga tidak menimbulkan tafsir yang tanpa dasar hukum. 185 Namun demikian, ruang perbaikan bagi daftar bidang usaha tertutup dan terbuka dengan syarat dapat dilakukan dengan syarat memenuhi bcberapa ketentuan, antara lain; penyederhanaan berlaku secara nasional, bersifat sederhana dan terbatas (terkait dengan kepentingan nasional); kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen intemasional tidak bertentangan dengan kewajiban Indonesia dalam perjanjian dan komitmen intemasional; transparansi, jelas, rinci, dapat diukur, tidak multitafsir, serta berdasarkan kriteria tertentu; kepastian hukum, tidak dapat diubah kecuali dengan peraturan presiden; dan kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal tidak menghambat arus kebebasan arus barang, jasa, modal, sumber daya manusia, dan informasi dalam wilayah Indonesia. 186
Bagi kalangan usaha, Perpres No. 77 tahun 2007 tidak sesuai dengan prinsip bisnis, karena pembatasan modal asing sebesar 50% tidak sesuai dengan praktik riil. Investor asing yang bergerak di bidang asuransi, 187 telekomunikasi, dan farmasi kecewa dengan pengetatan porsi asing pada sejumlah bidang usaha. Investor asing berharap, pembatasan kepemilikan asing hanya diberlakukan untuk investor baru, bukan existing (yang sudah ada). 188
185 Meniadakan Daerah Abu-Abu", Kompas, 5 J uli 2007. lihat juga, "Aturan lnvestasi Lebih Restriktif'. Kompas, 12 J uli 2007. 186 Lihat, "Perbaikan DNl Dimungkinkan", Kompas, 16 J uli 2007. 187 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, kepemilikan asing di sektor telekomunikasi diperbolehkan hingga 95%. Tujuh perusahaan asuransi yang kepemilikan sahamnya oleh asing melebihi 80% antara lain: Allianz Life (99,76%), Manulife Insurance Indonesia (95%), Sunlife (94, 89%), Prudential Assurance Indonesia (94, 60%), Great Eastern Life Indonesia (92, 39%), dan MAA General Assurance (87%). 188 "Terkait Pembatasan Kepemilikan Saham, Asing Kecewa", Investor Daily, 4 J uli 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Kamar Dagang dan Industri dari sejumlah negara yang anggotanya menjalankan usaha di Indonesia. 189 Mereka menilai daftar bidang usaha tertutup dan terbuka dengan syarat yang ditetapkan pemerintah lebih restriktif. Meskipun ketentuan tersebut tidak berlaku surut, tetapi mereka khawatir akan mengalami kesulitan mengembangkan usaha. 190 Para pengusaha asing tidak dapat memahami filosofi yang mendasari pembatasan kepemilikan modal asing pada sejumlah bidang usaha, antara lain jasa pengapalan, pariwisata, farmasi dan kesehatan. 191
Sebagai perbandingan, dalam rangka melindungi kepentingan nasionalnya dari aspek pertalian keamanan, kesehatan, modal, lingkungan dan tradisi budaya termasuk perlindungan pelaku usaha nasional dan UKM. beberapa negara menerapkan sistem Daftar Negatif lnvestasi sebagaimana Pemerintah Indonesia menerapkannya sejak tahun 1989. Dengan sistem Daftar Negatif Investasi tersebut untuk bidang-bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal dilakukan pengaturan dari segi perlindungan usaha kecil, pembatasan modal asing, persyaralan khusus, dan lokasi sebagaimana kebijakan bidang usaha dalam Daftar Negatif Investasi di Indonesia. Sebagai contoh: Thailand, bidang usaha transportasi darat, transportasi air dan udara, Pemerintah Thailand mengizinkan investasi asing dengan pembatasan kepemilikan modal asing harus di bawah 50%; Vietnam, bidang usaha pembangunan dan pengoperasian jaringan telekomunikasi internasional dan lokal, pertambangan migas dan logam mulia, transportasi darat, air dan udara modal asing diwajibkan patungan dengan modal dalam negeri. 192
189 Pengusaha-pengusaha asing yang bergabung di European Business Chamber, American Chamber of J akarta, J apan Club, British Chamber of Commerce, serta Kamar Dagang dari Singapura dan Malaysia. Suparji, op. cit., hal. 283. 190 Aturan Investasi Lebih Restriktif, Kompas, 12 J uli 2007. 191 Lihat, "Boediono: Revisi DNI tidak jangka pendck", Bisnis Indonesia, Selasa, l7 J uli 2007. 192 Suparji, op. cit., hal. 284. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Masing-masing negara mengatur bidang-bidang usaha yang terkait dengan kepentingan hajat hidup orang banyak, umumnya juga dibuka untuk penanam modal asing dengan pembatasan ataupun persyaratan-persyaratan yang ditetapkan Pemerintah, seperti halnya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Dengan demikian kebijakan bidang usaha pada setiap negara ditetapkan berdasarkan kemampuan dan kebutuhan masing-masing negara sesuai prioritas perencanaan pembangunan dalam negerinya. Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 telah diperbaharui dengan Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007. Perubahan yang mendasar dari perubahan ini adalah menyangkut koordinasi antar departemen (grand fathering), yang sebelumnya tidak diatur dalam Peraturan Peraturan No. 77 Tahun 2007. Pasal 2A Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 menyebutkan bahwa, penanaman modal pada bidang usaha dengan persyaratan harus memenuhi persyaratan lokasi. Dalam hal izin penanaman modal telah ditetapkan lokasi usahanya dan penanam modal bermaksud memperluas usaha dengan melakukan kegiatan usaha yang sama di luar lokasi yang sudah ditetapkan dalam izin penanaman modal tersebut, penanam modal harus memenuhi persyaratan lokasi. Sedangkan, untuk memenuhi persyaratan lokasi, penanam modal tidak diwajibkan untuk mendirikan badan usaha baru atau mendapatkan izin usaha baru. Perubahan Peraturan Presiden ini, pada kenyataannya juga boleh sepenuhnya sesuai dengan harapan para pelaku usaha. Hal ini disebabkan, proses penyusunannya kurang mendapat respon dari departemen-departemen termasuk pemerintah daerah. Kecenderungan yang terjadi, justru sebaliknya, departemen-departcmen saling tarik menarik kepentingan. Demikian pula, pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, juga tarik menarik kepentingan. Inilah tantangan yang harus dihadapi Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
dalam mengimplementasikan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. b. Pembentukan Pelayanan Terpadu menghadapi kendala koordinasi antar Instansi. Pasal 25 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang, izin diperoleh melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu. 193 Dalam Pasal 26 dinyatakan: (1) Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. (2) Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di provinsi atau kabupaten/kota. 194
Selanjutnya Pasal 28 ayat (1) huruf j disebutkan bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi koordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu. Pelayanan Terpadu Satu Pintu dimaksudkan untuk mempermudah perizinan investasi di Indonesia yang selama ini dikenal high cost karena banyaknya korupsi birokrasi atau pungutan liar. Oleh karena itu, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal mencoba menghilangkan atau mencegah korupsi birokrasi dengan cara menerapkan pelayanan terpadu satu pintu. 195
193 Pada Pasal 1 ayat (10) UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 194 "Pelayanan Investasi Disepakati Satu Pintu", Bisnis Indonesia, 26 Februari 2007, hal. 2. 195 Suparji, op. cit., hal. 287. Dasar hukum pelaksanaan pelayanan satu atap sebelumnya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Dengan Pelayanan Terpadu Satu Pintu diharapkan akan mempermudah proses perizinan yang harus dimiliki dalam pendirian proyek penanaman modal asing/ penanaman modal dalam negeri di Indonesia. Peraturan Presiden tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu, sampai saat ini belum terbit. Selain menghadapi tantangan masalah peraturan perundang-undangan, pelayanan terpadu satu pintu juga akan menghadapi masalah koordinasi antar instansi. Sebagai contohnya, investasi di sektor migas harus melalui tiga pintu, yaitu izin dari Dirjen Migas pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Migas dan Dirjen Bea Cukai tumpang tindih koordinasi penanaman modal. 196
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 mewajibkan kepada Bupati atau Walikota untuk melakukan penyederhanaan penyelenggaraan perizinan melalui pelayanan terpadu satu pintu. Penyederhanaan pelayanan tersebut meliputi pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan, perecpatan waktu proses penyelesaian, kepastian biaya pelayanan kejelasan prosedur pelayanan, mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan, pembebasan biaya perizinan bagi usaha kecil, mikro dan menengah dan akses informasi bagi masyarakat. Secara teknis, pelayanan terpadu dilakukan dengan pemberian kewenangan kepada Kepala PPTSP untuk menandatangani perizinan dan non perizinan sebagai delegasi kewenangan dari Bupati atau Walikota dengan tujuan untuk mempercapat proses pelayanan. Selain itu, Pelayanan Terpadu Satu Pintu juga diatur dalam
196 Sebelum lahir Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, dengan mengacu pada Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006, beberapa daerah telah menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu. yaitu Kota Padang Panjang, Kabupaten Serang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Sragen, Kotamadya Yogyakarta, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gianyar, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Makassar. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Sejak tahun 1999, Asia Foundation telah mengembangkan program penyederhanaan perizinan usaha di 55 kabupaten/kota dengan mendorong pembentukan sebuah instansi pelayanan terpadu untuk perizinan usaha, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). PTSP ini pada dasarnya adalah sebuah kantor yang mengkoordinasi dan mengkonsolidasi penerbitan izin, menyerderhanakan proses perizinan serta mengurangi jumlah meja yang harus dilalui pelaku usaha. Walaupun pemerintah nasional sudah mengamanatkan pembentukan PTSP di seluruh Indonesia, diperkirakan baru sektor 30% kabupaten/kota yang mempunyai pelayanan terpadu sampai saat ini. Dari jumlah ini, masih banyak kantor pelayanan terpadu yang tidak berfungsi maksimal karena hanya bisa menerima berkas permohonan saja, tanpa kewenangan untuk memproses dan menerbitkan izin. 197
Asia Foundation memberikan pendampingan teknis kepada pemerintah daerah untuk membentuk atau mengembangkan PTSP, yang tidak hanya menerima berkas permohonan belaka, tetapi juga berwenang memproses dan menerbitkan izin. Program ini lebih berfokus kepada izin-izin umum yang diperlukan oleh semua pelaku usaha (msialnya SIUP, IMB, TDP, dll), bukan kepada izin-izin sektoral yang memerlukan persetujuan teknis yang lebih dalam (misalnya izin makanan, AMDAL, dll). 198
197 Mengatur Kinerja Pelayanan Perizinan Terpadu di Indonesia, The Asia Foundation, J akarta, Juli 2007, hal. 1. 198 Ibid., hal. 2.. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Hasil studi yang dilakukan oleh Asia Foundation menunjukkan kantor pelayanan terpadu mempermudah pelaku usaha dalam mengurus izin. Rata-rata waktu pengurusan izin untuk 4 izin umum menjadi 60% lebih cepat, dan rata-rata biaya pengurusan berkurang hinga 30%. J umlah pendaftaran usaha juga meningkat setiap tahunnya setelah terbentuknya layanan terpadu. Perbaikan ini mencerminkan kewenangan yang lebih besar dan perbaikan standar pelayanan pada instansi pelayanan terpadu. 199
Asia Foundation membantu menciptakan momentum untuk reformasi perizinan dengan memfasilitasi penyusunan Permendagri tentang Pembentukan PTSP di kabupaten/kota, yang terbit bulan J uli 2006. Sebagai kelanjutannya, mitra Asia Foundation turut memfasilitasi pembuatan pedoman teknis untuk pembentukan dan pengembangan PTSP. Untuk menilai dampak kinerja sebuah pelayanan terpadu, Asia Foundation juga mengembangkan sebuah Indeks Kinerja Pelayanan Terpadu (IKP). 200
Dengan adanya kebijakan nasional tentang pelayanan perizinan terpadu, dan semakin besarnya kepedulian pemerintah kabupaten/kota untuk memperbaiki iklim usaha di daerahnya, semakin tinggi pula kebutuhan akan hubungan teknis untuk prakarsa ini. Asia Foundation berkomitmen untuk terus membantu mengembangkan kapasitas pemerintah daerah dalam memperbaiki layanan perizinan.
199 Ibid., hal. 2.. 200 Ibid., hal. 2.. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
c. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal menyebutkan, bahwa penanam modal memiliki kewajiban untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanam modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Ketentuan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dalam Pasal 74 disebutkan: 1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. 2) Kewajiban tanggungjawab sosial (corporate social responsibility) dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya dengan memperhatikan asas kepatutan dan kewajaran. 3) Perseroan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Ketentuan lebih lanjut mengemi tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kewajiban tentang CSR ini akan menghadapi tantangan dalam pelaksanaannya, antara lain: 201
1) Pemerintah belum menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan. KADIN mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan peraturan pemerintah sehingga kewajiban CSR tidak mengganggu iklim usaha. KADIN menyampaikan masukan untuk menyusun peraturan pemerintah terkait dengan CSR, yaitu: penerapan CSR harus dengan memperhatikan kemampuan perusahaan, 202 dilaksanakan sesuai dengan
201 Suparji, op. cit., hal. 292-293. 202 Lihat, "CSR di BUMN, Banyak Dana Sedikit Hasil", Bisnis Indonesia, 13 September 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha masing-masing, perusahaan yang menganggarkan pembiayaan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan, melaksanakan kewajibannya sesuai dengan kemampuan perusahaan dan perseroan wajib melaporkan pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam laporan tahunan perseroan bagi perusahaan terbuka dan laporan manajemen perseroan bagi perusahaan tertutup. 203 Selain itu, dalam PP tentang CSR hendaknya memuat tiga hal pokok, yaitu kapan serta dimana status wajib CSR berlaku, besaran biaya dan pengawas pelaksanaannya. Mengenai PT. yang mempunyai kewajiban melaksanakan CSR harus diatur masa jeda atau periode jeda yang waktunya dikaitkan pada besaran laba atau masa operasi perusahaan. Mengenai besaran CSR, ditetapkan berupa persentase dari total biaya produksi atau dikaitkan laba perusahaan - dalam kurun waktu tertentu. 204
2) Kalangan pengusaha menolak CSR. Alasan yang dikemukakan, antara lain; penerapan CSR pada dasarnya lebih dititik beratkan pada dorongan moral dan etika; di mana setiap perusahaan melaksanakan kegiatan CSR melebihi yang telah diatur dalam peraturan perundangan; kesejahteraan masyarakat adalah tanggung jawab negara dan bukan tanggung jawab perusahaan; semestinya CSR bersifat sukarela, menentukan CSR sebagai kewajiban terkesan kontra- produktif; pengaturan CSR menjadi suatu kewajiban perusahaan adalah sesuatu yang tidak jelas, terutama terkait kondisi institusional, organisasional dan materialnya; pelaksanaan CSR merupakan bagian dari good corporate governance yang mestinya didorong melalui pendekatan pasar (insentif), pendekatan regulasi sebaiknya dilakukan untuk menegakkan prinsip transparansi dan fairness dalam kaitannya untuk menyamakan level of playing field semua pelaku ekonomi. 205
Argumentasi penolakan terhadap CSR mengacu pada pendapat Milton Friedman yang menyatakan tanggung jawab sosial perusahaan sangat jelas yaitu menggunakan sumber daya langka yang dimilikinya secara efisien dalam koridor hukum yang ada. Karena besaran keuntungan adalah barometer efisiensi maka tujuan korporasi adalah memaksimalkan keuntungan. Bila korporasi menggunakan sumber daya untuk kegiatan di luar upaya meningkatkan keuntungan, maka yang terjadi adalah ketidak-bertanggung- jawaban sosial. Korporasi tidak memiliki kompelensi kegiatan di luar bidang usahanya, sehingga dikhawatirkan inefisiensi sumber daya yang besar. 206
203 Ibid 204 Lihat, "Status wajib CSR kian dtbalasT, Bisnis Indonesia, 5 Oktober 2007.Lihat juga, "CSR Tidak Masuk Cost Recovery", Kompas, 25 J uli 2007. 205 Mas Achmad Daniri dan Maria Dian Nurani, "Menuju Standarisasi SCR", Bisnis Indonesia, 19 J uli 2007 206 Hendrawan Supratikno, "Sekali Lagi, Tanggung J awab Sosial Korporasi", Opini Bisnis Indonesia, 6 September 2007, hal. 7. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
3) Kewajiban CSR bagi perusahaan yang berbasis sumber daya alam dinilai diskriminatif, karena tanggung jawab terhadap lingkungan sekitar seharusnya menjadi tanggung jawab dari perusahaan yang melakukan usaha di sebuah kawasan tertentu. J ika yang dibebani kewajiban hanya perusahaan yang berbasis SDA, maka akan menimbulkan diskriminasi. Seharusnya CSR adalah kewajiban semua perusahaan. Dalam pandangan Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), menyatakan bahwa menjadikan CSR adalah sebuah kewajiban yang tidak lazim karena akan memberatkan investor dan meningkatkan biaya ekonomi perusahaan, karena terdapat alokasi pendanaan perusahaan untuk kegiatan CSR 207 Namun demikian, pada sisi lain menunjukkan bahwa kegiatan CSR berbanding positif dengan kinerja perusahaan dan juga imbal hasil saham, karena pada dasarnya perusahaan mengungkapkan informasi sosial termasuk CSR dengan tujuan membangun image pada perusahaan dan mendapat perhatian masyarakat. 208
C. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan 1. Peraturan Perundang-Undangan yang harus Dicabut Setelah Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, beberapa peraturan perundang-undangan harus dicabut. Misalnya, Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Peraturan Pemerintah ini perlu dicabut, karena dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal tidak mengharuskan adanya divestasi saham. Demikian juga ketentuan hak atas tanah bagi penanam modal asing terjadi ketidaksinkronan antara ketentuan Undang-Undang No.25 Tahun 2007 yang tidak mengharuskan adanya divestasi
207 Majalah Trust, edisi 30 J uli-5 Agustus 2007, hal. 15. 208 Sofjan Wanandi, CSR dan Imbal Hasil Saham, Bisnis Indonesia, 23 J uli 2007 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
saham, tetapi di dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, penanaman modal asing diharuskan melakukan divestasi saham. Di samping itu, Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal, perlu dicabut karena dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal akan dibentuk Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Selanjutnya, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Kabupaten/Kota juga harus dicabut Hal ini untuk menyesuaikan Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. 209
Pada tingkat peraturan Menteri, meskipun tidak disebutkan secara tegas dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, pada kenyataannya ada kebijakan-kebijakan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri. Peraturan Menteri yang harus dicabut, antara lain, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. 210
2. Peraturan Perundang-Undangan Yang Harus Menyesuaikan. Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang No. 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang
209 Supanji, op. cit., hal. 294. 210 Ibid., hal. 295. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Penanaman Modal Asing, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang perubahan dan Tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru. Berdasarkan ketentuan ini, perlu segera dilakukan inventarisasi dan kompilasi peraturan-peraturan yang masih berlaku. Selain itu, perlu segera dilakukan evaluasi peraturan tersebut, apakah masih sesuai atau tidak. Berkaitan dengan undang-undang, perlu dilakukan penyesuaian beberapa undang-undang terkait, misalnya Undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang Pertambangan, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kebutanan dan Undang- Undang Lalu Lintas Devisa, Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkebunan. Materi yang sangat penting dan mendesak untuk segera dilakukan perubahan atau penyesuaian adalah mengenai masalah pertanahan. Mengingat ketentuan masalah tanah dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka pengaturan tentang tanah diatur melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1966 tentang Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah dan Peraturan Peinerintah No. 41 Tahun 1996 Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing di Indonesia. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Peraturan perundangan-undangan tentang pertanahan belum secara komprehensif mengatur tentang hak atas tanah beserta bangunan, terutama untuk orang asing. Akibatnya, terjadi penyelundupan hukum oleh warga negara asing untuk menguasai hak milik properti melalui berbagai cara. Misalnya, melalui pembuatan paket perjanjian antara warga negara asing sebagai penerima kuasa dan warga negara Indonesia sebagai pemberi kuasa yang memberikan kewenangan kepada warga negara asing untuk menguasai hak atas tanah serta melakukan segala perbuatan hukum atas tanah tersebut. Peraturan perundang- undangan tentang masalah kepemilikan properti harus dibuat lebih komprehensif, berorientasi ke masa depan menyerap hal-hal positif dari pengalaman negara lain, dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip hukum nasional yang berlaku di Indonesia. 211
Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 memiliki beberapa kelemahan, anlara lain; hanya mengatur mengenai WNA, belum mencakup badan hukum asing, dan hanya mengatur tentang rumah tempat tinggal atau hunian, belum mencakup produk properti non hunian. Pembaruan hak atas tanah harus tetap memberikan aspek keadilan kepada warganegara Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan memberlakukan beberapa persyaratan bagi warga negara asing ataupun badan hukum asing untuk bisa memiliki properti di Indonesia. Persyaratan itu berupa klasifikasi bangunan yang boleh dibeli dan pembatasan dalam bentuk lain. Pembatasan kuota hak pakai properti perlu dipertimbangkan, asal tidak mengurangi daya saing dengan negara lain. Sementara itu, berkaitan dengan pelaksanaan investasi di daerah dan pembentukan pelayanan terpadu satu pintu, perlu segera dilakukan pembaruan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerinthan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Dacrah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota. Di samping itu, Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu
211 Ibid., hal. 296-297. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. Selanjutnya, perlu dilakukan penyempurnaan Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 jo. Nomor 111 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang-Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. 3. Peraturan Perundang-Undangan baru yang diperlukan. Dalam rangka menindaklanjuti Undang-UndangNo. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, perlu segera disusun beberapa peraturan perundang-undangan yang diperlukan, yaitu: 212
1) Peraturan Presiden tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Peraturan Presiden ini sangat mendesak untuk segera dibentuk, karena ini merupakan perintah dari Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, khususnya Pasal 26. 2) Peraturan Presiden tentang Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. 3) Peraturan Menteri Keuangan Pemberian Insentif Bagi Industri Pionir. 4) Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembebasan Bea Masuk Atas lmpor Mesin, Barang dan Bahan dalam Rangka Pembangunan/Pengembangan Industri/Industri J asa. 5) Peraturan Menteri Hukum dan HAM mengenai Kemudahan Di Bidang Imigrasi. 6) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Mengenai Kemudahan Di Bidang Pertanahan. 7) Peraturan Menteri Keuangan mengenai Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan. Selanjutnya, harus segera dibentuk Undang-Undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Pasal 31 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang menyebutkan bahwa pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus akan diatur dalam Undang-Undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Untuk itu, perlu segera disiapkan Rancangan Undang-Undang Tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
212 Ibid., hal. 298-299. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Sebagai contoh kawasan ekonomi khusus adalah Pulau Batam dan Pulau Sabang. Dalam pengelolaan kawasan ekonomi khusus, pemerintah memiliki dua pilihan dalam pemberian insentif, yaitu: pemberlakuan insentif hanya pada lokasi industri tertentu, dan pemberlakuan insentif bagi seluruh wilayah dalam kawasan ekonomi khusus. 213
D. Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia Sering menjadi kekhawatiran bagi para calon investor asing adalah masalah jaminan hukum dari negara penerima modal, khususnya yang berkaitan dengan risiko non komersial. Sebenarnya agak sulit juga untuk menemukan, sekalipun di negara- negara yang industrinya sudah cukup maju, bebas dari risiko politik. Namun, tampaknya di negara-negara yang sedang berkembang yang sistem pemerintahannya masih labil, maka kemungkinannya terjadinya risiko politik memang cukup tinggi. Oleh karena itu, kekhawatiran calon investor tersebut adalah wajar, mengingat dana yang akan ditanamkan relatif cukup besar. Dilihat dari segi keamanan dan kenyamanan bisnis semata, lebih aman bagi investor untuk menanamkan modalnya di negara-negara maju. Karena di negara tersebut, segalanya sudah tertata dengan tertib, hanya saja tingkat keuntungan yang diharapkan mungkin tidak terlalu menjanjikan, sebab selain biaya produksi cukup tinggi, pasar produksi sudah jenuh. Demikian juga halnya kompetisi antar perusahaan sejenis cukup ketat. Oleh karena itu, dalam rangka untuk melakukan ekspansi usaha, salah satu pilihan adalah berinvestasi di negara-negara yang sedang berkembang, karena selain
213 Ibid., hal. 299. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
biaya produksi tidak terlalu mahal, pasar produksi masih terbuka, dan kompetisi belum terlalu ketat. Hanya saja risiko politik yang akan dihadapi cukup tinggi. Risiko politik (political risk) yang dimaksud di sini paling tidak mengandung empat hal seperti yang dikemukakan oleh A. F. Elly Erawati berikut ini: 1. Ketidakseimbangan (discontinuities) yaitu adanya perubahan-perubahan drastis di dalam lingkungan dunia usaha; 2. Ketidakpastian (uncertainty), yaitu adanya perubahan-perubahan yang sangat sulit diprakirakan dan/atau diantisipasi sebelumnya; 3. Kekuatan politis (political forces) artinya terjadinya perubahan disebabkan atau digerakkan oleh kekuatan politis; 4. Dampak di bidang usaha (business impact), artinya adanya perubahan kebijakan politik mengakibatkan kerugian dan atau pengurangan ataupun tujuan-tujuan lain dari perusahaan. 214
Untuk itu, investor jauh-jauh hari perlu memperhitungkan risiko yang akan dihadapi. Perlu ditegaskan di sini yang dimaksud dengan risiko non komersial adalah adanya suatu tindakan dari negara atau adanya suatu peristiwa yang berkatian dengan gejolak sosial dalam suatu negara yang membawa akibat, baik yang langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan asing. Salah satu bentuk risiko non komersial adalah pengambilalihan atau nasionalisasi perusahaan asing. J adi risiko yang ditakuti bukan risiko bisnis, akan tetapi risiko non komersial. Sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya, bahwa risiko bisnis yang dihadapi oleh investor bukanlah hal yang aneh, artinya dalam setiap kegiatan bisnis yang akan dilakukan pasti ada risiko. Namun bagi investor asing yang pada umumnya berstatus sebagai perusahaan multinasional, sudah barang tentu mempunyai sumber daya manusia yang cukup, teknologi yang memadai, modal yang kuat dan mempunyai akses ke lembaga-lembaga keuangan, baik nasional maupun internasional, sehingga
214 A.F. Elly Erawati, Meningkatkan Investasi Asing Di Negara-Negara Berkembang: Kajian Terhadap Fungsi dan Peran dari The Multilateral Investment Guarantee Agency, Pusat Studi Hukum Umpar, Bandung, 1989, hal. 13. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
dengan menggunakan tenaga-tenaga yang profesional, kalkulasi bisnis dapat dihitung secara cermat. Dengan demikian, tingkat risiko bisnis yang akan dihadapi dapat diminimalisasi sekecil mungkin. Berkaitan dengan risiko non komersial, sebenarnya bagi pemerintah Indonesia, sikapnya sudah jelas bahwa pengambilalihan atau nasionalisasi perusahaan asing tidak akan dilakukan, kecuali dengan undang-undang. J ika pun hal ini terpaksa dilakukan, maka kepada pihak investor akan diberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Hal ini dengan tegas dicantumkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal). J ika tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi yang dimaksud, maka penyelesaian sengketa investasi ini akan dibawa ke lembaga arbitrase. J adi dilihat dari sudut pandang ini, untuk risiko non komersial (nasionalisasi) perusahaan asing, UU Penanaman Modal sudah memberikan jaminan yaitu, jika terpaksa harus dilakukan, maka akan diberikan kompensasi. Risiko lain yang bisa terjadi dalam risiko non komersial adalah menurunnya nilai mata uang lokal terhadap mata uang asing, timbulnya kerusuhan sosial dan dan perang saudara. Untuk jenis risiko ini, biasanya perusahaan asuransi tidak mau menjamin. J aminan risiko non komersial ini dapat ditanggung sendiri oleh negara tuan rumah secara sepihak, melalui perjanjian bilateral mengenai jaminan investasi dan melalui perjanjian multilateral. 215
Untuk lebih meningkatkan kepercayaan investor asing dalam berinvestasi di Indonesia, maka Pemerintah Indonesia pun membuat perjanjian bilateral dengan
215 D. Sidik Suraputra, Penanaman Modal Asing dan Risiko Investasi Nonkomersial, dalam Mieke Komar, dkk (ed), Mochtar Kusumaadmadja: Pendidik & Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, BAndung, 1999, hal. 491. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
berbagai negara asal investor. Perjanjian investasi (investment agreement) ini melahirkan beberapa prinsip yang umum berlaku dalam tata pergaulan internasional. Prinsip yang dimaksud, antara lain: pertama, prinsip a national treatment clause, artinya setiap pihak akan memberikan perlakuan yang sama bagi warga negara para pihak seperti yang diberikan oleh para pihak kepada warga negara sendiri. Kedua, prinsip a most favoured nation clause, bahwa warga negara dari para pihak akan mendapatkan a fair and equitable treatment dalam hal penanaman modal asing. Warga negara para pihak tidak akan mendapatkan perlakuan yang kurang dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada warga negara pihak lain. 216
Mencermati keberadaan investor asing dalam suatu negara, khususnya di negara-negara berkembang cukup penting sebagai penggerak roda perekonomian maka untuk menghilangkan keragu-raguan investor asing dalam berinvestasi mengingat risiko non komersial sangat mungkin terjadi, Bank Dunia kembali melahirkan suatu konvensi. Konvensi kali ini berkaitan dengan risiko nonkomersial atau sering juga disebut sebagai risiko politik (political risk). Konvensi ini dikenal dengan nama The Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee (MIGA). Konvensi ini diselenggarakan di Seoul-Korea Selatan pada Tahun 1985, sehingga konvensi MIGA ini sering juga disebut sebagai Konvensi Seoul 1985. Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1986. 217 Latar belakang diadakannya konvensi ini dijabarkan dalam pembukaan (preamble) antara lain dikemukakan, meyakini (convinced) bahwa Badan
216 Tineke Louise Tuegeh Longdong, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, Citra Aditya Bakti, Bandung, , 1998, hal. 49. 217 S. Sidik Suraputra, ICSID dan MIGA: Lembaga Internasional Untuk Meningkatkan Arus Penanaman Modal. Dalam Tim Pakar Hukum Depkeh dan HAM RI, Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum Nasional, J akarta, 2002, hal. 60. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Penjamin Penanaman Modal Multilateral (The Multilateral Investment Guarantee Agency) dapat memainkan peranan penting untuk mendorong penanaman modal asing baik bersifat regional maupun nasional serta program penjaminan risiko non komersial yang mungkin akan dihadapi oleh pihak investor. Maksud dan tujuan dibentuknya MIGA dijabarkan dalam Pasal 2. Tujuan didirikannya MIGA adalah mendorong arus penanaman modal di antara negara- negara anggota, dan khususnya bagi anggota negara-negara berkembang. Untuk memenuhi tujuan yang dimaksud, MIGA bertugas untuk: 1. Memberikan jaminan kepada investor, yang meliputi kerjasama asuransi (coinsurance) maupun dengan mengasuransikan kembali (reinsurance), mencegah risiko non komersial yang berkenaan dengan penanaman modal di suatu negara anggota yang berasal dari negara-negara anggota lainnya; 2. Melakukan kegiatan atau aktivitas berupa promosi untuk meningkatkan arus penanaman modal ke dan di antara anggota negara-negara berkembang. Selanjutnya menjadi pertimbangan calon investor, jika investor ingin menanamkan modalnya di luar negeri adalah eksistensi lembaga penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tuan rumah. Sebenarnya secara konvensional di negara manapun di dunia ini telah tersedia lembaga penyelesaian sengketa yakni lembaga peradilan, yang dalam teori hukum ketatanegaraan dikenal sebagai lembaga yudikatif. Hanya saja, jika penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tuan rumah diselesaikan lewat lembaga peradilan dan keraguan di kalangan calon investor asing. Dengan kata lain tingkat obyektivitas lembaga penyelesaian sengketa tersebut diragukan. Secara teoritis memang keberadaan lembaga yudikatif (Lembaga Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Peradilan) adalah independen. Artinya, lembaga ini tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga lainnya (eksekutif dan legislatif). Namun secara psikologis, dalam penyelesaian sengketa antara investor asing dengan negara penerima modal asing (host state), tentu faktor subyektivitas lembaga peradilan atau tepatnya hakim akan sulit untuk dihindari, mengingat ia (hakim) adalah warga negara dari negara tuan rumah. Oleh karena itu, adalah wajar jika investor asing ingin mengetahui lebih awal apakah dimungkinkan penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan (outside of the court). 218
Pertimbangan utama dari investor untuk melakukan investasi adalah adanya jaminan hukum yang memadai, menyediakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase luar negeri terhadap kerugian-kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari penanaman modal. Investor dan pedagang asing selalu berupaya untuk melepaskan diri dari peradilan negara berkembang karena merasa tidak mengenal hukum setempat yang berlainan dengan sistem hukum negaranya sendiri. Selain itu ada keragu-raguan bahwa peradilan setempat akan bersikap tidak obyektif. Alasan lain adalah, apakah lembaga peradilan negara berkembang ada kemampuan dalam memeriksa sengketa perdagangan internasional dan alih teknologi yang demikian rumit. 219
Dalam dunia perdagangan internasional, kecenderungan yang terlihat adalah liberaliralisasi peraturan/undang-undang arbitrase untuk lebih mendorong penggunaan arbitrase daripada penyelesaian sengketa dagang melalui badan peradilan umum. Pada umumnya, undang-undang ini dirancang untuk memberikan otonomi
218 Sentosa Sembiring, op. cit., hal. 238-239. 219 Tineke Louise Tuegeh Longdong, op. cit., hal. 2. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
kebebasan dan fleksibilitas secara maksimal dalam menyelesaikan sengketa. Hal ini dilakukan dengan memberikan kewenangan kepada para pihak untuk menunjuk hukum atau prinsip-prinsip adil yang dapat diterapkan terhadap sengketa yang terjadi di antara mereka dan juga memberikan kewenangan kepada mereka untuk memilih para arbiter, sekaligus aturan-aturan prosedural yang dapat diterapkan dalam arbitrase. Hal ini berarti bahwa para pihak tidak perlu menerapkan hukum setempat/domestik terhadap sengketa yang sedang mereka hadapi. 220
Dengan demikian, kecenderungan para investor memilih penyelesaian sengketa penanaman modal di luar pengadilan. Di Indonesia sendiri masalah penyelesaian sengketa secara tegas dijabarkan dalam UU Penanaman Modal penyelesaian sengketa penanaman modal melalui lembaga arbitrase. Pemerintah melalui UU Penanaman Modal memberikan ruang untuk penyelesaian sengketa investasi antara investor dengan Pemerintah melalui lembaga arbitrase. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 32 UU Penanaman Modal, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan Penanam Modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat. Namun, jika tidak tercapai, maka penyelesaian tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undang (ayat 1 dan 2). Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak (Pasal 32 ayat (4) UU Penanaman Modal).
220 Gary Goodpaster, dkk., dalam Felix O. Soebagio dan Erman Rajagukguk (ed), Seri Dasar- Dasar Hukum Ekonomi 2 (Arbitrase di Indonesia), Ghalia Indonesia, J akarta, 1995, hal. 19. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Hanya saja dalam UU Penanaman Modal tidak disebutkan lembaga arbitrase yang mana dan di mana. Sebagaimana diketahui, dalam tataran hukum internasional sudah ada beberapa perjanjian internasional atau treaty (baik multilateral maupun bilateral) yang mengatur melindungi investasi dan risiko. Risiko investasi (termasuk risiko politik) yang lazim dijumpai antara lain pengambialihan oleh negara/pemerintah atas aset atau property dan hak atas kekayaan milik swasta asing (dikenal dengan istilah nasionalisasi), renegosiasi paksa atas kontrak investasi yang telah disetujui (coerced re-negotiation, larangan repatriasi atas income dan revenue dari hasil investasi ke negara asal, aktivitas-aktivitas sipil yang merongrong jalannya atau beroperasinya investasi asing dan lain-lain. Pelanggaran-pelanggaran dari perjanjian atau traktat internasional maupun pelanggaran dari kontrak investasi oleh suatu pemerintah atau negara dapat menyeret pemerintah atau suatu negara karena adanya legal action atau claim ke badan arbitrase internasional atau ke badan peradilan internasional seperti the International Court of Justice. 221
Untuk memperkuat keberadaan lembaga arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa khususnya di dalam penanaman modal. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968. Konvensi ini dikenal juga dengan Konvensi Washington. Konvensi ini lahir atas prakarsa Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1965. Konvensi ini dibuat untuk merangsang masuknya modal asing pada negara-negara berkembang. 222
221 Barita Saragih, Harmonisasi Kepentingan Investasi Asing dan Tuntutan Lokal, Artikel dalam Harian Umum Kompas, edisi Senin 20 November 2000. 222 D. Sidik Suraputra, dalam Melda Kamil Ariadno (ed), Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya (Suatu Kumpulan Karangan) oleh D. Sidik Suraputra, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI, J akarta, 2004, hal. 1. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Sebagai tindak lanjut dari konvensi ini, maka dibentuk lembaga penyelesaian sengketa antara penanam modal (investor) dengan negara penerima modal (host country) yang lebih dikenal dengan The International Center for the Settlement of Investment Disputes (ICSID). Untuk selanjutnya dalam konvensi ini disebut sebagai Pusat (Center). Sedangkan tujuan dibentuknya ICSID adalah untuk menyediakan fasilitas bagi konsiliasi dan arbitrase sengketa investasi antara negara peserta konvensi dengan warga negara peserta konvensi dengan warga negara dari negara peserta konvensi lainnya berdasarkan ketentuan konvensi. Agar ICSID dapat berlaku, para pihak harus sepakat untuk mengajukan sengketa mereka ke dewan arbitrase ICSID, sengketa haruslah antara peserta konvensi atau agen/organisasi-organisasi negara tersebut dan warga negara dari negara peserta konvensi lainnya, dan sengketa berkaitan dengan masalah investasi. 223 Dalam konvensi tersebut diatur masalah penyelesaian sengketa antara investor asing dengan negara penerima modal dilakukan lewat lembaga arbitrase. Sekalipun pemerintah Indonesia telah merafikasi konvensi ICSID, tidak berarti secara otomatis setiap sengketa antara investor asing dengan Pemerintah harus diselesaikan oleh dewan arbitrase ICSID. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1968, pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan bahwa sesuatu perselisihan tentang penanaman modal antara Republik Indonesia dan Warga Negara Asing diputuskan menurut konvensi dan untuk mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut dengan hak substitusi.
223 Gary Goodpaster, dkk., dalam Felix O. Soebagjo dan Erman Rajagukguk (ed), Seri Dasar- Dasar Hukum-Hukum Ekonomi 2 (Arbitrase di Indonesia), Ghalia Indonesia, J akarta, 1995, hal. 2. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Selanjutnya dalam penjelasan pasal ini dikemukakan, menurut Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Konvensi, setiap perselisihan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari kedua belah pihak yang berselisih, sebelum dapat diajukan di depan Mahkamah Arbitrase (Arbitral Tribunal). Dengan pasal ini dipastikan bahwa Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan itu serta untuk mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut dengan hak substitusi di mana perlu. Berdasarkan ketentuan di atas, Pemerintah Indonesia tidak berkewajiban membawa setiap sengketa penanaman modal dengan investor asing ke dewan arbitrase ICSID, kecuali kalau disetujui oleh kedua belah pihak. Hal ini sejalan dengan kewenangan ICSID dalam Pasal 25 konvensi tersebut. 224
Tampaknya pemerintah menyadari bahwa perkembangan dunia bisnis berkembang demikian pesat, sehingga penyelesaian sengketa bisnis pun dituntut secara cepat. Untuk itu, dibutuhkan lembaga penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan yang dapat dijadikan alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang dihadapi para pelaku bisnis. Di berbagai negara, pilihan penyelesaian sengketa bisnis di luar lembaga peradilan sudah lama diakui antara lain lewat lembaga arbitrase. Untuk itu, dalam rangka memperkuat keberadaan lembaga arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia semakin kuat legitimasinya dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan diterbitkannya undang-undang ini, maka
224 Pasal 25 Konvensi, The jurisdiction of the Centre shall extend to any legal dispute arising directly out of an investment, between a Contracting State (or any constituent subdivision or agency of Contracting State designated to the Centre by the State), and a national of another Contracting State, which the parties to the dispute consent in writing to submit to the Centre. When the parties have given their consent, no party may withdraw its consent unilaterally. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
keraguan terhadap pelaksanaan putusan lembaga arbitrase 225 khususnya putusan arbitrase internasional, 226 sedikit banyak dapat diminimalisasi. Artinya bila ada putusan arbitrase asing yang pelaksanaannya di Indonesia, asal memenuhi syarat dapat dilaksanakan di Indonesia. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi, jika ingin melaksanakan putusan arbitrase asing di Indonesia dijabarkan dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat- syarat sebagai berikut: a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang linkup hukum perdagangan; c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutur dari Ketua Pengadilan Negeri J akarta Pusat; dan
225 Pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 226 Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009 e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri J akarta Pusat.
BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP INVESTASI ASING MENURUT UNDANG-UNDANG NO.12 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH A. Pelimpahan Wewenang Pengelolaan Penanaman Modal Kepada Pemerintah Daerah Dalam meningkatkan arus investasi ke Indonesia, berbagai upaya terus dilakukan oleh pemerintah. Upaya tersebut, antara lain dengan pendelegasian kewenangan pengelolaan investasi kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Hanya saja pendelegasian kewenangan tersebut, belum sepenuhnya berjalan. Hal ini disebabkan belum tertata dengan cermat pembagian pengelolaan investasi. Oleh karena itu terkesan pemerintah pusat belum sepenuhnya mendelegasikan wewenang (desentralisasi) ke pemerintah daerah dalam urusan investasi. Secara alternatif, memang dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk mengatur masalah investasi asing. Pemerintah diberi wewenang untuk: 227
1. Menentukan perincian bidang-bidang bagi modal asing; 2. Menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Penanaman Modal Asing secara kasuistis; 3. Menetapkan bidang-bidang usaha terteniu yang tidak boleh dilakukan penanaman modal oleh modal asing; 4. Menetapkan bidang-bidang usaha yang dapat diadakan kerjasama antara modal asing dan modal nasional. J adi, kewenangan untuk memutuskan boleh tidaknya suatu investasi masih ada di Pemerintah Pusat, dalam hal ini diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
227 C.F.G. Sunarjadi Hartono, Beberaa Masalah Transnasional Dalam Penanam Modal Asing di Indonesia, Bina Tjipta, Bandung, 1972, hal. 40. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
J ika masalah pengelolaan investasi masih bersifat sentralistik, tentunya kurang menguntungkan terlebih lagi nuansa investasi yang ada sekarang semakin liberal dan penuh persaingan dengan negara-negara tetangga, seperti di kawasan ASEAN. 228
Untuk memotong mata rantai birokrasi investasi ini, sebenarnya beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan menerbitkan berbagai kebijakan di bidang investasi yakni dengan diterbitkannya: 1. Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Kepuusan Presiden Nomor 26 Tahun 1980 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Penananam Modal Daerah. Dalam Pasal 2 disebutkan Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah mempunyai tugas membantu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dalam menentukan kebijaksanaan di bidang perencanaan penanaman modal daerah,, memberikan persetujuan dan perizinan penanaman modal dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tertentu ditetapkan oleh Menteri Negara/Kepala Daerah Badan Koordinasi Penanaman Modal berdasarkan kriteria tertentu, dan melaksanakan pengawasan atas pelaksanaannya. 2. Instruksi Presiden Nomor 22 Tahun 1998 tentan Penghapusan Kewajiban Memilki Rekomendasi Instansi Teknis Dalam Permohonan Persetujuan Penanaman Modal. Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 21/SK/1998 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Fasilitas Serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Dalam Negeri Tertentu Kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
228 Sentosa Sembiring, op. cit., hal. 155. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Dalam Pasal 1 butir disebutkan Menteri Negara Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melimpahkan kewenangan penerbitan Surat Persetujuan. Fasilitas dan Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk penanaman modal dalam negeri dengan nilai investasi sampai dengan Rp. 10.000.000.000, (sepuluh milyar rupiah) yang dilaksanakan di daerahnya. Dari hasil wawancara pada Badan Investasi dan Promosi (BAINPROM) Provinsi Sumatera Utara, pendelegasian wewenang perizinan penanaman modal di Provinsi Sumatera Utara adalah: 229
1. Kewenangan Sebelumnya 1) Mengacu kepada Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 jo. Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing serta juklak yang diatur dalam PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Provinsi. Dalam hal urusan Penanaman Modal dinyatakan bahwa Pemerintah Provinsi bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. 2) Mengacu kepada Keppres No. 117 Tahun 1999 dan melihat ketentuan tentang Tata Cara Penanaman Modal pada saat itu masih mempedomani Keputusan Menteri Investasi/Kepala BKPM No. 38/SK/1999 tanggal 06 Oktober 1999, yang berwenang menerbitkan Surat Persetujuan (SP) Penanaman Modal dan Perizinan lainnya adalah BKPM dan Pemerintah Provinsi, Konsul maupun Duta Besar RI diluar negeri.
229 Hasil wawancara dengan Bapak Anthon Malau, SE., Bidang Pelayanan Kasubbid Pelayanan ADM Industri, Bainprom Sumatera Utara, tanggal 26 Agustus 2008, di Medan. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
3) Kewenangan yang sudah diserahkan ke Pemerintah Kabupaten/Kota sejak Facto 1993 (Keppres 97 Tahun 1993) tanggal 23 Oktober 1993 bahwa Kewenangan dibidang Penanaman Modal sebagai izin lanjutan yang dikelola dan diterbitkan di Kabupaten/Kota meliputi : a. Penerbitan Izin Lokasi. b. Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan. c. Penerbitan Izin H.O. d. Penerbitan Izin AMDAL. e. Penerbitan Tanda Daftar Perusahaan. f. Penerbitan Rekomendasi Tenaga Kerja Asing. g. Serta seluruh Kutipan Retribusi dan Pajak Daerah. 4) Melihat Pendelegasian Kewenangan di bidang Penanaman Modal sesuai dengan ketentuan pada saat itu bahwa Kewenangan Urusan/Izin Penanaman Modal PMA/PMDN, Pemerintah, dan Pemerintah Provinsi sekitar 15% dan Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sekitar 85%, Kewenangan Provinsi di bidang Penanaman Modal meliputi: Penerbitan Surat Persetujuan Penanaman Modal PMDN dan PMA serta Perubahannya. a. Penerbitan Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT). b. Penerbitan Izin Kerja Tenaga Kerja Asing (IKTA), dan perpanjangannya. c. Penerbitan Izin Usaha Tetap (IUT). 2. Kewenangan Saat Ini 1) Dengan lahirnya Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2004 tanggal 12 April 2004 tentang Keputusan Presiden tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal, sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1999. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Dalam Keppres ini Kewenangan Penerbitan Surat Persetujuan PMA bagi Konsul/Duta Besar RI diluar negeri, Kewenangan Pemerintah Provinsi dalam Penerbitan Surat Persetujuan PMA/PMDN dicabut. 2) Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tgl. 12 April 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Dalam Keppres ini Kewenangan Penerbitan Surat Persetujuan PMA maupun PMDN dilayani melalui Sistem Pelayanan Satu Atap di BKPM. 3) Dengan lahirnya Keputusan Kepala BKPM No. 57/SK/2004 tanggal 20 J uli 2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing, maka efektif terhitung mulai tanggal 23 Agustus 2004 Kewenangan Penerbitan Surat Persetujuan, Fasilitas dan Perizinan lainnya menjadi Kewenangan Pemerintah (BKPM) sesuai dengan Keppres No. 29 Tahun 2004 tanggal 12 April 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri melalui sistem Pelayanan Satu Atap. 4) Kewenangan yang ada pada Pemerintah Provinsi dalam hal urusan Penanaman Modal hanya : a. Perpanjangan Izin Kerja Tenaga Kerja Asing. b. Pengawasan Pengendalian Penanaman Modal yang ada diwilayah Provinsi. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
5) Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota tetap sesuai dengan Facto 1993 (Keppres 97 Tahun 1993 tanggal 23 Oktober 1993) meliputi : a. Penerbitan Izin Lokasi. b. Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan. c. Penerbitan Izin H.O. d. Penerbitan Izin AMDAL. e. Penerbitan Tanda Daftar Perusahaan. f. Penerbitan Rekomendasi Tenaga Kerja Asing. g. Serta seluruh Kutipan Retribusi dan Pajak Daerah. 3. Kewenangan Sesuai Dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (sebagamaina telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008) Jo. PP No. 38 Tahun 2007 1) Melihat Ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada Pasal 13 Ayat (1) butir n bahwa Urusan wajib yang menjadi Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi adalah merupakan Urusan dalam skala Provinsi salah satu diantaranya adalah: Pelayanan Administrasi Penanaman Modal termasuk Lintas Kabupaten/ Kota. Dengan demikian bahwa kembali urusan Administrasi Penanaman Modal menjadi Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. 2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tgl. 26 April 2007 tentang Penanaman Modal. Pada Pasal 25 Pengesahan dan Perizinan Perusahaan Penanaman Modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin, izin diperoleh melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu . 3) Peraturan Pemerintah 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai Peraturan Pelaksanaan dari Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007. Pada Pasal 7 ayat (2): Urusan Wajib yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah Provinsi pada butir i termasuk urusan Penanaman Modal. Dalam rincian pembagian urusan Pemerintahan Bidang Penanaman Modal, khusus mengenai Pelayanan Penanaman Modal meliputi : a. Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh pemerintah. b. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan provinsi. c. Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan provinsi. d. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiscal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan provinsi.
Selanjutnya mengenai bahan masukan muatan materi RPP pembagian urusan pemerintahan bidang Penanaman Modal Sumatera Utara, sebagaiman terlihat pada tabel berikut:
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Tabel 2 Bahan Masukan Muatan Materi RPP Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Penanaman Modal Sumatera Utara
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN NO SUB BIDANG/ RINCIAN URUSAN PUSAT PROVINSI KABUPATEN/KOTA KETERANGAN 1 2 3 4 5 6
1.
Sub Bidang Pelayanan Perizinan Penanaman Modal.
1.2. Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pelayanan penanaman modal skala nasional.
1.2. Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pelayanan penanaman modal skala provinsi.
1.2. Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pelayanan penanaman modal skala kabupaten/kota.
1.2. Memberikan persetujuan prinsip penanaman modal bagi PMA, PMDN dan Non PMA/ PMDN yang menjadi kewenangan Pusat, seperti :
a. Pemberian persetujuan baru, perubahan dan perluasan proyek PMA, PMDN dan Non PMA/ PMDN untuk proyek- proyek atau bidang-bidang usaha tertentu, meliputi :
1) Bidang usaha berteknologi strategis yang mempunyai derajat kecanggihan tinggi dan beresiko tinggi dalam penerapannya.
2) Proyek-proyek atau bidang-bidang usaha yang bersifat lintas propinsi, seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan dan perhubungan.
3) Proyek-proyek yang beroperasi di wilayah laut dli luar perairan 12 mil atau ZEE.
4) Proyek-proyek atau bidang-bidang usaha yang oleh Departemen Sektoral dinyatakan sebagai kewenangan Pusat.
b. Pemberian persetujuan pendirian Kantor Perwakilan Perusahaan Asing.
1.2. Memberikan persetujuan prinsip penanaman modal bagi PMA dan PMDN termasuk yang bersifat lintas Kabupaten/Kota (selain yang menjadi kewenangan Pusat), seperti :
a. Pemberian Persetujuan seluruh proyek Penanaman Modal baru bagi PMDN dan PMA.
b. Pemberian Persetujuan seluruh proyek Perluasan PMDN dan PMA.
c. Pemberian Persetujuan Perubahan rencana proyek PMDN/PMA, terdiri dari :
1) Perubahan lokasi proyek. 2) Perubahan nama perusahaan. 3) Perubahan bidang usaha dan produksi (baik jenis atau kapasitas). 4) Perubahan penggunaan Tenaga Kerja Asing. 5) Perubahan investasi nilai mesin- mesin/peralatan dan permodalan. 6) Perubahan mitra usaha dan atau pola kemitraan. 7) Perpanjangan waktu penyelesaian proyek. 8) Perubahan status perusahaan. 9) Penggabungan perusahaan. 1.2. Memberikan persetujuan prinsip penanaman modal bagi Non PMA dan PMDN (selain yang menjadi kewenangan Pusat), seperti :
a. Pemberian Persetujuan prinsip seluruh proyek baru bagi Perusahaan Non PMA/PMDN.
b. Pemberian persetujuan seluruh proyek perluasan Non PMA/ PMDN.
c. Pemberian persetujuan perubahan rencana proyek Non PMA/ PMDN.
d. Pemberian perizinan teknis pelaksanaan penanaman modal baik bagi PMA, PMDN maupun Non PMA/PMDN, terdiri dari :
1) Izin Lokasi. 2) Sertifikat hak-hak Atas Tanah. 3) Izin Mendirikan Bangunan (IMB). 4) Izin Undang- undang Gang- guan/HO.
Proyek/bidang usaha yang bersidat lintas Kabupaten/Kota terdiri dari :
- Kegiatan penanaman modal yang lokasi proyeknya mempunyai hamparan lahannya terletak pada 2 (dua) atau lebih wilayah Kabupaten/ Kota dalam satu Propinsi.
- Kegiatan penanaman modal yang operasi nya mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah Kab./Kota dalam satu Propinsi
- Kegiatan penanaman modal yang operasi nya mencakup 2 (dua) atau lebih kegiatan/ proyek saling keterkaitan / terpadu yang lokasinya terletak pada 2 atau lebih wilayah Kab./Kota dalam satu Propinsi dan permohonan-nya diajukan sekaligus atau dalam satu paket.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN NO SUB BIDANG/ RINCIAN URUSAN PUSAT PROVINSI KABUPATEN/KOTA KETERANGAN 1 2 3 4 5 6
c. Pemberian perizinan pelaksanaan persetujuan penanaman modal dalam rangka PMA/PMDN dan Non PMA/PMDN yang memenuhi kriteria sebagaimana huruf a butir 1) s/d 4) di atas terdiri dari:
1) Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT).
2) Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) berdasarkan ketentuan dari instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
3) Rekomendasi Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing (TA.01) berdasarkan ketentuan dari instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
4) Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing (IMTA) khusus bagi TKA yang bekerja pada 2 (dua) Propinsi atau lebih berdasarkan Visa untuk maksud kerja yang telah telah disetujui oleh Instansi yang berwenang di bidang Keimigrasian.
5) Persetujuan Pemberian Fasilitas Pembebasan/ Keringanan Bea Masuk atas Pengimporan Barang Modal (Mesin-mesin/ Peralatan
d. Pemberian perizinan pelaksanaan persetujuan penanaman modal dalam rangka PMA dan PMDN tingkat Propinsi, terdiri dari :
1) Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT).
2) Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) berdasarkan ketentuan dari instansi yang berwe-nang di bidang ketenagakerjaan.
3) Rekomendasi Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing (TA.01) berdasarkan ketentuan dari instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
4) Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing (IMTA) berdasarkan Visa untuk maksud kerja yang telah disetujui oleh Instansi yang berwenang di bidang Keimigrasian (khusus bagi TKA yang bekerja pada 2 (dua) Kabupaten/Kota atau lebih dalam satu Propinsi.
5) Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan PMA/PMDN yang Surat Persetujuannya diterbitkan Instansi Penanaman Modal Propinsi (IPMP).
e. Pemberian perizinan pelaksanaan persetujuan penanaman modal dalam rangka Non PMA/PMDN terdiri dari :
1) Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT).
2) Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing (IMTA) berdasarkan Visa untuk maksud kerja yang telah disetujui oleh Instansi yang berwenang di bidang Keimigrasian (khusus bagi TKA yang bekerja hanya pada satu Kab./Kota) termasuk bagi PMDN/PMA.
3) Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan Perusahaan Non PMDN/PMA.
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN NO SUB BIDANG/ RINCIAN URUSAN PUSAT PROVINSI KABUPATEN/KOTA KETERANGAN 1 2 3 4 5 6
6) Persetujuan Pemberian Fasilitas Pembebasan/Keringana n Bea Masuk atas Pengimporan Bahan Baku dan/atau Bahan Penolong untuk keperluan produksi 2 (dua) tahun berdasarkan kapasitas terpasang.
7) Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan.
d. Penyelenggaraan kewenangan lain di bidang pelayanan perizinan penanaman modal yang belum ditetapkan dalam ketentuan perundang- undangan dimaksud.
e. Penyelenggaraan kewenangan lain di bidang pelayanan perizinan penanaman modal yang belum ditetapkan dalam ketentuan, sepanjang tidak bertentangan dengan Kebijakan Pemerintah Pusat.
f. Penyelenggaraan kewenangan lain di bidang pelayanan perizinan penanaman modal yang belum ditetapkan dalam ketentuan, sepanjang tidak bertentangan dengan Kebijakan Pemerintah Pusat dan Propinsi.
Sumber: Badan Investasi dan Promosi (BAINPROM) Propinsi Sumatera Utara B. Kewenangan Pemerintah Daerah Terhadap Investasi Asing Menurut Undang-Undang No.12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah Dengan digulirkan era reformasi, maka semangat reformasi pun ingin diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. J adi tidaklah mengehrankan perundang-undangan pun lahir. Namun, lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang diharapkan dapat dijadikan panduan dalam hidup bernegera dan bermasyarakat, ternyata dalam pelaksanaannya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini juga tampak ketika diterbitkannya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah terbersit secercah harapan, dengan diberikannya kewenangan yang otonom kepada pemerintah daerah untuk mengurus daerahnya, harapan akan meningkatnya pelayanan publik ternyata dalam implementasinya masih jauh dari harapan. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Eforia otonomi daerah yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, tidak diikuti dengan perubahan kultur dan sumber daya manusia yang memadai. Akibatnya cara kerja dan mutu layanan publik yang diberikan kepada masyarakat belum tampak ada perubahan berarti dengan cara kerja yang selama bertahun-tahun sangat sentralistik. Untuk itu tidak mengherankan apabila pelaksanaan otonomi daerah pun diinterpretasikan sesuai selera masing-masing. 230 Artinya semangat otonomi daerah ditafsirkan, bagi pihak pemegang otoritas di daerah dapat berbuat apa saja, tanpa memperhatikan kepentingan nasional secara keseluruhan. Pandangan sempit seperti ini tentu akan membawa dampak dalam berbagai sektor kehidupan, antara lain alam bidang investasi. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan urusan investasi atau dalam bahasa resmi undang-undang disebut penanaman modal menjadi salah satu wewenang pemerintah daerah. Disinilah salah satu letak permaalahan dalam mengimplementasikan wujud otnomi daerah yakni belum adanya kesamaan persepsi makna dari otonomi derah itu sendiri. Dalam persepsi pemerintah daerah, Pemerintah Daerah dapat menerbitkan berbagai Peraturan Daerah (Perda) sebagai instrumen hukum untuk menarik dana dalam kerangka mencari sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Implikasinya adalah munculnya berbagai Peraturan Daerah tersebut yang tujuannya semata-mata untuk meligitimasi retribusi dari sudut pandang pelaku usaha tentunya hal ini cukup memberatkan. Akibatnya bagi pelaku usaha yang tadinya berhadap cukup banyak dengan adanya otonomi daerah, mata rantai birokrasi yang
230 Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur PEMDA dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, J akarta, 2001, hal. 34. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
cukup panjang dalam kacamata bisnis merupakan biaya ekonomi tinggi (high cost economy) dapat diperpendek. Namun dalam kenyataan masih jauh dari harapan. Hal ini tergambar dari hasil penelitian yang dilakukan oleh KPPOD pada tahun 2003 terhadap 200 kabupaten dan kota, faktor kelembagaan yang meliputi peraturan dan pelayanan publik menjadi faktor pertimbangan utama investor dalam menanamkan modal ke daerah. 231 Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika para pebisnis masih menahan diri dalam melakukan ekspansi usahanya. Mencermati berbagai kendala dalam pelaksanaan pemerintah mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan dan mengganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berangkat dari latar belakang lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seperti yang disampaikan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, bahwa sekalipun pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelola daerahnya, namun tidak berarti lepas dari tujuan bernegara secara nasional. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan tujuan berrnegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk bidang-bidang tertentu masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Bidang tersebut antara lain: politik luar negeri, pertanahan keamanan, yustisi, moneter dan fikal nasional, dan agama. 232
Untuk menyerasikan antara kewenangan pusat di satu sisi dan pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten di sisi lain, pembentuk undang-undang mencoba menyusunnya berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang dimaksud antara
231 Indonesia Masih Buruk Rupa di Mata Investor, Kompas, edisi 13 Mei 2005. 232 Asri Umar, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah DAerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, CV. Citra Utama, J akarta, 2004, hal. 4/29 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
lain berdasarkan, ekternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antarsusunan pemerintah. 233
Selanjutnya Pemerintah melakukan perubahan kembali undang-undang pemerintahan daerah tersebut, dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan untuk urusan pemeritahan yang menjadi kewenangan pemeritahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan lain. Salah satu tugas yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah dalam Pasal 13 ayat 1 butir n disebutkan urusan wajib yang menjadi kewewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinisi yang meliputi, pelaporan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Dalam Pasal 14 ayat 1 butir n Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan urusan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerinah daerah untuk kabupaten/kota meliputi, pelayanan administrasi penanaman modal. Hanya cukup disayangkan dalam undang-undang ini tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan pelayanan administrasi penanaman modal. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan undang-undang ini khususnya melayani kebutuhan investor, kemungkinan terjadinya perbedaan interpretasi dalam
233 Penjelasan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
pelaskanaannya sangat mungkin terjadi. Dari sudut pandang pemerintahan daerah provinsi maupun kota/kabupaten dapat saja berpandangan bahwa pelayanan administrasi bukan hanya semata-mata mencatat dokumen investasi yang telah diberikan oleh pemerintah pusat kepada investor, akan tetapi dapat juga menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon investor jika ingin berinvestasi di wilayahnya. 234
Cara pandang yang digunakan oleh pemerintah daerah dalam memahami makna yang terkandung dalam ketentuan tersebut tidaklah sepenuhnya dapat disalahkan. Artinya Pemerintahan Daerah boleh saja berdalih diterbitkannya Peraturan Daerah untuk mempermudah berinvesasi di daerahnya. Bahkan bisa dengan dalil demi kepastian hukum. Hal ini dijabarkan dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pemerintahan daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat memberikan insentif dan atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan insentif dan/atau kemudahan dalam ketentuan di atas adalah pemberian dari pemerintah daerah antara lain dalam bentuk penyediaan sarana, prasarana, dan stimulasi, pemberian modal usaha, pemberian bantuan teknis, keringanan biaya, an percepatan pemberian izin.
234 Ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan rencana tata ruang wilayah menjadi pedoman untuk penentuan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi (Pasal 26 ayat (2) butir e, Pasal 23 ayat (2) butir e, Pasal 26 ayat (2) butir 3). Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Dalam mengimplementasikan makna yang terkandung dari tujuan adanya pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah bagaimana membangun daerah bukan dalam arti makna sempit yakni tidak menghiraukan kepentingan daerah lain. Dalam hal inilah dibutuhkan pentingnya kepemimpinan yang berwibawa dalam mewujudkan tujuan nasional khususnya di daerah yakni mensejahterakakan masyarakat. Perlunya kehadiran pemimpin yang berwawasan nasional dan mampu bekerjasama demi kepentingan masyarakat daerah. Pemimpin seperti ini, akan mampu mengatasi semua distorsi yang terjadi saat otonomi daerah berjalan. 235 Oleh karena itu dalam menyikapai arti pentingnya kehadiran investor ke daerah sangat dibutuhkan adanya kesamaan pandang dari semua pihak. Sebab dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi desentralisasi diperlukan karena Pemerintah Daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut. 236
Oleh karena itu dengan diberikannya kewenangan kepada Pemerintah Daerah mengurus daerahnya secara otonomi termasuk di antaranya memberikan insentif kepada investor, perlu menciptakan peluang investasi yang misalnya tidak hanya sarana fisik, tetapi juga nonfisik misalnya diterbitkannya peraturan daerah dapat dijadikan sebagai pemacu kehadiran investor asing untuk datang ke Indonesia pada umumnya dan secara khususnya di daerah lokasi tujuan investasi asing tersebut akan beroperasi.
235 M. Arif Nasution, Demokratisassi dan Prbolem Otonomi DAerah, Mandar Maju, BAndung, 2000, hal. 77. 236 J oseph Riwu Kaho dalam Bambang Yudoyono, op. cit., hal. 21. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. J aminan kepastian hukum investor asing menurut UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 adalah pada prinsipnya Pemerintah tidak akan melakukan pengambilalihan atau nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia, dan jika terpaksa harus dilakukan pengambilalihan, maka kepada investor akan diberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar (Pasal 7), dan jika tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi atau terjadinya sengketa investasi asing di Indonesia, penyelesaiannya dapat dibawa ke lembaga lembaga arbitrase (Pasal 32). Lembaga arbitrase yang dimaksud adalah Internasional Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID), karena Indonesia sudah meratifikasi konvensi ICSID dengan UU No.5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan WArga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal. 2. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam kaitan investasi asing sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2008 yang menjadi urusan wajib pemerintah daerah provinsi ataupun kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 13 ayat 1 butir n dan Pasal 14 ayat 1 butir n, adalah kewenangan untuk pelayanan administrasi penanaman modal. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009 B. Saran 1. Berhubung pemerintah sudah meratifikasi lembaga arbitrase dalam undang- undang, maka sebaiknya ditegaskan penyelesaian sengketa antara WNA dengan pemerintah dalam hal penanaman modal melalui lembaga arbitrase internasional namun tetap menjunjung asas kebebasan berkontrak. Dengan kata lain tetap mengacu pada ketentuan Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase jo Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional, bahwa putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. 2. UU Penanaman Modal memberikan kewenangan pelayanan administrasi penanaman modal kepada pemerintahan daerah, tetapi tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan pelayanan administrasi penanaman modal tersebut. Maka perlu lebih tegas lagi batasan pelayanan administrasi penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah tersebut, sehingga tidak terjadi persepsi yang berbeda antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh karena itu Pemerintah harus segera menerbitkan Peraturan Pemerintah dengan mempedomani Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdurrachman, A, Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, Cet. ke-6, Pradnya Paramita, J akarta, 1991. Bashri, Yanto (ed), Mau Ke Mana Pembangunan Ekonomi Indonesia Prisma Pemikiran Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Predna Media, J akarta, 2003. Downes, J ohn dan J ordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan & Investasi. Alih bahasa oleh Soesanto Budhidarmo, Elex Media Komputindo, J akarta, 1994. Erawati, A.F. Elly, Meningkatkan Investasi Asing Di Negara Berkembang: Kajian Terhadap Fungsi dan Peran dari The Multilateral Inevstment Guarantee Agency, Pusat Studi Hukum Unpar, Bandung, 1989. Friedman, Lawrence M., American Law An Introduction, Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Penerjemah: Wishnu Basuki), Tatanusa, J akarta, 2001. Gautama, Sudargo, Perkembangan Arbitrase Dagang, Internasional Di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989. Gilpin, Robert dan J ean Milies Gilpin, The Challenge of Global Capitalism (Tantangan Kapitalisme Global) Penerjemah: Haris Munadar, Dudy Priatna, Raja Grafindo Persada, J akarta, 2002, Edisi 1, Cetakan 1. Goodpaster, Gary, dkk., dalam Felix O. Soebagio dan Erman Rajagukguk (ed), Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2 (Arbitrase di Indonesia), Ghalia Indonesia, J akarta, 1995. Hadiwinata, Bos Sugeng, Politik Bisnis Internasional, Kanisius, Yogyakarta, 2002, Cet 1. Hartono, C.F.G. Sunarjadi, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanam Modal Asing di Indonesia, Bina Tjipta, Bandung, 1972. Himawan, Charles, Hukum Sebagai Panglima, Penerbit Buku Kompas, J akarta, 2003. Hisyam, M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, J ilid I, FE UI, J akarta, 1996. Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995 Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Kencana, J akarta, 2007. Kartadjoemena, H. S., GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Press, J akarta, 1997. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Khumarga, Dahniel, Regulasi Investasi, Kendala dan Faktor Penunjangnya, Pidato Pengukuhan Penerimaan J abatan Sebagai Besar Tetap Dalam Bidang Pengantar Tata Hukum Indonesia Fakultas Hukum UPH Tangerang, 2 Maret 2002. Kusumohamidjojo, Budiono, Ketertiban Yang Adil Problematika Filsafat Hukum, Grasindo, J akarta, 1999, Cetakan 1. Longdong, Tineke Louise Tuegeh, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. Lopa, Baharuddin, Etika Pembangunan Hukum Nasional, dalam Artidjo Alkostar (ed), Identitaqs Hukum Nasional, FH UII, Yogyakarta, 1997. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. _____, Sistem Nasional, Mandar Maju, Bandung, 2002. Lubis, Todung Mulya, Hukum Ekonomi, Sinar Harapan, J akarta, 1992. Mantayborbir, S., Sistem Hukum Pengurusan Piutang, Pustaka Bangsa Press, J akarta, 2004. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan I, edisi kedua, Liberty, Yogyakarta, 1988, Napitupulu, Joint-Ventures di Indonesia, Erlarigga, J akarta, 1986. Nasution, M. Arif, Demokratisassi dan Prbolem Otonomi Daerah, Mandar Maju, Bandung, 2000. Panjaitan, Hulman, Hukum Penanaman Modal, Indhill Co., J akarta, 2002, Cetakan 1, Rajagukguk, Erman, Hukum Investasi di Indonesia, Anatomi Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Fakultas Hukum Universitas Al- Azhar Indonesia, J akarta, 2007. Roeroe, Freddy, dkk., Batam Komitmen Setengah Hati, Aksara Karunia, Jakarta, 2003. Rusdin, Bisnis Internasional dalam Pendekatan Praktik, Jilid 1, Alfabeta, Bandung, 2002. Sembiring, Sentosa, Hukum Investasi, PT. Nuansa Aulia, Bandung, 2007. Siagian, Sondang P., Administrasi Pembangunan, Gunung Agung, J akarta, 1985. Sjahdeini, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, J akarta. Sjahrir, Perusahaan Transnasional, Gramedia-Obor, J akarta, 1987. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Soebagjo, Felix O dan Erman Rajagukguk (ed), Seri Dasar-Dasar Hukum-Hukum Ekonomi 2 (Arbitrase di Indonesia), Ghalia Indonesia, J akarta, 1995. Soebagjo, Felix Oentong, Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan di Indonesia, Pusat Pengkajian Hukum, J akarta, 2006. Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, J akarta, 1995. Soemitro, Ronny Hantijo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Subekti, R., Arbitrase Perdagangan Internasional, Binacipta, Bandung, 1979. Suhardi, Gunarto, Beberapa Elemen Penting Dalam Hukum Perdagangan Internasional, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2004. Suhardi, Gunarto, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Unika Atmajaya, Yogyakarta, 2002. Sumantoro, Bunga Rampai Permasalahan Penanaman Modal, Modal/Problems of Investment in Equities and in Secirities, Binacipta, Bandung, 1990. Suny, Ismail dan Rudiono Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan UUPMA dan Kredit Luar Negeri, Pradnya Paramita, J akarta, 1967. Supanca, Ida Bagus Rahmadi, Kerangka Hukum Dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Ghalia Indonesia, J akarta, 2006. Supanji, Penanaman modal Asing di Indonesia Insentif v Pembatasan, Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia J akarta, 2008. Suraputra, D. Sidik, Penanaman Modal Asing dan Risiko Investasi Nonkomersial, Mochtar Kusumaadmadja: Pendidik & Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, Bandung, 1999. Umar, Asri, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah DAerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, CV. Citra Utama, J akarta, 2004. Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, J akarta, 1996. Wie, Thee Kian, Industrialisasi di Indonesia berbagai Kajian, LP3ES, J akarta, 1996, Cetakan Kedua Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), Cet ke 8, Alumni, Bandung, 1982. Yudoyono, Bambang, Otonomi Daerah Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur PEMDA dan Anggota DPRD, Pustaka Sinar Harapan, J akarta, 2001. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
B. Makalah, Majalah, Jurnal, Artikel dan Karya Ilmiah Ariadno, Melda Kamil (ed), Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya (Suatu Kumpulan Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI, J akarta, 2004. "Aturan lnvestasi Lebih Restriktif'. Kompas, 12 J uli 2007. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman Dan HAM RI., Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penanaman Modal, J akarta, J uli 2003. ______, Laporan Akhir: Penelitian Tentang Aspek Hukum Perdagangan Dikaitkan dengan Penanaman Modal Asing, J akarta, 1996. CPI Investasi Asing dan Potensi Industri Asing, Pidato ilmiah Prof.Dr.Ir. Kresnohadi Ariyoto Karnen, dibacakan pada saat upacara pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Ilmu Manajemen FEUI yang berlangsung hari Rabu, 14 Nopember 2007 di Kampus Depok, dalam Website Universitas Indonesia. "CSR di BUMN, Banyak Dana Sedikit Hasil", Bisnis Indonesia, 13 September 2007. "CSR Tidak Masuk Cost Recovery", Kompas, 25 J uli 2007. Daniri, Mas Achmad, dan Maria Dian Nurani, "Menuju Standarisasi SCR", Bisnis Indonesia, 19 J uli 2007. Downes, J ohn dan J ordan Elliot Goodman, Kamus Istilah Keuangan & Investasi, Alih bahasa oleh Soesano Budhirdamo, Elex Media Komputindo, J akarta, 1994. Erawaty, A.F. Elly dan J .S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Indonesia Inggris, edisi keempat, Balai Pustaka, J akarta, 1995. Harian umum Bisnis Indonesia, edisi 28 Maret 2007. Harian Umum Kompas Edisi Kamis 5 J uli 2007. Harian Umum Suara Pembaruan, edisi 27 Maret 2007. Hidayat, Mohamad S., Peluang Investasi Tantangan dan Antisipasi, Makalah dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh IKA Unpar, Bandung, 14 J uli 2006. "Iklim bisnis membaik dorong investasi" Bisnis Indonesia, Rabu, 19 September 2007. "Indonesia Memiliki Undang-Undang Penanaman Modal Baru", Media Industri, No.02, 2007. "1.300 Buruh Telantar Akibat PMA Hengkang", Kompas, 8 Februari 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Indonesia Masih Buruk Rupa di Mata Investor, Kompas, edisi 13 Mei 2005. "Pemerintah Belum Pernah Tuntaskan Kasus Investor Pengemplang", Kompas, 8 April 2008. Silalahi, Pande Radja, "Menghidupkan Kembali Tax Holiday", Tempo, edisi 22/01, 26 J uli 1996. "Tax Holiday Bukan J aminan untuk Tarik Minat Investor" Harian Ekonomi Neraca, 9 Agustus 2003. Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertai, PPs-USU, Medan, 2002. ''Mahkamah Konstitusi Matikan Daya Saing Ekonomi", Media Indonesia, Senin, 7 April 2008. Menanti Realisasi Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, Suara Pembaruan, edisi 2 April 2007. Mencemaskan Masuknya Investasi Asing, Kompas, 4 Februari 2006. Meniadakan Daerah Abu-Abu", Kompas, 5 J uli 2007. "Menjaga Iklim Investast", Tajuk Utama, Bisnis Indonesia, Selasa, 10 J uli 2007. Nasution, Bismar, Implikasi AFTA Terhadap Kegiatan Investasi Hukum Investasi Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, edisi J anuari-Februari, 2003. "Pengusaha Kecewa Atas Putusan Mahkamah Konstitusi", Tempo, 27 Maret 2008. Pambudhi, P. Agung, "Pengurusan Izin, Bermula & Berakhir di OSS, Bisnis Indonesia, Edisi 11 November 2006. "Presiden J amin Tak Lakukan Nasionalisasi", Bisnis Indonesia, 3 November 2006. Sugema, Iman, "Catatan atas Perpres No.77/2007", Bisnis Indonesia, 7 J uli 2007. DNI Sarat Area Abu-Abu", Bisnis Indonesia, 5 J uli, 2007. Sugema, Iman, "Catalan atas Perpres No.77/2007", Bisnis Indonesia, 7 J uli 2007. "Perbaikan DNl Dimungkinkan", Kompas, 16 J uli 2007. "Terkait Pembatasan Kepemilikan Saham, Asing Kecewa", Investor Daily, 4 J uli 2007. Aturan Investasi Lebih Restriktif, Kompas, 12 J uli 2007. "Boediono: Revisi DNI Tidak J angka Pendck", Bisnis Indonesia, Selasa, l7 J uli 2007. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Mengatur Kinerja Pelayanan Perizinan Terpadu di Indonesia, The Asia Foundation, J akarta, J uli 2007. Nugroho, Susanti Adi, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Slide tidak dipublikasikan. "Pelayanan Investasi Disepakati Satu Pintu", Bisnis Indonesia, 26 Februari 2007. Sirait, Ningrum Natasya, Mengenal Perjanjian Arbitrase, Fakultas Hukum USU, 14 Agustus 2008. "Status wajib CSR kian dtbalasT, Bisnis Indonesia, 5 Oktober 2007. Supratikno, Hendrawan, "Sekali Lagi, Tanggung J awab Sosial Korporasi", Opini Bisnis Indonesia, 6 September 2007. Majalah Trust, edisi 30 J uli-5 Agustus 2007 Wanandi, Sofjan, CSR dan Imbal Hasil Saham, Bisnis Indonesia, 23 J uli 2007 Saragih, Barita, Harmonisasi Kepentingan Investasi Asing dan Tuntutan Lokal, Artikel dalam Harian Umum Kompas, edisi Senin 20 November 2000. Simanjuntak, Djisman S., Ekonomi Pasar Sosial Terbuka Indonesia, Landasan Stabilitas dalam Ekonomi Global yang Berubah Dramatik, Makalah dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh ikatan Alumni dan Fakultas Ekonomi Unpar Bandung, 4 Desember 2004. Soebagjo, Felix Untung, Pendapat Pada Sidang di Mahkamah Konstitusi, tanggal 20 November 2007. Sugema, Imam, "Daya Tarih Investasi", Suara Karya, edisi Kamis 21 Desember 2006. Sumardjono, Maria S. W., "Pokok-Pokok Pikiran Dalam Rangka Pelaksanaan PP No. 40 Tahun tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai (HP), Makalah Disajikan dalam: Lokakarya tentang Pemasyarakatan PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai (HP), Lembaga Penelitian dan Pengkajian Pertanahan (LP3), J akarta, 30 J uli 1996. Sumarsono, Harlan, "Perlu Tim Mempercepat Pengembangan Bisnis dan Investasi", Suara Pembaruan Edisi. 28 November 2006 Suraputra, S. Sidik, ICSID dan MIGA: Lembaga Internasional Untuk Meningkatkan Arus Penanaman Modal. Dalam Tim Pakar Hukum Depkeh dan HAM RI, Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum Nasional, J akarta, 2002. Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, cetakan ke XIX, Penerbit Djambatan, J akarta, 2003. Sumardjono, Maria, Kompas, 24 September 1993 Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Tiga Provinsi Berpotensi J adi KEK", Bisnis Indonesia, edisi 4 November 2006. Widyahartono, Bob, "Gagasan Ekonomi Kawasan Khusus (KEK)", Sinar Harapan, Edrsi 12 September 2006. Wigjosoebroto, Sutandyo, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya. C. Internet Laporan KPPOD tahun 2005 dalam: www.koppod.com Mubarak, Ali, Memutus Hambatan Investasi, terdapat dalam http://www.seputarindonesia.com, diakses tanggal 4 September 2007. National Treatment Principle, http://www.meti.go.jp/English/report/get0002e.pdf. Purbasari, Deni, "Penerapan liberalisasi dalam RUU tidak tepat" dalam www. Hukum online.com. edisi 8 September 2006 Sadeli, M., "lklim Inveslasi dan Undang-Undang Baru", http://www.pacific net, diakses tanggal 3 J uni 2007. WIR 2003 yang dipublikasikan oleh UNCTAD, dalam www.unctad.org. D. Peraturan Perundang-Undang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Koperasi. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Keputusan Presiden No.45 tahun 1996 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Insentif Kepada Perusahaan. Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009
Sukiran : Kajian Yuridis Tentang J aminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing Di Indonesia, 2008 USU e-Repository 2009 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang Usaha Tertentu Dan/Atau Di Daerah-Daerah Tertentu. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Keputusan Bersama Menteri Negara InvestasVMenteri Koperasi No: 22 / SK /1998- 07 / 8KB / M / Vll /1995 tentang Pemberdayaan Usaha Kecil Melalui Kemitraan Dalam Rangka Penanaman Modal. Register Perkara Konstitusi No. 22/PUU-V/2007. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, No.21-22/PUU-V/2007 mengenai Pengujian Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Opening Statement Pemerintah Atas Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, 3 November 2007. J awaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I Dalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 5 Desember 2007. Keterangan Pemerintah pada Sidang Mahkamah Konstitusi, pada 3 November 2007.
Makalah-Perjanjian Nominee dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dalam Ketentuan Penanaman Modal yaitu Kepemilikan Saham
Pengalihan Teknologi Dalam PMA, Peraturan Multiteral dan Perjanjian Bilateral Serta Investasi Tidak Langsung, Pelanggaran Dalam Penanaman Modal Serta Penyelesaian Sengketa (1)