Anda di halaman 1dari 40

Iskandar

Senin, 25 Agustus 2014



Revolusi selalu berkecamuk sebelum jam malam. Dengan gelora hati. Setelah revolusi
selesai, tak ada lagi yang berkecamuk. Tak ada lagi gelora hati. Perjuangan, termasuk dengan
kekerasan, berhasil, dan berakhir, lalu berdirilah sebuah tata dan kedaulatan: sebuah
bangunan yang dingin dengan garis-garis lempang.
Saya ingat film Lewat Jam Malam yang skenarionya ditulis Asrul Sani dan diproduksi hanya
beberapa tahun setelah perang kemerdekaan: Iskandar, seorang bekas gerilyawan, jadi
seorang asing, ketika ia masuk ke kehidupan normal setelah perjuangan selesai dan Republik
mulai bekerja sebagai sebuah pemerintahan.
Iskandar dipekerjakan di kantor gubernuran. Ia tak betah. Ia kecewa. Tak ada lagi gairah.
Yang ia saksikan sebagai hidup yang tertata itu adalah kepalsuan-satu hal yang tak
dialaminya selama angkat senjata di hutan-hutan, ketika ia menyiapkan hidupnya dan
matinya untuk Tanah Air. Cerita berakhir ketika Iskandar, yang resah dan risau dalam
keadaan pasca-perjuangan itu, tewas ditembak mati polisi militer. Ia melarikan diri pada saat
jam malam diberlakukan di kota itu.
Demikianlah sang bekas gerilyawan bertabrakan dengan kedaulatan. Kedaulatan itulah yang
menetapkan jam malam dan menyiapkan polisi militer. Kedaulatan itulah yang menyatakan
diri mau menjaga agar tata sosial tak terganggu-meskipun dengan demikian para pencoleng
ikut terlindungi.
Iskandar tak sendirian. Di negeri lain, di masa lain, Hannah Arendt menulis buku tentang
revolusi. Dalam On Revolution ia uraikan sebuah keadaan ketika-seperti yang dialami para
relawan dalam pemilihan presiden 2014-ada pengalaman kolektif tentang kekuasaan. Di saat
itu, politik hidup. Tapi kemudian perjuangan "selesai", dan satu sistem kekuasaan yang
dianggap mewakili mereka yang berjuang pun ditegakkan. Kedaulatan hadir sebagai sebuah
keniscayaan: sesuatu yang menjaga dan mengelola apa yang dianggap sebagai kelanjutan
harapan perjuangan.
Tapi bersama itu, politik mati-atau ditidurkan. Pengalaman kekuasaan tak lagi kolektif, tapi
berkisar di sebuah lapisan yang terbatas. Dalam Revolusi Rusia, lapisan itu para anggota
Partai Komunis, yang kemudian jadi nomenklatura. Dalam Revolusi Indonesia-juga dalam
setiap perubahan besar sejak 1945, 1965, 1998-politik diambil alih partai, militer, dan di
sana-sini birokrasi.
Yang terjadi bukan hanya politik ditidurkan dan sebuah kepalsuan yang seperti dirasakan
Iskandar menyeruak, tapi juga sebuah kekerasan disembunyikan di balik semua itu. Film
Lewat Jam Malam tanpa banyak kata-kata memperlihatkannya: pasukan polisi militer dan
bedil mereka itu, atas nama tata tertib yang lempang dan dingin, membunuh seseorang yang
belum tentu bersalah.
Kekerasan memang terjadi dan dilakukan ketika Republik hendak dilahirkan. Iskandar dan
kawan-kawannya tak segan-segan membunuh tanpa menelaah adakah si korban pantas
dilenyapkan. Tapi kekerasan juga terus ketika hukum dibangun. Kedaulatan mau tak mau
harus ada dan bekerja.
Kedaulatan itu, tempat "negara" mendasarkan dirinya, tiap kali bisa represif, tiap kali bisa
mengasingkan mereka yang tak merasa lagi bisa berbagi dengannya. Juga tiap kali punya
dalih, terkadang dengan janji tentang keadilan. Tapi sejarah berkali-kali menunjukkan bahwa
janji semacam itu, atau klaim ke arah itu, melahirkan sebuah ketakaburan dan pemberhalaan.
Keadilan atau Ratu Adil-meskipun mengimbau terus-menerus sehari-hari-tak pernah
mewujud penuh di bumi.
Itu sebabnya politik yang ditidurkan tiap kali akan terjaga-politik dalam arti gelora orang
banyak, di luar nomenklatura, ketika bergerak secara kolektif pengalaman berkuasa. Jika
kemudian terjadi perubahan yang dahsyat itulah kekerasan sebagai awal kisah sebuah
kedaulatan yang gagal.
Walter Benjamin pernah menulis tentang kekerasan dan ia berbicara tentang "kekerasan ilahi"
yang "murni", die g ttliche reine Gewalt. Sebagaimana saya memahaminya, itu adalah
kekerasan yang murni karena tak tercemar dan murni karena tak bisa ditawar. Itu adalah
sebuah guncangan terhadap kedaulatan yang dengan kekerasannya sendiri membuat hukum
seakan-akan tak akan lapuk.
Bagi Benjamin, kedaulatan yang terbaik justru kedaulatan yang lapuk. "Kekerasan ilahi"
menegaskan itu. Akan ketahuan bahwa kedaulatan selalu bersifat sementara dan tak bisa
menguasai semuanya. Dengan demikian rakyat yang di bawah itu bisa menegaskan bahwa
politik tak bisa mereka lepaskan. Kalaupun tiap kali perjuangan bersama berakhir dengan
kekecewaan, dan kedaulatan menabrak, mereka tetap tahu batas orang-orang yang berkuasa.
Juga mereka tetap tahu daya sangkal mereka. Dalam politik, mereka tak sendiri.
Bila Iskandar mati sendirian, ia sebenarnya gejala ketika politik disingkirkan.


Goenawan Mohamad




Legawa

Minggu, 24 Agustus 2014
Putu Setia

ROMO Imam punya mainan baru: gadget dengan perangkat BlackBerry Messenger. Dia
meminta saya menghubungi untuk sekedar latihan. Setelah perangkat saya tersambung, saya
pun menulis asal-asalan tanpa mikir: "Rahajeng Romo, salam buat Mas Prabowo."
Saya lupa apa yang saya tulis ketika Romo membalasnya: "Ah, jangan ngomongin Prabowo.
Dia harus dikasihani. Dia sudah berjuang keras membesarkan partainya. Masyarakat pun
menaruh harapan karena partainya nasionalis dan bisa jadi alternatif dari partai-partai
nasionalis lainnya. Dia hanya salah cari dukungan ketika ingin menjadi presiden. Dia
dijerumuskan oleh partai yang berasaskan agama. Dan semakin terjerumus ketika masuk
pengacara yang memang sudah tabiatnya suka memanas-manasi demi numpang popularitas."
Waduh, Romo menulis pesan kok seperti menulis artikel, saya membatin. Saya merespons
pendek dengan niat Romo mencontoh pesan saya: "Terus saran untuk Prabowo, apa?"
Setelah lama menunggu, datang balasan. Woo, tetap panjang: "Prabowo harus legawa
menerima keputusan Mahkamah Konstitusi. Jika ia menuruti saran pengacara menggugat
lewat PTUN dan Pengadilan Negeri, itu tak ada gunanya. Tak ada kaitan dengan sah-tidaknya
presiden terpilih menurut konstitusi. Obyek gugatannya hanya ke Komisi Pemilihan Umum.
Pengacara itu biasa menafsirkan hukum dengan tujuan memperpanjang perkara, itu kan
ladang penghasilannya. Yang rugi Prabowo namanya semakin jelek. Semakin berlama-lama
semakin terpuruk, dia dan partainya pun bisa ditinggal rakyat. Sekarang saja banyak yang
menyesal memilih dia. Semua sudah selesai. Titik."
Karena Romo menulis "titik", saya maunya tak menjawab. Tapi, takut dikira pesannya tak
sampai, saya pun menulis: "Baik, Romo, saya setuju." Eh, Romo membalas lagi, tetap
panjang: "Prabowo harus mengucapkan selamat kepada Jokowi, itu etika seorang kesatria,
meski siap berada di luar pemerintahan. Koalisi permanen tak usah dilanjutkan karena
memang beda betul asas dan perjuangan partainya. Lebih baik konsolidasi partai, siapkan
kader yang baik untuk pemilu legislatif dan pemilu presiden yang serentak lima tahun lagi.
Prabowo tak perlu maju. Jika kadernya berhasil lolos, apalagi memenangi presiden, dia yang
dapat nama dan bisa jadi penentu kebijakan. Sapa rakyat dengan hati, bukan diajak turun ke
jalan-jalan mengganggu pemerintahan. Aksi jalanan sudah kuno. Rakyat membutuhkan aksi
bersama, ke desa menanam pohon, memperbaiki irigasi, membina pengusaha kecil, dan
seterusnya. Sebagai mantan Ketua Kerukunan Tani dan Nelayan, Prabowo tahu itu."
Sekarang saya sudah tak berniat menjawab Romo Imam. Toh, dia sudah tahu cara menulis
dan mengirimnya. Tak sangka, sejam kemudian masuk lagi pesannya. "Selamat untuk Jokowi
dan Jusuf Kalla. Saya kira Jokowi akan pusing antara memilih menteri profesional dan
menjaga suasana kebatinan para pimpinan partai koalisinya. Sekarang ini, siapa sih yang tak
ingin jabatan? Biarkan Jokowi bekerja, mari kita dukung. Oya, SBY bagaimana? Katanya
sering menulis di Twitter. Ajari dong Romo ngetuit."
Saya kaget. Bukan soal Jokowi, tapi yang terakhir itu. Langsung saya jawab: "Romo jangan
ikut-ikutan ngetuit, bikin pesan BBM saja kepanjangan. Ngetuit itu terbatas kata-katanya.
Salah menyingkat bisa muncul salah paham. Nanti Romo bisa dipanggil mas atau kamu,
belum lagi ketemu kata-kata kasar, kan banyak yang nama jadi-jadian. Risiko besar kalau
ulama seperti Romo punya akun Twitter, nanti di-bully." Saya tak tahu apakah Romo Imam
paham apa yang saya maksudkan.





















Merdeka 100 Persen

Senin, 25 Agustus 2014
Anton Kurnia, Esais dan Penulis Cerpen


Bangsa yang merdeka, menurut Tan Malaka (1897-1949) dalam risalahnya, Merdeka 100%
(1946), adalah bangsa yang sanggup mandiri secara mental, budaya, politik, pertahanan, dan
ekonomi; tidak bergantung pada dan dikuasai oleh bangsa lain.

Jika menimbang definisi di atas, apakah kita sebagai bangsa memang telah merdeka dan
layak merayakannya dengan gegap-gempita? Begitu meriahnya perayaan itu, sehingga-
menurut laporan FITRA, LSM yang kritis terhadap penggunaan APBN-rangkaian pesta
peringatan hari ulang tahun kemerdekaan ke-69 Republik Indonesia di Istana Negara
menghabiskan dana lebih dari Rp 11 miliar.

Kalau kita menggunakan ukuran Tan Malaka, tak berlebihan jika kita nyatakan bahwa
sesungguhnya saat ini kita belum merdeka 100 persen. Mengapa begitu? Walau mungkin
secara mental kita sudah bisa melepaskan diri dari karakter pecundang bangsa terjajah dan
inferiority complex yang menyertainya, di bidang politik dan pertahanan kita sudah bisa
menyatakan diri berdaulat. Secara budaya, kita bahkan bisa berekspansi ke antero lain dan
menyumbang secercah cahaya untuk dunia melalui karya seni dan sastra. Tapi, secara
ekonomi, kita masih separuh bergantung pada kekuatan kapitalisme dan neokolonialisme
asing. Itu terbukti dengan masih dikuasainya sumber daya alam dan cabang-cabang produksi
yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti minyak bumi dan pertambangan, oleh
pihak asing.

Seorang kawan menceritakan kepada saya kisah tentang kaum Mardijkers. Konon, orang-
orang "Portugis Hitam", yakni budak-budak dari Afrika (terutama Mozambique dan Angola),
India (Goa), dan Malaka yang dibawa kaum kolonial Portugis ke Hindia Belanda pada abad
ke-16, saat tentara dagang Portugis kalah perang dari VOC alias Belanda, diberi pilihan oleh
penguasa kolonial Belanda di Batavia (kini Jakarta). Pilihan itu: tinggal dan diberi lahan di
kawasan Kampung Tugu (kini masuk wilayah Kecamatan Koja, Jakarta Utara) sebagai orang
merdeka tapi harus pindah agama menjadi Kristen Protestan seperti orang-orang Belanda,
atau tetap memeluk Katolik seperti majikan mereka orang-orang Portugis tapi dibuang ke
Nusa Tenggara sebagai budak.

Sebagian dari mereka memilih yang pertama, dan menetap di Kampung Tugu hingga
beranak-pinak dan menurunkan beberapa generasi yang kemudian dikenal sebagai orang-
orang yang mempopulerkan musik keroncong. Mereka inilah yang disebut kaum Mardijkers,
yakni "orang-orang yang dimerdekakan". Walau secara formal mereka dianggap merdeka,
bukan lagi budak, pada hakikatnya kaum Mardijkers ini tidak merdeka, bahkan terjajah
sampai mati secara mental dan spiritual. Sebab, mereka terpaksa harus berganti keyakinan
demi mendapatkan label "merdeka".

Kita tentu tak mau seperti kaum Mardijkers. Secara formal telah merdeka tapi sebagai syarat
harus menukar "kemerdekaan" itu dengan menggadaikan kedaulatan ekonomi kita kepada
pihak asing. Seperti termaktub dalam risalah Tan Malaka, hendaknya kita bisa merdeka 100
persen demi mewujudkan cita-cita bersama menjamin kesejahteraan, keamanan, dan
kedamaian bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika hal itu telah terwujud, barulah kita layak
merayakan kemerdekaan kita sebagai bangsa secara gegap-gempita.

















Ingar-bingar Golkar

Senin, 25 Agustus 2014
Agung Baskoro, Analis Politik Poltracking


Setelah lama berkutat dalam kontestasi pemilu presiden kemarin, dinamika internal Golkar
kembali memanas dengan pertarungan elitenya menyoal munas apakah harus segera digelar
pada Oktober 2014 (sesuai dengan AD/ART) atau tetap pada April 2015 (rekomendasi
Munas 2009). Itulah sarana untuk memilih ketua umum maupun secara tersirat ingin terlibat
dalam dinamika pemerintahan yang baru.

Berbeda dengan PDIP maupun Demokrat, yang cukup dengan membaca pikiran Megawati
atau SBY, dalam memahami Golkar publik harus masuk ke sebuah faksi dan pertarungannya
dengan faksi-faksi lain. Dalam kajian ilmu politik, faksi merupakan salah satu alasan utama
hadirnya partai, sehingga eksistensi dan dinamika faksi menjadi hal wajar. Kehadiran faksi
mengemuka, terutama disebabkan oleh dua kondisi, yakni (1) pemilu presiden dan (2)
pemilihan ketua umum partai.

Pertama, jamak diketahui publik bahwa, jauh sebelum pemilu presiden (pilpres)
terselenggara, Aburizal Bakrie (ARB) gagal meraih elektabilitas tertinggi setelah dalam
banyak survei dikalahkan oleh Jokowi dan Prabowo. Sempat menjadi polemik, ARB
kemudian berhasil untuk sementara waktu mengkondisikan partai, walaupun pada akhirnya ia
gagal maju sebagai calon presiden, wakil presiden, menteri utama, dan memenangkan Golkar
dalam pemilu legislatif. Problem ini sempat muncul kembali dan dapat teratasi dengan sikap
Golkar yang masuk ke Koalisi Merah Putih untuk mendukung Prabowo-Hatta. Namun, lagi-
lagi, ARB gagal untuk memenangkan pasangan nomor urut 1 ini.

Kedua, keberlanjutan efek gagal dari fase sebelum, selama, dan sesudah pemilu ini berakibat
sistemik bagi pengaruh ARB sebagai ketua umum, maupun kansnya untuk memberikan
pengaruh besar bagi Golkar di fase berikutnya, baik pada munas maupun setelah munas nanti
digelar.

Faksionalisasi di tubuh Golkar menjadi santapan publik sejak sebelum pilpres sebagai clique
faction. Dalam hal ini, ada tiga bentuk faksionalisasi di dalam partai (Belloni & Beller, 1978),
yaitu clique faction, personal or client-group faction, dan institutionalized or organized
faction. Clique faction adalah faksi yang tidak terkonsolidasi, sehingga sifatnya cenderung
parsial dan temporal.

Sementara personal or client-group faction adalah faksi yang terkonsolidasi dengan adanya
tokoh sentral di dalamnya sehingga berdurasi lama sampai terjadi kompromi antarpemimpin
faksi. Sedangkan institutionalized or organized faction adalah faksi di dalam partai politik
yang sudah terlembagakan, sehingga eksistensi faksi berlaku dan diatur secara yuridis di
dalam internal partai.

Sebelum pilpres, sebenarnya Golkar dihadapkan dengan problem faksionalisme akut antara
ARB, Jusuf Kalla (JK), dan Akbar Tandjung (AT). Faksionalisasi yang terbentuk menguat
dilatarbelakangi oleh tidak terpenuhinya target strategis Golkar dalam pemilu kemarin. Bila
ARB memegang otoritas struktural sebagai ketua umum dan memiliki pengaruh kuat di
barisan DPD tingkat provinsi, JK yang pernah menjadi ketua umum masih dianggap
berpengaruh secara kultural. Sedangkan AT, dengan kapasitas sebagai Ketua Dewan
Pertimbangan Partai maupun "mahaguru", dihormati di DPD tingkat II serta kader-kader
muda karena peran pentingnya membesarkan Golkar pascareformasi. Namun, setelah pileg
tuntas dan AT tidak dilirik kubu Jokowi, ia merapat ke kubu ARB serta mendukung penuh
pasangan Prabowo-Hatta.

Selama dan sesudah pilpres, faksionalisasi yang ada dalam Partai Golkar berubah dari clique
faction menjadi personal atau client-group faction, karena kekuasaan faksi yang ada
terkonsolidasi dengan adanya figur yang punya modalitas patron. Salah satu modalitas
penting bagi seseorang untuk menjadi patron di dalam partai adalah jabatan eksekutif
tertinggi di dalam partai. Artinya, modalitas struktural yang dimiliki ARB menjadi hal paling
penting atau bagi siapa pun yang ingin mengendalikan faksi partai beserta massa elite yang
ada di dalamnya.

Dalam bahasa Jeffrey Winters (2011), ini bentuk oligarki sultanistik untuk menjelaskan
Indonesia era Orde Baru, yang fenomenanya kini tersebar ke dalam kelembagaan partai.
Dinamika faksi, yang awalnya berkah karena dapat memperkuat imunitas partai, bisa menjadi
masalah bila tak diikuti kedewasaan berpolitik para elitenya. Pada tahapan berikutnya,
pertarungan diametral ARB versus AL ini sebenarnya adalah kelanjutan dari dinamika faksi
yang gagal terkelola pada pemilu kemarin antara ARB dan JK.

Penting bagi keduanya, setelah putusan MK keluar, untuk kembali duduk bersama
merumuskan arah Golkar ke depan. Apalagi mengingat Visi Indonesia 2045 milik Golkar
perlu dikawal implementasinya mulai saat ini, agar siapa pun pemerintahan yang berkuasa
dapat memastikan rakyat sejahtera, sebagaimana panen raya segera tiba saat padi mulai
menguning.




Selamat Pagi Pak Ahok

Senin, 25 Agustus 2014
Nur Haryanto, Wartawan Tempo


Sengaja saya menyapa Wakil Gubernur DKI Jakarta pagi ini. Basuki Tjahaja Purnama, atau
biasa disapa Ahok, sebentar lagi beralih posisi naik satu peringkat menjadi orang nomor satu
di Ibu Kota. Bagaimana Pak Ahok kabarnya pagi ini, lancar perjalanan dari rumah menuju ke
kantor?

Jangan-jangan Anda juga sudah mulai terbiasa dengan kemacetan Jakarta. Terbiasa itu bisa
diterjemahkan ke dalam beberapa hal yang dilakukan, yakni berangkat pagi-pagi dengan
kendaraan pribadi, naik angkutan umum bus Transjakarta, menggunakan moda Bus Kota
Terintegrasi Bus Transjakarta, Angkutan Perbatasan Terintegrasi Bus Transjakarta, atau
Commuter Line. Langkah terakhir, tetap menggunakan kendaraan pribadi pada saat jam sibuk
dan hanya bisa mengumpat dalam hati saat terjebak di kemacetan.

Sepekan terakhir, saya mencoba mengukur kecepatan laju kendaraan sepeda motor saya di
Jalan Mampang Prapatan pada pukul 07.00 WIB. Ternyata dari Perempatan Warung Buncit
ke Perempatan Mampang Prapatan, yang berjarak sekitar 5 kilometer, harus ditempuh dalam
waktu rata-rata 2 jam. Sekali gas ditarik, sepeda motor maju 1-2 meter, kemudian berhenti 5-
10 detik. Kalau beruntung, kendaraan bisa sepuluh meter merayap, kemudian berhenti lagi.
Begitu seterusnya.

Pemandangan yang lebih bikin miris, masih banyak kendaraan roda dua, mobil, ataupun
Metro Mini yang berani masuk jalur Transjakarta. Denda Rp 500 ribu bagi pelanggar busway
seperti "macan ompong". Faktanya, memang sampai kini tak ada pelanggar yang terkena
denda maksimal. Para pelanggar itu bisa menggeber kecepatan kendaraan karena memang
jalur bus Transjakarta kosong. Artinya, jumlah bus Transjakarta tidak memenuhi ketentuan
headway setiap 10 menit sekali.

Saat bus Transjakarta koridor VI rute Ragunan-Dukuh Atas lewat, penumpang terlihat
berjejal di dalam. Masih mending jika kebetulan bisa naik unit bus yang baru, seperti bus
hibah yang beberapa bulan lalu diserahkan. Tempat berdiri untuk penumpang lebih luas, AC
lebih adem, dan tidak berdebu. Tapi apes jika naik bus Transjakarta lama: AC tak terasa lagi,
tempat pegangan tangan sudah banyak yang hilang, bus berdebu, berisik, dan guncangannya
membuat tangan harus berpegangan erat.

Saya yakin, ini juga terjadi di hampir setiap koridor busway. Padahal antusiasme warga naik
bus Transjakarta sebenarnya sudah meningkat. Tapi, apa daya, jumlah bus Transjakarta tak
mampu menampung semua penumpang. Pada akhirnya, banyak warga kembali memilih
kendaraan pribadi.

Pak Ahok, pasti Anda mengenal atau setidaknya tahu Wali Kota Bogota Enrique Penalosa
(1998-2001). Beliaulah yang menjadi pelopor Bus Rapid Transit, yang kemudian ditiru
Jakarta sebagai busway. Enrique tak hanya membangun fisik sistem transportasi Bogota. Ia
perlahan juga membangun budaya warganya. "Sebuah kota yang maju bukanlah tempat orang
miskin naik kendaraan pribadi, melainkan tempat orang kaya pun naik sarana transportasi
umum."

Saya yakin Pak Ahok sependapat dengan Enrique. Gaya Anda memimpin Jakarta sudah pas:
tegas, tanpa pandang bulu, dan setengah gila. Saya harap Anda segera mewujudkan ribuan
bus Transjakarta yang nyaman, sistem jalan berbayar electronic road pricing, dan penertiban
parkir serta pedagang kaki lima jalan terus. Setelah terwujud, jangan lupa kapan-kapan main
ke rumah saya, Pak. Siapa tahu kemacetan telah berkurang.


















Arsitektur Baru Regulasi

Selasa, 26 Agustus 2014
Fadel Muhammad, Ketua Asosiasi Sarjana dan Praktisi Administrasi


Presiden periode 2014-2019 telah terpilih dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebelumnya, dengan jelas kita dapat melihat visi, misi, dan program kerja calon presiden
yang baru tersebut. Kemudian Lembaga Administrasi Negara (LAN) menawarkan arsitektur
kabinet baru. Sementara itu, kita belum mendapat gambaran apa yang akan dilakukan oleh
DPR sebagai lembaga legislatif lewat anggota atau lewat partai politik, khususnya yang
menyangkut regulasi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sejak Reformasi, peranan lembaga legislatif dan lembaga negara lainnya dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia meningkat. Namun setelah Reformasi berjalan 16 tahun, peranan
lembaga legislatif (DPR) belum maksimal dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Meskipun produk domestik bruto (PDB) nasional Indonesia termasuk 20 besar negara di
dunia, PDB per kapita masih sekitar US$ 4.000. Masih jauh di bawah Malaysia, apalagi
Singapura. Indeks ini bahkan meningkat dari 0,33 pada 2001 menjadi 0,41 pada 2012.
Industri dalam negeri khususnya pangan masih belum cukup kuat. Indonesia masih
bergantung pada impor.

Kinerja DPR di bidang legislasi belum memuaskan, ukurannya adalah tidak tercapainya
target program legislasi nasional (prolegnas). Terdapat pertentangan antar-undang-undang,
bahkan dengan Undang-Undang Dasar. Akibatnya, banyak UU yang digugat ke Mahkamah
Konstitusi. Di samping itu, masih terdapat peraturan-perundang-undangan yang perlu
dievaluasi kembali agar tidak terjadi peraturan berlebihan yang merugikan rakyat (red tape).
Itu sebabnya kita perlu menerapkan sebuah paradigma baru dalam penyusunan regulasi yang
disebut better regulation.

Di negara demokrasi dunia, kini dikenal sebuah konsep baru, yaitu better regulation, sebagai
pengganti pendekatan deregulation yang sangat liberal, yaitu memberi kebebasan kepada
pasar dan masyarakat untuk mengatur diri sendiri. Namun hasilnya banyak merugikan yang
lemah dan terpinggirkan. Pendekatan baru yang disebut sebagai better regulation itu dinilai
lebih proporsional dengan memberi peranan kepada negara untuk melakukan intervensi
secara terbatas dan terukur.

Lewat beberapa tulisan karya Robert Baldwin (2004), Toward Better Regulation (Australian
Institute of Company Directos - 2013), Better Regulation Frame Work Manual (Department
for Business Innovation and Skills -2013 ), dan lainnya, dapat diringkas beberapa prinsip
penting soal better regulation ini. (1) Proporsional, regulator melakukan intervensi bila
diperlukan, secara terukur dan terbatas; (2) akuntabel; (3) konsisten, peraturan dan
pelaksanaannya; (4) transparan; (5) targeting, jelas target yang ingin dicapai. Berbagai negara
melakukan modifikasi atas prinsip yang dasarnya sama.

Gerakan better regulation di dunia dimulai sekitar tahun 2000-an. Di Inggris dimulai pada
1997, sebagai pengganti pendekatan deregulation yang digunakan dalam kurun 1985-1997.
Deregulasi seolah-olah mengatakan bahwa regulasi tidak dibutuhkan, padahal regulasi yang
baik dibutuhkan oleh negara. Better regulation menghapuskan berbagai macam peraturan
yang berlebihan (red tape). Regulasi dibuat bila self regulation tidak dapat menghasilkan
sesuatu yang lebih baik. Itu sebabnya better regulation harus dijalankan secara proporsional,
akuntabel, konsisten, transparan, dan jelas targetnya.

Dengan demikian, DPR masa bakti 2014-2019 perlu menerapkan paradigma baru legislasi
yang disebut sebagai better regulation. Sebuah regulasi yang lebih baik berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Untuk menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera,
adil, dan makmur, DPR dan pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam dan terperinci
soal regulasi yang telah dibuat dan yang belum dibuat, khususnya yang berhubungan dengan
kesejahteraan rakyat, yang berhubungan dengan pemenuhan hak sipil, hak politik, hak sosial,
hak budaya, dan hak ekonomi warga negara. Membuang yang tidak perlu, kemudian
membuat regulasi yang lebih baik dan sesuai dengan konstitusi serta perkembangan zaman.

Regulasi tersebut disusun berdasarkan prinsip kebebasan, keadilan, dan solidaritas, yang
memberi kebebasan sekaligus memberi peran negara dalam melakukan intervensi secara
terbatas, khususnya untuk hal-hal yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dan
membantu yang lemah.

Sebagai prioritas, tampaknya peraturan perundang-undangan yang perlu mendapat perhatian
adalah hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan rakyat sebagaimana termaktub dalam
UUD Pasal 27, 28, 29 yang menyangkut hak sipil dan politik. Kemudian Pasal 31, 32, 33, 34
yang menyangkut jaminan terhadap hak sosial, ekonomi, dan budaya.

Evaluasi menyeluruh dan penyusunan regulasi yang baik sesuai dengan Pancasila dan UUD
berdasarkan pendekatan better regulation belum pernah dilakukan di Indonesia. Kini saatnya
DPR baru memberikan warna sejarah untuk kesejahteraan rakyat.




Hari Televisi

Selasa, 26 Agustus 2014
Iwel Sastra, Komedian, @iwel_mc


Tanggal 24 Agustus diperingati sebagai Hari Televisi Nasional, dan tanggal itu juga dikenal
sebagai hari lahir TVRI dan dua stasiun televisi swasta, RCTI dan SCTV. Entah kenapa mesti
ada penetapan Hari Televisi Nasional itu. Menurut saya, setiap hari adalah hari televisi,
karena televisi hadir setiap hari dalam kehidupan kita. Ada berita yang menyebutkan, minat
baca anak-anak sekarang dikalahkan oleh minat menonton televisi. Bahkan berita tersebut
tidak saya baca, tapi saya tonton di televisi.

Sebagai komedian yang pernah bertahun-tahun membawakan acara talk show televisi, saya
bisa menebak program acara yang dibawakan seorang presenter dari cara makannya. Kalau
sebelum makan presenter tersebut melakukan pemanasan ringan dengan melemaskan otot
jari-jari tangan dan mulut, ada kemungkinan dia presenter program olahraga. Kalau presenter
yang sebelum makan mikir apakah harga makanan yang dibayar kemahalan atau kemurahan,
ada kemungkinan dia presenter program ekonomi.

Tayangan televisi sering mendapat kritik dari pemirsa. Komisi Penyiaran Indonesia juga
sering memberi teguran atas tayangan televisi yang dianggap tidak baik. Arah tayangan
televisi di Indonesia sangat ditentukan oleh rating dan share. Saya bersama pakar komunikasi
Effendi Gazali pernah mendiskusikan masalah rating dan share ini kepada Menkominfo yang
saat itu dijabat Sofyan Djalil. Kami mengutarakan bahwa kecenderungan program dengan
rating dan share tinggi tidak memberi manfaat pada aspek pendidikan pemirsa. Bahkan aspek
hiburannya pun mengalami degradasi mutu dari segi isi. Ada juga sih program yang rating
dan share-nya tinggi namun sangat dibutuhkan dan memberi manfaat bagi pemirsa, yaitu
azan magrib pada bulan puasa.

Selain tayangan hiburan, tayangan informasi seperti infotainment mendapat kritik karena jauh
dari unsur mendidik. Awalnya, diberitakan sepasang selebritas yang saling jatuh cinta
kemudian memutuskan untuk menikah. Tak lama kemudian, diberitakan pasangan ini
mengalami konflik rumah tangga dan saling membuka aib pasangannya hingga akhirnya
bercerai. Gara-gara menonton berita ini, teman saya yang jomblo jadi takut menikah karena
dia naif dalam mengambil kesimpulan. Menurut dia, buat apa menikah kalau akhirnya
bercerai. Padahal saya tahu bahwa itu hanya alasannya untuk menutupi fakta sesungguhnya,
bahwa dia kesulitan mendapatkan pasangan. Saya sarankan, daripada dia menonton
infotainment, lebih baik menonton film kartun Cinderella yang happy ending.

Banyak orang tua yang sekarang mulai khawatir akan dampak buruk tayangan televisi bagi
anak-anak mereka. Beberapa teman saya, ada yang dengan sangat ketat membatasi anak-anak
mereka menonton televisi, bahkan ada yang lebih ekstrem dengan tidak lagi memiliki televisi
di rumahnya. Bagi mereka, hidup tanpa televisi sangat menyenangkan dan menyehatkan.
Saya pun sekarang sudah mengikuti jejak teman saya tersebut, sejak setahun terakhir, saya
tidak lagi menaruh televisi di ruang tamu, tapi saya pindahkan ke kamar tidur. Menghindari
tamu betah berlama-lama berkunjung, karena pas datang bertamu televisi menayangkan
sinetron favorit mereka, he-he-he.


















Sosialisasi

Selasa, 26 Agustus 2014
Ignatius Haryanto, Peneliti di LSPP Jakarta


Kata "sosialisasi" memang sering diucapkan oleh banyak pejabat pemerintah, namun kerap
kali ia terlupakan atau terlewatkan sebelum dilaksanakan. Misalnya, saat perhatian sebagian
masyarakat Indonesia sedang terfokus pada mudik dan kembali ke Jakarta, tanpa sosialisasi
tiba-tiba BPH Migas melakukan "kebijakan pengendalian BBM" pada awal Agustus lalu.

Diakui atau tidak, pemerintah yang terlampau banyak memusatkan perhatian pada dirinya
(self centered) memang suka menyepelekan sosialisasi. Padahal, bagaimanapun juga,
masyarakat membutuhkan waktu dan persiapan yang cukup untuk memahami, kemudian
menyesuaikan diri pada kebijakan baru tersebut.

Sebenarnya, kebijakan yang baik akan melibatkan partisipasi banyak pihak terkait. Jika ada
ruang partisipasi, kita bisa mengantisipasi kerumitan ataupun dampak kebijakan baru
tersebut. Baru setelah semua hal dihitung dan kemudian diputuskan dimulailah tahap untuk
mengumumkan hal ini kepada publik, seraya memberi ruang-waktu yang cukup bagi
masyarakat untuk melakukan transisi menuju kebijakan baru.

Sayang sekali, yang sering terjadi, pemerintah merasa sudah mensosialisasi jika
menempelkan sepotong kertas A4 di depan kaca ruang instansi tersebut, atau mengumumkan
via rilis atau bicara kepada media massa. Tentu saja dua cara ini keliru dan sangat tidak
memadai untuk mengantisipasi perubahan yang dihasilkan kebijakan baru tersebut.

Lihat saja yang dilakukan pemerintah Singapura ketika memperkenalkan kebijakan baru.
Singapura membutuhkan beberapa bulan untuk memperkenalkan kebijakan baru penggunaan
kartu elektronik dalam sistem transportasi mereka pada awal 2000-an. Ada iklan layanan
masyarakat di televisi, keterangan pemerintah di surat kabar dan pemberitaan televisi, serta
ada beberapa cara lain yang digunakan untuk mensosialisasi kebijakan baru tersebut. Selain
itu, di berbagai stasiun dan terminal, ada poster yang menjelaskan detail perubahan kebijakan
tersebut. Dengan sejumlah cara tadi, konsumen pun terpapar oleh informasi yang memadai
untuk perubahan kebijakan baru itu.

Biasanya, jika suatu kebijakan baru diterapkan, lalu masyarakat memprotes, barulah
pemerintah menaruh perhatian serius terhadap kebijakan yang disorot tersebut. Atau
pemerintah menunggu hingga protes mereda, dan kembali "memaksakan" kebijakannya.
Sungguh bukan contoh kerja yang baik dan efisien.

Masyarakat Indonesia berharap pemerintah baru nanti akan memberi perhatian yang lebih
besar dalam urusan sosialisasi kebijakan-kebijakan baru. Soal metode sosialisasi, silakan
dipikirkan pemerintah mendatang, entah lewat blusukan ataupun cara-cara lainnya. Yang
penting masyarakat menjadi tahu duduk perkaranya, mengetahui perubahan kebijakan, dan
mengetahui manfaat apa dari perubahan kebijakan tadi. Tanpa itu, masyarakat tak akan patuh
pada program-program pemerintah yang ada.























Bendera Hitam

Rabu, 27 Agustus 2014
Idrus F. Shahab, Wartawan Tempo


Hari itu, suatu Minggu pagi di bulan Zulkaidah ini, Wak Lihun membuktikan dirinya sebagai
perkusionis hebat. Di kawasan Condet yang masih diselang-selingi deretan pohon pisang,
sawo, dan duku, Wak Lihun dan kawan-kawan berjalan sepanjang 30 meter sambil menari,
menepuk marwas, mengantar mempelai pria muda ke rumah keluarga calon istrinya. Wak
Lihun beserta delapan rekannya yang mengenakan seragam sarung langsung terjun ke lokasi
ngarak. Mengarak pengantin, maksudnya.

Hari masih pagi, tapi matahari musim kemarau sudah membuat tubuh berkeringat dan kening
berkerut tegang. Tapi, begitu Syarrul-leil dinyanyikan bareng-bareng, marawis ditepuk
bergantian, suasana seketika menjadi riuh-rendah. Syarrul-leil mencairkan suasana, apalagi
bila sinkopasi--tepukan jatuh di antara dua ketukan yang rumit dan gampang bikin orang
terpeleset itu--mulai muncul.

Wak Lihun yang memegang hajir, gendang besar, itu kelihatan bermain dengan semangat 45.
Wak Lihun memasuki usia uzur, dengan rambutnya yang memutih perak itu, tersenyum
lebar, seolah-olah ingin memperlihatkan gigi di gusi kiri dan kanannya yang tanggal, seraya
bergoyang dan berputar-putar. Menggendong dan memukul gendang besarnya di tengah
rekan-rekan juniornya, Wak Lihun tak ubahnya seperti matahari yang dikelilingi planet-
planet yang bergerak mengikuti garis orbitnya.

Wak Lihun, wajahnya secerah pagi itu. Baru kali ini ia terlepas dari batu besar yang selama
ini mengimpit dadanya yang kerempeng. Seminggu ini, pikirannya melayang-layang dari
masa lalu yang menenteramkan ke masa kini yang menggelisahkan, dan sebaliknya. Melihat
tayangan pasukan berbendera hitam ISIS dengan kalimat syahadat di sisi atasnya serta
sebuah lingkaran putih di tengah-tengahnya di layar televisi, ia teringat cerita Ustad Romli
yang mengajarnya mengaji di langgar dekat rumahnya dulu.

Setelah memproklamasikan kekhalifahan di sebagian wilayah Suriah dan Irak, kelompok
Islamic State of Iraq and al-Sham itu memang cepat sekali menjadi "musuh bersama" bagi
kalangan main stream, sekaligus menjadi solidarity maker di antara kelompok garis keras.
Namun hati Wak Lihun tidak bisa dibohongi, ada sesuatu yang ikut hanyut dalam dirinya,
mungkin sebuah mimpi yang tak mudah padam, ketika kekhalifahan itu ditahbiskan.

Ia langsung teringat cerita Ustad Romli tentang khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berhati-
hati membedakan urusan pribadi dan pemerintahan. Khalifah meniup mati lentera, manakala
salah seorang anaknya mengajaknya berbicara soal pribadi. Urusan pribadi tak boleh dibiayai
dengan ongkos negara. Ada juga cerita tentang khalifah Umar bin Khattab yang merasa
bersalah mendengar sebuah keluarga yang kelaparan pada masa pemerintahannya. Sebagai
hukuman, ia menaruh sekarung gandum pada punggungnya, dan berjalan kaki ia
mengantarkan sendiri kepada keluarga yang malang itu.

Wak Lihun menunggu cerita serupa dari khalifah ISIS Abu Bakar al-Baghdadi. Namun, yang
muncul adalah cerita gerakan profetik bak Taliban yang hendak memberantas berhala dengan
patung Buddha terbesar di Bamyan. Juga--ini terjadi pada ekstrem sebaliknya--cerita seperti
Khmer Merah di Kamboja yang menghalalkan pembantaian warganya untuk membangun
masyarakat baru tanpa kelas. Wak Lihun bingung.
















Politik Angkatan 45

Rabu, 27 Agustus 2014
Muhidin M. Dahlan, Kerani, @warungarsip


Secara jujur, Ketua Lembaga Sastra Indonesia (Lestra/Lekra) Bakri Siregar (1980: 39)
mengakui bahwa penemu label "Angkatan 45" adalah Rosihan Anwar. Label yang ditemukan
jurnalis Pedoman pada Januari 1948 itu merujuk pada seniman-sastrawan yang terhimpun
dalam "Gelanggang", yang didirikan pada 19 November 1946 atas usaha penyair Chairil
Anwar. Sebagai manifesto, ditunjuklah "Surat Kepercayaan Gelanggang".

Angkatan 45, yang bermula dari angkatan sastra, kita tahu kemudian menjadi sebutan untuk
figur-figur yang meletakkan dasar bagi semangat Revolusi 1945. Yang dimaksudkan pejuang
kemerdekaan dalam pengertian kamus adalah serdadu non-laskar rakyat yang dalam banyak
hal diorganisasi oleh kalangan komunis.

Alih-alih label Angkatan 45 berusaha menyatukan seluruh kekuatan revolusioner yang ada di
kalangan seniman/sastrawan dan serdadu rakyat, justru label ini dijadikan politik untuk
membersihkan Revolusi Agustus dari seluruh unsur yang terkait dengan komunisme.

Hans Bague Jassin, misalnya. Mula-mula ia memberikan lampu hijau bagi beberapa
sastrawan Lekra masuk dalam barisan Angkatan 45 lewat penerbitan prosa dan puisi Gema
Tanah Air. Namun pada cetakan Gema Tanah Air 1976, di era ketika militer-non-laskar
rakyat berkuasa penuh, nama-nama golongan Lekra-PKI itu dimumikan.

Politik Angkatan 45 bukan hanya membersihkan sastra/seniman dari komunisme, tapi juga
mengubur vitalitas laskar rakyat dalam meneguhkan fondasi Revolusi Agustus. Nama
pemimpin dan jejak darah anggota-anggota laskar rakyat dihapus dari Pertempuran Besar 10
November dan seluruh rute perang gerilya hingga era Clash II.

Puncak penistaan laskar rakyat adalah "Pemberontakan Madiun" pada 1948. Ini bukan hanya
peristiwa yang menjadi dalih bagi penguburan komunisme dalam kronik Revolusi 45, tapi
juga penumpasan seluruh memori negara-bangsa bahwa ada unsur komunisme dalam vitalitet
Revolusi Agustus kita.

Memang, ada usaha sastrawan Lekra ataupun PKI untuk merebut memori yang
(di)hilang(kan) dengan cara merevisi label "Angkatan 45" bukan sebagai golongan,
melainkan sebuah semangat kepeloporan terhadap nilai revolusioner. Dan secara politik label
"Angkatan 45" bergeser menjadi "Revolusi Agustus".

Usaha ini membawa hasil yang gemilang. Komunisme masuk kembali dalam trek sejarah.
Periode 1950-1965 menjadi babak fantastis bagi golongan revolusioner untuk menunjukkan
bahwa semangat "Revolusi Agustus" belum selesai.

Membaca arah dan gelagat angin seperti ini, sastrawan macam H.B. Jassin dan serdadu anti-
komunis seperti Abdul Haris Nasution mengendurkan sedikit suaranya lantaran Sukarno
memberi kembali tempat terhormat pada komunisme.

Subuh 1 Oktober 1965, prahara datang dan memporak-porandakan komunisme. Bukan hanya
komunisme, Sukarno pun tak menduga sama sekali bahwa angin barat ini turut
menjungkalkan sosoknya dan warisan pemikirannya.

Setelah prahara mereda, musim baru pun dimulai. Revolusi Agustus 1945 yang diberi label
"Angkatan 45" kemudian kita tahu suci dari komunisme dan marhaenisme, baik dalam
pikiran maupun tindakan.













Semangat Kementerian Pemuda dan Olah
Raga

Rabu, 27 Agustus 2014
Eddi Elison, Praktisi Olahraga Nasional


Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) bersama staf sedang sibuk membahas dan
mempersiapkan pembentukan kabinet, menyangkut tokoh calon menteri ataupun struktur
kementerian, sebagaimana lazimnya setiap kementerian sudah punya program.

Khusus bidang olahraga, kita merasa perlu mengemukakan pernyataan Presiden Sukarno saat
meresmikan kontingen Indonesia untuk Asian Games IV di Bandung dengan ucapan: "Saya
mau prestasi olahraga Indonesia 10 besar dunia!" Ucapan itu kemudian diimplementasikan
dalam Rencana 10 Tahun Olahraga melalui sebuah surat keputusan.

Masalah struktur, kita membatasi diri untuk menelaah Kementerian Pemuda dan Olahraga,
kementerian yang terkesan berfungsi sebagai "pelengkap penderita" dibanding kementerian
lainnya. Padahal, di era Sukarno (1945-1966), olahraga menempati posisi prioritas dalam
konteks nation and character building, dalam napas gerakan kebangsaan yang amat kental
memperlaju proses pengukuhan eksistensi sebuah negara kebangsaan (nation state).

Bagi kabinet Jokowi mendatang, membangkitkan jiwa, spirit, dan nilai-nilai Trilogi
Keolahragaan Nasional (Trilogi Ornas) adalah prioritas. Sebabnya, hal itu seiring sejalan
dengan program Trisakti yang merupakan dasar materi kampanye Jokowi/JK. Trilogi Ornas
adalah kompilasi historis kemantapan keolahragaan nasional, yakni PON I di Solo 1948
sebagai PON Perjuangan yang membuktikan eksistensi RI yang masih tegak dan berdaulat--
meskipun ditekan Belanda melalui Agresi Militer I, bahkan ibu kota negara terpaksa hijrah di
Yogyakarta.

Asian Games IV di Jakarta pada 1962 merupakan gebyar kemampuan Indonesia di benua
Asia, dengan menunjukkan diri mampu membangun fasilitas olahraga terbesar di dunia
(1962-1966)--Gelanggang Olahraga Bung Karno (GBK)--dan mampu melaksanakan multi-
events, walaupun harus berhadapan dengan tekanan keras dari Asian Games Federation
(AGF) dan IOC (International Olympic Committee). Indonesia menolak kehadiran Israel dan
Taiwan yang saat itu tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia, sebagai
konsekuensi politik luar negeri yang bebas dan aktif.

Trilogi ketiga adalah Ganefo I di Jakarta 1963, yang merupakan jawaban dan tantangan
kepada seluruh dunia atas "penghinaan" IOC yang menskors keanggotaan Indonesia. Selain
itu, dalam rangka membangkitkan spirit Gerakan Non-Blok menentang dominasi Blok Barat
di bidang olahraga.

Jiwa, spirit, dan nilai-nilai Trilogi Ornas, sejak Orde Baru sampai saat ini, telah sirna akibat
tererosi oleh politik transaksional dan pragmatis. Erosi terindikasi di era Orba melalui
semboyan "memasyarakatkan olahraga, mengolahragakan masyarakat", selanjutnya di era
Reformasi "teramputasi" oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 yang beberapa pasalnya
"simpang-siur", termasuk rohnya bertentangan dengan semangat dan ketentuan Olympic
Charter, ayat 4; "The practice of sport is human right" (melakukan kegiatan olahraga adalah
hak setiap manusia), sehingga prestasi olahraga Indonesia di peta dunia menjadi terbata-bata.

Bayangkan, jika dalam Asian Games IV 1962 Indonesia dapat menduduki posisi kedua,
setelah Jepang, pada perhelatan berikutnya dan terakhir (Asian Games XVI di Guangzhou),
Indonesia hanya mampu menduduki posisi ke-15. Bahkan setelah 56 tahun kemudian, baru
Indonesia mampu menjadi tuan rumah lagi, itu pun setelah Vietnam menarik diri untuk Asian
Games 2018. Dalam pesta olahraga Asia Tenggara (SEA Games), Indonesia pada akhirnya
hanya mampu tampil sebagai juara umum, bahkan pada SEA Games di Myanmar 2013,
kontingen Garuda hanya berkutat di peringkat keempat.

Saat Ganefo 1963, yang diikuti 51 negara, skuad Merah Putih mampu berada di posisi ketiga
setelah RRT dan Uni Soviet. Setelah Ganefo "dibekukan" oleh kemasifan kondisi
perpolitikan internasional, kemudian Indonesia kembali menjadi anggota IOC. Sebagai
anggota IOC, Indonesia berpartisipasi dalam Olympic Games. Yang terakhir, dalam
Olimpiade London 2012, kontingen Indonesia berada di tangga ke-26, masih sebagai "anak
bawang". Belum lagi jika dikaitkan dengan prestasi internasional cabang-cabang olahraga,
seperti sepak bola, peringkat Indonesia berada di bawah Thailand, Vietnam, Malaysia, dan
Singapura. Di cabang bulu tangkis, khususnya Piala Thomas dan Uber, pemain bulu tangkis
Indonesia tak mampu lagi merebut gelar.

Jika mengacu pada jiwa, spirit, dan nilai Trilogi Ornas, jelas Kementerian Pemuda dan
Olahraga harus melepas urusan kepemudaan ke kementerian lain, mengingat selama ini
korelasi masalah kepemudaan dengan olahraga prestasi tidak sinkron karena kepemudaan
orientasinya ke politik. Kembalikan seperti yang dilakukan Bung Karno; Kementerian
Olahraga dengan Menteri Maladi, yang tidak mencampur kepemudaan dengan olahraga.
Dengan demikian, Kementerian Olahraga akan lebih bebas memantapkan programnya dan
anggarannya pun sendiri.

Dengan menu baru, disesuaikan dengan kondisi saat ini, kita yakin prestasi olahraga
Indonesia dapat ditingkatkan. Jokowi tidak perlu alergi terhadap masa lalu.



BBM dan Kemiskinan

Kamis, 28 Agustus 2014
Kadir, Bekerja di Badan Pusat Statistik


Di tengah membubungnya harapan terhadap pemerintahan mendatang, duet Jokowi-JK
tampaknya bakal dihadapkan pada tantangan yang tak mudah di masa awal periode
pemerintahan mereka. Salah satunya, soal seretnya ruang fiskal pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) 2015 akibat tekanan subsidi BBM.

Konsekuensinya, ambisi menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen akan sulit
diwujudkan. Begitu pula dengan program-program unggulan yang telah dijanjikan saat
kampanye, kemungkinan besar tak sepenuhnya bisa direalisasi pada 2015.

Seperti diketahui, APBN 2015 didasari asumsi bahwa harga BBM tidak mengalami
penyesuaian. Akibatnya, subsidi BBM, yang pada tahun ini telah mencapai Rp 246,5 triliun,
bakal melonjak hingga Rp 291,1 triliun pada 2015. Pendek kata, mau tidak mau, kenaikan
harga BBM menjadi pilihan yang harus diambil oleh pemerintah Jokowi-JK.

Repotnya, kebijakan menaikkan harga BBM amat tidak populer dan kerap menuai penolakan
dari banyak kalangan. Pasalnya, kebijakan ini dipandang bakal menyengsarakan wong cilik,
terutama kelompok warga miskin.

Pengalaman menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM selalu memicu inflasi. Faktanya,
dampak inflasi tersebut lebih dirasakan oleh wong cilik dalam bentuk penurunan daya beli.
Soalnya, kenaikan harga BBM selalu berujung pada kenaikan harga komoditas lainnya,
terutama bahan makanan, yang proses produksi dan rantai distribusinya menggunakan BBM.
Padahal, 60-70 persen pengeluaran untuk penduduk miskin dan hampir miskin dialokasikan
untuk kebutuhan makanan.

Pada 2005, misalnya, kenaikan harga BBM terjadi dua kali, antara lain pada 1 Maret dan 1
Oktober, telah memacu inflasi tahunan hingga mencapai 17,11 persen. Akibatnya, 4,2 juta
orang jatuh miskin sepanjang Februari 2005-Maret 2006. Menurut Bank Dunia,
memburuknya kondisi kemiskinan kala itu lebih disebabkan oleh lonjakan harga beras
(Making The New Indonesia Work For The Poor, 2006). Diketahui, 20-25 persen
pengeluaran bagi penduduk miskin dan hampir miskin dialokasikan untuk beras. Pengalaman
serupa juga terjadi pada 2013. Kenaikan harga BBM pada akhir Juni mengerek inflasi pada
Juli 2013, sehingga mencapai 3,29 persen. Akibatnya, 0,48 juta orang terjerembap ke jurang
kemiskinan sepanjang Maret-September 2013.

Meski demikian, Jokowi-JK tak boleh ragu untuk menaikkan harga (baca: menghapus
subsidi) BBM. Sebab, dengan mekanisme pemberian kompensasi yang tepat sasaran dan
pengendalian inflasi (kelompok bahan makanan) yang efektif, dampak kenaikan harga BBM
terhadap kemiskinan bisa ditekan.

Selain itu, dalam jangka panjang, penghapusan subsidi BBM sejatinya bakal berdampak
penurunan angka kemiskinan. Dengan demikian, ada ruang untuk menggenjot pertumbuhan
ekonomi. Selain itu, anggaran yang dialokasikan untuk program-program anti-kemiskinan
dapat ditingkatkan. Banyak bukti memperlihatkan bahwa pertumbuhan ekonomi, yang
dibarengi dengan pemerataan, merupakan resep terbaik untuk menyelesaikan ihwal
kemiskinan.

Sebaliknya, dalam jangka panjang, subsidi BBM justru bakal menghambat berbagai program
anti-kemiskinan akibat keterbatasan anggaran. Ditengarai, selama ini, subsidi BBM juga telah
berkontribusi terhadap kesenjangan ekonomi yang kian melebar. Pasalnya, 60-70 persen dari
subsidi BBM, yang menyedot 20 persen anggaran negara, justru dinikmati golongan
mampu.*













Pembelajaran dan Internet

Kamis, 28 Agustus 2014
J. Sumardianta, Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta


Revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) mengubah banyak hal. Ada tiga
pergeseran yang digerakkan TIK: perubahan dari eksklusif menjadi inklusif, pergeseran dari
vertikal ke horizontal, dan transformasi individual ke sosial.

TIK, pada tataran pendidikan praktis, mendobrak pembelajaran. Dari individual menjadi
kolaboratif; dari pasif menjadi pembelajaran berpikir aktif; dari guru monolog menjadi murid
interaktif. Model relasi kuasa guru-murid tidak relevan lagi. Dinding penyekat sosial telah
dirubuhkan Internet. Sekolah harus semakin transparan dan inklusif.

Saya punya murid hebat di kelas XI SMA jurusan IPA bernama Wahyu. Saat Wahyu duduk
di bangku kelas X, saya mengajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di tujuh kelas paralel.
Mengajar PKn itu gampang-gampang susah. Gampang bila kegiatan belajar mengajarnya
inspiratif, susah bila materi yang diajarkan membuat murid bosan.

Pada semester ganjil, saya hendak mengajarkan kompetensi dasar (KD). "Menunjukkan
semangat kebangsaan, nasionalisme, dan patriotisme dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara". Kalimat KD ini saja sudah abstrak. Bila diajarkan apa adanya,
bakal tidak jelas hasilnya. Kelas bisa menjemukan. Murid terjebak dalam cara berpikir
tingkat rendah, yakni menghafalkan materi ajar.

Saya menugasi semua murid membuat video testimoni tentang heroisme kedua orang tua
mereka dalam mendidik anak-anak. Diskusi dalam tujuh kelas paralel menyepakati bahwa
pahlawan para murid yang sesungguhnya, ya, orang tua mereka. Sukarno, Hatta, dan Tan
Malaka memang patriot. Tapi itu bakal menjadi pengetahuan dangkal nasionalisme bila
pengajaran terjebak pada materialisme kurikulum.

Tugas membuat video dikerjakan secara kelompok. Siswa yang memiliki peranti digital
lengkap membantu siswa yang berperangkat terbatas. Testimoni direkam sendiri-sendiri. Bila
tinggal bersama kedua orang tua, saat testimoni direkam, kedua orang tua berada di sisi
kanan-kiri murid. Bila orang tua tinggal di luar kota, pernyataan orang tua direkam lewat
pembicaraan telepon. Hasil testimoni kemudian diedit bersama dalam kelompok.

Saya merasakan betul dahsyatnya kekuatan sinergis dalam kerja kelompok. Murid, dalam
collaborative learning, belajar menyatukan kekuatan. Bukan berkompetisi saling
melemahkan sebagaimana umum diperagakan dalam pembelajaran konvensional-individual.

Testimoni Wahyu menggetarkan. Wahyu, saat unjuk kerja video buatannya, menangis
tersedu-sedan. Teman sekelas menyoraki dia. Saya hardik mereka untuk berhenti
menertawakan Wahyu. Apa salahnya seorang murid menangis saat pelajaran PKn? Saya
memperbolehkan murid melepaskan ketegangan emosional yang telah lama mengendap di
alam bawah sadar mereka.

Dalam tayangan testimoni, Wahyu hanya bersama ibunya. Ayahnya meninggal karena sakit
jantung saat Wahyu masih berusia balita. Ibunya pontang-panting sendirian membesarkan
sang anak semata wayang. Wahyu tidak tega ibunya terus-terusan berpindah rumah
kontrakan.

Di mana hati diletakkan, di situ proses pembelajaran dimulai. Pembelajaran PKn menyentuh
hati Wahyu. Anak ini telah mendapatkan value dari kerja kelompok menyusun video. Saya
langsung membidik tujuan hidupnya. Saya bilang ke Wahyu: wujudkanlah impian besarmu!
Inilah model pendidikan kontekstual pada zaman Internet. *














Arah (Lembaga) Kebudayaan Kita

Kamis, 28 Agustus 2014
Sugih Biantoro, Peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan


Setelah melewati pembelajaran demokrasi pada pemilu 2014, pasangan Jokowi-JK akhirnya
terpilih menjadi pemegang tongkat estafet kepemimpinan Presiden SBY. Salah satu yang
menjadi sorotan penulis adalah opsi tim transisi menyangkut usul tentang kementerian
tambahan. Kementerian Pendidikan akan dipisah menjadi dua: Kementerian Pendidikan
Dasar dan Menengah serta Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset Teknologi.

Opsi tersebut menjelaskan bahwa Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan
mengurusi pembangunan karakter, budi pekerti, nilai, norma, dan budaya bangsa. Kita bisa
melihat sebetulnya ada distorsi kebudayaan di sana. Karakter dan nilai memang penting, tapi
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan membuat kita tahu akan ke mana arah
kebudayaan ditempatkan. Kebudayaan akan selalu diarahkan sebagai bahan perumusan
berbagai instrumen pendidikan.

Sayangnya, pemerintah belum banyak melirik pendidikan yang bersifat informal, yang penuh
dengan muatan budaya. Presiden terpilih pun, sampai tulisan ini dibuat, belum menanggapi
opsi yang ditawarkan deputi rumah transisi. Bisa saja usul itu ditolak atau diterima. Namun di
sinilah kiranya "pengawalan" terhadap penempatan kebudayaan dalam struktur kelembagaan
perlu dilakukan.

Apakah kebudayaan baik-baik saja di negeri ini? Kongres Kebudayaan yang terus berjalan
hingga saat ini tampaknya dapat menjawab pertanyaan tersebut. Kebudayaan di Indonesia
memerlukan arah yang jelas. Namun hal itu sulit tercapai apabila produk hukumnya saja
sampai sekarang belum ada. Saat ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan
sedang dalam proses-mungkin revisi substansi atau teknis-untuk segara ditindaklanjuti
menjadi undang-undang. Sekian lama proses itu berlangsung, hasilnya tak kunjung ada. Saat
ini, kita memang sudah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, tapi aturan tersebut hanya mengurusi kebudayaan benda (tangible heritage) dan
belum menyentuh aspek-aspek non-benda (intangible heritage).

Perhatian terhadap kebudayaan benda memang lebih melekat dalam kebijakan hukum
pemerintah selama ini. Dapat saja itu terjadi karena kita tidak cukup kreatif untuk mengubah
secara total aturan kolonial Belanda bernama Monumenten Ordonantie 1934, yang mengatur
soal peninggalan-peninggalan budaya (monumen), sehingga kita hanya bisa
"mengindonesiakan" aturan kolonial tersebut tanpa banyak mengubahnya, sehingga
kemudian dihasilkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Kita bisa bayangkan, kurang-lebih 58 tahun kita masih berpatokan pada aturan kolonial. UU
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya merupakan perbaikan dari kekurangan-
kekurangan yang terdapat pada UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Memang, ada sejumlah perbaikan substansial, tapi tetap saja masih berfokus pada
kebudayaan benda.

Bukan berarti tangible heritage tidak dianggap penting. Presiden SBY, dalam beberapa
kesempatan, mampu menempatkan situs-situs sejarah dan purbakala sebagai warisan yang
penting bagi bangsa Indonesia. Itu dapat terlihat dalam kunjungannya ke kawasan cagar
budaya Trowulan atau situs Gunung Padang. Bukan hanya kebanggaan atas kemegahan situs-
situs tersebut, nilai sejarah peradaban juga penting guna membentuk identitas bangsa ini
sehingga mampu melepaskan diri dari ikatan yang berbau kolonial. Konstruksi peninggalan
sejarah dan purbakala seperti itu juga pernah dilakukan pada zaman Orde Lama dan Orde
Baru. Artinya, urgensi kebudayaan perlu memperhatikan wujudnya, baik dalam bentuk
tangible maupun intangible.

Definisi kebudayaan yang luas tentu tidak dapat digeneralisasi. Namun memaknai
kebudayaan dengan tidak mengkotak-kotakkan antara yang satu dengan yang lainnya tentu
diperlukan untuk menentukan arah pengembangan ke depan, misalnya dalam lingkup
kelembagaan.

Sudah saatnya Jokowi dan jajaran pemerintahnya mampu memayungi dua wujud kebudayaan
tersebut secara beriringan. Ini juga menyangkut konsep revolusi mental yang sering
didengungkan Jokowi selama masa kampanye. Penulis yakin bahwa revolusi mental tersebut
akan terwujud jika kita mampu memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan secara baik.

Setidaknya, awal perhatian Jokowi pada masa-masa transisi ini adalah mempertimbangkan
pembentukan struktur kelembagaan yang fokus dan jelas bertanggung jawab untuk mengurus
persoalan kebudayaan bangsa ini. Tidak harus berdiri sendiri, menjadi "anak tiri" dari
kementerian lain pun bisa saja. Setidaknya itu 'kebudayaan' tetap ada sebagai nomenklatur
salah satu lembaga atau kementerian di negeri ini. Wadah itu bukan akhir, melainkan tahap
awal untuk memberi kesempatan bagi semua stakeholder dalam menciptakan terobosan-
terobosan baru, baik dalam pemenuhan kebutuhan di ranah aturan, substansi, maupun
pemanfaatan kebudayaan bagi masyarakat luas. *





Kritik terhadap Program Kartu Indonesia
Sehat

Jum'at, 29 Agustus 2014
Kartono Mohamad, Dokter


Pada umumnya para politikus, masyarakat, dan media massa beranggapan bahwa masalah
kesehatan di negeri ini adalah masalah sulitnya orang miskin mendapatkan pelayanan
pengobatan ketika sakit. Karena itu, konsep penyelesaiannya adalah menambah rumah sakit,
puskesmas (balai pengobatan), penyediaan dokter, dan skema pembiayaan kesehatan bagi
orang miskin. Joko Widodo mungkin pernah berhasil dengan program Kartu Sehat di Kota
Solo dan beranggapan bahwa cara itu juga akan berhasil diterapkan di seluruh Indonesia.
Untuk itu, dia mengajukan konsep Kartu Indonesia Sehat (KIS). Tapi Indonesia bukanlah
Solo atau Jakarta, yang mempunyai sarana pelayanan pengobatan yang cukup dan sarana
transportasi serta komunikasi yang sudah baik.

Konsep penyelesaian masalah kesehatan rakyat dengan penekanan pada pengobatan, seperti
penggunaan KIS, memang secara politis menarik. Sebab, pemerintah terkesan "baik hati"
dengan memperhatikan kesehatan rakyat. Demikian pula pembangunan sarana pengobatan,
baik rumah sakit maupun balai pengobatan (saat ini puskesmas identik dengan balai
pengobatan), mengesankan hasil pembangunan dalam waktu singkat tampak bentuknya. Hal
ini berbeda dengan program pencegahan yang hasilnya tidak segera tampak secara dramatis.

Suatu hal yang juga mungkin kurang disadari para elite politik adalah: program kuratif
memerlukan sarana yang mahal. Sebab, selain bangunan fisik, diperlukan pula sejumlah
tenaga profesional dan teknologi yang memadai. Sementara itu, cakupannya sebatas orang
yang datang berobat. Semakin lama, biayanya pun semakin mahal. Di sisi lain, secara
kultural, masyarakat hanya akan berobat ke sarana itu setelah penyakitnya terasa sudah parah
sehingga biaya pengobatannya pun akan lebih mahal.

Konsep KIS memang menjanjikan bahwa pemerintah akan menanggung biaya pengobatan,
tapi tidak menjamin bahwa seorang pengidap TBC, misalnya, akan datang ke puskesmas
pada fase awal penyakitnya. Padahal, pada fase ini pengobatan akan lebih mudah dan lebih
murah. KIS juga tidak akan menjamin bahwa orang tua akan menjaga anak-anaknya dari
bahaya asap rokok di rumah supaya tidak mudah sakit. Di samping itu, program ini tidak
akan membuat seseorang berusaha menghindari penyakit, termasuk penyakit menular
seksual. Toh, kalau sakit akan dibayari oleh negara.

Untuk itu, visi kesehatan pemerintah yang terpaku pada aspek kuratif akan mengecoh diri
sendiri. Visi kesehatan pemerintah seharusnya tidak terpaku pada bantuan terhadap rakyat
miskin untuk membayar biaya pengobatannya. Visi kesehatan pemerintah seharusnya
mencita-citakan rakyat Indonesia yang tidak gampang jatuh sakit, sehingga mampu hidup
lebih produktif. Contoh, pemerintah Kota Bangkok mempunyai visi bahwa pada 1998 tidak
ada lagi perempuan di Kota Bangkok yang meninggal karena kehamilannya. Hal ini
diwujudkan bukan dengan membuka tempat persalinan yang banyak, melainkan menjamin
bahwa setiap kehamilan berlangsung secara sehat sejak awal.

Karena itu, tugas menteri kesehatan bukan hanya menyebarkan dokter dan perawat ke seluruh
pelosok negeri atau menyediakan rumah sakit di mana-mana. Tugas menteri kesehatan adalah
menjaga agar rakyat tidak jatuh sakit, sehingga menghemat biaya pengobatan. Bukan hanya
biaya yang dari pemerintah, tapi juga yang dibayar sendiri oleh rakyat, baik langsung maupun
tidak langsung. Dengan begitu, uang yang dialokasikan untuk pengobatan dapat digunakan
untuk hal yang lebih produktif dan meningkatkan daya tabung keluarga. Di samping itu,
rakyat yang selalu dalam keadaan sehat juga akan menjadi sumber daya manusia yang lebih
tangguh.

Sudah seharusnya presiden melihat bahwa program kesehatan bukanlah program untuk
menunjukkan budi baik (karitatif), melainkan sebuah program investasi untuk kepentingan
ekonomi negara. Seperti kata Bismarck, kanselir Prusia (Jerman) pada awal era industrialisasi
Jerman, "kalau mesin pabrik selalu dirawat agar dapat selalu berfungsi, para pekerja pun
harus selalu dijaga agar mereka tetap sehat sehingga sanggup menjalankan mesin-mesin
tersebut. Tanpa pekerja yang sehat, mesin-mesin itu juga tidak akan produktif."

Patut pula dicatat bahwa konsep puskesmas yang dikembangkan oleh Dr Leimena, Menteri
Kesehatan pada 1952, bukan sekadar balai pengobatan. Puskesmas adalah pusat untuk
menjaga agar masyarakat di wilayah kerjanya tetap hidup sehat. Puskesmas harus diawaki
oleh petugas yang mengerti soal pendidikan higiene kepada rakyat sekitarnya. Saat ini
puskesmas diawaki oleh dokter yang didorong untuk berpikir kuratif, dan perawat yang
dididik untuk merawat pasien di rumah sakit.

Konsep Leimena itu sudah berubah 180 derajat sejak awal Orde Baru. Puskesmas sudah
dimaknai sebagai balai pengobatan dan menunggu orang sakit datang berobat. Secara tertulis,
ada program-program pencegahan, tapi tidak berjalan karena anggaran tidak tersedia.
Penekanan kuratif malah semakin menonjol. Bahkan, adakalanya pemerintah daerah melihat
puskesmas sebagai sumber pendapatan. Dengan begitu, bagi pemerintah daerah, semakin
banyak warga yang sakit akan semakin baik, karena semakin besar pula retribusi untuk
daerah.


Kompleksitas Masalah Kartu Indonesia
Pintar

Jum'at, 29 Agustus 2014
Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan


Salah satu program unggulan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) adalah Kartu Indonesia
Pintar (KIP). Program ini mengadopsi Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang sudah diterapkan di
Jakarta sejak 2013. KJP dimaksudkan untuk memberi bantuan personal kepada anak-anak
dari golongan miskin agar tetap bersekolah tanpa mengalami hambatan mengenai pakaian
seragam, sepatu, tas, atau bahkan transportasi.

KJP ini melengkapi bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah untuk SD-SMP
ataupun bantuan operasional pendidikan (BOP) untuk sekolah-sekolah negeri. BOS dan BOP
merupakan bantuan pendanaan untuk institusi (sekolah), sedangkan KJP merupakan bantuan
yang bersifat personal.

Prinsip program KIP tidak berbeda dengan KJP. Yang berbeda adalah cakupannya saja, yaitu
bantuan personal untuk anak-anak orang miskin agar dapat membeli peralatan sekolah yang
bersifat personal, seperti pakaian seragam, sepatu, transportasi, dan uang saku.

Karena KIP mencakup seluruh wilayah Indonesia, program ini memiliki kompleksitas yang
lebih tinggi. Jika KJP hanya mencakup sekitar 332.465 murid miskin, KIP mungkin bisa
mencapai 5 juta jiwa. Dengan cakupan yang lebih luas dan jumlah yang lebih besar itu, ada
dua konsekuensi logis yang akan terjadi: 1) diperlukan kecermatan dalam identifikasi calon
penerima KIP agar tepat sasaran; 2) dana yang diperlukan jauh lebih tinggi, bisa sepuluh kali
lipat dari dana KJP 2013 sebesar hampir Rp 1 triliun.

Besaran KJP antar-tingkat satuan pendidikan berbeda-beda, disesuaikan dengan unit
cost/tahun/satuan pendidikan. Sebagai contoh, SD/SDLB/MI unit cost per tahun sebesar Rp
2.160.000 sehingga besaran KJP per bulan Rp 180.000. Perhitungan unit cost itu sebatas pada
komponen transportasi ke dan dari sekolah, pembelian buku, alat tulis, tas sekolah, baju,
sepatu sekolah, serta tambahan makan dan minum.

Implementasi KIP tidak jauh berbeda dengan KJP, yang merupakan bantuan personal.
Dengan demikian, keberadaan KIP tidak perlu dipertentangkan dengan BOS yang diberikan
oleh pemerintah dan BOP yang diberikan oleh pemda dan selama ini mampu menggratiskan
biaya pendidikan dasar ataupun menengah (di beberapa daerah). BOS dan BOP tetap berjalan
dan tidak terganggu oleh keberadaan KIP karena penerima manfaat BOS dan BOP adalah
institusi (sekolah), sedangkan penerima KIP adalah pribadi.

Problem terbesar dari KIP ini adalah masalah penyediaan dana yang cukup besar, bergantung
pada banyaknya anak dari keluarga miskin. Namun masalah sumber dana tidak perlu
dipersoalkan asalkan pemerintah memiliki komitmen/kebijakan yang jelas terhadap BBM.
Jauh lebih positif dan jelas hasilnya bila pemerintah memotong subsidi BBM dan kemudian
mengalihkannya untuk biaya pendidikan gratis 12 tahun dan implementasi KIP. Hanya, yang
perlu diingat, besaran KIP tidak boleh sama di seluruh wilayah Indonesia, mengingat harga-
harga, termasuk biaya transportasi daerah-daerah di kepulauan, jauh lebih mahal dibanding di
Jawa dan Bali.

Karena itu, perlu ada pemetaan harga-harga barang di setiap wilayah kepulauan. Kecuali itu,
masyarakat perlu diedukasi agar tidak menyalahgunakan uang KIP untuk kepentingan
konsumsi.















Rabaan Sebait Pantun

Jum'at, 29 Agustus 2014
Taufik Ikram Jamil, Sastrawan


Kalau roboh kota Melaka

papan di Jawa kami tegakkan

Kalau demikian bagaikan dikata

jiwa dan raga kami serahkan


Demikian sebait pantun lama yang kembali menyeruak dari benak saya ketika terkenang hari
kemerdekaan ke-57 Malaysia, Minggu, 31 Agustus 2014. Pantun yang terpaut waktu
berabad-abad kemudian meraba suhu hubungan Indonesia-Malaysia. Mungkin juga sebagai
pantun yang dapat menjelaskan pengakuan Malaysia sebagai pewaris berbagai produk budaya
akhir-akhir ini.

Entah sejak kapan pantun itu muncul. Ada yang menyebutkan, setidak-tidaknya, puisi itu
terinspirasi oleh upaya Pati Unus ketika membantu Melaka mengusir Portugis, yang
meruntuhkan kerajaan tersebut pada 1511. Hubungan ini senada dengan masa sebelumnya,
yakni Majapahit, bahkan Sriwijaya. Rentangan semua masa ini terangkum dalam sebutan
serumpun dan Nusantara dalam bingkai Melayu sebagai ras.

Pengalaman dalam rentangan masa itulah yang melatarbelakangi pemuka di sana, seperti
Ibrahim Jaacob, meminta Sukarno memproklamasikan suatu negara-kalau tak bernama
Melayu Raya, ya Indonesia Raya-dalam pertemuan pada 14 Agustus 1945. Meski kecewa
karena Sukarno ternyata hanya memproklamasikan jajahan Hindia Belanda dengan nama
Indonesia, karena berbagai sebab penting, pada 17 Agustus 1945, keinginan mereka tak
terlerai, sebelum kemerdekaan Malaysia dikumandangkan di Melaka, 31 Agustus 1957.

"Selain konfrontasi Indonesia-Malaysia 1960-an, alur sejarah itu pula yang mengalir dalam
pengakuan berbagai produk budaya di Indonesia oleh Malaysia," kata kawan saya Abdul
Wahab dalam pesan pendek telepon seluler. Sebab, dia menambahkan, keberadaan produk
budaya seperti reog, batik, rendang, dan banyak lagi, juga mewarnai masyarakat setempat,
bahkan jauh sebelum nama Malaysia ataupun Indonesia menyentuh telinga awam. Hal ini
sejalan dengan migrasi Jawa ke Malaysia sejak berabad-abad lalu.

Makin nyata, ketika diketahui banyak pembesar Malaysia berdarah Indonesia, bahkan
sekaliber Perdana Menteri Malaysia Tun Nadjib Razak. Sebaliknya, bahasa pemersatu
Indonesia adalah bahasa Melayu dari khazanah Johor-Riau, baik sebagai etnis maupun ras
Melayu. Tokoh Hang Tuah yang juga membumi di Tanah Air, tak mungkin ditolak hanya
karena ia berjasa di Melaka. Lagi pula, yang disebut pribumi atau Melayu di Malaysia
terutama adalah seseorang yang beragama Islam-agama yang dianut migran Jawa. Di sisi
lain, Jawa tidak dapat dikatakan identik dengan Indonesia karena juga mewarnai sejumlah
negara, yang selain Malaysia adalah Singapura dan Suriname.

Jika ditarik ke belakang, ditemui kenyataan asal manusia Jawa, yakni Asia. Ini belum lagi
memperkatakan keberadaan Indonesia-Malaysia yang dipengaruhi Traktat London 1824.
Bukankah perjanjian yang membagi wilayah pengaruh Belanda dan Inggris alias penjajah ini
yang mendasari penetapan wilayah kedua negara? Syahdan, pengakuan Malaysia terhadap
produk budaya itu tak terlepas dari perkembangan kesejagatan (globalisasi) bersenjatakan
ekonomi kreatif, melalui penguatan identitas yang dapat dijawab oleh tradisi.

"Terlepas dari hal itu, mempersoalkan produk budaya jangan dipandang dari geopolitik,
tetapi dari geobudaya. Kalau kasus Sipadan dan Ligitan lainlah, sebab hal itu masuk dalam
ranah geopolitik. Untuk yang terakhir ini, usahlah aku komentari ya," demikian Wahab
mengakhiri pesan pendek. Alasannya, penat, oh....















Simpang Jalan Golkar

Sabtu, 30 Agustus 2014
Indra J. Piliang, Direktur Eksekutif Sang Gerilya Institute


Meski Partai Golkar belum mengucapkan selamat kepada Jokowi-JK, pasangan ini telah
dikukuhkan Mahkamah Konstitusi sebagai pemenang pemilihan presiden. Golkar sendiri
mengalami gejolak yang hebat sejak lima tahun terakhir. Keadaan ini terjadi akibat kekalahan
dalam pemilu legislatif 2014.

Sebagai juara kedua dalam pemilihan legislatif 2009-sama dengan pemilihan legislatif 2014-
Jusuf Kalla bisa maju sebagai calon presiden 2009 dengan menjadikan Wiranto sebagai calon
wakil presiden. Hal ini berbeda dengan 2014, saat Golkar tak berhasil memajukan Aburizal
Bakrie (ARB) sebagai calon presiden. Padahal, sejak Rapimnas 2012, ARB adalah satu-
satunya calon presiden yang diusung Golkar.

Keberhasilan ARB adalah menjadi Ketua Koalisi Merah Putih (KMP) yang bersifat
"permanen" sampai 2019. Komunikasi yang dibangun ARB menempatkan Golkar sebagai
partai penyeimbang. Terdapat sinyalemen ARB akan maju menjadi Ketua Umum Golkar
periode 2015-2020. Kalau tidak, posisi politik Ketua KMP bisa saja diubah oleh Ketua
Umum Golkar yang baru.

Sekalipun jadwal musyarawah nasional belum jelas, posisi ARB masih kuat dalam
mengendalikan Golkar di daerah-daerah. Bagi penganut paham konstitusionalitas, jadwal
Munas disesuaikan dengan Anggaran Dasar pasal 30: "Musyawarah nasional adalah
pemegang kekuasaan tertinggi partai yang diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun". Munas
terakhir terjadi pada Oktober 2009. Artinya, munas berikutnya berlangsung pada Oktober
2014.

Namun, terdapat klausul dalam Munas VIII Riau 2009 bahwa masa jabatan kepengurusan
bisa diperpanjang sampai 2015. Klausul itu hanya berupa rekomendasi yang belum memiliki
kekuatan hukum. Idealnya, kalau memang klausul itu diterima sebagai keputusan Munas
VIII, hal itu akan dimasukkan dalam "aturan peralihan" dalam Anggaran Dasar. Faktanya,
klausul itu sama sekali tidak ditandatangani pimpinan sidang, berbeda dengan dokumen-
dokumen lainnya. Pernyataan politik Partai Golkar saja ikut ditandatangani oleh pimpinan
sidang.

Kalau hanya sekadar unjuk kekuatan, perbedaan pendapat soal Munas 2014 atau 2015 ini
berakibat fatal bagi Golkar. Yang diperebutkan adalah suara DPD I guna menggelar munas
luar biasa. Kalau ini yang terjadi, Golkar bisa saja memiliki kepengurusan kembar yang
masing-masing berpegang pada AD-ART. Padahal, bukan zamannya lagi untuk memecah
Golkar, yang setiap lima tahun "melahirkan" partai baru.

Munas 2015 lemah secara hukum dan politik. Klausul itu ditujukan untuk menghadapi pilpres
yang diikuti kader yang diusung Golkar, untuk putaran pertama, apalagi putaran kedua.
Dalam pilpres 2009, tokoh-tokoh utama Golkar bukan berkonsentrasi pada pilpres, melainkan
pada penggalangan dukungan suara untuk menjadi Ketum Golkar dalam Munas 2009. Mesin
Golkar tak berjalan maksimal guna memenangkan JK-Wiranto. Dalam pilpres 2014, kader
Golkar yang maju hanyalah JK dan berlangsung satu putaran.

KMP sudah menyatakan diri sebagai penyeimbang pemerintah Jokowi-JK. Dengan diketuai
oleh ARB, KMP berarti dipimpin Golkar. ARB akan kehilangan legitimasinya, begitu juga
KMP, apabila dia tidak lagi menjadi ketua umum. Sasaran pertama KMP tentulah jabatan
Ketua DPR, Ketua MPR, dan jabatan strategis lainnya. Dengan UU MD3 (MPR, DPR, DPD,
dan DPRD) yang baru, KMP dengan mudah bisa mengambil pucuk-pucuk pimpinan di
lembaga legislatif.

Soliditas KMP bisa dicatat sebagai yang terbaik, dibanding pada dua pilpres sebelumnya.
KMP tetap tak goyah dalam mengalihkan dukungan terhadap pemerintah Jokowi-JK, setelah
MK mengetuk palu. Beberapa partai politik disebut bakal bergabung dengan koalisi yang
dipimpin oleh PDI Perjuangan. Tapi hal ini baru sebatas wacana.

Perkembangan terakhir ditunjukkan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono. SBY memberi sinyal sebagai poros ketiga. Padahal, dalam sepuluh tahun
terakhir, Golkar-lah yang berada di posisi itu, yakni menjadi partai tengah guna
menyeimbangkan poros kiri (oposisi) dan kanan (pemerintah). Dalam masalah pengurangan
subsidi bahan bakar fosil, terlihat sekali Jokowi-JK memerlukan dukungan SBY, alih-alih
KMP.

Bakal terjadi "permainan" segitiga politik dalam lima tahun ke depan. Konsentrasi penuh
Jokowi-JK menjalankan pemerintahan dihadapkan dengan tiga kekuatan politik di DPR.
Jangan lupa, MPR juga akan mendapatkan peran lebih besar. Sinyalemennya sudah tampak,
yakni mendelegitimasikan rezim Jokowi-JK. Walau tidak akan sampai pada tindakan
pemakzulan, seperti era Presiden Abdurrahman Wahid, kekuatan MPR bisa lebih banyak
digunakan untuk menekan Jokowi-JK.

Tinggal ketangguhan kepemimpinan Jokowi-JK yang ditunggu, dari sisi kekompakan
ataupun dukungan dari partai-partai politik pengusung, relawan, dan individu-individu yang
berkarakter kuat dan sekaligus berani. Pilihan prioritas kebijakan akan sangat menentukan
bagi dukungan publik terhadap rezim Jokowi-JK. Apabila pilihan-pilihan itu ternyata
memunculkan sentimen negatif, KMP dengan mudah mendapatkan panggung politik dengan
segala armadanya yang sudah dipersiapkan dengan rapi.
Sejarah dan Rekayasa Pemenang

Sabtu, 30 Agustus 2014
Agus Dermawan T., Pengamat Budaya dan Seni


Pada 1987, Basoeki Abdullah mencipta puluhan lukisan bertema wayang orang. Lukisan
berbahan pastel di atas kertas itu disiapkan untuk dijual, demi mencari dana bagi
keberangkatan delegasi kesenian Indonesia ke Festival Babilonia di Irak. Dalam sejumlah
lukisan, ia menggambarkan wajah Rahwana, Rama, sampai Buto Cakil dengan semaunya
sendiri. Artinya, berbeda dengan persepsi publik. Bahkan, ketika menggambar Srikandi,
wajahnya mirip dengan pedangdut Camelia Malik. Saya menanyakan ihwal ini kepadanya,
"Kok?" Basoeki menjawab, "Di tanganku, wajah Drupadi sah untuk mirip dengan wajah
ibumu!"

Dalam kondisi mati kutu, saya dibawa Basoeki ke depan studionya, yang terletak di sudut
Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta. Di situ ia menunjukkan Patung Pemuda di
persimpangan, yang dibikin oleh pematung Moenir Pamoentjak. "Wajah patung itu alangkah
mirip dengan Ibnu," ujar dia. Ibnu Sutowo adalah Direktur Utama Pertamina, yang mendanai
pembuatan patung tersebut.

Dari peristiwa kecil di atas, saya tiba-tiba percaya adagium klasik bahwa "sejarah ditulis oleh
para pemenang". Dan pemenang cenderung menjadi penguasa. Sementara itu, penguasa
adalah orang yang merasa sah untuk membuat apa saja, berkaitan dengan eksistensinya. Yang
menguntungkan bisa ditonjolkan, yang melemahkan bisa dibikin kabur atau dihapuskan.

Bahwa sejarah milik para pemenang, kitab Indonesia telah membuktikan berulang-ulang.
Cerita yang paling melekat adalah film Pengkhianatan G-30-S PKI yang dibikin Arifin C.
Noer pada 1982. Film ini oleh Orde Baru (dengan bantuan ahli filsafat-sejarah Nugroho
Notosusanto) secara tak seimbang diskenariokan untuk melemahkan posisi Presiden Sukarno.
Dan, sebaliknya, film ini sangat meluhurkan peran Soeharto. Demi menguatkan kemenangan,
film ini dijadikan tontonan wajib televisi setiap 1 Oktober, sampai 1997.

Namun, dari sekian banyak kisah "sejarah pemenang", yang paling kontekstual sekarang
adalah sosok Muhammad Yamin (1903-1962), yang pada 22 Agustus kemarin berhari jadi
(Tempo,18-24 Agustus 2014). Yamin adalah pemikir kemerdekaan legendaris dan
multitalenta. Dari tangan Yaminlah tiba-tiba muncul wajah Gajah Mada, sang pencetus
Sumpah Palapa.

Padahal, dari sejarah yang membentang sejak Gajah Mada wafat pada 1364, wajah mahapatih
ini tak pernah diketahui. Sampai pada suatu ketika, Yamin menemukan pecahan celengan
zaman Trowulan yang berbentuk kepala manusia. Tanpa argumen arkeologis, Yamin
menyatakan bahwa itu adalah kepala atau wajah Gajah Mada.

Yang mengejutkan, setelah diusut-usut, raut muka yang terbentuk di keramik celengan itu
mirip dengan wajah Yamin sendiri. Henk Ngantung, yang melukis wajah Gajah Mada versi
Yamin pada 1950, menguatkan cerita ini. "Kata Bung Karno, ketika Yamin berusia 45,
dengan berat yang ditambah 17 kilo, wajahnya sangat mirip dengan Gajah Mada." Bung
Karno memang terkesan oleh lukisan rekayasa ini, sehingga dimasukkan dalam buku
Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Soekarno jilid I (1964).

Mungkin lantaran mirip Gajah Mada, Presiden Sukarno berkenan mengangkat Muhammad
Yamin menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada Juli 1953. Dan
Yamin melegitimasi wajah itu ke dalam buku-buku sekolah. Lagi-lagi, Yamin menjadi
pemenang!















Jejak Prof Tjahja

Sabtu, 30 Agustus 2014
Jalal, Penggiat Keberlanjutan


Pada 25 Agustus 2014, bangsa ini kehilangan Prof Dr Surna Tjahja Djajadiningrat, guru besar
Institut Teknologi Bandung dan Ketua Dewan Pertimbangan Program Penilaian Peringkat
Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (Proper) Kementerian Lingkungan
Hidup.

Kepada Pak Naya, begitu panggilan akrabnya, kita berutang banyak sekali. Pada akhir 1980-
an dan awal 1990-an, ketika pembangunan berkelanjutan masih dianggap sebagai subversi,
Pak Naya dengan keberanian luar biasa terus membawa pesan soal itu. Dia terus menggedor
kesadaran bangsa ini bahwa tata cara kita dalam membangun itu tidaklah tepat.

Salah satu caranya adalah memberi pengantar dalam buku-buku terjemahan dari luar negeri,
seperti State of the World yang disunting oleh Lester Brown. Penerjemahan buku-buku yang
berisikan ide pembangunan berkelanjutan ke dalam bahasa Indonesia sangatlah penting, agar
publik di sini mampu mencerna gagasan itu dengan cepat. Pengantar dari Pak Naya
sedemikian fasihnya bertutur soal ide besar buku-buku itu. Penjelasannya kerap berisi
konteks Indonesia, yang menjadikan buku-buku itu segera akrab dengan benak pembacanya.

Dia juga kerap membicarakan hal-hal mengenai pembangunan berkelanjutan di dalam dan di
luar kampus. Pak Naya sangat aktif memberi pengajaran soal bagaimana analisis mengenai
dampak lingkungan dijalankan. Dia juga masuk ke dalam birokrasi, terutama di departemen
yang mengurusi pertambangan dan energi. Energi intelektualnya dicurahkan untuk
mendorong sektor yang tadinya terkenal sangat kotor menjadi lebih memperhatikan
lingkungan. Kebijakan-kebijakan yang dibuatnya menunjukkan rekam jejaknya yang jelas.

Belakangan, dia mengurusi perusahaan-perusahaan di luar sektor pertambangan dan energi,
dengan menjadi ketua Dewan Pertimbangan Proper. Dia selalu memberi masukan-masukan
yang bernas untuk mendorong kemajuan pengelolaan lingkungan. Dia tahu persis bahwa,
tanpa membuat perusahaan berubah, mustahil kondisi keberlanjutan yang dicita-citakan
Indonesia bisa dicapai.

Dalam sebuah seminar tentang pembangunan berkelanjutan pada 2013, Pak Naya
mendiskusikan soal skala dan kecepatan pengelolaan lingkungan yang diperlukan untuk
membalikkan kondisi di Indonesia masih cenderung destruktif. Dia kemudian bertutur soal
konsep ekonomi hijau, dan menegaskan bahwa ekonomi harus dibuat melek ekologi. Proses
ekonomi yang selama ini linier-yang berakhir di tempat sampah-harus diubah menjadi
siklikal, seperti proses-proses di alam, yang tak menghasilkan sampah sama sekali. Ekonomi
dalam konsep itu ditempatkan sebagai pelayan kepentingan sosial dan lingkungan, sehingga
keberlanjutan bisa diraih.

Kini, Pak Naya telah meninggalkan kita semua. Namun, jelas dia telah menunjukkan jalan
yang harus diambil oleh bangsa ini, bila kita semua ingin melanjutkan kehidupan. Dia telah
mengajarkan, memberi contoh, dan menginspirasi banyak sekali orang di Indonesia, sehingga
keberlanjutan tak lagi dianggap sebagai pemikiran subversif.

Keberlanjutan bukan berarti anti-pembangunan, melainkan pembangunan yang hakiki.
Dengan banyaknya orang yang mempercayai dan bekerja untuk itu, jelas bahwa kerja Pak
Naya akan terus dilanjutkan oleh generasi baru yang menapaki jejaknya. Tjahja itu tak akan
padam.

Anda mungkin juga menyukai