Anda di halaman 1dari 14

1

MATERIALITAS, RISIKO, dan STRATEGI AUDIT AWAL


MATERIALITAS
Materialitas merupakan dasar penerapan dasar auditing, terutama standar pekerjaan
lapangan dan standar pelaporan. Oleh karena itu, materialitas mempunyai pengaruh yang
mencakup semua aspek audit dalam audit atas laporan keuangan. SA Seksi 312 Risiko Audit dan
Materialitas Adit dalam Pelaksanaan Audit mengharuskan auditor untuk mempeertimbangkan
materialitas dalam (1) perencanaan audit, dan (2) penilaian terhadap kewajaran laporan keuangan
secara keseluruhan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia.

Konsep Materialitas
Financial Accounting Standard Board (FASB) mendefinisikan materialitas sebagai :
Besarnya suatu penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang, dengan
memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang yang
mengandalkan pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh penghapusan atau
salah saji tersebut.
Definisi diatas mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan keadaan-keadaan yang
berhubung dengan satuan usaha (perusahaan klien), dan informasi yang diperlukan oleh mereka
yang akan mengandalkan pada laporan keuangan yang telah diaudit. Karena tanggung jawab
menentukan apakah laporan keuangan salah saji secara material, auditor harus, berdasarkan
temuan salah saji yang material, menyampaikan hal itu kepada klien sehingga bisa dilakukan
tindakan koreksi.
Konsep materialitas mengakui bahwa beberapa hal, baik secara individual atau
keseluruha, adalah penting bagi kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip
prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Sedangkan beberapa hal lainnya adalah tidak
penting. Auditor mengikuti lima langkah yang saling terkait erat dalam menerapkan materialitas.


Langkah-Langkah Dalam Menerapkan Materialistas
- Merencanakan luas pengujian
Langkah 1 : Menetapkan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas
Langkah 2 : Mengalokasikan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas segmen-segmen
-Mengevaluasi hasil-hasil
Langkah 3 : Mengestimasi total salah saji dalam segmen
Langkah 4 : Memperkirakan salah saji gabungan
Langkah 5 : Membandingkan salah saji gabungan dengan pertimbangan pendahuluan atau yang
direvisi tetentang materialitas
Laporan keuangan mengandung salah saji material apabila laporan keuangan tersebut
mengandung salah saji yang dampaknya, secara individual atau keseluruhan, cukup signifikan
sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar, dalam semua hal
yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.Salah saji dapat
terjadi sebagai akibat dari kekeliruan atau kecurangan.
Istilah kekeliruan berarti salah saji atau penghilangan yang tidak disengaja jumlah atau
pengungkapan dalam laporan keuangan. Kekeliruan mencakup:
a. Kekeliruan dalam penerapan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia yang
berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan.
b. Estimasi akuntansi yang tidak masuk akal yang timbul dari kecerobohan atau salah tafsir
fakta
c. Kesalahan dalam pengumpulan atau pengolahan data yang menjadi sumber penyusunan
laporan keuangan atau pun penghilangan informasi yang seharusnya dibutuhkan
Dalam laporan audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat memberikan jaminan
(guarantee) bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan
auditan adalah akurat.
Mengapa Konsep Materialitas Penting dalam Audit atas Laporan keuangan?
Dalam laporan audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat memberikan jaminan
( guarantee ) bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan
auditan adalah akurat. Jika auditor diharuskan untuk memberikan jaminan mengenai keakuratan
laporan keuangan auditan, hal ini tidak mungkin dilakukan, karena akan memerlukan waktu dan
biaya yang jauh melebihi manfaat yang dihasilkan. Oleh karena itu, dalam audit atas laporan
keuangan, auditor memberikan keyakinan ( assurance ) berikut ini :
1. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam
laporan keuangan beserta pengungkapannya telahkas, digolongkan, dan dikompilasi.
2. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit
kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas
laporan keuangan auditan.
3. Auditor dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk pendapat ( atau memberikan
informasi, dalam hal terdapat perkecualian ), bahwa laporan keuangan sebagai
keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena
kekeliruan dan kecurangan.
Dengan demikian ada dua konsep yang melandasi keyakinan yang diberikanoleh auditor :
konsep materialitas dan konsep risiko audit. Konsep materialitas menunjukan seberapa besar
salah saji yangdapat diterima oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh
salah saji tersebut. Konsep risiko audit menunjukan tingkat risiko kegagalan auditor untuk
mengubah pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material.
Pertimbangan Awal tentang Materialitas
Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam perencanaan
auditnya. Penentuan materialitas ini, yang seringkali disebut dengan materialitas perencanaan,
mungkin dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan
kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena (1) kondisi yang melingkupi
berubah (2) informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya audit.
Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif berkaitan
dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan.
Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara
kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyebab yang menimbulkan
salah saji tersebut.
Berikut ini disajikan contoh pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan oleh
auditor dalam mempertimbangkan materialitas.
1. Hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan seperti:
a. Laba bersih sebelum pajak dalam laporan keuangan
b. Total aktiva dalam neraca
c. Total aktiva lancar dalam neraca
d. Total ekuitas pemegang saham dalam neraca
2. Faktor kualitatif seperti :
a. Kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar hukum
b. Kemungkinan terjadinya kecurangan
c. Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari bank yang
mengharuskan klien untuk mempertahankan beberapa ratiokeuangan pada tingkat
minimum tertentu.
d. Adanya gangguan dalam trend laba
e. Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan
Sebagai contoh, auditor dapat memutuskan bahwa kombinasi salah saji berjumlah 8 %
dari laba bersih sebelum pajak dipandang material untuk laporan laba-rugi, dengan
memperhatikan faktor kualitatif dalam salah saji tersebut. Oleh karena itu, jika kombinasi salah
saji kurang dari 3 %, auditor akan memandang sebagai salah saji yang tidak material, dengan
memperhatikan faktor kualitatif dalam salah saji tersebut. Salah saji berada diantara 3 % dan 8 %
memerlukan pertimbangan auditor untuk memutuskan materialitasnya. Jika misalnya, laba bersih
sebelum pajak yang dipakai sebagai jumlah kunci berjumlah Rp 100 juta, maka batas materialitas
(materiality border) untuk laporan laba-rugi berada dalam kisaran :
Rp 3.000.000 sampai Rp 8.000.000
Batas bawah dihitung 3% x Rp100.000.000 dan batas dihitung 8% x Rp 100.000.000. Auditor
dapat menerapkan cara yang sama dalam menentukan batas materialitas untuk total aktiva, aktiva
lancar, ekuitas pemegang saham dalam neraca. Contoh berikut ini menunjukan batas materialitas
yang ditentukan oleh auditor :
1. Untuk total aktiva dalam neraca : Rp 41 juta s.d Rp 100 juta
2. Untuk aktiva lancar : Rp 25 juta s.d Rp 60 juta
3. Untuk total ekuitas pemegang saham dalam neraca : Rp 15 juta s.d Rp 45 juta
Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat
berikut :
a. Ting kat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas lapoaran sebagai keseluruhan.
b.Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai
kesimpulan menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan.
Materialitas pada tingkat Laporan Keuangan
Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas. Pertama, auditor
menggunakan materialitas dalam perencanaan audit dan kedua, pada saat mengevaluasi bukti
audit dalam pelaksanan audit. Pada saat merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi
materialitas karena terdapat hubungan terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang
dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk
menyatakan kewajaran laporan keuangan.
Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi kekeliruan
atau kecurangan yang dampaknya, secara individual atau secaragabungan, sedemikian signifikan
sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan keuangan tersebut sesuai dengan prinsip
akuntansi berterima umum.
Dalam keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip
akuntansi berterima umum di Indonesia, penyimpangan dari fakta, atau penghilangan informasi
yang diperlukan.
Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat
materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Kenyataannya, setiap laporan keuangan
dapat memiliki dari satu tingkat materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materialitasnya dapat
dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba
bersih setelah pajak. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar,
modal kerja, atau modal saham.
Pertimbangan awal auditor tentang materialitas seringkali dibuat enam sampai dengan
sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut dapat didasarkan
atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat
didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan
perubahan terkini, seperti keadaan ekonomi umum dan trend industri.
Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh beberapa
panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik :
a. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5
% sampai 10 % dari laba sebelum pajak.
b. Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji
% sampai 1 % dari total aktiva.
c. Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1
% dari total pasiva.
d. Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji
% sampai 1 % dari pendapatan bruto.
Materialitas pada Tingkat Saldo akun
Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat
dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada timgkat
saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material. Saldo akun material
adalah besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan
jumlah salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan.
Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji
( overstatement ) dalam akun tersebut. Oleh krena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecil
dibandingkan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai risiko lebih saji.
Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat
kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh auditor, bahwa akun yang kelihatannya bersaldo tidak
material, dapat berisi kurang saji ( understatement ) yang melampaui materialitasnya.
Alokasi Materialitas laporan Keuangan ke Akun
Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya
salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun
tersebut. Sebagai contoh, salah saji lebih (overstatement) kemungkinan lebih besar terdapat
dalam sediaan dibandingkan dengan aktiva tetap, dan umumnya biaya untuk mengaudit sediaan
lebih mahal dibandingkan dengan biaya untuk mengaudit aktiva tetap.
Untuk menggambarkan alokasi materialitas tersebut, misalnya PT X memiliki komposisi
aktiva sebagai berikut :
Kas Rp 500.000
Piutang Usaha 1.500.000
Sediaan 3.000.000
Aktiva Tetap 5.000.000
Jumlah Aktiva Rp 10.000.000
Auditor memperkirakan salah saji dalam akun kas dan aktiva tetap kemungkinannya kecil
terjadi dan salah saji akun piutang usaha dan sediaan kemungkinan lebih banyak terjadi.
Berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan klien, auditor memperkirakan akun dengan sedikit
salah saji akan sangat murah biayanya untuk mengaudit dibandingkan dengan akun lain.
Misalnya jika prakiraan awal materialitas laporan keuangan adalah 1 % dari total aktiva, atau Rp
100.00, auditor tersebut dapat mempertimbangkan dua alternatif dalammengalokasikan
materialitas laporan keuangan ke akun secara individual sebagai berikut :
Alokasi Materialitas
Akun Alternatif A % Alternatif B %
Kas Rp 5.000 5 Rp 2.000 2
Piutang Usaha 15.000 15 18.000 18
Sediaan 30.000 30 50.000 50
Aktiva Tetap 50.000 50 30.000 30
Total Rp 100.000 100 Rp 100.000 100
6 Dalam alternatif A, materialitas dialokasikan secara proporsional kedalam setiap akun,
tanpa memperhatikan taksiran salah saji moneter dan biaya audit untuk mendeteksi salah saji
tersebut. Dalam alternatif B, alokasi materialitas lebih besar dilakukan kedalam akun piutang
usaha dan sediaan, yang diperkirakan lebih banyak salah sajinya dibandingkan dengan akun lain
dan biaya untuk mendeteksinya diperkirakan lebih besar.
Oleh karena itu, jumlah bukti yang diperlukan untuk akun-akun piutang usaha dan
sediaan tersebut berkurang, dibandingkan dengan alternatif A, karena terdapt hubungan terbalik
antara materialitas saldo akun dan bukti audit. Sebagai akibatnya, auditor tersebut secara
sederhana membiarkan proporsi yang lebih besar dari total salah saji, tetap berada dalam akun
yang memerlukan biaya yang mahal untuk mendeteksi salah saji
Alokasi taksiran awal materialitas dapat direvisi setelah dilaksanakannya pekerjaan
lapangan. Sebagai contoh, jika ditemukan hanya Rp 8.000 salah saji dalam verifikasi akun
piutang usaha, jumlah Rp 10.000 yang tidak terpakai dalam alternatif B dapat dialokasikan ke
akun sediaan.
Penggunaan Materialitas dalam Mengevaluasi Bukti Audit
Jika pada tahap perencanaan audit, auditor menaksir bahwa salah saji Rp 9.000.000
dipandang material untuk total aktiva, jumlah ini kemudian dipaka oleh auditor untuk
mengevaluasi bukti audit yang dikumpulkan dalam membuktikan berbagai asersi yang
terkandung dalam akun-akun aktiva dalam neraca. Misalnya, auditor kemudian menemukan
salah saji sebesar Rp 3.000.000 dalam akun sediaan. Auditor akan menjumlah berbagai
kekeliruan yang ditemukan dalam audit atas berbagai akun yang termasuk dalam kelompok
aktiva.
Misalnya, auditor mengumpulkan salah saji yang terdapat dalam akun-akun yang
termasuk dalam kelompok aktiva berikut ini :
Salah saji dalam akun Sediaan Rp 3.000.000
Salah saji dalam akun-akun aktiva lain 8.000.000
Jumlah salah saji Rp 11.000.000
Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh auditor tentang materialitas diatas :
1. Dengan berbagai alasan tertentu, auditor dapat menaikkan batas materialitas yang
ditentukan dari jumlah Rp 9.000.000 pada tahap perencanaan auditnya menjadi rp
11.000.000 untuk mengevaluasi bukti audit. Hal ini kemungkinan disebabkan jumlah
aktiva yang dipakai sebagai dasar penentuan materialitas pada tahap perencanaan
berbeda dengan jumlah aktiva yang terdapat dalam laporan keuangan akhir, sehingga
presentase materialitas diterapkan pda jumlah yang berbeda. Dalam contoh ini, auditor
memandang bahwa laporan keuangan tidak berisi salah saji material, karena adanya
gabungan salah saji sebesar Rp 11.000.000 tersebut, karena batas salah saji yang
digunakan untuk mengevaluasi bukti audit telah dinaikkan menjadi Rp 11.000.000.
2. Auditor berkesimpulan bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan tidak disajikan
secara wajar karena salah saji Rp 11.000.000 melebihi jumlah materialitas Rp
9.000.000. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan materialitas ini, auditor dapat
meyakinkan kliennya untuk melakukan koreksi atas jumlah salah saji yang terdapat
dalam akun-akun yang bersangkutan atau jika klien menolak untuk melakukan
koreksi,auditor mengubah pendapatnya dari pendapat wajar tanpa pengecualian menjadi
wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar.

HUBUNGAN ANTARA MATERIALITAS DENGAN BUKTI AUDIT
Materialitas merupakan satu diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pertimbangan
auditor tentang kecukupan ( kuantitas ) bukti audit. Dalam membuat generalisasi hubungan
antara materialitas dengan bukti audit, perbedaan istilah materialitas dan saldo akun material
harus tetap diperhatikan. Semakin rendah tingkat materialitas, semakin besar jumlah bukti yang
diperlukan ( hubungan terbalik ).
RISIKO AUDIT
Dalam perencanaan audit, auditor harus mempertimbangkan risiko audit. Menurut SA
Seksi 312 risiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit, risiko audit adalah risiko yang
terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya,
atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material.
Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin rendah risiko audit yang
auditor bersedia menanggungnya. Jika diinginkan tingkat kepastian 99 %, risiko audit yang
auditor bersedia menanggungnya adalah 1 %, sedangkan jika 95 % kepastian dipandang
mencukupi, risiko audit yang auditor bersedia menanggungnya adalah 5 %. Dalam audit atas
laporan keuangan peusahaan yang go public, auditor biasanya menetapakan risiko audit pada
tingkat yang rendah, mengingat banyaknya pemakai laporan audit, dibandingkan dengan
pemakai laporan audit perusahaan perorangan. Begitu juga jika auditor menghadapi perusahaan
yang mengalami kesulitan keuangan, risiko audit yang auditor bersedia untuk menanggungnya
adalah rendah.
Auditor merumuskan suatu pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan atas
dasar bukti yang diperoleh dari verifikasi asersi yang berkaitan dengan saldo akun secara
individual atau golongan transaksi. Tujuannya adalah membatasi risiko audit pada tingkat saldo
akun sedemikan rupa sehingga pada akhir proses audit, risiko audit dalam menyatakan pendapat
atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan berada pada tingkat yang rendah.
RISIKO AUDIT pada TINGKAT LAPORAN KEUANGAN dan TINGKAT
SALDO AKUN
Auditor tidak cukup hanya menentukan materialitas dengan pernyataan berikut ini :
Kami akan menerima bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar dan
tidak berisi salah saji material jika :
1. Laba bersih sebelum pajak tidak berisi salah saji lebih dari Rp 4.000.000
2. Total aktiva tidak mengandung salah saji lebih dari Rp 45.000.000
3. Aktiva lancar tidak mengandung salah saji lebih dari Rp 25.000.000
4. Ekuitas pemegang saham tidak mengandung salah saji lebih dari Rp
15.000.000
Auditor harus membuat pernyataan lebih lanjut berikut ini :
Kami akan menerima, pada tingkat risiko tertentu, bahwa laporan keuangan disajikan
secara wajar dan tidak berisi salah saji material jika :
1. Laba bersih sebelum pajak tidak berisi salah saji lebih dari Rp 4.000.000
2. Total aktiva tidak mengandung salah saji lebih dari Rp 45.000.000
3. Aktiva lancar tidak mengandung salah saji lebih dari Rp 25.000.000
4. Ekuitas pemegang saham tidak mengandung salah saji lebih dari Rp
15.000.000
Kenyataan bahwa auditor tidak dapat memberikan jaminan tentang ketepatan informasi
yang disajikan oleh klien dalam laporan keuangan mengharuskan auditor mempertimbangkan
baik materialitas maupun risiko auditrisiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak
memodivikasi pendapatnya sebagimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang
mengandung salah saji materil.
Risiko audit, seperti materialitas, dibagi menjadi dua bagian :
1. Risiko audit keseluruhan yang berkaitan dengan laporan keuangan sebagai keseluruhan
(sesuai dengan definisi risiko audit yang disajikan diatas).
2. Risiko audit individual yang berkaitan dengan setiap saldo akun individual yang
dicantumkan dalam laporan keuangan.
Risiko Audit Keseluruhan ( Overall Audit Risk )
Risiko audit dapat ditaksir secara kuantitatif atau kualitatif. Dalampenentuan risiko audit
keseluruhan, auditor juga menyatakan tingkat kepercayaan (level of confidence). Sebagai contoh,
jika auditor bersedia menanggung risiko audit 5 % bahwa ia akan menerima laporan keuangan
yang berisi salah saji material, hal ini akan berarti auditor juga 95 % yakin bahwa laporan
keuangan disajikan secara wajar sebagaimna pendapat wajar tanpa pengecualian yang diberikan
oleh auditor. Sepuluh persen risiko audit juga berarti juga 90 % tingkatkepercayaan. Risiko audit
merupakan pelengkap tingkat kepercayaan.
Risiko Audit Individual
Karena audit mencakup pemeriksaan terhadap akun-akun secara indivual, risiko audit
keseluruhan harus dialokasikan kepada akun-akun yang berkaitan.
Risiko audit individual perlu ditentukan untuk setiap akun karena akun tertentu seringkali
sangat penting karena besar saldonya dan/atau frekuensi transaksinya berubah. Dari pengalaman
audit di tahun sebelumnya, auditor dapat menaksir risiko audit atas akun tertentu.
Unsur Risiko Audit
Terdapat tiga unsur risiko audit :
1. Risiko Bawaan. Risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi
terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat kebijakan dan
prosedur pengendalian intern yang terkait.
2. Risiko Pengendalian. Risiko pengendalian adalah risiko terjadinya salah saji material dalam
suatu asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian
intern entitas.
3. Risiko Deteksi. Risiko deteksi adalah risiko sebagai akibat auditor tidak dapat mendeteksi
salah saji materialyang terdapat dalam suatu asersi.
Penggunaan Informasi Risiko Audit
Taksiran risiko audit pada tahap perencanaan audit dapat digunakan oleh auditor untuk
menetapkan jumlah bukti audit yang akan diperiksa untuk membuktikan kewajaran penyajian
saldo akun tertentu. Untuk itu, auditor menentukan risiko deteksi dari formula risiko deteksi dari
formula risiko audit berikut ini :
Risiko audit individual = risiko bawaan x risiko pengendalian x risiko deteksi
Dari formula tersebut, risiko deteksi dapat dihitung dengan formula berikut ini :
Risiko deteksi = Risiko audit individual
Risiko bawaan x Risiko pengendalian
10 Dari formula tersebut, risiko deteksi dihitung melalui tahap-tahap berikut ini :
1. Menetapkan risiko audit, risiko bawaan, dan risiko pengendalian secara individual
berdasarkan pertimbangan profesional auditor.
2. Melakukan penghitungan risiko deteksi sesuai dengan formula tersebutdiatas.
Contoh :
Dalam menaksir risiko deteksi dalam audit atas sediaan, auditor melakukan pertimbangan
berikut ini :
1. Berdasarkan pertimbangan auditor, ditemukan risiko audit individual untu akun
Sediaan pada tingkat 5 % ( karena risiko audit secara keseluruhan juga diterapkan
sebesar 5 % )
2. Berdasarkan pertimbangan auditor, ditemukan risiko bawaan pada tingkat 60 %,
karena akun Sediaan bersaldo besar, beberapa perhitungan rumit, frekuensi transaksi
yang berkaitan dengan akun Sediaan adalah tinggi.
3. Berdasarkan pertimbangan auditor, ditemukan risiko pengendalian sebesar 30 %
karena pengendalian klien efektif berdasarkan hasil pengujian pengendalian yang
dilakukan dalam audit tahun yang lalu.
Berdasarkan berbagai pertimbangan auditor tersebut diatas, risiko deteksi ditentukan
sebesar :
0,05 = 0,28 atau 28 %
0,60 x 0,30
Hubungan antar Unsur Risiko
Risiko bawaan dan risiko pengendalian berbeda dengan risiko deteksi. Kedua risiko yang
disebut terdahulu ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan,
sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan
auditor itu sendiri. Risiko deteksi mempunyai hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan dan
risiko pengendalian.
Semakin kecil risiko bawaan danr isiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin
besar risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besar adanya risiko bawaan dan
risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi yang dapat
diterima.



Hubungan antara Materialitas, Risiko Audit, dan Bukti Audit
Berbagai kemungkinan hubungan antara materialitas, risiko audit, dan bukti audit
digambarkan sebagai berikut :
1. Jika auditor mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat materialitas dikurangi, auditor
harus menambah jumlah bukti audit yang di kumpulkan.
2. Jika auditor mempertahankan tingkat materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti audit
yang dikumpulkan, risiko audit menjadi meningkat.
3. Jika auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit, auditor dapat menempuh salah satu
dari tiga cara berikut ini :
a. Menambah tingkat materialitas, sementara itu mempertahankan jumlah bukti audit yang
dikumpulkan.
b. Menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan, sementara itu tingkat materialitas tetap
dipertahankan.
c. Menambah sedikit jumlah bukti audit yang dikumpulkan dan tingkat materialitas secara
bersama-sama.
STRATEGI AUDIT AWAL
Strategi audit awal dibagi menjadi dua macam :
1. Pendekatan Terutama Substantif.
Dalam strategi audit ini, auditor mengumpulkan semua atau hampir semua bukti audit dengan
menggunakan pengujian substantif dan auditor sedikit meletakkan kepercayaan atau tidak
mempercayai pengendalian intern. Pada dasarnya ada tiga alasan mengapa auditor
menggunakan pendekatan ini :
a. Hanya terdapat sedikit ( jika ada ) kebijakan atau prosedur pengendalian intern yang
relevan dengan perikatan audit atas laporan keuangan.
b. Kebijakan dan prosedur pengendalian intern yang berkaitan dengan asersi untuk akun dan
golongan transaksi signifikan tidak efektif.
c. Peletakkan kepercayaan besar terhadap pengujian substantive lebih efisien untuk asersi
tertentu.



2. Pendekatan Risiko Pengendalian Rendah.
Dalam pendekatan ini, auditor meletakkan kepercayaan moderat atau pada tingkat
kepercayaan penuh terhadap pengendalian, dan sebagai akibatnya auditor hanya
melaksanakan sedikit pengujian substantif.
Unsur strategi Audit Awal
Dalam mengembangkan strategi audit awal untuk suatu asersi, auditor menetapkan empat
unsur berikut ini :
1. Tingkat risiko pengendalian taksiran yang direncanakan.
2. Luasnya pemahaman atas pengendalian intern yang harus diperoleh.
3. Pengujian pengendalian yang harus dilaksanakan untuk menaksir risiko
pengendalian.
4. Tingkat pengujian substantif yang direncanakan untuk mengurangi risiko
audit ke tingkat yang cukup rendah.

Anda mungkin juga menyukai