MATERIALITAS Materialitas merupakan dasar penerapan dasar auditing, terutama standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Oleh karena itu, materialitas mempunyai pengaruh yang mencakup semua aspek audit dalam audit atas laporan keuangan. SA Seksi 312 Risiko Audit dan Materialitas Adit dalam Pelaksanaan Audit mengharuskan auditor untuk mempeertimbangkan materialitas dalam (1) perencanaan audit, dan (2) penilaian terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia.
Konsep Materialitas Financial Accounting Standard Board (FASB) mendefinisikan materialitas sebagai : Besarnya suatu penghapusan atau salah saji informasi keuangan yang, dengan memperhitungkan situasinya, menyebabkan pertimbangan yang dilakukan oleh orang yang mengandalkan pada informasi tersebut akan berubah atau terpengaruh oleh penghapusan atau salah saji tersebut. Definisi diatas mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan keadaan-keadaan yang berhubung dengan satuan usaha (perusahaan klien), dan informasi yang diperlukan oleh mereka yang akan mengandalkan pada laporan keuangan yang telah diaudit. Karena tanggung jawab menentukan apakah laporan keuangan salah saji secara material, auditor harus, berdasarkan temuan salah saji yang material, menyampaikan hal itu kepada klien sehingga bisa dilakukan tindakan koreksi. Konsep materialitas mengakui bahwa beberapa hal, baik secara individual atau keseluruha, adalah penting bagi kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Sedangkan beberapa hal lainnya adalah tidak penting. Auditor mengikuti lima langkah yang saling terkait erat dalam menerapkan materialitas.
Langkah-Langkah Dalam Menerapkan Materialistas - Merencanakan luas pengujian Langkah 1 : Menetapkan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas Langkah 2 : Mengalokasikan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas segmen-segmen -Mengevaluasi hasil-hasil Langkah 3 : Mengestimasi total salah saji dalam segmen Langkah 4 : Memperkirakan salah saji gabungan Langkah 5 : Membandingkan salah saji gabungan dengan pertimbangan pendahuluan atau yang direvisi tetentang materialitas Laporan keuangan mengandung salah saji material apabila laporan keuangan tersebut mengandung salah saji yang dampaknya, secara individual atau keseluruhan, cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan laporan keuangan tidak disajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.Salah saji dapat terjadi sebagai akibat dari kekeliruan atau kecurangan. Istilah kekeliruan berarti salah saji atau penghilangan yang tidak disengaja jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan. Kekeliruan mencakup: a. Kekeliruan dalam penerapan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia yang berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan. b. Estimasi akuntansi yang tidak masuk akal yang timbul dari kecerobohan atau salah tafsir fakta c. Kesalahan dalam pengumpulan atau pengolahan data yang menjadi sumber penyusunan laporan keuangan atau pun penghilangan informasi yang seharusnya dibutuhkan Dalam laporan audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat memberikan jaminan (guarantee) bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan auditan adalah akurat. Mengapa Konsep Materialitas Penting dalam Audit atas Laporan keuangan? Dalam laporan audit atas laporan keuangan, auditor tidak dapat memberikan jaminan ( guarantee ) bagi klien atau pemakai laporan keuangan yang lain, bahwa laporan keuangan auditan adalah akurat. Jika auditor diharuskan untuk memberikan jaminan mengenai keakuratan laporan keuangan auditan, hal ini tidak mungkin dilakukan, karena akan memerlukan waktu dan biaya yang jauh melebihi manfaat yang dihasilkan. Oleh karena itu, dalam audit atas laporan keuangan, auditor memberikan keyakinan ( assurance ) berikut ini : 1. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa jumlah-jumlah yang disajikan dalam laporan keuangan beserta pengungkapannya telahkas, digolongkan, dan dikompilasi. 2. Auditor dapat memberikan keyakinan bahwa ia telah mengumpulkan bukti audit kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan. 3. Auditor dapat memberikan keyakinan, dalam bentuk pendapat ( atau memberikan informasi, dalam hal terdapat perkecualian ), bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan dan kecurangan. Dengan demikian ada dua konsep yang melandasi keyakinan yang diberikanoleh auditor : konsep materialitas dan konsep risiko audit. Konsep materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yangdapat diterima oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut. Konsep risiko audit menunjukan tingkat risiko kegagalan auditor untuk mengubah pendapatnya atas laporan keuangan yang sebenarnya berisi salah saji material. Pertimbangan Awal tentang Materialitas Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam perencanaan auditnya. Penentuan materialitas ini, yang seringkali disebut dengan materialitas perencanaan, mungkin dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi temuan audit karena (1) kondisi yang melingkupi berubah (2) informasi tambahan tentang klien dapat diperoleh selama berlangsungnya audit. Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan keuangan. Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah saji yang secara kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena penyebab yang menimbulkan salah saji tersebut. Berikut ini disajikan contoh pertimbangan kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan oleh auditor dalam mempertimbangkan materialitas. 1. Hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan seperti: a. Laba bersih sebelum pajak dalam laporan keuangan b. Total aktiva dalam neraca c. Total aktiva lancar dalam neraca d. Total ekuitas pemegang saham dalam neraca 2. Faktor kualitatif seperti : a. Kemungkinan terjadinya pembayaran yang melanggar hukum b. Kemungkinan terjadinya kecurangan c. Syarat yang tercantum dalam perjanjian penarikan kredit dari bank yang mengharuskan klien untuk mempertahankan beberapa ratiokeuangan pada tingkat minimum tertentu. d. Adanya gangguan dalam trend laba e. Sikap manajemen terhadap integritas laporan keuangan Sebagai contoh, auditor dapat memutuskan bahwa kombinasi salah saji berjumlah 8 % dari laba bersih sebelum pajak dipandang material untuk laporan laba-rugi, dengan memperhatikan faktor kualitatif dalam salah saji tersebut. Oleh karena itu, jika kombinasi salah saji kurang dari 3 %, auditor akan memandang sebagai salah saji yang tidak material, dengan memperhatikan faktor kualitatif dalam salah saji tersebut. Salah saji berada diantara 3 % dan 8 % memerlukan pertimbangan auditor untuk memutuskan materialitasnya. Jika misalnya, laba bersih sebelum pajak yang dipakai sebagai jumlah kunci berjumlah Rp 100 juta, maka batas materialitas (materiality border) untuk laporan laba-rugi berada dalam kisaran : Rp 3.000.000 sampai Rp 8.000.000 Batas bawah dihitung 3% x Rp100.000.000 dan batas dihitung 8% x Rp 100.000.000. Auditor dapat menerapkan cara yang sama dalam menentukan batas materialitas untuk total aktiva, aktiva lancar, ekuitas pemegang saham dalam neraca. Contoh berikut ini menunjukan batas materialitas yang ditentukan oleh auditor : 1. Untuk total aktiva dalam neraca : Rp 41 juta s.d Rp 100 juta 2. Untuk aktiva lancar : Rp 25 juta s.d Rp 60 juta 3. Untuk total ekuitas pemegang saham dalam neraca : Rp 15 juta s.d Rp 45 juta Dalam perencanaan suatu audit, auditor harus menetapkan materialitas pada dua tingkat berikut : a. Ting kat laporan keuangan, karena pendapat auditor atas lapoaran sebagai keseluruhan. b.Tingkat saldo akun, karena auditor memverifikasi saldo akun dalam mencapai kesimpulan menyeluruh atas kewajaran laporan keuangan. Materialitas pada tingkat Laporan Keuangan Auditor menggunakan dua cara dalam menerapkan materialitas. Pertama, auditor menggunakan materialitas dalam perencanaan audit dan kedua, pada saat mengevaluasi bukti audit dalam pelaksanan audit. Pada saat merencanakan audit, auditor perlu membuat estimasi materialitas karena terdapat hubungan terbalik antara jumlah dalam laporan keuangan yang dipandang material oleh auditor dengan jumlah pekerjaan audit yang diperlukan untuk menyatakan kewajaran laporan keuangan. Laporan keuangan mengandung salah saji material jika laporan tersebut berisi kekeliruan atau kecurangan yang dampaknya, secara individual atau secaragabungan, sedemikian signifikan sehingga mencegah penyajian secara wajar laporan keuangan tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Dalam keadaan ini, salah saji dapat terjadi sebagai akibat penerapan secara keliru prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, penyimpangan dari fakta, atau penghilangan informasi yang diperlukan. Dalam perencanaan audit, auditor harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu tingkat materialitas yang berkaitan dengan laporan keuangan. Kenyataannya, setiap laporan keuangan dapat memiliki dari satu tingkat materialitas. Untuk laporan laba-rugi, materialitasnya dapat dihubungkan dengan total pendapatan, laba bersih usaha, laba bersih sebelum pajak, atau laba bersih setelah pajak. Untuk neraca, materialitas dapat didasarkan pada total aktiva, aktiva lancar, modal kerja, atau modal saham. Pertimbangan awal auditor tentang materialitas seringkali dibuat enam sampai dengan sembilan bulan sebelum tanggal neraca. Oleh karena itu, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas data laporan keuangan yang dibuat tahunan. Sebagai alternatif, pertimbangan tersebut dapat didasarkan atas hasil keuangan satu tahun atau lebih yang telah lalu, yang disesuaikan dengan perubahan terkini, seperti keadaan ekonomi umum dan trend industri. Sampai dengan saat ini, tidak terdapat panduan resmi yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tentang ukuran kuantitatif materialitas. Berikut ini diberikan contoh beberapa panduan kuantitatif yang digunakan dalam praktik : a. Laporan keuangan dipandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 5 % sampai 10 % dari laba sebelum pajak. b. Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji % sampai 1 % dari total aktiva. c. Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji 1 % dari total pasiva. d. Laporan keuangan di pandang mengandung salah saji material jika terdapat salah saji % sampai 1 % dari pendapatan bruto. Materialitas pada Tingkat Saldo akun Materialitas pada tingkat saldo akun adalah salah saji minimum yang mungkin terdapat dalam saldo akun yang dipandang sebagai salah saji material. Konsep materialitas pada timgkat saldo akun tidak boleh dicampuradukkan dengan istilah saldo akun material. Saldo akun material adalah besarnya saldo akun yang tercatat, sedangkan konsep materialitas berkaitan dengan jumlah salah saji yang dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan. Saldo suatu akun yang tercatat umumnya mencerminkan batas atas lebih saji ( overstatement ) dalam akun tersebut. Oleh krena itu, akun dengan saldo yang jauh lebih kecil dibandingkan materialitas seringkali disebut sebagai tidak material mengenai risiko lebih saji. Namun, tidak ada batas jumlah kurang saji dalam suatu akun dengan saldo tercatat yang sangat kecil. Oleh karena itu, harus disadari oleh auditor, bahwa akun yang kelihatannya bersaldo tidak material, dapat berisi kurang saji ( understatement ) yang melampaui materialitasnya. Alokasi Materialitas laporan Keuangan ke Akun Dalam melakukan alokasi, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan terjadinya salah saji dalam akun tertentu dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memverifikasi akun tersebut. Sebagai contoh, salah saji lebih (overstatement) kemungkinan lebih besar terdapat dalam sediaan dibandingkan dengan aktiva tetap, dan umumnya biaya untuk mengaudit sediaan lebih mahal dibandingkan dengan biaya untuk mengaudit aktiva tetap. Untuk menggambarkan alokasi materialitas tersebut, misalnya PT X memiliki komposisi aktiva sebagai berikut : Kas Rp 500.000 Piutang Usaha 1.500.000 Sediaan 3.000.000 Aktiva Tetap 5.000.000 Jumlah Aktiva Rp 10.000.000 Auditor memperkirakan salah saji dalam akun kas dan aktiva tetap kemungkinannya kecil terjadi dan salah saji akun piutang usaha dan sediaan kemungkinan lebih banyak terjadi. Berdasarkan pengalaman sebelumnya dengan klien, auditor memperkirakan akun dengan sedikit salah saji akan sangat murah biayanya untuk mengaudit dibandingkan dengan akun lain. Misalnya jika prakiraan awal materialitas laporan keuangan adalah 1 % dari total aktiva, atau Rp 100.00, auditor tersebut dapat mempertimbangkan dua alternatif dalammengalokasikan materialitas laporan keuangan ke akun secara individual sebagai berikut : Alokasi Materialitas Akun Alternatif A % Alternatif B % Kas Rp 5.000 5 Rp 2.000 2 Piutang Usaha 15.000 15 18.000 18 Sediaan 30.000 30 50.000 50 Aktiva Tetap 50.000 50 30.000 30 Total Rp 100.000 100 Rp 100.000 100 6 Dalam alternatif A, materialitas dialokasikan secara proporsional kedalam setiap akun, tanpa memperhatikan taksiran salah saji moneter dan biaya audit untuk mendeteksi salah saji tersebut. Dalam alternatif B, alokasi materialitas lebih besar dilakukan kedalam akun piutang usaha dan sediaan, yang diperkirakan lebih banyak salah sajinya dibandingkan dengan akun lain dan biaya untuk mendeteksinya diperkirakan lebih besar. Oleh karena itu, jumlah bukti yang diperlukan untuk akun-akun piutang usaha dan sediaan tersebut berkurang, dibandingkan dengan alternatif A, karena terdapt hubungan terbalik antara materialitas saldo akun dan bukti audit. Sebagai akibatnya, auditor tersebut secara sederhana membiarkan proporsi yang lebih besar dari total salah saji, tetap berada dalam akun yang memerlukan biaya yang mahal untuk mendeteksi salah saji Alokasi taksiran awal materialitas dapat direvisi setelah dilaksanakannya pekerjaan lapangan. Sebagai contoh, jika ditemukan hanya Rp 8.000 salah saji dalam verifikasi akun piutang usaha, jumlah Rp 10.000 yang tidak terpakai dalam alternatif B dapat dialokasikan ke akun sediaan. Penggunaan Materialitas dalam Mengevaluasi Bukti Audit Jika pada tahap perencanaan audit, auditor menaksir bahwa salah saji Rp 9.000.000 dipandang material untuk total aktiva, jumlah ini kemudian dipaka oleh auditor untuk mengevaluasi bukti audit yang dikumpulkan dalam membuktikan berbagai asersi yang terkandung dalam akun-akun aktiva dalam neraca. Misalnya, auditor kemudian menemukan salah saji sebesar Rp 3.000.000 dalam akun sediaan. Auditor akan menjumlah berbagai kekeliruan yang ditemukan dalam audit atas berbagai akun yang termasuk dalam kelompok aktiva. Misalnya, auditor mengumpulkan salah saji yang terdapat dalam akun-akun yang termasuk dalam kelompok aktiva berikut ini : Salah saji dalam akun Sediaan Rp 3.000.000 Salah saji dalam akun-akun aktiva lain 8.000.000 Jumlah salah saji Rp 11.000.000 Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh auditor tentang materialitas diatas : 1. Dengan berbagai alasan tertentu, auditor dapat menaikkan batas materialitas yang ditentukan dari jumlah Rp 9.000.000 pada tahap perencanaan auditnya menjadi rp 11.000.000 untuk mengevaluasi bukti audit. Hal ini kemungkinan disebabkan jumlah aktiva yang dipakai sebagai dasar penentuan materialitas pada tahap perencanaan berbeda dengan jumlah aktiva yang terdapat dalam laporan keuangan akhir, sehingga presentase materialitas diterapkan pda jumlah yang berbeda. Dalam contoh ini, auditor memandang bahwa laporan keuangan tidak berisi salah saji material, karena adanya gabungan salah saji sebesar Rp 11.000.000 tersebut, karena batas salah saji yang digunakan untuk mengevaluasi bukti audit telah dinaikkan menjadi Rp 11.000.000. 2. Auditor berkesimpulan bahwa laporan keuangan sebagai keseluruhan tidak disajikan secara wajar karena salah saji Rp 11.000.000 melebihi jumlah materialitas Rp 9.000.000. Oleh karena itu, berdasarkan pertimbangan materialitas ini, auditor dapat meyakinkan kliennya untuk melakukan koreksi atas jumlah salah saji yang terdapat dalam akun-akun yang bersangkutan atau jika klien menolak untuk melakukan koreksi,auditor mengubah pendapatnya dari pendapat wajar tanpa pengecualian menjadi wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar.
HUBUNGAN ANTARA MATERIALITAS DENGAN BUKTI AUDIT Materialitas merupakan satu diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pertimbangan auditor tentang kecukupan ( kuantitas ) bukti audit. Dalam membuat generalisasi hubungan antara materialitas dengan bukti audit, perbedaan istilah materialitas dan saldo akun material harus tetap diperhatikan. Semakin rendah tingkat materialitas, semakin besar jumlah bukti yang diperlukan ( hubungan terbalik ). RISIKO AUDIT Dalam perencanaan audit, auditor harus mempertimbangkan risiko audit. Menurut SA Seksi 312 risiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit, risiko audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji material. Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin rendah risiko audit yang auditor bersedia menanggungnya. Jika diinginkan tingkat kepastian 99 %, risiko audit yang auditor bersedia menanggungnya adalah 1 %, sedangkan jika 95 % kepastian dipandang mencukupi, risiko audit yang auditor bersedia menanggungnya adalah 5 %. Dalam audit atas laporan keuangan peusahaan yang go public, auditor biasanya menetapakan risiko audit pada tingkat yang rendah, mengingat banyaknya pemakai laporan audit, dibandingkan dengan pemakai laporan audit perusahaan perorangan. Begitu juga jika auditor menghadapi perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan, risiko audit yang auditor bersedia untuk menanggungnya adalah rendah. Auditor merumuskan suatu pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan atas dasar bukti yang diperoleh dari verifikasi asersi yang berkaitan dengan saldo akun secara individual atau golongan transaksi. Tujuannya adalah membatasi risiko audit pada tingkat saldo akun sedemikan rupa sehingga pada akhir proses audit, risiko audit dalam menyatakan pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan berada pada tingkat yang rendah. RISIKO AUDIT pada TINGKAT LAPORAN KEUANGAN dan TINGKAT SALDO AKUN Auditor tidak cukup hanya menentukan materialitas dengan pernyataan berikut ini : Kami akan menerima bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar dan tidak berisi salah saji material jika : 1. Laba bersih sebelum pajak tidak berisi salah saji lebih dari Rp 4.000.000 2. Total aktiva tidak mengandung salah saji lebih dari Rp 45.000.000 3. Aktiva lancar tidak mengandung salah saji lebih dari Rp 25.000.000 4. Ekuitas pemegang saham tidak mengandung salah saji lebih dari Rp 15.000.000 Auditor harus membuat pernyataan lebih lanjut berikut ini : Kami akan menerima, pada tingkat risiko tertentu, bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar dan tidak berisi salah saji material jika : 1. Laba bersih sebelum pajak tidak berisi salah saji lebih dari Rp 4.000.000 2. Total aktiva tidak mengandung salah saji lebih dari Rp 45.000.000 3. Aktiva lancar tidak mengandung salah saji lebih dari Rp 25.000.000 4. Ekuitas pemegang saham tidak mengandung salah saji lebih dari Rp 15.000.000 Kenyataan bahwa auditor tidak dapat memberikan jaminan tentang ketepatan informasi yang disajikan oleh klien dalam laporan keuangan mengharuskan auditor mempertimbangkan baik materialitas maupun risiko auditrisiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodivikasi pendapatnya sebagimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung salah saji materil. Risiko audit, seperti materialitas, dibagi menjadi dua bagian : 1. Risiko audit keseluruhan yang berkaitan dengan laporan keuangan sebagai keseluruhan (sesuai dengan definisi risiko audit yang disajikan diatas). 2. Risiko audit individual yang berkaitan dengan setiap saldo akun individual yang dicantumkan dalam laporan keuangan. Risiko Audit Keseluruhan ( Overall Audit Risk ) Risiko audit dapat ditaksir secara kuantitatif atau kualitatif. Dalampenentuan risiko audit keseluruhan, auditor juga menyatakan tingkat kepercayaan (level of confidence). Sebagai contoh, jika auditor bersedia menanggung risiko audit 5 % bahwa ia akan menerima laporan keuangan yang berisi salah saji material, hal ini akan berarti auditor juga 95 % yakin bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sebagaimna pendapat wajar tanpa pengecualian yang diberikan oleh auditor. Sepuluh persen risiko audit juga berarti juga 90 % tingkatkepercayaan. Risiko audit merupakan pelengkap tingkat kepercayaan. Risiko Audit Individual Karena audit mencakup pemeriksaan terhadap akun-akun secara indivual, risiko audit keseluruhan harus dialokasikan kepada akun-akun yang berkaitan. Risiko audit individual perlu ditentukan untuk setiap akun karena akun tertentu seringkali sangat penting karena besar saldonya dan/atau frekuensi transaksinya berubah. Dari pengalaman audit di tahun sebelumnya, auditor dapat menaksir risiko audit atas akun tertentu. Unsur Risiko Audit Terdapat tiga unsur risiko audit : 1. Risiko Bawaan. Risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak terdapat kebijakan dan prosedur pengendalian intern yang terkait. 2. Risiko Pengendalian. Risiko pengendalian adalah risiko terjadinya salah saji material dalam suatu asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. 3. Risiko Deteksi. Risiko deteksi adalah risiko sebagai akibat auditor tidak dapat mendeteksi salah saji materialyang terdapat dalam suatu asersi. Penggunaan Informasi Risiko Audit Taksiran risiko audit pada tahap perencanaan audit dapat digunakan oleh auditor untuk menetapkan jumlah bukti audit yang akan diperiksa untuk membuktikan kewajaran penyajian saldo akun tertentu. Untuk itu, auditor menentukan risiko deteksi dari formula risiko deteksi dari formula risiko audit berikut ini : Risiko audit individual = risiko bawaan x risiko pengendalian x risiko deteksi Dari formula tersebut, risiko deteksi dapat dihitung dengan formula berikut ini : Risiko deteksi = Risiko audit individual Risiko bawaan x Risiko pengendalian 10 Dari formula tersebut, risiko deteksi dihitung melalui tahap-tahap berikut ini : 1. Menetapkan risiko audit, risiko bawaan, dan risiko pengendalian secara individual berdasarkan pertimbangan profesional auditor. 2. Melakukan penghitungan risiko deteksi sesuai dengan formula tersebutdiatas. Contoh : Dalam menaksir risiko deteksi dalam audit atas sediaan, auditor melakukan pertimbangan berikut ini : 1. Berdasarkan pertimbangan auditor, ditemukan risiko audit individual untu akun Sediaan pada tingkat 5 % ( karena risiko audit secara keseluruhan juga diterapkan sebesar 5 % ) 2. Berdasarkan pertimbangan auditor, ditemukan risiko bawaan pada tingkat 60 %, karena akun Sediaan bersaldo besar, beberapa perhitungan rumit, frekuensi transaksi yang berkaitan dengan akun Sediaan adalah tinggi. 3. Berdasarkan pertimbangan auditor, ditemukan risiko pengendalian sebesar 30 % karena pengendalian klien efektif berdasarkan hasil pengujian pengendalian yang dilakukan dalam audit tahun yang lalu. Berdasarkan berbagai pertimbangan auditor tersebut diatas, risiko deteksi ditentukan sebesar : 0,05 = 0,28 atau 28 % 0,60 x 0,30 Hubungan antar Unsur Risiko Risiko bawaan dan risiko pengendalian berbeda dengan risiko deteksi. Kedua risiko yang disebut terdahulu ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan, sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh keputusan auditor itu sendiri. Risiko deteksi mempunyai hubungan yang terbalik dengan risiko bawaan dan risiko pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan danr isiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin besar risiko deteksi yang dapat diterima. Sebaliknya, semakin besar adanya risiko bawaan dan risiko pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi yang dapat diterima.
Hubungan antara Materialitas, Risiko Audit, dan Bukti Audit Berbagai kemungkinan hubungan antara materialitas, risiko audit, dan bukti audit digambarkan sebagai berikut : 1. Jika auditor mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat materialitas dikurangi, auditor harus menambah jumlah bukti audit yang di kumpulkan. 2. Jika auditor mempertahankan tingkat materialitas konstan dan mengurangi jumlah bukti audit yang dikumpulkan, risiko audit menjadi meningkat. 3. Jika auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit, auditor dapat menempuh salah satu dari tiga cara berikut ini : a. Menambah tingkat materialitas, sementara itu mempertahankan jumlah bukti audit yang dikumpulkan. b. Menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan, sementara itu tingkat materialitas tetap dipertahankan. c. Menambah sedikit jumlah bukti audit yang dikumpulkan dan tingkat materialitas secara bersama-sama. STRATEGI AUDIT AWAL Strategi audit awal dibagi menjadi dua macam : 1. Pendekatan Terutama Substantif. Dalam strategi audit ini, auditor mengumpulkan semua atau hampir semua bukti audit dengan menggunakan pengujian substantif dan auditor sedikit meletakkan kepercayaan atau tidak mempercayai pengendalian intern. Pada dasarnya ada tiga alasan mengapa auditor menggunakan pendekatan ini : a. Hanya terdapat sedikit ( jika ada ) kebijakan atau prosedur pengendalian intern yang relevan dengan perikatan audit atas laporan keuangan. b. Kebijakan dan prosedur pengendalian intern yang berkaitan dengan asersi untuk akun dan golongan transaksi signifikan tidak efektif. c. Peletakkan kepercayaan besar terhadap pengujian substantive lebih efisien untuk asersi tertentu.
2. Pendekatan Risiko Pengendalian Rendah. Dalam pendekatan ini, auditor meletakkan kepercayaan moderat atau pada tingkat kepercayaan penuh terhadap pengendalian, dan sebagai akibatnya auditor hanya melaksanakan sedikit pengujian substantif. Unsur strategi Audit Awal Dalam mengembangkan strategi audit awal untuk suatu asersi, auditor menetapkan empat unsur berikut ini : 1. Tingkat risiko pengendalian taksiran yang direncanakan. 2. Luasnya pemahaman atas pengendalian intern yang harus diperoleh. 3. Pengujian pengendalian yang harus dilaksanakan untuk menaksir risiko pengendalian. 4. Tingkat pengujian substantif yang direncanakan untuk mengurangi risiko audit ke tingkat yang cukup rendah.