KEPANITERAAN KLINIK DERMATOVENEREOLOGI RUMAH SAKIT TNI-AL Dr. MINTOHARDJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 2 JUNI 2014 5 JULI 2014
1
FIXED DRUG ERUPTION PADA DAERAH GENITALIA Boy Sandy Sunardhi 1 , Suswardana 2
1 Dokter Muda Fakultas Kedokteran Trisakti di SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Penyakit Kelamin RSAL dr. Mintohardjo 2 SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Penyakit Kelamin RSAL dr. Mintohardjo
PENDAHULUAN Fixed drug eruption merupakan salah satu bagian dari erupsi obat alergi. Fixed drug eruption (FDE) merupakan reaksi hipersensitivitas yang ditandai oleh satu atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lesi bervariasi dari beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter, juga dijumpai adanya plak, bulla, erosi, yang disebabkan obat khusus atau bahan kimia yang timbul pada tempat yang sama sehingga terjadi erupsi obat yang berulang. (1) Fixed drug eruption biasanya muncul secara soliter, eritem, berwarna merah menyala atau berbentuk makula dengan warna merah yang mungkin masuk ke ciri plak edema; lesi tipe bulla mungkin muncul. Fixed drug eruption lebih sering ditemukan pada regio genitalia dan area perianal, meskipun semua lesi kulit dari fixed drug eruption dapat terjadi pada bagian kulit manapun. Beberapa pasien dapat memiliki keluhan seperti nyeri, terbakar, dan beberapa mungkin mengalami demam, malaise, dan gejala gejala pada abdomen. (2,3) Fixed drug eruption dimulai dari 30 menit hingga 8 sampai 16 jam setelah menelan obat. Setelah awal fase akut yang bertahan selama beberapa hari sampai berminggu- minggu, dan meninggalkan warna abuabu yang tersisa atau warna yang hiperpigmentasi. Pada kejadian 2
yang berulang, lesi tidak hanya timbul di daerah yang sama tetapi lesi yang baru juga biasanya muncul. (2) Lebih dari 100 obat obatan telah terbukti dapat menyebabkan FDE, termasuk didalamnya Ibuprofen, sulfonamide, naproxen, dan tetrasiklin. Sebuah tes provokasi dengan obat yang dicurigai dapat menjadi sangat berguna dalam menentukan diagnosis. (2)
EPIDEMIOLOGI Sekitar 10% fixed drug eruption terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda pernah dilaporkan adalah 8 bulan dan usia tertua adalah 87 tahun. Kajian dari NOEGROHOWATI (1999) mendapatkan fixed drug eruption (63%), sebagai manifestasi klinis dari erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi dan anak, disusul dengan erupsi eksematosa (3%) dan urtikaria (12%). Jumlah kasus terus bertambah seiring meningkatnya usia, hal tersebut mungkin disebabkan pajanan obat yang terus bertambah. Fixed drug eruption dapat mengenai pria dan wanita. Usia rata-rata dijumpai pada pria 30 tahun dan wanita 31 tahun. (4)
ETIOLOGI Dalam evaluasi pasien dengan riwayat reaksi obat merugikan (adverse drug reactions/ADRs), menjadi hal yang penting untuk mengetahui riwayat minum obat pasien secara detail, termasuk menggunakan pengobatan herbal maupun naturopati. Obat yang baru digunakan selama 6 minggu terakhir adalah agen penyebab yang potensial untuk kebanyakan erupsi pada kulit, sebagaimana dengan obat yang digunakan secara intermitten. Lebih dari 100 obat obatan telah terbukti dapat menyebabkan fixed drug eruption, termasuk di dalamnya ibuprofen, sulfonamid, naproxen, 3
Kebanyakan dari obat yang dapat menyebabkan fixed drug eruption termasuk dalam daftar pada tabel berikut :
Obat obat yang dapat menyebabkan fixed drug eruption (dikutip dari kepustakaan 6)
PATOGENESIS Patogenesis fixed drug reaction sampai saat ini belum diketahui pasti, diduga karena reaksi imunologi. Berdasarkan mekanisme imunologi yang terjadi pada reaksi obat dapat berupa IgE mediated drug eruption, immunecomplex dependent drug reaction, cytotoxic drug induced reaction dan cell mediated reaction. (4) Penelitian Alanko dkk (1992) membuktikan bahwa pada lesi fixed drug eruption terjadi peningkatan kadar histamin dan komplemen yang sangat bermakna (200-640 nMol/L). Keadaan ini diduga sebagai penyebab timbulnya reaksi eritema, lepuh dan rasa gatal. (4) Visa dkk (1987) melakukan penelitian untuk mengetahui sel imunokompeten pada fixed drug 4
eruption dengan teknik imunoperoksidase. Ternyata 60-80% sel infiltrate pada fixed drug eruption adalah sel limfosit T (T4 dan T8). Terlihat pula peningkatan sel mast sebesar 5-10% serta ditemukan HLA-DR pada limfosit T (limfosit aktif) yang ada di dermis. Keadaan ini sama dengan lesi pada hipersensitivitas tipe lambat. Limfosit T yang menetap dilesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi lesi pada tempat yang sama. Keratosit pada lesi kulit menunjukkna peningkatan ekspresi ICAM 1 dan HLA DR dan peningkatan ekspresi ICAM 1 ini menjelaskan migrasi limfosit T ke sel epidermis dan mengakibatkan kerusakan. (4) Visa dkk juga menyatakan bahwa mekanisme imunologi bukan satu-satunya penyebab kelainan ini, akan tetapi faktor genetik turut mendasari terjadinya fixed drug eruption. Keadaan ini dapat dibuktikan dengan terjadinya kasus fixed drug eruption dalam satu keluarga yang menunjukkan kesamaan pada HLA B12. (4)
MANIFESTASI KLINIS Fixed drug eruption biasanya muncul secara soliter, eritem, berwarna merah menyala atau berbentuk makula dengan warna merah yang mungkin masuk ke ciri plak edema ; lesi tipe bulla mungkin muncul. fixed drug eruption lebih sering ditemukan pada regio genitalia dan area perianal, meskipun semua lesi kulit dari fixed drug eruption dapat terjadi pada bagian kulit manapun. Beberapa pasien dapat memiliki keluhan seperti terbakar, dan beberapa mungkin mengalami demam, malaise, dan gejala-gejala pada abdomen. Setelah awal fase akut yang bertahan selama beberapa hari sampai berminggu- minggu, warna abu abu yang tersisa atau warna yang hiperpigmentasi. Pada kejadian yang berulang , lesi tidak hanya timbul di daerah yang sama tetapi lesi yang baru juga biasanya muncul. (2,3,5)
5
Gambar 1 Fixed drug eruption pada lutut 2
Gambar 2 Alergi penophtalein, daerah kehitam-hitaman, eritema yang menutupi seluruh daerah selangkangan, suprapubik, dan paha atas 3
Gambar 3 Plak edema pada daerah periorbital akibat tetrasiklin 3
DIAGNOSIS Anamnesis Kelainan iatrogenik dapat dijelaskan dengan mudah untuk membedakan penyakit ini dengan jenis penyakit lainnya, meskiput agak mirip dengan banyak penyakit infeksi atau idiopatik. Penyebab lesi akibat obat harus diperkirakan dalam differensial diagnosis untuk 6
membedakan dari berbagai penyakit dermatologik, khususnya apabila gejala atau lesi yang muncul atipikal. . Beberapa pasien dapat memiliki keluhan seperti terbakar, dan beberapa mungkin mengalami demam, malaise, dan gejala-gejala pada abdomen. FDE (fixed drug eruption) dapat bekembang dimulai dari 30 menit hingga 8 sampai 16 jam setelah menelan obat. Pada kejadian yang berulang, lesi tidak hanya timbul di daerah yang sama tetapi lesi yang baru juga biasanya muncul.
Diagnosis dan penilaian dari penyebabnya juga termasuk didalamnya analisis dari waktu terpaparnya dengan obat dan onset reaksi, reaksi dengan obat yang dilanjutkan atau dihentikan, waktu dari erupsi yang rekuren, riwayat dari respon yang sama dengan obat obatan, dan riwayat sebelumnya yang memberikan reaksi pada jenis obat yang sama. Investigasi untuk mengeluarkan penyebab yang bukan disebabkan oleh obat sepertinya cukup menolong. (2,5,7) Pemeriksaan Fisis Fixed drug eruption biasanya muncul secara soliter, eritem, berwarna merah menyala atau berbentuk makula dengan warna merah dan gatal yang mungkin masuk ke ciri plak edema, lesi tipe bulla mungkin muncul. Erupsi yang muncul dapat memiliki bentuk morbiliform, scarlatiniform atau seperti eritema multiform; urtikaria, nodular atau lesi ekzematous yang lebih jarang muncul. sebuah bulla yang multifokal dari fixed drug eruption yang diakibatkan oleh asam mefenamat dapat menyerupai lesi yang timbul pada eritema multiform. (2,5)
7
Gambar 4 Fixed Drug Eruption 8
Fixed drug eruption lebih sering ditemukan pada regio tangan dan kaki, genitalia dan area perianal, meskipun semua lesi kulit dari fixed drug eruption dapat terjadi pada bagian kulit manapun. Lesi pada perioral maupun periorbital dapat pula muncul. Pada kasus dengan fixed drug reaction yang terisolasi lesinya hanya pada daerah genital laki-laki (biasanya daerah glans penis), obat yang paling sering menyebabkannya adalah cotrymoxazole, tetracycline dan ampicillin. Pigmentasi dari lidah dapat muncul sebagai bentuk fixed drug reaction pada penderita pecandu heroin. Sebagaimana proses penyembuhan berlangsung, krusta dan terbentuknya skuama diikuti dengan terjadinya pigmentasi yang mungkin menetap dan mungkin meluas. Setelah awal fase akut yang bertahan selama beberapa hari sampai berminggu- minggu, warna abu abu yang tersisa atau warna yang hiperpigmentasi. (2,8)
8
Pemeriksaan Penunjang (2,4,6,9) Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis : 1. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis banding. (4,8)
Gambar 5 gambaran histopatologi fixed drug eruption 9
2. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya. Reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita dalam waktu setengah jam setelah penempelan. Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam prakteknya jarang ditemui. Tidak dianjurkan melakukan uji tempel selama erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya. Berdasarkan pengalaman para peneliti, uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda. (4)
Khusus untuk fixed drug reaction, Alanko (1994) menggunakan cara uji tempel yang agak berbeda. Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin atau etanol 70% diaplikasikan secara terbuka pada bekas lesi dan punggung penderita. Observasi dilakukan dalam 24 jam pertama, dan dianggap positif bila terdapat eritema yang jelas bertahan selama minimal 6 jam. Kalau cara ini tidak memungkinkan untuk dilaksanakan dianjurkan uji tempel tertutup biasa dengan pembacaan pertama setelah penempelan 24 jam.
Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan hasil yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan penyebab meskipun peranannya masih kontroversi. 9
Metode uji tempel masih memerlukan banyak perbaikan, diantaranya dengan menggiatkan penelitian tentang konsentrasi yang sesuai untuk obat, vehikulum yang tepat dan menentuan metabolisme dikulit. (4) 3. Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk memastikan penyebab. Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena risiko yang mungkin ditimbulkannya, maka uji ini harus dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih. (4)
Selain itu, perubahan hepatik, renal, persendian, respiratorik, hematologik dan neurologik seharusnya dapat diamati, dan apabila ada gejala sistemik atau tanda yang dapat diinvestigasi, seperti biasanya deteksi melalui pemeriksaan darah lengkap, liver dan tes fungsi ginjal serta analisis urin tetap dilakukan. (2,6)
DIAGNOSIS BANDING Herpes Simpleks Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok diatas kulit yang sembab dan eritematosa berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas. Pada anamnesis herpes simpleks biasanya berlangsung lebih cepat dan dapat rekuren tetapi tidak meninggalkan bercak hiperpigmentasi. Dapat pula ditanyakan riwayat menderita 10
penyakit yang sama sebelumnya, trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi) dan ada tidaknya gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, rasa gatal, dan nyeri. (8,11)
.
Gambar 2. Herpes simplex virus type 2 infection in teenager (primaryversus non-primary infection). note the scalloped border. (8)
Gambar 1. Recurrent herpes simplex virusntype 1 infection on the cheek. Occasionally, such lession are misdiagnosed cellulitis or bullous. Impetigo. (8)
11
Gambar 3. Tzanck smear.
Erythema Multiforme Reaksi acute self-limited inflammatory dengan target khas dan penyakit radang sering berulang. Banyak faktor yang telah terlibat dalam penyebab Erythema Multiforme (EM), termasuk berbagai agen menular, obat, agen fisik, sinar- x terapi, kehamilan, dan keganasan internal. Pada sekitar 50% kasus penyebab tidak dapat ditemukan. Studi menunjukkan bahwa pembentukan kompleks imun dan deposisi berikutnya dalam microvaskuler kulit mungkin memainkan peran dalam patogenesis Erythema Multiforme. Beredarnya kompleks dan pengendapan C3, IgM, dan fibrin sekitar pembuluh darah dermal atas telah ditemukan di sebagian besar pasien dengan erythema mutiforme. Erythema mutiforme biasanya diderita oleh dewasa muda usia 20-40 tahun dan dominan diderita oleh laki-laki. Umumnya terkait dengan infeksi saluran pernafasan atas akut sebelumnya, infeksi virus herpes simpleks (HSV), atau infeksi mycoplasma pneumoniae. Secara klinis erythema mutiforme ditandai oleh adanya berbagai lesi, termasuk lesi-lesi kulit yang khas seperti iris atau target (sasaran) predileksi pada ekstremitas, telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada glans penis. Gejala-gejala prodromal, konfigurasi morfologi dari lesi, dan intensitas gejala sistemik bervariasi. Bentuk ringan dari penyakit ini dapat didahului oleh malaise, demam, atau gatal dan terbakar di tempat di mana letusan akan terjadi. Letusan kulit yang paling khas, dan klasifikasi didasarkan pada bentuknya. Lesi mukosa dapat terjadi pada hingga 70% kasus. Situs yang paling umum adalah bibir dan mukosa bukal. (2,5)
12
Gambar 8 Erythema Multiforme (8)
Gambar 9. Histologi Erythema Multiforme (8)
PENATALAKSANAAN (4)
1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab. 2. Pengobatan sistemik. Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya tidak diperlukan. Tetapi jika ada rasa nyeri yang kronik dapat diberikan kortikosteroid ringan misalnya oral prednisone 1mg/kgBB dalam 2 minggu yang terus diturunkan. Untuk keluhan rasa gatal pada malam hari yang kadang mengganggu istirahat pasien dan orang tuanya dapat diberikan antihistamin generasi pertama yang mempunyai efek sedasi misalnya golongan 13
etanolamin yaitu karbinoksamin 4-8mg/kgBB. 3. Pengobatan Topikal. Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau basah. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah untuk mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta memberikan efek menyejukkan. Pengompresan dilakukan cukup 2 3 kali sehari, biarkan basah ( tetapi tidak sampai menetes) selama kurang lebih 15-30 menit. Eksudat akan ikut mongering bersama penguapan. Biasanya pengompresan dilakukan 2 sampai 3 hari pertama saja. Cairan kompres yang dapat dipilih antara lain larutan NaCI 0,9% atau dengan larutan antiseptik ringan misalnya larutan permanganas kalikus 1 : 10.000 atau asam salisilat 1 :10.000. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1% atau 2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam jangka waktu lama. 1. Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi yang akan diobati, misalnya daerah lipatan ( aksila,popok) atau muka sebaiknya menggunakan potensi rendah sedangkan pada badan atau ekstremitas dapat diberikan potensi sedang. 2. Pilihlah potensi terendah yang dapat menghilangkan kelainan kulit dalam waktu sesingkat mungkin. Sedapat mungkin hindari penggunaan kortisteroid yang sangat poten, terutama untuk anak berusia kurang dari 12 tahun. 3. Gunakan vehikulum yang tepat sesuai kondisi kelainan kulit, misalnya salapu untuk lesi kering dan tebal serta krim untuk radang ringan atau lipatan. 4. Aplikasi 2 kali sehari selama 7 14 hari biasanya cukup. 5. Hati hati dengan penggunaan kortikosteroid potensi sedang sebanyak > 15g/minggu. 14
6. Penggunaan di daerah yang oklusif harus hati hati, misalnya daerah popok atau aksila.
KESIMPULAN Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan kelainan berupa syndrome lyell dan sindrom stevens-Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang terkena. (1,3,4)
KEPUSTAKAAN
1. Hamzah.M. Erupsi obat alergik. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 5 th
ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.154-157 2. Neil H. Shear, Sandra R. Knowles, Lori Shapiro. Cutaneous reactions to drugs. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilcrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine. 7 th ed. New York: Mc Graw Hill; 2008. 343-349,355- 362. 3. Wolff Klauss, Johnson Richard Allen. Fix Drug Reaction. In: Englis Mariapaz Ramos, editor. Fitzspatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6 th ed. USA: McGraw-Hill; 2009, p.566-568 4. Noegrohowati T. Alergi Obat Pada Bayi Dan Anak. Dalam: Boediardja SA, Widaty S, Rihatmaja R, eds. Alergi Kulit pada Bayi dan Anak. Masalah dan Penanganan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2002:19-28 5. Sterry W, et al. Thieme Clinical Companions Dermatology. USA: Thieme; 2006. p.179- 186,281-2. 6. Breathnach,S.M. Drug reactions. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook Of Dermatology. 7 th
ed. USA: Blackwell; 2004.p.73.28-73.29 7. James, William D, et al. Andrews Disease of The Skin 15
ed. USA: Mosby; 2008.p 9. Kels, Jane M. Grant. Color Atlas Dermatopathology. .USA : Informa; 2007. p.23-30 10. Sri Adi Sularsito, Suria Djuanda. Dermatitis. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 5 th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. p. 129- 138 11. Ronny P.Handoko. Herpes Simpleks. In: Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. 5 th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.p.381-3 12. Kocher.C. Insect Bites and Manifestations. In : ABC of Dermatology. 4 th ed. London: BMJ; 2003.p.105-8