Long Case Anastesi

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 29

LONG CASE

ANASTESI UMUM PADA LAPARATOMI KASUS LIPOSARKOMA


INTRAABDOMEN

Disusun Oleh:
Riza Ernaldy
NIM: 030.10.237

Pembimbing:
Dr. M. Gusno Rekozar, Sp. An
Dr. Satriyo Y. Sasono, Sp. An
Dr. Marsellino, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANASTESI
RUMAH SAKIT OTORITA BATAM
PERIODE 7 JULI 16 AGUSTUS 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

LEMBAR PERSETUJUAN

Presentasi makalah long case dengan judul Anastesi Umum pada Laparatomi Kasus
Liposarkoma Intraabdomen telah dilaksanakan oleh:
Nama : Riza Ernaldy
Nim : 030.10.237
dengan hasil yang telah diterima dan disetujui olen pembimbing dr. Satriyo Y. Sasono, Sp.An
sebagai salah satu syarat mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Anastesi di
Rumah Sakit Otorita Batam periode 7 juli 16 agustus 2014.




Batam, Agustus 2014



Pembimbing
Dr. Satriyo Y. Sasono, Sp.An





KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat, nikmat, dan anugerah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas long case yang berjudul ANASTESI UMUM
PADA LAPARATOMI KASUS LIPOSARKOMA INTRAABDOMEN. Penulisan makalah ini
sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Anastesi di Rumah Sakit
Otorita Batam periode 7 Juli 2014 16 Agustus 2014.
Pada kesempatan kali ini, penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dari berbagai pihak
sangatlah banyak kekurangan dari makalah ini, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesa-besarnya kepada pembimbing Dr. Satriyo Y. Sasono, Sp.An, Dr.Gusno
M. Rekozar, Sp.An, Dr. Marselino, Sp.An serta semua pihak yang turut membantu dalam
penyelesaian tugas ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih, semua kritik dan saran dari para pembaca
yang bersifat membangun akan penulis terima untuk perbaikan selanjutnya. Semoga tugas ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan juga bagi para pembaca secara umum.


Batam, Agustus 2014



Penulis
Riza Ernaldy







DAFTAR ISI


Lembar Pengesahan.. i
Kata Pengantar.. ii
Daftar isi iii
Bab I Pendahuluan. 1
Bab II Laporan Kasus 2
Bab III Laporan Anastesi... 6
Bab IV Tinjauan Pustaka 13
Bab V Kesimpulan. 23
Daftar pustaka... 24
















BAB I
PENDAHULUAN

Seorang laki-laki dengan usia 57 tahun datang ke ruang pembedahan dari bangsal bedah
pada tanggal 10 Juli 2014. Dari hasil pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
maka dokter mendiagnosis pasien menderita liposarkoma intraabdomen. Hasil pemeriksaan
didapatkan benjolan yang besar pada bagian abdomen pasien. Pasien direncanakan untuk
dilakukan laparatomi eksplorasi untuk dilakukan pengangkatan tumor dengan jenis anastesi yang
digunakan adalah anastesi umum. Dalam klasifikasi fisik penilaian anastesi, pasien dikategorikan
ASA III. Operasi dijadwalkan pada pukul 08.30 WIB dengan operator yaitu ahli bedah digestive
dr. Aditomo, Sp.BD dan ahli anastesi adalah dr. M. Gusno Rekozar, Sp. An




















BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Kassa Kaswara
No. Medical Record : 34-88-69
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 57 tahun
Tanggal Lahir : 8 September 1956
Alamat : Permata Rahayu C/14
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 4 Juli 2014

ANAMNESIS
Keluhan Utama : ada benjolan besar diperut
Keluhan Tambahan : pasien merasa sesak sejak 2 hari SMRS dan adanya nyeri di ulu
hati
Riwayat Penyakit Sekarang : pasien datang kepoli bedah digestif dengan keluhan adanya tumor
intraabdomen
Riwayat Penyakit Dahulu : pasien mengaku sekitar 1 tahun yang lalu mengeluh adanya
benjolan dilipat paha kanan, benjolan dirasa kecil sebesar jeruk
nipis dan tidak nyeri. Pasien sempat berobat ke rumah sakit Hasan
Sadikin Bandung dan pasien diberi obat tetapi tidak ada perubahan.
Lalu pasien dibawa keluarga ke Batam. Pasien berobat ke bedah
umum tanggal 16 Mei 2014, pasien dirujuk ke dr.Aditomo, Sp. BD
dengan didiagnosis tumor intraabdomen dan diagnosis banding
tumor inguinal. Pasien menjalan sejumlah pemeriksaan yaitu pada
tanggal 17 Mei 2014 menjalankan operasi laparatomi-biopsi dan
tangga; 22 Mei 2014 hasil PA keluar serta tanggal 24 Juni 2014
hasil imumohistokimia keluar. Pasien mengaku sudah 1,5 tahun
punya riwayat hernia scrotalis kiri.
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada anggota keluarga yang mengalami kondisi seperti ini
Riwayat Pengobatan/Operasi : sebelumnya pernah berobat di rumah sakit Hasan Sadikin
Bandung dan diberi obat namun tidak sembuh. Pernah
menjalankan operasi laparatomi biopsy pada tanggal 17 mei 2014.

PEMERIKSAAN FISIK PRE-OPERATIF
1. Keadaan Umum:
a. Kesadaran : Compos mentis
b. Kesan sakit : Tampak sakit berat
c. Tanda vital : TD : 129/89 mmHg
: Nadi : 78x/menit
: RR : 22 x/menit
: Suhu : 36.5
o
C
d. Status gizi : BB : 165 cm
: TB : 65 kg
: BMI : 65 / (1.65 x 1.65) = 23.9. Status gizi baik.
2. Status Generalis:
a. Pemeriksaan kepala : Normosefali, tidak ditemukan konjungtiva
anemis, sclera tidak ikterik pada kedua mata, reflex
cahaya langsung maupun tak langsung kedua mata
positif, pupil isokor.
b. Pemeriksaan leher : Tidak ditemukan adanya massa, KGB dan
tidroid tidak ada pembesaran.
c. Pemeriksaan thoraks jantung : BJ I-II normal regular, murmur (-), gallop (-).
d. Pemeriksaan thoraks paru : Suara nafas vesikuler, ronki (-), wheezing (-).
e. Pemeriksaan abdomen : (lihat status lokalis)
f. Pemeriksaan ekstremitas : Akral hangat pada ke-empat ekstremitas, tidak
ada oedem pada ektremitas atas dan ekstremitas
bawah.
3. Status Lokalis (abdomen):
a. Inspeksi : Tampak massa yang besar dan dilatasi vena
b. Auskultasi : Bising usus negatif
c. Palpasi : Perut terasa tegang, teraba massa kenyal, ukuran besar, tidak
berbenjol-benjol, permukaan rata, tidak nyeri, tidak bisa
digerakkan
d. Perkusi : terdengar suara pekak

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah (tanggal 10 Juli 2014)
Jenis pemeriksaan Nilai normal Hasil pasien
Golongan darah B
Hb 11.0-16.5 g/dl 11.4 g/dl
Eritrosit 3.8-5.8 x 10
6
/uL 3.67 x 10
6
/uL
Ht 35.0-50.0% 33.7%
MCV 80-97 fl 91.8 fl
MCH 26.5-33.53 pg 31.1 pg
MCHC 31.5-35.0 g/dl 33.8 g/dl
RDW-CV 10-15 % 15.3%
Leukosit 4-11 x 10
3
/uL 9.49 x 10
3
/uL
Eosinophil 0-4 % 0%
Basophil 0-1 % 0.1%
Neutrophil 46-75 % 92.5%
Limfosit 17-48 % 3.0%
Monosit 4-10 % 4.4%
Trombosit 150-450 x 10
3
/uL 196 x 10
3
/uL
Natrium 135-147 meq/l 137 meq/l
Kalium 3.5-5.0 meq/l 3.5meq/l
Chlor 94-111 meq/l 98 meq/l
Total protein 6.6-8.7 g/dl 6.5 g/dl
Albumin 3.4-4.8 g/dl 3.2 g/dl
Globulin 1.3-2.7 g/dl 3.3 g/dl
Amylase 28-100 U/L 62 U/L
Lipase 13-60 U/L 56 U/L

2. Pemeriksaan Patologi Anatomi (tanggal 22 Mei 2014):
Makroskopis: terima 1 botol berisi buah jaringan ukuran 1,5x2x1 cm, warna keabuan,
keras padat, sebagian cetak 2 kop 1 set.
Mikroskopis: mengandung sel tumor yang tersusun fibrilar. Sel tumor pleomorfik sampai
bizare, inti spindle berbentuk kromatin inti kasar, smudge, anak inti kadang terlihat,
sitoplasma sedikit. Mitosis sulit ditemukan. Stroma berupa matriks fibriler, tampak
daerah yang mengalami kolagenasi dimana sel tumor terjepit diantara daerah tersebut,
dan proliferasi pembuluh darah.
Kesimpulan: pleomorfik sarcoma dengan DD/ Malignant peripheral nerve sheath tumor
3. Pemeriksaan Imunohistokimia (tanggal 24 Juni 2014)
Hasil imunohistokimia : vimentin : positif
: Ki67 : <10%
: desmin : negative
: NSE : positif
: CD34, SMA : positif
: MDM2, S100 : positif pada beberapa inti besar,
atipik.
Kesimpulan : ini merupakan jawaban sementara bahwa hasil pemeriksaan mengarah pada
bagian dari pleomorfik liposarkoma dan sedang dilakukan pulasan tambahan.

DIAGNOSIS
Diagnosis untuk pasien ini adalah liposarkoma intraabdomen.




BAB III
LAPORAN ANASTESI

PERENCANAAN ANASTESI
Pasien Tn. Kassa Kaswara (34-88-69), berusia 57 tahun dengan diagnosis tumor intra
abdomen, dating ke kamar pemedahan RS. Otorita Batam untuk menjalankan operasi
laparotomy. Berdasarkan pemeriksaan fisik pre-operatif yang dilakukan maka didapatkan status
fisik pasien adalah ASA III. Pada pasien ini akan direncanakan untuk dilakukan anatesi umum
dengan endotracheal tube. HbsAg (+), sedia PRC 2 labu di blood bank dan 2 FFP sedia di ruang
OK. Ahli bedah yang akan melakukan tindakan adalah dr. Aditomo, Sp.BD dan ahli anestesi
yang melakukan pembiusan ialah dr. M. Gusno Rekozar, Sp. An.

PERSIAPAN ALAT DAN OBAT
Alat-alat maupun obat yang perlu disiapkan untuk anestesia pada pasien ini ialah:
Persiapan Alat
1. STATICS
S : Scope, yaitu stetoskop dan laringoskop
T : Tubes, yaitu endotrakeal tube kingking no. 7.5
A : Airway, guedel
T : Tapes (plester)
I : Introducer, mandren atau stilet (tidak digunakan pada pasien ini)
C : Connector, penyambung alat pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction, untuk menyedot lendir, darah, dll
2. Mesin anestesi
3. Monitor anestesi
4. Elektroda, EKG
5. Sfigmomanometer digital
6. Oksimeter/saturasi
7. Balon/pump
8. Sungkup muka
9. Forceps Magill
10. Kasa gulung lembab
11. Infus set dan spuit 3 cc, 5 cc, dan 10 cc

Persiapan Obat
1. Analgesik : Fentanyl
2. Sedativa : Recofol, midazolam
3. Antiemetik : Vomceran
4. Muscle relaxant : Tramus
5. Gas inhalasi : Sevoflurane, N
2
O dan O
2

6. Obat emergency : Sulfas atropin, dexametason, ephedrine

KEADAAN PRE-ANESTESI
Pasien datang ke kamar operasi pada pukul 7.40 WIB. Pasien dalam keadaan soporo
koma dan sakit berat, tidak dapat bernapas secara spontan, sudah dipuasakan sejak jam 23.00,
sudah dicukur, tidak menggunakan gigi palsu atau perhiasan, telah mendapatkan pemberian
antibiotik, dan akses intravena sudah terpasang pada tangan kiri pasien. Pasien mengaku tidak
ada alergi terhadap obat-obatan dan menyangkal adanya penyakit lain kecuali hipertensi. Berikut
adalah keadaan pra-anestesi pasien:
1. Tinggi badan : 165 cm
2. Berat badan : 65 kg
3. Golongan darah : B
4. Saturasi : 100 mmHg
5. Tekanan darah : 85/75 mmHg
6. Nadi : 71x/menit
7. Suhu : afebris
8. Hb : 11,1 g/dL
9. Ht : 31,8 %
10. Bleeding time : -
11. Clotting time : -
12. HbsAg : (+)

STATUS ANESTESI INTRA-OPERATIF
Tanggal Operasi : 10 Juli 2014
Jam Rencana Operasi : 08.00 WIB
Diagnosis Pra Bedah : Liposarkoma Intraabdomen
Diagnosis Pasca Bedah : Liposarkoma Intraabdomen melekat luas pada dinding posterior
abdomen
Jenis Pembedahan : Laparatomi eksplorasi
Ahli Bedah : Dr. Aditomo, Sp. BD
Anestetish : Dr. M. Gusno Rekozar, Sp. An
Lama Operasi : 74 menit
Lama Anestesi : > 74 menit
Jenis Anestesi : GA-OTK
Anestesi dengan : Recofol, sevofluran, O
2
, dan N
2
O
Muscle relaxant : Tramus
Tekhnik Anestesi : SCCS (Semi-Closed Circuit System)
Induksi intravena
Intubasi oral ETT no. 7.5, kingking, cuffed (+)
Pemeliharaan inhalasi
Respirasi : Kendali
Posisi : Supine
Infus : Gelofusin
Premedikasi : Vomceran, fentanyl, sedacum
Medikasi : Recofol, tramus

Pasien ditidurkan pada meja pembedahan kemudian dilakukan pemasangan alat-alat
monitoring anestesi berupa elektroda EKG, sfigmomanomenter digital, dan pulse oksimeter.
Sebelum dilakukan pembiusan, pada pukul 07.45 WIB diberikan premedikasi secara intravena
berupa vomceran 8 mg, fentanyl 100 mcg, dan sedacum 5 mg. Penggunaan obat premedikasi
bertujuan untuk menghilangkan rasa nyeri dan membuat pasien tertidur sehingga menimbulkan
rasa nyaman serta mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Pasien juga
diberikan cairan gelofusin secara intravena guyur.
Pasien kemudian dengan keadaan tetap terlentang pada meja operasi dan tangan
disanggah oleh penyangga tangan dan kemudian dokter anestesi berada pada posisi di belakang
kepala pasien, menyungkup pasien dengan O2 dan N2O dengan perbandingan 2:3 sambil
melakukan bagging dan menyetel mesin anestesi dengan Vt dan frekuensi pernapasan yang
sesuai dengan berat badan pasien. Berikut penghitungannya:
Vt (volume tidal) = 6-8 L/kgBB
= 8 x 65
= 520 L, dijadikan pembulatan menjadi 500 L

Frekuensi pernapasan = 100 cc/kgBB / VT
= 100 x 65 / 500
= 13x/menit
T
I
: T
E
= 1 : 2
Pada pukul 07.47 posisi pasien terlentang dengan leher diekstensikan di atas meja operasi
dan telah diberi sevofluran 8 vol% dengan sungkup muka yang telah dihubungkan dengan mesin
dan di bagging sekitar 2 menit, lalu diubah menjadi 3 vol% selama 1 menit, untuk menekan
pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot sehingga mempermudah
dilakukannya intubasi.
Pemasangan ETT pada pasien ini:
1. Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan
tangan kiri
2. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan bibir dan lapangan pandang akan
terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat ke atas
dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring dan epiglotis.
3. Ekstensi kepala dipertahankan menggunakan tangan kanan.
4. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan
berbentuk huruf V.
5. Ambil ETT kingking no. 7.5 dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati
pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara.
6. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri
memfiksasi.
7. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan
8. Lakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama.
Pastikan dada mengembang saat diberikan ventilasi
9. Selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
Setelah ETT masuk dengan benar, lalu dialirkan sefofluran 3 vol%, oksigen 500 ml/menit
dan N
2
O 500 ml/menit dan respirasi dikontrol dengan mesin yang volume tidalnya sudah
disesuaikan pada penghitungan sebelumnya diatas. Berikutnya diberikan obat medikasi berupa
tramus sebagai muscle relaxant dan recofol yang merupakan golongan
semua kondisi vital seperti tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen dalam keadaan yang
baik, maka dimulailah pencacatan kondisi pasien dan dosis sevofluran 3%.


Berikut merupakan cacatan keadaan pasien intra-anestesi:
Waktu Saturasi Tekanan
darah
(mmHg)
Nadi
(x/menit)
Keterangan
07.45 99% 75/38 78 Premedikasi, IV:
vomceran 8 mg
fentanyl 100 mcg
sedacum 5 mg
07.50 99% 78/45 78 Anestesi GA-OTK
Tramus 50 mg
Recofol 100 mg
Sefofluran 3 vol% - O
2
N
2
O
07.55 99% 77/46 77 -
08.00 99% 76/50 75 -
08.05 99% 78/55 76 -
08.10 99% 76/54 77 -
08.15 99% 76/57 74 -
08.20 99% 75/54 73 -
08.25 99% 76/55 72 -
08.30 99% 75/56 70 -
08.35 99% 76/58 68 Operasi dimulai
08.40 99% 74/52 69 -
08.45 99% 78/60 67 Sevofluran 2 vol%
08.50 99% 79/62 64 -
08.55 99% 84/64 65 -
09.00 99% 85/65 66 -
09.05 99% 83/68 65 -
09.10 99% 79/59 69 -
09.15 99% 80/68 70 -
09.20 99% 80/64 78 -
09.25 99% 75/65 76 -
09.30 99% 74/66 77 -
09.35 99% 76/68 75 -
09.40 99% 75/65 77 -
09.45 99% 75/65 76 -
09.50 99% 74/66 77 Operasi berakhir
Sefofluran stop
09.55 99% 76/65 76 Ekstubasi
10.00 99% 76/68 75 -

KEBUTUHAN CAIRAN PASIEN
Diketahui : Puasa selama 8 jam
BB 65 kg
Jenis operasi besar
Kebutuhan cairan basal = (4x10) + (2x10) + (1x45)
= 20+40+45
= 105 cc/jam
Kebutuhan cairan puasa = lama puasa x kebutuhan cairan basal
= 8 jam x 105 cc/jam
= 840 cc/jam
Kebutuhan cairan operasi = jenis operasi besar (8 cc/kgBB/jam)
= 8 x 65kg
= 520 cc/jam
Jumlah kebutuhan cairan = 105 cc + 840 cc + 520 cc
= 1465 cc

PEMBERIAN CAIRAN PASIEN
Jam ke-1 = 50% x 1465 = 732.5 cc
Jam ke-2 = 25% x 1465 = 366.25 cc
Jam ke-3 = 25% x 1465 = 366.25 cc
Cairan yang telah masuk selama operasi dengan durasi 74 menit : Gelofusin 5 kolf (2500cc) dan
Asering 1 kolf (500cc).

KEADAAN AKHIR PEMBEDAHAN
Tekanan Darah : 76/68 mmHg
Nadi : 75x/menit
Saturasi : 100%
Mual : (-)
Muntah : (-)
Sianosis : (-)
Sadar : (-)
Pasien dibawa ke recovery room pada pukul 10.00 WIB. Selama di recovery room
pasien tidak menggigil dan tidak mengeluh kedinginan, pada perabaan keempat ektremitas teraba
hangat. Dilakukan pemantauan terhadap kelancaran aliran cairan irigasi buli-buli untuk
mencegah adanya sumbatan pada keteter urin akibat bekuan darah.
Pemulihan Kesadaran Aldrete Score :
Nilai 2 1 0
Warna Merah muda (pink) tanpa
O2, SaO2 > 92%
Pucat atau kehitaman
perlu o2 agar SaO2 >
90%
Sianosis dengan O2,
Sao2 tetap < 90%
Respirasi Dapat napas dalam dan Napas dangkal Apnu atau obstruksi
batuk Udara adekuat
Kardiovaskular Tekanan darah berubah
<20%
Berubah 20-50% Berubah >50%
Kesadaran Sadar, Siaga, orientasi baik Bangun namun cepat tidur Tak dapat
dibangunkan
Aktivitas 4 ekstremitas bergerak 2 ekstremitas bergerak Tak ada
ekstremitas
bergerak

Total skor : 4, pasien ditransfer ke ruang ICU.





















BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

ANASTESI UMUM
Anastesi umum adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali. Anastesi memungkinkan pasien untuk
mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan rasa sakit yang tak tertahankan,
mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan ingatan yang tidak
menyenangkan.
Tujuan dari anastesi yaitu:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap rasa sakit
3. Relaksasi otot rangka
Pemilihan cara anastesi dilihat dari beberapa factor yaitu:
Umur : bayi dan anak-anak paling cocok dengan anastesi umum.
Status fisik: riwayat penyakit dan operasi. Hal ini untuk melihat apakah terdapat komplikasi
yang muncul. Selain itu dapat juga kita lihat dari adanya gangguan kardiorespirasi,
kegelisahan pada pasien, ataupun pasien yang obesitas.
Posisi pembedahan
Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedahan
Keterampilan dan pengalaman dokter anastesi
Keinginan pasien

Tahapan Tindakan Anastesi Umum
1. Penilian dan Persiapan Pra Anastesi
Persiapan prabedah yang kurang merata merupakan factor terjadinya kecelakaan dalam
anatesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu
sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut
adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

1.1 Penilaian pra bedah
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anastesi sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,
misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak nafas pasca bedah,
sehingga dapat dirancang anastesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitian
sebelumnya menganjurkan obat yang kiranya menimbulakn masalah dimasa lampau
sebaiknya tidak digunakan kembali, misalnya halotan sebaiknya tidak digunakan dalam
waktu 3 bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan
diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan sejak 1-2 hari sebelum operasi.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi, tindakan buka mulut, ukuran lidah sangat penting untuk
diketahui apakah menyulitkan pada saat pemasangan laringoskop dalam tindakan
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan tindakan intubasi. Pemeriksaan
umum seperti inpeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi secara sistemik tidak boleh
dilupakan.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan
darah rutin dan urinalisis. Pasien yang usianya diatas 50 tahun dianjurkan untuk
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
Kebugaran untuk anastesi
Operasi elektif booleh ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan untuk
mempersiapkan pasien dalam keadaan bugar, berbeda dengan operasi cito dimana
penundaan dengan alas an yang tidak perlu harus dihindari
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang adalah yang
berasal dari The American Society of Anasthesiologist (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan
alat perkiraan resiko anastesi karena efek samping anastesi tidak bisa dipisahkan dari
efek samping pembedahan. Berikut klasifikasi ASA:
Kelas I : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatri, biokimia
Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
Kelas III : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga akttivitas rutin
terbatas
Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancapan kehidupannya setiap saat
Kelas V : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pemebedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Kelas VI : pasien yang sudah dinyatakan mengalami kematian batang otak
dan dilakukan pemebedahan untuk diambil organnya dalam proses donor organ.
Masuka oral
Reflex laring mengalami penurunan selama anastesi. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pasien-pasien yang
menjalani anastesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkanuntuk operasi elektf dengan anastesi harus dipuasakan selama periode
tertentu sebelum dilakukan induksi anastesi. Pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam,
anak-anak puasa 4-6 jam, dan bayi puasa 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan
5 jam sebelm induksi anastesi. Minuman bening, air putih, air the diperbolehkan hingga
3 jam dan untuk keperluan minum obat keperluan air putih dalam jumlah tertentu
diperbolehkan hingga 1 jam sebelum induksi anastesi.
1.2 Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anastesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anastesi diberikan dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anastesi diantaranya: menimbulkan
rasa nyaman bagi pasien, memudahkan atau memperlancar induksi, mengurangi jumlah
obat-obat anastesi, menekan refles-refleks yang tidak diinginkan (mual-muntah),
mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung, mengurangi rasa sakit.
Waktu dan cara pemberian premedikasi
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus tunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat darurat dengan
waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti, pemberian obat-obatan dapat dilakukan
secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Semua obat premedikasi bila
diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan
hoisin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlaha-lahan dan diencerkan.
Obat-obatan yang sering digunakan
Analgetik narkotik: petidin (dosis 1-2 mg/kgBB), morfin/MO (dosis 0,1
mg/kgBB), fentanyl (dosis 1-3 mcg/kgBB)
Hipnotik: ketamine (dosis 1-2 mg/kgBB), pentotal (dosis 4-6 mg/kgBB)
Sedative: diazepam/valium (dosis 0,1 mg/kgBB), midazolam/sedacum (dosis 0,1
mg/kgBB)
Propofol/recofol (dosis 2,5 mg/kgBB), DBP (dosis 0,1 mg/kgBB)
Antimimetik: sulfas atropine (dosis 0,001 mg/kgBB), DBP, narfoz, rantin,
primperan, vomceran (dosis 4 mg/ 8 mg), granon (dosis 3 mg)

2. Induksi Anastesi
Suatu tindakan membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anastesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
IM, atau rectal. Setelah pasien tertidur akibat induksi anastesi, maka dilanjutkan dengan
pemeliharaan anastesi sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anastesi diperlukan STATICS
S : Scope, yaitu stetoskop dan laringoskop
T : Tubes, yaitu endotrakeal tube kingking no. 7.5
A : Airway, guedel
T : Tapes (plester)
I : Introducer, mandren atau stilet (tidak digunakan pada pasien ini)
C : Connector, penyambung alat pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction, untuk menyedot lendir, darah, dll
2.1 Induksi intravena
Paling banyak diklakukan. Induksi intravena dikerjakan dengan hati-hati,
perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anastesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah
harus diawasi dan berikan oksigen.
Obat-obat induksi intravena
Thiopental (pentotal, tiopenton amp 500 mg atau 1000 mg. sebelum digunakan harus
dilarutkan dalam aquabides steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml=25 mg), hanya boleh
digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kgBB disuntikkan perlahan-lahan dan
dihabiskan dalam waktu 30-60 detik. Penyuntikan thiopental menyebabkan pasien dalam
kondisi sedasi, hypnosis, anastesia atau depresi napas. Thiopental menurunkan aliran
darah ke otak, tekanan liquor, tekanan intracranial dan dapatkan melindungi otak akibat
kekurangan oksigen. Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
Propofol (recofol) Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena sering menyebabkan
nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-
12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya
boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita
hamil.
Ketamin (ketalar) Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan
kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan
untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml
= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan
jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
2.2 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
2.3 Induksi inhalasi
N
2
O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) berbentuk gas,
tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara.
Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat,
sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik
lain seperti halotan.
Halotan (fluotan) Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi
lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar
gula darah.
Enfluran (etran, aliran) Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding
halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik disbanding halotan.
Isofluran (foran, aeran) Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik
anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek
terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi
teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
Desfluran (suprane) Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya
seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesi.
Sevofluran (ultane) Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari
untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
2.4 Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Tracurium 20 mg (Antracurium) Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik,
tetapi tidak menyebabkna depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya,
sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1
mg/kgBB, durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit. Tanda-tanda
kekurangan pelumpuh otot:
- Cegukan (hiccup)
- Dinding perut kaku
- Ada tahanan pada inflasi paru
3. Rumatan Anastesi (Maintainance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan inhalasi atau
dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur
rinan (hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah
tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan intravena biasanya
menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.
Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot
dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O
2
atau N
2
O +
O
2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan perbandingan 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.
4. Tatalaksana Jalan Nafas
Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
Hidung Menuju nasofaring
Mulut Menuju orofaring. Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum
durum dan palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju
esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang
rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
A. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas, sehingga gas
atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
B. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-faring
lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-pharyngeal
airway).
C. Sungkup muka
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau system anestesi ke jalan napas
pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk bernapas
spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea lewat
mulut atau hidung.
D. Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan
ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan seperti balon
pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa kerasdari polivinil atau lembek
dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.
E. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut (orotracheal tube)
atau melalui hidung (nasotracheal tube).
F. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah bedan asing masuk paru. Laringoskop merupakan alat
yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan
pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan
maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi:
Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

Indikasi Intubasi Trakea
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi, misalnya saat resusitasi, memungkinkan
penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan Intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi Intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis
e. Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan catatan tak akan
terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya.

















BAB V
KESIMPULAN

Pasien bernama Tn. Kassa didiagnosis Liposarkoma Intraabdomen, setelah dilakukan
pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan status ASA III sehingga penyakit yang dideritanya
merupakan penyakit sistemik berat yang mengakibatkan keterbatasan aktivitas fisik dan jika
dibiarkan akan berdampak buruk terhadap kondisi pasien. Selama proses pembedahan
berlangsung tidak ditemukan adanya permasalahan berarti baik dari pemedahan maupun dari
anastesi, namun pada saat pengangkatan akan dilakukan ternyata tumor yang berada pada
intraabdomen pasien menempel pada bagian tulang belakangnya. Kondisi tersebut membuat
dokter ahli bedah digestive memutuskan untuk tidak melanjutkan operasi dan menutup kembali
abdomen yang sudah disayat. Selama proses pembedahan, keseimbangan cairan pasien tidak ada
masalah, cairan tubuh tidak mengalami gangguan.
Pada saat proses operasi telah selesai, pasien dipindahkan ke ruang recovery, namun
kondisi pasien masih dalam pengawasan. Setelah itu pasien dibawa ke ruang ICU untuk dipantau
lebih lanjut. Karena kondisi yang semakin memburuk maka pasien dibawa ke ruangan HCU.
Dari hasil penilaian dari anastesi dapat disimpulkan bahwa proses anastesi berlangsung baik
tanpa adanya komplikasi.













DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anastesiologi, edisi kedua. Jakarta:
Bagian anastesiologi dan terapi intensif FKUI; 2002.
2. Goodman & Gillman. Dasar farmakologi dan terapi, edisi sepuluh. Jakarta: EGC
3. Mangku G, Gde AST. Ilmu anastesi dan reminasi. Jakarta: PT. Macan Jaya Cemerlang.
2010.p.24-36.
4. De WJ, Sessler DI. Perioperative shivering: physiology and pharmacology. Anesthesiology
2002; 96(2): 467-84.
5. Smith T, Pinnock C, Lin T. fundamentals of anesthesia. 3
rd
. Post operative management.
Cambridge: Cambridge University Press. 2009;67.S

Anda mungkin juga menyukai