Anda di halaman 1dari 13

MP3EI dan Eksploitasi Masif Rakyat Pekerja Indonesia

Oleh: Muhammad Ridha, Partai Rakyat Pekerja (PRP)



MP3EI telah resmi dicanangkan sebagai inisiatif rezim SBY-Boediono untuk melakukan
transformasi ekonomi politik Indonesia. Diharapkan, MP3EI dapat mendorong pertumbuhan
tinggi serta menciptakan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia. Bagi rezim SBY-
Boediono sendiri, MP3EI bukanlah satu proyeksi pembangunan yang bersifat business as usual
(bisnis seperti biasa). MP3EI adalah upaya radikal Negara untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional. Tidak heran jika MP3EI adalah sebuah proyeksi pembangunan yang paling
ambisius dalam rentang waktu 2011-2025 untuk menciptakan Indonesia sebagai salah satu
Negara ekonomi maju di Dunia.

Walau terdengar mengesankan, satu yang pasti mengenai MP3EI adalah bahwa inisiatif
ini tidak lebih sebagai upaya intensifikasi serta ekstensifikasi relasi ekonomi politik kapitalisme
yang telah beroperasi lama dalam Negara Indonesia. Konsekuensi logis dari relasi ekonomi
politik kapitalisme adalah kontradiksi internal antara kelas-kelas social dalam upaya
mengapropriasi keuntungan yang dihasilkan selama proses produksi kapitalisme itu sendiri.
Untuk itu saya akan berargumen bahwa dalam hal ini, MP3EI sebagai suatu inisiatif
pembangunan nasional hanya akan melayani segelintir kelas social di Indonesia sembari
mengekslusi kepentingan mayoritas rakyat Indonesia yang merupakan rakyat pekerja. Suatu hal
yang tentu saja bertentangan dengan semangat dasar UUD 45 yang mengharapkan satu bentuk
pembangunan yang menyejahterakan semua kalangan masyarakat.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, makalah ini akan mempresentasikan
bagaimana MP3EI adalah suatu mekanisme ekonomi politik kapitalisme Indonesia untuk
memperluas serta memperdalam eksploitasi kekuatan produktif rakyatnya. Eksploitasi massif
atas kekuatan produksi rakyat ini akan menciptakan banyak problem social ekonomi yang akan
semakin memperdalam kontradiksi dalam relasi ekonomi politiknya. Tidak heran jika bagi saya,
MP3EI hanya akan menciptakan masalah baru bagi struktur ekonomi politik nasional.

MP3EI sebagai Konektifitas Spasial Ekonomi Nasional

Ide dasar pembangunan dalam MP3EI adalah mengenai pembangunan infrastruktur
dengan menciptakan keterhubungan (konektivitas) antar wilayah di Indonesia. hal ini dilakukan
dengan Merealisasikan sistem yang terintegrasi antara logistik nasional, sistem transportasi
nasional, pengembangan wilayah, dan sistem komunikasi dan informasi; Identifikasi simpul-
simpul transportasi (transportation hubs) dan distribution centers untuk memfasilitasi kebutuhan
logistik bagi komoditi utama dan penunjang; Penguatan konektivitas intra dan antar koridor dan
konektivitas internasional (global connectivity); Peningkatan jaringan komunikasi dan teknologi
informasi untuk memfasilitasi seluruh aktifitas ekonomi, aktivitas pemerintahan, dan sektor
pendidikan nasional.

Konektivitas ini bukan berarti tanpa dasar. Terdapat enam koridor ekonomi dalam MP3EI
adalah yang menjadi prakondisi spasial yang harus dihubungkan antara satu dengan yang lain.
Dalam hal ini Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan
mengembangkan klaster industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Pengembangan pusat-
pusat pertumbuhan tersebut disertai dengan penguatan konektivitas antar pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi dan antara pusat pertumbuhan ekonomi dengan lokasi kegiatan ekonomi
serta infrastruktur pendukungnya. Secara keseluruhan, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dan
konektivitas tersebut diharapkan menciptakan Koridor Ekonomi Indonesia. Pemerintah untuk itu
dapat memberikan perlakuan khusus untuk mendukung pembangunan pusat-pusat tersebut,
khususnya yang berlokasi di luar Jawa, terutama kepada dunia usaha yang bersedia membiayai
pembangunan sarana pendukung dan infrastruktur. Adapun enam koridor ini meliputi:
1. Koridor Ekonomi Sumatera, sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan
lumbung energy nasional.
2. Koridor ekonomi Jawa, sebagai pendorong industry dan jasa nasional.
3. Koridor Ekonomi Kalimantan, sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan
lumbung energy nasional.
4. Koridor Ekonomi Sulawesi, sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian,
perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional.
5. Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara, sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung
pangan nasional.
6. Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku, sebagai pusat pengembangan pangan,
perikanan, energy, dan pertambangan nasional.

Tabel 1. Peta Enam Koridor MP3EI


















Adapun tujuan pemberian perlakuan khusus tersebut adalah agar dunia usaha memiliki
perspektif jangka panjang dalam pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Perlakuan khusus tersebut antara lain meliputi: kebijakan perpajakan dan kepabeanan peraturan
ketenagakerjaan, dan perijinan sesuai kesepakatan dengan dunia usaha. Untuk menghindari
terjadinya enclave dari pusat-pusat pertumbuhan tersebut, Pemerintah Pusat dan Daerah
mendorong dan mengupayakan terjadinya keterkaitan (linkage) semaksimal mungkin dengan
pembangunan ekonomi di sekitar pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru tersebut dapat berupa KEK dalam skala besar yang diharapkan dapat
dikembangkan disetiap koridor ekonomi disesuaikan dengan potensi wilayah yang bersangkutan.


Tabel 2. Skema Konektivitas Koridor Ekonomi



















Proyeksi utama dari konektivitas koridor ekonomi ini adalah untuk terbangunnya visi
konektivitas nasional yaitu Terintegrasi secara local, terhubung secara global (locally
integrated, globally connected). Yang dimaksud Locally Integrated adalah pengintegrasian
system konektivitas untuk mendukung perpindahan komoditas, yaitu barang, jasa, dan informasi
secara efektif dan efisien dalam wilayah NKRI. Oleh karena itu, diperlukan integrasi simpul dan
jaringan transportasi, pelayanan inter-moda tansportasi, komunikasi dan informasi serta logistik.
Simpul-simpul transportasi (pelabuhan, terminal, stasiun, depo, pusat distribusi dan kawasan
pergudangan serta bandara) perlu diintegrasikan dengan jaringan transportasi dan pelayanan
sarana inter-moda transportasi yang terhubung secara efisien dan efektif. Jaringan komunikasi
dan informasi juga perlu diintegrasikan untuk mendukung kelancaran arus informasi terutama
untuk kegiatan perdagangan, keuangan dan kegiatan perekonomian lainnya berbasis elektronik.

Selain itu, sistem tata kelola arus barang, arus informasi dan arus keuangan harus dapat
dilakukan secara efektif dan efisien, tepat waktu, serta dapat dipantau melalui jaringan informasi
dan komunikasi (virtual) mulai dari proses pengadaan, penyimpanan/ pergudangan, transportasi,
distribusi, dan penghantaran barang sesuai dengan jenis, kualitas, jumlah, waktu dan tempat yang
dikehendaki produsen dan konsumen, mulai dari titik asal (origin) sampai dengan titik tujuan
(destination). Visi ini mencerminkan bahwa penguatan konektivitas nasional dapat menyatukan
seluruh wilayah Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara inklusif dan berkeadilan
serta dapat mendorong pemerataan antar daerah.

Sedangkan yang dimaksud globally connected adalah sistem konektivitas nasional yang
efektif dan efisien yang terhubung dan memiliki peran kompetitif dengan sistem konektivitas
global melalui jaringan pintu internasional pada pelabuhan dan bandara (international
gateway/exchange) termasuk fasilitas custom dan trade/industry facilitation. Efektivitas dan
efisiensi sistem konektivitas nasional dan keterhubungannya dengan konektivitas global akan
menjadi tujuan utama untuk mencapai visi tersebut. Kerangka kerja Konektivitas Nasional.
Untuk mewujudkan visi tersebut diperlukan penguatan konektivitas secara terintegrasi antara
pusatpusat pertumbuhan dalam koridor ekonomi dan juga antar koridor ekonomi, serta
keterhubungan secara internasional terutama untuk memperlancar perdagangan internasional
maupun sebagai pintu masuk bagi para wisatawan mancanegara.

Dalam MP3EI dapat ditemukan bagaimana 6 koridor yang dilihat sebagai lokus ekonomi
yang unik dihubungkan untuk memastikan bahwa ditiap koridor mampu berakumulasi secara
local, nasional bahkan global. Dengan kata lain akumulasi keuntungan dalam proyeksi
infrastruktur MP3EI adalah akumulasi yang berlangsung terus menerus yang difasilitasi oleh
keberadaan restrukturisasi geografis dari tingkat local sampai global.

Dalam pelaksanaannya, MP3EI akan beroperasi berdasar pada prinsip berikut: 1)
meningkatkan arus barang, jasa dan informasi, 2) menurunkan biaya logistic, 3) mengurangi
ekonomi biaya tinggi, 4) mewujudkan akses yang merata di seluruh wilayah, dan 5) mewujudkan
sinergi antar pusat-pusat pertumbuhan daerah. Focus dari penguatan konektifitas dalam MP3EI
adalah sebagai berikut:




































MP3EI dan Struktur Ekonomi Politik Nasional

Lalu apa yang sebenarnya implikasi MP3EI terhadap struktur ekonomi politik nasional?
Kita harus mengakui bahwa pola produksi dan konsumsi di Indonesia pasca 1998 sangat
dipengaruhi oleh integrasi Indonesia ke pasar global. Fase yang disebut dengan fase neoliberal
ini ditandai dengan transformasi yang pesat dalam struktur ekonomi nasional yang
dikarakterisasi dengan restrukturisasi, deregulasi, dan liberalisasi melalui program penyesuaian
struktural (SAP) oleh IMF. Oleh karena itu, rezim kapitalis di Indonesia sangat tergantung pada
proses global. Dengan demikian, kebutuhan akumulasi dimaksimalkan demi daya saing global
dan untuk mengoptimalkan pertumbuhan adalah keharusan dan tidak dapat dihindari. Itulah
sebabnya, setelah reformasi 1998, banyak kebijakan negara selalu mempertimbangkan pasar
global sebagai prioritas utama mereka.

Konsekuensi logis dari hal proses integrasi ini adalah perdagangan internasional menjadi
memiliki peranan yang krusial dalam proses ekonomi. Data BPS yang dirilis pada tanggal 7
Januari 2012 menunjukan bahwa laju pertumbuhan menurut penggunaan ekonomi Indonesia
pada Triwulan III tahun 2011 yang mencapai 6,5% yang secara signifikan dikontribusikan oleh
adanya surplus perdagangan (dalam artian nilai ekspor indonesia melebihi nilai impor, red).
Kontribusi surplus perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi mencapai angka 3,3% Disini
dapat disimpulkan bahwa perdagangan internasional menjadi dasar bagi laju pertumbuhan
ekonomi Indonesia.

Tabel 3. Laju Pertumbuhan PDB menurut Penggunaan
1












1
Dapat diunduh dari laman www.bps.go.id/getfile.php?news=888
Walau secara tradisional Indonesia masih melakukan ekspor migas, namun besaran nilai
ekspor migas relative kecil jika dibandingkan dengan nilai ekspor nonmigas. Menurut
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, kontribusi ekspor industri nonmigas adalah 61%
terhadap total ekspor 2011 mencapai angka USD 208 miliar.
2
Dalam Neraca Laporan
Pembayaran Bank Indonesia Realisasi triwulan III 2011, setidaknya sampai dengan November
2011, terdapat tiga komoditas utama yang berkontribusi besar terhadap nilai ekpor adalah
batubara sebesar 15.5%, minyak sawit 10.2% dan karet 9.1%. menariknya, tiga komoditas ini
adalah komoditas yang berbasiskan pada industri ekstraksi yang tergantung pada sumber daya
alam.
Tabel 4. Perkembangan Ekspor Komoditas Nonmigas Utama
3



Data-data resmi yang ditunjukan dapat menunjukan bahwa Integrasi ekonomi nasional
terhadap pasar global berimplikasi pada rekonfigurasi relasi produksi serta konsumsi ekonomi
Indonesia yang tersubordinasi oleh kebutuhan pasar global. Konsekuensinya, produksi Indonesia
tidak secara otonom ditentukan oleh kebutuhan sosial rakyat Indonesia itu sendiri, namun lebih
kepada pemenuhan kebutuhan pasar global. Data-data tersebut menunjukan bahwa ada
penyesuaian sekaligus reorganisasi pembagian kerja secara global dimana Indonesia ditempatkan
bukan lagi sebagai negara yang memproduksi komoditas yang mempunyai nilai tambah (baca:
industri manufaktur), namun lebih sebagai negara penyuplai bahan mentah. Tidak heran jika kita
menemukan pada rentang waktu 14 tahun terjadi deindustrialisasi pada beberapa jenis Industri
sektor manufaktur, namun kita mengalami booming di sector industri komoditas ekstraksi seperti
batu bara, kelapa sawit, karet, dll, yang pada dasarnya adalah komoditas-komoditas favorit di
pasar global.
4


2
Ekspor Ea Kooditi Idustri UD 77.9 M, dikutip dari laa
http://www.sindonews.com/read/2012/01/03/452/551177/ekspor-enam-komoditi-industri-usd77-9-m
3
Dapat diunduh dari laman m.bi.go.id/NR/rdonlyres/B81E97C8.../Laporan_NPI_tw311.pdf
4
Mengenai tesis rekonfigurasi ekonomi nasional terhadap pasar global, dapat dilihat dari riset Ridha dan Daeng mengenai
kebohongan mekanisme safeguard untuk melindungi industri selama proses perdagangan bebas. Argumentasi dari
rekonfigurasi ekonomi nasional adalah terkait dengan keuntungan komparatif tiap negara yang terlibat dalam relasi
perdagangan untuk menuntukan komoditas apa yang harus diprioritaskan untuk dijual di pasar. Konsekuensi dari hal ini adalah,
negara yang industrinya tidak kompetitif harus melakukan deindustrialisasi. Dalam riset ini, industri yang dipaksa untuk
Melihat pada integrasi lebih luas dan lebih dalam ekonomi nasional terhadap ekonomi
global, maka MP3EI tidak lain adalah bentuk teritorialisasi kapitalisme dalam strateginya yang
baru. MP3EI adalah mekanisme untuk melakukan produksi dan reproduksi ruang kapitalisme
di Indonesia. Konsekuensinya terjadi restrukturisasi geografis aktifitas kapitalis. Tidak heran jika
kita menemukan dalam infrastruktur MP3EI, terjadi pembagian fungsi spasial tertentu dalam 6
koridor yang telah ditetapkan. Dalam infrastruktur MP3EI dapat ditemukan bagaimana 6 koridor
yang dilihat sebagai lokus ekonomi yang unik dihubungkan untuk memastikan bahwa ditiap
koridor mampu berakumulasi secara local, nasional bahkan global. Dengan kata lain akumulasi
keuntungan dalam proyeksi infrastruktur MP3EI adalah akumulasi yang berlangsung terus
menerus yang difasilitasi oleh keberadaan restrukturisasi geografis dari tingkat local sampai
global.

Dalam hal inilah kita dapat melihat MP3EI akan memberikan intensifikasi serta
ekstensifikasi struktural atas modus utama dari proses akumulasi kapitalisme yang terjadi di
Indonesia. Akumulasinya sendiri akan berlangsung dengan apa yang disebut dengan akumulasi
melalui perampasan (accumulation by dispossession). Akumulasi seperti ini dimungkinkan
dalam kontradiksi relasi spasial yang muncul dalam proyeksi infrasturktur MP3EI. Kontradiksi
ini dapat dilihat pada bagaimana restrukturisasi ruang geografis ala MP3EI berbenturan dengan
pengalaman keseharian masyarakat yang menempatkan ruang bukan sebagai fasilitas akumulasi,
namun sebagai bagian reproduksi social keseharian. Konsekuensinya kemudian adalah terjadi
akumulasi selalu mensyaratkan adalah dimensi kekerasan untuk memastikan bahwa relasi spasial
yang diatur harus tunduk dibawah logika keuntungan dan modal. Disini kemudian akumulasi
melalui perampasan menjadi nayata. Karakteristik utama dari akumulasi melalui perampasan
adalah pengambilalihan serta marketisasi atas seluruh aspek kemanusiaan yang belum
terkomodifikasi.
5
Secara lebih terperinci, akumulasi melalui perampasan adalah sebuah proses
dimana komodifikasi dan privatisasi tanah serta pengusiran melalui kekerasan populasi petani;
pengalihan berbagai bentuk kepemilikan (kepemilikan bersama, kolektif, Negara, dsb) ke dalam
kepemilikan pribadi yang ekslusif; penindasan atas hak-hak bersama (commons); komodifikasi
tenaga kerja dan perepresian atas bentuk produksi dan konsumsi alternative (yang biasanya
berdasarkan pengalaman masyarakat local dan adat); proses pengambilalihan asset (termasuk
juga sumber daya alam) yang berkarakterkan kolonialisme, neo kolonialisme dan imperialisme;
dan yang paling mutakhir adalah penggunaan hutang nasional dan pada akhirnya system kredit
sebagai alat radikal untuk perampasan.
6
Dari kasus Alas Tlogo sampai dengan kasus Mesuji dan
insiden Pelabuhan Sape, Bima adalah kasus-kasus yang memiliki basis material dari bentuk
modus akumulasi ini.

Spesifik dalam pengalaman infrastruktur MP3EI, akumulasi melalui perampasan dapat
dilihat pada bagaimana operasionalisasi infrastruktur yang akan selalu didominasi oleh
kepentingan kelas kapitalis, baik nasional maupun internasional. Hal ini dapat dilihat pada skema
pembiayaan proyek infrastruktur MP3EI yang dikenal sebagai Private Public Partnership (PPP,
Kerjasama Public Privat). Walau terlihat bagus karena ada relasi kerjasama yang seimbang
antara dua entitas tersebut, namun skema ini pada dasarnya memberikan ruang yang sangat besar

mengalami deindustrialisasi adalah industri turunan baja besi yaitu industri paku-kawat. Lih. Muhammad Ridha dan Salamuddin
Daeng,, Dampak ACFTA dan Kebohongan Safeguard (Jakarta: IGJ, 2010) tidak dipublikasikan.
5 Bill Du, Auulatio y Dispossesio or Auulatio of Capital? The Case of Chia dala Joural of Australia Politial
Economy vol. 60 (2007).
6 David Harvey, The New Imperialism (New York: Oxford University Press, 2003), hal. 145
bagi entitas privat untuk mengapropriasi tanpa batas ruang yang disediakan oleh entitas public
(Negara). Adapun Negara disini muncul tidak lebih sebagai regulator yang tidak memiliki daya
intervensi apapun selama proses apropriasi ini dilakukan. Disini kemudian ruang spasial social
akan menjadi objek dari proses akumulasi lanjutan yang secara potensial akan banyak
menciptakan ketidakadilan dilapangan.

Tabel 5. Peta Investasi Sumber Bahan Baku



Selain itu, akumulasi melalui perampasan dalam skema konektivitas ekonomi akan
mengkondisikan terjadinya kerentanan dalam struktur ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Konektivitas ekonomi ini akan menjadi insentif agar proses akumulasi capital akan terjadi terus
menerus yang pada titik tertentu akan menciptakan akumulasi berlebih (over-accumulation).
Masalah akumulasi berlebih ini menjadi prakondisi dasar bagi terjadinya krisis. Dalam jangka
pendek, masalah akumulasi berlebih ini dapat diatasi melalui eksportasi kelebihan produksi ke
lokus ekonomi yang lain diluar lokus yang mengalami masalah kelebihan tersebut. Akan tetapi
dalam jangka panjang, skema konektivitas ekonomi yang diusung justru menjadi kondisi dasar
bagi perluasan krisis karena akumulasi berlebih akan relative mudah berpindah antara satu
tempat ke tempat yang lain. Dalam contoh yang sederhana, krisis yang terjadi Negara lain akan
berpotensi untuk terjadi di Indonesia karena fasilitas konektivitas ekonomi yang dimunculkan
dalam politik infrasturktur MP3EI. Bahkan kita juga dapat membayangkan bahwa krisis dapat
terjadi antar koridor nasional dimana krisis yang terjadi di koridor Sulawesi dapat diperluas
hingga di Koridor Sumatera.


MP3EI dan Eksploitasi Rakyat Pekerja

Konsekuensi lain dari akumulasi seperti ini adalah bagaimana eksploitasi akan
menciptakan proletarisasi secara massif. Perampasan tanah yang dilakukan atas nama akumulasi
menyebabkan terjadinya pengusiran kekuatan produktif dalam ruang produksi tersebut. Dalam
hal ini mereka yang selama berproduksi secara subsisten ketika memiliki tanah tersebut harus
terusir dari tanah mereka dan mengalami proses proletarisasi atau menjadi bagian dari pekerja-
bebas (free labour). Akan tetapi tidak serta merta proletarisasi ini akan membuat mereka yang
diusir dari tanah mereka akan menjadi bagian dari kelas pekerja. Kegagalan mereka yang diusir
untuk masuk kedalam relasi produksi kapitalisme membuat mereka akan menjadi pengagguran.
Dalam pengalaman kita sekarang ini dapat kita rasakan pada bagaimana masifnya fenomena
pengagguran diseluruh pelosok-pelosok kota di Indonesia.
7
Secara ekonomi, Tingginya angka
pengangguran akan berimplikasi pada tekanan atas tingkat upah karena dalam pasar tenaga kerja
penawaran (supply) atas pekerja yang tersedia sangat banyak berbanding terbalik dengan
permintaan (demand) pekerja oleh industri.
8
Mekanisme spontan yang biasanya dilakukan oleh
para pengaggur untuk dapat bertahan hidup adalah dengan membuka inisiatif ekonomi baru yang
sifatnya informal. Namun upaya paling sistematis untuk mengatasi pengangguran sekaligus tetap
memastikan bahwa proses akumulasi melalui apropirasi serta eksploitasi sumber daya manusia
tetap dimungkinkan adalah dengan menciptakan rezim pasar tenaga kerja fleksibel. Mekanisme
ini tetap memastikan bahwa penganggur-penganggur yang ada memiliki akses ke dalam relasi
ketenagakerjaan, namun sekaligus mereka tidak akan dapat mempengaruhi tingkat upah yang ada
karena jika ada tuntutan untuk kenaikan upah, para kapitalis dapat secara mudah mengganti
mereka dengan penganggur yang lain.

Dengan penjelasan ini kita dapat melihat bagaimana politik upah murah dimungkinkan
dalam rezim kapitalisme-neoliberal sekarang. Tidak mengejutkan jika kemudian dimungkinkan
biaya pekerja Indonesia dapat ditekan serendah mungkin untuk mendapatkan keuntungan
maksimum untuk industri. Seperti yang disajikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) Indonesia dalam pamflet promosi investasinya yang berjudul Invest in Remarkable
Indonesia,
9
upah pekerja Indonesia adalah yang terendah antara lain. Upah per jam di Indonesia
adalah sekitar USD 0,6, dibandingkan dengan negara lain seperti India (USD 1,03), Filipina
(USD 1,04), Thailand (USD 1,63), China (USD 2,11), dan Malaysia (USD 2,88).


7
Bagi beberapa kalangan argumentasi ini akan sangat problematic karena jika dikaitkan dengan rilis data resmi BPS tentang
pengangguran, Indonesia telah mampu untuk menurunkan angka pengangguran serta meningkatkan angka yang bekerja. Akan
tetapi penulis berpendapat bahwa kerja yang dimaksud adalah dalam yang seharusnya dimaktub dalam pendataan adalah kerja
yang layak. Argumentasi penulis mengenai hal ini adalah jika bekerja berarti adalah bekerja yang layak dan bermartabat, maka
status pekerjaan haruslah memiliki kepastian kesejahteraan serta masa depan bagi pekerja itu sendiri. dalam hal ini maka
penulis secara sengaja hanya akan mengakui bahwa mereka yang bekerja adalah mereka yang secara sistemik terserap dalam
status pekerja formal. Jika argumentasi ini menjadi posisi metodologis dalam melihat statistic angkatan kerja yang bekerja,
maka dari seluruh angkatan kerja yang ada, hanya 31.01% yang dapat dikategorikan bekerja atau hanya sekitar 34.5 juta orang.
Hal ini sendiri bagi penulis tidak mencukupui, karena dalam pekerja formal sekarang, status pekerjaan sebagai karyawan tetap
atau tidak juga menjadi bagian dari kerja layak itu sendiri. namun demi koherensi argumentasi, penulis akan mengabaikan
argumentasi tersebut. Untuk data Angkatan kerja dan pengangguran lihat Data Strategis Badan Pusat Statistik 2011. Dapat
diunduh dari laman http://www.bps.go.id/aboutus.php?65tahun=1
8
Mengenai pengaruh tingkat pengagguran terhadap tingkat upah pekerja, lihat karya Mihael Kaleki, Politial Aspet of Full
Eployet, dala Political Quarterly Vol 14 (4), 1943, hal. 322-30
9
Pamflet BKPM dapat diunduh dari laman http://embassyofindonesia.it/wp-content/uploads/2010/07/Invest-in-Remarkable-
Indonesia.pdf
Masalah lain yang muncul dari politik upah murah adalah terjadinya stagnasi tingkat
upah riil jika dibandingkan dengan tingkat upah nominal. Upah nominal yang diterima pekerja
bisa saja selalu naik, tapi nilai riil dari upah tersebut tidak naik karena harga-harga barang. Data
IHK dan Rata-rata Upah per Bulan Buruh Industri di Bawah Mandor (Supervisor) Indonesia dari
tahun 2007 sampai dengan 2011 menunjukan bahwa tingkat upah riil dibandingkan dengan
tingkat upah nominal adalah stagnan bahkan cenderung turun.

Tabel 6. Tingkat Upah per Bulan Buruh Industri dibawah Mandor 2007-2011
10


Bulan Tahun
Indeks
Harga
Konsumen
Upah
Nominal
(000)
Upah
Riil
2007 100.0 1 019.0 1 019.0
Maret
2008
105.3 1 093.4 1 038.0
Juni 110.1 1 091.0 991.1
September 113.3 1 098.1 969.6
Desember 113.9 1 103.4 969.1
Maret
2009
114.3 1 134.7 993.0
Juni 114.1 1 148.6 1 006.7
September 116.5 1 160.1 996.1
Desember 117.0 1 172.8 1 002.1
Maret
2010
118.2 1 182.4 1 000.4
Juni 119.9 1 222.2 1 019.7
September 123.2 1 386.4 1 125.2
Desember 125.2 1 386.7 1 107.6
Maret*)
2011
126.1 1 353.5 1 073.8
Juni **) 126.5 1 284.7 1 015.6
September**) 128.9 1 246.3 966.9

*angka sementara
*angka sangat sementara

Dalam hal ini kita bisa menemukan bahwa upah nominal per bulan buruh sektor industri
di bawah mandor (supervisor) menurut Survei Upah Buruh (SUB) BPS, naik dari Rp1.148.600 di
bulan Juni 2009 menjadi Rp1.160.100 di bulan September 2009. Secara nominal, ada kenaikan
Rp11.500 atau 1% dari upah yang lama. Namun, saat itu, harga barang konsumsi menurut Indeks
Harga Konsumen (IHK) BPS, naik juga sebesar 2,4%. Artinya, barang-barang yang tadinya bisa
dibeli dengan Rp1.148.600, tidak bisa dibeli lagi oleh buruh. Pasalnya, sekalipun upah nominal
buruh naik menjadi Rp1.160.100, tetapi harga-harga barang yang tadinya bisa dibeli dengan
upah Juni 2009 juga naik menjadi Rp1.176.166. Kita bisa lihat bahwa upah riil buruh mengalami
penurunan dari Rp1.019.000 di tahun 2007 menjadi Rp969.100 di bulan Desember 2008. Upah
riil itu kemudian cenderung stagnan dan baru berhasil mencapai angka yang mirip dengan tahun
2007 pada bulan Juni 2010, yaitu sebesar Rp1.019.700. Ia kemudian naik lagi di bulan
September 2010 menjadi Rp1.125.200, tapi kemudian turun terus sampai menjadi Rp966.900 di

10
Data Resmi Badan Pusat Statistik
bulan September 2011. Cukup kentara perbedaannya dengan upah nominal yang cenderung naik,
meski juga mengalami penurunan sejak Maret 2011.

Masalah utama dari paparan data ini adalah bagaimana konsumsi dapat dimungkinkan
jika upah riil tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para pekerja? Data
statistic resmi BPS justru menunjukan bahwa konsumsi rumah tangga berkontribusi sangat besar
dalam struktur PDB atas dasar harga yang berlaku menurut penggunaan. Kontribusi konsumsi
rumah tangga terhadap PDB pada kuartal III tahun 2011 mencapai 54.2%.

Tabel 7. Struktur PDB atas Dasar Harga Berlaku 2010-2011














Tekanan atas tingkat upah pekerja menghasilkan kurangnya permintaan efektif di antara
para pekerja di Indonesia. Cara yang paling mungkin untuk dapat bertahan sekaligus tetap
memastikan bahwa roda ekonomi secara keseluruhan masih dapat bekerja melalui konsumsi
rumah tangga adalah para pekerja harus mengambil hutang untuk memenuhi kebutuhan
keseharian mereka. Sebuah survei termutakhir yang dilakukan oleh tim peneliti INKRISPENA
(Institut Studi Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif) pada tahun 2010 telah menunjukkan
bahwa pola konsumsi pekerja perempuan ditandai dengan sejumlah besar utang. Tiap bulan,
pekerja perempuan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah tangganya harus memiliki hutang
beban akumulatif sampai Rp.5.056.693.
11
menariknya, jika dikaitkan dengan tingkat kucuran
kredit perbankan pada tahun 2011 yang dirilis resmi oleh BI, Pertumbuhan kredit perbankan
hingga Oktober 2011 tembus 25,7% di mana salah satu faktor pendorongnya adalah kredit
konsumsi yang tumbuh cukup besar hingga 23,8%. Pertumbuhan kredit hingga akhir Oktober
2011 mencapai 25,7% (yoy, year on year) dengan kredit investasi sebesar 31,1% (yoy), kredit
modal kerja sebesar 24,7% (yoy), dan kredit konsumsi sebesar 23,8% (yoy).
12






11
Ayudya Fajri, Irwansyah, Muhammad Ridha, Ruth Indiah Rahayu, Tommy Ardian Pratama dan Y. Wasi Gede Purwaka, Pola
Konsumsi dan Pendapatan Buruh Perempuan: Sebuah Kajian atas Dampak Perlindungan Sosial, INKRISPENA bekerja sama
dengan Institut for Global Justice (IGJ), 2011.
12
Kredit Kosusi Bak Maki Moer, dikutip dari laa http://beritadaerah.com/berita/national/51012
Kesimpulan

Tidak ada yang baru dibawah matahari, begitu juga inisiatif pembangunan seperti
MP3EI. Apa yang dapat disimpulkan pembongkaran mitos pertumbuhan ekonomi disini adalah
modus akumulasi keuntungan dalam fase kapitalisme sekarang dilakukan melalui eksploitasi
massif atas dua sumber utama nilai kesejahteraan, yakni sumber daya alam serta sumber daya
manusia indonesia. Kapitalisme yang berlaku sekarang memang menciptakan pertumbuhan, tapi
pertumbuhan ini dilakukan melalui penghisapan nilai yang terkandung dari alam dan juga
pekerja. MP3EI menjadi cara yang paling baru untuk mempertahankan relasi eksploitatif ini.

Walau begitu, MP3EI juga menciptakan satu potensi yang cukup krusial bagi penciptaan
relasi ekonomi politik yang baru dan alternative. Ekstensifikasi serta intensifikasi melalui MP3EI
memungkinkan untuk terjadinya pertemuan serta penyatuan kekuatan rakyat pekerja dari
berbagai sector ekonomi yang ada. Dari buruh, petani, penganggur, miskin kota, dan seluruh
rakyat pekerja yang dieksploitasi dalam system ekonomi yang ada. Hal ini tentu saja adalah
suatu tantangan sekaligus peluang yang sangt baik untuk mengembalikan politik kelas di
Indonesia, bentuk politik yang sempat ada dalam pengalaman kesejarahan kita sebagai bangsa
namun dihancurkan secara bengis oleh kekuatan kapitalis nasional di masa lampau. Yang
diperlukan sekarang untuk ditanyakan sekaligus dijawab adalah bagaimana bentuk
pengorganisiran politik yang harus didorong dengan basis material yang tersedia seperti sekarang
ini. keberhasilan dari menjawab pertanyaan krusial ini akan sangat menentukan bentuk politik
kelas seperti apa yang akan muncul. Dalam hal ini, penulis tidak memiliki preskripsi atau resep
generic tertentu. Untuk itu, pertanyaan ini hanya dapat dijawab dengan praktik serta aktifitas
perlawanan bersama dalam rakyat pekerja itu sendiri.

Referensi

Buku

Harvey, David. The New Imperialism. New York: Oxford University Press, 2003.


Jurnal

Dunn, Bill. Accumulation by Dispossesion or Accumulation of Capital? The Case of China
dalam Journal of Australian Political Economy vol. 60 (2007).
Kalecki, Michael. Political Aspect of Full Employment, dalam Political Quarterly Vol 14 (4),
1943, hal. 322-30

Hasil Riset

Fajri, Ayudya; Irwansyah; Ridha, Muhammad; Rahayu, Ruth Indiah; Pratama, Tommy Ardian
dan Purwaka, Y. Wasi Gede. Pola Konsumsi dan Pendapatan Buruh Perempuan: Sebuah
Kajian atas Dampak Perlindungan Sosial, INKRISPENA bekerja sama dengan Institut
for Global Justice (IGJ), 2011.
Ridha, Muhammad dan Daeng, Salamuddin. Dampak ACFTA dan Kebohongan Safeguard.
Jakarta: IGJ, 2010. tidak dipublikasikan.

Laman

www.bps.go.id/getfile.php?news=888
http://www.sindonews.com/read/2012/01/03/452/551177/ekspor-enam-komoditi-industri-usd77-
9-m
m.bi.go.id/NR/rdonlyres/B81E97C8.../Laporan_NPI_tw311.pdf
http://www.bps.go.id/aboutus.php?65tahun=1
http://embassyofindonesia.it/wp-content/uploads/2010/07/Invest-in-Remarkable-Indonesia.pdf
http://beritadaerah.com/berita/national/51012

Anda mungkin juga menyukai