Anda di halaman 1dari 26

1

BAB I
PENDAHULUAN
Bayi baru lahir mengalami perubahan fisiologis yang dramatis dalam menit pertama
sampai beberapa jam setelah dilahirkan. Perubahan fisiologis pada bayi ini
diakibatkan oleh transisi dari lingkungan intrauterine menjadi lingkungan
ekstrauterine. Pada saat bayi di lingkungan intrauterine, pertukaran gas dan sirkulasi
dibantu oleh plasenta. Sedangkan di luar uterus, bayi memiliki sistem
cardiopulmonary yang independen.
1
Setiap tahunnya 136 milyar bayi lahir di seluruh dunia. Pada setiap bayi baru
lahir, dapat dilakukan APGAR scoring dan scoring yang lain untuk menilai vitalitas
dari bayi. Kurang lebih 5-10% dari bayi yang lahir setiap tahunnya memerlukan
rangsangan sederhana untuk membantu mereka bernafas, 3-5% membutuhkan
resusitasi dasar, dan <1% memerlukan resusitasi lanjutan berupa kompresi dada atau
obat-obatan. Diperkirakan pula 814.000 bayi baru lahir meninggal setiap tahunya di
seluruh dunia, dan salah satu penyebab kematian bayi tersebut adalah kegagalan
respirasi dan kegagalan sirkulasi pada saat bayi baru lahir.
1 2
Kegagalan respirasi biasanya disebabkan oleh tidak adekuatnya pernafasan
untuk mendorong cairan untuk keluar dari alveoli. Adanya benda asing yang
menghalangi jalan nafas. Kehilangann darah yang berlebihan atau kontraktilitas
jantung yang tidak baik atau bradikardi sehingga menyebabkan hipoksia dan iskemia
lalu menyebabkan hipotensi sistemik. Berkurangnya ventilasi dari paru sehingga paru
mengalami konstriksi arteriole paru, lalu menghambat oksigenasi darah di arteri
sistemik. Perfusi dan oksigenasi ke organ bayi yang tidak adekuat dan terjadi terus
menerus dapat menyebabkan kerusakan pada otak dan organ lainnya dan kemudian
menyebabkan kematian.
2
Perfusi dan oksigenasi ke organ-organ tubuh bayi sangatlah penting untuk
mencegah kematian bayi baru lahir, oleh karena itu resusitasi neonatus yang
2

bertujuan untuk mendukung dan memelihara pernafasan dan sirkulasi pada bayi baru
lahir sangatlah diperlukan pada bayi yang mengalami masalah adaptasi terhadap
lingkungan ekstrauterine.
2


















3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asfiksia
Asfiksia neonatorum didefinisikan sebagai kegagalan bernafas secara spontan dan
teratur pada saat bayi lahir atau sesaat setelah bayi lahir yang ditandai dengan
keadaan PaO
2
di dalam darah yang rendah (hipoksemia),hiperkarbia (PaCO
2
meningkat) dan asidosis. Dalam uterus, asfiksia disebabkan oleh hipoksia maternal,
penurunan aliran darah plasental-umbilikal, dan gagal jantung fetal. Hipoksia
maternal disebabkan oleh penyakit jantung sianotik kongenital maternal, gagal
jantung kongestif, atau gagal napas.
3
Selama stadium awal dari asfiksia, cardiac output tetap stabil tetapi terjadi
perubahan distribusi. Aliran darah ke hati, ginjal, usus, kulit dan otot menurun,
dimana aliran darah ke jantung, otak, kelenjar adrenal dan plasenta dipertahankan
tetap konstan atau dinaikkan. Distribusi aliran darah ini membantu memelihara
oksigenasi dan nutrisi otak dan jantung, mengingat kandungan oksigen dalam darah
arteri sangatlah rendah.
3,4
Fungsi dari jantung yang hipoksemik dijaga oleh metabolisme glikogen
miokardial dan metabolisme asam laktat. Ketika sumber energi habis, dengan cepat
terjadi kegagalan miokardial, dan tekanan darah arteri dan cardiac output menurun.
Apabila denyut jantung menurun sampai kurang dari 100 denyut/menit selama
asfiksia, maka cardiac output akan menurun secara bermakna. Tekanan vena sentral
meningkat selama asfiksia karena pembuluh darah sistemik mengalami kontriksi dan
volume darah sentral meningkat akibatnya terjadi kegagalan jantung untuk memompa
darah. Janin dan bayi baru lahir bisa mengatasi hipoksia karena mempunyai sejumlah
opiat endogen dalam darahnya. Substansi tersebut, yang meningkat selama hipoksia
dapat menurunkan konsumsi oksigen. Respon normal terhadap katekolamin juga
4

penting untuk menyelamatkan dari asfiksia. Respon normal terhadap asfiksia meliputi
peningkatan hormon adrenokortikotropik plasma, glukokortikoid, katekolamin, faktor
intrisik atrium, renin, arginin vasopresin dan penurunan kadar insulin darah. Arginin
vasopresin mengakibatkan hipertensi, bradikardi dan redistribusi aliran darah
sistemik. Glikogenolisis mempertahankan kadar glukosa darah.
3
2.2 Asessment Pada Fetus dan Neonatus
Asfiksia janin atau neonatus akan terjadi jika terdapat gangguan pertukaran gas atau
pengangkutang O2 dari ibu kejanin. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan,
persalinan atau segera setelah lahir. Dengan demikian diperlukan diagnosis dini
terhadap gangguan tersebut sehingga dapat dilakukan persiapan untuk resusitasi
sedini mungkin.
1
2.2.1 Penilaian Fetus
Diagnosis anoksia/hipoksia janin yang sering berujung pada asfiksia neonatorum
dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Yang
perlu diperhatikan dalam menilai tanda-tanda gawat janin adalah :
a. Perubahan gerakan janin
Gerakan jann yang menurun atau berlebihan biasanya menandakan
keadaan gawat janin, namun gejala ini merupakan gejala subyektif yang
biasanya disampaikan oleh ibu.
b. Denyut jantung janin
Frekuensi denyut jantung janin yang normal adalah 120 sampai 160 kali
per menit, selama his, frekuensi ini dapat turun, namun di luar his frekuensi
akan kembali seperti keadaan semula. Peningkatan kecepatn denyut
jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi
denyut jantung janin menurun hingga < 100 kali per menit di luar his, dan
diikuti oleh denyut yang tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.
5

5

c. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium dalam presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada
tpresentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi dan harus
menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada
presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan.
5
d. Pemeriksaan PH darah
Dengan menggunakan amnioskope yang dimasukkan lewat serviks dibuat
sayatan kecil pada kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini
diperiksakan PH-nya. Apabila PH turun sampai di bawah 7,2 hal itu
dianggap sebagai tanda bahaya.
6
2.2.2 Penilaian Neonatus
Penilaian pada bayi baru lahir meliputi penilaian terhadap denyut jantung, pernafasan,
tonus otot, reflek, dan warna kulit.
a. Denyut Jantung
Normalnya denyut jantung pada bayi baru lahir adalah 120 sampai 160 denyut/menit.
Walaupun banyak neonatus bertoleransi dengan denyut jantung diatas 220
denyut/menit dengan sedikit pengaruh buruk, denyut jantung dibawah 100
denyut/menit sering sulit ditoleransi sebab terjadi penurunan cardiac output dan
perfusi jaringan. Elektrokardiogram dan ekokardiogram dapat membantu
mendiagnosa masalah tersebut sebelum lahir. Jika hal tersebut terjadi, pertama harus
dipersiapkan untuk menangani keadaan bradikardinya.
7
b. Pernapasan
Bayi biasanya mulai bernapas 30 detik setelah lahir dan perlu bantuan bila tidak
bernafas setelah 90 detik. Beberapa menit setelah lahir, frekuensi napas neonatus
antara 30 sampai 60 kali/menit. Apneu dan bradipneu terjadi pada keadaan asidosis
berat, asfiksia, infeksi (meningitis, septikemia, pneumonia) dan kerusakan CNS.
6

Takipneu (>60 kali/menit) terjadi pada hipoksemia, hipovolemia, asidosis (metabolik
dan respiratorik), perdarahan CNS, kebocoran gas paru, kelainan paru (hyalin
membrane disease, sindrom aspirasi, infeksi), udem paru, dan penggunaan obat-
obatan oleh ibu (narkotik, alkohol, magnesium, barbiturat).
7,8
c. Tonus Otot
Sebagian besar neonatus, termasuk yang preterm akan aktif saat lahir dan
menggerakan semua ekstremitas sebagai respon terhadap rangsangan. Asfiksia,
penggunaan obat pada ibu, kerusakan CNS, amiotonia kongenital, dan miastenia
grafis akan menurunkan tonus otot. Fleksi kontraktur serta tidak adanya lipatan sendi
merupakan tanda kerusakan CNS yang terjadi di dalam rahim.
7,8
d. Reflek
Neonatus normal bergerak ketika salah satu ekstremitas digerakkan dan meringis atau
menangis ketika selang dimasukkan ke dalam hidungnya. Tidak adanya respon terjadi
pada bayi hipoksia, asidosis, penggunaan obat sedatif pada ibu, trauma CNS dan
penyakit otot kongenital.
7,8
e. Warna Kulit
Pada umumnya semua kulit neonatus berwarna biru keunguan sesaat setelah lahir.
Sekitar 60 detik, seluruh tubuhnya menjadi merah muda kecuali tangan dan kaki yang
tetap biru (sianosis sentral). Sianosis sentral diketahui dengan memeriksa wajah,
punggung dan membran mukosa. Jika sianosis sentral menetap sampai lebih dari 90
detik perlu dipikirkan aspiksia, cardiac output rendah, udem paru,
methemoglobinemia, polisitemia, penyakit jantung kongenital, aritmia dan kelainan
paru (distres pernapasan, obstruksi jalan napas, hipoplastik paru, hernia
diafragmatika), terutama bila bayi tetap sianosis dibawah respirasi kendali dan
oksigen ysng mencukupi. Pucat menandakan penurunan cardiac output, anemia berat,
hipovolemia, hipotermia atau asidosis.
7,8
7

2.2.3 Apgar Skor
Apgar skor adalah ekspresi dari kondisi physiologis bayi baru lahir. Dengan apgar
skor (tabel 2.1) memungkinkan dilakukan evaluasi kondisi bayi yang baru lahir pada
menit pertama dan kelima kehidupannya.Apgar skor pada menit pertama
merefleksikan kondisi bayi pada saat lahir dan berhubungan dengan kemampuannya
untuk bertahan hidup, apgar skor yang tidak banyak meningkat dari menit pertama
hingga menit ke 5 dikatakan meningkatkan resiko kematian pada bayi. Sedangkan
apgar skor pada menit ke-5 merefleksikan usaha resusitasi dan mungkin berhubungan
dengan neurological outcome, apgar score yang rendah pada menit ke 5 (0-3)
dikatakan meningkatkan resiko terjadinya serebral palsy.
Tabel 1. APGAR SKOR
9,10
TANDA 0 1 2
Appearance
(warna kulit)
Biru, pucat
Ekstremitas biru
Tubuh merah,
ektremitas biru
Merah seluruh tubuh
Pulse/hearth rate
(denyut jantung)
Tidak ada <100 kali/menit >100 kali/menit
Grimace
(reflek)
Tidak ada Menyeringai Batuk, bersin,
menangis
Activity
(tonus otot)
Lemas Fleksi ekstremitas
lemah
Gerakan aktif,
fleksi ekstremitas
Respiration
(pernafasan)
Tidak ada Tidak teratur, dangkal Tangis kuat,
Teratur

Apgar skor 8-10. Apgar skor 8-10 umumnya dapat dicapai pada 90% neonatus.
Dalam hal ini, diperlukan suction oral dan nasal, mengeringkan kulit, dan menjaga
temperatur tubuh tetap normal. Reevaluasi kondisi neonatus dilakukan pada menit ke-
5 pertama kehidupan.
3
Apgar skor 5-7 (asfiksia ringan). Neonatus ini akan merespon terhadap rangsangan
dan pemberian oksigen. Jika responnya lambat, maka dapat diberikan ventilasi
8

dengan pemberian oksigen 80-100% melalui bag and mask. Pada menit ke-5 biasanya
keadaannya akan membaik.
3
Apgar skor 3-4 (asfiksia sedang). Neonatus biasanya sianotik dan usaha
pernafasannya berat, tetapi biasanya berespon terhadap bag and mask ventilation dan
kulitnya menjadi merah muda. Apabila neonatus ini tidak bernafas spontan, maka
ventilasi paru dengan bag and mask akan menjadi sulit, karena terjadi resistensi jalan
nafas pada saat melewati esofagus. Apabila neonatus tidak bernafas atau
pernafasannya tidak efektif, pemasangan pipa endotrakea diperlukan sebelum
dilakukan ventilasi paru. Hasil analisa gas darah seringkali abnormal (PaO
2
< 20
mmHg, PaCO
2
> 60 mmHg, pHa 7,15). Apabila pH dan defisit basa tidak berubah
atau memburuk, diperlukan pemasangan kateter arteri umbilikalis dan jika perlu dapat
diberikan natrium bikarbonat.
3
Apgar skor 0-2. Neonatus dengan apgar skor 5-7 disebut menderita asfiksia berat
dan memerlukan resusitasi segera
5
. Sebaiknya dilakukan intubasi dan kompresi dada
dapat dilakukan segera
3
.
2.3 Resusitasi Neonatus
Resusitasi neonatus terutama difokuskan pada saat bayi baru lahir, dan banyak
prinsip-prinsipnya yang dapat diterapkan selama masa neonatus dan bayi. Istilah bayi
baru lahir secara spesifik diartikan sebagai bayi pada menit pertama sampai jam
pertama setelah lahir. Istilah neonatus umumnya diartikan sebagai bayi selama 28
hari pertama. Sedangkan istilah bayi meliputi masa neonatus sampai umur 12 bulan.
11
Dalam proses resusitasi difokuskan dengan mengidentifikasi abnormalitas
pada oksigenasi dan perfusi. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengoreksi
keadaan tersebut dan mencegah pemburukan yang lebih lanjut.
12
Bayi-bayi yang tidak memerlukan resusitasi dapat dinilai dengan mudah dan
cepat. Penilaiannya meliputi 3 karakteristik yaitu :
9

- Apakah bayi lahir aterm?
- Apakah bayi menangis atau bernafas?
- Apakah tonus otot bayi baik?
Jika semua pertanyaan diatas jawabannya adalah iya, maka bayi tidak memerlukan
resusitasi dan tidak perlu dipisahkan dari ibunya. Bayi harus dikeringkan, diletakkan
salling bersentuhan dengan ibunya, dan ditutupi dengan kain linen untuk menjaga
temperatur. Selanjutnya tetap observasi pernafasan, aktifitas, dan warna kulit bayi.
12

Jika ada dari pertanyaan diatas yang jawabannya adalah tidak, maka bayi
memerlukan resusitasi yang dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
1. Langkah dasar, mencakup penilaian secara cepat dan stabilisasi awal
2. Ventilasi, mencakup bag-mask atau bag-tube ventilation
3. Kompresi dada
4. Pemberian cairan atau obat-obatan
12


2.3.1 Prosedur Resusutasi
11,12
1. Keringkan dan hangatkan (drying and warming)
a. Keringkan cairan amnion pada tubuh bayi
b. Letakkan bayi dibawah lampu penghangat (radiant warmer)

c. Singkirkan kain basah yang kontak dengan tubuh bayi

10



Gambar 2.1 Algoritme Resusitasi pada Bayi Baru Lahir


2. Jaga jalan nafas (airway positioning)
a. Bayi posisi terlentang (supine) dengan leher pada posisi yang normal
b. Posisi kepala sedikit direndahkan
11

c. Miringkan kepala dengan leher sedikit ekstensi jika sekretnya banyak
3. Airway suctioning
a. Mekonium Staining
Segera lakukan intubasi dan lakukan tracheal suction sebelum bayi
dikeringkan dan dirangsang. Suction hipofaring dan kemudian lambung
(dengan pipa orogastrik) dengan baik
b. Suction mulut sebelum hidung apabila mekonium tidak ada
c. Suction sebaiknya dibatasi selama 3-5 detik.
4. Berikan rangsangan (stimulation)
a. Rangsang bayi dengan mengeringkan, menghangatkan, dan suction
b. Rangsang taktil : dengan cara menyentil telapak kaki bayi, atau dengan
menepuk-nepuk punggung bayi
c. Hindari metode-metode yang berlebihan dalam memberikan rangsangan
kepada bayi
5. Berikan oksigen
Keadaan hipoksia selalu dijumpai pada bayi baru lahir yang memerlukan
resusitasi. Oleh karena itu, adanya sianosis, bradikardi, atau tanda lainnya
dari gagal nafas selama stabilisasi bayi baru lahir, mengindikasikan perlunya
pemberian oksigan 100%. Pemberian oksigen sebaiknya dilakukan dengan
hati-hati karena dapat membahayakan. Oksigen dapat diberikan melalui self-
inflating bag, sungkup muka, ataupun melalui kateter. Tujuan dari
pemberian oksigen adalah keadaan normoksia. Pemberian oksigen yang
cukup ditandai dengan membran mukosa menjadi berwarna merah. Jika
keadaan sianosis terjadi secara berulang ketika pemberian oksigen telah
dihentikan, maka diperlukan perhatian post resusitasi mencakup monitoring
konsentrasi oksigen yang diberikan dan saturasi oksigen darah arteri
1
.
12

6. Ventilasi
Indikasi dilakukan positive pressure ventilation yaitu :
Apneu atau gasping respiration
Bradikardi : denyut jantung < 100 kali/menit
Sianosis sentral persisten (walaupun telah diberikan oksigen 100%)
Ventilasi dilakukan melalui bag-valve-mask, pada ventilatory rate 40-60
kali/menit, dapat dilihat pada gambar 2.2. Kunci dari keberhasilan resusitasi
pada neonatus yaitu menjaga agar ventilasinya tetap adekuat
1
.

Gambar 2.2 Tehnik Ventilasi melalui Bag and Mask


c. Intubasi endotrakeal dilakukan pada (gambar 2.3) :
Ventilasi bag-valve-mask yang tidak efektif
Tracheal suctioning apabila terjadi aspirasi mekonium yang banyak
Intermittent positive pressure ventilation yang lama
13


Gambar 2.3 Intubasi pada Neonatus


7. Kompresi dada
a. Bradikardi dan cardiac arrest biasanya dapat dicegah dengan oksigenasi
dan ventilasi secara efektif pada tahap awal
b. Kompresi dada sebaiknya dimulai jika denyut jantung < 60-80 kali/menit
dan tidak meningkat dengan cepat walaupun telah mendapatkan IPPV
secara efektif selama 30 detik
c. Pada sepertiga bawah sternum dilakukan kompresi - inchi saat
denyut jantung 120 kali/menit
8. Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan yaitu epinefrin, volume expander, ntrium
bikarbonat, nalokson
.




14

2.3.2 Penilaian Tindakan Resusitasi
Terdapat beberapa keadaan dimana resusiatsi tidak dilakukan dan tindakan resusitasi
dihentikan. Resusitasi tidak dilakukan pada keadaan berikut :
1. Bayi dengan masa gestasi < 23 minggu atau berat badan lahir < 400 gram
2. Bayi anensefali
3. Bayi dengan trisomi 13 atau 18
Sedangkan pada bayi dengan extremely immature dan bayi dengan kelainan
kongenital masih menjadi perdebatan apakah perlu dilakukan tindakan resusitasi.
12
Penghentian usaha resusitasi dilakukan apabila resusitasi yang dilakukan pada
bayi dengan kegagalan kardiorespirasi tidak memberikan respon sirkulasi yang
normal dalam 15 menit. Resusitasi pada bayi baru lahir setelah 10 menit mengalami
asistol akan sangat sulit bagi bayi tersebut untuk bisa bertahan hidup atau bayi
tersebut bisa bertahan hidup namun dengan severe disability.
12

2.3.3 Resusitasi pada Neonatus yang Mengalami Depresi Nafas
Sekitar 6 % bayi yang baru lahir mengalami depresi nafas, dan sebagian basar dari
bayi tersebut memiliki berat badan kurang dari 1500 gram, memerlukan bantuan
hidup lanjut. Resusitasi pada neonatus yang mengalami depresi nafas memerlukan 2
atau lebih tenaga penolong satu orang bertugas menjaga jalan nafas dan ventilasi,
sedangkan yang lain melakukan kompresi dada jika diperlukan. Orang ketiga
bertugas untuk memfasilitasi pemasangan kateter intravaskuler dan pemberian cairan
atau obat.
12

Penyebab tersering dari depresi nafas pada neonatus adalah asfiksia
intrauterin, sehingga resusitasi difokuskan pada respirasi. Keadaan hipovolemia juga
merupakan faktor yang mendukung.
12

Kegagalan neonatus dalam merespon usaha resusitasi secara cepat
menandakan diperlukan suatu vascular access dan analisa gas darah. Perlu
15

dipikirkan adanya suatu pneumothoraks (1% kasus) dan anomali kongenital pada
jalan nafas, termasuk fistula trakheoesofageal (1:3000-5000 lahir hidup) dan hernia
diafragmatika kongenital (1:2000-4000).
12
2.4 Resusitasi Kardiopulmoner
Tujuan dari resusitasi kardiopulmoner adalah untuk melindungi sistem saraf pusat
selama keadaan asfiksia. Tahap awal dari resusitasi kardiopulmoner adalah dengan
melakukan antisipasi. Hal ini mencakup pengetahuan mengenai riwayat obstetri dari
ibu, riwayat kehamilan termasuk riwayat persalinan, persiapan dalam proses
pemindahan (peralatan, material, dan obat), dan yang terpenting adalah adanya tim
terlatih yang bertugas untuk melakukan resusitasi.
12
Untuk melakukan resusitasi pulmoner, trakea sebaiknya diintubasi dengan
segera dan ventilasi tekanan positif sebaiknya dimulai pada frekuensi nafas 30-60 kali
per menit. Setiap nafas yang kelima, dilakukan nafas buatan selama 2-3 detik untuk
mengembangkan paru yang mengalami atelektasis dan membantu mengeluarkan
cairan di dalam paru. Bukti terakhir menunjukkan bahwa 6 nafas yang kuat pada saat
lahir, secara bermakna dapat meningkatkan trauma paru pada bayi prematur 30 menit
sampai beberapa jam kemudian dan respon terhadap surfaktan secara signifikan
dibatasi pada saat pernafasan yang panjang tersebut
5
.
2.5 Resusitasi Vaskular
Resusitasi vaskuler seringkali dilupakan dalam melakukan resusitasi pada neonatus
5
.
Beberapa neonatus dan 2/3 bayi prematur yang memerlukan resusitasi mengalami
hipovolemia pada saat lahir. Diagnosis ini ditegakkan dari pemeriksan fisik
(rendahnya tekanan darah dan pucat) dan respon yang buruk terhadap resusitasi.
Tekanan darah neonatus secara umum berhubungan dengan volume intravaskuler dan
seharusnya dilakukan pemeriksaaan secara rutin. Tekanan darah yang normal
tergantung dari berat badan lahir dan bervariasi dari 50/25 mmHg untuk neonatus
dengan berat badan 1-2 kg sampai 70/40 mmHg untuk berat badan lebih dari 3 kg.
16

Rendahnya tekanan darah menunjukkan keadaan hipovolemia. Selain itu, hipotensi
juga dapat disebabkan oleh hipokalsemia, hipermagnesemia, dan hipoglikemia
3
.
Apabila kondisi neonatus tidak membaik dengan rangsang taktil dan ventilasi,
maka sebaiknya pemasangan kateter arteri umbikalis untuk mengukur pH dan analisa
gas darah, mengukur tekanan arteri, menambah volume darah, dan untuk memberikan
obat. Sebagian besar neonatus preterm memiliki berat badan lahir < 1250 gram, dan
1-3 % dari neonatus tersebut memerlukan kateter arteri umbilikalis selama resusitasi.
Hal ini mungkin juga berguna untuk menyediakan jalur intravena untuk menentukan
keadekuatan penggantian volume darah
5
.
2.6 Kompresi Dada
Indikasi dilakukannya kompresi dada yaitu apabila setelah 15-30 detik, denyut
jantung < 60 kali/menit atau antara 60-80 kali/menit dan tidak meningkat setelah
pemberian positive pressure ventilation dengan FiO
2
100%.
4
Kompresi dada dilakukan pada sternum 1/3 bawah. Tedapat 2 tehnik dari
kompresi dada yaitu:
1. Menggunakan 2 ibu jari yang diletakkan pada sternum (sejajar dengan 1
jari dibawah puting susu) dengan jari-jari tangan lainnya melingkari dada
(the two thumb-encircling hands technique).
2. Tehnik dengan dua jari tangan kanan(the two finger technique) yang
diletakkan di dada dengan tangan lainnya menyokong punggung.
Beberapa data menunjukkan bahwa the two thumb-encircling hands technique
memiliki beberapa keuntungan dalam mencapai puncak tekanan sistolik dan tekanan
perfusi koroner, sehingga lebih dipilih dibandingkan dengan the two finger technique.
Dalamnya kompresi dada kurang lebih sepertiga dari diameter anterior-posterior
dada. The pediatric basic live support guidelines merekomendasikan dalamnya
kompresi dada kurang lebih
1
/
3
- dari diameter anterior posterior dada. Tidak ada
data yang spesifik mengenai dalamnya kompresi dada yang ideal, namun
17

direkomendasikan untuk melakukan kompresi dada sekitar sepertiga dari dalamnya
dada, tetapi kompresi ini harus dapat untuk membuat denyut nadi yang teraba secara
adekuat. Tehnik kompresi dada ini dapat dilihat pada gambar 2.4. Perbandingan
antara kompresi dada dengan ventilasi adalah 3:1, yaitu dengan melakukan 90 kali
kompresi dan 30 kali ventilasi dalam satu menit. Denyut jantung harus dievaluasi
secara periodik yaitu setiap 30 detik. Kompresi dada dihentikan apabila denyut
jantung terjadi secara spontan lebih dari 80 kali/menit.
12

Gambar 2.4 Kompresi Dada


2.7 Obat-Obat Resusitasi
Obat-obatan jarang diindikasikan pada resusitasi bayi baru lahir
1
. Obat-obatan
diberikan apabila denyut jantung < 80 kali/menit, walaupun telah mendapatkan
ventilasi yang adekuat dengan oksigen 100% dan telah dilakukan kompresi dada
minimal selama 30 detik
7,10
. Obat-obatan yang digunakan yaitu epinefrin, volume
expander,ntrium bikarbonat, nalokson
1
. Secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1.
18

2.7.1 Epinefrin
Pemberian epinefrin diindikasikan apabila denyut jantung < 60 kali/menit setelah
ventilasi yang adekuat dan kompresi dada selama 30 detik. Epinefrin terutama
diindikasikan apabila terdapat asistol.
12
Epinefrin memiliki efek stimulasi terhadap reseptor dan adrenergik. Pada
cardiac arrest, adrenergik menyebabkan vasokonstriksi yang akan meningkatkan
tekanan perfusi selama kompresi dada, sehingga terjadi peningkatan hantaran oksigen
ke jantung dan otak. Epinefrin juga meningkatkan keadaan kontraktil jantung,
menstinulasi kontraksi spontan dan meningkatkan denyut jantung.
12
Dosis intravena atau endotrakea adalah 0,1-0,3 mL/kg dengan pengenceran
1:10000 (0,01-0,03 mg/kg), dapat diulang setiap 3-5 menit. Pemakaian epinefrin
dosis tinggi pada binatang dapat menyebabkan hipertensi dengan curah jantung yang
rendah. Efek hipotensi yang diikuti dengan hipertensi dapat meningkatkan risiko
perdarahan intrakranial, terutama pada bayi preterm.
12
2.7.2 Volume ekspander
Volume ekspander penting untuk melakukan resusitasi pada bayi baru lahir yang
mengalami hipovolemia. Kecurigaan terjadinya hipovolemia diketahui dengan
kegagalan dalam merespon resusitasi. Cairan yang dipilih kristaloid isotonik misalnya
normal salin atau ringer laktat. Pemberian sel darah merah O-negatif dapat
diindikasikan untuk mengganti kehilangan darah dalam jumlah yang besar. Solution
yang menggandung albumin jarang digunakan untuk ekspansi volume pada tahap
awal karena penggunaannya terbatas, risiko infeksi, dan pada observasi dihubungkan
dengan peningkatan mortalitas.
12
Dosis awal dari volume ekspander adalah 10 mL/kg yang diberikan secar
perlahan melalui jalur intravena selama 5-10 menit. Dosis ini dapat diulang setelah
ditentukan kondisi klinis lebih lanjut dan diobservasi respon yang terjadi.pemberian
bolus dalam dosis yang besar dapat dilakukan pada bayi yang lebih besar. Akan
19

tetapi, volume overload atau komplikasi (misalnya perdarahan intrakranial) dapat
terjadi akibat pemberian volume ekspander intravaskuler yang tidak tepat pada bayi
asfiksia dan bayi preterm.
12

2.7.3 Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat diberikan pada keadaan asidosis metabolik yang persisten
ataupun hiperkalemia.dosis yang diberikan yaitu 1-2 mEq/kg dari solution 0,5
mEq/mL yang diberikan melalui jalur intravena secara perlahan (minimal dalm 2
menit) setelah ventilasi dan perfusi adekuat.
12
2.7.4 Nalokson
Nalokson hidroklorida merupakan antagonis narkotik yang tidak mempunyai efek
depresi respirasi. Secara spesifik diindikasikan untuk melawan efek depresi respirasi
pada bayi baru lahir, yang ibunya mendapat narkotik dalam 4 jam sebelum
melahirkan. Sebelumpemberian nalokson selalu dijaga keadekuatan ventilasi. Jangan
memberikan nalokson pada bayi baru lahir yang ibunya dicurigai menggunakan obat-
obat narkotik (drug abuse) karena dapat menyebabkan efek withdrawal.
12
Dosis yang direkomendasikan yaitu 0,1 mg/kg dari 0,4 mg/mL atau solution 1
mg/mL yang diberikan secara intravena, endotrakea, atau apabila perfusinya adekuat
dapat diberikan intramuskular atau subkutan. Karena durasi dari narkotik lebih lama
dibandingkan nalokson, maka monitoring secara kontinyu merupakan hal yang
penting, dan pemberian nalokson dapat diulang untuk mencegah apneu rekuren.
12





20

Tabel 2. Obat-obatan yang Digunakan selama Resusitasi
5
OBAT INDIKASI DOSIS CARA
PEMBERIAN
EFEK
Epinefrin Asistol 0,01mg/kg
(0,1 mL/kg)
diencerkan
1:10000
ET, IV denyut jantung
kontraktilitas
miokard
tekanan arteri
Natrium
bikarbonat
Asidosis
metabolik
1-2 meq/kg
diluted 1:2
(sangat perlahan)
IV Mengoreksi asodosis
metabolik
COP dan perfusi
perifer
Nalokson Ibunya
menggunakan
opiat+bayi
apneu
0,1 mg/kg ET, IV, SC, IM ventilatory rate
Cairan (PRC,
albumin 5%,
normal salin)
Hipovolemia 10-20 mL/kg IV secara
perlahan
tekanan darah
perfusi perifer

Keterangan : ET: endotrakea; IM: intramuskular; IV: intravena; SC: subkutan;
PRC: Packed Red Cells; COP: cardiac output
3.1 Penyebab Kegagalan Resusitasi
Resusitasi dapat mengalami kegagalan akibat hipotermia, asidosis,
hiperbilirubinemia, dan hipovolemia
3.1.1 Hipotermia pada Neonatus
Regulasi suhu tubuh merupakan fungsi fisiologis yang sangat penting pada neonatus.
Segera setelah kelahiran, bayi terpapar dengan lingkungan yang kering dan dingin
dibandingkan dengan saat ia berada di dalam uterus dan mulai kehilangan panas
melalui penguapan, konveksi, konduksi dan radiasi. Neonatus memiliki mekanisme
21

kompensasi yang terbatas yang memelihara temperature tubuh mereka saat mereka
terpapar suhu yang dingin. Non shivering termogenesis adalah mekanisme
kompensasi yang utama saat bayi berespon terhadap suhu dingin yang bisa
menimbulkan stres. Norepinephrin akan dilepas sehingga mengaktivasi metabolisme
trigliserida dan asam lemak yang terdapat pada lemak coklat bayi. Hipotermi akan
mempengaruhi konsumsi oksigen pada bayi baru lahir.
Hipotermia berkepanjangan pada neonatus akan menyebabkan dekompensasi
jantung paru dan asidosis jaringan. Disamping itu, hipotermia akan menghilangkan
reflek hiperventilasi yang terjadi sebagai respon normal bila terjadi hipoksia.
Hipoventilasi atau apnea, umum terlihat pada bayi prematur yang mengalami
hipotermi. Hilangnya reflek hiperventilasi ini menyebabkan tidak terkompensasinya
perfusi ke jaringan pada bayi yang semula sudah hypoxia. Dengan demikian
hypothermia dikatakan berkontribusi penting terhadap kegagalan resusitasi dan
kematian bayi baru lahir.
3.1.2 Asidosis pada Neonatus
Asidosis dapat disebabkan oleh asfiksia, hipovolemia, hipotermia. Asidosis yang
berat berhubungan dengan gangguan aliran darah ke otak, pendarahan preventricular,
leucomalacia, peningkatan resistensi vascular perifer, dan penurunan perfusi
myocardial. Penurunan cardiac output secara drastic dan penurunan perfusi ke
jaringan dapat meningkatkan hypoxia jaringan dan kembali memperburuk asidosis.
13

3.1.3 Hiperbilirubinemia pada Neonatus
Jaundice fisiologis sering dijumpai pada bayi aterm yang disebabkan karena belum
matangnya sistem enzim hati. Kebanyakan bilirubin belum dikonjugasi dan hal ini
merupakan hasil dari meningkatnya produksi bilirubin, berkurangnya ambilan dalam
hepar dan berkurangnya konjugasi intra hepar. Jaundice biasanya hilang sendiri pada
beberapa hari pertama hingga minggu-minggu pertama tanpa adanya masalah.
Konsentrasi bilirubin biasanya rendah (kurang dari 100 mikromol/liter) dan tidak
22

menyebabkan kerusakan neurologis karena sawar darah otak pada bayi aterm sudah
berfungsi. Akan tetapi, kerusakan otak dapat terjadi bila kadar bilirubin terlalu tinggi
ataupun terjadi kerusakan sawar darah otak. Sawar darah otak tidak efektif pada
keadaan prematuritas, sepsis, hipotermia, hipoksia, asidosis, dan hipoalbuminemia.
14
3.1.4 Hipovolemia pada Neonatus
Hipovolemia pada neonatus menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai jaringan
dalam tubuh gangguan perfusi ini dapat menyebabkan iskemia. Otak sangat sensitif
terhadap hypoxic-ischemic injury. Kerusakan pada otak dapat bersifat irreversible.
15

4.1 Keadaan Otak Bayi Setelah resusitasi
Asfiksia pada bayi dapat menyebabkan hypoxic-ischemic encephalopathy. Brain
injury mulai terjadi saat awal terjadinya hipoxia-iskemia jaringan. setelah resusitasi
berhasil dilakukan, terjadi fase laten yang ditandai dengan kembalinya metabolisme
oksidatif pada otak. 6-24 jam setelah fase laten dapat terjadi energy failure fase 2.
16










23

BAB III
KESIMPULAN

Asfiksia diartikan sebagai hipoksemia yang disertai dengan asidosis metabolik.
Dalam uterus, asfiksia disebabkan oleh hipoksia maternal, penurunan aliran darah
plasental-umbilikal, dan gagal jantung fetal. Asfiksia dalam kehamilan dapat
menyebabkan keadaan hipervolemik maupun hipovolemik. Asfiksia selama proses
persalinan biasanya menyebabkan hipervolemia kecuali pada kondisi berikut: tekanan
tali pusat lebih besar pada vena umbilikalis dibandingkan pada arteri umbilikalis,
terjadi perdarahan dari plasenta, dan hipotensi pada ibu (misalnya pada syok, trauma,
pengaruh obat anestesi.
Dengan apgar skor memungkinkan dilakukan evaluasi kondisi bayi yang baru
lahir pada menit pertama dan kelima kehidupannya. Apgar skor pada menit pertama
merefleksikan kondisi bayi pada saat lahir dan berhubungan dengan kemampuannya
untuk bertahan hidup. Sedangkan apgar skor pada menit ke-5 merefleksikan usaha
resusitasi dan mungkin berhubungan dengan neurological outcome. Resusitasi
neonatus dibagi menjadi 4 kategori, yaitu

:
1. Langkah dasar, mencakup penilaian secara cepat dan stabilisasi awal
2. Ventilasi, mencakup bag-mask atau bag-tube ventilation
3. Kompresi dada
4. Pemberian cairan atau obat-obatan
Adapun prosedur resusutasi yaitu keringkan dan hangatkan (drying and warming),
jaga jalan nafas (airway positioning), airway suctioning, memberikan rangsangan
(stimulation), pemberian oksigen, ventilasi, kompresi dada, obat-obatan.
Tujuan dari resusitasi kardiopulmoner adalah untuk melindungi sistem saraf
pusat selama keadaan asfiksia. Tahap awal dari resusitasi kardiopulmoner adalah
dengan melakukan antisipasi.
24

Resusitasi vaskuler seringkali dilupakan dalam melakukan resusitasi pada
neonatus. Beberapa neonatus dan 2/3 bayi prematur yang memerlukan resusitasi
mengalami hipovolemia pada saat lahir.
Indikasi dilakukannya kompresi dada yaitu apabila setelah 15-30 detik, denyut
jantung < 60 kali/menit atau antara 60-80 kali/menit dan tidak meningkat setelah
pemberian positive pressure ventilation dengan FiO
2
100%.
Obat-obatan jarang diindikasikan pada resusitasi bayi baru lahir. Obat-obatan
diberikan apabila denyut jantung < 80 kali/menit, walaupun telah mendapatkan
ventilasi yang adekuat dengan oksigen 100% dan telah dilakukan kompresi dada
minimal selama 30 detik. Obat-obatan yang digunakan yaitu epinefrin, volume
expander, natrium bikarbonat, nalokson.
Beberapa hal yang dapat menyebabkan kegagalan resusitasi neonatus adalah
hipotermia, asidosis, hiperbilirubinemia, dan hipovolemia. Meskipun resusitasi
berhasil, pada otak bayi dapat terjadi kerusakan yaitu Hypoxic-Ischemic
Encepalopaty









25

DAFTAR PUSTAKA

1. Anne CC Lee, at al : Neonatal Resuscitation and Immediate New Born
Assessment and Stimulation for The New Prevention of Neonatal Death. BMC
Public Health 2011. Available at : http://www.biomedcentral.com/1471-
2458/11/S3/S12
2. Wiswell MD,Thomas: Neonatal resuscitation. Respiratory Care. Vol 48 No
3;2003.
3. Greogery G A: Resuscitation of The Newborn. In: Miller: Anesthesia. 5
th
ed.
Churchill Livingstone;2000
4. Rudolph A M, Kamei R K, Overby K J. Rudolphs Fundamentals of Pediatrics.
3
rd
ed. International Edition: McGraw-Hill; 2002
5. Prawiroharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta. P 708-715; 2007
6. Zareen Nusrat et al: An Early Diagnostic of Fetal Distress by Estimating the
Maternal Blood Gas Levels during Intrapartum Period. Pak J Physiol. Vol 4 No 3
; 2008.
7. Seidel J, Smerling A, Saltzberg D. Resusitation. In: Crain E F, Gershel J C, eds.
Clinical Manual of Emergency pediatrics. 4
th
ed. International Edition: McGraw-
Hill;2003
8. Givens K. Neonatal Resusitation. In: som. 15 Agustus 2006. Available at :
http://www.som.tulane.edu/departments/peds_respcare/neores.htm
9. Weinberger Barry, et al : Antecedents and Neonatal Consequences of Low Apgar
Scores in Preterm New Born. Arch Pediatr Adolesc Med. Vol 154: 294- 300;
2000
10. American Academy of Pediatrics, Committee on fetus and Newborn,
AmericanCollage of Obstetricians and Gynecologists and Committee on
Obstetric Practice : The Apgar Score. Pediactrics 2006 ; 117 ; 1444. Available at
: http://pediatrics.aapublications.org/content/117/4/1444.full.html
26

11. Weinstein M. Neonatal Resusitation and Care of the Newborn at Risk. In:
DeCherney A H, Nathan L, eds. Current Obstetric and Gynecologic Diagnosis
and Treatment. 9
th
ed. International Edition: McGraw-Hill; 2003
12. Kattwinkle John, et al : Part 15 : Neonatal Resuscitation : 2010 American Heart
Association Guidline for Cardiopulmonary Resuscitation and emergency
Cardiovascular Care. AHA Journal; 2010. Available at :
http://circ.ahajournals.org/content/122/18_suppl_3/S909
13. Lawn JE, Wilczynska-Katende K, Cousens SN : Estimating the cause of 4 million
neonatal death in year 200. Int J Epidemol 35:706-718, 2006
14. Zeb A, Darmstardr GL : Sclerema neonatorum : a review of nomenclature,
clinical presentation, histological features, difrential diagnoses and management.
J Perinatol 28:453-460, 2008.
15. Ramesh Argawal et al : post resuscitation management of asphyxiated neonates.
All India Institute of Medical Sciences. New Delhi. 2007. Available at :
www.newbornwhocc.org
16. Hack M et al : Outcome in young adulthood for very low-weight infants. New
Eng J Med, 2002. Jan : 346(3): 149-57.

Anda mungkin juga menyukai