Anda di halaman 1dari 70

i

STRATEGI PENGEMBANGAN
JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
DI INDONESIA
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil
Kementerian Kelautan dan Perikanan
2013
ii
STRATEGI PENGEMBANGAN
JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
DI INDONESIA
Kutipan:
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (Dit. KKJI). 2013. Strategi
Pengembangan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Direktorat
Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Jakarta, 60 hal.
Kontributor utama dalam penyusunan buku ini adalah:
Dr. Ahsanal Kasasiah (Kasubdit Jejaring, Data dan Informasi Konservasi, Dit.
KKJI); Dr. Arisetiarso Soemodinoto (TNC); Dr. Handoko Adi Susanto (MPAG);
Yudi Herdiana (WCS); dan M. Khazali (CI-Indonesia).
iii
KATA PENGANTAR
Peningkatan jumlah penduduk dan kemajuan teknologi menjadikan eksploitasi
sumberdaya ikan semakin tidak terkendali. Indikasi tangkap-lebih (overfishing)
telah terjadi di sebagian besar wilayah perairan Indonesia. Untuk itu perlu
upaya komprehensif untuk menahan laju penurunan ketersediaan sumberdaya
ikan serta dalam upaya untuk memastikan kestabilan produksi perikanan.
Pengembangan dan pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) merupakan
salah satu cara yang efektif dalam pengelolaan perikanan yang lestari dan
berkelanjutan.
Jejaring KKP (Marine Protected Areas Network MPAs Network) merupakan
kerjasama pengelolaan dua atau lebih KKP secara sinergis yang memiliki
keterkaitan biofisik, sosial budaya ekonomi, dan/atau tata kelola. Pembentukan
jejaring KKP dapat meningkatkan efisiensi sumberdaya yang dibutuhkan untuk
pengelolaan, utamanya pada aspek sumberdaya manusia dan finansial. Dengan
kata lain bahwa jejaring KKP dibentuk untuk mencapai tujuan konservasi yang
tidak dapat dipenuhi melalui pengelolaan KKP secara individu. Oleh karena
itu, jejaring KKP dapat dilakukan antara dua atau lebih KKP, baik pada tingkat
lokal, nasional, regional maupun global.
Dalam upaya pembentukan dan pengelolaan jejaring KKP di Indonesia, diperlukan
arahan strategi pengembangan jejaring KKP sebagaimana yang disusun oleh
tim kontributor buku ini. Buku ini juga merupakan pelengkap dari buku Profil
Jejaring Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia yang disusun berdasarkan
pengalaman dan pembelajaran dalam membentuk dan mengelola jejaring KKP
dari berbagai tempat di Indonesia dan negara-negara lain.
Penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada
kontributor utama penyusunan buku ini, serta kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan, sehingga buku Strategi Pengembangan Jejaring Kawasan
Konservasi Perairan di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik.
Jakarta, November 2013
Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
Ir. Agus Dermawan, M.Si
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi
BAB 1. PENDAHULUAN...................................................................................... 1
BAB 2. JEJARING KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN ............................ 5
2.2 Dasar Pengembangan Jejaring KKP ................................................ 7
2.3 Manfaat Jejaring KKP ........................................................................ 9
2.3.1 Manfaat ekologi ....................................................................... 9
2.3.2 Manfaat sosial ........................................................................... 9
2.3.3 Manfaat pengelolaan ............................................................. 10
2.4 Kriteria untuk Merancang Jejaring KKP Strategi
Pembentukan Jejaring KKP ............................................................ 15
BAB 3. STRATEGI PEMBENTUKAN JEJARING KKP .................................. 15
3.1 Siklus Pengelolaan Jejaring KKP .................................................... 15
3.1.1 Kajian kebutuhan berjejaring .............................................. 16
3.1.2 Merancang jejaring............................................................... 19
3.1.2.1 Jejaring ekologi ........................................................ 19
3.1.2.2 Jejaring sosial-budaya-ekonomi
dan tata kelola ......................................................... 20
3.1.3 Merancang jejaring ekologi ................................................. 21
3.1.4 Merancang jejaring sosial-budaya-ekonomi
dan tata kelola ....................................................................... 22
3.1.5 Studi kasus .............................................................................. 25
3.1.5.1 Indonesia Jejaring Sunda Kecil ........................... 25
3.1.5.2 Indonesia Jejaring KKP Bali ................................ 28
3.1.5.3 Papua Nugini Jejaring KKP Teluk Kimbe .......... 31
3.1.5.4 Laut Tengah Jejaring MedPAN4.......................... 33
3.1.5.5 Karibia Jejaring CaMPAM5 ................................. 36
v
BAB 4. STRATEGI PENGELOLAAN JEJARING KKP................................... 41
4.1 Kemauan Politik dan Kepemimpinan ........................................... 42
4.2 Pendidikan Publik dan Komunikasi ............................................... 43
4.3 Pendanaan Berkelanjutan ............................................................... 45
4.3.1 Strategi membangun pendanaan berkelanjutan
untuk jejaring KKP................................................................ 46
4.4 Kepatuhan dan Penegakan Hukum............................................... 47
4.5 Pemantauan Pelaksanaan Jejaring KKP ........................................ 49
BAB 5. EVALUASI KINERJA DAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN
JEJARING KKP 51 ...................................................................................
BAB 6. PENUTUP .................................................................................... 53
BAB 7. DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 55
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Siklus Pengelolaan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan ....... 17
Gambar 2. Rancangan final jejaring KKP yang menampilkan KKP yang
sudah ada dan yang diusulkan serta area-area penting untuk
dipertimbangkan sebagai KKP baru baik untuk habitat pesisir
dan laut dangkal, dan habitat laut dalam dekat-pantai
(Sumber: Wilson et al., 2011) ........................................................ 27
Gambar 3. Sembilan lokasi/calon lokasi jejaring kawasan konservasi
perairan Bali (Sumber: Mustika et al., 2011) .............................. 30
Gambar 4 Hasil akhir penempatan KKP di Teluk Kimbe, Papua Nugini,
berdasarkan analisis optimisasi dengan menggunakan
MARXAN (Sumber: Green et al., 2007) ..................................... 33
Gambar 5. Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Laut di Laut Tengah
(Sumber: http://www.medpan.org/en/medpan) ......................... 34
Gambar 6. Peta kepulauan Karibia dan wilayah di sekitarnya. Lingkaran
dengan garis penuh menunjukkan kawasan-kawasan yang
menunjukkan keterkaitan biologi, sementara lingkaran dengan
garis terputus menunjukkan kawasan-kawasan yang kurang
terdokumentasi atau berpotensi menjadi satu unit jejaring.
(Sumber: Bustamante et al., 2010) ................................................ 37
1
PENDAHULUAN
Kawasan Konservasi Perairan (KKP)
1
didirikan dengan tujuan untuk melestarikan
keanekaragaman hayati dan sumberdaya perairan sekaligus mendukung
pemanfaatan yang berkelanjutan. Oleh karenanya, pendirian KKP dilakukan
dengan mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut yang memiliki
keanekaragaman hayati tinggi dan ekosistem yang sehat. Hal ini dimaksudkan
untuk menyediakan tempat berlindung dan berkembang-biak bagi sumberdaya
ikan guna menjamin kelestarian dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Bila
dirancang dan dikelola dengan baik, KKP dapat memberikan manfaat ekonomi
bagi masyarakat sekitar. Oleh sebab itu, banyak pihak dan negara yang mendirikan
KKP guna mendukung pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya
pesisir dan laut.
Menurut Claudet et al. (2006), kawasan konservasi dapat memberikan pengaruh
positif terhadap kondisi ekosistem seperti yang ditunjukkan dengan melimpahnya
populasi ikan dan tingginya keanekaragaman jenis ikan di dalam kawasan
konservasi Mediterania Barat Laut (Northwestern Mediterranean) dibandingkan
dengan sebelum kawasan tersebut menjadi KKP. Bohnsack et al. (2000) juga
menjelaskan bahwa KKP memberikan manfaat langsung dalam pemulihan stok
ikan yang telah mengalami tangkap-lebih (overfishing), disamping sebagai perangkat
yang efektif untuk pengelolaan perikanan.
Disamping kelebihannya, KKP memiliki kelemahan yang disebabkan oleh
keterbatasan ukuran, cakupan, maupun letaknya. Sebagai contoh, ukuran KKP
yang relatif kecil tidak serta-merta dapat melindungi keanekaragaman hayati
dan sumberdaya yang berada di dalamnya. Selain itu, kemungkinan letaknya
yang kurang menguntungkan menyebabkannya rentan terhadap dampak negatif
1
Kawasan Konservasi didefinisikan oleh IUCN-WCPA (2008) sebagai sebuah kawasan yang memiliki batas geografis
jelas yang diakui, diperuntukkan dan dikelola, baik secara formal maupun tidak formal, agar dalam jangka panjang
melindungi alam berikut jasa-jasa ekosistem dan nilai-nilai budayanya. Menurut UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan. Sementara Peraturan Pemerintah (PP) No. 60/2007 tentang
Konservasi Sumberdaya Ikan menjelaskan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) sebagai kawasan perairan yang
dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara
berkelanjutan. Kawasan yang dilindungi melalui definisi ini mencakup tidak hanya kawasan laut namun juga perairan
secara umum, termasuk sungai dan danau.
B
A
B



1
1
2
kegi atan manusi a dan
perubahan iklim (Fernandes
et al., 2012; Gaines & Airame,
2010; McLeod et al., 2009;
PISCO, 2011; Roberts et al.,
2001; Schwenke et al., 2010).
Untuk memperkuat peran
dan manfaat ekologi serta
sosial-ekonomi dari sebuah
KKP dalam skala yang lebih
luas, sangat disarankan untuk
mendirikan jejaring KKP
2
(
(Marine Protected Areas Network - MPAs Network).
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 memandatkan
pembentukan jejaring baik di tingkat lokal, nasional, regional, dan
global. Jejaring KKP yang dirancang dengan baik dapat menjaga
proses-proses ekosistem dan keterkaitan ekologi (ecological con-
nectivity), serta meningkatkan daya lenting (resilience) dengan cara
memperkecil risiko jika terjadi beragam bencana, perubahan iklim,
kegagalan pengelolaan atau masalah lainnya. Jejaring KKP lebih
efektif dalam membantu menjamin kelestarian ekosistem dalam
jangka-panjang, dibandingkan apabila KKP tersebut dikelola secara
individual.
Ketentuan lebih lanjut mengenai jejaring KKP sebagaimana
disebutkan dalam PP 60/2007 ini diatur dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan. Peraturan tersebut perlu dilengkapi dengan
dokumen pendukung agar lebih operasional untuk membantu unit
pengelola KKP dalam membentuk dan mengelola jejaring KKP.
Buku Strategi Pengembangan Jejaring KKP di Indonesia disusun
dalam rangka mendukung peraturan menteri tersebut, sekaligus
2
Jejaring KKP secara sederhana dapat didefinisikan sebagai sejumlah KKP yang berada dalam
suatu wilayah ekosistem yang bertindak secara kooperatif dan sinergistik (Agardy, 2005).
3
memberikan panduan untuk melakukan pembentukan dan pengelolaan jejaring
KKP di Indonesia.
Buku ini merupakan pelengkap dari buku Profil Jejaring KKP Indonesia. Strategi
pengembangan jejaring KKP terdiri dari dua bagian utama, yaitu: strategi
pembentukan jejaring KKP (Bab 3), dan strategi pengelolaan jejaring KKP (Bab
5). Secara rinci, organisasi buku ini sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan, membahas secara umum mengenai kawasan konservasi
perairan dan manfaatnya, serta argumen mengapa diperlukan jejaring KKP.
Bab 2 Jejaring KKP, membahas definisi jejaring, tipe-tipe jejaring, perlunya
pembentukan jejaring, dan prinsip-prinsip pembentukan jejaring KKP.
4
Bab 3 Strategi Pembentukan Jejaring KKP, menjelaskan prinsip-prinsip
pembentukan jejaring dan strategi pembentukannya berdasarkan pengalaman
di negara lain dan di Indonesia. Selain itu, disampaikan contoh membangun visi,
misi dan tujuan jejaring KKP.
Bab 4 Strategi Pengelolaan Jejaring KKP menjelaskan tentang beberapa strategi
pengelolaan jejaring, termasuk pendanaan berkelanjutan, penegakan hukum/
aturan, serta pemantauan dan evaluasi formatif terhadap pelaksanaan kegiatan-
kegiatan pengelolaan jejaring.
Bab 5 Evaluasi Kinerja dan Efektivitas Jejaring KKP, menjelaskan tentang penilaian
kinerja dan efektivitas pengelolaan jejaring dalam mencapai tujuan pembentukan
jejaring.
Bab 6 Penutup.
4
5
JEJARING KAWASAN
KONSERVASI PERAIRAN
2.1 Pentingnya Membangun Jejaring KKP
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi,
dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan
dan lingkungannya secara berkelanjutan (PP 60/2007). Pengembangan KKP
merupakan salah satu cara yang efektif bagi pengelolaan sumberdaya pesisir
dan laut, terutama dengan melindungi wilayah yang secara ekologis penting
bagi ekosistem terumbu karang (Salm et al., 2000). KKP akan memberikan
perlindungan bagi spesies target perikanan dan memberikan sumbangan bagi
peningkatan sumberdaya dan produktivitas perikanan di daerah sekitarnya. Selain
itu, KKP yang dikelola secara efektif juga mendukung kegiatan pariwisata
berkelanjutan yang pada gilirannya akan memperkuat ekonomi masyarakat
pesisir (Roberts et al., 2003; Garrod & Wilson, 2004; Susanto, 2011).
Hasil penelitian di berbagai tempat menunjukkan manfaat keberadaan KKP, di
antaranya yaitu: meningkatkan hasil tangkapan ikan, adanya keragaman hasil
tangkapan, mempertahankan perikanan bagi spesies rentan, meningkatkan
kelimpahan dan ukuran ikan, menambah jumlah stok induk, meningkatkan jumlah
larva dan rekrut hasil reproduksi, mengurangi konflik antar-nelayan, mengurangi
konflik antar pengguna yang berbeda, meningkatkan stabilitas perikanan jangka
panjang (Fernandes et al., 2012; Green et al., 2013). Hingga saat ini belum ada
acuan baku tentang ukuran KKP ideal yang dapat memenuhi tujuan, manfaat,
dan optimalisasi upaya pemanfaatan sumberdaya ikan. Namun demikian banyak
kajian yang menyatakan bahwa sejalan dengan peningkatan luas KKP akan
meningkatkan spillover dan produksi larva ikan (Fernandes et al., 2012; Gaines &
Airame, 2010; Green et al., 2013; McLeod et al., 2009; PISCO, 2011).
Kawasan Konservasi yang berukuran kecil tidak dapat melindungi banyak spesies
yang memiliki home range (wilayah jelajah) yang luas. Dilain pihak, KKP yang
terlalu besar akan menurunkan produksi perikanan karena menyempitnya daerah
penangkapan (PISCO, 2011). KKP yang terlalu luas juga tidak efektif karena
berbenturan dengan kepentingan ekonomi, sosial, dan politik, seperti yang terjadi
di banyak tempat (Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008). Bohnsack et al.
B
A
B



2
5
6
(2000) menyatakan bahwa melindungi sekitar 20 - 30% terumbu karang terbukti
dapat mendukung keberlanjutan ekosistem terumbu karang. Selanjutnya
persentase tersebut dijadikan standar untuk melindungi kelestarian habitat
secara optimum.
Terlepas dari luasannya, Agardy et al. (2011) menegaskan bahwa rancangan
KKP seharusnya mengacu kepada tujuan dari pembentukan KKP. Sebagai contoh,
Marine Life Protected Act menyebutkan bahwa luasan KKP setidaknya berkisar
antara 3.000 hingga 6.000 Hektare tetapi sangat disarankan berkisar antara
6.000 hingga 12.000 Hektare; sementara jarak antar KKP berkisar antara 50
hingga 100 km (Gleason et al., 2013). Persyaratan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan keterkaitan ekologi tetapi tetap memberi ruang distribusi bagi
larva dan habitat penting yang terdapat di dalam KKP dan sekitarnya. Lebih
lanjut McLeod et al. (2009) menyatakan bahwa tidak ada panduan khusus
mengenai seberapa besar ukuran KKP seharusnya, tetapi artikel tersebut
menekankan prinsip makin besar makin baik. Untuk dapat memaksimalkan
cakupan KKP terhadap jenis habitat yang ada, KKP paling minim memiliki di-
ameter sekitar 10-20 km, dengan jarak antar KKP berkisar 15 - 20 km untuk
mengoptimalkan keterkaitan fungsi kawasan. Dalam konteks Indonesia
diperlukan penyesuaian terhadap luasan dan jarak antar KKP, mengingat KKP
yang dikembangkan di Indonesia diperuntukkan untuk beragam pemanfaatan
(multiple use) untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat yang sangat
bergantung kepada sumberdaya perikanan dan kelautan.
Menurut PISCO (2011), pengembangan jejaring dari beberapa KKP yang
berukuran kecil dan sedang dapat mengurangi dampak negatif dari sisi sosial
ekonomi tanpa mengurangi manfaat optimal yang diharapkan. Sebuah jejaring
KKP dapat didefinisikan sebagai kerjasama pengelolaan 2 (dua) atau lebih KKP
secara sinergis yang memiliki keterkaitan ekologi, yang didukung oleh aspek-
aspek sosial-budaya, ekonomi, dan tata-kelola (IUCN-WCPA, 2008). Jejaring
KKP dapat lebih memastikan tercapainya tujuan konservasi dan perikanan
berkelanjutan daripada pengelolaan KKP secara sendiri-sendiri (Fernandes et
al., 2012; Gaines & Airame, 2010; Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008). Jejaring
KKP juga dibentuk untuk mencapai tujuan konservasi yang tidak dapat dicapai
oleh pengelolaan KKP secara tunggal, misalnya dalam hal perlindungan spesies
yang bermigrasi untuk melengkapi siklus hidupnya (Notarbartolo-di-Sciara,
2007).
7
Jejaring KKP diyakini dapat meningkatkan daya tahan dan daya lenting KKP
terhadap dampak pemanasan global, menyebar risiko (spreading risk) manakala
ada gangguan lokal, mengurangi kegagalan pengelolaan, dan memastikan
keberlanjutan sumberdaya yang lebih baik daripada pengelolaan KKP secara
sendiri-sendiri (NRC, 2001). Jejaring dapat dibangun untuk tujuan ekologi yang
berbeda, seperti meningkatkan konservasi keanekaragaman hayati dan/atau
perbaikan perikanan, serta meningkatkan kemampuan dan ketahanan dalam
menghadapi perubahan iklim global. Jejaring KKP juga memberikan keuntungan
sosial dan ekonomi, dimana akan terjadi kerjasama yang baik antar pengelola,
dan terjadi pertukaran informasi yang baik antar masyarakat di dalam lingkup
jejaring tersebut (Bustamante et al., 2010; White et al., 2006).
Jejaring KKP juga berkontribusi terhadap pencapaian tujuan pembangunan
berkelanjutan melalui tiga fungsi dan tujuan utamanya yaitu:
1. Ekologis: sebuah jejaring dapat membantu untuk memastikan ekosistem
laut berfungsi yang meliputi skala temporal dan spasial dimana ekosistem
tersebut berada.
2. Sosial: sebuah jejaring dapat membantu menyelesaikan dan mengelola konflik
penggunaan sumberdaya alam dan memastikan bahwa pemanfaatan dapat
berlangsung secara wajar dengan konflik sekecil mungkin.
3. Ekonomi: sebuah jejaring memfasilitasi penggunaan sumberdaya secara
efisien untuk mencegah pengulangan upaya yang umum terjadi pada KKP
yang dikelola secara individual karena masing-masing berusaha untuk
mempertahankan sumberdaya pengelolaan mereka.
2.2 Dasar Pengembangan Jejaring KKP
Jejaring KKP dibentuk berdasarkan keterkaitan ekologi, sosial budaya, ekonomi
dan tata-kelola. Keterkaitan ekologi terfokus pada hubungan alami antar suatu
ekosistem di dalam suatu KKP dengan beberapa KKP lainnya; keterkaitan sosial-
budaya terjadi karena adanya komunikasi dan hubungan yang terjalin antar pemangku
kepentingan dan masyarakat; sedangkan keterkaitan ekonomi biasanya didasarkan
pada pemanfaatan bersama suatu sumberdaya. Dasar tata-kelola dalam pembentukan
jejaring KKP lebih ditujukan pada kesamaan kepentingan, pengaturan administrasi
yang efektif, dan pelaksanaan pengelolaan yang lebih efisien.
8
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa sebuah ekosistem laut secara
ekologis tidak berdiri sendiri tetapi terhubung erat dengan ekosistem lainnya.
Sebagai contoh, kesehatan terumbu karang tergantung pada kesehatan man-
grove dan padang lamun di sekitarnya, begitu juga sebaliknya (CTI-CFF, 2013;
Fernandes et al., 2012; Gaines & Airame, 2010; Schwenke et al., 2010). Dari segi
sosial, banyak penduduk pesisir yang memiliki ikatan sosial budaya tinggi dengan
desa-desa atau daerah-daerah sekitarnya. Jika beberapa kawasan pesisir di tempat
tersebut dijadikan kawasan konservasi yang dikelola secara lokal, adalah wajar
jika para pengurus kawasan bergabung dalam satu jejaring karena kedekatan
sosial budaya mereka (Bustamante et al., 2010; CTI-CFF, 2013; White et al.,
2006). Dari segi ekonomi, kawasan-kawasan konservasi perairan dapat
menghemat biaya pembentukan dan pemeliharaan suatu kawasan dengan bekerja
sama dalam satu jejaring (Balmford et al., 2004; Bustamante et al., 2013).
Alasan-alasan tersebut menjadi dasar pengembangan tiga jenis jejaring KKP,
yaitu (1) ekologi; (2) sosial-ekonomi; dan (3) tata-kelola. Meskipun demikian,
sebuah jejaring KKP tidak selalu dapat dikategorikan menjadi salah satu dari
jenis jejaring tersebut; dalam banyak kasus tiga jenis jejaring tersebut berbaur
menjadi satu. Sebagai contoh, MedPAN (http://www.medpan.org/en/medpan),
sebuah jejaring pengelola KKP di Mediterania yang dibentuk dengan tujuan
untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan KKP dan beranggotakan unit
pengelola dari 80 KKP di 18 negara-negara Laut Tengah. Jejaring tersebut
merupakan suatu jejaring sosial karena beranggotakan para pengelola KKP, tetapi
pada saat bersamaan juga merupakan jejaring tata-kelola karena mencakup
aspek teknis dan pembelajaran untuk saling memperkuat semua KKP yang
menjadi anggota jejaring (CTI-CFF, 2013). Bentang Laut Pasifik Tropika Timur
(Eastern Tropical Pacific Seascape) merupakan jejaring yang dibentuk berdasarkan
keterkaitan ekologi karena keterkaitan arus laut, dan tata-kelola karena negara-
negara yang tergabung di dalamnya kurang memperoleh bantuan dari organisasi
non-pemerintah internasional dalam hal pengelolaan (CTI-CFF, 2013).
Sementara itu, jejaring di Bentang Laut Kepala Burung (Birds Head Seascape) di
Papua, dibentuk berdasarkan alasan-alasan ekologis, sosial dan tata-kelola (UNEP-
WCMC, 2008).
9
2.3 Manfaat Jejaring KKP
Jejaring KKP membantu menjamin kelestarian populasi organisme jangka panjang
secara lebih baik (IUCN-WCPA, 2008). Selain itu jejaring KKP juga dapat
memberikan nilai tambah lebih dibandingkan beberapa KKP yang berdiri sendiri
karena: (1) jejaring melindungi sumberdaya, ekosistem dan habitat secara terpadu;
dan (2) jejaring mendorong pembagian kapasitas dan pengelolaan yang merata.
2.3.1 Manfaat ekologi
Beberapa KKP dalam sebuah jejaring berhubungan dan berinteraksi melalui
keterkaitan ekologi. Hubungan alami antar KKP serta di masing-masing KKP
dapat meningkatkan fungsi ekologi dan manfaat kepada setiap KKP. Sebuah
jejaring dapat menjamin fungsi ekosistem dalam skala temporal dan spasial dimana
ekosistem bekerja. Keterkaitan ekologi dalam membangun jejaring KKP
berdasarkan pada struktur geomorfologi, batimetri, sirkulasi arus, keterkaitan
antar ekosistem, koridor migrasi (migration corridors), dan zona transisi dari
wilayah biogeografis (biogeographic region), seperti tempat peneluran, wilayah
asuhan, dan tempat mencari makan.
Jejaring KKP secara ekologi memberikan manfaat sebagai berikut:
Memastikan perlindungan terhadap sebagian besar habitat penting seperti
terumbu karang, mangrove, dan lamun.
Menyediakan perlindungan terhadap keteraturan penyebaran larva dalam
kolom air di antara dan dalam masing-masing KKP.
Menyediakan perlindungan bagi hewan-hewan yang bermigrasi, yang wilayah
jelajahnya dari satu lokasi ke lokasi lain sangat luas atau mengalami
perpindahan karena efek limpahan yang teratur atau acak dari KKP.
Menyediakan perlindungan yang lebih luas terhadap habitat dan spesies
yang terancam akibat eksploitasi yang berlebihan dan merusak.
2.3.2 Manfaat sosial
Sebuah jejaring KKP dapat dibangun oleh keterkaitan sosial antar KKP, misalnya
komunikasi dan koordinasi antar pihak pengelola dalam pengaturan dan
perencanaan KKP, membantu memecahkan dan mengelola konflik penggunaan
sumberdaya, serta mencegah duplikasi kegiatan.
10
Beberapa manfaat sosial pengembangan jejaring KKP adalah:
Membuka jalur komunikasi dan koordinasi untuk saling berbagi dan bertukar
pengalaman dan pembelajaran.
Membangun kapasitas pengelolaan KKP yang lebih baik dibandingkan dengan
pengelolaan KKP yang dikelola secara sendiri-sendiri.
Menciptakan basis informasi bersama untuk semua KKP di suatu wilayah
atau jaringan yang membantu dalam membuat pilihan-pilihan pengelolaan.
Menyediakan kemungkinan kemitraan pendanaan dan administrasi antara
badan pengelola KKP dengan institusi dan sektor-sektor lain dalam sebuah
jejaring.
Membangun konsensus lintas wilayah dalam pengambilan keputusan.
2.3.3 Manfaat pengelolaan
Manfaat pengelolaan dari sebuah jejaring KKP, antara lain:
Meningkatkan efisiensi, konsistensi, dan koordinasi dalam perbaikan
efektivitas pengelolaan KKP.
Mencegah duplikasi kegiatan.
Membangun kapasitas pengelolaan secara kolektif di dalam jejaring KKP.
2.4 Kriteria untuk Merancang Jejaring KKP
Sebuah jejaring KKP bukanlah sekedar kumpulan
beberapa KKP, tetapi memiliki tujuan untuk
meningkatkan kinerja dan efektivitasnya secara
bersama dengan mempertimbangkan kekuatan
yang dimiliki dan tantangan yang dihadapi oleh
masing-masing KKP (Gaines & Airame, 2010;
Schwenke et al., 2010). Untuk merancang jejaring
KKP yang berdaya-lenting, maka prinsip-prinsip
kelentingan yang telah digunakan di banyak tempat
di dunia perlu diterapkan (McLeod et al., 2008).
Jejaring KKP harus memiliki ukuran dan ruang
sedemikian rupa agar dapat berfungsi secara
kolektif sebagai jejaring ekologi dan berhasil
11
mencapai tujuan pelestarian keanekaragaman hayati. Selain itu, keberadaan
sebuah jejaring dapat diartikan sebagai suatu sistem KKP yang terkoordinasi
dan terhubung satu sama lain baik melalui aspek biologi maupun administratif
yang kesemuanya mencerminkan pendekatan terhadap rancangan, pengelolaan
dan pemantauan yang konsisten (IUCN-WCPA, 2008). Untuk itu ada beberapa
kriteria ekologi yang perlu dipertimbangkan ketika merancang sebuah jejaring
(IUCN-WCPA, 2008). Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
Keterwakilan (representativeness) jejaring KKP seyogianya mewakili
sejumlah kisaran keanekaragaman hayati laut dan pesisir (dari genetik sampai
ekosistem) dan lingkungan oseanografi terkait pada suatu wilayah. Semua
ekosistem dan habitat dalam wilayah tersebut harus terwakili dalam jejaring
KKP. Untuk memastikan hal ini, pengelola KKP harus mengkaji jenis dan
sebaran habitat, dan mengidentifikasi habitat-habitat perwakilan dan unik
yang harus dilindungi untuk memenuhi tujuan konservasi kawasan. Sebagai
contoh, bila sebuah jejaring KKP ditujukan untuk melindungi tempat asuhan
dan mencari makan rajungan, maka para pengelola KKP harus mem-
pertimbangkan semua habitat yang digunakan oleh rajungan sepanjang
seluruh siklus hidupnya (misal, perairan muara, bakau, teluk, kedalaman
yang berbeda pada kolom air, salinitas berbeda, dan lain-lain).
Keterulangan (replication) jejaring KKP akan sangat efektif ketika setiap
jenis habitat terwakili di lebih dari satu KKP. Idealnya, semua habitat di
setiap wilayah harus direplikasi dalam jejaring dan disebar secara spasial
11
12
(spatially distributed) di seluruh bagian jejaring. Replikasi ini memberi batu-
lompatan bagi spesies yang tersebar di dalam jejaring dan juga memberikan
perlindungan (safeguard) terhadap hilangnya habitat atau punahnya populasi.
Keterkaitan (connectivity) keterkaitan menjelaskan seberapa jauh populasi-
populasi yang berada di tempat berbeda saling terkait melalui pertukaran
telur, larva, hewan muda maupun dewasa. Rancangan jejaring KKP
seyogianya mengenali pola keterkaitan dalam dan di antara ekosistem (antara
lain keterkaitan ekologis di antara terumbu karang, lamun dan mangrove).
Sebuah jejaring KKP yang bertujuan untuk melindungi spesies yang
menjelajah secara luas, harus mempertimbangkan semua habitat yang
digunakan oleh spesies tersebut selama siklus hidupnya. Jarak maksimum
antar KKP disarankan berkisar antara 100 200 km. Untuk menjamin
keterkaitan di dalam dan antar KKP, perlu diupayakan untuk memasukkan
kombinasi jenis habitat penting (terumbu karang, lamun, mangrove, muara
sungai). Jarak antar KKP sekitar 100 200 km untuk menjaga keterkaitan
genetik, sedangkan jarak antar zona larang ambil di dalam KKP disarankan
sekitar 15 20 km untuk menjaga keterkaitan ekologis (Wilson et al.,
2011).
Daya lenting (resilience) jejaring KKP harus dirancang untuk menjaga agar
ekosistem selalu berada dalam kondisi alaminya dan mampu untuk bertahan
terhadap gangguan, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan
perubahan dalam skala besar dan dalam jangka waktu panjang seperti
perubahan iklim. Keterwakilan (representativeness) dan daya lenting
(resilience) merupakan kriteria yang saling terkait erat: bila sejumlah habi-
tat terwakili dalam suatu jajaring KKP, maka jejaring tersebut kemungkinan
dapat mengakomodasi perubahan-perubahan pada sebaran spesies,
perbedaan salinitas, perbedaan suhu, dan dinamika ekosistem lain yang sering
dikaitkan dengan pemanasan global.
Kepermanenan (permanence) jejaring KKP harus memberikan
perlindungan jangka panjang agar dapat dengan efektif melestarikan
keanekaragaman hayati dan memperbaiki kondisi sumberdaya. Meski
beberapa perubahan biologis dapat saja terjadi dengan relatif cepat setelah
pembentukan jejaring, manfaat penuh dari KKP dan jejaringnya kemungkinan
baru terlihat setelah beberapa tahun. Perlindungan jangka panjang KKP,
khususnya KKP larang ambil, dapat berdampak positif terhadap jenis ikan
dan perikanan karena penelitian telah membuktikan bahwa biomassa,
kelimpahan, ukuran dan keanekaragaman hayati beberapa spesies ikan
13
meningkat di dalam KKP. Ikan berukuran lebih besar menghasilkan lebih
banyak telur dan menghasilkan anakan lebih banyak yang dapat memperbaiki
kondisi populasi ikan dalam KKP dan mendorong limpahan ikan (spillover)
ke daerah-daerah yang tidak dilindungi di sekeliling KKP.
Ukuran & bentuk (size & shape) unit-unit KKP dalam sebuah jejaring
harus memiliki ukuran yang cukup untuk meminimumkan dampak dari
kegiatan di luar kawasan lindung. Umumnya, sebuah KKP yang berukuran
lebih besar memberikan manfaat bagi keanekaragaman hayati lebih baik
dibandingkan dengan KKP yang berukuran (lebih) kecil. KKP berukuran
(lebih) besar memberikan ruang kisaran lebih luas bagi pergerakan hewan
dewasa, serta memberikan jarak yang lebih jauh bagi penyebaran larva.
Meskipun demikian, tidak berarti sebuah KKP berukuran kecil tidak
memberikan manfaat. KKP berukuran kecil lebih mudah untuk didirikan
dan dikelola, serta memberikan manfaat yang lebih cepat baik ekologi
maupun sosio-ekonomi, namun luasan dampaknya bersifat setempat.
Bentuk suatu KKP seyogianya mempertimbangkan habitat-habitat yang
menjadi tempat pergantian tahapan hidupnya atau tempat hidup dari spesies
yang dilindungi. Selain itu, bentuk KKP dirancang untuk memudahkan para
pengelola dan stakeholders diantaranya dalam meletakkan batas-batas KKP.
14
15
STRATEGI PEMBENTUKAN
JEJARING KKP
Strategi atau cara untuk membentuk jejaring KKP menjadi sebuah kebutuhan
karena beberapa alasan. Pertama, pengembangan jejaring KKP merupakan hal
yang relatif baru dalam konteks pengembangan Sistem KKP Nasional di Indo-
nesia (Susanto, 2011). Kedua, terbatasnya pengalaman yang dimiliki dalam
perencanaan, pembentukan dan pengelolaan jejaring KKP. Mempertimbangkan
kompleksitas terkait dengan pembentukan jejaring KKP dan aspek-aspek yang
terlibat di dalamnya, bab ini membahas strategi pembentukan jejaring KKP
yang dilengkapi dengan studi kasus tentang pengalaman membangun dan
mengelola jejaring KKP di Indonesia dan negara lain.
3.1 Siklus Pengelolaan Jejaring KKP
Pembentukan jejaring KKP tidak terlepas dari Siklus Pengelolaan Jejaring KKP
(MPA Network Management Cycle), seperti yang disajikan pada Gambar 1. Siklus
Pengelolaan Jejaring KKP (selanjutnya disingkat menjadi Siklus Pengelolaan)
merupakan sebuah siklus yang menunjukkan urutan logis sebuah proses untuk
mendirikan, mengelola dan mengevaluasi jejaring. Siklus Pengelolaan ini berulang
setiap periode waktu tertentu.
Secara ringkas, pendirian jejaring KKP diawali dengan melakukan Kajian
Kebutuhan (needs assessment) yang bertumpu kepada analisis situasi atau konteks
untuk memberi pembenaran (justification) mengapa sebuah jejaring KKP perlu
dibentuk. Langkah selanjutnya adalah membuat Rancangan Jejaring (network
design) sesuai dengan hasil Kajian Kebutuhan, dan melakukan Perencanaan Kerja
(work planning) untuk menyusun rencana kerja berjejaring dan pembagian beban
kerja serta pembiayaan. Dalam membuat Rancangan Jejaring, perlu dilakukan
konsultasi secara intensif dengan para pihak yang berkepentingan langsung, yaitu
masyarakat setempat pengguna sumberdaya, para pengelola KKP, dan para
pemangku kepentingan lainnya. Karena pendirian jejaring harus mem-
pertimbangkan efektivitas penerapannya dan menerapkan pendekatan adaptif,
Rencana Kerja (work plan) yang biasanya dibuat adalah Rencana Kerja Tahunan
(RKT) dan Rencana Kerja Jangka Menengah 5-Tahunan (RKJM).
B
A
B



3
15
16
Setelah Rencana Kerja disetujui oleh semua pihak yang berkepentingan dengan
jejaring, maka tahap selanjutnya adalah melaksanakan semua kegiatan yang sudah
direncanakan. Pada pelaksanaan berjejaring ini melekat erat kegiatan pemantauan
(monitoring) dan analisis (evaluasi formatif) untuk meningkatkan kinerja
berjejaring pada periode waktu yang sedang berjalan.
Untuk meningkatkan efektivitas berjejaring, evaluasi perlu dilakukan secara
periodik dan sangat disarankan untuk dilakukan setiap tahun atau paling tidak
dua tahun sekali. Selain untuk meningkatkan kinerja pelaksanaan berjejaring,
evaluasi bertujuan untuk: (1) meningkatkan kemampuan tanggap (response)
jejaring untuk segera beradaptasi terhadap perubahan situasi atau konteks;
dan (2) memutuskan apakah berjejaring masih perlu diteruskan atau tidak.
Evaluasi untuk tujuan ke-2, biasanya lebih diarahkan kepada jejaring KKP
yang bertipe sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola.
3.1.1 Kajian kebutuhan berjejaring
Sebelum membentuk sebuah jejaring, perlu dilakukan kajian kebutuhan untuk
menjawab beberapa hal berikut: apakah jejaring perlu didirikan? Bila memang
diperlukan, maka dalam konteks apakah jejaring dibentuk? Berdasarkan
keterkaitan ekologi, sosial-budaya-ekonomi atau tata kelola? Bila memungkinkan,
sangat disarankan untuk juga memasukkan analisis biaya-manfaat dan peluang
pendanaan berkelanjutan dalam kajian kebutuhan ini untuk memberikan
informasi yang lebih lengkap untuk melakukan pengambilan keputusan kemudian.
Kebutuhan untuk berjejaring biasanya ditentukan oleh paling tidak dua hal,
yaitu (1) karena adanya ancaman (threat) terhadap keanekaragaman hayati dan
sumberdaya hayati bernilai ekonomis (cf. McLeod et al., 2009; Pressey et al.,
2007; Salafsky & Margoluis, 1999; Secretariat of the Convention on Biological
Diversity, 2006), dan/atau (2) karena menerapkan prinsip kehati-hatian (pre-
cautionary principles Cooney, 2004). Ancaman dapat berupa kegiatan manusia
yang menimbulkan dampak negatif dalam jangka pendek dan menengah seperti
pencemaran, maupun dalam jangka panjang seperti perubahan iklim (McLeod
et al., 2009; Pressey et al., 2007; Salafsky & Margoluis, 1999; Secretariat of the
Convention on Biological Diversity, 2006). Penerapan prinsip kehatian-hatian
dilakukan karena keterbatasan manusia untuk memprakirakan dan mengetahui
17
Gambar 1 Siklus Pengelolaan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan
Menyusun Rencana
Kerja Berjenjang
Merancang
Jejaring
Pelaksanaan
berjejaring
Evaluasi Kinerja
dan Efektivitas
Berjejaring
Kajian Kebutuhan
Berjenjang
Waktu
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
perubahan yang terjadi di masa depan (Cooney, 2004). Pada umumnya
pembentukan j ej ari ng adal ah untuk memenuhi tuj uan pel estari an
keanekaragaman hayati dan/atau kesinambungan pasokan sumberdaya perikanan
dan/atau adaptasi terhadap perubahan iklim (Fernandes et al., 2012).
Keterkaitan ekologi merupakan pertimbangan utama dalam pembentukan
jejaring KKP (Fernandes et al., 2012; Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008;
Pet-Soede et al., 2009; McLeod et al., 2009). Oleh karenanya, dalam kajian
kebutuhan pembentukan jejaring dimulai dari melihat keterkaitan ekologi dari
beberapa KKP. Langkah-langkah yang disarankan untuk melihat keterkaitan
tersebut terdiri dari 3 (tiga) langkah:
(1) Mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan, yaitu aspek-aspek biologi
dan non-biologi, dari beberapa KKP (atau calon KKP) yang akan dianalisis
keterkaitannya.
(2) Analisis data dan informasi untuk melihat keterkaitan. Keterkaitan dapat
didekati melalui penyebaran larva ikan dikaitkan dengan pola arus atau
oseanografi fisik, dan/atau keserupaan struktur komunitas dari ekosistem-
ekosistem pesisir/laut utama (terumbu karang, mangrove dan lamun) yang
dikaji.
(3) Sintesis, berupa keputusan bahwa sebuah jejaring ekologi perlu didirikan
dengan melibatkan beberapa KKP (atau calon KKP) yang dikaji.
18
Terkait dengan pembentukan jejaring sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola,
langkah yang sama diulangi, namun data dan informasi yang dikumpulkan adalah
yang berhubungan dengan aspek-aspek sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola
yang relevan dengan pengelolaan jejaring.
Jejaring tata kelola biasanya dilakukan pemerintah dan diinisiasi oleh unit-unit
pengelola yang memiliki pendekatan pengelolaan serupa karena berada di bawah
satu badan atau lembaga tertentu, seperti misalnya Kementerian Kelautan &
Perikanan, Kementerian Kehutanan (Pet-Soede et al., 2009; Schwenke et al.,
2010) atau pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten). Sementara itu, jejaring
sosial-budaya-ekonomi yang dibangun oleh masyarakat setempat atau berbasis
masyarakat, karena adanya keserupaan pendekatan pengelolaan, seperti buka-
tutup kawasan pada sasi laut di Indonesia Timur, serta ketergantungan dan
pemanfaatan sumberdaya yang serupa (Bustamante et al., 2010; Varney et al.,
2010; White et al., 2006).
Pet-Soede et al. (2009) menyatakan bahwa dalam suatu jejaring ekologi
kemungkinan dijumpai kawasan-kawasan konservasi yang dikelola oleh
pemerintah atau masyarakat setempat. Oleh karena itu, merupakan langkah
lanjutan yang wajar bila setelah keterkaitan ekologi diidentifikasi, selanjutnya
dilakukan identifikasi keterkaitan sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola.
Identifikasi ini dilakukan untuk memperkuat alasan pembentukan sebuah jejaring
KKP.
Bila masing-masing KKP yang dikaji sudah memiliki unit organisasi pengelola,
maka keputusan untuk membentuk jejaring KKP dapat segera ditindaklanjuti,
meski kesinambungannya sangat bergantung kepada komitmen dari masing-
masing unit organisasi pengelola untuk berjejaring.
Tantangan cukup berat akan dihadapi oleh KKP yang dikelola oleh masyarakat
dan calon-calon KKP yang biasanya belum memiliki unit organisasi pengelola.
Perlu dipikirkan siapa yang seharusnya berperan dalam menginisiasi
pembentukan jejaring, apakah oleh pengelola di masing-masing KKP atau melalui
arahan yang diberikan oleh pemerintah pusat (baca: Kementerian Kelautan dan
Perikanan), pemerintah daerah, atau pemangku kepentingan lainnya (perguruan
tinggi dan lembaga swadaya masyarakat).
19
3.1.2 Merancang jejaring
Ketika jejaring yang akan didirikan sudah diputuskan, maka hasil kajian kebutuhan
perlu disempurnakan untuk menyediakan data dan informasi yang lebih tajam
dan terorganisasi dengan baik.
Dari jenis-jenis jejaring yang sudah disinggung di atas, kriteria yang paling lengkap
untuk merancangnya adalah jejaring ekologi, dengan berbagai contoh di seluruh
dunia. Jejaring tata kelola merupakan jenis jejaring yang cukup banyak memiliki
data dan informasi. Sementara jejaring sosial-budaya-ekonomi yang melibatkan
masyarakat setempat, meski diyakini sebetulnya banyak sekali dan merupakan
semacam antar-fasa (interphase) antara jejaring ekologi dan jejaring tata kelola,
merupakan jejaring yang paling sedikit memiliki data dan informasi. Meskipun
demikian, akhir-akhir ini semakin banyak laporan tentang jejaring sosial-budaya-
ekonomi berbasis masyarakat (Varney et al., 2010).
Pada sub-bab berikut disajikan kriteria untuk merancang jejaring ekologi, sosial-
budaya-ekonomi, dan tata kelola.
3.1.2.1 Jejaring ekologi
Sebuah jejaring disebut jejaring ekologi ketika setiap KKP memberikan kontribusi
kepada tujuan bersama konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan (Pet-Soede
et al., 2009). Dalam banyak kasus, setiap KKP yang tergabung dalam jejaring ini
diasumsikan memiliki keterkaitan ekologis antara satu sama lain, atau bahkan
ketika beberapa jejaring KKP memiliki tujuan ekologi yang sama. Sebagai contoh,
jejaring SSME (Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion) adalah sebuah jejaring ekologi
(DeVantier et al., 2004; Miclat et al., 2006) karena di dalamnya terdapat kawasan-
kawasan prioritas yang mencakup ekosistem, spesies dan proses-proses ekologis
yang mewakili wilayah tersebut (Pet-Soede et al., 2009). Pendekatan pengelolaan
dari masing-masing KKP dalam suatu jejaring bisa saja berbeda, dan dalam suatu
jejaring ekologi mungkin saja dijumpai kawasan-kawasan konservasi baik yang
dikelola oleh pemerintah ataupun masyarakat setempat (Pet-Soede et al., 2009).
Dalam skala yang lebih luas, pembentukan jejaring KKP dibentuk dalam skala
regional dan global yang melampaui batas-batas negara. Hal ini diperlukan
untuk mengakomodasi spesies yang memiliki wilayah ruaya atau migrasi sangat
20
luas. Sebagai contoh, Paus Bungkuk (Megaptera novaeangliae) mendorong
beberapa KKP yang terletak di Alaska dan Hawaii (NOAA Fisheries Office
for Protected Resources, 2013) dan di Alaska dan Costa Rica (Oviedo & Solis,
2008) berjejaring untuk memastikan tempat mencari makan (Alaska) dan tempat
berkembangbiak dan membesarkan paus muda (Hawaii dan Costa Rica)
terlindungi. Contoh lain adalah jejaring KKP kerjasama 3 negara (Indonesia,
Malaysia dan Filipina) di Ekoregion Laut Sulu Sulawesi (SSME). Jejaring ini
dibentuk dengan tujuan untuk melindungi penyu, mulai dari tempat bertelur,
mencari makan, dan berkembang biak (DeVantier et al., 2004; Miclat et al.,
2006).
3.1.2.2 Jejaring sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola
Sebuah jejaring disebut jejaring tata kelola ketika semua KKP yang tercakup di
dalamnya menggunakan pendekatan pengelolaan yang sama karena berada di
bawah administrasi lembaga yang sama (Pet-Soede et al., 2010) atau wilayah
yuridiksi yang sama. Sebagai contoh adalah sejumlah kawasan konservasi yang
berada di bawah Kementarian Kehutanan atau Kementerian Kelautan dan
Perikanan atau pemerintah daerah.
Sementara jejaring sosial-budaya-ekonomi adalah kawasan-kawasan konservasi
yang dibangun melalui pendekatan yang sama seperti jejaring LMMA (Locally-
Managed Marine Area), suatu jejaring KKP yang dikelola oleh masyarakat
setempat dan terbentang dari Asia Tenggara, Pasifik hingga Amerika. Salah satu
manfaat dari kedua bentuk jejaring ini adalah manfaat ekonomi berupa
penghematan karena struktur, prosedur operasional, kebijakan dan peraturan
pengelolaan yang serupa dapat diterapkan pada banyak KKP secara serentak
(Bustamante et al., 2010; Pet-Soede et al., 2010). Meskipun demikian, jenis jejaring
ini juga memiliki kelemahan terutama ketika masing-masing kawasan konservasi
mempunyai rencana pengelolaan yang tidak sinkron satu sama lain atau tidak
sesuai dengan kebutuhan konservasinya (Pet-Soede et al., 2010).
Jejaring KKP dapat juga dibentuk untuk memfasilitasi pembelajaran dan
melakukan koordinasi administratif dan perencanaan dengan menghubungkan
orang-orang dan lembaga-lembaga yang terlibat dalam KKP. Jejaring ini
memberikan alasan bagi para pemangku kepentingan atau masyarakat yang
21
terkait dengan masing-masing KKP untuk saling berkoordinasi dan berbagi
pengalaman untuk meningkatkan upaya pengelolaan KKP yang bersangkutan
(White et al., 2006). Pada jejaring KKP, semua badan, otoritas pengelola atau
masyarakat berbagi tujuan akhir dan mereka dapat menjadi matang seperti
halnya ekosistem menjadi matang (Agardy & Wolfe, 2002).
3.1.3 Merancang jejaring ekologi
Sebetulnya tidak ada satu cara baku untuk merancang jejaring ekologi. Dengan
mengacu kriteria yang sudah disampaikan sebelumnya, di bawah ini disampaikan
contoh dari proses perancangan jejaring.
Menurut Pet-Soede et al. (2009) proses merancang jejaring ekologi meliputi
tahapan sebagai berikut:
(i) Menentukan definisi area penting (area-of-interest) yang akan dijadikan
sebagai lokasi dalam membangun sebuah jejaring ekologi. Biasanya area-
area penting ini merupakan bagian dari sebuah ekoregion atau bentang-
laut (seascape) atau bagian di dalamnya;
(ii) Melakukan inventarisasi terhadap area-area penting yang dipilih dan
membuat deskripsi spasial peran atau kontribusi dari aspek-aspek ekologi
dan sosial-ekonomi yang tercakup di dalamnya;
(iii) Menentukan sasaran dan kriteria rancangan (misalnya dengan menetapkan
KKP dengan luas minimum 100 km
2
dengan 30% dari habitat pantai yang
dikaji tercakup dalam KKP tersebut);
(iv) Melakukan deliniasi jejaring tahapan ini dilakukan setelah semua area
penting dipilih dan dimasukkan ke dalam jejaring yang akan dibuat dibuat
batas-batasnya.
The Nature Conservancy Indonesia Marine Program melakukan langka-langkah
berikut, selama tiga tahun (2006-2009), ketika merancang Jejaring Ekologi
Ekoregion Sunda Kecil (Wilson et al., 2011):
(i) Menentukan tujuan, batas-batas dan prinsip-prinsip perancangan jejaring
KKP;
(ii) Mengidentifikasi dan menyusun informasi area-area penting yang mendapat
prioritas utama;
(iii) Menghimpun semua data dan informasi ke dalam sebuah basis-data Sistem
Informasi Geografi; dan
22
(iv) Merancang jejaring KKP di Ekoregion Sunda Kecil yang berdaya lenting
dengan menggunakan perangkat pengambilan keputusan dengan masukan
dari para pemangku kepentingan.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Wilson et al. (2011) kurang lebih serupa
dengan yang disarankan oleh Green et al. (2008) yang menyatakan bahwa dalam
membangun sebuah jejaring hal-hal berikut perlu dipenuhi:
(i) Adanya tujuan-tujuan bersama jejaring yang jelas;
(ii) Menggunakan sains terbaik yang tersedia (best available science) dan
pendekatan kehati-hatian; serta
(iii) Melibatkan para pemangku kepentingan sejak awal dan sepanjang proses
pembentukan dan pengelolaan.
Dalam proses perancangan jejaring, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah
(Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008):
(a) Memasukkan semua komponen keanekaragaman hayati yang ada di wilayah
ekoregion atau bentang laut yang dikaji;
(b) Memastikan semua area-area penting ekologi tercakup di dalam jejaring;
(c) Menjaga perlindungan jangka panjang;
(d) Memastikan keterkaitan ekologi; dan
(e) Memastikan setiap KKP memberikan kontribusi maksimum bagi jejaring.
3.1.4 Merancang jejaring sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola
Seperti halnya dengan proses pembuatan jejaring ekologi, pembentukan jejaring
sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola seyogianya memperhatikan hal-hal berikut
(Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008):
Adanya tujuan-tujuan bersama jejaring yang jelas (meliputi tujuan-tujuan
ekologi, sosial-ekonomi-budaya dan tata-kelola);
Adanya otoritas legal dan komitmen politik jangka panjang untuk mendukung
keberadaan jejaring;
Melibatkan para pemangku kepentingan sejak awal dan sepanjang proses
pembentukan dan pengelolaan;
Menggunakan sains terbaik yang tersedia (best available science) dan
pendekatan kehati-hatian;
Adanya kerangka pengelolaan terpadu; dan
Langkah-langkah pengelolaan adaptif.
23
Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa perancangan jejaring
sosial-budaya-ekonomi dan tata kelola, siapapun pemrakarsanya, selalu dimulai
dari adanya (i) kebutuhan untuk membangun suatu jejaring berdasarkan
keserupaan tujuan dan kegiatan pengelolaan yang dilakukan. Hal ini
kemudian mengarah kepada upaya untuk (ii) menentukan tujuan-tujuan
bersama pengelolaan jejaring. Umumnya jejaring dibentuk dengan tujuan
untuk efisiensi dan efektivitas kerja, disamping saling memperkuat dalam hal
kapasitas teknis. Pada kasus lainnya, adanya peluang untuk dapat berkomunikasi
secara intensif dan saling mendukung dalam mendorong pengelolaan yang efektif
dalam suatu wilayah yang luas, juga dapat dijadikan sebagai alasan dan tujuan
bersama. Sebagai contoh, seperti yang terjadi di Laut Tengah, dimana para manajer
KKP membentuk sebuah jejaring yang semula bersifat sosial kemudian
berkembang mencakup aspek tata-kelola (lihat MedPAN pada laman http://
www.medpan.org/en/medpan). Hal yang serupa juga terjadi ketika beberapa
KKP yang dikelola oleh masyarakat meski dalam banyak kasus komponen sosial-
ekonomi dan sosial-budaya lebih mengemuka sebagai alasan dan tujuan bersama
(Bustamante et al., 2010; Varney et al., 2010; White et al., 2006).
Contoh visi dan misi untuk memandu tujuan-tujuan berjejaring yang perlu
dimiliki oleh sebuah jejaring disajikan pada Boks I. Langkah selanjutnya adalah
(iii) menyusun rencana pengelolaan jejaring melalui sejumlah konsultasi
guna menjaring dukungan dari para pemangku kepentingan, termasuk dukungan
legal, komitmen politik jangka panjang, dan pendanaan, baik untuk berbagi
beban maupun untuk memperoleh dukungan dari luar. Langkah yang tidak mudah
tetapi harus dilakukan ini sangat penting bagi keberadaan jejaring yang sedang
dibentuk, karena pada langkah inilah diputuskan apakah sebuah jejaring akan
dilanjutkan atau tidak. Bila rencana pengelolaan jejaring sudah selesai disusun
dan diterima oleh semua pihak, maka implementasi jejaring KKP dapat
dilaksanakan, termasuk di dalamnya adalah pemantauan dan evaluasi formatif
untuk meningkatkan kinerja pengelolaan jejaring sekaligus menerapkan
pendekatan adaptif.
Untuk menilai apakah jejaring berjalan secara efektif sesuai yang diharapkan
dan juga untuk memutuskan apakah sebuah jejaring perlu diteruskan atau tidak,
langkah yang perlu dilakukan selanjutnya adalah (iv) melakukan evaluasi
kinerja dan efektivitas pengelolaan jejaring. Evaluasi ini dilakukan secara
teratur setiap satu periode waktu tertentu yang disepakati oleh semua anggota
jejaring.
24
BOKS 1
Visi dan Misi Jejaring
Kerjasama pengelolaan dalam bentuk jejaring dilaksanakan berdasarkan
kesepakatan antar unit organisasi pengelola KKP (atau kelompok-
kelompok masyarakat pengelola kawasan). Agar kerjasama pengelolaan
jejaring dapat dilaksanakan secara terarah dan terukur, semua anggota
jejaring harus membuat dan menyepakati Visi dan Misi bersama. Berikut
adalah usulan Visi dan Misi untuk membangun jejaring KKP di Indo-
nesia.
Visi
Terbentuknya jejaring KKP yang komprehensif, berdaya lenting, dan
mewakili ekosistem dan habitat penting, dalam rangka melindungi
keanekaragaman hayati dan kesehatan perairan untuk saat ini dan
generasi mendatang.
Misi
1. Melindungi dan memelihara keanekaragaman hayati laut, ekosistem
dan habitat penting, tampilan/fitur alami khusus (special natural
features), dan spesies TCMS (Threatened Charismatic Migratory
Species).
2. Memberi kontribusi terhadap upaya perlindungan sumberdaya
ikan dan habitat penting dimana mereka hidup.
3. Memberi kontribusi terhadap kepastian dan stabilitas ekonomi
masyarakat.
4. Memberi perlindungan dan pemeliharaan kawasan yang berpotensi
sebagai daerah pengembangan wisata.
5. Memberi perlindungan dan keberlanjutan pemanfaatan tradisional,
warisan budaya (cultural heritage) dan sumberdaya arkeologi (ar-
chaeological resources).
6. Memberi peluang bagi kajian-kajian ilmiah, peningkatan kepedulian
masyarakat, dan pendidikan lingkungan.
25
3.1.5 Studi kasus
Untuk memberikan gambaran dan pemahaman lebih mendalam tentang
bagaimana jejaring dibentuk dan diselenggarakan, berikut ini disajikan beberapa
contoh pengalaman dalam membentuk jejaring di Indonesia dan negara lain.
3.1.5.1 Indonesia Jejaring Sunda Kecil
Lokasi dan latar belakang
Ekoregion Sunda Kecil, yang dikenal juga sebagai Ekoregion Perairan Bali dan
Nusa Tenggara menurut Ekoregion Laut Indonesia, mencakup 3 (tiga) provinsi
(Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur) dengan luas keseluruhan
625.018 km
2
. Secara oseanografi, ekoregion ini menjadi pintu keluar dari Arus
Lintas Indonesia (Indonesian Through-Flow)
3
ke perairan samudera di belahan
bumi selatan melalui Selat Lombok, selat Ombai dan Terusan Timor. Dari segi
ekologi, ekoregion ini memiliki beberapa ekosistem laut dan pesisir penting,
seperti Selat Bali sebagai habitat bagi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru); Teluk
Saleh, Sumbawa, NTB, sebagai habitat bagi bermacam komoditas seperti ikan
kerapu, udang barong dan rumput laut; Teluk Ekas, NTB, yang secara periodik
dikunjungi oleh kelompok-kelompok paus (Cetacea) yang bermigrasi; dan Laut
Flores, NTT, sebagai jalur migrasi paus dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia.
Sampai saat ini, telah dibentuk 19 kawasan konservasi perairan yang berstatus
nasional maupun daerah dengan berbagai kategori yang mengacu kepada UU
No. 5/1990, PP No. 60/2007 dan UU No. 27/2007. Sebagian KKP tersebut
melindungi habitat-habitat penting seperti terumbu karang, mangrove, dan lamun;
sebagian melindungi jenis terancam seperti paus dan lumba-lumba; dan sebagian
lainnya melindungi pantai tempat penyu mendarat dan bertelur.
Perancangan jejaring dan pendekatan yang digunakan
Jejaring di Ekoregion Sunda Kecil adalah jejaring ekologi. Penyusunannya dilakukan
oleh sebuah tim yang memulai pekerjaannya pada tahun 2006 dan berlanjut
3
Arus ini membawa massa air dari Samudera Pasifik melintasi perairan Indonesia melalui Selat Malaka, Terusan Limafatola,
Laut Banda dan Laut Aru.
26
selama 3 (tiga) tahun sampai 2009. Tim tersebut memiliki beberapa tugas: (i)
mengumpulkan data informasi tentang kondisi ekologi dan sosial-ekonomi guna
mengidentifikasi area-area penting; (ii) membuatan rancangan jejaring; (iii)
meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan melalui pelatihan dan lokakarya;
dan (iv) menyelenggarakan konsultasi publik.
Pengkajian kondisi ekologi meliputi semua data habitat penting dan data
oseanografi. Berbagai habitat seperti terumbu karang, mangrove, dan padang
lamun dipetakan melalui interpretasi visual data satelit Landsat. Selain itu, daerah
migrasi dan tempat makan dari paus, lumba-lumba, manta dan penyu juga
diidentifikasi berdasarkan informasi dari masyarakat setempat dan para ahli.
Pengkajian kondisi sosial-ekonomi mencakup aspek-aspek kependudukan,
pariwisata, daerah kegiatan budidaya, serta kegiatan-kegiatan perikanan.
Beberapa tahapan yang dilalui dalam merancang jejaring ekologi di Ekoregion
Sunda Kecil adalah:
Mengumpulkan dan mengkompilasi semua data yang tersedia terkait dengan
kondisi biologi, oseanografi, spesies, dan sosial-ekonomi kawasan. Semua
data tersebut kemudian disimpan dalam basis-data Sistem Informasi
Geografis.
Mengkaji kawasan konservasi yang sudah ada dan sedang diusulkan, serta
area-area penting yang akan diusulkan menjadi kawasan konservasi baru
dengan menerapkan prinsip-prinsip pengembangan jejaring yang berdaya
lenting.
Menganalisis semua data dan informasi yang sudah dikumpulkan dengan
menggunakan perangkat-lunak Marxan, untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi
kawasan konservasi yang paling sesuai untuk dijadikan KKP.
Melakukan konsultasi publik dengan menggunakan hasil analisis Marxan
untuk menggalang masukan dari para pemangku kepentingan dan para pakar.
Konsultasi publik dilakukan di tingkat provinsi (di Bali, Nusa Tenggara Barat,
dan Nusa Tenggara Timur).
Dalam merancang jejaring, tim menerapkan prinsip-prinsip daya lenting sebagai
berikut:
Keterwakilan kawasan konservasi yang dikembangkan melindungi 20-
30% habitat penting.
27
Pengulangan habitat yang dilindungi mencakup dua atau tiga lokasi kawasan
konservasi yang berbeda.
Habitat penting dalam memilih kawasan konservasi, wilayah arus naik
(upwelling), habitat penyu, tempat bertelur ikan, dan daerah migrasi
merupakan daerah prioritas yang dilindungi.
Keterkaitan jarak antar kawasan konservasi berkisar 100-200 km.
Melalui analisis secara ilmiah yang kemudian mendapat masukan dari para ahli
dan dikonsultasikan kepada para pemangku kepentingan, diperoleh rancangan
jejaring ekologi Sunda Kecil. Rancangan tersebut meliputi 100 kawasan
konservasi yang mencakup 86 daerah-daerah konservasi di wilayah pesisir yang
melindungi terumbu karang, mangrove, dan padang lamun, serta 14 daerah
konservasi laut dalam (deep sea) untuk melindungi spesies terancam seperti
paus dan lumba-lumba (Gambar 2).
Gambar 2 Rancangan final jejaring KKP yang menampilkan KKP yang sudah ada dan yang
diusulkan serta area-area penting untuk dipertimbangkan sebagai KKP baru baik untuk habitat
pesisir dan laut dangkal, dan habitat laut dalam dekat-pantai (Sumber: Wilson et al., 2011).
28
3.1.5.2 Indonesia Jejaring KKP Bali
Lokasi dan latar belakang
Bali memiliki luas 563,666 Hektare yang terdiri dari pulau utama Bali dan
sejumlah pulau kecil di sekelilingnya. Bali terkenal sebagai tujuan wisata
terkemuka di dunia karena budaya masyarakatnya yang unik serta kondisi
sumberdaya alamnya, seperti terumbu karang yang relatif dalam kondisi baik.
Hasil kajian cepat (rapid assessment) kondisi kelautan Provinsi Bali tahun 2011
menunjukkan bahwa terdapat 406 jenis karang dengan rata-rata tutupan karang
keras 38,2%, sementara ikan karang tercatat sebanyak 977 jenis. Secara biofisik
terdapat keterkaitan ekosistem antara satu kawasan dengan kawasan lainnya
karena Bali merupakan pulau dengan ukuran yang relatif kecil. Keterkaitan ini
ditunjukkan oleh kemiripan antar komunitas pada wilayah berbeda. Kajian ini
menunjukkan paling tidak terdapat 5 tipe komunitas karang di Bali, yaitu: (1)
Nusa Penida utara; (2) pantai timur Bali dari Nusa Dua hingga Gili Selang; (3)
terumbu pesisir utara dari Amed hingga Pulau Menjangan; (4) habitat bersubstrat
lunak di pesisir utara Puri Jati/Kalang Anyar dan Gilimanuk Secret Bay; dan (5)
pesisir barat dan selatan Bali dan pesisir selatan Nusa Penida yang sering terpapar
gelombang. Pola komunitas karang yang mengelilingi Bali ini juga diikuti oleh
struktur komunitas ikan karang. Dipandang dari struktur komunitas ikan karang,
Bali secara umum dapat dibedakan menjadi empat zona utama: (1) Nusa Penida;
(2) pesisir timur (menghadap Selat Lombok); (3) pesisir utara; dan (4) Secret
Bay (Gilimanuk).
Selain karang dan ikan karang, survei kajian cepat juga mengidentifikasi sejumlah
tempat di perairan Bali yang memiliki nilai konservasi tinggi karena keutuhan
habitat, keanekaragaman hayati yang unik, keberadaan jenis yang endemik atau
langka, tempat ikan memijah atau tempat penyu bertelur. Fauna laut besar yang
ditemukan di perairan Bali juga menjadi pertimbangan dalam pembentukan
jejaring. Lokasi-lokasi penting paus, lumba-lumba, dugong, penyu dan pari manta
tercakup dalam lokasi prioritas pendirian KKP di Bali dan menjadi bagian dari
jejaring.
Semua tipe komunitas karang dan ikan karang yang ada di perairan Bali perlu
dilindungi melalui kawasan-kawasan konservasi yang terwakili dalam jejaring.
29
Hal ini penting untuk memberi jaminan bagi adaptasi dan kelentingan terhadap
beragam gangguan lokal dan dampak jangka panjang perubahan iklim.
Perancangan jejaring dan pendekatan yang digunakan
Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali Nomor
16 Tahun 2009, menyatakan bahwa Bali merupakan satu kesatuan wilayah
pengembangan ekosistem pulau kecil yang terpadu. Berdasarkan peraturan ini,
Bali perlu dikelola menurut prinsip satu pulau, satu perencanaan dan satu
pengelolaan (one island, one plan, one management). Tujuannya adalah untuk
mewujudkan keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi
dan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang.
Mengacu kepada hal ini, maka pengelolaan kawasan-kawasan konservasi perairan
di Bali perlu dilakukan dalam satu perencanaan dan satu pengelolaan melalui
pembentukan jejaring.
Inisiasi pembentukan jejaring KKP Bali diawali dengan lokakarya pada Juni 2010
yang diselenggarakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali. Pemangku
kepentingan yang terlibat dalam lokakarya tersebut mencakup sejumlah dinas
terkait dari seluruh kabupaten/kota, Taman Nasional, BKSDA, universitas, fo-
rum lembaga adat, kelompok nelayan, dan LSM. Lokakarya ini menghasilkan
kesepakatan untuk membentuk jejaring KKP Bali, selain berhasil mengidentifikasi
25 lokasi prioritas yang dianggap penting untuk menjadi bagian jejaring KKP
Bali. Sebagian lokasi-lokasi tersebut telah memiliki status seperti TN Bali Barat,
Tahura Mangrove Ngurah Rai, KKPD Nusa Penida di Kabupaten Klungkung,
KKPD Kabupaten Buleleng, dan sebagian lainnya yang belum dibentuk sebagai
kawasan konservasi.
Proses selanjutnya adalah melakukan Kajian Cepat Kondisi Kelautan Bali (Bali
Marine Rapid Assessment Program - MRAP) yang melibatkan Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Bali, Balai Riset Oseanografi dan Kelautan Kementerian
Kelautan dan Perikanan, serta Conservation International Indonesia. Survei
dilakukan di 25 lokasi prioritas yang telah diidentifikasi sebelumnya. Tujuan
dari kajian cepat ini adalah untuk menghasilkan data dan informasi ekologi dan
sosial-ekonomi yang dapat digunakan sebagai masukan untuk merekomendasikan
30
lokasi-lokasi prioritas pendirian KKP baru, 9 lokasi penting sebagai kawasan
konservasi (Gambar 3), serta langkah-langkah yang perlu diambil dalam
merancang jejaring KKP Bali. Kemudian, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Bali membentuk kelompok kerja yang terdiri dari perwakilan dinas terkait di
tingkat provinsi dan kabupaten serta LSM untuk menyiapkan: (a) program dan
kegiatan jejaring, dan (b) kelembagaan dan pendanaan jejaring.
Langkah selanjutnya dilakukan pertemuan para kepala dinas kelautan dan
perikanan kabupaten/kota, Taman Nasional dan BKSDA dengan kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali yang menghasilkan kesepakatan untuk
membentuk jejaring KKP Bali. Salah satu kesepakatan tersebut adalah
mendorong pencadangan calon-calon KKPD di Kabupaten Badung, Kabupaten
Karangasem dan Kabupaten Jembrana. Selain itu disusun kegiatan dan anggaran
tahun 2013 terkait pengelolaan jejaring di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Gambar 3 Sembilan lokasi/calon lokasi jejaring kawasan konservasi perairan Bali (Sumber:
Mustika et al., 2011)
31
3.1.5.3 Papua Nugini Jejaring KKP Teluk Kimbe
Lokasi dan Latarbelakang
Teluk Kimbe terletak di pesisir utara Pulau New Britain di Laut Bismarck,
Provinsi New Britain Barat, Papua Nugini. Teluk Kimbe merupakan sebuah teluk
berukuran besar dengan batas-batas yang jelas, dan rumah bagi beragam habi-
tat laut dangkal (terumbu karang, mangrove dan lamun), perairan laut dalam
dan gunung bawah laut yang letaknya saling berdekatan. Kondisi ini memberikan
peluang dan alasan untuk melindungi bermacam-macam habitat laut dengan
keanekaragaman-hayati pada satu lokasi.
Teluk Kimbe merupakan salah satu ekosistem tropika penting dengan
keanekaragaman hayati tinggi, yang dibangun oleh beragam habitat dengan nilai
konservasi tinggi. Teluk Kimbe memberikan peluang bagus untuk membangun
sebuah jejaring KKP berdasarkan kombinasi unik dari ciri-ciri biofisik dan sosial-
ekonomi, serta sejarah dari kegiatan konservasi di wilayah tersebut. Teluk Kimbe
merupakan bagian dari Laut Bismarck yang memiliki ekosistem terumbu karang
luas dengan keanekaragaman hayati tinggi, habitat-habitat penting bagi paus dan
penyu yang langka dan terancam, serta perikanan tuma yang produktif. Lebih
jauh lagi, Teluk Kimbe merupakan bagian dari Segitiga Karang (Coral Triangle).
Meski kawasan Segitiga Karang mencakup wilayah yang luas (7.077.203 km
2
),
secara global wilayah ini hanya meliputi kurang dari 2% luas samudra dunia
tetapi memiliki sekitar 30% dari terumbu karang dunia, 76% spesies karang
dunia dan hampir 40% dari spesies ikan karang dunia. Sebagai bagian dari wilayah
yang penting baik secara global maupun regional, Teluk Kimbe merupakan suatu
kawasan prioritas tinggi untuk konservasi laut dan merupakan calon yang ideal
untuk sebuah jejaring KKP yang menyimpan jejaring skala besar di Laut Bis-
marck.
Perancangan jejaring dan pendekatan yang digunakan
Jejaring KKP Teluk Kimbe memiliki dua tujuan yaitu: (1) untuk melestarikan
keanekaragaman hayati dan sumberdaya alam di Teluk Kimbe secara lestari; dan
(2) memenuhi kebutuhan untuk mengelola sumberdaya laut setempat. Rancangan
ilmiah jejaring KKP Teluk Kimbe dilakukan berdasarkan kajian nilai
32
keanekaragaman hayati dan identifikasi area-area penting atau KKP-KKP yang
memenuhi tujuan-tujuan konservasi spesifik. Rancangan ilmiah jejaring KKP
dikembangkan melalui 6 langkah proses yang melibatkan saran ilmiah para pakar,
riset dan pemantauan tersasar (targeted research and monitoring), dan proses
perancangan analitik menggunakan perangkat lunak MARXAN.
Untuk merancang jejaring digunakan prinsip-prinsip perancangan spesifik yang
mempertimbangkan ciri-ciri biofisik dan sosial ekonomi dari Teluk Kimbe.
Dengan menggunakan MARXAN, diidentifikasi area-area konservasi prioritas
yang kemudian digunakan untuk menentukan area-area penting untuk
dimasukkan ke dalam jejaring KKP. Untuk menjamin bahwa prinsip-prinsip dan
tujuan perancangan dapat berhasil diterapkan, dan untuk memastikan bahwa
tujuan-tujuan jejaring akan tercapai pada area-area penting yang diidentifikasi,
area-area penting tersebut kemudian dipertajam secara manual. Sebagai contoh,
batas-batas area penting dimodifikasi sedemikian rupa untuk memastikan bahwa
kepentingan-kepentingan biologi, sosial-ekonomi dan budaya dimasukkan dalam
pertimbangan. Hasilnya adalah rancangan ilmiah jejaring KKP untuk Teluk Kimbe
(Gambar 4) yang mengedepankan 15 area-area penting. Karena masyarakat
adalah pemilik dan pengambil keputusan bagi sumberdaya setempat, maka
keputusan akhir terkait dengan rancangan jejaring KKP di Teluk Kimbe akan
berada di tangan mereka sendiri.
Pelaksanaan rancangan jejaring di Teluk Kimbe akan memerlukan berbagai
strategi yang melibatkan masyarakat dan pemerintah setempat pada berbagai
skala, dan diperkirakan memerlukan 5 (lima) tahun atau lebih untuk
menyelesaikannya. Jejaring KKP dan rancangan ilmiahnya telah disampaikan
kepada pemerintah di semua tingkatan (lokal, provinsi dan nasional) di kawasan
tersebut, dan saat ini pelaksanaan berjejaring sedang berjalan. Salah satu hal
yang menjadi prioritas bagi keberhasilan pelaksanaan jejaring adalah perencanaan
pendanaan berkelanjutan untuk pendirian dan pengelolaan jangka panjang jejaring
KKP. Selain itu, protokol pemantauan jangka panjang juga perlu digabungkan
untuk mendukung penerapan pengelolaan adaptif. Agar berhasil, jejaring KKP
juga perlu dikaitkan dengan strategi pemanfaatan sumberdaya laut dan guna
lahan yang lebih luas.
33
3.1.5.4 Laut Tengah Jejaring MedPAN
4
Lokasi dan Latar belakang
MedPAN (Mediterranen Protected Areas Network) merupakan sebuah jejaring
dari para pengelola kawasan konservasi perairan laut di Laut Mediterian.
MedPAN didirikan pada tahun 1990 di Monaco dengan dukungan Bank Dunia,
yang pada awalnya memiliki dua tujuan yaitu: (1) berbagi pengalaman di antara
para pengelola kawasan-kawasan lindung di Laut Tengah; dan (2) pengembangan
perangkat pengelolaan. Saat ini tujuan jejaring telah berubah menjadi untuk
meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan-kawasan konservasi perairan
laut di Laut Tengah. Jejaring MedPAN kini memiliki lebih dari 50 anggota,
terutama terdiri lembaga-lembaga pengelola KKP di seluruh Laut Mediterania,
dan 27 mitra yang bersedia mendukung untuk pembentukan dan penguatan
Gambar 4 Hasil akhir penempatan KKP di Teluk Kimbe, Papua Nugini, berdasarkan analisis
optimisasi dengan menggunakan MARXAN (Sumber: Green et al., 2007)
4
Informasi lebih rinci tentang jejaring ini bisa dilihat pada laman http://www.medpan.org/en/home
34
jejaring. Mereka inilah yang mengelola 80 KKP yang tersebar di 18 negara-
negara yang terletak di Laut Mediterania (Gambar 5).
Gambar 5 Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Laut di Laut Tengah (Sumber: http://
www.medpan.org/en/medpan)
Perancangan jejaring dan pendekatan yang digunakan
Jejaring MedPAN dibentuk karena adanya kebutuhan untuk memiliki sebuah
wadah dimana anggota-anggota jejaring, dalam hal ini para pengelola, dapat
berbagi pengalaman dan bersama-sama mengembangkan perangkat pengelolaan
yang baku dan dapat diterapkan di semua KKP. Jadi pembentukan jejaring
dimulai dari berkumpulnya para pengelola KKP dari seluruh Laut Mediterania
yang kemudian memutuskan membentuk jejaring yang pada dasarnya bersifat
sosial. Secara garis besar, perkembangan jejaring MedPAN dapat dibedakan
menjadi 3 periode: (1) awal; (2) penguatan kapasitas dan perluasan jejaring; dan
(3) pemantapan.
Periode awal: Sejak pembentukannya di tahun 1990, selama enam tahun (1990-
1996) jejaring MedPAN dipimpin oleh Taman Nasional Port-Cros (Perancis)
melakukan kegiatan-kegiatan berupa seminar tematik dan empat publikasi setiap
tahun. Ketiadaan sumberdaya manusia dan keuangan menyebabkan jejaring
tidak aktif sejak 1996. Jejaring diaktifkan kembali pada i999 oleh UNEP. Pada
tahun yang sama, Taman Nasional Port-Cros menerapkan statuta baru untuk
MedPAN dan mengubahnya menjadi organisasi nirlaba di bawah hukum Perancis.
35
Pada tahun 2001, Taman Nasional Port-Cros mengusulkan program Oceans
and Coasts dari WWF Perancis untuk mengambil alih pengelolaan adminis-
tratif jejaring untuk merevitalisasi, mengkkordinasikan dan menggalang dana
bagi Jejaring MedPAN.
Periode penguatan kapasitas dan perluasan jejaring: Menindaklanjuti studi
kelayakan yang dilakukan pada tahun 2003, kegiatan-kegiatan MedPAN dimulai
lagi dengan sebuah proyek 3 tahun (2005-2007) yang didanai oleh INTERREG
IIC South Zone Initiative. Sejak saat itu, Jejaring kemudian didedikasikan penuh
bagi kawasan konservasi perairan laut.
Proyek tesebut melibatkan 23 mitra dari 11 negara-negara di sepanjang pantai
Laut Tengah, termasuk 14 mitra Eropa dari Perancis, Itali, Yunani, Spanyol, Malta,
dan 9 mitra non-Eropa dari Maroko, Tunisia, Aljazair, Kroasia dan Turki. Dana
tambahan dari IUCN memungkinkan peserta dari Lebanon, Libya dan Mesir
untuk berasosiasi dengan proyek. Bersama, mereka mengelola lebih dari 20
KKP dan bekerja dalam memberikan supervisi fungsional dan peraturan kepada
beberapa KKP baru. Proyek juga setiap tahun menyelenggarakan sejumlah
lokakarya tentang hal-hal yang relevan bagi KKP seperti perencanaan
pengelolaan, pengelolaan perikanan dan pariwisata, pengelolaan habitat atau
pendanaan KKP. Selain itu, proyek juga mendanai penyusunan perangkat-
perangkat metodologi dan komunikasi untuk membantu para pengelola KKP,
dan pembuatan basis-data untuk KKP di seluruh Laut Mediterania (disebut
MAPAMED; dapat dilihat pada laman http://www.mapamed.org/).
Untuk memastikan bahwa semua kegiatan MedPAN tidak berhenti setelah
proyek selesai, pada Agustus 2007 dilakukan studi kelayakan untuk membuat
kerangka kelembagaan bagi Jejaring MedPAN, sebagai awal bagi MedPAN untuk
menjadi organisasi independen di masa mendatang. Pada Oktober 2007,
MedPAN, Taman Nasional Port-Cros dan koordinator jejaring, WWF Perancis,
menyelenggarakan konferensi pertama tentang jejaring KKP di Laut Mediterania,
bekerjasama dengan UNEP dan IUCN, di Pulau Porquerolles, Perancis. Dari
konferensi ini diperoleh sebuah pernyataan bersama dari para peserta.
Periode pemantapan: Pada akhir 2007, para pengelola yang terlibat dalam proyek
INTERREG IIIC memutuskan bahwa diperlukan sebuah organisasi permanen
yang didedikasikan untuk memberi dukungan penuh terhadap Jejaring MedPAN.
36
Dengan dukungan teknis dari WWF Perancis dan 9 anggota pendiri, pada tahun
2008 dibentuk sebuah organisasi nirlaba di (bawah hukum) Perancis. Statuta
organisasi kini terdaftar secara legal di Perancis, dan sejumlah anggota baru
bergabung dengan organisasi MedPAN.
Pada tahun 2009, disusun strategi aksi (action strategy) untuk 2010-2012, yang
ditindaklanjuti dengan pertemuan Majelis Umum pada akhir tahun yang sama.
Pada tahun 2012, jejaring MEdPAN beserta para mitranya menyusun strategi
2013-2015. Pada April 2013, jejaring MedPAN memiliki 52 anggota yang
mengelola lebih dari 80 KKP dan 27 mitra dari 18 negara-negara Laut
Mediterania, yang didukung oleh sebuah kantor Sekretariat Eksekutif.
Beberapa capaian penting dari Jejaring MedPAN, antara lain, adalah (i) tersedianya
dokumen-dokumen strategi jejaring 2013-2017 dan peta jalan (roadmap) menuju
2020; (ii) kegiatan di tingkat regional Laut Mediterania, seperti penyusunan
basis-data KKP, kegiatan penguatan kapasitas, dan forum komunikasi antar-
pengelola KKP; serta (iii) kegiatan di tingkat sub-regional seperti pemanfaatan
KKP sebagai tujuan ekowisata melalui program MEET (Mediterranean Experi-
ence of Eco-Tourism).
3.1.5.5 Karibia Jejaring CaMPAM
5
Lokasi dan Latarbelakang
CaMPAM (Caribbean Marine Protected Area Management Network and Forum)
adalah jejaring yang didirikan pada tahun 1997 oleh Program Karibia dari UNEP
(UNEP-CEP) dengan tujuan untuk meningkatkan pengelolaan wilayah pesisir
dan laut di Kepulauan Karibia dan wilayah sekitarnya (Wider Caribbean Region)
melalui berbagi pengalaman dan kerjasama untuk memperkuat sistem nasional
dan regional kawasan-kawasan konservasi laut dan pesisir yang sudah ada maupun
yang akan datang. Kepulauan Karibia dan wilayah sekitarnya mencakup 38
negara daratan dan kepulauan dengan pantai di sepanjang perairan tropis dan
sub-tropis Laut Karibia dan Teluk Meksiko. Wilayah ini memanjang dari Florida
5
Informasi lebih rinci tentang jejaring ini bisa dilihat pada laman: http://campam.gcfi.org/campam.php
37
Selatan ke Guyana Perancis di selatan, meliputi Kepulauan Bahama, Mexico,
Amerika Tengah, Kepulauan Antilles Besar dan Kecil, serta Kolombia, Venezuela,
Trinidad & Tobago, Suriname dan Guyana; dan mencakup sembilan ekoregion
laut (Gambar 6).
Gambar 6 Peta kepulauan Karibia dan wilayah di sekitarnya. Lingkaran dengan garis penuh
menunjukkan kawasan-kawasan yang menunjukkan keterkaitan biologi, sementara lingkaran
dengan garis terputus menunjukkan kawasan-kawasan yang kurang terdokumentasi atau
berpotensi menjadi satu unit jejaring. (Sumber: Bustamante et al., 2010)
Perluasan industri perikanan di wilayah ini telah melebihi kapasitas, yang
menghambat banyak stok ikan untuk dapat pulih secara alamiah. Ini
menyebabkan kelimpahan ikan, udang barong dan kerang-kerangan di beberapa
tempat berkurang drastis sampai ke titik dimana jenis seperti kerapu Nassau
dan kerang ratu menjadi punah-secara-komersial (tidak cukup banyak untuk
dapat ditangkap). Disamping penangkapan berlebih (overfishing), dampak terhadap
ekosistem yang terjadi di wilayah ini adalah pembangunan pesisir yang tidak
dikelola dengan baik, praktik pariwisata yang tidak ramah lingkungan dan
pencemaran laut, yang mengarah kepada hilangnya habitat-habitat penting seperti
terumbu karang, mangrove dan lamun. Selain itu, penyakit dan pemutihan (bleach-
ing) juga memberikan dampak yang berat terhadap terumbu karang.
38
Dengan semakin bertambahnya informasi yang tersedia mengenai kegagalan
dan keberhasilan KKP-KKP tunggal dan keterkaitan antara populasi-populasi
spesies laut dalam wilayah Karibia, kebutuhan bagi KKP-KKP untuk
mengkoordinasikan pengelolaan dan fungsi mereka sebagai sebuah jejaring untuk
mencapai tujuan-tujuan konservasinya menjadi jelas. Masing-masing KKP
memang dapat memberikan manfaat tetapi sifatnya hanya setempat, sementara
bila bekerja sebagai sebuah jajaring mereka dapat melindungi tempat-tempat
penting untuk berkembang biak, pengasuhan, dan pertumbuhan jenis-jenis ikan
yang bernilai komersial. Oleh karena itu, sebagian besar negara dan organisasi
konservasi di Karibia berkeinginan untuk mendirikan sebuah jejaring KKP yang
efektif untuk pemanfaatan ganda (multiple uses) seperti konservasi, rekreasi
dan perikanan.
Perancangan jejaring dan pendekatan yang digunakan
Jejaring CaMPAM didirikan dengan pemahaman bahwa komunikasi antar para
pemangku kepentingan sangat penting untuk mendukung proses pembentukan
jejaring KKP berdasarkan aspek ekologi dan koordinasi sistem-sistem KKP
lintas batas negara. Dalam konteks ini, jejaring sosial dan profesional para praktisi
dan pengelola sumberdaya laut memainkan peran penting untuk memfasilitasi
pembelajaran, koordinasi dan penggunaan sumberdaya secara efisien dalam
membangun jejaring KKP. Semua ini yang melatari pendirian CaMPAM pada
38
39
tahun 1997. Sejak saat itu, berdasarkan kebutuhan prioritas yang diidentifikasi
oleh para pengelola, CaMPAM telah mengembangkan sejumlah perangkat
komunikasi dan penguatan kapasitas untuk menyebarluaskan praktik-praktik
pengelolaan terbaik (best management practices) dan mendorong kolaborasi di
antara semua KKP yang terdapat di Kepulauan Karibia dan wilayah sekitarnya.
Sejak pendiriannya, CaMPAM telah berevolusi menyesuaikan dengan kebutuhan
yang muncul, disamping juga beradaptasi terhadap sains dan informasi baru
untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan jejaring.
Program CaMPAM untuk menguatkan kapasitas kelembagaan KKP mencakup
kegiatan-kegiatan berikut ini:
Program Pelatihan untuk Pelatih tingkat regional;
Pertukaran kunjungan nelayan dan pengelola KKP untuk menyebarluaskan
praktik-praktik terbaik;
Pemberian hibah untuk mendorong penangkapan ikan secara bertanggung
jawab dan mata-pencaharian alternatif bagi nelayan di dalam dan di sekitar
KKP;
Pembuatan basis data KKP regional; dan
Penyebarluasan informasi melalui Forum CaMPAM, milis, terbitan dan
lokakarya.
39
40
Kondisi geopolitik dan budaya yang unik dari Kepulauan Karibia dan wilayah
sekitarnya memiliki beberapa ciri khas yang dapat memfasilitasi suatu pendekatan
regional dalam mengelola sumberdaya laut. Ciri khas tersebut meliputi:
Kemiripan iklim dan kondisi oseanografi: arus laut tropika yang memasuki
Laut Karibia dari Samudera Atlantik mengalir keluar di sepanjang pantai
Florida (Gulf Stream).
Satu wilayah biogeografi dengan beberapa ekoregion: meski Kepulauan
Karibia dan wilayah sekitarnya memiliki hampir semua populasi spesies
laut yang serupa (ikan, invertebrata, penyu, tumbuhan, mamalia), wilayahnya
sendiri kemungkinan terbagi menjadi beberapa ekoregion atau unit yang
berbeda, tetapi saling terkait karena adanya arus yang menahan larva yang
berasal dari samudera (oceanic larvae).
Ekonomi berbasis pariwisata pesisir: di hampir semua negara, pariwisata
pesisir merupakan industri yang dominan.
Keragaman bahasa yang rendah: bahasa-bahasa Inggris dan Spanyol adalah
bahasa yang dominan, meski bahasa-bahasa Perancis, Belanda, Creole dan
Papiamento juga dipakai di beberapa pulau.
Kemiripan warisan sejarah dan budaya: kolonialisme dan perbudakan
membantu pembentukan budaya Karibia pada abad ke-16 dan 18.
Kedekatan geografis: 38 negara di dalam sebuah basin seluas 1,2 juta km
2
.
Perjanjian antar pemerintah regional dalam bidang sumberdaya pesisir dan
laut: Konvensi Cartagena Tahun 1981 dan protokolnya memberikan kerangka
legal untuk menangani persoalan perlindungan dan pembangunan
berkelanjutan lingkungan laut. Semua negara Kepulauan Karibia dan wilayah
sekitarnya saat ini berpartisipasi dalam program tersebut.
Meski ada beragam hal yang mendukung di atas, banyak tantangan yang dihadapi
untuk melakukan pengelolaan secara efektif sumberdaya laut lintas-batas dan
lintas-ekoregion. Sistem-sistem KKP nasional dan sub-regional yang mencakup
daerah larang ambil dan perikanan bertanggung jawab, dipadukan dengan
perangkat pengelolaan lainnya (untuk daerah pesisir dan dataran tinggi), dapat
membantu memaksimumkan layanan lingkungan laut bagi Kepulauan Karibia
dan wilayah sekitarnya di abad ke-21.
41
STRATEGI PENGELOLAAN
JEJARING KKP
Dalam konteks Indonesia, sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri
tentang Jejaring KKP, sebuah jejaring pada dasarnya adalah kerjasama antar unit
organisasi pengelola KKP untuk mencapai tujuan yang lebih efisien, efektif, dan
memenuhi sasaran yang tidak dapat dicapai melalui pengelolaan KKP secara
sendiri-sendiri. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan jejaring KKP dilakukan oleh
kelembagaan pengelola jejaring, unit organisasi pengelola masing-masing KKP,
dan dapat dibantu oleh perorangan, kelompok masyarakat, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat dan swasta.
Dalam hal diperlukannya sebuah kelembagaan dalam pengelolaan jejaring KKP,
maka kelembagaan pengelola jejaring ini ditentukan berdasarkan kesepakatan
antar unit organisasi pengelola dan/atau SKPD. Kelembagaan dapat bersifat cair
seperti berbentuk forum atau pusat layanan (resource center), atau dalam bentuk
organisasi formal seperti kelompok kerja atau dewan pengelola. Beberapa jenis
kerjasama yang mungkin dikembangkan dalam pengelolaan jejaring KKP, antara
lain:
a. Penanganan pencemaran;
b. Pengendalian penangkapan ikan tidak berkelanjutan;
c. Mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim;
d. Pengendalian spesies asing dan invasif; dan
e. Pengendalian perusakan habitat dan populasi ikan.
Selain itu, kerjasama dapat berupa kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kinerja pengelolaan KKP seperti:
a. Perlindungan dan pengelolaan spesies bermigrasi;
b. Pengawasan dan penegakan hukum;
c. Peningkatan nilai pemanfaatan kawasan;
d. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia;
e. Pendidikan dan peningkatan kepedulian terhadap kawasan konservasi
perairan;
f. Pembangunan dan pengembangan basis data mutakhir;
g. Peningkatan kerja sama dan jaringan internasional
B
A
B



4
41
42
h. Pembiayaan pengelolaan kawasan konservasi perairan;
i. Restorasi dan rehabilitasi ekosistem; dan
j. Penelitian dan pengembangan teknologi.
Ditinjau dari perspektif tata kelola, pengelolaan KKP pada dasarnya adalah
hubungan antara dua sistem: (1) sistem yang menata-kelola, dan (2) sistem
yang ditata-kelola (Jentoft et al., 2007). Lebih jauh lagi, sistem yang menata-
kelola bersifat sosial (karena dibangun oleh lembaga dan mekanisme yang
mengarahkan), sementara sistem yang ditata-kelola sebagian bersifat alami
(karena terdiri dari ekosistem dan sumberdaya di dalamnya), dan sebagian bersifat
sosial (karena terdapat sistem para pengguna dan pemangku kepentingan
diantara mereka sendiri, yang membentuk koalisi dan lembaga politik) (Jentoft
et al., 2007). Dalam konteks jejaring, pengelolaan dan penata-kelolaan yang
efektif untuk mencapai sukses jangka panjang perlu memenuhi beberapa
prasyarat yang dicerminkan oleh: (i) kemauan politik dan kepemimpinan; (ii)
pendidikan publik dan komunikasi; (iii) pendanaan berkelanjutan; (iv) penegakan
hukum/aturan dan kepatuhan; serta (v) pemantauan dan kajian (Ebanks et al.,
2009; Gleason et al., 2010, 2013; Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008; White
et al., 2006). Masing-masing prasyarat ini diulas lebih jauh di bawah ini berdasarkan
Ebanks et al. (2009), Gleason et al. (2010, 2013), Green et al. (2008), IUCN-
WCPA (2008), dan White et al. (2006).
4.1 Kemauan Politik dan Kepemimpinan
Dukungan politik sangat penting bagi proses pengembangan jejaring KKP.
Partisipasi masyarakat dan dukungan politik saling berkaitan dan sangat penting
untuk mencapai tujuan konservasi yang signifikan dan jangka panjang. Untuk
dapat mengelola jejaring dengan baik, maka pada setiap tahapan para pengambil
keputusan harus selalu dilibatkan. Banyak pakar kelautan dan pengelola kawasan
konservasi yang kelihatannya tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang
hal ini, disamping juga tidak memiliki kontak politik yang sesuai. Dalam kondisi
seperti ini, para perencana dan pengelola perlu lebih kreatif untuk menemukan
kontak yang sesuai dan memastikan keterlibatan para pengambil keputusan.
Selain itu, dalam banyak kasus, beberapa tujuan konservasi sering sulit untuk
dipertahankan secara politis, sehingga para perencana dan pengelola harus siap
untuk berkompromi dalam konteks meningkatkan efektivitas pengelolaan
jejaring.
43
Kesadaran dan dukungan politik sangat penting bagi proses pengembangan dan
pengelolaan jejaring KKP. Implementasi rencana pengelolaan biasanya melibatkan
beberapa tindakan legislatif atau dasar hukum lainnya. Politisi dan pembuat
kebijakan harus sering dilibatkan sejak awal proses perencanaan untuk
membangun dukungan mereka. Dukungan politik yang kuat dapat sangat
membantu jejaring KKP yang diusulkan memperoleh persetujuan yang
diperlukan berdasarkan perundang-undangan dan untuk menggalang pendanaan.
Membangun dukungan politik secara luas merupakan hal yang sangat penting
untuk mendapatkan kepastian pendanaan pengelolaan, serta memastikan sistem
dan kebijakan yang dibutuhkan untuk membangun tata kelola jejaring KKP yang
lebih baik. Hal ini juga penting untuk menyesuaikan usulan anggaran dan
kompromi kegiatan pengelolaan. Dalam banyak kasus, lebih baik berkompromi
dan mencapai hasil konservasi yang masuk akal daripada mempertahankan tujuan
ideal jejaring tetapi tidak mendapat dukungan secara politis.
Kepemimpinan yang kuat dan efektif juga penting untuk mengembangkan dan
mengelola jejaring KKP yang efektif. Banyak program perencanaan kelautan di
seluruh dunia yang lebih menekankan pentingnya pengetahuan ilmiah tetapi
kurang melibatkan masyarakat dan para pengambil keputusan dalam setiap
tahapan prosesnya. Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan kaum terpelajar
merupakan sasaran utama yang perlu dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan untuk merencanakan dan mengelola jejaring KKP.
4.2 Pendidikan Publik dan Komunikasi
Pendidikan dan penyuluhan dapat meningkatkan pemahaman dan mengubah
perilaku masyarakat, dari tidak mendukung menjadi mendukung jejaring KKP.
Program pendidikan dapat menangani masalah-masalah pengelolaan sumberdaya
tertentu, membantu pencapaian tujuan pengelolaan, dan mempromosikan jasa
penting jejaring lainnya seperti penelitian, pemantauan dan penegakan hukum.
Dalam mengembangkan rencana komunikasi, para perencana dan pengelola
harus terlebih dahulu mengidentifikasi pemangku kepentingan utama, termasuk
lembaga pengelola, serta masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya maupun
sektor swasta.
44
6
Penyuluhan/penjangkauan, pendidikan dan komunikasi merupakan padanan bebas dari IEC atau Information, Educa-
tion and Communication. Pada praktiknya, penyuluhan (extension) berbeda dari penjangkauan (outreach).
Banyak cerita sukses terkait pengelolaan KKP merupakan hasil kerja di bidang
pendidikan, penyuluhan/penjangkauan dan komunikasi
6
. Pendidikan, penyuluhan/
penjangkauan dan komunikasi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
masyarakat serta meningkatkan kesadaran, pemahaman dan partisipasi mereka
dalam pengembangan dan pengelolaan jejaring KKP. Upaya penjangkauan yang
luas, misalnya, dapat meningkatkan pemahaman tentang manfaat keseluruhan
jejaring KKP. Sementara itu, program-program yang lebih spesifik dapat mengatasi
masalah sumberdaya tertentu dan mempromosikan layanan penting lainnya
seperti penelitian, pemantauan dan penegakan hukum. Upaya pendidikan juga
dapat memperkuat komitmen para pembuat kebijakan.
Pengembangan rencana komunikasi harus menetapkan pesan pendidikan dan
penjangkauan yang konsisten. Pesan yang disampaikan harus sesuai dengan
sasaran yang ingin dicapai serta perlu membangun peluang-peluang kemitraan
baru. Pada tahap awal, materi pendidikan dapat difokuskan pada tujuan
pengelolaan, sedangkan pada tahap selanjutnya materi dapat berkembang sesuai
dengan perkembangan jejaring KKP yang dikelola. Sebuah rencana komunikasi
yang efektif juga harus memperkuat kemitraan dan meningkatkan kerjasama
antar jejaring KKP. Strategi pendidikan dan komunikasi yang disarankan meliputi:
(Ebanks et al., 2009; Green et al., 2008; White et al., 2006)
Menggunakan cara-cara non-formal untuk mendorong partisipasi dan
interaksi yang lebih intensif;
Melibatkan para akademisi, penyelam, nelayan, pemilik resor dan lainnya
untuk berbagi pengalaman dan membangkitkan minat serta semangat
masyarakat lokal;
Membangun pusat pembelajaran untuk berbagi pangalaman dari lapangan
serta pembelajaran dari tempat lain;
Menyediakan informasi dari hasil pemantauan (monitoring) sebagai bahan
untuk menyusun program pendidikan dan sekaligus menggambarkan
perubahan ekologi, keanekaragaman hayati, kualitas dan kuantitas ekosistem/
spesies; dan
Memahami kondisi dan permasalahan secara lebih detil guna membuat
pilihan-pilihan untuk melakukan pengelolaan.
45
Dengan memberikan informasi tentang konservasi dan pengelolaan kepada
khalayak yang lebih luas, pengelola kawasan dapat meningkatkan rasa memiliki
dan menggugah kebanggaan masyarakat terhadap KKP yang ada. Kebanggaan
dan rasa memiliki ini selanjutnya akan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat
dalam pengelolaan kawasan.
4.3 Pendanaan Berkelanjutan
Mempertahankan dan memelihara keterwakilan ekologi dalam konteks
mengelola jejaring KKP secara efektif membutuhkan dana yang tidak kecil. Dalam
mengelola jejaring KKP, perlu dikembangkan suatu mekanisme pendanaan yang
lebih komprehensif dibandingkan dengan pengelolaan KKP yang diselenggarakan
secara individual atau sendiri-sendiri. Strategi pembiayaan pada tingkat jejaring
membutuhkan kejelian dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh, pengelola
perlu mempertahankan kealamiahan beberapa lokasi penting sambil sekaligus
berkonsentrasi pada kegiatan pariwisata di zona-zona tertentu lainnya untuk
menggalang dana konservasi.
Mengembangkan jejaring KKP juga perlu menerapkan efisiensi penggunaan
sumberdaya untuk pengelolaan, baik sumberdaya manusia maupun keuangan.
Pendekatan bisnis dalam pengelolaan KKP serta pengembangan mekanisme
pembiayaan jangka panjang merupakan hal penting bagi keberhasilan jangka
panjang bagi pengelolaan jejaring KKP. Dalam banyak kasus, ketersediaan dana
untuk pengelolaan jejaring KKP biasanya kurang memadai, sehingga para
perencana dan pengelola jejaring KKP harus menggunakan dana tersebut secara
efisien dan efektif. Oleh karena itu, pengelola juga harus lebih kreatif dalam
melibatkan pemangku kepentingan, khususnya ketika mengimplementasikan
strategi pendanaan.
Di bawah ini beberapa komponen dasar dari Pendanaan Berkelanjutan:
Berbagi beban pembiayaan dan tanggungjawab pengelolaan
Banyak investasi dan pengeluaran rutin untuk mempertahankan jejaring
KKP yang sebagian pembiayaannya sebetulnya dapat dilakukan dengan
melibatkan dukungan lokal untuk mencapai tujuan jejaring. Selain masyarakat
setempat, dapat juga berasal dari pihak lain seperti LSM, sektor swasta
atau pihak lain yang relevan yang dilibatkan karena minat/ketertarikan
mereka terhadap jejaring. Bahkan dana yang dialirkan oleh pemerintah
46
daerah untuk mendukung kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat di
dekat atau sekitar kawasan konservasi dapat pula dijadikan sebagai sumber
pendanaan.
Membangun portofolio yang beragam
Strategi pembiayaan yang tangguh biasanya terdiri dari portofolio yang
beragam untuk melengkapi sumber pendapatan yang dilakukan dengan
manajemen biaya efektif. Sumber-sumber yang mungkin termasuk dana
pemerintah, hibah dari yayasan, dunia usaha, lembaga donor, dan organisasi
non-pemerintah, serta dana abadi.
Sistem tata kelola dan administratif
Pendanaan untuk jejaring KKP harus disalurkan secara efektif untuk kegiatan-
kegiatan di lapangan. Hal ini sangat penting untuk membangun kepercayaan
masyarakat, pemangku kepentingan, serta memberikan dukungan dalam
pengembangan jejaring KKP. Untuk membantu mengamankan pendanaan
jangka panjang, perancang jejaring harus menciptakan mekanisme yang dapat
melacak dan melaporkan pemasukan dan pengeluaran pendanaan dengan
tingkat akuntabilitas yang tinggi.
Dukungan politik untuk implementasi pendanaan berkelanjutan
Membangkitkan dan mendorong dukungan politik yang luas di antara
instansi-instansi pemerintah dan pemangku kepentingan, merupakan salah
satu cara penting untuk mengamankan sumber pendanaan. Hal ini juga
untuk memastikan adanya dukungan terhadap sistem tata kelola berupa
kebijakan yang dibutuhkan untuk membangun jejaring KKP. Sebanyak
mungkin, perencanaan dan penganggaran untuk jejaring KKP harus dapat
dimasukkan ke dalam sistem penganggaran pemerintah sebagai bagian dari
strategi pendanaan berkelanjutan.
4.3.1 Strategi membangun pendanaan berkelanjutan untuk
jejaring KKP
Membangun pendanaan berkelanjutan untuk pengembangan dan pengelolaan
jejaring KKP memiliki kompleksitas yang tinggi. Strategi pembiayaan akan
melibatkan tukar manfaat (trade-off) dengan membandingkan dana/pendapatan
yang tertahan pada KKP tertentu dengan sumberdaya yang terkumpul untuk
47
jejaring secara keseluruhan. Beberapa langkah yang harus diambil oleh
pemerintah, masyarakat, LSM, dunia usaha, lembaga donor, dan lainnya, untuk
membantu menentukan strategi pendanaan berkelanjutan antara lain:
Melakukan analisis biaya-manfaat terhadap jejaring KKP dengan
mempertimbangkan wilayah darat dan laut yang lebih luas.
Memasukan potensi sumberdaya pendanaan atau menciptakan kemitraan
sebagai kriteria utama dalam memilih dan menentukan daerah yang harus
membangun jejaring KKP.
Mengartikulasikan tujuan-tujuan jejaring KKP dengan jelas dan
menghubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang relevan dalam rangka
mencari sumber pendanaan dan kemitraan yang saling sesuai (compatible)
dengan tujuan-tujuan tersebut.
Mengidentifikasi sumber pendanaan baik yang sudah ada maupun yang masih
potensial, serta cara-cara untuk mengurangi atau berbagi biaya pengelolaan.
Menyusun strategi yang mencakup beragam mekanisme keuangan dan
pendekatan pengelolaan.
Mengidentifikasi jenis pengelolaan (termasuk pengaturan pengelolaan
kolaboratif dan atau kemitraan) yang tepat dan akuntabel, serta pengawasan
yang diperlukan untuk menghasilkan dan mengalokasikan sumberdaya
pendanaan secara efisien.
4.4 Kepatuhan dan Penegakan Hukum
Istilah kepatuhan digunakan ketika orang secara sukarela menerima dan
bertindak sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang diterapkan oleh jejaring
KKP. Istilah penegakan hukum atau aturan adalah tindakan yang diambil terhadap
orang-orang yang tidak dapat atau gagal untuk mematuhi hukum atau aturan.
Para perencana jejaring KKP harus membuat aturan sedemikian rupa yang
dapat mendorong publik untuk mematuhi hukum/aturan yang diterapkan dalam
pengelolaan jejaring KKP.
Pendidikan dan kepatuhan sebaiknya dijadikan sebagai pilihan pertama dalam
melaksanakan pengelolaan jejaring KKP, sedangkan penegakan hukum atau aturan
merupakan pilihan terakhir. Agar kepatuhan dan penegakan hukum atau aturan
dapat berjalan seperti yang diharapkan, dibutuhkan dukungan perangkat hukum
dan peradilan dari pemerintah. Namun, strategi membangun atau mendorong
kepatuhan harus disesuaikan dengan konteks ekonomi dan sosial-budaya
48
masyarakat dimana suatu jejaring KKP berada. Beberapa aspek berikut ini
membantu memastikan berjalannya kepatuhan dan penegakan hukum yang
efektif dalam pengelolaan jejaring KKP.
Aspek kepatuhan dan penegakan hukum atau aturan sudah
dibangun sejak tahap perencanaan jejaring KKP
Pertimbangan utama meliputi kelayakan, keterjangkauan, pemahaman publik
untuk melindungi kawasan yang paling rentan terhadap dampak negatif
dari aktivitas manusia.
Menggunakan pendidikan untuk membangun kepatuhan
Untuk mendorong dan memastikan terciptanya kepatuhan, pengelola jejaring
KKP harus memberi pemahaman kepada para pembuat kebijakan, pemimpin
pemerintahan, dan masyarakat tentang jejaring KKP serta aturan-aturan
yang berlaku. Dukungan publik yang luas juga dapat mendorong
terbentuknya penegakan hukum atau aturan secara kolaboratif dimana
masyarakat terlibat secara sukarela untuk membantu penegakan hukum
atau aturan pengelolaan jejaring KKP.
Mengembangkan program pengawasan untuk mendukung
kepatuhan dan penegakan hukum atau aturan
Dalam pengawasan (surveillance), perlu dilakukan pemantauan terhadap
kegiatan masyarakat dalam pengelolaan jejaring KKP guna memastikan
bahwa mereka mengikuti aturan yang berlaku. Beragam teknologi dapat
digunakan untuk meningkatkan efisiensi penegakan hukum atau aturan,
khususnya pada pengelolaan jejaring KKP dengan jumlah tenaga pengelola
yang terbatas. Perjanjian antara lembaga pemerintah, masyarakat setempat
dan pengguna sumberdaya, dapat membantu meningkatkan mobilisasi
sumberdaya penegakan hukum atau aturan.
Penegakan hukum atau aturan harus didukung dengan sanksi
yang sesuai
Dalam rangka mendorong kepatuhan dan memudahkan penegakan hukum
atau aturan pengelolaan jejaring KKP, maka penerapan sanksi terhada
pelanggaran hukum atau aturan harus jelas, dimengerti, dan sesuai dengan
konteks sosial budaya masyarakat setempat. Sanksi sendiri sangat beragam,
mulai dari teguran lisan, penyitaan properti, penangguhan lisensi/ijin, sampai
kepada tuntutan hukum.
49
4.5 Pemantauan Pelaksanaan Jejaring KKP
Pemantauan (monitoring) pelaksanaan jejaring KKP ditujukan untuk mendapatkan
informasi terkait kemajuan dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam mencapai
tujuan pengelolaan. Hal ini penting untuk mendukung perubahan-perubahan
yang dibutuhkan dalam kerangka pengelolaan adaptif. Perubahan kebijakan dan
strategi pengelolaan dapat dan harus mengacu pada hasil pemantauan perubahan
kondisi lingkungan (Ebanks et al., 2009; Gleason et al., 2010, 2013; Green et al.,
2008; IUCN-WCPA, 2008; White et al., 2006).
Hasil pemantauan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Hasil
positif dari pemantauan menjadi dukungan moril bagi pengelola untuk terus
meningkatkan kinerja pengelolaannya, serta untuk mendapat dukungan lebih
luas dari masyarakat sekitar. Hasil pemantauan juga dapat dijadikan pembelajaran
bagi pengelola dan pihak lain sehingga dapat dijadikan model untuk lokasi lainnya
(Ebanks et al., 2009; Gleason et al., 2010, 2013; Green et al., 2008; IUCN-WCPA,
2008; White et al., 2006).
Secara kelembagaan, kegiatan pemantauan ini seringkali kurang mendapat
dukungan, sehingga menyulitkan pengelola untuk menjelaskan bahwa jejaring
KKP yang dikelola sudah mencapai tujuannya. Untuk menghindari hal ini, usulan
kegiatan pemantauan dan evaluasi formatif perlu dimasukkan sejak awal
perencanaan, dan digunakan sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi kinerja
pengelolaan. Investasi sumberdaya dan usaha dalam pemantauan dan evaluasi
yang dilakukan dengan baik dapat memberikan umpan balik yang nyata bagi
pengelola (Ebanks et al., 2009; Gleason et al., 2010, 2013; Green et al., 2008;
IUCN-WCPA, 2008; White et al., 2006).
Pemantauan mencakup penilaian terus menerus untuk mengukur pencapaian
tujuan ekologi, sosial dan tata kelola, serta mengukur kinerja dan dampak ekologi
dari berbagai strategi pengelolaan dari KKP-KKP yang berjejaring (yaitu: ukuran,
bentuk, dan jarak). Dalam menilai kemajuan pengelolaan, dibutuhkan indikator
kinerja yang jelas dan cukup spesifik agar dapat diukur secara konsisten dan
fleksibel (Ebanks et al., 2009; Gleason et al., 2010, 2013; Green et al., 2008;
IUCN-WCPA, 2008; White et al., 2006).
50
Elemen-elemen kunci yang dapat memaksimalkan nilai pemantauan dan evaluasi
formatif jejaring KKP adalah (Ebanks et al., 2009; Gleason et al., 2010, 2013;
Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008; White et al., 2006):
Mengidentifikasi indikator yang tepat berkaitan dengan tujuan berjejaring.
Mengembangkan sistem informasi terpadu dengan basis data yang handal
(termasuk hasil-hasil dari kajian ilmiah).
Melakukan koordinasi dan standarisasi pengumpulan data dari para anggota
jejaring sehingga pengelola dapat membandingkan data, baik antar KKP
maupun dari waktu ke waktu.
Memaksimalkan akses data, analisis dan pelaporan untuk mendukung proses
konsultasi publik.
Memastikan sumberdaya manusia yang memiliki kapasitas dan berdedikasi
serta dukungan kelembagaan.
Menghubungkan hasil pemantauan dengan proses pengambilan keputusan,
dan memastikan akuntabilitasnya.
Membangun sistem yang fleksibel untuk mengelola perubahan dan teknologi
baru.
Selain itu, pemantauan dapat berkontribusi untuk menjaga dukungan dan
ketertarikan dari para pemangku kepentingan dengan menunjukkan keberhasilan
jangka pendek maupun jangka panjang dari pengelolaan jejaring KKP.
Menerbitkan hasil kerja pemantauan membantu meningkatkan dukungan minat
dan penerimaan KKP oleh masyarakat lokal (Green et al., 2008; IUCN-WCPA,
2008; White et al . 2006).
Banyak referensi terkait kegiatan pemantauan dan evaluasi. Seringkali informasi
yang dikumpulkan dari kegiatan pemantauan melebihi yang dibutuhkan. Dalam
hal ini, pengelola jejaring KKP harus strategis dalam memilih alat yang paling
tepat yang dapat diandalkan untuk melakukan pemantauan, analisis data dan
evaluasi jejaring KKP sehingga dapat mendukung efektivitas pengelolaannya
(Ebanks et al., 2009; Gleason et al., 2010, 2013; Green et al., 2008; IUCN-WCPA,
2008; White et al., 2006).
51
EVALUASI KINERJA DAN EFEKTIVITAS
PENGELOLAAN JEJARING KKP
Eval uasi terhadap
kinerja dan efektivitas
pengelolaan jejaring
KKP perlu dilakukan
secara periodik antara 3
atau 5 tahun sekali.
Berbeda dari evaluasi
formatif yang melekat
dengan pemantauan
ber kes i nambungan
terhadap pelaksanaan
ke g i a t a n - ke g i a t a n
pengelolaan jejaring, evaluasi kinerja dan efektivitas dilakukan setelah satu
periode waktu yang disepakati oleh para pengelola jejaring (cf. Ebanks et al.,
2009; Gleason et al., 2010, 2013; Green et al., 2008; IUCN-WCPA, 2008; White
et al., 2006). Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk: (i) menilai kinerja pengelolaan,
apakah komponen mendasar seperti sumberdaya manusia dan pendanaan
dikelola dan bekerja secara efisien sehingga memberikan efek positif terhadap
kegiatan-kegiatan pengelolaan; dan (ii) menilai efektivitas pengelolaan jejaring,
apakah pengelolaan mencapai tujuan-tujuan bersama dalam bidang biofisik dan
sosial-ekonomi, serta memberikan dampak positif yang diharapkan terhadap
komponen biofisik dan sosial-ekonomi jejaring. Kedua tujuan ini sesuai dengan
tujuan dari evaluasi efektivitas pengelolaan
7
yang tercantum pada Surat
Keputusan Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (SK Dirjen
KP3K) No. 44/2012 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Kawasan
Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (E-KKP3K).
7
Efektivitas Pengelolaan didefinisikan sebagai tingkat/level/peringkat sejauh mana upaya pengelolaan kawasan konservasi
memberikan hasil positif terhadap aspek-aspek sumberdaya kawasan dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat yang
berdampak pada peningkatan kinerja pengelolaan (SK Dirjen KP3K No. 44/2012 tentang Pedoman Teknis E-KKP3K).
B
A
B



5
51
52
Menurut Gleason et al., 2013 dan Green et al., 2008, hampir tidak ada upaya
evaluasi efektivitas terhadap pengelolaan jejaring KKP. Hal ini terjadi mengingat:
(i) pengembangan jejaring KKP masih relatif baru, dan (ii) tidak adanya perangkat
untuk melakukan evaluasi kinerja efektivitas pengelolaan jejaring KKP. Ketiadaan
perangkat tersebut memberi peluang untuk membuat sebuah perangkat evaluasi
yang sesuai.
53
PENUTUP
Saat ini pembentukan dan pengelolaan jejaring KKP merupakan suatu kebutuhan
untuk mengelola sumberdaya perikanan menjadi lebih baik dan bermanfaat.
Untuk mengembangkan jejaring KKP dibutuhkan strategi pembentukan dan
pengelolaan berdasarkan pengalaman, pembelajaran, dan praktek-praktek terbaik
(best practices) yang ada baik di Indonesia maupun negara lain.
Pendirian suatu jejaring KKP yang efektif harus mempertimbangkan pentingnya
aspek-aspek ekologi, sosial-budaya-ekonomi, dan tata-kelola. Aspek ekologi
merupakan komponen utama dalam pembentukan sebuah jejaring KKP. Adapun
aspek sosial-budaya-ekonomi dan tata-kelola memegang peranan penting dalam
menentukan keberhasilan pengelolaan sebuah jejaring KKP.
Pencapaian tujuan konservasi dan efektivitas pengelolaan jejaring KKP akan
dapat cepat terwujud jika dirancang dengan baik dan dikelola dengan basis
ilmiah yang kuat. Bukti-bukti manfaat dari keberadaan jejaring KKP perlu terus
B
A
B



6
54
disebarluaskan ke khalayak untuk meningkatkan pemahaman dan mendapatkan
dukungan yang lebih luas.
Hingga saat ini belum ada perangkat untuk mengukur kinerja efektivitas
pengelolaan jejaring KKP. Oleh karena itu perlu disusun sebuah perangkat
evaluasi yang sesuai dengan konteks Indonesia.
55
DAFTAR PUSTAKA
Agardy, T. (2005). Global marine policy versus site-level conservation: the mis-
match of scale and its implications. Marine Ecology Progress Series,
300: 242-248.
Agardy, T. & Wolfe, L. (2002). Institutional options for integrated management
of a North American MPAs network. Montreal: Commission for
Environmental Cooperation.
Balmford, A., Gravestock, P., Hockley, N. McClean, C.J. & Roberts, C.M. (2004).
The worldwide costs of marine protected areas. Proceedings of the
National Academy of Sciences, 101(26): 9694-9697.
Bohnsack, J.A., Causey, B., Crosby, M.P., Griffis, R.B., Hixon, M.A., Hourigan, T.F.,
Koltes, K.H., Maragos, J.E., Simons, A. & Tilmant, J.T. (2000). A ratio-
nale for minimum 20-30% no-take protection. Proceeding of the 9th
International Coral reef Symposium, 23-27 October 2000, Bali, Indone-
sia.
Bustamante, G., Gombos, M., Hermann, H., Schmidt, K. & Vanzella-Khouri. A.
(2010). Institutional Networks of Marine Protected Areas Con-
necting People to Protect Places. Current, the Journal of Marine Educa-
tion, 26(2): 12-19.
Claudet, J., Pelletier, D., Jouvenel, J.Y., Bachet, F. & Galzin, R. (2006). Assessing the
Effects of Marine Protected Area (MPA) on a Reef Fish Assemblage
In a Northwestern Mediterranean Marine Reserve: Identifying Com-
munity-Based Indicators. Biological Conservation, 130 : 349-369.
Cooney, R. (2004). The Precautionary Principle in Biodiversity Conservation
and Natural Resource Management: An issues paper for policy-mak-
ers, researchers and practitioners. Gland, Switzerland & Cambridge,
UK: IUCN, xi + 51 pp.
Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food security (CTI-
CFF). (2013). Coral Triangle Marine Protected Areas System Framework
and Action Plan. CTI-CFF, USAID-CTSP, and US-NOAA. Cebu City,
Philippines.
56
DeVantier, L., Alcala, A. & Wilkinson, C. (2004). The Sulu-Sulawesi sea: environ-
mental and socioeconomic status, future prognosis and ameliora-
tive policy options. Ambio, 33: 88-97.
Ebanks, A.E., Miller, M. & Mahon, R. (2009). Best Management Practices for Marine
Protected Areas od the Wider Caribbean Region. CERMES Technical Re-
port No. 17, Centre for Resource Management and Environmental
Studies, University of the West Indies, Cave Hill Campus, Barbados,
40 pp.
Fernandes, L., Green, A., Tanzer, J., White, A., Alino, P.M., Jompa, J., Lokani, P.,
Soemodinoto, A., Knight, M., Pomeroy, B., Possingham, H. & Pressey,
B. (2012). Biophysical principles for designing resilient networks of marine
protected areas to integrate fisheries, biodiversity and climate change ob-
jectives in the Coral Triangle. Report prepared by The Nature Conser-
vancy for the Coral Triangle Support Partnership, 152 pp.
Gaines, S. & Airame, S. (2010). Why are ecological networks of Marine Pro-
tected Areas important? Current, the Journal of Marine Education, 26(2):
20-23.
Garrod, B. & Wilson, J.C. (2004). Nature on the edge? Marine ecotourism in
peripheral coastal areas. Journal of Sustainable Tourism, 12(2): 95-99.
Gleason, M., Fox, E., Ashcraft, S., Vasques, J., Whitemane, E., Serpa, P., Saarman, E.,
Caldwell, M., Frimodig, A., Miller-Henson, M., Kirlin, J., Ota, B., Pope,
E., Weber, M. & Wiseman, K. (2013). Designing a network of marine
protected areas in California: Achievements, costs, lessons learned,
and challenges ahead. Ocean & Coastal Management, 74: 90-101.
Gleason, M., McCreary, S., Miller-Henson, M., Ugoretz, J., Fox, E., Merrifield, M.,
McClintock, W., Serpa, P. & Hoffman, K. (2010). Science-based and
stakeholder-driven marine protected area network planning: A suc-
cessful case study from north central California. Ocean & Coastal
Management, 53: 52-68.
Green, A., Lokani, P., Sheppard, S., Almany, J., Keu, S., Aitsi, J., Warku Karvon, J.,
Hamilton, R. & Lipsett-Moore, G. (2007). Scientific Design of a Resil-
ient Network of Marine Protected Areas. Kimbe Bay, West New
Britian, Papua New Guinea. TNC Pacific Island Countroes Report
No. 2/07, x + 60 pp.
Green, A., White, A. & Kilarski, S. (Eds.) (2013). Designing marine protected area
networks to achieve fisheries, biodiversity, and climate change objectives in
57
tropical ecosystems: a practitioner guide. The Nature Conservancy and
the USAID Coral Triangle Support Partnership, Cebu City, Philip-
pines. viii + 35 pp.
Green, J.S., Meneses, A.B.T., White, A.T. & Christie, P. (2008). Marine Protected
Area Networks in the Coral Triangle: Development and Lessons. TNC,
WWF, CI, WCS, and USAID. Cebu City, Philippines, 106 pp.
IUCN World Commission on Protected Areas (IUCN-WCPA). (2008). Estab-
lishing Marine Protected Area NetworksMaking it Happen. Washing-
ton, DC: IUCN-WCPA, National Oceanic and Atmospheric Admin-
istration and The Nature Conservancy, 118 pp.
Jentoft, S., Son, T.C.v. & Bjrkan, M. (2007). Marine Protected Areas: a gover-
nance system analysis. Human Ecology DOI 10.1007/s10745-007-9125-
6.
Notarbartolo-di-Sciara, G. (2007). Guidelines for the Establishment and Manage-
ment of Marine Protected Areas for Cetaceans. Contract RAC/SPA, No.
03/2007: 1-29.
NRC (National Research Council). (2001). Marine protected areas: tools for sus-
taining ocean ecosystems. Washington DC: National Academic Press,
xvi + 272 pp.
McLeod, E., Salm, R., Green, A. & Almany, J. (2009). Designing marine protected
area networks to address the impacts of climate change. Frontiers in
Ecology and the Environments: 7, doi:10.1890/070211
Miclat, E.F., Ingles, J.A. & Dumaup, J.N.B. (2006). Planning across boundaries for
the conservation of the Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion. Ocean &
Coastal Management, 49: 597-609.
NOAA Fisheries Office for Protected Resources. (2013). Humpback Whale
(Megaptera Novaeangliae). Available at http://www.nmfs.noaa.gov/pr/
species/mammals/cetaceans/humpbackwhale.htm, last seen Novem-
ber 23, 2013.
Oviedo, L. & Solis, M. (2008). Underwater topography determines critical breed-
ing habitat for humpback whales near Osa Peninsula, Costa Rica:
implications for Marine Protected Areas. Revista de Biologia Tropical,
56(2): 591-602.
58
Pet-Soede, L., Cesar, H., Beukering, P.v., Willsteed, E. & Mous, P.J. (2009). Benefits
of Marine Protected Area networks: an overview in support of of the Coral
Triangle Initiative. WWF Report, 145 pp.
Pressey, R.L., Cabeza, M., Watts, M.E., Cowling, R.M. & Wilson, K.A. (2007).
Conservation planning in a changing world. TRENDS in Ecology and
Evolution, 22(11): 583-592.
Roberts, C.M. (1997). Connectivity and management of Caribbean coral reefs.
Science, 278: 1454-1457.
Roberts, C.M., Halpern, B., Palumbi, S.R. & Warner, R.R. (2001). Designing ma-
rine reserve networks: why small, isolated protected areas are not
enough? Conservation in Practice, 2: 10-17.
Salafsky, N. & Margoluis, R. (1999). Threat reduction assessment: a practical and
cost-effective approach to evaluating conservation and development
projects. Conservation Biology, 13(4): 830-841.
Salm, R.V., Clark, J.R. & Siirila, E. (2000). Marine and coastal protected areas A
guide for planners and managers, third edition. Gland, Switzerland: In-
ternational Union for Conservation of Nature and Natural Resources,
xi + 370 pp.
Schwenke, S., Wenzel, L. & Wowk, K. (2010). Networks of Marine Protected
Areas: what are they and why are they needed? Current, the Journal of
Marine Education, 26(2): 2-6.
Secretariat of the Convention on Biological Diversity. (2006). Global Biodiversity
Outlook 2. Montreal, vii + 81 pp.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Nomor KEP.44/KP3K/2012 (SK Dirjen KP3K No. 44/2012) tentang
Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi
Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K). Jakarta:
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Susanto, H.A. (2011). Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi
PerairanIndonesia: A Consultancy Report. Kerjasama Kementerian
Kelautan dan Perikanan dengan Coral Triangle Support Partnership
(CTSP), Jakarta, 35 hal.
59
Syakur, A., Wibowo, J. T., Firmansyah, F., Azam, I. & Linkie, M. (2012). Ensuring
local stakeholder support for marine conservation: establishing a
locally managed marine area network in Aceh. Oryx, 46: 516-524
UNEP-WCMC. (2008). National and Regional Networks of Marine Protected Ar-
eas: A Review of Progress. Cambridge: UNEP-WCMC, v + 144 pp.
Varney, A., Christie, P., Eisma-Osorio, R.-L., Labrado, G., Pinsky, M. & White, A.
(2010). Designing and planning a network of community-based Ma-
rine Protected Areas. Seattle, Washington, US & Cebu City, Philip-
pines: University of Washington, School of Marine Affairs &Coastal
Cosnervation and Education Foundation, viii + 74 pp.
White, A.T., Alio, P.M. & Meneses, A.T. (2006). Creating and managing marine
protected areas in the Philippines. Fisheries Improved for Sustain-
able Harvest, Coastal and Community Environment Foundation, and
the University of the Philippines Marine Science Institute, Cebu City,
Philippines, 83 pp.
Wilson, J., Darmawan, A., Subijanto, J., Green, A. & Sheppard, S. (2011). Rancangan
Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut yang Tangguh. Ekoregion Sunda
Kecil, Segitiga Terumbu Karang. Program Kelautan Asia Pasifik Laporan
No. 2/11, 96 hal.
60 60

Anda mungkin juga menyukai