A. PENGANTAR
Islam yang pertama kali ke Indonesia adalah Islam versi sufisme. Pendapat ini
merupakan pendapat umum para sarjana Barat dan pendapat yang belum pernah ibantah
oleh orang Indonesia sendiri. Tesis ini berdasarkan alasan, bahwa dakwah Islam
sesudah abad II H. terus mengalami kemunduran, dan baru dalam abad III H. (XIII
M.) aktif kembali akibat sumbangan dakwah dari ahli tasawuf dan ahli tarekat.
Abad ini merupakan abad pertama islamisasi Asia Tenggara yang berbarengan dengan
masa merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Beberapa tokoh
yang berpengaruh secara signifikan antara lain: al-Ghazali (450-505 H./1058-111
M.), Ibnu ‘Arabi (560-638 H./1164-1240 M.), serta para pendiri tarekat semisal
‘Abd. al-Qadir al-Jaylani (470-561 H./10771-165 M.), Abu al-Najib al-Suhrawardi
(490-563 H./1096–1167 M.), Najmudddin al-Kubra (w. 618 H./1221 M.), Abu al-
Hasan al-Syadzali (560-638 H./1196-1258 M.), Bahauddin al-Bukhari al-Naqsyabandi
(717-781 H./1317-1389 M.), dan ‘Abdullah al-Syattar (w. 832 H./1428 M.).
Islam yang diterima orang-orang Asia Tenggara yang pertama memeluk Islam
barangkali sangat diwarnai oleh berbagai ajaran dan amalan sufi. Di Indonesia
dan khususnya di Jawa, awal mula perkembangan agama (Islam) adalah dalam bentuk
yang sudah bercampur baur dengan unsur-unsur India dan Persia, terbungkus dalam
praktik-praktik keagamaan. Islam yang datang ke Indonesia dan khususnya di Jawa
adalah Islam yang bercorak sufistik. Para sufi (wali), ulama dan kyai di tanah
Jawa cenderung bersikap simpatik dan akomodatif terhadap tradisi budaya lokal.
B. MENGAPA FIKIH-SUFISTIK
Tasawuf yang berkembang pertama kali di abad XV Masehi sangat berbeda dengan
tasawuf yang dipahami dan berkembang luas di tengah masyarakat sekarang ini.
Tasawuf pada masa itu masih kental dengan ajaran-ajaran filasafisnya, mempunyai
watak dinamis akibat nilai-nilai spekulatif-nya (tasawuf falsafi). Sementara pada
saat ini, tasawuf yang diajarkan leih pada aspek amaliah yang bisa diamalkan
secara luas dengan menekankan pada amalan dan wiridan-wiridan, kurang menonjolkan
pengungkapan rasa cinta mahabbah kepada Allah, dan kaang-kadang sulit dibedakan
dengan pendidikan akhlaq.
Persantren tidak dapat dipisahkan dengan tasawuf. Seluruh sejarah pesantren, baik
dalam bentuk “pertapaan” maupun dalam bentuk pesantren abad XIX M., materi yang
diajarkan sudah memasukkan tasawuf. Sejak pesantren itu ada tasawuf telah
diajarkan. Berbeda dengan materi ushul al-Fiqh yang baru muncul belakangan (1880
M.) dalam kurikulum pesantren, yakni sejak meluasnya lulusan Haramayn yang
menguasai bidang tersebut.
Sejak abad XVI M. di pesantren-pesantren telah diajarkan kitab-kitab tasawuf
seperti Ihya’ ‘Ulum al-Din, Bidayat al-Hidayah, Talkish al-Minhaj, Sayr fi al-
Daqaiq, al-Kanz al-Khafi, dan Ma’rifat ‘Alam. Disamping itu juga, meskipun agak
terbatas, dipelajari juga karya-karya tentang wadat al-Wujud dan al-Insan al-Kamil
karya al-Jiyli. Bahkan, kitab karya Ibnu ‘Atha’ Allah al-Sakandari (w. 796
H./1394 M.) yakni al-Hikam dan Hidayat al-Atqiya’ ila Thariq al-Awliya’ karya
Zain al-Din al-Malibari (w. 914 M./1508 M.). Diantara kitab-kitab fiqh yang
diajarkan adalah Safinah al-Najah, Sullam al-Tawfiq, Masail al-Sittin, dan Minhaj
al-Qowim.
Secara edukasional, peranm kitab-kitab klasik adalah memberikan infromasi kepada
para santri bukan hanya mengenai warisan yursiprudensi di masa lampau atau tentang
jalan terang untuk mencapai hakikat ubudiyah kepada Allah, namun juga mengenai
peran-peran kehidupan di masa depan bagi suatu masyarakat. Didalam pendidikan
pesantren peran ganda kitab-kitab klasik itu adalah memelihara warisan masa lalu
dan legitimasi bagi para santri dalam kehidupan masyarakat di masa depan.
Kehadiran tasawuf memiliki makna korektif terhadap ideologisasi dan formalisasi
Islam yang dilakukan masing-masing kaum modernis Islam dan fuqaha’. Alam pikiran
fuqaha’ lebih menekankan agama sebagai hukum formal dan kaum modernnis
mengembangkannya menjadi semacam ideologi. Kaum modernis dan fuqaha’ mendekati
Allah secara kalkulatif rasional, sedangkan kaum sufi mendekati Allah dengan
menggunakan bahasa cinta dan bersifat intuitif. Pola keberagamaan ahli fikih dan
kaum modernis terutama diwujudkan dalam bentuk ketaatan hamba kepada tuannya.
Konstruk keberagamaan seperti ini kurang memberi kemungkinan untuk menghayati
dimensi kedalaman dari agama (Islam). Tasawuf memberikan reaksi keras terhadap
formalisasi dan ideologisasi Islam. Tasawuf mengupayakan pengembangan
spiritualitas. Tasawuf menghadirkan Allah sebagai yang bisa dikenal oleh
pengetahuan manusia. Kaum sufi memandang Allah sebagai sang Kekasih. Karena
itu, keberagaman diwujudkan dalam bentuk kecintaan sang perindu kepada Yang
Dirindukan (al-Ma’syuq ila al-Ma’syuq).
Kebutuhan jangka panjang umat Islam sekarang adalah bukan penafian konsep-konsep
fikih yang legal-formalistik, melainkan bagaimana fikih itu memiliki dimensi
spiritualitas. Perjumpaan antara lahiriah fikih dan batiniyah tasawuf inilah yang
dimaksud dengan fikih-sufistik. Konvergensi antara fikih dan tasawuf ini
dimaksudkan untuk mencegah agar fikih tidak terjebak pada logosentrisme,
formalisme, dan simbolisme yang terus melorot kehilangan spirit dan rohnya.
Perkembangan tasawuf yang cukup signifikan mengantarkan pesantren menjadi
institusi terbaik untuk membentuk pribadi-pribadi muslim. Pengaruh nilai-nilai
yang dikembangkan tasawuf memberikan bekal yang baik bagi para santri di
pesantren. Pesantren telah menjadi sebuah komunitas tersendiri, dimana kyai,
ustadz, santri, dan pengurus pesantren hidup bersama dalam satu lingkungan
pendidikan berlandaskan norma-norma agama Islam lengkap dengan norma-norma dan
kebiasaan-kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat
umum yang mengitarinya.
Kajian fikih-sufistik di sau pihak dan pendalaman ilmu fiqh melalui berbagai macam
alat bantu di dalam dunia pesantren telah melahirkan ulama-ulama yang mempunyai
ciri khas dan karakter berbeda dengan ulama-ulama di daerah-dearah lain terutama
Timur Tengah. Ulama-ulama pesantren tetap berpegang pada akhlak sufistik yang
telah berkembang selama berabad-abad di Indonesia. Dari latar belakang historis
keagamaan dan keilmuan Islam inilah, tradisi keilmuan Islam di pesantren berasal.
E. PENUTUP
Pada masa sekarang pesantren sedang berada dalam pergumulan antara identitas dan
keterbukaan. Di satu pihak ia dituntut untuk menemukan identitasnya kembali, dan
di pihak lain ia harus terbuka bekerja sama dengan sistem-sistem yang lain di luar
dirinya yang tentu tidak selalu sepaham dengan dirinya. Namun demikian, corak
fikih-sufistik dalam sistem pendidikan pesantren memang sudah berkembang sangat
lama dan relatif cukup teruji kehandalan dan daya serapnya sampai dengan
sekarang. Perkembangan sekarang mencatat bahwa, pesantren sebagai lembaga
pendidikan agama (Islam) berhasil melahirkan suatu lapisan masyarakat dengan
tingkat kesadaran dan pemahaman keagamaan (Islam) yang relatif utuh dan lurus.
Di sisi lain, sebagai salah satu lembaga pendidikan yang memegang peranan penting
dalam penyebaran ajaran agama (Islam) prinsip dasar pendidikan dan pengajaran
pesantren adalah pendidikan rakyat. Dan, karena tujuannya memberikan pengetahuan
tentang agama, ia tidak memberikan pengetahuan umum.
Karena konsep di atas pula pesantren selalu tegar menghadapi hegemoni dari luar.
Pesantren-pesantren tua biasanya selalu dihubungkan dengan kekayaan mereka berupa
kesinambungan ideologis dan historis, serta keampuan mempertahankan budaya lokal.
Denominasi keagamaan dalam pendidikan pesantren yang Fikih-Sufistik (Syafi’i-
Asy’ari-Ghazalian-Oriented) terbukti sangat mendukung terhadap pengembangan dan
pelaksanaan konsep cultural resistance. Tradisi keilmuan pesantren sampai
sekarang nampaknya tidak pernah bergeser dari aspek essensinya. dalam hal ini,
masih besar kepercayaan masyarakat terhadap alumni-alumni pesantren yang
memperoleh pendidikan di dunia Barat dan bekerja di beberapa sektor dan kantor
swasta dan negara di Indonesia. Karena itu, layak “dibenarkan” keyakinan kuat di
kalangan komunitas pesantren bahwa, meskipun setiap pesantren memiliki
spesialisasi masing-masing, akan tetapi tidak satupun pesantren salafi yang tidak
memiliki orientasi pada fikih-sufistik dalam mendidik santri-santrinya. Komunitas
pesantren berkeyakinan bahwa, tidak satupun pesantren salafi yang tidak menekankan
pentingnya nilai-nilai: kehidupan ukhrawi di atas kehidupan duniawi, pentingnya
agama di atas ilmu, dan pentignya moralitas (akhlak) di atas rasionalitas. Tidak
satupun pesantren salafi yang, dibangun oleh kekuatan infra struktur masyarakat
bawah, merubah diri secara total dan mau meninggalkan materi pendidikan bercorak
fikih-sufistik.