Anda di halaman 1dari 60

KATA PENGANTAR

Kami ucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas limpahan
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun modul panduan dalam
pengelolaan dan penatausahaan keuangan negara dengan nama Modul Keuangan
Negara.
Penyusunan modul ini bertujuan agar Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga
memiliki panduan dalam pengelolaan keuangan negara yang berdasarkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara telah menjadi tanggung jawabnya serta
Undang-Undang No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Modul ini disusun oleh Tim Penyusun Modul Program Percepatan Akuntabilitas
Keuangan Pemerintah (PPAKP) yang terdiri dari pihak-pihak yang berkompeten di
bidangnya dan telah dikaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Modul ini disusun berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara dengan
sistematika penulisan uraian detail pemaparan yang merupakan penjabaran dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga memudahkan dalam pemahamannya.
Semoga Modul Keuangan Negara ini bermanfaat bagi semua pihak dan khususnya
bagi Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga.
Jakarta, 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... . ii
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................
A. Tujuan Pembelajaran...........................................................
B. Deskripsi Ringkas.....
C. Metode Pembelajaran...........................................................................
1
2
2
3
BAB II. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KEUANGAN
NEGARA SERTA SIKLUS ANGGARAN.............................................
A. Pengertian dan Lingkup Keuangan Negara.............
B. Siklus APBN...
4
4
5
BAB III. PERENCANAAN .....................................................................................
A. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.................................
B. Rencana Pembangunan Jangka Panjang..
C. Rencana Pembangunan Jangka Menengah......................................
D.Rencana Strategis Kementerian/Lembaga........
E. Rencana Pembangunan Jangka Tahunan.....
9
9
11
12
13
14
BAB IV. PENGANGGARAN ..................................................................................
A. Pengertian Anggaran....
B. Prinsip-prinsip Penganggaran............................................................
C. Anggaran Berbasis Kinerja..................................................................
D. Perencanaan Kinerja.............................................................................
E. Target Kinerja.........................................................................................
F. Standar Analisis Belanja.......................................................................
G. Standar Biaya.........................................................................................
H. Penyusunan RKA-K/L..........................................................................
I. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara......................................
15
16
18
19
20
24
25
26
26
27
BAB V. PELAKSANAAN ANGGARAN.............................................................
A. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.....................................
B. Dokumen Pelaksanaan Anggaran..
C. Pembagian Wewenang.........
30
30
31
33
D. Sistem Penerimaan...
E. Sistem Pembayaran...........................
35
35
BAB VI. PENGELOLAAN ASET DAN UTANG.................................................
A. Pengertian dan Ruang Lingkup.........................................................
B. Pengelolaan Kas....................................................................................
C. Pengelolaan Piutang.............................................................................
D.Pengelolaan Utang................................................................................
E. Pengelolaan Investasi...........................................................................
F. Pengelolaan Barang Milik Negara.....................................................
G.Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum..............................
38
38
39
40
41
42
43
45
BAB VII. PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN APBN........
A. Laporan Keuangan Pemerintah..........................................................
B. Standar Akuntansi Pemerintahan......................................................
C. Sistem Akuntansi Pemerintahan.......................................................
46
46
48
49
BAB VIII. PEMERIKSAAN ATAS PENGELOLAAN DAN TANGGUNG
JAWAB KEUANGAN NEGARA............................................................
A. Lingkup Pemeriksaan..........................................................................
B. Pelaksanaan Pemeriksaan...................................................................
C. Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut.............................................
D.Pidana, Sanksi, dan Ganti Rugi.........................................................
51
51
54
55
56
LAMPIRAN
3
akuntansi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan, serta berakhir dengan
pertanggungjawaban hasil pengelolaan keuangan negara.

C. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran dalam pelatihan ini dilakukan dengan cara pemaparan
konsep-konsep pokok undang-undang di bidang keuangan negara (UU 17/2003, UU
1/2004, UU 15/2004) dan UU 25/2004. Keberhasilan pembelajaran ini juga sangat
tergantung pada partisipasi aktif dari para peserta latih dalam aktivitas tanya jawab
dan diskusi.


















4
BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
KEUANGAN NEGARA SERTA SIKLUS ANGGARAN


A. Pengertian dan Lingkup Keuangan Negara

Sampai dengan terbitnya Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, pengelolaan keuangan negara Republik Indonesia sejak kemerdekaan
tahun 1945 masih menggunakan aturan warisan pemerintah kolonial. Peraturan
perundangan tersebut terdiri dari Indische Comptabiliteitswet (ICW), Indische
Bedrijvenwet (IBW) dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB). ICW
ditetapkan pada tahun 1864 dan mulai berlaku tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW)
Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer
(RAB) Stbl. 1933 No. 381. Dengan terbitnya UU 17/2003 diharapkan pengelolaan
keuangan negara dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam
sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik
Indonesia.

Undang-undang 17/2003 memberi batasan keuangan negara sebagai semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Secara rinci sebagaimana diatur
dalam pasal 2 UU 17/2003, cakupan Keuangan Negara terdiri dari :
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan
melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan
negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara/Daerah;
d. Pengeluaran Negara/Daerah;
e. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/
perusahaan daerah;
5
f. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
g. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.

Cakupan terakhir dari Keuangan Negara tersebut dapat meliputi kekayaan
yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-
yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.

Dalam pelaksanaannya, ada empat pendekatan yang digunakan dalam
merumuskan keuangan negara, yaitu dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.
Obyek Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter
dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa
uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Selanjutnya dari sisi subyek/pelaku yang
mengelola obyek yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya
dengan keuangan negara.

Dalam pelaksanaannya, proses pengelolaan Keuangan Negara mencakup
seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana
tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai
dengan pertanggunggjawaban. Pada akhirnya, tujuan pengelolaan Keuangan Negara
adalah untuk menghasilkan kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek KN dalam rangka penyelenggaraan
kehidupan bernegara.

B. Siklus APBN
Pengelolaan keuangan negara setiap tahunnya dituangkan dalam APBN. Dengan
demikian seluruh program/kegiatan pemerintah harus dituangkan dalam APBN (azas
universalitas) dan tidak diperkenankan adanya program/kegiatan yang dikelola di luar
APBN (off budget).

6
Siklus APBN terdiri dari:
Perencanaan dan Penganggaran
Penetapan Anggaran
Pelaksanaan Anggaran
Pemeriksaan Anggaran
Pertanggungjawaban

1. Perencanaan dan Penganggaran
Perencanaan dan penganggaran merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
terintegrasi. Program yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah wajib dituangkan
dalam suatu rencana kerja. Ketentuan tentang perencanaan ini diatur dalam
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
Rencana kerja terdiri dari RPJP untuk masa 20 tahun, RPJM untuk masa 5
tahun, dan RKP untuk masa 1 tahun. Di tingkat Kementerian/Lembaga untuk
rencana jangka menengah disebut Renstra Kementerian/Lembaga dan untuk
rencana kerja tahunan disebut RKA-KL sebagaimana diatur dalam PP 20 Tahun
2004.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 tahun 2003, anggaran disusun
berdasarkan rencana kerja. Dengan demikian, yang memperoleh alokasi
anggaran adalah program/kegiatan prioritas yang tertuang dalam rencana kerja
(RKA KL). Dengan mekanisme demikian, program/kegiatan Pemerintah yang
direncanakan itulah yang akan dilaksanakan.
RKA-KL selanjutnya disampaikan ke Menteri Keuangan untuk dihimpun
menjadi RAPBN. RAPBN ini selesai disusun pada awal Agustus untuk
disampaikan ke DPR disertai Nota Keuangan.

2. Penetapan Anggaran
Pembahasan RAPBN di DPR dilaksanakan dari bulan Agustus sampai dengan
Oktober. Sehubungan dengan pembahasan RAPBN ini, DPR mempunyai hak
budget yaitu hak untuk menyetujui anggaran. Dalam hal DPR tidak setuju
dengan RAPBN yang diajukan oleh pemerintah, DPR dapat mengajukan usulan
perubahan atau menolaknya, namun DPR tidak berwenang untuk mengubah dan
mengajukan usulan RAPBN.
7
Apabila DPR tetap tidak menyetujuinya maka yang berlaku adalah APBN tahun
sebelumnya. APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan organisasi,
fungsi, program/kegiatan dan jenis belanja. Dengan APBN yang demikian berarti
DPR telah memberikan otorisasi kepada kementerian/lembaga untuk
melaksanakan program/kegiatan dengan pagu anggaran yang dimilikinya. APBN
yang telah disetujui oleh DPR dan disahkan Presiden menjadi UU APBN dan
selanjutnya dimuat dalam Lembaran Negara. UU APBN dilengkapi dengan
rincian APBN yang dituangkan dalam Peraturan Presiden tentang Rincian APBN.

3. Pelaksanaan APBN
APBN dilaksanakan oleh Pemerintah untuk periode satu tahun anggaran. Tahun
anggaran Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah 1 Januari sampai dengan
31 Desember. Dengan demikian maka setelah berakhirnya tahun anggaran,
tanggal 31 Desember anggaran ditutup dan tidak berlaku untuk tahun anggaran
berikutnya.
Berdasarkan UU APBN dan Perpres Rincian APBN disiapkan dokumen
pelaksanaan anggaran untuk setiap Kementerian/Lembaga. APBN, walaupun
telah diundangkan sebagai UU, tetap merupakan anggaran. Oleh karena itu, azas
anggaran yang dikenal dengan nama azas flexibilitas tetap berlaku. Dalam rangka
pelaksanaan azas ini, maka untuk mengakomodasi kondisi riil yang dapat saja
berbeda dengan yang diasumsikan pada saat penyusunan anggaran, setiap
tengah tahun berjalan dilakukan revisi APBN yang dikenal dengan APBN-
Perubahan (APBN-P).
Untuk keperluan penyusunan APBN-P, pemerintah menyampaikan realisasi
anggaran semester I disertai prognosis penerimaan dan pengeluaran semester II.
Untuk keperluan internal seluruh Kementerian/Lembaga diwajibkan menyusun
Laporan Keuangan Semesteran.
Dalam keadaan darurat, pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang tidak
tersedia anggarannya. Apabila pengeluaran tersebut terjadi sebelum APBN-P
maka pengeluaran ini dimasukkan dalam APBN-P dan dilaporkan di Laporan
Realisasi Anggaran disertai penjelasan. Apabila pengeluaran terjadi setelah
APBN-P diundangkan, maka pengeluaran ini dilaporkan dalam Laporan
Realisasi Anggaran disertai dengan penjelasan.
8
Apabila pada akhir tahun terdapat program/kegiatan yang belum selesai
dilaksanakan atau anggaran belum terserap, tidak dapat dilanjutkan ke tahun
anggaran berikutnya kecuali ada kebijakan pemerintah untuk luncuran APBN.
Namun demikian, berhubung APBN hanya berlaku untuk periode satu tahun,
maka apabila ada kebijakan luncuran APBN wajib dimasukkan dalam APBN
tahun anggaran berikutnya.
Laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan. Laporan keuangan
dimaksud setidak-tidaknya terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan keuangan yang
disampaikan ke DPR adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK.
Laporan keuangan tersebut dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan
negara dan badan lainnya.
Berdasarkan UU Nomor 1 tahun 2004, keseluruhan komponen tersebut
dipertanggungjawabkan sebagai wujud akuntabilitas pengelolaan keuangan
negara, yang ruang lingkupnya telah diuraikan sebelumnya.
Untuk penyusunan LKPP, setiap Kementerian/Lembaga sebagai pengguna
anggaran/barang wajib menyampaikan pertanggungjawabannya kepada
Presiden yang berupa Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan atas
Laporan Keuangan. Kementerian/Lembaga merupakan entitas pelaporan
sehingga terhadap laporan keuangannya dilakukan pemeriksaan oleh BPK untuk
memberikan opini atas kewjaran penyajian laporan keuangan.

4. Pemeriksaan Anggaran
Pemeriksaan atas pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran dilaksanakan oleh
BPK. Pemeriksaan ini dilaksanakan selama 2 bulan setelah laporan
pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran yang berupa laporan keuangan,
selesai disusun. Disamping itu terdapat pemeriksaan dan pengelolaan keuangan
yang dapat dilaksanakan sepanjang tahun. Pemeriksanaan ini dapat
dilaksanakan oleh BPK ataupun APIP.

5. Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran
Berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2003, RUU pertanggungjawaban atas
pelaksanaan anggaran disampaikan ke DPR paling lambat akhir bulan Juni
tahun berikutnya.
9
BAB III
PERENCANAAN

Pembangunan nasional merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen
bangsa dalam mencapai tujuan bernegara. Agar pembangunan nasional dapat berjalan
dengan baik tidak dapat dilepaskan dari tataran demokrasi dan mengacu pada prinsip-
prinsip penting yang tidak boleh diabaikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah
kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional. Agar kegiatan
pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran diperlukan adanya suatu
perencanaan pembangunan yang matang.
Perencanaan, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 2004
tentang Sistem Pembangunan Pembangunan Nasional (SPPN) merupakan suatu proses
untuk mementukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan
memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
i)
Perencanaan sangat penting sebagai
salah satu proses dalam pengelolaan keuangan negara. Perencanaan sangat bermanfaat
dalam (a) mengurangi ketidakpastian serta perubahan di masa datang; (b) mengarahkan
semua aktivitas pada pencapaian visi dan misi organisasi; (c) sebagai wahana untuk
mengukur tingkat keberhasilan atau kegagalan kinerja suatu organisasi.

A. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Sistem Perencanaan pembangunan nasional diharapkan dapat menjamin
tercapainya tujuan dalam bernegara. SPPN mencakup penyelenggaraan perencanaan
makro dari semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan
secara terpadu dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu
diperlukan adanya sistem perencanaan pembangunan nasional. SPPN adalah satu
kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana
pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek yang
akan dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat baik di tingkat
pusat maupun daerah.
10
Dalam cakupan waktu, SPPN disusun dalam cakupan tiga periode perencanaan,
yaitu:
a. Jangka panjang dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)
dengan jangka waktu 20 tahun;
b. Jangka menengah dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) yang berjangka waktu 5 tahun, dan
c. Jangka pendek dalam bentuk Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dengan periode
tahunan.
Selanjutnya, SPPN tersebut disusun dalam rangka mencapai tujuan sebagai berikut :
a. menjamin adanya koordinasi di antara pelaku pembangunan, baik ditingkat
pusat, pusat dengan daerah maupun antar daerah;
b. menjamin terciptanya intergrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah,
antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan
daerah;
c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan;
d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,
berkeadilan, dan berkelanjutan.
Dalam suatu perencanaan pembangunan sebagai suatu siklus ada empat tahapan
yang dilalui, yakni:
a. penyusunan rencana;
b. penetapan rencana;
c. pengendalian pelaksanaan rencana; dan
d. evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan
membentuk satu siklus perencanaan yang utuh. Penyusunan rencana dilaksanakan
untuk menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan
yang terdiri dari 4 (empat) langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan
rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Langkah
11
kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja
dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan.
Langkah berikutnya adalah melibatkan masyarakat (stakeholders) dan
menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang
pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Sedangkan langkah
keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan. Selanjutnya
adalah penetapan rencana menjadi produk hukum sehingga mengikat semua pihak
untuk melaksanakannya.
Pengendalian pelaksanaan rencana pembangunan dimaksudkan untuk menjamin
tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan yang tertuang dalam rencana melalui
kegiatan-kegiatan koreksi dan penyesuaian selama pelaksanaan rencana tersebut
oleh pimpinan Kementerian/Lembaga. Selanjutnya Menteri Perencanaan
menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana
pembangunan dari masing-masing pimpinan Kementerian/Lembaga sesuai dengan
tugas dan kewenangannya. Evaluasi pelaksanaan rencana adalah bagian dari
kegiatan perencanaan pembangunan yang secara sistematis mengumpulkan dan
menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan
kinerja pembangunan. Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran
kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan
sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result),
manfaat (benefit) dan dampak (impact). Dalam rangka perencanaan pembangunan,
setiap Kementerian/Lembaga, baik Pusat maupun Daerah, berkewajiban untuk
melaksanakan evaluasi kinerja pembangunan yang merupakan dan atau terkait
dengan fungsi dan tanggungjawabnya. Dalam melaksanakan evaluasi kinerja proyek
pembangunan, Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja, baik Pusat maupun Daerah,
mengikuti pedoman dan petunjuk pelaksanaan evaluasi kinerja untuk menjamin
keseragaman metode, materi, dan ukuran yang sesuai untuk masing-masing jangka
waktu sebuah rencana.

B. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) merupakan suatu dokumen
perencanaan pembangunan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
Perencanaan ini bersifat makro yang memuat penjabaran dari tujuan dibentuknya
12
pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah
pembangunan Nasional.
ii)
Proses penyusunan RPJP dilakukan secara partisipatif
dengan melibatkan seluruh unsur pelaku pembangunan.
Penyusunan RPJP dilakukan dalam 4 tahap, yaitu:
a. Penyiapan Rancangan RPJP, dimana kegiatan ini dibutuhkan guna mendapatkan
gambaran awal dari visi, misi, dan arah pembangunan nasional.
b. Musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) jangka panjang yang
dilaksanakan untuk mendapatkan masukan dan komitmen dari seluruh
pemangku kepentingan/stakeholders terhadap rancangan RPJP.
c. Penyusunan Rancangan Akhir RPJP. Seluruh masukan dan komitmen hasil
Musrenbang menjadi masukan utama penyempurnaan rancangan.
d. Penetapan undang-undang tentang RPJP, di bawah koordinasi Bappenas yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi hukum. Rancangan
akhir RPJP beserta lampirannya disampaikan kepada DPR sebagai inisiatif
Pemerintah, untuk diproses lebih kanjut menjadi undang-undang tentang RPJP
Nasional.

C. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala negara
terpilih yang wajib disusun dalam waktu tiga bulan setelah dilantik. Dalam
penyusunannya, RPJMN harus berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat
strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program baik di dalam maupun
lintas Kementerian/Lembaga, dalam satu maupun lintas kewilayahan, serta
kerangka ekonomi makro. Termasuk di dalamnya adalah arah kebijakan fiskal dalam
rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat
indikatif.
Tahapan Penyusunan RPJM
a. Penyiapan Rancangan awal RPJM Nasional oleh Bappenas sebagai lembaga yang
bertanggung jawab mengkoordinasikan perencanaan pembangunan secara
nasional.
13
b. Penyiapan rancangan Rencana Strategis Kementrian/Lembaga (rancangan
Renstra K/L), yang dilakukan oleh seluruh kementerian dan lembaga.
Penyusunan rancangan Renstra ini bertujuan untuk merumuskan visi, misi,
tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang sesuai
dengan tugas dan fungsi kementerian/lembaga, agar selaras dengan program
prioritas kepala negara terpilih.
c. Penyusunan rancangan RPJM Nasional oleh Kementerian Perencanaan. Tahap
ini merupakan upaya mengintegrasikan rancangan awal RPJM Nasioal dengan
rancangan Renstra K/L, yang menghasilkan rancangan RPJM Nasioal.
d. Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) jangka
menengah nasional. Kegiatan yang dilaksanakan paling lambat dua bulan setelah
presiden dilantik ini dilaksanakan guna memperoleh berbagai masukan dan
komitmen dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) atas rancangan
RPJM Nasional.
e. Penyusunan Rancangan Akhir RPJM Nasional, dimana seluruh masukan dan
komitmen hasil Musrenbang Jangka Menengah Nasional menjadi masukan
utama penyempurnaan rancangan RPJM Nasional.
f. Penetapan Peraturan Presiden tentang RPJM Nasional, di bawah koordinasi
kementerian yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi
hukum.

D. Rencana Strategis Kementerian/Lembaga
Renstra Kementerian/Lembaga (K/L) memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan yang disusun sesuai dengan tugas dan fungsi
K/L serta berpedoman kepada RPJM Daerah dan bersifat indikatif. Tahapan
Penyusunan Renstra K/L adalah sebagai berikut:
a. Mempelajari Visi, Misi, dan program kepala negara terpilih terhadap tugas dan
fungsi kementerian/lembaga yang dipimpinnya. Dalam hal ini menteri/kepala
lembaga mengkaji implikasi visi, misi, dan program presiden terpilih terhadap
tugas pokok dan fungsi K/L yang dipimpinnya dalam bentuk:
Memberikan penilaian keterkaitan visi, misi, dan program dalam Renstra
K/L pada periode lalu;
14
Mengidentifikasikan program presiden terpilih terhadap capaian kinerja
program K/L periode sebelumnya
Membuat kesimpulan.
b. Menyusun Rancangan Renstra K/L dengan berpedoman pada Rancangan Awal
RPJM Nasional.

E. Rencana Pembangunan Jangka Tahunan
Rencana Pembangunan Jangka Tahunan adalah perencanaan yang meliputi periode
satu tahun yang dalam hal ini disebut sebagai Rencana Kerja Pemerintah dan
merupakan penjabaran dari RPJM Nasional. RKP berisi prioritas pembangunan,
rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian yang
menyeluruh termasuk kebijakan fiskal, serta program K/L, lintas K/L, kewilayahan
dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang masih bersifat
indikatif.
Selain RKP, pada tingkat kemeterian/lembaga disusun Rencana Kerja
Kementerian/Lembaga (Renja-KL). Renja-KL disusun berpedoman pada Renstra-KL
yang telah ada lebih dulu dan mengacu pada prioritas pembangunan Nasional.
Penyusunan Renja-KL dilakukan secara bersamaan dengan penyusunan RKP karena
keduanya saling terkait. Adapun tahap penyusunan RKP adalah sebagai berikut:
a. penyiapan rancangan awal RKP sebagai penjabaran RPJM Nasional;
b. penyiapkan rancangan Renja-KL sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya
dengan mengacu kepada rancangan awal RKP;
c. Bappenas mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKP dengan
menggunakan rancangan Renja-KL;
d. musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang);
e. penyusunan rancangan akhir rencana kerja berdasarkan hasil Musrenbang; dan
f. Penetapan RKP dalam bentuk Peraturan Presiden.
Selanjutnya, RKP ini menjadi pedoman dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) dan Renja-KL menjadi pedoman untuk menyusun Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL).
15
BAB IV
PENGANGGARAN

Tujuan suatu negara pada dasarnya adalah memajukan kesejahteraan dan melindungi
rakyatnya, serta mencukupi kepentingan-kepentingan lain rakyatnya. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pemerintah memiliki tugas yang sekaligus melekat pada fungsi negara
yang dapat dikategorikan sebagai fungsi reguler/utama negara dan fungsi sebagai agen
pembangunan. Kedua fungsi dimaksud dilaksanakan dalam operasional pemerintahan
yang sebagian besar terletak di pundak pemerintah.
Fungsi regular/fungsi utama negara adalah melaksanakan tugas yang membawa akibat
yang langsung dirasakan oleh masyarakat. Fungsi utama negara terdiri dari empat
macam. Pertama negara sebagai political state. Dalam hal ini pemerintah menjalankan
fungsi pokoknya dalam pemeliharaan ketenangan, ketertiban, pertahanan, dan
keamanan. Kedua negara sebagai legal state yang bertujuan untuk mengatur tata
kehidupan bernegara dan tata kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya negara sebagai
administrative state. Kedudukan ini menitikberatkan pada azas demokrasi yaitu
kekuasaan berada di tangan rakyat dan pemerintah hanyalah menerima pendelegasian
kekuasaan dari rakyat melalui wakil-wakilnya. Terakhir adalah negara sebagai
diplomatical state. Sebagai diplomatical state, negara bertujuan untuk menjalin
persahabatan dan memelihara hubungan internasional dengan negara-negara lain.
Fungsi negara lainnya yang wajib dijalankan oleh pemerintah adalah sebagai agent of
development. Dalam menjalankan peran ini, pemerintah antara lain bertindak sebagai
pendorong inisiatif atau pendorong motivasi rakyat dalam usahanya untuk mengadakan
perubahan dan pembangunan masyarakat menuju ke arah kehidupan yang lebih baik,
berupa pemberian fasilitas-fasilitas fisik, kemudahan dalam perizinan dan birokrasi,
bimbingan dan kebijakan yang diarahkan kepada tercapainya pembangunan. Fungsi ini
dibagi lebih lanjut dalam dua peran. Pertama pemerintah sebagai stabilisator apabila di
dalam pembangunan terjadi adanya ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi dan
sosial budaya. Kedua adalah pemerintah sebagai inovator. Artinya pemerintah harus
dapat mengadakan penemuan-penemuan baru dalam metode maupun sistem dalam
rangka pembangunan masyarakat dan negara.
16
Selain menjalankan fungsi reguler dan agent of development, pemerintah memiliki
tugas yang lain dan sangat penting yaitu sebagai pengelola keuangan negara yang harus
dilaksanakan sesuai dengan tata aturan dan prosedur yang berlaku didalam
pemerintahan. Berdasarkan UU No. 17/2003, Keuangan Negara adalah semua hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Hak negara mencakup untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman. Kewajiban negara mencakup untuk menyelenggarakan tugas
layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga. Pelaksanaan
pengelolaan keuangan negara/daerah adalah perencanaan (yang didalamnya terdapat
proses penyusunan anggaran).
Untuk itu, pemerintah setiap tahun memiliki hak dan sekaligus kewajiban untuk
menyusun anggaran. Anggaran yang disusun oleh pemerintah merupakan wujud
perencanaan pembangunan tahunan sekaligus sebagai pedoman pelaksanaan tugas
kenegaraan selama satu tahun.

A. Pengertian Anggaran
Kata anggaran merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris budget yang
sebenarnya berasal dari bahasa Perancis bougette. Kata ini mempunyai arti sebuah
tas kecil. Berdasar dari arti kata asalnya, anggaran mencerminkan adanya unsur
keterbatasan. Pada dasarnya anggaran perlu disusun karena keterbatasan sumber
daya yang dimiliki pemerintah, dalam hal ini adalah dana. Karena terbatasnya dana,
maka diperlukan alokasi sesuai dengan prioritas dan dalam kurun waktu yang telah
ditentukan. Ada beberapa pengertian angaran yang dapat dikutip.
Anggaran negara (state budget) menurut John F. Due dalam Government Finance
and Economic Analysis adalah: A budget, in the general sense of the term, is a
financial plan for a spesific period of time. A government budget therefore, is a
statement of proposed expenditures and expected revenues for the coming period,
together with data of actual expenditures and revenues for current and past
period. Sedangkan menurut Wildavsky, anggaran adalah:
- catatan masa lalu;
17
- rencana masa depan;
- mekanisme pengalokasian sumber daya;
- metode untuk pertumbuhan;
- alat penyaluran pendapatan;
- mekanisme untuk negosiasi;
- harapan-aspirasi-strategi organisasi;
- satu bentuk kekuatan kontrol;
- alat atau jaringan komunikasi.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, anggaran negara meliputi:
- rencana keuangan mendatang yang berisi pendapatan dan belanja;
- gambaran strategi pemerintah dalam pengalokasian sumber daya untuk
pembangunan;
- alat pengendalian;
- instrumen politik; dan
- disusun dalam periode tertentu.
Selanjutnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menurut UU
17/2003 merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan
Negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang.
APBN selalu dinanti oleh berbagai kalangan untuk dikaji sejauh mana kemampuan
pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk mencapai tujuan pembangunan dari
sumber daya yang terbatas. Anggaran pemerintah setiap tahun selalu berubah-ubah
baik jumlah nominal, jenis pendapatan dan alokasi belanja, serta proporsi
alokasinya. Pada tahun tertentu, pemerintah memprioritaskan sektor pekerjaan
umum, tapi ditahun berikutnya pemerintah memprioritaskan sektor pendidikan dan
kesehatan. Hal ini terjadi diakibatkan berbagai faktor, antara lain perkembangan
politik, dinamika perekonomian dunia/nasional/daerah, peristiwa sosial/alam,
tuntutan masyarakat, dan lain sebagainya.

18
B. Prinsip-prinsip penganggaran
Anggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistematis menunjukkan
alokasi sumber daya manusia, material dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi
dalam sistem penganggaran pemerintah dikembangkan untuk melayani berbagai
tujuan termasuk guna pengendalian keuangan, rencana manajemen, prioritas dari
penggunaan dana dan pertanggungjawaban kepada publik.
Secara umum, prinsip-prinsip penganggaran adalah sebagai berikut:
a. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
APBN harus dapat menyajikan informasi yang jelas mengenai tujuan, sasaran,
hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu progam dan kegiatan
yang dianggarkan. Anggota masyarakat memiliki hak dan akses yang sama untuk
mengetahui proses anggaran karena menyangkut aspirasi dan kepentingan
masyarakat terutama pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat.
Masyarakat juga berhak untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana
ataupun pelaksanaan anggaran tersebut.
b. Disiplin Anggaran
Penyusunan anggaran hendaknya dilakukan berlandaskan asas efisiensi, tepat
guna, tepat waktu pelaksanaan dan penggunaannya dapat
dipertanggungjawabkan.
Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara
rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja
yang dianggarkan pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran
belanja.
Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedia
penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan
progam dan kegiatan yang belum/tidak tersedia anggarannya.
c. Keadilan Anggaran
Pemerintah wajib mengalokasikan penggunaan anggaran secara adil agar dapat
dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi dalam
pemberian pelayanan. Hal ini dikarenakan sumber daya yang digunakan dalam
19
anggaran berupa pendapatan negara pada hakekatnya diperoleh melalui peran
serta seluruh anggota masyarakat.
d. Efisiensi dan Efektifitas Anggaran
Dana yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk dapat
menghasilkan peningkatan dan kesejahteraan yang maksimal untuk kepentingan
masyarakat.
e. Disusun dengan pendekatan kinerja
APBN disusun dengan pendekatan kinerja, yaitu mengutamakan upaya
pencapaian hasil kerja (keluaran dan hasil) dari perencanaan atas alokasi biaya
atau masukan/input yang telah ditetapkan. Hasil kerja harus sepadan atau lebih
besar dari biaya atau masukan. Selain itu juga harus mampu menumbuhkan
profesionalisme kerja pada setiap unit kerja yang terkait.

C. Anggaran Berbasis Kinerja
Anggaran berbasis kinerja adalah suatu sistem penganggaran yang dapat memadukan
perencanaan kinerja dengan anggaran tahunan akan terlihat adanya keterkaitan antara
dana yang tersedia dengan hasil yang diharapkan. Dengan demikian, anggaran
berbasis kinerja merupakan metode penganggaran bagi manajemen untuk
mengaitkan setiap biaya yang dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat
yang dihasilkan. Manfaat tersebut didiskripsikan pada seperangkat tujuan dan
dituangkan dalam target kinerja pada setiap unit kerja.
Bagaimana cara agar tujuan itu dapat dicapai, dituangkan dalam program diikuti
dengan pembiayaan pada setiap tingkat pencapaian tujuan. Program pada anggaran
berbasis kinerja didefinisikan sebagai keseluruhan aktivitas, baik aktivitas langsung
maupun tidak langsung yang mendukung program sekaligus melakukan estimasi
biaya-biaya berkaitan dengan pelaksanaan aktivitas tersebut. Aktivitas tersebut
disusun sebagai cara untuk mencapai kinerja tahunan. Dengan kata lain, integrasi
dari rencana kinerja tahunan (Renja) yang merupakan rencana operasional dari
Renstra dan anggaran tahunan merupakan komponen dari anggaran berbasis kinerja
Elemen-elemen yang penting untuk diperhatikan dalam penganggaran berbasis
kinerja adalah:
20
Tujuan yang disepakati dan ukuran pencapaiannya,
Pengumpulan informasi yang sistematis atas realisasi pencapaian kinerja dapat
diandalkan dan konsisten, sehingga dapat diperbandingkan antara biaya dengan
prestasinya.
Penyediaan informasi secara terus menerus sehingga dapat digunakan dalam
manajemen perencanaan, pemograman, penganggaran dan evaluasi.
Kondisi yang harus disiapkan sebagai faktor pemicu keberhasilan implementasi
penggunaan anggaran berbasis kinerja, yaitu:
Kepemimpinan dan komitmen dari seluruh komponen organisasi;
Fokus penyempurnaan administrasi secara terus menerus;
Sumber daya yang cukup untuk usaha penyempurnaan tersebut (uang, waktu
dan orang);
Penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang jelas; dan
Keinginan yang kuat untuk berhasil.

D. Perencanaan Kinerja
Perencanaan Kinerja adalah aktivitas analisis dan pengambilan keputusan ke depan
untuk menetapkan tingkat kinerja yang diinginkan di masa mendatang. Pada
prinsipnya perencanaan kinerja merupakan penetapan tingkat capaian kinerja yang
dinyatakan dengan ukuran kinerja dalam rangka mencapai sasaran atau target yang
telah ditetapkan.
Perencanaan merupakan komponen kunci untuk lebih mengefektifkan dan
mengefisienkan Pemerintah Daerah. Sedangkan perencanaan kinerja membantu
pemerintah untuk mencapai tujuan yang sudah diidentifikasikan dalam rencana
stratejik, termasuk didalamnya pembuatan terget kinerja dengan menggunakan
ukuran-ukuran kinerja.
Tingkat pelayanan yang diinginkan pada dasarnya merupakan indikator kinerja yang
diharapkan dapat dicapai oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan
kewenangannya. Selanjutnya untuk penilaian kinerja dapat digunakan ukuran
penilaian didasarkan pada indikator sebagai berikut:
21

a. Masukan (I nput)
Masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan
dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator merupakan tolok ukur
kinerja berdasarkan tingkat atau besaran sumber-sumber: dana, sumber daya
manusia, material, waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk
melaksanakan program atau kegiatan. Dengan meninjau distribusi sumber daya,
suatu lembaga dapat menganalisis apakah alokasi sumber daya yang dimiliki
telah sesuai dengan rencana strategik yang telah ditetapkan. Tolok ukur ini dapat
juga digunakan untuk perbandingan (benchmarking) dengan lembaga-lembaga
lain yang relevan. Contoh indikator masukan untuk kegiatan penyuluhan
lingkungan sehat untuk daerah pemukiman masyarakat kurang mampu adalah
jumlah dana yang dibutuhkan dan tenaga penyuluh kesehatan.
Walaupun tolok ukur masukan relatif mudah diukur serta telah digunakan secara
luas, namun seringkali dipergunakan secara kurang tepat sehingga dapat
menimbulkan hasil evaluasi yang rancu atau bahkan menyesatkan. Beberapa hal
berikut ini sering dijumpai dalam menetapkan tolok ukur masukan yang dapat
menyesatkan:
Pengukuran Sumber Daya Manusia tidak menggambarkan intensitas
keterlibatannya dalam pelaksanaan kegiatan.
Pengukuran biaya tidak akurat karena banyak biaya-biaya yang
dibebankan ke suatu kegiatan tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan
pencapaian sasaran kegiatan tersebut.
Banyaknya biaya-biaya masukan (input) seperti gaji bulanan personalia
pelaksana, biaya pendidikan dan pelatihan, dan biaya penggunaan
peralatan dan mesin seringkali tidak diperhitungkan sebagai biaya
kegiatan.
b. Keluaran (output)
Keluaran adalah produk berupa barang atau jasa yang dihasilkan dari program
atau kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan. Indikator keluaran adalah
sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa
fisik dan / atau non fisik.
22
Dengan membandingkan indikator keluaran instansi dapat menganalisis sejauh
mana kegiatan terlaksana sesuai dengan rencana. Indikator keluaran hanya
dapat menjadi landasan untuk menilai kemajuan suatu kegiatan apabila tolok
ukur dikaitkan dengan sasaran-sasaran kegiatan yang terdefinisi dengan baik
dan terukur. Oleh karenanya indikator keluaran harus sesuai dengan lingkup dan
sifat kegiatan instansi. Untuk kegiatan yang bersifat penelitian berbagai indikator
kinerja yang berkaitan dengan keluaran paten dan publikasi ilmiah sering
dipergunakan baik pada tingkat kegiatan maupun instansi. Untuk kegiatan yang
bersifat pelayanan teknis, indikator yang berkaitan dengan produk, pelanggan,
serta pendapatan yang diperoleh dari jasa tersebut mungkin lebih tepat untuk
digunakan.
Beberapa indikator keluaran juga bermanfaat untuk mengidentifikasikan
perkembangan instansi. Sebagai contoh besarnya pendapatan yang diperoleh
melalui pelayanan teknis, kontrak riset, besarnya retribusi yang diperoleh, serta
perbandingannya dengan keseluruhan anggaran instansi, menunjukkan
perkembangan kemampuan instansi memenuhi kebutuhan pasar, serta
mengindikasikan tingkat ketergantungan instansi yang bersangkutan pada
APBN.
Dalam mempergunakan indikator keluaran, beberapa permasalahan berikut
perlu dipertimbangkan:
Perhitungan keluaran seringkali cenderung belum menentukan kualitas.
Sebagai contoh jumlah layanan medik di RSU mungkin belum
memperhitungkan kualitas layanan yang diberikan.
Indikator keluaran sering kali tidak dapat menggambarkan semua
keluaran kegiatan, terutama yang bersifat intangible. Sebagai contoh,
banyak hasil penelitian yang walaupun mengandung penemuan yang
baru, namun karena berbagai pertimbangan tertentu tidak dapat
dipatenkan.
c. Hasil (outcome)
Hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan
pada jangka menengah (efek langsung). Indikator hasil adalah sesuatu manfaat
yang diharapkan diperoleh dari keluaran. Tolok ukur ini menggambarkan hasil
23
nyata dari keluaran suatu kegiatan. Pada umumnya para pembuat kebijakan
paling tertarik pada tolok ukur hasil dibandingkan dengan tolok ukur lainnya.
Namun untuk mengukur indikator hasil, informasi yang diperlukan seringkali
tidak lengkap dan tidak mudah diperoleh. Oleh karenanya setiap instansi perlu
mengkaji berbagai pendekatan untuk mengukur hasil dari keluaran suatu
kegiatan.
Pengukuran indikator hasil seringkali rancu dengan pengukuran indikator
keluaran. Sebagai contoh penghitungan jumlah bibit unggul yang dihasilkan
oleh suatu kegiatan merupakan tolok ukur keluaran. Namun penghitungan besar
produksi per hektar yang dihasilkan oleh bibit-bibit unggul tersebut atau
penghitungan kenaikan pendapatan petani pengguna bibit unggul tersebut
merupakan tolok ukur hasil. Dari contoh tersebut, dapat pula dirasakan bahwa
penggunaan tolok ukur hasil seringkali tidak murah dan memerlukan waktu yang
tidak pendek, karena validitas dan reliabilitasnya tergantung pada skala
penerapannya. Contoh nyata yang membedakan antara indikator output dan
indikator outcome adalah pembangunan gedung sekolah dasar. Secara output
gedung sekolah dasar tersebut telah seratus persen berhasil dibangun. Akan
tetapi belum tentu gedung tersebut diminati oleh masyarakat setempat.
Indikator outcome lebih utama dari pada sekedar output. Walaupun produk telah
dicapai dengan baik, belum tentu secara outcome kegiatan tersebut telah dicapai.
Outcome menggambarkan tingkat pencapaian atas hasil yang lebih tinggi yang
mungkin menyangkut kepentingan banyak pihak. Dengan indikator outcome,
organisasi akan mengetahui apakah hasil yang telah diperoleh dalam bentuk
output memang dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan
kegunaan yang besar bagi masyarakat banyak.
Pencapaian indikator kinerja outcome ini belum tentu akan dapat terlihat dalam
jangka waktu satu tahun. Seringkali outcome baru terlihat setelah melewati
kurun waktu lebih dari satu tahun, mengingat sifatnya yang bukan hanya sekedar
hasil. Dan mungkin juga indikator outcome tidak dapat dinyatakan dalam ukuran
kuantitatif akan tetapi lebih bersifat kualitatif.


24
E. Target Kinerja
Setelah indikator kinerja ditentukan, mulailah disusun target kinerja untuk setiap
indikator kinerja yang telah ditentukan. Target kinerja adalah tingkat kinerja yang
diharapkan dicapai terhadap suatu indikator kinerja dalam satu tahun anggaran
tertentu dan jumlah pendanaan yang telah ditetapkan. Target kinerja harus
mempertimbangkan sumber daya yang ada dan juga kendala-kendala yang mungkin
timbul dalam pelaksanaannya. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam
menentukan target kinerja yang baik, seperti dapat dicapai, ekonomis, dapat
diterapkan, konsisten, menyeluruh, dapat dimengerti, dapat diukur, stabil, dapat
diadaptasi, legitimasi, seimbang, dan fokus kepada pelanggan.
Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam penetapan target kinerja:
Memiliki dasar penetapan sebagai justifikasi penganggaran yang
diprioritaskan pada setiap fungsi/bidang pemerintahan.
Memperhatikan tingkat pelayanan minimum yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah terhadap suatu kegiatan tertentu.
Kelanjutan setiap program, tingkat inflasi, dan tingkat efisiensi menjadi
bagian yang penting dalam menentukan target kinerja.
Ketersediaan sumber daya dalam kegiatan tersebut: dana, SDM, sarana,
prasarana pengembangan teknologi, dan lain sebagainya.
Kendala yang mungkin dihadapi di masa depan.
Penetapan target kinerja kinerja harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Spesifik
Berarti unik, menggambarkan obyek/subyek tertentu, tidak berdwimakna
atau diinterpretasikan lain
b. Dapat diukur
Secara obyektif dapat diukur baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif
c. Dapat Dicapai (attainable)
Sesuai dengan usaha-usaha yang dilakukan pada kondisi yang diharapkan
akan dihadapi
25
d. Realistis
e. Kerangka waktu pencapaian (time frame) jelas, dan
f. Menggambarkan hasil atau kondisi perubahan yang ingin dicapai.

F. Standar Analisis Belanja
Standar Analisa Belanja (SAB) merupakan salah satu komponen yang harus
dikembangkan sebagai dasar pengukuran kinerja keuangan dalam penyusunan
APBN dengan pendekatan kinerja. SAB adalah standar untuk menganalisis anggaran
belanja yang digunakan dalam suatu program atau kegiatan untuk menghasilkan
tingkat pelayanan tertentu sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
SAB digunakan untuk menilai kewajaran beban kerja dan biaya setiap program atau
kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Unit Kerja dalam satu tahun anggaran.
Penilaian terhadap usulan anggaran belanja dikaitkan dengan tingkat pelayanan
yang akan dicapai melalui program atau kegiatan. Usulan anggaran belanja yang
tidak sesuai dengan SAB akan ditolak atau direvisi sesuai standar yang ditetapkan.
Rancangan APBN disusun berdasarkan hasil penilaian terhadap anggaran belanja
yang diusulkan unit kerja.
Dalam rangka menyiapkan rancangan APBN, SAB merupakan standar atau pedoman
yang bermanfaat untuk menilai kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu
kegiatan yang direncanakan oleh setiap unit kerja. SAB dalam hal ini digunakan
untuk menilai dan menentukan rencana program, kegiatan dan anggaran belanja
yang paling efektif dan upaya pencapaian kinerja. Penilaian kewajaran berdasarkan
SAB berkaitan dengan kewajaran biaya suatu program atau kegiatan yang dinilai
berdasarkan hubungan antara rencana alokasi biaya dengan tingkat pencapaian
kinerja program atau kegiatan yang bersangkutan. Disamping atas dasar SAB, dalam
rangka menilai usulan anggaran belanja dapat juga dilakukan berdasarkan
kewajaran beban kerja yang dinilai berdasarkan kesesuaian antara program atau
kegiatan yang direncanakan oleh suatu unit kerja dengan tugas pokok dan fungsi
unit kerja yang bersangkutan.
Penerapan SAB pada dasarnya akan memberikan manfaat antara lain: (1)
mendorong setiap unit kerja untuk lebih selektif dalam merencanakan program dan
atau kegiatannya, (2) menghindari adanya belanja yang kurang efektif dalam upaya
26
pencapaian kinerja, (3) mengurangi tumpang tindih belanja dalam kegiatan investasi
dan non investasi.

G. Standar Biaya
Standar biaya merupakan komponen lain yang harus dikembangkan sebagai dasar
untuk mengukur kinerja keuangan dalam sistem anggaran kinerja, selain Standar
Analisa Biaya dan tolok ukur kinerja. Standar biaya adalah harga satuan unit biaya
yang berlaku. Penerapan standar biaya ini membantu penyusunan anggaran belanja
suatu program atau kegiatan bagi setiap K/L dan unit kerja yang ada agar kebutuhan
atas suatu kegiatan yang sama tidak berbeda biayanya. Pengembangan standar biaya
akan dilakukan dan diperbaharui secara terus menerus sesuai dengan perubahan
harga yang berlaku.

H. Penyusunan RKA K/L
Penyusunan RKA-K/L dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan
pengeluaran jangka menengah, terpadu dan prestasi kerja. Pendekatan kerangka
pengeluaran jangka menengah (KPJM) dilaksanakan dengan menyusun prakiraan
maju yang berisi perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang
direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang
direncanakan dan merupakan implikasi kebutuhan dana untuk pelaksanaan
program dan kegiatan tersebut pada tahun berikutnya.
Penyusunan RKA-KL dengan pendekatan penganggaran terpadu dilakukan dengan
mengintegrasikan seluruh proses perencanaan dan penganggaran di lingkungan K/L
untuk menghasilkan dokumen rencana kerja dan anggaran.
Penyusunan RKA-KL dengan pendekatan prestasi kerja dilakukan dengan
memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran yang diharapkan
dari kegiatan dan hasil yang diharapkan dari program termasuk efisiensi dalam
pencapaian hasil dan keluaran tersebut.
RKA-KL, memuat rencana pendapatan, belanja untuk masing-masing program dan
kegiatan menurut fungsi untuk tahun yang direncanakan, dirinci sampai dengan
rincian objek pendapatan, belanja, serta prakiraan maju untuk tahun berikutnya.
27
Penyusunan RKA-KL diawali dengan penyusunan Renja-KL yang memuat kebijakan,
program, dan kegiatan yang dilengkapi sasaran kinerja dengan mengacu pada
prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif serta prakiraan maju untuk
tahun anggaran berikutnya. Tahap ini merupakan tahap dimulainya mengaitkan
rencana kerja dengan jumlah anggaran yang tersedia dan persiapan untuk menyusun
RKA-KL. Selanjutnya Renja dimaksud ditelaah oleh Bappenas berkoordinasi dengan
Menteri Keuangan. Koordinasi ini dilakukan atas pendaanan dan pengkodean.
Berdasarkan hasil pembahasan pokok-pokok kebijakan umum fiskal dan RKP antara
pemerintah dengan DPR, Menteri Keuangan menerbitkan SE tentang Pagu
Sementara bagi masing-masing program pada K/L pada pertengahan bulan Juni.
Pagu Sementara ini merupakan dasar bagi K/L untuk menyesuakan Rencana Kerja
mereka menjadi RKA-KL yang dirinci per kegiatan untuk setiap unit kerja yang ada
di K/L. Selanjutnya hasil penyusunan RKA ini akan dibahas oleh K/L dengan komisi
di DPR mitra kerjanya.
RKA-K/L hasil pembahasan kemudian diserahkan kepada Menteri Perencanaan
untuk ditelaah. Penelaahan dilakukan oleh Menteri Perencanaan untuk
kesesuaiannya dengan RKP dan oleh Menkeu untuk kesesuaiannya dengan Pagu
Sementara. Hal ini dilakukan untuk menjaga konsistensi penganggaran dengan
perencanaan dan prioritas pembangunan nasional serta tidak melampaui pagu.
Tahap akhir dari penyusunan RKA-KL ini adalah menghimpun seluruh RKA hasil
telaahan untuk dijadikan bahan menyusun rancangan APBN dan nota keuangan.
Tahap ini dilakukan oleh Menkeu dan hasilnya akan dibahas dalam sidang kabinet.

I. Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terdiri dari Pendapatan, Belanja,
dan Pembiayaan. Anggaran Pendapatan merupakan estimasi pendapatan yang
mungkin dicapai dalam periode yang bersangkutan. Kelompok anggaran pendapatan
terdiri dari penerimaan dalam negeri dan hibah.
Anggaran belanja merupakan batas tertinggi pengeluaran yang dapat dibebankan
pada APBN. Belanja diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan
kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan
dengan susunan organisasi pemerintahan.
28
Klasifikasi belanja menurut fungsi yang digunakan untuk tujuan terdiri dari:
a. pelayanan umum;
b. ketertiban dan keamanan;
c. pertahanan;
d. ekonomi;
e. lingkungan hidup;
f. perumahan dan fasilitas umum;
g. kesehatan;
h. pariwisata dan budaya;
i. agama;
j. pendidikan; serta
k. perlindungan sosial.
Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan rencana kerja
masing-masing kementerian/lembaga.
Klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari:
a. belanja pegawai;
b. belanja barang dan jasa;
c. belanja modal;
d. bunga;
e. subsidi;
f. hibah;
g. bantuan sosial; dan
h. belanja lainnya.
Selain jenis belanja di atas, terdapat kelompok belanja ke daerah yang terdiri dari
Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian.
Dari uraian di atas, siklus penganggaran yang merupakan kelanjutan dari
perencanaan secara terintegrasi dan kaitannya dengan proses perancanaan dan
29
penganggaran oleh pemerintah daerah dapat digambarkan secara utuh seperti
gambar berikut ini.



30
BAB V
PELAKSANAAN ANGGARAN

A. ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan suatu dokumen yang
sangat penting artiya dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara.
Undang_Undang APBN mencerminkan otorisasi yang diberikan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Pemerintah untuk melaksanakan program-
program pembangunan dalam batas-batas anggaran yang telah ditetapkan.
Anggaran pendapatan merupakan estimasi penerimaan (estimated revenue) yang
diperkirakan akan diterima dalam satu tahun anggaran, sedangkan anggaran belanja
merupakan pagu anggaran belanja yang disediakan untuk membiayai program dan
kegiatan selama satu tahun anggaran (appropriation). Undang-undang APBN inilah
yang mengatur program dan kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah
dalam suatu tahun anggaran.
Selanjutnya Undang-Undang APBN dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan
Presiden tentang Rincian APBN, yang dalam istilah keuangan Negara dikenal
sebagai apportionment. Peraturan Presiden dimaksud diperlukan sebagai landasan
operasional bagi Pemerintah untuk melaksanakan APBN.
Periode pelaksanaan APBN adalah satu tahun, yaitu dari 1 Januari sampai dengan 31
Desember. Dalam rangka menjaga agar APBN dapat dilaksanakan secara tepat waktu
maka dalam Undang-Undang 17/2003 maupun PP 21/2004 telah ditentukan
kalender anggarannya, yaitu APBN harus sudah diundangkan paling lambat bulan
Oktober tahun sebelumnyan demikian diperlukan agar Pemerintah mempunyai
waktu yang cukup untuk menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran. Demikian
pula bagi Pemerintah Daerah, diharapkan dengan ditetapkannya APBN pada bulan
Oktober, mereka dapat menyelesaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
secara tepat waktu.


31
B. DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN
Dokumen pelaksanaan anggaran memuat alokasi anggaran yang disediakan kepada
pengguna anggaran. Alokasi anggaran pendapatan disebut Estimasi pendapatan
yang dialokasikan dan alokasi anggaran belanja disebut allotment. Dokumen
pelaksanaan anggaran di Pemerintah Pusat disebut Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) sedangkan di Pemerintah daerah disebut Dokumen Pelaksanaan
Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA SKPD).
Paradigma baru dalam pengelolaan keuangan Negara adalah beralihnya konsep
administrasi keuangan (financial administration) ke manajemen keuangan
(financial management). Hal ini memerlukan pembaharuan pada setiap fungsi
manajemen, baik pada tataran perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran,
akuntansi dan pertanggungjawaban, serta pemeriksaan. Semua fungsi diarahkan
pada pemanfaatan sumber daya secara efisien dan efektif dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam refomasi manajemen keuangan
Negara adalah let the managers manage. Dengan pendekatan ini kepada pengguna
anggaran diberikan fleksibilitas untuk melaksanakan anggaran. Pengguna anggaran
diberikan kewenangan untuk menyusun DIPA sesuai dengan program dan kegiatan
yang telah ditetapkan serta plafon anggaran yang telah disediakan. Dengan
mekanisme yang demikian maka kepada para pengguna anggaran diberikan
fleksibilitas yang seluas-luasnya untuk mengatur anggarannya, dituangkan dalam
DIPA sesuai dengan kebutuhan.
Namun demikian mekanisme check and balance tetap dilaksanakan sehingga DIPA
yang disusun oleh pengguna anggaran tidak serta merta langsung diberlakukan,
namun harus dibahas dulu dengan Kementerian Keuangan, dalam hal ini
dilaksanakan oleh Direktorat Pelaksanaan Anggaran, Direktorat Jenderal
Perbendaharaan untuk memperoleh pengesahan. Pembahasan ini merupakan
pelaksanaan fungsi pengendalian, dilakukan untuk meyakini bahwa DIPA disusun
sesuai dengan Undang-Undang APBN serta menggunakan standar harga yang wajar
sesuai dengan ketentuan.
Anggaran dalam DIPA diklasifikasikan terinci sampai organisasi, fungsi, sub fungsi,
program, kegiatan, dan jenis belanja. Dengan demikian maka azas spesialitas benar-
benar digunakan di sini, yaitu anggaran secara spesifik disediakan untuk membiayai
32
kegiatan tertentu dan tidak dapat digeser tanpa mekanisme revisi DIPA sesuai
dengan ketentuan.
Sehubungan dengan diberlakukannya manajemen keuangan dalam pengelolaan
keuangan Negara maka setiap pengguna anggaran wajib menyusun rencana
penarikan dana untuk setiap progam/kegiatan yang ada dalam DIPA. Hal yang sama
berlaku untuk penerimaan, yaitu rencana penerimaan pendapatan juga disiapkan
jika penguna anggaran tersebut mempunyai alokasi anggaran pendapatan. Informasi
tentang rencana penarikan dana serta rencana penerimaan ini diperlukan oleh
Bendahara Umum Negara untuk menyusun perencanaan kas bertujuan memastikan
ketersediaan dana guna memenuhi kewajiban negara, mengoptimalkan kelebihan
kas atau menutupi kekurangan kas dengan efisien, kementerian/lembaga
memperoleh dana sesuai waktu pelaksanaan kegiatan.
Suatu hal yang perlu diingat dalam anggaran adalah digunakannya pendekatan
anggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja mengamanatkan bahwa
anggaran dialokasikan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Yang dimaksud
dengan prestasi kerja adalah output atau outcome yang dihasilkan atau akan
dihasilkan dari pelaksanaan suatu kegiatan atau program. Dengan demikian maka
dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu adanya informasi tentang indikator
kinerja berikut target yang akan dicapai dari suatu kegiatan atau program dengan
dana yang disediakan dalam anggaran.

Paradigma Baru
dalam pengelolaan Keuangan Negara
let
the managers
manage
Semangat yang
melandasi
Check & Balance
Mechanism
Pengendalian
dari Financial Administration
Ke Financial Management
Perubahan
mendasar

Pada Pemerintah Pusat, pelaksanaan APBN dimulai dengan diterbitkannya DIPA.
Dalam rangka menjaga agar anggaran dapat dimulai segera pada awal tahun
anggaran maka DIPA harus diselesaikan dalam bulan Desember tahun sebelumnya.
33
Segera setelah suatu tahun anggaran dimulai, maka DIPA harus segera diterbitkan
untuk dibagikan kepada satuan-satuan kerja sebagai pengguna anggaran pada
kementrian/lembaga. Setelah masa transisi pada T.A. 2005, maka mulai T.A. 2006,
DIPA telah dapat serentak dibagikan pada awal tahun anggaran dimulai, tepatnya
tanggal 2 Januari tahun bersangkutan. Dalam perkembangannya, menghadapi T.A.
2011 secara resmi Presiden menyerahkan DIPA kepada seluruh Menteri/Pimpinan
Lembaga dan Gubernur selaku Pengguna Anggaran pada tanggal 28 Desember 2010
guna memastikan bahwa pada awal T.A. 2011 dapat segera dilaksanakan program
dan kegiatan yang telah dicanangkan dalam DIPA dimaksud. Seperti pada
Pemerintah Pusat, pada pemerintah daerah pun digunakan mekanisme yang sama
dengan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku di daerah.
Setelah terbit Peraturan Daerah tentang APBD, SKPD wajib menyusun Dokumen
Pelaksanaan Anggaran (DPA). Dengan demikian maka fleksibilitas penggunaan
anggaran diberikan kepada Pengguna Anggaran. DPA disusun secara rinci sampai
dengan organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja disertai indikator
kinerja. Dokumen ini disertai dengan rencana penarikan dana untuk mendanai
kegiatan dan apabila dari kegiatan tersebut menghasilkan pendapatan maka rencana
penerimaan kas juga dilampirkan. DPA disampaikan kepada kepala SKPKD untuk
dimintakan pengesahan.
Jika DIPA bagi kementerian/lembaga sudah dapat dijadikan dokumen untuk segera
melaksanakan anggaran Pemerintah Pusat, pada pemerintah daerah masih
diperlukan Surat Penyediaan Dana (SPD). SPD merupakan suatu dokumen yang
menyatakan tersedianya dana untuk melaksanakan kegiatan. SPD ini diperlukan
untuk memastikan bahwa dana yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan telah
tersedia pada saat kegiatan berlangsung. Setelah DPA dan SPD terbit, maka masing-
masing satuan kerja wajib melaksanakan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya.

C. PEMBAGIAN KEWENANGAN
Dalam rangka pelaksanaan anggaran, Presiden mendelegasikan kewenangannya
kepada menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran. Sedangkan
kewenangan untuk pengelolaan keuangan didelegasikan kepada Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara. Pembagian kewenangan tersebut dapat dilihat
pada gambar berikut:
34

Pendelegasian Kewenangan dalamPelaksanaan
Anggaran
Presiden
(sebagai CEO)
Kepala KPPN
(selaku Kuasa CFO)
Kepala Kantor
(selaku Kuasa COO)
Menteri Keuangan
(sebagai CFO)
Menteri Teknis
(sebagai COO)
Pendelegasiankewenanganpelaksanaanprogram
Pendelegasiankewenanganperbendaharaan

Menteri teknis/pimpinan lembaga merupakan chief of opertional officer sedangkan
Menteri Keuangan merupakan chief of financial officer. Dalam pelaksanaan
anggaran, mereka mempunyai kedudukan yang seimbang dalam rangka menjaga
terlaksananya mekanisme check and balance. Kuasa Pengguna Anggaran dapat
ditunjuk sehubungan dengan kompleksitas kegiatan, rentang kendali yang luas,
jumlah anggaran yang besar, atau karena lokasi kegiatan. Demikian pula di
pemerintah daerah, dapat ditetapkan adanya Kuasa Pengguna Anggaran yang
diusulkan oleh pengguna anggaran dan ditetapkan oleh kepala daerah karena alasan
yang sama.
Dalam pelaksanaan anggaran sangat penting diperhatikan pembagian kewenangan
dimulai dari proses penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) sampai dengan
penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah sebagai berikut:

Comptabel beheer Administratief beheer
PEMBUATAN
KOMI TMEN
PENGUJ I AN &
PEMBEBANAN
PERI NTAH
PEMBAYARAN
PENGUJ I AN
PENCAI RAN
DANA
Pemisahan Kewenangan
Menteri Teknis Menteri Keuangan

35
D. SISTEM PENERIMAAN
Seluruh penerimaan negara/daerah harus disetor ke Rekening Kas Umum
Negara/Daerah dan tidak diperkenankan digunakan secara langsung oleh satuan
kerja yang melakukan pemungutan (Azas Bruto). Pendapatan diakui setelah uang
disetor ke rekening Kas Umum Negara/Daerah (basis kas). Oleh karena itu
penerimaan wajib disetor ke Rekening Kas Umum selambat-lambatnya pada hari
berikutnya. Dalam rangka mempercepat penerimaan pendapatan, Bendahara Umum
Negara/Daerah dapat membuka rekening penerimaan pada bank. Bank yang
bersangkutan wajib menyetorkan penerimaan pendapatan setiap sore hari ke
Rekening Kas Umum Negara/Daerah.

E. SISTEM PEMBAYARAN
Belanja membebani anggaran daerah setelah barang/jasa diterima. Oleh karena itu
terdapat pengaturan yang ketat tentang sistem pembayaran. Pada dasarnya alokasi
anggaran kepada satuan kerja (DIPA) akan diberikan jika sudah tersedia alokasinya
dalam APBN. Berdasarkan DIPA satuan kerja dapat melakukan kegiatan perolehan
barang/jasa. Barang/jasa yang diperoleh harus diverifikasi kebenarannya. Setelah
diverifikasi barulah dilakukan pembayaran. Urut-urutan tahapan yang harus dilalui
dalam pelaksanaan anggaran belanja tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

PELAKSANAAN ANGGARAN
APBN
PERPRES RINCIAN APBN
DIPA
KOMITMEN
VENDOR
VERIFIKASI
PEMBAYARAN
PESANAN
BARANG/J ASA

36
Dalam pelaksanaan anggaran, pengguna anggaran diberikan kewenangan untuk
membebani anggaran. Sebagai konsekuensinya pengguna anggaran dituntut untuk
melakukan verifikasi atau pengujian atas kebenaran formil maupun materiil atas
pelaksanaan anggaran serta pertanggungjawabannya. Apabila verifikasi terhadap
belanja telah dilakukan dan sah maka pengguna anggaran menyampaikan Surat
Perintah Membayar ke KPPN. Berhubung mereka harus mempertanggungjawabkannya
maka bukti-bukti pengeluaran tetap disimpan di kementerian/lembaga dan tidak
dikirim ke KPPN. KPPN tetap melakukan pengujian yang bersifat formal dan substansial
untuk mengecek ketepatan jumlah, peruntukan, maupun penerimanya. Mekanisme
pembayaran dan proses pengujian yang dilakukan pada Pengguna Anggaran dan pada
Bendahara Umum Negara dapat dilihat pada gambar berikut:

PENGUJIAN DALAM PELAKSANAAN PENGUJIAN DALAM PELAKSANAAN
PENGELUARAN NEGARA PENGELUARAN NEGARA
PENGUJIAN PENGUJIAN
Ment er i Ment er i Tek ni s Tek ni s
Sel ak u Sel ak u Pengguna Pengguna Anggar an Anggar an
PEMBUATAN PEMBUATAN
KOMITMEN KOMITMEN
Tahapan Tahapan Administratif Administratif
Pengujian :
Wetmatigheid
Rechtmatigheid
Doelmatigheid
SPM SPM
PENGUJIAN PENGUJIAN
Ment er i Ment er i Keuangan Keuangan
Sel ak u Sel ak u BUN BUN
Tahapan Tahapan Komtabel Komtabel
Pengujian :
Substansial :
Wetmatigheid
Rechtmatigheid
Formal
CHEQUE CHEQUE
?


Terdapat dua cara pembayaran, yaitu pembayaran yang dilakukan secara langsung
oleh Bendahara Umum Negara kepada yang berhak menerima pembayaran atau
lebih dikenal dengan sistem LS. Pembayaran ini dilakukan untuk pengeluaran yang
telah pasti, baik jumlah, peruntukan, maupun penerimanya. Cara lainnya adalah
dengan menggunakan Uang Persediaan melalui Bendahara Pengeluaran.
37
Pengeluaran dengan UP dilakukan untuk belanja yang nilainya kecil di bawah jumlah
tertentu untuk membiayai keperluan sehari-hari perkantoran.

Berikut mekanisme pembayaran non belanja pegawai, adalah sebagai berikut:
KPPN
DJPB
KP
BOI
BOI
RPK
BUNP
Rekening
yangdituju/
berhak
Pengisian dana
Penyampaian SP2D/SPT
Pemindahbukuan
dan /transfer
BO I
e-kirana/pengajuan kebutuhan dana
BIGeB
MEKANISMEPEMBAYARANNONBELANJAPEGAWAI
SPM
1
Penihilan
BOImenarik
dana
6
5
4
3
2
7
Rek. KUN
8 Penihilan
9
38
BAB VI
PENGELOLAAN ASET DAN UTANG

A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
Aset merupakan sumber daya yang mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Aset merupakan sumber daya ekonomi yang dimiliki dan/atau
dikuasai oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana
manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik
oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang,
termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi
masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah
dan budaya.
Aset yang berada dalam pengelolaan pemerintah tidak hanya yang dimiliki oleh
pemerintah saja, tetapi juga termasuk aset pihak lain yang dikuasai pemerintah
dalam rangka pelayanan ataupun pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah. Aset
pemerintah bukanlah sebagai sumber daya untuk memperoleh pendapatan, namun
mencerminkan potensi pelayanan bagi masyarakat. Oleh karena itu dalam mengukur
kemampuan keuangan pemerintah tidaklah tepat jika dilakukan dengan
membandingkan antara pendapatan dan total aset yang tersedia. Kecukupan
tersedianya aset dapat diukur dengan membandingkan antara aset yang tersedia
dengan kebutuhan dalam pelayanan, yang pada umumnya ditentukan dalam rasio-
rasio yang relevan sesuai dengan fungsinya dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Definisi aset di atas mencerminkan bahwa ruang lingkup aset pemerintah sangatlah
luas. Aset pemerintah dapat diklasifikasikan sebagai aset keuangan dan aset non
keuangan. Aset keuangan mencakup kas, piutang, dan investasi. Dalam rangka
manajemen kas pada umumnya terintegrasi dengan manajemen utang. Aset non
keuangan ada yang dapat diidentifikasi dan ada yang tidak dapat diidentifikasi. Aset
non keuangan yang dapat diidentifikasi berupa aset berwujud dan aset tidak
berwujud. Aset berwujud berupa persediaan dan aset tetap, yang dalam peraturan
perundang-undangan lebih dikenal dengan nama barang milik negara. Aset yang
tidak teridentifikasi dapat berupa sumber daya alam dan sumber daya manusia.
Bagan aset pemerintah dapat dilihat pada gambar berikut:
39

ASET
PEMERINTAH
Aset
Keuangan &
Utang
Aset
Non
keuangan
Kas &
Setara kas
Piutang &
Utang
Investasi
Dapat
Diidentifikasi
Tidak dapat
diidentifikasi
Berwujud
Tidak
Berwujud
SDM
dll
Persediaan
Aset
Tetap
SDA

B. PENGELOLAAN KAS
Kas merupakan sumber daya yang mutlak diperlukan untuk menjalankan
pemerintahan. Kas seringkali dikatakan bagaikan darah bagi suatu organisasi. Tanpa
kas suatu organisasi tidak akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu Pemerintah
dituntut melakukan pengelolaan kas dengan baik.
Pengelolaan kas di pemerintah terutama bertujuan untuk dapat melaksanakan
anggaran secara efisien serta melakukan manajemen sumber daya keuangan yang
baik. Pengelolaan kas yang baik dapat menghasilkan pengendalian pengeluaran
secara efisien, meminimumkan biaya pinjaman, dan memaksimumkan hasil yang
diperoleh dari penempatan kas. Hal ini dilakukan melalui:
Perencanaan kas (cash planning) dan perencanaan kebutuhan kas (cash
forecasting).
Memperpendek waktu yang diperlukan untuk penagihan dan pembayaran
dilakukan secara tepat waktu (float management).
40
Manajemen rekening bank dengan melakukan pemusatan saldo kas (Treasury
Single Account/TSA).
Pembentukan dana kas kecil dengan sistem dana tetap (imprest fund) untuk
membiayai keperluan sehari-hari perkantoran.
Penempatan saldo kas yang belum digunakan dalam bentuk setara kas atau
penanaman sementara (temporary investment).
Hal ini telah diatur dalam Undang-Undang No. 1/2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Pada prinsipnya pemerintah harus dapat menjamin ketersediaan dana yang
diperlukan secara tepat waktu dan aman dalam rangka pelaksanaan anggaran. Agar
kas tersedia pada saat diperlukan maka perlu adanya rencana penarikan dana dan
rencana penyetoran dana dari pengguna anggaran. Dari rencana ini dapat disusun
budget kas sehingga dapat diketahui jumlah arus masuk dan arus keluar kas untuk
suatu periode serta surplus/defisit kas yang terjadi. Dengan informasi demikian
maka Bendahara Umum Negara dapat mengatur penempatan saldo kas yang
menganggur serta menerapkan strategi pinjaman untuk menutup defisit kas.

C. PENGELOLAAN PIUTANG
Piutang merupakan hak pemerintah untuk menagih pada pihak lain Piutang ini
dapat terjadi karena hubungan perdata, seperti adanya jual beli atau pinjam
meminjam, namun bisa juga terjadi karena ketentuan perundang-undangan, seperti
piutang pajak.
Dalam Undang-undang diatur bahwa kementerian/lembaga yang mempunyai
piutang wajib mengupayakan penerimaannya kembali secara tepat waktu. Dalam hal
terdapat piutang tak tertagih penyelesainnya dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam rangka menjaga agar piutang dapat diterima kembali secara tepat waktu,
kementerian/lembaga dituntut untuk mengatur berbagai hal yang terkait dengan
piutang secara seksama. Hal-hal seperti perencanaan, pemberian pinjaman atau
penjualan secara kredit atau penerbitan surat ketetapan, pencatatan, pelaporan,
penilaian, penagihan, dan penghapusan piutang harus diatur secara tegas.
Pengendalian intern harus tercermin dan melekat sejak proses timbulnya piutang
sampai dengan berakhirnya, karena pembayaran atau penghapusan.
41
Piutang pemerintah jenis tertentu, seperti piutang pajak, mempunyai hak
mendahului. Penyelesaian piutang yang terjadi karena hubungan keperdataan dapat
dilakukan melalui perdamaian kecuali untuk piutang yang penyelesaiannya diatur
sendiri dalam undang-undang. Penyelesaian piutang yang demikian ditetapkan oleh
Menteri Keuangan untuk jumlah sampai dengan Rp 10 milyar, oleh Presiden untuk
jumlah diatasnya sampai dengan Rp 100 milyar, dan jumlah diatas 100 milyar oleh
Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR.
Dalam hal terdapat piutang tak tertagih dapat dihapuskan secara mutlak atau
bersyarat dari pembukuan. Penghapusan piutang tak tertagih sampai dengan Rp 10
milyar dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan. Penghapusan piutang di atas Rp 10
milyar sampai dengan Rp 100 milyar dilakukan oleh Presiden, sedangkan di atas Rp
100 milyar oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR.

D. PENGELOLAAN UTANG
Sehubungan diberlakukannya anggaran defisit ( I Account) berarti anggaran
pendapatan tidak harus sama dengan anggaran belanja. Dalam UU 17/2003
ditekankan bahwa dalam memanfaatkan surplus anggaran atau membiayai defisit
anggaran harus mempertimbangkan keseimbangan generasi. Defisit anggaran antara
lain dapat dibiayai dari pinjaman. Berdasarkan UU 17/2003 defisit anggaran dalam
suatu tahun anggaran maksimum sebesar 3 (tiga) persen dari Pendapatan Domestik
Bruto, dan akumulasi utang maksimum sebesar 60 (enam puluh) persen dari
Pendapatan Domestik Bruto. Dalam rangka pengendalian defisit anggaran dan
akumulasi pinjaman secara nasional, Menteri Keuangan mempunyai kewenangan
untuk mengaturnya. Ketentuan tentang besarnya defisit serta jumlah utang yang
dapat dimiliki oleh suatu pemerintah daerah diatur setiap tahun dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
Dalam melakukan pengelolaan utang harus diperhatikan struktur portofolio utang
berikut biaya serta risikonya. Risiko-risiko yang perlu dipertimbangkan antara lain
risiko pasar, risiko pendanaan kembali, risiko likuiditas, risiko kredit, risiko
penyelesaian, dan risiko operasional. Hal ini perlu dilakukan untuk memperoleh
pinjaman yang paling efisien dan untuk meyakini bahwa pemerintah mampu
membayar bunga dan angsuran secara tepat waktu.
42
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara mempunyai kewenangan untuk
mengadakan pinjaman. Pinjaman dapat berupa pinjaman yang dilakukan secara
bilateral atau multilateral. Pinjaman ini dapat diteruspinjamkan kepada pemerintah
daerah/BUMN/BUMD. Pinjaman ini dituangkan dalam suatu naskah perjanjian
pinjaman. Sejalan dengan azas bruto maka biaya yang terjadi karena penarikan
pinjaman dibebankan pada anggaran belanja. Disamping itu pemerintah juga dapat
menerbitkan surat utang negara.
Disamping ada utang yang berasal dari pinjaman, pemerintah juga bisa mempunyai
utang karena kegiatan operasional atau utang perhitungan pihak ketiga (PFK). Utang
operasional antara lain timbul sehubungan dengan adanya pengadaan barang/jasa
yang telah diterima tetapi pada akhir tahun anggaran belum dibayar. Dengan
demikian utang yang berasal dari kegiatan operasional ini dapat terjadi di
kementerian negara/lembaga. Utang PFK timbul karena adanya uang yang dipungut
oleh pemerintah untuk kepentingan pihak lain dan belum disampaikan kepada pihak
tersebut.Terhadap utang-utang ini, pengguna anggaran atau kuasa pengguna
anggaran juga wajib menatausahakan dan melaporkannya dalam laporan keuangan.
Pengguna Anggaran atau Kuasanya berkewajiban mengelola utang dalam
kepengurusannya dan menguji setiap klaim sebelum memerintahkan pembayaran
atas beban anggaran
Utang dibayar secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan. Hak tagih atas utang
sebagai beban negara kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh
tempo, kecuali ditetapkan lain dalam undang-undang. Kedaluwarsa ini akan
tertunda jika pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara sebelum
berakhirnya masa kedaluwarsa. Ketentuan kedaluwarsa ini tidak berlaku untuk
pembayaran bunga dan pokok utang yang timbul karena pinjaman.

E. PENGELOLAAN INVESTASI
Pemerintah dapat melakukan investasi karena berbagai alasan, antara lain
memanfaatkan surplus anggaran untuk memperoleh pendapatan atau
memanfaatkan dana yang belum digunakan dalam bentuk invetasi jangka pendek
dalam rangka manajemen kas. Investasi jangka pendek yang dilakukan pemerintah
harus memenuhi karakteristik dapat segera dicairkan, ditujukan dalam rangka
manajemen kas, dan berisiko rendah.
43
Investasi jangka panjang dapat berupa investasi permanen dan investasi non
permanen. Investasi ini dapat dilakukan oleh pemerintah melalui pasar modal atau
investasi langsung pada bidang usaha tertentu. Investasi melalui pasar modal dapat
dilakukan dengan membeli saham atau surat utang. Investasi yang dilakukan oleh
pemerintah tidak semata-mata bertujuan untuk memperoleh manfaat ekonomi,
seperti diperolehnya keuntungan, tetapi bisa juga karena diperolehnya manfaat
sosial, atau manfaat lainnya.
Investasi permanen merupakan investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk
dimiliki secara berkelanjutan, misalnya penyertaan modal pemerintah pada BUMN.
Investasi nonpermanen adalah investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk
dimiliki secara tidak berkelanjutan. Dengan demikian investasi nonpermanen ini
dimaksudkan akan dicairkan kembali suatu saat, misalnya dana bergulir.

F. PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA
Barang milik negara mencakup semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban
APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Perolehan ini antara lain dapat
dilakukan melalui pembelian, pembangunan, pertukaran, kerja sama, hibah/donasi,
dan rampasan.
Dalam rangka menertibkan pengelolaan barang milik negara, maka dilakukan
pembagian kewenangan yang jelas atas barang milik negara. Menteri Keuangan
adalah sebagai pengelola barang berwenang mengatur pengelolaan barang milik
negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menteri/pimpinan lembaga
berkedudukan sebagai pengguna barang pada instansi yang dipimpinnya. Para
pengguna barang wajib mengelola dan menatausahakan barang milik negara yang
berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Pengelolaan barang milik negara dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pada
suatu negara yang masih menganut line item budgeting, pada umumnya belum
memperhatikan kebutuhan barang untuk melaksanakan fungsinya secara efisien.
Hal ini dikarenakan belum dilakukan perhitungan biaya layanan secara benar dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pengukuran kinerjanya belum
dilakukan secara utuh dengan menerapkan full costing. Di negara yang telah
menerapkan anggaran berbasis kinerja, pengelolaan barang pada umumnya
44
dilakukan dengan cara lebih efisien karena seluruh komponen biaya dimasukkan
sebagai unsur biaya layanan. Dengan demikian maka barang yang diminta dan
digunakan benar-benar sesuai dengan kebutuhan.
Dalam rangka menjaga kesinambungan pelayanan kepada masyarakat, dilakukan
pengaturan atas penghapusan serta pemindahtanganan barang milik negara. Barang
milik negara yang diperlukan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan tidak
dapat dipindahtangankan. Pengahapusan barang milik negara pada prinsipnya harus
mendapat persetujuan DPR. Pemindahtanganan dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan DPR.
Dengan memperhatikan bahwa tanah dan bangunan merupakan kekayaan negara
yang sangat penting artinya serta nilainya signifikan maka pemindahtanganan tanah
dan bangunan harus mendapat persetujuan DPR kecuali untuk tanah dan bangunan
yang tidak sesuai lagi dengan tata ruang wilayah atau penataan kota. Demikian pula
untuk bangunan yang sudah memperoleh alokasi anggaran untuk menggantinya,
diperuntukkan bagi pegawai negeri, untuk kepentingan umum, ataupun yang jika
status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis. Hal ini terjadi
karena pada dasarnya DPR telah menyetujuinya pada saat pembahasan tata ruang
ataupun pembahasan APBN.
Dalam rangka efisiensi pengelolaan barang selain tanah dan bangunan, proses
penghapusan dan pemindahtanganannya dapat dilakukan dengan cara yang lebih
sederhana. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan bangunan
dengan nilai sampai dengan Rp 10 milyar dilakukan oleh Menteri Keuangan, di atas
Rp 10 milyar sampai dengan Rp 100 milyar oleh Presiden, sedangkan di atas Rp 100
milyar oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Apabila pemindahtanganan ini
dilakukan dengan penjualan maka harus dilakukan dengan lelang. Dengan
pengaturan demikian diharapkan pengelolaan barang dapat dilakukan dengan lebih
efisien.
Pengamanan barang milik negara merupakan salah satu sasaran pengendalian
intern, baik dari aspek fisik, administrasi, maupun hukum. Oleh karena tanah dan
bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan dan ditatausahakan dengan
tertib. Tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah RI. Tanah dan bangunan
yang tidak lagi digunakan untuk menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan wajib
dikembalikan kepada Menteri Keuangan. Barang milik negara tidak diperkenankan
45
untuk digadaikan atau digunakan sebagai jaminan dan tidak boleh diserahkan
kepada pihak lain sebagai pembayaran utang. Disamping itu barang milik negara
atau barang pihak lain yang dikuasai negara yang diperlukan untuk penyelenggaraan
tugas pemerintahan tidak dapat disita.

G. PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM
Dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan
bangsa, Pemerintah dapat membentuk Badan Layanan Umum (BLU). Kekayaan BLU
merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dapat dikelola sepenuhnya
untuk pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu BLU tetap menyusun anggaran
sebagaimana instansi pemerintah pada umumnya untuk digabungkan dalam
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga maupun APBN.
Pendapatan dan belanja yang dilakukan dilaporkan dalam laporan keuangan
kementerian negara/lembaga yang membawahinya dan dikonsolidasikan dalam
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Upaya peningkatan kinerja pelayanan maupun kinerja keuangan dilakukan dengan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan.
Pendapatan BLU dapat bersumber dari APBN, jasa layanan, hibah atau sumbangan
dari masyarakat. Pendapatan BLU dapat digunakan secara langsung untuk
membiayai belanjanya. Dalam pelaksanaan anggaran belanja, BLU juga diberikan
pengecualian untuk tidak mengikuti ketentuan pengadaan barang/jasa sebagaimana
yang berlaku di pemerintahan karena alasan efisiensi dan produktivitas. Di samping
itu BLU juga diperkenankan memperoleh pinjaman untuk mendanai kegiatannya.
Untuk menjaga kinerja pelayanan dan kinerja keuangan BLU maka diperlukan
adanya pembinaan. Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan
sedangkan pembinaan teknis dilakukan oleh kementerian teknis yang
membawahinya.

46
BAB VII
PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PELAKSANAAN APBN

A. LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH
Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan salah satu tuntutan masyarakat yang
harus dipenuhi. Salah satu pilar tata kelola tersebut adalah akuntabilitas. Pada
dasarnya penyelenggara negara wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada
masyarakat, berupa akuntabilitas keuangan (financial accountability) dan
akuntabilitas kinerja (performance accountability). Dengan pola
pertanggungjawaban yang demikian, Pemerintah tidak hanya dituntut untuk
mempertanggungjawabkan uang yang dipungut dari rakyat tetapi juga dituntut
tuntuk mempertanggungjawabkan atas hasil-hasil yang dicapainya.
Pola pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan negara dikembangkan sejalan
dengan teori keagenan (Agency Theory). Pada prinsipnya, Pemerintah merupakan
orang suruhan atau agen dari rakyat. Rakyat dalam hal ini diwakili oleh DPR.
Pemerintah diberi kekuasaan untuk memungut uang dari rakyat berdasarkan
Undang-undang. Setiap tahunnya anggaran pendapatan dan belanja dituangkan
dalam Undang-undang APBN. Pemerintah yang memungut, Pemerintah yang
mengelola, maka Pemerintah juga berkewajiban untuk mencatat
(mengakuntansikan) dan melaporkannya kepada rakyat melalui DPR. Dalam rangka
meyakini bahwa laporan dimaksud telah menyajikan kondisi yang sesungguhnya
serta Pemerintah telah mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan, maka
laporan keuangan tersebut wajib diperiksa oleh pemeriksa yang independen.
Berdasarkan UUD 45 yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas laporan
keuangan pemerintah adalah BPK RI.
Gambar atas pola pertanggungjawaban tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:




47

3
L
E
M
B
A
G
A
P
E
R
W
A
K
I
L
A
N
HUBUNGAN KONTRAK PRINSIPAL
AGEN: SOLUSI
Akuntansi Pelaporan
Auditing
P
R
I
N
S
I
P
A
L
R
A
K
Y
A
T
A
G
E
N
P
E
M
E
R
I
N
T
A
H
Ketentuan Undang-Undang
Rencana Kerja/ RK Anggaran
AKUNTABILITAS


Laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN berupa Laporan Keuangan.
Laporan keuangan setidak-tidaknya terdiri dari:
Neraca;
Laporan Realisasi Anggaran;
Laporan Arus Kas; dan
Catatan atas laporan Keuangan.
Laporan keuangan yang disampaikan dalam RUU Pertanggungjawaban atas
Pelaksanaan APBN adalah laporan keuangan yang telah diaudit BPK RI. Laporan
keuangan ini paling lambat disampaikan ke DPR pada akhir bulan Juni tahun
berikutnya. Laporan keuangan dilampiri dengan Laporan Kinerja dan laporan
keuangan Badan Usaha Milik Negara dan badan lainnya. Laporan keuangan disertai
dengan Surat Pernyataan Tanggung jawab atau Statement Of Responsibility (SOR).
Laporan keuangan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN tersebut dapat
dilihat pada gambar berikut:
48

10
PAKET LAPORAN
KEUANGAN DAN KINERJA
SURAT PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB
IKHTISAR
KINERJA
IKHTISAR
LAIN
IKHTISAR
LAIN
IKHTISAR LK
BUMN/BUMD
LRA NERACA LAK CALK


Dari gambar tersebut tampak bahwa terdapat lampiran yang bersifat wajib dan
diamanatkan dalam undang-undang, yaitu laporan kinerja dan laporan keuangan
BUMN dan badan lainnya. Yang dimaksud dengan badan lainnya, saat ini yang ada
di Pemerintah adalah Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum Milik Negara
(BHMN).
Laporan Keuangan Pemerintah disusun dengan menggabungkan seluruh laporan
keuangan Kementerian negara/Lembaga selaku pengguna anggaran dengan laporan
keuangan Bendahara Umum Negara. Laporan keuangan kementerian
negara/lembaga ini harus disampaikan ke Presiden melalui Menteri Keuangan
paling lambat 2 (dua) bulan setelah tutup tahun anggaran.
Dengan memperhatikan pengaturan tentang pengelolaan kas negara yang dilakukan
oleh Bendahara Umum Negara maka kementerian negara/lembaga sebagai
pengguna anggaran tidak diwajibkan menyusun Laporan Arus Kas. Yang menyusun
Laporan Arus Kas hanya Bendahara Umum Negara.

B. STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN
Laporan keuangan disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP). Dalam hal ini tampak jelas bahwa tidak hanya penyajiannya
yang harus sesuai dengan SAP tetapi juga penyusunannya. Dengan demikian sistem
49
akuntansi yang digunakan untuk menghasilkan laporan keuangan juga harus
dibangun sesuai dengan SAP.
SAP merupakan pedoman umum dalam penyusunan dan penyajian laporan
keuangan. Kesesuaian dengan SAP mencerminkan tingkatan akuntabilitas dan
transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. Oleh karena itu penyusunan dan
penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan SAP merupakan salah satu kriteria
bagi BPK RI dalam memberikan opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan.
Berdasarkan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 1/2004 tentang
Perbendaharaan Negara, SAP disusun oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintah
(KSAP). KSAP merupakan suatu komite yang independen dengan komite kerja.
beranggotakan 9 orang. KSAP telah mengeluarkan PP No. 71 Tahun 2010 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan, dengan demikian PP No. 24 Tahun 2005 dinyatakan
tidak berlaku lagi.

C. SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAHAN
Sistem akuntansi pemerintahan merupakan rangkaian secara sistematik dari
prosedur, penyelenggara, peralatan, dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi
akuntansi sejak analisis transaksi sampai dengan pelaporan keuangan di lingkungan
organisasi pemerintah. Dengan demikian sistem akuntansi merupakan suatu wadah
untuk memproses data keuangan sampai dihasilkannya informasi keuangan yang
disajikan dalam laporan keuangan.
Sistem akuntansi untuk Pemerintah Pusat ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Sistem akuntansi ini disusun susuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.
Dengan demikian maka laporan keuangan yang dihasilkan akan sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintahan.
Akuntansi Pemerintahan pada dasarnya merupakan akuntansi anggaran. Oleh
karena itu sistem akuntansi yang baik seharusnya terintegrasi dengan sistem
anggaran. Apabila hal ini dijalankan, maka akan terdapat konsistensi dalam
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, akuntansi dan pertanggungjawaban
anggaran.

50
Sistem akuntansi Pemerintah ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berlaku untuk
seluruh kementerian negara/lembaga. Sistem ini diperlukan untuk tujuan tiga hal.
Pertama adalah untuk menetapkan prosedur yang harus diikuti oleh pihak-pihak
yang terkait sehingga jelas pembagian kerja dan tanggung jawab diantara mereka.
Kedua adalah untuk terselenggaranya pengendalian intern guna menghindari
terjadinya penyelewengan. Terakhir adalah untuk menghasilkan laporan keuangan
sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dimana jenis dan isi
diatur dalam PP No. 71 Tahun 2010 tentang SAP. Pertanggungjawaban atas
pengelolaan keuangan tersebut, secara umum tata cara dan tanggung jawab
pelaporan diatur dalam PP 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja
Instansi Pemerintah.


51
BAB VIII
PEMERIKSAAN ATAS PENGELOLAAN DAN
TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA

A. LINGKUP PEMERIKSAAN
Pemerintah, baik pusat maupun daerah mengemban amanat untuk menjalankan
tugas pemerintahan melalui peraturan perundang-undangan. Untuk
penyelenggaraan pemerintahan dimaksud, pemerintah memungut berbagai macam
jenis pendapatan dari rakyat, kemudian membelanjakannya untuk penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan kepada rakyat. Dalam hal ini kedudukan
pemerintah adalah sebagai agen dari rakyat, sedangkan rakyat sebagai prinsipalnya.
Sebagai agen, pemerintah wajib mempertanggungjawabkan pengelolaan
keuangannya kepada rakyat yang diwakili oleh DPR/DPRD.
Dalam pola hubungan antara Pemerintah sebagai agen dan DPR sebagai wakil dari
prinsipal, terdapat ketidakseimbangan pemilikan informasi. Lembaga perwakilan
tidak mempunyai informasi secara penuh apakah laporan pertanggungjawaban atas
pengelolaan keuangan daerah dari eksekutif telah mencerminkan kondisi yang
sesungguhnya, apakah telah sesuai semua peraturan perundang-undangan,
menerapkan sistem pengendalian intern secara memadai dan pengungkapan secara
paripurna. Oleh karena itu diperlukan pihak yang kompeten dan independen untuk
menguji laporan pertanggungjawaban tersebut. Lembaga yang berwenang untuk
melakukan pemeriksaan atas laporan pertanggungjawan tersebut adalah Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Ketentuan tentang pemeriksaan oleh BPK diatur dalam
UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan
Negara. Sedangkan ketentuan tentang Badan Pemeriksa Keuangan sebagai institusi
pemeriksa diatur dalam UU 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD RI tahun 1945, pemeriksaan yang
menjadi tugas BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan dan
pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan tersebut
mencakup seluruh unsur keuangan negara. Oleh karena itu kepada BPK diberikan
kewenangan untuk melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yaitu:
52
1. Pemeriksaan keuangan;
2. Pemeriksaan kinerja;
3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

1. PEMERIKSAAN KEUANGAN
Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah.
Pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka pemberian opini atas kewajaran penyajian
laporan keuangan. Hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK akan menghasilkan opini
yang merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi
keuangan yang disajikan. Kriteria untuk pemberian opini adalah sebagai berikut:
a. Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan;
b. Kecukupan pengungkapan;
c. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; dan
d. Efektivitas sistem pengendalian intern.
Penilaian atas empat hal di atas akan menentukan suatu opini. Ada empat macam
opini yang diberikan pemeriksa, yaitu:
a. Wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion);
b. Wajar dengan pengecualian (qualified opinion);
c. Tidak wajar (adversed opinion);
d. Pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).

Opini wajar tanpa pengecualian diberikan jika pos-pos laporan keuangan tidak
mengandung salah saji material dan laporan keuangan secara keseluruhan disajikan
secara wajar. Opini wajar dengan pengecualian jika terdapat pos-pos tertentu dalam
laporan keuangan mengandung salah saji secara material namun secara keseluruhan
tidak mengganggu kewajaran laporan keuangan. Opini tidak wajar diberikan jika
pos-pos laporan keuangan mengandung salah saji material sehingga laporan
keuangan secara keseluruhan tidak wajar. Opini disclaimer diberikan jika pemeriksa
53
tidak dapat memperoleh keyakinan atas kewajaran informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan.

2. PEMERIKSAAN KINERJA
Pemeriksaan kinerja sering juga disebut value for money audit. Pemeriksaan kinerja
adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas
efektivitas. Pemeriksaan ini lazim dilakukan oleh aparat pengawasan intern untuk
kepentingan jajaran manajemen. Namun demikian UUD RI tahun 1945 juga
mengamanatkan kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan kinerja, terutama
untuk mengidentifikasi area-area yang potensial untuk peningkatan kinerja yang
menjadi perhatian lembaga perwakilan.
Hasil pemeriksaan kinerja adalah temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.
Pemeriksaan kinerja antara lain dilakukan dengan melakukan evaluasi atas efisiensi
pelaksanaan kegiatan serta efektivitas suatu program, pemeriksaan kinerja tidak
dapat dilepaskan dari hierarki kriteria dan indikator kinerja. Hierarki tersebut dapat
dilihat pada gambar berikut:

14
Herarki Kriteria dan Indikator Kinerja
Policy goals
Program Objectives
Planned Outcomes
Planned Outputs
Planned Inputs
process
process
process
Actual Outcomes
Actual Outputs
Actual Inputs
Effectiveness
Efficiency
Compliance

54
Adapun bagi pemerintah, pemeriksaan kinerja ini dimaksudkan untuk mengarahkan
agar sumber daya yang tersedia dimanfaatkan secara efisien dan efektif untuk
pelayanan kepada masyarakat.

3. PEMERIKSAAN DENGAN TUJUAN TERTENTU
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan
tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk
dalam pemeriksaan ini adalah pemeriksaan pemeriksaan atas hal-hal lain yang
bersifat keuangan, pemeriksaan atas sistem pengendalian intern, dan pemeriksaan
investigatif.
Hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah kesimpulan. Dalam hal
pemeriksaan investigatif, apabila diketemukan adanya indikasi tindak pidana atau
tindakan yang membawa dampak pada kerugian negara, BPK segera melaporkannya
kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

B. PELAKSANAAN PEMERIKSAAN
BPK mempunyai kebebasan dan kemandirian dalam melaksanakan pemeriksaan.
Kemandirian ini termasuk dalam perencanaan pemeriksaan, pelaksanaan
pemeriksaan, maupun penyusunan dan penyajian laporan hasil pemeriksaan.
Kebebasan dalam perencanaan mencakup penetapan obyek pemeriksaan (auditee),
kecuali untuk obyek pemeriksaan yang telah diatur dalam undang-undang atau
berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan informasi dari berbagai
pihak yang kompeten dan terkait, seperti hasil pemeriksaan aparat pengawasan
intern pemerintah, masukan dari lembaga legislatif, serta informasi dari pihak lain
yang andal. Dalam pelaksanaan pemeriksaan, BPK dapat memanfaatkan anggaran
serta sumber daya yang dimiliki secara mandiri dan akuntabel. Dengan mekanisme
yang demikian diharapkan BPK dapat memfokuskan pemeriksaannya pada hal-hal
yang menjadi perhatian lembaga legislatif serta pada berbagai hal yang berdampak
pada kewajaran penyajian laporan keuangan, efisiensi, dan efektifitas program dan
kegiatan.
55
Selama menjalankan pemeriksaan BPK dapat mengakses data yang diperlukan,
meminta informasi dari orang-orang terkait, memperoleh bukti dokumen,
wawancara, maupun bukti fisik untuk mendukung hasil pemeriksaannya, termasuk
melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, atau dokumen jika
dipandang perlu.
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara mengamanatkan bahwa pemeriksaan harus
dilaksanakan oleh pemeriksa yang kompeten. Apabila BPK tidak mempunyai tenaga
ahli pada bidang tertentu, sementara keahlian ini diperlukan, maka BPK dapat
menggunakan bantuan tenaga ahli dari luar BPK.

C. HASIL PEMERIKSAAN DAN TINDAK LANJUT
Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) segera
setelah berakhirnya pemeriksaan. LHP ini disampaikan kepada lembaga perwakilan
sesuai dengan kewenangannya. Di samping itu pada saat yang bersamaan, LHP ini
juga disampaikan kepada Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota untuk
ditindaklanjuti. Hasil pemeriksaan BPK akan digunakan oleh pemerintah untuk
melakukan koreksi atau melakukan penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan. Di
samping itu pemerintah berkewajiban menyampaikan tanggapan atas temuan hasil
pemeriksaan. Tanggapan ini wajib dimuat dalam LHP. Dengan dimuatnya tanggapan
ini maka pengguna dapat memperoleh informasi secara berimbang dari pemeriksa
dan dari obyek yang diperiksa (auditee).
BPK wajib menyusun ikhtisar hasil pemeriksaan yang dilakukan selama 1 (satu)
semester. Ikhtisar ini disampaikan kepada lembaga legislatif sesuai dengan
kewenangannya dan kepada Presiden serta Gubernur/Bupati/walikota yang
bersangkutan agar memperoleh informasi secara menyeluruh tentang hasil
pemeriksaan.
Hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga legislatif berarti telah
dipertanggungjawabkan kepada publik. Oleh karena itu terhadap hasil pemeriksaan
yang tersebut dinyatakan terbuka untuk umum, sehingga dapat diakses oleh
masyarakat.
56
Pemerintah berkewajiban melaksanakan tindak lanjut atas rekomendasi BPK. BPK
wajib memantau perkembangan pelaksanaan tindak lanjut tersebut serta
menginformasikannya kepada lembaga legislatif terkait.

D. PIDANA, SANKSI, DAN GANTI RUGI
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, menteri/pimpinan
lembaga selaku pengguna anggaran bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
yang ditetapkan dalam UU APBN. Kebijakan pemerintah dituangkan dalam bentuk
program. Dengan demikian maka menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab
atas outcome yang dicapai. Program pemerintah dilaksanakan oleh kegiatan.
Kegiatan dilaksanakan oleh unit organisasi atau satuan kerja tertentu. Oleh karena
itu pimpinan unit organisasi bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan. Dengan
demikian pimpinan unit organisasi bertanggung jawab atas capaian ouput atas
kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam UU 17/2003 ditegaskan bahwa
menteri/pimpinan lembaga ataupun pimpinan unit organisasi yang melakukan
penyimpangan program/kegiatan dikenakan sanksi. Sanksi di sini dapat berupa
sanksi administratif, pidana, atau denda sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ketentuan tentang sanksi ini merupakan upaya preventif
yang berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya UU APBN.
Selanjutnya terhadap pejabat negara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat
lain yang melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung maupun
tidak langsung yang merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian.
Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor
kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada BPK paling lambat 7
(tujuh) hari kerja setelah kerugian diketahui. Kepada mereka yang mengakibatkan
kerugian negara segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan untuk mengganti
kerugian dimaksud. Apabila surat kesanggupan tidak diperoleh maka
menteri/pimpinan lembaga dapat menerbitkan surat keputusan pembebanan
penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
Disamping itu terdapat prinsip yang berlaku universal bahwa siapa yang diberi
wewenang untuk menerima, menyimpan, dan membayar atau menyerahkan uang,
surat berharga, atau barang milik negara bertanggung jawab secara pribadi atas
57
kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Pengenaan ganti kerugian untuk
bendahara dilakukan oleh BPK.


i
) Pasal ??? UU 25/2004: SPPN.
ii
) Pasal ??? UU 25/2004: SPPN.

Anda mungkin juga menyukai