OLEH : KELOMPOK III SAIPUL RIJAL JULIANSAH SYAFARIYADI TIARA PUTRI TUNJUNG PETISARI VINANDA NUANSA WERIANA WIJAYA AGUSTRIA
INSTRUKTUR : IR. KA RIDWAN.M.T PENENTUAN KADAR SULFUR
I. TUJUAN PERCOBAAN - Mahasiswa mampu menentukan kadar sulfur dengan baik dan benar - Mahasiswa mampu menggunakan alat s-144 DR dengan baik dan benar
II. ALAT DAN BAHAN - Alat yang Digunakan 1. S-144 DR 2. Spatula 3. Boat 4. Pendorong 5. Neraca Analitik - Bahan yang digunakan 1. Batubara -170 mash 2. Batubara -200 mash
III. DASAR TEORI Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang memiliki riwayat pemanfaatan yang sangat panjang. Beberapa ahli sejarah yakin bahwa batubara pertama kali digunakan secara komersial di Cina. Ada laporan yang menyatakan bahwa suatu tambang di timur laut Cina menyediakan batu bara untuk mencairkan tembaga dan untuk mencetak uang logam sekitar tahun 1000 SM. Bahkan petunjuk paling awal tentang batubara ternyata berasal dari filsuf dan ilmuwan Yunani yaitu Aristoteles, yang menyebutkan adanya arang seperti batu. Abu batu bara yang ditemukan di reruntuhan bangunan bangsa Romawi di Inggris juga menunjukkan bahwa batubara telah digunakan oleh bangsa Romawi pada tahun 400 SM. Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam kategori bahan bakar fosil. Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan pembatubaraan (coalification). Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam). Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon (Carboniferous Period) dikenal sebagai zaman batu bara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap endapan batu bara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai maturitas organik. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat), yang selanjutnya berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau disebut pula batu bara coklat (brown coal). Batubara muda adalah batu bara dengan jenis maturitas organik rendah. Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, maka batu bara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batu bara sub- bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit. Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara. Berikut ini ditunjukkan contoh analisis dari masing masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan pembatubaraan. Kandungan sulfur Kadungan slfur dalam batubara terbagi dalam pyritic sulfur, sulfate sulfur, dan organic sulfur. Namun secara umum, penilaian kandungan sulfur dalam batubara dinyatakan dalam Total Sulfur (TS). Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi dingin yang terjadi pada elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih rendah dari pada titik embun sulfur, di samping berpengaruh terhadap efektivitas penangkapan abu pada peralatanelectrostatic precipitator. Sulfur adalah salah satu komponen dalam batubara, yang terdapat sebagai sulfur organik maupun anorganik. Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur syngenetik yang erat hubungannya dengan proses fisika dan kimia selama proses penggambutan (Meyers, 1982) dan dapat juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968).
Sulfur walaupun secara relatif kandungannya rendah, merupakan salah satu elemen penting pada batubara yang mempengaruhi kualitas. Terdapat berbagai cara terbentuknya sulfur dalam batubara, diantaranya adalah berasal dari pengaruh lapisan pengapit yang terendapkan dalam lingkungan laut (Horne et.al,1978), pengaruh air laut selama proses pengendapan tumbuhan, proses mikrobial dan perubahan pH (Casagrande et.al,1987).
Di lingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 4 8 (netral basa) dan Eh cukup rendah, kecuali pada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah & umumnya cukup banyak ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau penguraian dari bahan tumbuhan & mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangat berperan untuk terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada air tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah ( < 40 ppm), sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas bakteri. Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi, sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan darat / air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan persentase pirit yang rendah. Terdapat 3 (tiga) jenis sulfur yang terdapat dalam batubara, yaitu :
1. Sulfur piritik
Pirit (dan Markasit) merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk isometrik sedangkan Markasit berbentuk orthorombik (Taylor G.H, et.al., 1998).
Pirit (FeS2) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan sulfur dalam batubara, atau lebih dikenal dengan sulfur piritik (Mackowsky, 1943 dalam Organic petrology, 1998). Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Pirit Syngenetik, yaitu pirit yang terbentuk selama proses penggambutan (peatification). Pirit jenis ini biasanya berbentuk framboidal dengan butiran sangat halus dan tersebar dalam material pembentuk batubara (Demchuk, 1992 dalam international journal of coal geology, 1992).
2. Pirit Epigenetik, yaitu pirit yang terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit jenis ini biasanya terendapkan dalam kekar, rekahan dan cleat pada batubara serta biasanya bersifat masif. (Mackowsky, 1968; Gluskoter, 1977; Frankie and Howe, 1987 dalam international journal of coal geology, 1992). Umumnya pirit jenis ini dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara.
Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil reduksi ini biasanya framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan bersama batubara. Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekuensi cleat / rekahan karena kation-kation yang terlarut (dalam hal ini ion Fe) akan terbawa ke dalam batubara oleh aliran air tanah melalui cleat tersebut dan selanjutnya bereaksi dengan sulfur yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuk T.D, dalam International Journal of Coal Geology, 1992).
Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi pembentukannya (Casagrande et.al,1987). Persamaan umum pembentukan pada pirit (Leventhal, 1983 and Berner, 1984 dalam Organic Petrology, 1998) adalah :
Sulfat di atas umumnya berasal dari sedimen laut dangkal yang selanjutnya akan direduksi oleh senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida dengan reaksi sebagai berikut : SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2HCO3 + H2S
Hidrogen sulfida yang terbentuk selanjutnya dioksidasi oleh goethite (FeO.OH), atau hidrogen sulfida yang terbentuk dapat mereduksi ferric iron (FeIII) menjadi ferrous iron (FeII). Oksigen seringkali mampu menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur (S0). Proses oksidasi sulfur ini dapat juga berlangsung dengan media ferric iron (FeIII).
Selain membentuk pirit, unsur sulfur tersebut dapat juga bereaksi dengan sulfida membentuk polisulfida (SSn), yang selanjutnya mungkin akan diperlukan untuk proses pembentukan pirit. Larutan polisulfida ini dapat bereaksi dengan FeS atau Fe3S4 untuk membentuk pirit. Proses terbentuknya sulfur piritik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pH, yaitu semakin tinggi harga pH maka akan mempercepat reaksi karena dalam suasana basa akan banyak ion besi yang terlepaskan. Disamping itu unsur sulfur atau polisulfida juga bisa bereaksi dengan komponen organik batubara membentuk senyawa sulfur organik.
Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam bentuk pirit framboidal) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang dipengaruhi oleh transgresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen yang cukup tebal dan terendapkan sebelum fase transgresi (Cohen A.D dalam Organic Petrology, Taylor G.H, 1998).
2. Sulfur Organik
Sulfur organik merupakan suatu elemen pada struktur makromolekul dalam batubara yang kehadirannya secara parsial dikondisikan oleh kandungan dari elemen yang berasal dari material tumbuhan asal. Dalam kondisi geokimia dan mikrobiologis spesifik, sulfur inorganik dapat terubah menjadi sulfur organik. (Wiser W.H, 2000).
Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik yang keterdapatan dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama proses pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan gambut.
Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur organik, yang pembentukannya berjalan lebih lambat pada lingkungan yang basah atau jenuh air (A.C. Cook, 1982).
Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam menentukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam lingkungan marin atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan desulfotomaculum (Trudinger et.al, dalam Meyers, 1982).
Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau molekul organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0) kemungkinan muncul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi kisi air, di samping itu S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan (Meyers,1982).
Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antara H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam menentukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Meyers, 1982). Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974 ; Bein et.al, 1990 ; Zaback & Pratt dalam Suits and Arthur, 2000).
3. Sulfur Sulfat
Sulfat dalam batubara umumnya ditemui dalam bentuk sulfat besi, kalsium dan barium. Kandungan sulfat tersebut biasanya rendah sekali atau tidak ada kecuali jika batubara telah terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan menjadi sulfat. (Meyers, 1982 and Kasrai et.al, 1996).
Sulfur sulfat juga dapat berasal dari reaksi garam laut atau air payau yang mengisi lapisan dasar yang jaraknya tidak jauh dan berada di atas atau di bawah lapisan batubara. Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada bagian bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan tinggi pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara.
IV. LANGKAH KERJA - Menyalakan Instrumen 1. Menyalakan determinator s-144 DR, dengan menekan tombol on 2. Menyalakan balance, tekan tombol power, tunggu sampai muncul angka pada layar balance 3. Menyalakan computer dan printer 4. Klick ganda icon SC -144DR pada layar destop computer untuk mengaktifkan software 5. Klick diagnostic tunggu sampai semua seting pada ambient monitor tercapai dan stabil (1-2 jam) - Persiapan Analisa 1. Melakukan analisa blangko 2-3 kali sebelum analisa sampel a. Klik add sample, pada kolom name pilih blank (berat 1.000 g otomatis akan dimasukan) b. Klik analyze, setelah muncul perintah untuk memasukan sampel kedalam furnace, tekan ok, maka analisis blangko dimulai 2. Lakukan analisa dengan sampel / standar conditioning 2-4 kali langkah sama dengan analisa sampel 3. Pastika semua methot yang akan digunakan unutuk analisa sampel sudah dikalibrasi Catatan : analisa dengan conditioning dilakukan pada saat memulai analisa atau lama tidak digunakan ataupun saat anhydrone baru diganti - Analisis Sampel 1. Klik add sampel atau tekan tombol F3 pada keyboard untuk menambah jumlah sampel. Pilih Method sesuai dengan analisis yang akan dilakaukan 2. Timbang sampel yang akan dianalaisis a. Letakan sampel boat (cawan) diatas timbangan b. Tekan TARE untuk menera sampai stabil (0.000 gr) c. Letakan sampel yang akan dianalisis kedalam sampel boat (cawan) 0.25 g. sampel dibuat serata mungkin pada cawan d. Tekan tombol print pada balance atau masukan secara manual setelah pemnacaan stabil. 3. Tekan analyze atau F4 pada keyboard untuk mulai analisis 4. Tunggu sampai muncul pesan push the sample boat into furnace kemudian tekan sampel boat (cawan) kedalam furnace sampai menyentuh boat stop. 5. Setelah analisa selesai, keluarkan sample boat (cawan) - Mematikan Peralatan 1. Tutup / keluar dari program SC-144DR, matikan computer 2. Matikan anlyze 3. Tutup tabung gas
V. DATA PENGAMATAN Dilampirkan
VI. ANALISA PERCOBAAN Dari percobaan yang dilakukan dapat dianalisa bahwa kandungan sulfur dari sampel yang digunakan cukup kecil. Dari sampel pertama yang berukuran -170 mash, yang dilakaukan analisa blangko terlebih dahulu, untuk mengetahui alat sudah stabil atau belum. Setelah di dapat angka kesetabilan pada analisa blangko barulah menimbang sampel yang berukuran -170 mash, didapatkan data 1.0020 gram, langsung dilakukan analisa. Pada sampel kedua yang berukuran -200 mash, dengan berat batubara dimasukan dalam boat adalah 1.0831 gram. Diratakan dan dilakukan pemanasan dalam furnace agar batubara terbakar sehingga kadar sulfur dapat diketahui. Begitupula dengan ukuran -20 mash, dengan berat batubara dimasukan dalam boat adalah 1.0155 gram. Diratakan dan dilakukan pemanasan dalam furnace agar batubara terbakar sehingga kadar sulfur dapat diketahui.
VII. KESIMPULAN Dari percobaan ini dapat disimpulkan - Untuk ukuran -20 mash kadar sulfur = 0.97602 - Untuk ukuran -170 mash kadar sulfur = 0.9396 - Untuk ukuran -200 mash kadar sulfur = 0.90112 - Bahwa semakin besar ukuran sampel maka hasil sulfur juga semakin besar
VIII. DAFTAR PUSTAKA Jobsheet penuntun praktikum analisa batubara tahun 2013 palembang