Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan emosi atau kecemasan yang berlebihan dan gangguan kesulitan tidur yang
umumnya dialami oleh ibu hamil pada trimester pertamamenjadi indikasi para ibu hamil
mengkonsumsi golongan obat hipnotik-sedatif jenis diazepam. Diazepam adalah obat
penenang di kelas benzodiazepin dan diperkenalkan pada tahun 1963. Diazepam termasuk
dalam golongan psikotropika, nama dagangnya antara lain Valium. Indikasinya sebagai obat
anti-ansietas, sedatif-hipnotic, dan obat anti-kejang. Kebanyakan obat yang digunakan oleh
ibu hamil dapat melintasi plasenta dan menimbulkan efek farmakologis dan efek teratogenik
pada embrio dan janin yang sedang berkembang.
Pajanan intrauterin tunggal oleh suatu obat dapat memengaruhi struktur janin yang
sedang mengalami perkembangan cepat pada waktu pajanan terjadi. Mekanisme munculnya
efek teratogenik akibat berbagai macam obat disebabkan karena obat dapat memengaruhi
jalannya oksigen atau nutrisi melalui plasenta sehingga berdampak paling besar terhadap
jaringan janin yang paling cepat bermetabolisme. Pajanan suatu teratogen secara
bersinambungan dapat menghassilkan efek kumulatif atau dapat memengaruhi beberapa
organ yang sedang menjalani berbagai tahap perkembangan.
Diazepam diketahui mampu menimbulkan efek teratogenik pada janin yang
mengakibat kelainan pre natal. Contoh pada kasus orofacial, kandungan neurofarmakologis
diazepam dapat memengaruhi tahap perkembangan palatum dan bibir sehingga bayi terlahir
dengan kelainan cleft lip and palate atau celah bibir dan palatum.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui definisi dan struktur diazepam.
2. Mengetahui proses farmakokinetik dan farmakodinamik diazepam.
3. Mengetahui definisi kelainan orofacial cleft lip and palate
4. Mengetahui perkembangan embrio pada pembentukan bibir dan langit-langit.
5. Mengetahui efek teratogenik obat diazepam yang menyebabkan celah bibir dan langit-
langit.


2

1.3 Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah untuk memahami efek teratogenik dari obat sedatif-hipnotik
jenis diazepam yang dikonsumsi oleh ibu hamil sehingga menimbulkan kelainan orofacial
prenatal yaitu celah bibir dan langit-langit. Serta memahami kinerja obat diazepam dan proses
embriologi perkembangan bibir dan langit-langit.




















3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diazepam
Diazepam adalah obat penenang di kelas benzodiazepin dan diperkenalkan pada tahun
1963. Diazepam termasuk dalam golongan psikotropika, nama dagangnya antara lain Valium.
Indikasinya sebagai obat anti-ansietas, sedatif-hipnotic, dan obat anti-kejang. Diazepam
digunakan pada ibu hamil untuk menghilangkan gangguan emosi yang berlebihan yang
dialami pada trimester pertama serta gangguan susah tidur. Efek sampingnya, menimbulkan
rasa kantuk, berkurangnya daya konsentrasi dan waktu reaksi. Diazepam mempunyai waktu
paruh yang panjang (24 s/d 200 jam). (Sweetman et all, 2007)
2.1.1 Struktur Diazepam
Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus molekul 7-kloro-1,3-
dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on. Merupakan senyawa Kristal tidak
berwarna atau agak kekuningan yang tidak larut dalam air. Secara umum , senyawa aktif
benzodiazepine dibagi kedalam empat kategori berdasarkan waktu paruh eliminasinya, yaitu :
(Gillman, 2006)

Gambar 1. Struktur kimia diazepam (Gillman, 2006)
1.Benzodiazepin ultra short-acting
2.Benzodiazepin short-acting, dengan waktu paruh kurang dari 6 jam. Termasuk
didalamnya triazolam, zolpidem dan zopiclone.
4

3.Benzodiazepin intermediate-acting, dengan waktu paruh 6 hingga 24 jam. Termasuk
didalamnya estazolam dan temazepam.
4.Benzodiazepin long-acting, dengan waktu paruh lebih dari 24 jam. Termasuk didalamnya
flurazepam, diazepam dan quazepam.
Dipasaran, diazepam tersedia dalam bentuk tablet, injeksi dan gel rectal, dalam
berbagai dosis sediaan. Beberapa nama dagang diazepam dipasaran yaitu
Stesolid, Valium, Validex dan Valisanbe, untuk sediaan tunggal dan Neurodial,
Metaneuron dan Danalgin, untuk sediaan kombinasi dengan metampiron dalam bentuk
sediaan tablet. (Gillman,2006)
2.1.2 Farmakokinetik Diazepam
2.1.2.1 Absorpsi dan Distribusi
Absorpsi diazepam dan metabolit aktif klorazepat lebih cepat daripada
benzidazepin lain yang umum digunakan. Klorazepat, suatu bakal obat (prodrug),
dikonversi menjadi bentuk aktifnya, yaitu desmetil diazepam, melalui proses
hidrolisis asam di lambung. Sebagian besar barbiturat dan hipnotif-sedatif terdahulu,
demikian juga beberapa hipnotik terbaru (eszopiklon, zaleplon, zolpidem), cepat
diabsorpsi ke dalam darah pada pemberian oral. (Katzung, 2010)
Kelarutan dalam lemak sangat berperan menentukan laju masuknya hipnotif-
sedatif tertentu ke dalam sistem saraf pusat. Semua hipnotif-sedatif melewati sawar
plasenta pada waktu kehamilan. Jika diberikan pada masa prepersalinan, hipnotik-
sedatif dapat menekan berbagai fungsi vital neonatus. Hipnotik-sedatif juga
ditemukan dalam air susu ibu dan dapat menimbulkan efek depresi pada bayi.
(Katzung,2010)
2.1.2.2 Biotransformasi
Metabolisme hati bertanggung jawab terhadap pembersihan semua
benzodiazepin. Kebanyakan benzodiazepin mengalami fase oksidasi mikrosomal
(reaksi fase I), termasuk N-dealkilasi dan hidroksilasi alifatik yang dikatalisis oleh
isozim sitokrom P450, terutama CYP3A4. Metabolitnya kemudian berkonjugasi
(reaksi fase II) membentuk glukoronida ke dalam urine. Namun kebanyakan metabolit
fase I benzodiazepin bersifat aktif, dan beberapa memiliki waktu paruh yang lebih
5

lama. Sebagai contoh desmetildiazepam, yang memiliki waktu paruh eliminasi lebih
dari 40 jam, adalah metabolit aktif diazepam, prazepam dan klorazepat.


Gambar 2. Biotransformasi benzodiazepin (Katzung, 2010)
Hipnotik yang ideal haruslah memiliki mula kerja yang cepat, mampu
mempertahankan tidur sepanjang malam dan tidak meninggalkan efek residu
keesokan harinya. Diantara benzodiazepin yang digunakan sebagai hipnotik,
flurazepam, triazolam dan termazepam yang paling umum digunakan. Quazepam,
diazepam, oxazepam dan lorazepam juga efektif digunakan sebagai hipnotik.
Metabolisme beberapa benzodiazepin yang umum digunakan, seperti diazepam,
midazolam, dan triazolam, dipengaruhi oleh penghambat dan penginduksi isozim
P450 hati. (Dewoto et all, 1995; Katzung, 2010)
2.1.2.3 Ekskresi
Metabolit hipnotik-sedatif larut air, yang sebagian besar dibentuk dari
konjugasi berbagai metabolit fase I, diekskresikan terutama melalui ginjal. Pda
kebanyakan kasus, perubahan fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat
induknya. (Katzung, 2010)


6

2.1.3 Farmakodinamik Diazepam
Kerja benzodiazepin terutama merupakan potensiasi inhibisi neuron dengan
asam gama amino butirat (GABA) sebagai mediator. GABA dan benzodiazepin yang
aktif secara klinis terikat secara selektif dengan reseptor GABA/
benzodiazepin/chlorida ionofor kompleks. Pengikatan ini menyebabkan pembukaan
kanal Cl
-
. Membran sel saraf secara normal tidak permeabel terhadap terhadap ion
klorida, tapi bila kanal Cl
-
terbuka, memungkinkan masuknya ion klorida,
meningkatkan potensial elektrik sepanjang membran sel dan menyebabkan sel sukar
tereksitasi. (Dewoto et all, 1995)
Kemungkinan terbukanya kanal klorida sangat ditingkatkan oleh terikatnya
GABA pada reseptor kompleks tersebut. Benzodiazepin sendiri tidak dapat mebuka
kanal klorida dan mengahambat neuron. Sehingga benzodiazepin merupakan depresan
yang relatif aman, sebab depresi neuron yang memerlukan transmitor bersifat self
limiting. (Dewoto et all, 1995)
2.1.4 Pengobatan Keadaan Ansietas
Respon psikologi, tingkah laku dan fisiologi yang menjadi ciri ansietas dapat
timbul dalam berbagai bentuk. Biasanya, kesadaran psikis yang timbul pada ansietas
disertai dengan peningkatan kewaspadaan, ketegangan motorik dan hyperaktivitas
otonom. Ansietas situasional cenderung membaik sendiri, namun penggunaan
hipnotik-sedatif jangka pendek mungkin cocok dalam mengobati keadaan ini dan
berbagai keadaan ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Serupa dengan
hal tersebut, penggunaan hipnotik-sedatif sebagai pra medikasi sebelum
pembedahan atau tindakan medis yang tidak menyenangkan tepat dilakukan dan
rasional. (Katzung, 2010)
Kecemasan yang berlebihan dan tak beralasan (gangguan cemas menyeluruh,
CGM), gangguan panik, dan agorafobia juga berespons terhadap terapi
medikamentosa yang kadang diberikan bersama psikoterapi. Benzodiazepin tetap
digunakan secara luas dalam tata laksana keadaan cemas akut dan untuk
mengendalikan serangan panik dengan cepat. Obat ini juga digunakan dalam tata
laksana jangka panjang CGM dan gangguan panik. Gejala ansietas mungkin dapat
dipulihkan oleh kebanyakan benzodiazepin, tetapi tidak selalu mudah untuk
7

menunjukkan keunggualan satu obat dari yang lain. Pemilihan benzodiazepin unutk
tatalaksana ansietas didasarkan pada beberapa prinsip farmakologi yang baik : (1)
indeks terapinya relatif tinggi, ditambah adanya flumazenil untuk pengobatan
overdosis. (2) rendahnya resiko interaksi obat yang didasarkan atas induksi enzim
hati. (3) Efek yang minimal terhadap fungsi kardiovaskular atau otonom. (Katzung,
2010)
Kerugian benzodiazepin meliputi resiko ketergantungan, depresi fungsi sistem
saraf pusat, dan efek amnesia. Laporan teratogenitas yang menyebabkan deformitas
janin pasca penggunaan benzodiazepin membenarkan kewaspadaan penggunaan
obat ini selama kehamilan. (Katzung, 2010)
2.1.5 Efek Obat Teratogenik
Kebanyakan obat yang digunakan oleh ibu hamil dapat melintasi plasenta dan
menimbulkan efek farmakologis dan efek teratogenik pada embrio dan janin yang
sedang berkembang. Faktor-faktor penting yang memengaruhi transfer obat ke
plasenta dan efek obat terhadap janin meliputi : (1) sifat fisikokimiawi obat. (2) laju
obat yang melintasi plasenta dan jumlah obat yang mencapai janin. (3) durasi
pajanan obat. (4) ciri distribusi ke berbagai jaringan janin yang berbeda. (5) tahap
perkembangan plasenta dan janin pada waktu terpajan oleh obat. (6) efek obat yang
digunakan dalam kombinasi. (Katzung, 2010)
Pajanan intrauterin tunggal oleh suatu obat dapat memengaruhi struktur janin
yang sedang mengalami perkembangan cepat pada waktu pajanan terjadi.
Mekanisme munculnya efek teratogenik akibat berbagai macam obat disebabkan
karena obat dapat memengaruhi jalannya oksigen atau nutrisi melalui plasenta
sehingga berdampak paling besar terhadap jaringan janin yang paling cepat
bermetabolisme. Pajanan suatu teratogen secara bersinambungan dapat
menghassilkan efek kumulatif atau dapat memengaruhi beberapa organ yang sedang
menjalani berbagai tahap perkembangan. (Katzung, 2010)
2.2 Cleft Lip and Palate
Suatu kelainan bawaan yang terjadi pada bibir bagian atas serta palatummole dan
palatum durum. Kelainan ini adalah suatu ketidaksempurnaan pada penyambungan bibir
bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat dibawah hidung. (Scwarthz,2009)
8

Celah bibir dan langit-langit adalah kelainan bawaan yang terjadi oleh karena tidak
adanya penyatuan (fusi) secara normal dari bibir atau langit-langit pada proses embrional,
yang dapat terjadi sebagian atau sempurna. Posisi normal dari kanalis nasopalatinalis
membagi langit-langit mulut menjadi dua bagian yaitu primary palate dan secondary palate.
Celah yang melibatkan bibir dan tulang alveolar disebut primary palate dan celah yang
melibatkan langit-langit lunak dan langit-langit keras disebut dengan secondary palate.
2.2.1 Etiologi
Etiologi Cleft Lip and Palate adalah multifaktorial dan etiologi Cleft Lip atau celah
bibir belum dapat diketahui secara pasti. Pembentukan bibir terjadi pada masa embrio
minggu keenam sampai minggu kesepuluh kehamilan. Penyebab kelainan ini dipengaruhi
berbagai faktor, disamping faktor genetik sebagai penyebab celah bibir, juga faktor non
genetik yang justeru lebih sering muncul dalam populasi, kemungkinanterjadi satu individu
dengan individu lain berbeda. (Scwarthz,2009)
1. Faktor Genetik
Faktor herediter mempunyai dasar genetik untuk terjadinya celah bibir telah diketahui
tetapi belum dapat dipastikan sepenuhnya. Kruger (1957) mengatakan sejumlah kasus yang
telah dilaporkan dari seluruh dunia tendensiketurunan sebagai penyebab kelainan ini
diketahui lebih kurang 25-30%. Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai
gagalnya mesodermal berproliferasi melintasi garis pertemuan, di mana bagian ini seharusnya
bersatudan biasa juga karena atropi dari pada epithelium ataupun tidak adanya perubahanotot
pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot pada daerah tersebut. Sebagai tanda
adanya hipoplasia mesodermal. Adanya gen yang dominan danresesif juga merupakan
penyebab terjadinya hal ini. Teori lain mengatakan bahwacelah bibir terjadi karena : (Marie,
2009; Bagheri and Chris Jo, 2008)
Dengan bertambahnya usia ibu hamil dapat menyebabkan ketidak kebalanembrio
terhadap terjadinya celah.
Adanya abnormalitas dari kromosom menyebabkan terjadinya malformasikongenital
yang ganda.
Adanya tripel autosom sindrom termasuk celah mulut yang diikuti dengananomali
kongenital yang lain

9

2. Faktor Non-Genetik
Faktor non-genetik memegang peranan penting dalam keadaan krisis dari
penyatuan bibir pada masa kehamilan. Beberapa hal yang berperan
penyebabterjadinya celah bibir : (Shakhroh, 2008)
a. Defisiensi nutrisi

Nutrisi yang kurang pada masa kehamilan merupakan satu hal penyababterjadinya
celah. Melalui percobaan yang dilakukan pada binatang denganmemberikan
vitamin A secara berlebihan atau kurang. Yang hasilnyamenimbulkan celah pada
anak-anak tikus yang baru lahir. Begitu juga dengandefisiensi vitamin riboflavin
pada tikus yang sedang dan hasilnya juga adanya celah dengan persentase yang
tinggi, dan pemberiam kortison pada kelinci yangs edang hamil akan
menimbulkan efek yang sama. (Shakhroh, 2008)

b. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan terlibat dalam clefting (proses terbentuknya celah)
termasuk epilepsi ibu hamil dan obat-obatan teratogen (zat yang dapat
menyebabkan kelainan pada janin, contohnya virus atau bahan kimia), sebagai
contoh steroid, diazepam dan fenitoin, walaupun keuntungan suplemen asam folat
antenatal adalah untuk mencegah celah bibir dan langit-langit tetap samar.
Walaupun kebanyakan celah bibir dan langit-langit muncul sebagai deformitas
tersendiri, rangkaian Pierre Robin tetap merupakan sindroma yang paling sering.
Sindroma ini terdiri dari celah langit-langit tersendiri, retrognathia dan
glossoptosis (lidah displasia posterior), yang dihubungkan dengan kesulitan
pernapasan awal dan pemberian makanan. (Marie, 2009)
Ibu hamil yang merokok telah dihubungkan dengan celah bibir dan langit-
langit pada keturunannya. Studi berbeda mengindikasikan bahwa merokok selama
kehamilan merupakan faktor resiko minor dalam pembentukan celah oral, dan
tergantung dosis. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa mungkin saja ada
interaksi kuat antara variasi gen tertentu antara maternal dan/atau janin dengan
merokok yang dapat menyebabkan celah oral pada janin. Bagaimanapun peneliti
lainnya tidak menemukan adanya hubungan ini. Kortikosteroid, baik digunakan
10

secara topikal maupun sistemik memiliki hubungan dengan peningkatan resiko
pembentukan celah orofasial. (Marie, 2009)
Sebuah studi menemukan bahwa penggunaan dimenhidrinat (sebuah obat anti
mual atau muntah) lebih sering terjadi diantara subjek ibu-ibu dengan celah langit-
langit, dimana besi kelihatannya memiliki efek proteksi melawan kondisi ini.
Sebuah studi menemukan angka kejadian celah oral lebih rendah diantara
keturunan wanita yang pernah mengalami hiperemesis gravidarum (morning
sickness berat dengan muntah). (Marie, 2009)

2.2.2 Embriologi
Celah bibir dan langitan terjadi ketika jaringan yang membentuk bibir danlangit-
langit gagal bersatu selama perkembangan embrio. Terdapat dua tipe celahyaitu celah
bibir dengan atau tidak diikuti dengan celah langitan dan celahlangitan terisolasi.
Keduanya adalah akibat fusi pada dua tahap perkembanganorofacial yang berbeda.
Celah bibir berasal dari gagalnya fusi pada usia 4-6 minggu dalamkandungan
antara prosesus nasalis medialis, lateralis dan premaksila sedangkancelah langitan
berasal dari gagalnya fusi pada usia 8 minggu dalam kandunganantara pembengkakan
palatum lateral/ palatal shelves
2.2.2.1 Perkembangan Bibir dan Langit-langit
Pada akhir minggu keempat, terbentuk lima buah tonjolan pada daerahwajah
yang mengelilingi satu rongga mulut primitif yang disebut stomodeum.Tonjolan
wajah ini disebut juga prosesus fasialis terdiri dari dua buah tonjolanmaksila /
prosesus maxillaris (terletak dilateral stomodeum), dua buah tonjolanmandibula/
prosesus mandibularis (arah kaudal stomodeum) dan tonjolanfrontonasalis / prosesus
frontonasalis (ditepi atas stomodeum). (Langman, 2007)
Prosesus fasialis ini merupakan akumulasi sel mesenkim di bawah permukaan
epitel, yang berperan besar dalam tumbuh kembang struktur orofasial.Adapun kelima
prosesus tersbut memiliki peran penting dalam pembentukanwajah yaitu prosesus
frontonasalis membentuk hidung dan bibir atas, prosesusmaksilaris membentuk
maksila dan bibir dan prosesus mandibularis membentuk mandibula dan bibir bawah.
(Langman, 2007)
11

Pada minggu ke lima di daerah inferior prosesus frontonasalis akanmuncul
nasal placode. Proliferasi mesenkim pada kedua sisi nasal placode akanmenghasilkan
pembentukan prosesus nasalis medialis dan lateralis. Diantara pasangan prosesus
tersebut akan terbentuk nasal pit yang merupakan lubanghidung primitif. Prosesus
maxilaris kanan dan kiri secara bersamaan akanmendekati prosesus nasalis lateral dan
medial. Selama dua minggu berikutnya prosesus maxillaris akan terus tumbuh ke arah
tengah dan menekan prosesusnasalis medialis ke arah midline. Kedua prosesus ini
kemudian akan bersatu danmembentuk bibir atas. Prosesus nasalis lateralis tidak
berperan dalam pembentukan bibir atas tetapi berkembang terus membentuk ala nasi.
(Langman, 2007)
Kegagalan fusi sebagian atau seluruh prosesus maxillaris dengan
prosesusnasalis medialis dapat menyebabkan celah pada bibir dan alveolus baik
unilateral maupun bilateral. (Langman, 2007)

Gambar 3. Gambaran Frontal Embrio Usia 6 Minggu-10 Minggu. A) Gambaran frontal
embriousia 6 minggu. Palatine shelves berada di posisi vertical pada tiap sisi lidah. B) Gambaran
ventral embrio usia 6 minggu. C) gambaran Palatine shelves berada di posisi vertical pada tiapsisi
lidah dengan Scanning electron micrograph, D) Gambaran ventral embrio usia 6 minggu dengan
Scanning electron micrograph
Pada minggu keenam terbentuk lempeng palatum / palatal shelves dari
prosessus maxillaris. Kemudian pada minggu ketujuh lempeng palatum akan bergerak
kearah medial dan horizontal dan berfusi membentuk palatum sekunder. Dibagian
anterior, kedua palatal shelves ini akan menyatu dengan palatum primer.Pada daerah
penyatuan ini terbentuklah foramen insisivum. Proses penyatuan lempeng palatum
12

dan palatum primer ini terjadi antara minggu ke 7 sampai minggu ke 10. (Langman,
2007)
Pada anak perempuan, proses penyatuan ini terjadi satu minggu kemudian.Hal
ini yang menyebabkan celah langitan / cleft palate lebih banyak terjadi pada anak
perempuan. (Langman, 2007)
Celah pada palatum primer terjadi karena kegagalan mesoderm invaginasi ke
dalam celah diantara prosesus maxillaris dan prosesus nasalis medialissehingga proses
penggabungan diantara keduanya tidak terjadi. Sedangkan padacelah pada palatum
sekunder diakibatkan karena kegagalan palatal shelves berfusi satu sama lain.
(Langman, 2007)
2.2.3 Klasifikasi
2.2.3.1 Klasifikasi Kernahan
Klasifikasi Kernahan berdasarkan pada embriologi yang pakai
forameninsisivum sebagai batas yang memisahkan celah pada palatum primer dari
palatum sekunder. Palatum primer terdiri dari bibir atas, tulang alveolar dan palatum
yang terletak dianterior foramen insisivum. Celah komplit pada palatum primer akan
melibatkan semua struktur ini, palatum sekunder terdiri dari palatumkeras dan
palatum lunak dibelakang foramen insisivum. (Lalwani, 2010; Balwaji, 2007)
Klasifikasi ini menggunakan metode strip Y. klasifikasi ini
dikembangkanuntuk mengatasi kekurangan klasifikasi verbal dan numeric dan
memungkinkanidentifikasi kondisi pasien preoperatif secara tepat. (Lalwani, 2010;
Balwaji, 2007)

Gambar 4. Metode Strip Y


13

Keterangan
a) Area 1 dan 4 menunjukkan sisi kanan dan kiri bibir
b) Area 2 dan 5 menunjukkan tulang alveolar
c) Area 3 dan 6 menunjukkan daerah palatum di anterior foramen insisivum
d) Area 7 dan 8 menunjukkan palatum keras
e) Area 9 menunjukkan palatum lunak



Gambar 5. Klasifikasi Kernahan. Area yang diarsir hijau merupakan area yang terdapat celah (Balaji, 2007)
2.2.3.2 Klasifikasi Veau
Veau memperkenalkan metode klasifikasi celah wajah menjadi empat katagori
yaitu : (Lalwani, 2010; Balwaji, 2007)

1. Celah hanya pada jaringan palatum lunak
2. Celah pada jaringan palatum lunak dan keras
3. Celah bibir dan palatum unilateral
4. Celah bibir dan palatum bilateral
14

Klasifikasi ini sangat sederhana dan tetap digunakan sampai saat ini. Namun
demikian Veau tidak memasukkan celah bibir atau celah langitan terisolasi dalam
klasifikasi ini.

2.2.4 Manifestasi Klinis
1.Asupan ASI
Masalah asupan ASI merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi
penderita celah bibir. Adanya celah bibir memberikan kesulitan pada bayi untuk
melakukan hisapan payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi
denganlabioschisis mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral.
Keadaantambahan yang ditemukan adalah refleks hisap dan refleks menelan pada
bayidengan celah bibir tidak sebaik normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak
udara pada saat menyusui. Cara memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin
dapat membantu proses menyusui bayi dan menepuk-nepuk punggung bayi secara
berkala dapat membantu. Bayi yang hanya menderita labioschisis ataudengan celah
kecil pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayidengan
labiopalatochisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. (Lee, 2008;
Shahrokh,2008)
2.Asupan makanan
Pada pasien celah bibir dan langitan terjadi hubungan antara rongga mulutdan
hidung yang berakibat sukarnya penderita dalam menelan makanan atauminuman
dimana penderita bisa tersedak bila tidak menggunakan alat bantuobturator / feeding
plate. Akibatnya pasien biasanya memiliki berat badan kurangdari normal. (Lee,
2008)

3.Pendengaran
Pada pasien dengan celah yang melibatkan bagian posterior palatumdurum
dan palatum molle, otot tensor palatinii dari palatum molle berhubungandengan tuba
eustachius. Lemahnya aktivitas otot ini menyebabkan kurangnyadrainase telinga
tengah yang kemudian berakibat pada infeksi telinga tengah dankadang menyebabkan
rusaknya gendang telinga. (Balaji, 2007; Marie, 2009)


15

4.Fungsi Bicara
Hal ini diakibatkan velopharingeal incompetence. Bagian posterior palatum
molle tidak mampu berkontak secara adekuat dengan posterior faringuntuk menutup
oro naso fasing sehingga suara yang dikeluarkan sengau.Gangguan fungsi bicara
diperberat oleh gangguan pendengaran yang juga dialami penderita celah bibir dan
langitan. (Lahwani, 2010; Marie, 2009)

5.Kelainan dental
Pada pasien celah bibir dan langitan terdapat beberapa kelainan dental yang
mengikutinya, antara lain : (Balaji, 2007)
a. Anodontia partial. .
b. Gigi supernumerary
c. Gigi kaninus impaksi

6.Masalah Psikologis
Pasien dengan celah bibir dan langitan memiliki rasa percaya diri rendahdan
cenderung menutup diri dari pergaulan. Mereka menghindari berbicaradengan orang
lain karena merasa malu suara yang diucapkan sengau dan tidak jelas. Meskipun
demikian tidak ada korelasi langsung antara celah bibir danlangitan dengan tingkat IQ
dan kesuksesan dalam kehidupan.
2.2.5 Diagnosa
2.2.5.1 Diagnosa Prenatal
Deteksi prenatal dapat dilakukan dengan beragam teknik. Fetoskopi
telahdigunakan untuk memberikan gambaran wajah fetus. Akan tetapi teknik ini
bersifat invasif dan dapat menimbulkan resiko menginduksi aborsi. Namun demikian,
teknik ini mungkin tepat digunakan untuk konfirmasi pada beberapa cacat/kelainan
pada kehamilanyang kemungkinan besar akan diakhiri. Teknik lain seperti
ultrasonografi intrauterine, magnetic resonance imaging, deteksikelainan enzim pada
cairan amnion dan transvaginal ultrasonografikeseluruhannya dapat mendeteksi
dengan sukses celah bibir dan celah langit-langit secara antenatal. Tetapi,
pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dibatasi pada biaya, invasifitas dan persetujuan
pasien. Ultrasound transabdominal merupakan alat yang paling sering digunakan pada
deteksi antenatal celah bibir dan celahlangit-langit, yang memberikan keamanan
16

dalam prosedur, ketersediaannya, dan digunakan secara luas pada skrining anatomi
antenatal. (Lahwani, 2010)

Gambar 6. (A) Ultrasonografi pada fetus dengan cleft bilateral , incomplete pada yang kiri, (B)foto anak yang
sama setelah lahir sebelum dioperasi (Lahwani, 2010)
2.2.5.2 Diagnosa Postnatal
Biasanya, celah (cleft) pada bibir dan palatum segera didiagnosa pada saat
kelahiran. Celah dapat terlihat seperti sudut kecil pada bibir atau dapat memanjang
dari bibir hingga ke gusi atas dan palatum. Namun tidak jarang, celah hanya terdapat
pada otot palatum molle, yang terletak pada bagian belakang mulutdan tertutupi oleh
lapisan mulut (mouth's lining) karena letaknya yang tersembunyi, tipe celah ini tidak
dapat didiagnosa hingga beberapa waktu. (Lahwani, 2010)

2.3 Efek Teratogenik Diazepam (Valium) pada Cleft Lip and Palate
Pada ibu hamil penggunaan diazepam sangat tidak dianjurkan karena dapat
berpengaruh pada janin. Kemampuan diazepam untuk melalui plasenta tergantung pada
derajat relativitas dari ikatan protein pada ibu dan janin. Hal ini juga berpengaruh pada tiap
tingkatan kehamilan dan konsentrasi asam lemak bebas plasenta pada ibu dan janin. Efek
samping yang dapat timbul pada bayi neonatus selama beberapa hari setelah kelahiran
disebabkan oleh enzim metabolisme obat yang belum lengakp. Kompetisi antara diazepam
dan bilirubin pada sisi ikatan protein dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada bayi
neonatus serta menyebabkan kecacatan kongenital seperti cleft palate dengan cleft lip
ataupun tanpa cleft lip.
17

Dari berbagai penelitian menggunakan hewan mamalia, telah dikenali sejumlah
agensia toksik penginduksi cleft palate yaitu feniton dan diazepam. Masing-masing agensia
bekerja dengan mekanisme berbeda mengganggu salah satu dari 4 tahap proses palatogenesis
embrio mamalia, yaitu : pertumbuhan awal bilah palatum berupa tonjolan bilateral dari kanan
dan kiri sisi dalam dinding maksila (initial palatal shelves growth), pertumbuhan seperti
mendaki yang menempatkan kedua bilah palatum di atas punggung lidah yang sedang
berkembang ( shelves elevation), pertumbuhan memanjang yang membuat kedua ujung bilah
saling mendekat dari kedua arah hingga terjadi kontak antara kedua ujungnya (horizontal
shelves growth), dan penyatuan kedua ujung bilah menjadi satu kesatuan struktur yang
sinambung membentuk langit-langit mulut yang memisahkan daerah nasofaring dengan
daerah orofaring. (Wyzinski dan Beaty, 1996; Ferguson, 1988)
Penelitian mengkaji keberadaan ekspresi protein S-100 di palatum embrio, yaitu salah
satu CaBP yang diperkirakan berperan ganda, pertama sebagai molekul penentu respons
jaringan palatum terhadap senyawa-senyawa beraktivitas neurofarmakologi, dan kedua, oleh
kerjanya sebagai peregulasi ekspresi protein-protein kontraktif yang diperkirakan sebagai
penentu keberhasilan tumbuh dan gerak jaringan dalam palatogenesis. (Ikura et all, 2002)
Respons sel terhadap senyawa neurofarmakologik adalah terutama berupa osilasi
kadar ion kalsium di dalam sel yang mempengaruhi sekresi neurotransmitter.tetapi pada sisi
lain, osilasi kalsium pada sel-sel tertentu dapat mengaktifkan CaBP. CaBP teraktivasi, dalam
bentuk kompleks senyawa dengan ion kalsium memiliki kemampuan meregulasi mitosis dan
mempengaruhi sejumlah gen. Pada palatogenesis normal, terdapat pola ekspresi protein S-
100 dengan derajat dan sebaran yang berfluktuasi bersesuaian dengan perkembangan
palatum. Gangguan terhadap pola ekspresi ini dapat mempengaruhi keberhasila pertumbuhan
bilah dan akhirnya mempengaruhi keberhasilan penutupan langit-langit mulut. Berbagai
macam senyawa aktif neurofarmakologis yang mekanisme kerjanya berlangsung melalui
osilasi kalsium, diperkirakan dapat mengubah derajat dan pola ekspresi protein CaBP S-100
di palatum, kemungkinan melalui pengalihan sebagian derajat dan pola ekspresinya untuk
fungsi eksositosis neurotransmitter sehingga mengganggu fungsi regulasi ekspresi gen. Jika
pengaruh senyawa-senyawa tersebut memasuki palatum pada saat-saat genting dari
perkembangannya maka induksi cleft palate dapat terjadi. (Swanson et all, 1997; Hutahean,
2005)

18

BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Diazepam adalah obat penenang di kelas benzodiazepin dan diperkenalkan pada tahun
1963. Diazepam termasuk dalam golongan psikotropika, nama dagangnya antara lain Valium.
Indikasinya sebagai obat anti-ansietas, sedatif-hipnotic, dan obat anti-kejang.
Pada ibu hamil penggunaan diazepam tidak dianjurkan karena dapat berpengaruh
pada janin. Kemampuan diazepam untuk melalui plasenta tergantung pada derajat relativitas
dari ikatan protein pada ibu dan janin. Hal ini juga berpengaruh pada tiap tingkatan
kehamilan dan konsentrasi asam lemak bebas plasenta pada ibu dan janin. Efek samping yang
dapat timbul pada bayi neonatus selama beberapa hari setelah kelahiran disebabkan oleh
enzim metabolisme obat yang belum lengkap. Kompetisi antara diazepam dan bilirubin pada
sisi ikatan protein dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada bayi neonatus serta
menyebabkan kecacatan kongenital seperti cleft palate dengan cleft lip ataupun tanpa cleft lip
akibat adanya gangguan ekspresi gen pada protein S-100 yang disebabkan oleh senyawa aktif
neurofarmakologis.
4.2 Saran
Pada masa kehamilan sebaiknya penggunaan obat-obatan jenis hipnotik-sedatif
dihindari atau digunakan dengan hati-hati untuk meminimalisasi efek samping. Suatu dosis
harus diresepkan agar tidak mengganggu aktivitas mental dan fungsi motorik selama terjaga
serta menghindari terjadinya efek teratogenik pada janin. Untuk mengurangi kecemasan,
gangguan susah tidur pada ibu hamil sebaiknya dengan cara menghindari zat perangsang
sebelum istirahat, memastikan suasana tidur yang nyaman, dan istirahat pada waktu yang
teratur tiap malam.




19

DAFTAR PUSTAKA
Anil K. Lalwani.Current diagnosis & treatment in otolaryngology.Head & Neck Surgery New
York: A Lange Medical book 2010: 323-38.
Balaji SM.Textbook of oral & maxillofacial surgery.New Delhi: Elsevier 2007: 493-514.
Dewoto, Herdi R dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Gayabaru press.
Ferguson, M.W.J. 1998. Palate Development. Development 103 (Suppl): 41-60
Fred Goodman Gilman, 2006, Goodman & Gilmans The Pharmacological Basis of
Therapeutics 11
th
Edition (electronic Version), Mc-Graw Hill Medical Publishing
Division, New York.
Hutahean, Salomo. 2005. Ekspresi Protein S-100 di Jaringan Palatum Embrio Mencit (Mus
Muculus L.). Jurnal Komunikasi Penelitian, Jurusan Biologi FMIPA Universitas
Sumatera Utara. Vol.17 (6)
Ikura, M., M. Osawa, J.B. Ames. 2002. The Role of Calcium in The Control of Transcription
: Structure to Function. Bioessays 24 (7): 625-636
K. J. Lee.Essential otolaryngonolgy.Head and Neck Surgery, 9thedition, McGraw Hill 2008:
293-303.
Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta : EGC.
Langman J. Medical embryology.8thed. Baltimore: The Williams & Wilkins Company
Marie M.Pediatric Cleft Lip and Palate Treatment and Management .Medscape reference
2009
Scwartzs. 2009. Manual of surgery.8thed. McGraw Hill
Sean C. Sweetman, et.all., 2007, Martindale : The Complete Drugs Reference 35
th
Edition
(Electronic Version), Pharmaceutical Press, London.
Shahrokh C. Bagheri, Chris Jo.Cleft lip and palate.Clinical Review of Oraland maxillofacial
Surgery. Amerika: Mosby Elsevier 2008: 336-431
Swanson, A.G., A.P. Arkin, J. Ross. 1997. An Endogenous Calcium Oscillator May Control
Early Embryonic Division. PNAS USA 94: 1194-1199

20

Anda mungkin juga menyukai