BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dengue Shock Syndrome
2.1.1 Definsi
Dengue shock syndrome (DSS) adalah sindrom syok yang terjadi pada
penderita Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue.
Dengue Shock Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan
kesehatan masyarakat yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga
merupakan suatu permasalahan klinis, karena 30-50% penderita demam berdarah
dengue akan mengalami renjatan dan berakhir dengan kematian terutama bila tidak
ditangani secara dini dan adekuat.
2.1.2 Etiologi
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus
yang berbeda antigen.Virus ini adalah kelompok Flavivirus dan serotipenya adalah
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi oleh salah satu jenis serotipe ini akan
memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap
serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis DHF dapat
mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya. Dengue adalah penyakit
daerah tropis dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini adalah
nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Faktor resiko penting pada DHF
adalah serotipe virus, dan faktor penderita seperti umur, status imunitas, dan
predisposisi genetis.
Virus dengue yang matur terdiri dari single stranded RNA genom
(ssRNA) yng mempunyai polaritas positif. Genom ini dikelilingi oleh Nucleocapsid
icosahedral dengan diameter 30 nm. Nucleocapsid ini ditutupi oleh suatu lipid
envelope yang tebalnya 10 nm. Genom virus mengandung 3 protein struktural dan
7 protein non struktural. Protein struktural termasuk kapsul protein yang kaya
arginine dan lisin serta protein prM nonglycosylated. Sedangkan protein non
struktural dikenal sebagai NS1-7 yang mempunyai fungsi yang berbeda.
13
2
2.1.3 Insiden
Suatu penelitian di Jakarta oleh Sumarmo (1973-1978) mendapatkan
bahwa penderita DSS terutama pada golongan umur 1-4 tahun (46,5%), sedang
wong (1973) dari singapura melaporkan pada umur 5-10 tahun dan di
Manadoterutama dijumpai pada umur 6-8 tahun kemudian pada tahun 1983
didapatkan terbanyak pada umur 4-6 tahun.
Tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin tetapi kematian lebih banyak
ditemukan pada anak perempuan daripada anak laki-laki.
Jumlah penderita DBD/DHF yang mengalami renjatan berkisar antara 26-
65%, dimana Sumarmo dkk. (1985) mendapatkan 63%, Kho dkk. (1979)
melaporkan 50%, Rampengan (1986) melaporkan 59,4% sedangkan WHO (1973)
melaporkan 65,45% dari seluruh penderita demam berdarah dengue yang dirawat.
2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologi pada Dengue Shock Syndrom ialah tejadinya peninggian
permeabilitas dinding pembuluh darah yang mendadak dengan akibat terjadinya
perembesan plasma dan elekrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan
masuk kedalam ruang interstitial, sehingga menyebabkan hipotensi,
hemokonsentrasi, hipoproteinemia dan efusi cairan ke rongga serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang
sampai kurang lebih 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan hipovolemi
ini bila tidak segera diatasi maka dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis
metabolik, sehingga terjadi pergeseran ion kalium intraseluler ke ekstraseluler.
Mekanisme ini diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot jantung dan venous
pooling, sehingga lebi lanjut akan memperberat renjatan.
Sebab lain kematian penderita DSS ialah perdarahan hebat saluran
pencernaan yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak
diatasi adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh :
3
a. Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
b. Gangguan fungsi trombosit
c. Kelainan system koagulasi, masa tromboplastin partial, masa
protrombin memanjang sedangkan sebagian besar penderita didapatkan masa
thrombin norma. Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII,
IX, X dan fibrinogen.
d. Pembekuan intravaskuler yang meluas (Disseminated Intravascular
Coagulation-DIC).
2.1.5 Manifestasi Klinis
Dengue Shock Syndrome (DSS) menurut klasifikasi WHO (1975)
merupakan demam berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah
dengue dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan.
Renjatan :
Terjadinya renjatan pada DBD biasanya terjadinya pada saat atau setelah
demam menurun yaitu antara hari ke-3 dan ke-7, bahkan renjatan dapat terjadi pada
hari ke-10.
Manifestasi klinik renjatan pada anak terdiri atas :
a. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan
dan hidung.
b. Anak semula rewel, cengeng dan gelisah lambat-laun ksadaran
menurun menjadi apati, spoor dan koma.
c. Peubahan nadi baik frekuensi maupun amplitudonya.
d. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
e. Tekanan sistolik menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
f. Oligouri sampai anuria.
2.1.6 Diagnosis
Hingga kini diagnosis DBD/DSS masih berdasarkan atas
patokan yang telah dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang
terdiri dari 4 kriteria klinik dan 2 kriteria laboratorik dengan syarat
4
bila criteria laboratorik terpenuhi ditambah minimal 2 kriteria klinik
(satu diantaranya ialah panas) seperti yang telah diuraikan diatas.
Derajat I dan II disebut DHF/DBD tanpa renjatan sedang
derajat III dan IV disebut DHF/DBD dengan renjatan atau DSS.
Wong dkk. (1973) juga mengemukakan beberapa tanda dan
gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnosis klinik penderita
dengue shock syndrome, yaitu :
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah
menurun.
3. Nyeri perut
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti
epistaksis, hematemesis, melena, hematuri, dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat
6. Adanya pleural efosion pada toraks foto
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG.
Diagnosa (Kriteria WHO) :
Klinis :
1. Panas 2 7 hari
2. Tanda-tanda perdarahan, paling tidak tes RL yang positif.
3. Adanya pembesaran hepar
4. Gangguan sirkulasi yang ditandai dengan penurunan tekanan
darah, nadi meningkat dan lemah serta akral dingin.
Laboratorium :
1. Terjadi hemokonsentrasi (PCV meningkat > 20 %)\
2. Thrombocytopenia (Thrombocyte <100.000/cmm)
Dengan merujuk kepada pengertian dari DHF Shock (DSS),
yaitu demam berdarah dengue yang disertai dengan gangguan
5
sirkulasi, terdiri dari, maka dapat diperoleh pula kriteria klinis
DSS sebagai berikut
DHF grade III :
1. Tekanan darah sistolik < 80 mmHg
2. Tekanan nadi < 20 mmHg
3. Nadi cepat dan lemah
4. Akral dingin.
DHF grade IV :
1.Shock berat,
2.Tekanan darah tidak terukur, nadi tidak teraba.
2.1.7 Penatalaksanaan
Pada dasarnya bersifat suportif,yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DB dapat berobat jalan,sedangkan
pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa, tetapi pada kasus
DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Fase kritis
pada umunya terjadi pada hari ke-3.
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul akibat demam
tinggi,anoreksia dan muntah. Pasien perlu diberi minum
banyak,50ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama berupa air teh dengan
gula,sirup,susu,sari buah atau oralit. Setelah keadaan dehidrasi dapat
diatasi,berikan cairan rumatan 80-100ml/kgBB dalam 24 jam
berikutnya. Hipererksi dapat diatasi dengan antipiretik,dan bila perlu
surface cooling dengan kompres es dan alkohol 70%.Parasetanol
direkomendasikan untuk mengatasi demam dengan dosis 10-
15mg/kgBB/kali.
6
2.1.8 Komplikasi
1. Perdarahan massif
2. Kegagalan pernapasan akibat udema parau atau kolaps paru
3. Ensefalopati dengue
4. Kegagalan jantung.
2.1.9 Indikaasi Memulangkan Pasien
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
2. Nafsu makan membaik
3. Tampak perbaikan secara klinis
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit >50.000/ml
7. Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura
atau asidosis).
2.1.10 Pencegahan
Pengembangan vaksin untuk dengue sangat sulit karena
keempat jenis serotipe virus bisa mengakibatkan penyakit.
Perlindungan terhadap satu atau dua jenis serotipe ternyata
meningkatkan resiko terjadinya penyakit yang serius.
Saat ini sedang dicoba dikembangkan vaksin terhadap keempat
serotipe sekaligus. sampai sekarang satu-satunya usaha pencegahan
atau pengendalian dengue dan dhf adalah dengan memerangi
nyamuk yang mengakibatkan penularan. A. aegypti berkembang
biak terutama di tempat-tempat buatan manusia, seperti wadah
plastik, ban mobil bekas dan tempat-tempat lain yang menampung
air hujan. nyamuk ini menggigit pada siang hari, beristirahat di
dalam rumah dan meletakkan telurnya pada tempat-tempat air bersih
tergenang.
Pencegahan dilakukan dengan langkah 3M :
7
1. menguras bak air
2. menutup tempat-tempat yang mungkin menjadi tempat berkembang
biak nyamuk
3. mengubur barang-barang bekas yang bisa menampung air.
Di tempat penampungan air seperti bak mandi diberikan
insektisida yang membunuh larva nyamuk seperti abate. Hal ini bisa
mencegah perkembangbiakan nyamuk selama beberapa minggu, tapi
pemberiannya harus diulang setiap beberapa waktu tertentu. di
tempat yang sudah terjangkit dhf dilakukan penyemprotan
insektisida secara fogging, tapi efeknya hanya bersifat sesaat dan
sangat tergantung pada jenis insektisida yang dipakai. Di Samping
itu partikel obat ini tidak dapat masuk ke dalam rumah tempat
ditemukannya nyamuk dewasa. Untuk perlindungan yang lebih
intensif, orang-orang yang tidur di siang hari sebaiknya
menggunakan kelambu, memasang kasa nyamuk di pintu dan
jendela, menggunakan semprotan nyamuk di dalam rumah dan obat-
obat nyamuk yang dioleskan.
2.11 Prognosis
Prognosa penderita tergantung dari beberapa faktor :
1. Sangat erat kaitannya dengan lama dan beratnya renjatan, waktu,
metode, adekuat tidaknya penanganan.
2. Ada tidaknya rekuren syok yang terutama terjadi dalam 6 jam
pertama pemberian infuse dimulai.
3. Panas selama renjatan
4. Tanda-tanda serebral.
BAB IV
8
ANALISA KASUS
Dari anamnesis diketahui bahwa anak telah mengalami demam selama tiga
hari, demam tinggi mendadak, terus menerus, demam naik langsung tinggi, yang
disertai sakit kepala dan nyeri sendi. Kemudian pada demam hari keempat mulai
timbul bintik-bintik merah di selutuh tubuh. Gejala-gejala yang timbul pada anak
tersebut mengindikasikan bahwa anak tersebut mengalami gejala khas Demam
Berdarah Dengue (DBD). Penegakkan diagnosis DBD berdasarkan kriteria WHO,
pada pasien harus terdapat:
1. Demam akut selama 2-7 hari.
2. Adanya minimal satu dari manifestasi perdarahan (uji torniquet positif,
ekimosis, purpura, petekie, perdarahan pada mukosa, traktus
gastrointestinal, lebam pada bekas suntikan, hematemesis, dan melena)
3. Trombositopenia ( 100.000 sel/ mm3)
4. Adanya bukti kebocoran plasma, ditandai dengan:
Kenaikan hematokrit 20% dari hematokrit normal pasien.
Penurunan hematokrit 20% setelah resusitasi cairan.
Adanya efusi pleura, asites, hipoproteinemia.
Pada saat di IGD RSMH anak didiagnosa TDBD grade II, dilakukan uji
laboratorium darah rutin dengan hasil menunjukkan kesan dalam batas normal.
Keesokan harinya penderita dirawat di bangsal Ilmu Kesehatan Anak dengan
diagnosis TDBD grade II. Penderita diberi cairan Ringer Laktat 140cc/jam
(7cc/kgBB/jam). Pemeriksaan laboratorium darah rutin dilakukan untuk
memonitor peningkatan atau penurunan hematokrit, dan trombosit serta dilakukan
kurva suhu untuk mengetahui pola demam dan menghitung diuresis sebagai
respon pengobatan, serta evaluasi tanda vital dan tanda-tanda perdarahan.
. Kurang lebih 12 jam dirawat di bangsal, penderita tampak lebih lemas,
gelisah, demam turun, ada nyeri perut, dan masih timbul bintik-bintik perdarahan di
kulit. Dari hasil laboratorium yang dilakukan saat itu menunjukkan adanya
peningkatan hematokrit dan penurunan trombosit. Kumpulan manifestasi yang
9
diperoleh dari anamnesis mengarah kepada diagnosis syok yang terjadi pada DHF
atau disebut sebagai dengue shock syndrome (DSS).
Kemungkinan diagnosis yang diperoleh dari anamnesis tersebut diperkuat
dengan temuan-temuan pada pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
adanya bukti perdarahan spontan yaitu petekiae di lengan dan tungkai .
Hasil laboratorium saat penderita mengalami fase syok (tanggal 06 Juni
2014) menunjukkan adanya trombositopenia (trombosit 49.000/mm
3
), peningkatan
hematokrit 40%, Leukosit 13000/mm3, Hb 13 gr/dl. Hematokrit 40%
mengkonfirmasi bahwa anak mengalami demam berdarah dengue dengan
manifestasi syok atau yang lebih dikenal sebagai dengue shock syndrome (DSS).
Manajemen pasien saat dirawat di bangsal adalah penanggulangan syok.
Penderita diberi cairan pengganti untuk memperbaiki kekurangan volume plasma
yang terjadi, yaitu dengan cairan Riner Laktat 20 cc/kgBB (400cc) dengan tetesan
secepatnya. Selanjutnya, pemberian cairan tetap diberikan walaupun tanda vital
telah membaik. Penderita diberikan cairan Ringer Laktat maintenance
7ml/kgBB/jam (140ml/jam) dan jumlah tetesan dikurangi bertahap sesuai keadaan
klinis. Cairan intravena dapat dihentikan jika kadar hematoktrit telah turun dan
jumlah urin 1 ml/kgBB/jam atau lebih merupakan keadaan sirkulasi membaik.
10
Gambar 1. Alur penatalaksanaan DSS
11
Penderita diberikan obat penurun panas, berupa Paracetamol tablet dengan
dosis 3x200 mg, jika suhu tubuh penderita >38,5C.
Penderita sempat dirawat di PICU untuk mengantisipasi perubahan sirkulasi
dan metabolik secara intensif. Pemantauan yang dilakukan adalah tanda vital, yaitu
nadi, tekanan darah, respirasi dan temperatur dicatat tiap jam, jumlah dan frekuensi
diuresis (normalnya 2-3 ml/kgBB/jam) serta jumlah cairan yang masuk.
DAFTAR PUSTAKA
1. Noisakran, S and Perng, G.C. 2008. Alternate hypothesis on the
pathogenesis of dengue hemorrhagic fever (DHF)/dengue shock syndrome
(DSS) in dengue virus infection. Exp Biol Med,.233(4):401-8.
12
2. Tantracheewathorn, T and Tantracheewathorn, S. 2007. Risk factors of
dengue shock syndrome in children. J Med Assoc Thai.,90(2):272-7.
3. WHO. 2013. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock
Syndrome In The Context of Integrated Management of childhood Illness.
WHO/FCH/CAH/05.13.
4. Wahono TD., dkk., Demam Berdarah Dengue. Available at ; http://www.dkk-
bpp.com
5. Rampengan T.H., Laurentz I.R., Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997. p.136-157
6. Demam Berdarah Dengue. Available at ; www.medicastore.com
7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985. p.607-21.
8. Behrman RE., et.al. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th edition.Saunders,
Philadelphia.2004
9. Diktat Penyakit Infeksi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar. 2003. p. 39-57.
10. Pedoman Diagnosa dan Terapi Berdasarkan Gejala dan Keluhan. Prosedur
Tetap Standar Pelayanan Medis IRD RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1997.
11. Soegijanto S, et all. Demam Berdarah Dengue. Pedoman Diagnosa dan Terapi
Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1994.
12. Soegijanto S, et all. Seminar Sehari Demam Berdarah Dengue. Surabaya.
1998.
13. Http://www.bhj.org/journal/2001_4303_july01/review_380.htm
14. Panitia Lulusan Dokter 2002-2003 FKUI. 2002. Updates in Pediatrics
Emergences. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Halaman 95-108.