Anda di halaman 1dari 8

IMMUNOBLOTTING

Oleh :
Nanda Ayu Cindyasputri / 125130101111057 / 2012 - D



PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014


Tugas Immunoblotting
1. Sebutkan dan jelaskan langkah kerja dalam Western Blotting!
Jawab : (sumber : Fatchiyah dkk, 2012)
a. Preparasi sample (bertindak sebagai antigen)
Sampel bisa diambil dari kultur sel maupun bagian dari jaringan. Untuk jaringan
yang solid perlu dilakukan penghancuran menggunakna blender atau homogenizer.
Detergen, garam dan buffer juga bisa digunakan untuk melisiskan membrane sel.
Protease dan phospatase inhibitor diberikan untuk mencegah terjadinya pemecahan
jaringan dengan enzimnya sendiri. Persiapan jaringan biasanya dilakukan pada suhu
dingin untuk mencegah degradasi protein. Untuk memisahkan komponen sel dengan
organel, dilakukan sentrifugasi.
b. Separasi protein pada gel elektroforesis
c. Transfer protein dari gel elektroforesis ke membran PVDF atau NC
Transfer protein dari gel ke membran dapat dikerjakan dengan tiga cara, yaitu:
simple diffusion (Gambar A), vacuum-assisted solvent flow (Gambar B), dan
electrophoretic elution (Gambar C dan D). Electrophoretic elution (bisa dikerjakan
dengan 2 sistem yaitu wet transfer (C) atau semi-dry transfer (D)) merupakan teknik
yang banyak dipakai dan direkomendasikan. Bufer transfer dengan kekuatan ionik
lemah dipakai untuk mengurangi panas karena arus. Methanol diperlukan untuk
meningkatkan pengikatan protein pada membran dan mengurangi pelebaran gel
selama proses transfer.

d. Bloking nonspecific binding sites pada membran
Blocking dilakukan untuk mencegah antibody sekunder bereaksi dengan
protein nonspesifik yang masuk pada sampel. Blocking biasanya menggunakan
BSA atau susu skim tanpa lemak pada TBS. Pemberian Tween 20 atau Tritonn X-
100 dapat memperjelas hasil final dari western blot mengurangi false positif.
e. Penambahan antibodi primer dan antibodi sekunder
Antibodi yang dipakai harus mempunyai kespesifikan dan afinitas yang tinggi
(108 1010 / M). Antibodi mungkin lebih mengenal epitop dengan konformasi
protein linier pada blot, karena itulah sampel memerlukan SDS-PAGE.
Antibodi yang dipakai bisa monoklonal ataupun poliklonal. Antibodi poliklonal
biasanya mempunyai afinitas tinggi tetapi mengandung antibodi yang tidak spesifik
yang mungkin dapat mengikat protein yang tidak diketahui pada crude protein.
Pada sistem direct, hanya dibutuhkan antibodi primer yang spesifik mengikat ke
protein sampel (Gambar 1). Pada sistem indirect, selain antibodi primer juga
diperlukan antibodi sekunder anti-IgG yang akan melekat pada antibodi primer.
Antibodi sekunder biasanya diambil dari darah kambing (goat) yang sudah diinjeksi
dengan antibodi kelinci (rabbit) sehingga dinamakan goat anti-rabbit IgG (Gambar
2).
Untuk visualisasi pengikatan tersebut, diperlukan label berupa enzim atau
radioaktif yang dapat dilekatkan pada antibodi primer (untuk direct) atau pada
antibodi sekunder (untuk indirect). Enzim seperti horseradish peroxidase (HRP) atau
alkaline phosphatase (AP) sering dipakai. Alternatif lain, enzim tersebut dapat
dilabel dengan biotin yang akan mengikat streptavidin (avidin) pada HRP atau AP.
Sistem biotin-streptavidin lebih sensitif karena visualisasi sampel teramplifikasi.
Enzim tersebut akan merubah substratnya dari tidak berwarna menjadi berwarna
yang melekat (terpresipitasi) pada tempat dimana terdapat ikatan antibodi primer
dengan protein atau antigennya.


Gambar 1. Tahapan Imunobloting Menggunakan Antibodi Sekunder Berlabel Enzim
(Sistem direct). (A) Proses Transfer (B) Bloking (C) Penambahan Antibodi
berlabel enzim Deteksi (D) Penambahan substrat (E) Substrat dikonversi
menjadi produk insoluble (P).


Gambar 2. Immunobloting menggunakan tiga Macam Antibodi Sekunder. (A)
Antibodi Berlabel HRP (B) Antibodi Berlabel Biotin dengan HRP-
Streptavidin (C) HRP-protein A.
f. Deteksi atau visualisasi pengikatan antigen-antibodi
Hasil visualisasi berupa pita protein dengan berbagai jenis berat molekul yang
dapat digunakan sebagai acuan identifikasi.

2. Jelaskan istilah-istilah berikut :
a. Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal yaitu Ab yang dihasilkan oleh sel limfosit (klone sel
plasma) yang terpilih dan memiliki sifat sangat spesifik. Produksi antibodi
monoklonal merupakan gabungan penerapan teknik hibridoma dan kloning.
Antibodi monoklonal secara immunokimia identik dan memiliki sifat :
homogenitasnya tinggi, tidak ada Ab tidak spesifik, dan mudah dikarakterisasi
(Nurcahyo, 2011).
b. SDS-PAGE
SDS-PAGE merupakan suatu teknik dengan kegunaan yang cukup luas, antara
lain yaitu analisis kemurnian protein, penentuan berat molekul protein, verfikasi
konsentrasi protein, deteksi proteolisis, identifikasi protein imunopresipitasi,
sebagai tahap awal imunobloting, deteksi modifikasi protein, separasi dan
pemekatan protein antigen, separasi protein terlabel radioaktif (Fatchiyah dkk,
2012).
SDS merupakan detergen yang mempunyai sifat polar dan nonpolar yang dapat
mengikat protein sedemikian rupa sehingga bagian nonpolar dari SDS tersembunyi
ke dalam bagian nonpolar (hidrofobik) dari protein dan gugus sulfat dari SDS
yang bermuatan negatif berhubungan langsung atau terekspos pada pelarut
(Fatchiyah dkk, 2012).
SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis)
merupakan gel elektroforesis pendenaturasi. Metode pemisahan protein
berdasarkan ukurannya. Dilakukannya western blot dan deteksi imunologis dari
protein rekombinan setelah itu. Kemudian dapat dievaluasi tingkat ekspresinya dan
keterlarutannya berdasarkan kondisi inkubasi yang berbeda. Ketika tingkat
ekspresi dari protein yang diinginkan tinggi, maka sudah dapat melihat pita
ekspresi yang berlebihan dalam SDS-PAGE setelah pewarnaan coomassie
(Fatchiyah dkk, 2012).
SDS-PAGE terdiri dari poliakrilamid dan ini mengandung dua tipe gel yang
berbeda dengan komposisi yang berbeda : gel penampung mengkonsentrasikan
sampel dalam pita yang tajam; gel bagian bawah memisahkan protein berdasarkan
berat molekulnya (Fatchiyah dkk, 2012).
c. Indirect Assay
Adalah salah satu metode yang digunakan dalam uji western blotting ini.
Dengan adanya antibody primer yang tidak berlabel akan berikatan adengan
antigen yang telah menempel pada membrane atau fase padat. Kemudian antibody
sekunder yang terlabel (dikonjugasikan dengan enzim) akan berikatan dengan
antibody primer yang tidak berlabel dan akan bereaksi dengan substrat. Pada
akhirnya akan menghasilkan produk yang berwarna nantinya akan menunjukan
jumlah dari antigen target yang berada didalam sampel.
d. Sandwich Assay
Adalah suatu metode dalam uji molekuler. Dimana pada membrane atau fase
padat diikatkan antibody primer yang tidak berlabel terlebih dahulu, lalu antigen
yang diberikan akan berikatan dengan antibody primer yang tidak berlabel.
Ditambahkan lagi antibody primer tak berlabel yang sama sebelumnya.
Selanjutnya ditambahkan antibody sekunder yang berlabel yang nantinya akan
berikatan dengan antibody primer yang tak berlabel. Dan pada akhirnya akan
menghasilkan produk yang berwarna jika ditambahkan substrat.
e. Nitrocellulose Membrane
Membrane nitroselulosa adalah membrane yang digunakan dalam imobilisasi
asam nukleat pada uji northerm blots dan southerm blots, selain itu nitroselulosa
banyak digunakan dalam mendukung kegiatan tes diagnostic dimana terjadi ikatan
antigen-antibodi, yaitu pada tes kehamilan, tes U-albumin dan CRP, hal ini karena
glisin dan ion klorida membuat transfor protein lebih efisien. Membran
nitroselulosa bersifat rapuh, kapasitas ikatannya kuat, paling sering digunakan,
bekerja baik diantara protein dan asam nukleat, tidak memerlukan methanol untuk
persiapan.

3. Berikan contoh hasil Western Blotting dan Interpretasi hasil tersebut.
Jawab :
Berikut adalah hasil dari deteksi antigen dari virus Jembrana.
Antigen Virus JD Terlacak dalam Limfosit Darah Tepi
Dalam uji western blotting menggunakan AbMo anti-Ca, antigen virus JD
mulai terdeteksi pada hari ke-4 pasca-infeksi (PI) ditandai dengan munculnya pita
protein yang sangat lemah. Pada hari ke-7 dan 9 pasca infeksi, antigen virus JD dapat
dilacak dengan mudah dalam limfosit darah tepi. Namun, pada hari ke-11, antigen
virus JD mulai sulit dilacak dengan teknik Western Imunoblotting, dan pita protein Ca
khas virus JD intensitasnya mulai lemah. Jika dibandingkan dengan yang terlacak
dalam limpa, pita protein Ca yang terlacak dalam limfosit darah tepi umumnya lebih
lemah. Selain itu, AbMo anti-Ca virus JD mengenali 3 pita protein, yakni dengan
berat molekul 51 Kda, 42 Kda dan 26 Kda (Astawa dkk, 2006).


Gambar 1. Antigen virus JD yang dilacak pada limfosit darah tepi dengan uji
western blotting menggunakan antibodi monoklonal anti-kapsid (AbMo anti-Ca).
Limfosit darah tepi diisolasi dari sapi bali sebelum dan setelah terinfeksi, dianalisis
dengan SDS-PAGE, ditansfer ke membran nitroselulosa dan direaksikan AbMo anti-
Ca. 1-7 : Hari 1, +2, +4, + 5, + 7, + 9 dan +11 pasca infeksi. 8: antigen virus JD limpa
terinfeksi (kontrol positif). 9: prestained standard markers. Protein kapsid terlacak
dengan berat molekul 51 Kda, 42 Kda dan 26 Kda (Astawa dkk, 2006).
Dalam uji western blotting terhadap limfosit darah tepi terinfeksi, AbMo anti-Ca virus
JD mengenali protein dengan berat molekul 26 Kda, 42 Kda dan 51 Kda (Gambar 1). Protein
dengan berat molekul 51 Kda dan 42 Kda sangat mungkin merupakan protein prekursor yang
disandi oleh gen gag dan protein ini kemudian dipecah oleh enzim protease virus menjadi
protein kapsid (p26), protein matriks (p16) dan protein nukleokapsid (p9). Berdasarkan
sekuen neukelotidanya, gen gag virus JD dideduksikan dapat menyandi 3 protein, yaitu
protein kapsid (p26), protein matriks (p16), protein nukelocapsid (p9). Karena protein kapsid
virus JD dalam sel terinfeksi berada dalam dua bentuk, yaitu prekursornya (p51) dan (p42)
protein kapsidnya sendiri (p26), uji WB terhadap sel terinfeksi virus JD menggunakan AbMo
anti-Ca (p26) akan senantiasa mengenali 3 pita protein dengan berat molekul yang berbeda.
Terlacaknya antigen virus JD dalam limfosit darah tepi ternyata berkaitan erat dengan
peningkatan suhu tubuh dan penurunan persentase jumlah leukosit. Ketika sapi menunjukkan
tanda-tanda demam dan jumlah leukosit mulai menurun, antigen virus JD mulai dapat dilacak
dengan teknik western blotting (hari ke-4) dan imunositokimia (hari ke-3). Pada hari ke-7 dan
ke-9 pasca-infeksi ketika suhu tubuh mencapai puncaknya dan jumlah leukosit menjadi sangat
rendah jumlah leukosit terinfeksi juga mencapai persentase tertinggi dan protein kapsid virus
JD sangat mudah dilacak dengan teknik western blotting. Akan tetapi, pada hari ke-11
pascainfeksi, ketika suhu tubuh mulai menurun dan jumlah leukosit mulai meningkat, jumlah
limfosit terinfeksi mulai menurun dan protein khas virus JD yang terlacak dengan teknik
western blotting intensitasnya mulai melemah. Peningkatan suhu tubuh (demam) dan
penurunan jumlah leukosit merupakan 2 indikator awal adanya serangan penyakit Jembrana
pada sapi Bali. Namun, kedua indikator tersebut belum dapat dipakai untuk memastikan
adanya antigen virus JD pada sapi bali yang terserang. Pengunaan AbMo anti Ca virus JD
untuk melacak antigen virus JD dalam limfosit darah tepi, baik dalam uji western blotting dan
imunositokimia, mempunyai nilai diagnosis yang tinggi karena dapat melacak virus JD pada
sapi Bali secara akurat. Selain itu, pelacakan antigen virus JD dengan teknik ini dapat dipakai
mendiagnosis penyakit jembrana pada fase akut dan pada hewan yang masih hidup.
Sehingga didapatkan interpretasi hasil bahwa, dalam uji western blotting ini untuk
deteksi virus Jembrana pada sapi bali hanya dapat dideteksi saat terdapat 2 indikator awal
adanya serangan penyakit Jembrana saja yaitu adanya peningkatan suhu dan penurunan
jumlah leukosit. Uji western blotting ini akan menghasilkan hasil yang cepat dan akurat.
Maka uji western blotting dapat diuji keakuratan dan kecepatannya pada infeksi Sapi Bali fase
akut.

Anda mungkin juga menyukai