Anda di halaman 1dari 5

Dampak Konversi Hutan menjadi Perkebunan Kelapa Sawit

Eksternalitas
Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas merupakan efek
samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi yaitu berupa dampak positif
(positive external effects, external economic) maupun dampak negatif (negative
external effects, external diseconomic). Dampak yang positif misalnya seseorang
yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi
tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi
tersebut. Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan suara.

Dampak konversi hutan alam menjadi kebun kelapa sawit
Indonesia yang beriklim tropika basah memiliki intensitas hujan yang
sangat tinggi. Kondisi curah hujan seperti ini, apabila tidak diimbangi dengan
penata-kelolaan lahan yang baik terbukti berdampak pada kerusakan lahan dan
berbagai bencana lingkungan seperti banjir dan tanah longsor. Sebenarnya alam
telah diciptakan dengan penuh harmoni dan keseimbangan, tingginya intensitas
hujan di wilayah tropis, telah diimbangi dengan penutupan hutan alam yang
begitu luas, kondisi ini telah membuat bumi nusantara dikenal sebagai bumi yang
subur, ijo-royo-royo, gemah-ripah loh jinawi. Sayangnya, hutan alam yang
berperan sebagai gudang sumberdaya genetik dan pendukung ekosistem
kehidupan ini sering menjadi korban kepentingan pragmatis jangka pendek,
termasuk diantaranya adalah konversi menjadi perkebunan kelapa sawit, di lain
pihak masih banyak tersedia lahan lain selain hutan alam, termasuk diantaranya
adalah lahan kritis yang kini telah mencapai 30 juta ha.
Hutan alam, dibandingkan dengan penutupan lahan apapun, memiliki
berbagai kelebihan dalam meredam tingginya intensitas hujan dan mengendalikan
terjadinya banjir, erosi, sedimentasi dan tanah longsor. Hutan alam, khususnya
yang berada di pegunungan bukan hanya berfungsi sebagai pengatur tata air
(regulate water), namun juga penghasil air (produce water). Hutan alam
memberikan kemungkinan terbaik bagi perbaikan sifat tanah, khususnya dalam
menyimpan air, hutan alam memberikan tawaran penggunaan lahan yang paling
aman secara ekologis. Hal ini disebabkan: (1) Pepohonan pada hutan alam
menghasilkan serasah yang cukup tinggi sehingga mampu meningkatkan
kandungan bahan organik lantai hutan, sedemikian rupa sehingga lantai hutan
memiliki kapasitas peresapan air (infiltrasi) yang jauh lebih tinggi dibandingkan
penutupan lahan non-hutan. Tebalnya lapisan serasah juga meningkatkan aktifitas
biologi tanah, sedangkan siklus hidup/pergantian perakaran pohon (tree root
turnover) yang amat dinamis dalam jangka waktu yang lama, membuat tanah
hutan memiliki banyak pori-pori berukuran besar (macroporosity), sehingga
tanah hutan memiliki laju penyerapan air/pengisian air tanah (perkolasi) yang jauh
lebih tinggi; (2) Stratifikasi hutan alam (bervariasinya umur dan ketinggian tajuk
hutan), tingginya serasah dan tumbuhan bawah pada hutan alam memberikan
penutupan lahan secara ganda, sehingga berfungsi efektif untuk mengendalikan
erosivitas hujan (daya rusak hujan), laju aliran permukaan dan erosi; (3) Dari sisi
bentang lahan (landscape), hutan memberikan tawaran penggunaan lahan yang
paling aman secara ekologis, dalam hutan alam sangat sedikit sekali ditemukan
jalan-jalan setapak, tidak ada saluran irigasi, apalagi jalan berukuran besar yang
diperkeras sehingga pada saat hujan besar berperan sebagai saluran drainase.
Biomasa hutan yang tidak beraturan juga berperan sebagal filter pergerakan air
dan sedimen. Di dalam hutan alam juga tidak dilakukan pengolahan tanah yang
membuat lahan lebih peka terhadap erosi. Hutan dalam kondisi yang tidak
terganggu juga lebih tahan terhadap kekeringan sehingga tidak mudah terbakar.
Pembangunan kebun kelapa sawit yang dilakukan dengan mengkonversi
hutan alam, selain merusak habitat hutan alam yang berarti menghancurkan
seluruh kekayaan hayati hutan yang tidak ternilai harga dan manfaatnya, juga
akan merubah landscape hutan alam secara total. Proses ini apabila tidak
dilakukan dengan baik (dan biasanya memang demikian) akan berdampak pada
kerusakan seluruh ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada
dibawahnya. Dampaknya, antara lain adalah meningkatnya aliran permukaan
(surface runoff), tanah longsor, erosi dan sedimentasi. Kondisi ini semakin parah,
apabila pembersihan lahan (setelah kayunya ditebang) dilakukan dengan cara
pembakaran.
Dalam setiap perkebunan yang dikelola secara intensif, rumput dan
tumbuhan bawah secara menerus akan dibersihkan, karena akan berperan sebagai
gulma tanaman pokok. Dilain pihak, rumput dan tumbuhan bawah ini justru
berperan sangat penting untuk mengendalikan laju erosi dan aliran permukaan.
Keberadaan pepohonan yang tanpa diimbangi oleh pembentukan serasah dan
tumbuhan bawah justru malah meningkatkan laju erosi permukaan.
Pembangunan perkebunan memerlukan pembangunan jalan, dari jalan
utama hingga jalan inspeksi, serta pembangunan infrastruktur (perkantoran,
perumahan), termasuk saluran drainase. Kondisi ini apabila tidak dilakukan
dengan baik (lagi-lagi biasanya memang demikian) akan berdampak pada semakin
cepatnya air hujan mengalir menuju ke hilir. Implikasinya, peresapan air menjadi
terbatas dan peluang terjadinya banjir dan tanah longsor akan meningkat.
Di lain pihak, pohon kelapa sawit sebagai pohon yang cepat tumbuh (fast
growing species) dikenal sebagai pohon yang rakus air, artinya pohon ini
memiliki laju evapotranspirasi (penguap-keringatan) yang tinggi. Setiap pohon
sawit memerlukan 20 30 liter air setiap harinya. Dengan demikian konversi
hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi ketersediaan air
khususnya di musim kemarau. Sumber-sumber air di sekitar kebun kelapa sawit
terancam lenyap, seiring dengan pertambahan luas dan bertambahnya umur pohon
kelapa sawit.
Perkebunan kelapa sawit cenderung merusak lingkungan yang ada
melalui konversi hutan dengan berbagai macam dampak kerusakan lingkungan
yang ditimbulkannya. Ini termasuk ke dalam Eksternalitas negatif, karena
berdampak negatif terhadap lingkungan. Dampak terhadap lingkunan hidup dari
penanaman kelapa sawit adalah: Beberapa studi telah menemukan penurunan
jumlah dalam keragaman hayati menyusul diubahnya hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit. Lebih jauh lagi, banyak hewan tak akan masuk ke perkebunan,
namun lainnya, seperti orangutan, menjadi hama tanaman perkebunan
Penggunaan herbisida dan pestisida dapat pula berdampak pada komposisi spesies
dan menjadi polusi di aliran sungai lokal. Dibutuhkan sistem pengeringan yang
dibutuhkan untuk perkebunan bisa menurunkan tingkat air di hutan-hutan
sekitarnya. Selain itu, perusakan lahan gambut meningkatkan resiko datangnya
banjir dan kebakaran. Praktek konversi hutan alam skala besar seringkali menjadi
penyebab utama erosi, tanah lonsor dan kelangkaan sumber air bersih. Serta
banyak berbagai limbah yang akan ditimbulkan dari perkebunan kelapa sawit itu
sendiri bila tidak ditangani dengan bijak.


























Daftar Pustaka

Anonim. 2011. Konversi Hutan ke Perkebunan Kelapa Sawit Picu Perubahan
Iklim dan Dampak Ekologi Lingkungan Akibat Perkebunan Sawit Skala
Besar.. [Serial online] http://bininfor.com/konversi-hutan-ke-
perkebunan-kelapa-sawit-picu-perubahan-iklim-dan-dampak-ekologi-
lingkungan-akibat-perkebunan-sawit-skala-besar/. [ Diakses tanggal 03
Mei 2013].

Maitar, Bustar. 2013.Produsen Minyak Sawit Terbesar di Indonesia Membuka
Jalan. [Serial online].
http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/produsen-minyak-sawit-
terbesar-di-indonesia-m/blog/44341/. [ Diakses tanggal 03 Mei 2013].

Anonim. 2012. Sawit dan Kerusakan Hutan. [Serial online].
http://www.saveindonesia.co/gab_gallery/sawit-dan-kerusakan-hutan/. [
Diakses tanggal 03 Mei 2013].

Anda mungkin juga menyukai