FAKTOR PERUBAHAN KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP KOREA
UTARA TERKAIT KRISIS NUKLIR DI SEMENANJUNG KOREA 2003 - 2007 Oleh : Restik Anggada Pratama - 071112045
Abstrak Setelah berakhirnya Perang Korea pada 1953 tidak serta merta menghilangkan permasalahan di Semenanjung Korea. Kegagalan Agreed Framework sebagai bentuk diplomasi yang digawangi oleh Amerika Serikat pada masa pemerintahan Bill Clinton guna membendung berkembangnya teknologi senjata nuklir Korea Utara yang berujung pada krisis nuklir pada tahun 2003 dan 2006, membuat Amerika Serikat melakukan strategy shifting dengan mengeluarkan Kebijakan Keamanan bagi Kawasan Semenanjung Korea. Dalam penelitian ini, akan dijelaskan tentang faktor apa saja yang mempengaruhi Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan tersebut, dan bagaimana implementasi serta efektivitas dari kebijakan tersebut dalam menangani krisis keamanan di Semenanjung Korea. Dalam menjelaskan rumusan masalah dalam penelitian ini penulis menggunakan teori kebijakan luar negeri dan konsep keamanan nasional serta konsep regional security complex. Hipotesa dalam penelitian ini dirumuskan berdasarkan pada tinjauan pustaka yang penulis lakukan. Berdasarkan data dan indicator yang ada, maka penulis berasumsi bahwa kebijakan keamanan tersebut merupakan tindakan penguatan terhadap politik global Amerika Serikat di kawasan Semenanjung Korea khususnya dan Asia Timur pada umumnya. Disamping itu, kebijakan keamanan Amerika Serikat terhadap Korea Utara merupakan bagian dari strategi Amerika Serikat dalam usahanya menjamin stabilitas keamananan di kawasan Asia Timur di satu sisi dan keamanan nasionalnya di sisi lain. Kebijakan keamanan tersebut didasarkan atas dua factor utama. Factor pertama yakni factor internal, dimana orang-orang terdekat Presiden Amerika Serikat yang turut mempengaruhi pembuatan keputusan. Kemudian factor yang kedua yakni factor eksternal, Pertama, mencegah pembangunan senjata nuklir oleh Korea Utara yang dapat membahayakan stabilitas kawasan dan keamanan nasional Amerika Serikat sendiri dengan pengembangan senjata nuklirnya. Kedua, melindungi kepentingan Amerika Serikat dikawasan tersebut. Ketiga, memberikan payung keamanan terhadap negara-negara aliansi di kawasan Asia Timur.
2 1.1 Latar Belakang Masalah Proses penyelesaian masalah nuklir Korea Utara mulai dilakukan pada masa pemerintahan Bill Clinton. Dimana Amerika Serikat sangat menekankan pendekatan diplomasi terhadap Korea Utara. Pada bulan Oktober 1994 Amerika Serikat sepakat untuk melakukan perundingan bilateral dengan Korea Utara yang kemudian dituangkan dalam sebuah kerangka persetujuan (Agreed Framework) yang bertujuan menghindarkan krisis keamanan militer (Military-Security Crisis) dengan meminta Korea Utara membekukan reaktor Grapit (graphite-moderated reactors) dan fasilitas nuklirnya. Dan sebagai imbalannya Amerika Serikat berkomitmen untuk memberikan bantuan 100 Megawat LWR (Light Water Reactor) dan memberikan suplai minyak 500.000 ton pertahun untuk kebutuhan industri. 1
Terpilihnya Goerge W. Bush sebagai Presiden Amerika Serikat dimana kuatnya pengaruh kaum NeoConservatives telah mengubah pendekatan terhadap penyelesaian masalah nuklir Korea Utara tersebut. Pemerintah Bush tidak terlalu menginginkan pendekatan lunak terhadap Korea Utara. Sehingga kesepakatan yang sudah dituangkan dalam Agreed Framework tersebut semakin tidak diimplementasikan secara utuh oleh Amerika Serikat. 2
Paska serangan 11 September 2001 Amerika Serikat memasukan Korea Utara kedalam negara-negara yang dianggap sebagai musuh Amerika Serikat (Axis of Evil) 3 . Hal tersebut sangat mempengaruhi dalam proses penyelesaian masalah nuklir tersebut. Dalam Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat yang dikeluarkan tahun 2002 telah disebutkan bahwa jika sebuah negara atau kelompok teroris mengembangkan senjata pemusnah masal dan hal itu dinilai mengancam kepentingan Amerika, tanpa menunggu jatuhnya korban, Amerika Serikat akan mengambil kebijakan Pre-Emptive war. 4
Disamping itu juga Amerika Serikat menyatakan bahwa senjata pemusnah masal dalam hal ini senjata nuklir, jika dimiliki oleh negara pembangkang (rogue states) ataupun
1 Pierre Goldschmidt, The Urgent Need to Strengthenthe Nuclear Non-Proliferation Regime, dalam Policy Outlook : Carnegie Endowment for International Peace, Januari 2006. h. 3 2 Ibid 3 Axis of Evil adalah istilah yang awalnya digunakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat George W. Bush di State of the Union pada tanggal 29 Januari 2002 dan sering diulang sepanjang kepresidenannya, menggambarkan pemerintah yang ia dituduh membantu terorisme dan mencari senjata pemusnah massal. Bush mengecap Iran, Irak dan Korea Utara sebagai poros setan. 4 Doktrin Pre-empetive strike merupakan doktrin dalam strategi keamanan AS, yang muncul pasca serangan 9/11 September oleh kelompok teroris Al Qaeda, yang kemudian meluluhlantahkan gedung World Trade Center, yang merupakan lambang supremasi perekonomian AS. Doktrin Pre-empetive strike sendiri berasumsi bahwa lebih baik menyerang dari pada didahului untuk diserang . Hal tersebut telah dilakukan oleh AS ketika pemerintah George W. Bush mengambil keputusan untuk menyerang Afghanistan pada bulan Oktober 2001 dan menghancurkan Irak dalam perang pada bulan Maret 2003. Lihat Opcit. The Report of The Center for Counterproliferations Research, At the Crossroads Counterproliferationand NationalSecurity Strategy, (Washington D.C: NationalDefenceUniversity). h. 186
3 kelompok-kelompok Teroris dianggap sebagai ancaman serius bagi stabilitas kawasan tetapi juga merupakan tantangan sistemik bagi tatanan dunia yang aman. Amerika Serikat tentu sangat khawatir karena sikap Korea Utara yang keras dan tertutup terkait isu nuklir tersebut. Sikap Amerika Serikat tersebut membuka jalan dipilihnya opsi perang sebagai instrument utama kebijakan keamanan Amerika Serikat terhadap Korea Utara seperti yang dilakukan di Irak dan Afghanistan. Kemudian usaha diplomasi dengan Korea Utara yang selama ini dilakukan, tidak lagi menjadi orientasi kebijakan Amerika Serikat terkait permasalahan nuklir ini. 5 Namun pendekatan perang terhadap Korea Utara memiliki risiko yang sangat besar terhadap kondisi keamanan kawasan. Dalam paradigma yang demikian Amerika dihadapkan pada pilihan sulit dalam kebijakan keamanannya yaitu antara membiarkan Korea Utara mengembangkan teknologi senjata nuklirnya, atau dengan menggunakan kebijakan keamanan melalui penggunaan kekuatan militer. Untuk mencegah situasi yang semakin tidak kondusif di Asia Timur, maka dibuatlah sebuah usaha diplomatik. Dalam upaya tersebut, AS sangat berperan dalam mendesak denuklirisasi di Korea Utara, yaitu sebuah proses terwujudnya penghapusan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara. 6 Usaha diplomatik yang dilakukan adalah memprakarsai perundingan multilateral yang dikenal dengan Six Party Talks pada tahun 2003. Six Party Talks yang dibentuk Agustus 2003 merupakan serangkaian upaya multilateral untuk menggandeng Korea Utara kembali bergabung ke dalam meja perundingan yang melibatkan AS, Rusia, Jepang, Cina, Korea Selatan. 7 Six Party Talks ini bertujuan untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara melalui proses negosiasi. Pembicaraan dibangun sebagai respon terhadap pengunduran diri Korea Utara dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir pada Januari 2003. 8
1.2 Rumusan Masalah Dari Latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, penulis dapat menyimpulkan rumusan masalah sebagai berikut: Faktor apa yang menyebabkan perubahan kebijakan keamanan Amerika Serikat di kawasan semenanjung Korea terkait isu nuklir tahun 2003-2007?
5 Ibid 6 Daryl Kimball. 2012. Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy. http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron#1985) 7 De Ceuster, Koen dan Jan Melissen. 2008. Ending The North Korean Nuclear Crisis: Six Parties, Six Perspective. Den Hag: Desiree Davidse. H. 11 8 John Gershman. 2005. The Six Party Talks Agreement. (http://www.fpif.org/reports/the_six -party_talks_agreement)
4
1.3 Tinjauan Pustaka Yeon Bong Jung (2001) dalam bukunya Republic of Korea Army Strategy on Stilts: The U.S. Response to The North Korea Nuclear Issue, mengangkat sebuah permasalahan utama yaitu mengenai kebijakan keamanan pemerintah Amerika Serikat dalam merespon perkembangan nuklir Korea Utara. Setelah kegagalan pada perjanjian Agreed Framework 1994 Amerika Serikat terus melanjutkan upayanya melalui perundingan multilateral untuk menghentikan program nuklir Korea Utara seperti perundingan enam pihak (Six Party Talks) yang dimulai pada tahun 2003 bersama dengan China, Rusia, Jepang, Korea Utara dan Korea Selatan. Namun perundingan tersebut mengalami hambatan setelah Pyongyang mengakui bahwa telah memiliki senjata nuklir dan menagguhkan perundingan sampai batas waktu yang tidak ditetapkan. Awalnya perundingan tersebut penuh membawa optimisme setelah Cina sebagai salah satu Major Power dan kekuatan berpengaruh serta aliansi dekat Korea Utara di kawasan menjadi tuan rumah perundingan. Selama krisis disemenanjung Korea yang terjadi pada Oktober 2002 pemerintah Bush mengadopsi dua prinsip dasar kebijakan yaitu bahwa Amerika Serikat tidak dapat menerima kekurangan dalam pemeriksaan dan verifikasi nuklir Korea Utara yang kurang dari lengkap. Kedua perundingan harus dilakukan dengan format multilateral yang sebetulnya tidak diinginkan oleh Korea Utara. Timothy S. Reed (2002) dalam The Korean Security Dilemma: Shifting Strategies Offer A Way membahas mengenai tinjauan terhadap permasalahan dilemma keamanan (security dillema) disemenanjung Korea sejak bergulirnya perang tahun 1950-1953. Amerika Serikat yang memiliki pengaruh dan kepentingan di kawasan merasa bahwa Korea Utara merupakan ancaman serius bagi masa depan keamanan dikawasan semenanjung Korea dan akan berdampak pula pada kawasan Asia Timur secara keseluruhan.dalam menghadapi ancaman Korea Utara tersebut Amerika Serikat, dilihat dari sudut pandang realis, tetap mengedepankan opsi militer apabila Korea Utara menyerang Korea Selatan yang secara keamanan sangat bergantung kepada Amerika Serikat. Leon V. Sigal (2003) dalam bukunya Disarming Strangers: Nuclear Diplomacy with North Korea membahas mengenai bagaimana kebijakan Amerika Serikat terhadap ketidakpatuhan negara-negara yang tergabung dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dalam komitmennya untuk mematuhi segala hal-hal yang menjadi prinsip dasar
5 dalam pembentukan rejim Nuclear Non-proliferation treaty. Hal tersebut berdampak pada pesismisme terhadap efektivitas dari NPT itu sendiri. Masing-masing negara yang dalam hal yang menyangkut kepentingan nasional terus merongrong legitimasi dan aturan internasional dalam membatasi penyebaran persenjataan nuklir tersebut. Iran misalnya mengganggap bahwa, dengan memiliki persenjataan nuklir akan bisa survive dan bertahan ditengah tekanan tekanan negara negara besar yang dari segi militer sangat kuat seperti Amerika. Hal tersebut juga dilakukan oleh Korea Utara, yang selama menjadi negara anggota NPT sejak tahun 1985 selalu menolak inspeksi yang dilakuakan IAEA. Kebijakan keamanan Amerika Serikat pasca perang dingin, dikatakan bahwa tidak ingin untuk terlalu mengedepankan kebijakan militer, karena ancaman yang ada dianggap tidak lagi kredibel. Namun ortodoksi terhadap karakteristik kebijakan Amerika Serikat masih tetap ada, yaitu tidak kooperativnya Amerika Serikat terhadap Negara-negara bandel yang memiliki program senjata nuklir. Dikatakan Sigal bahwa kebijakan Amerika Serikat politik luar negeri Amerika Serikat akan efektif berjalan apabila strategi kebijakan kerjasama Amerika Serikat tetap dilakukan namun juga tidak mengesampingkan strategi kebijakan koersif, misalnya embargo ekonomi ataupun militer walaupun kedua-duanya tetap. Kebijakan Diplomatic Give and Take yang menggabungkan jaminan dengan syarat timbal balik, dengan menjanjikan rangsangan dalam bentuk perbaikan ekonomi namun dengan syarat bahwa negara pemilik nuklir seperti Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya. Tim Beal (1998) dalam bukunya North Korea: The Struggle Against American Power mengangkat masalah yang menyangkut masalah dinamika hubungan Amerika dan Korea Utara yang pasca berakhirnya konfrontasi pada tahun 1950-1953 semakin gencar. Terutama setelah Amerika Serikat mengetahui tentang usaha Korea Utara mengembangkan pengayaan Uranium yang berpotensi dikembangkan menjadi persenjataan nuklir. Namun dalam perkembangannya posisi Amerika dalam permasalahan nuklir Korea Utara ini tetap berhati-hati dalam merespon setiap perkembangan yang dilakukan oleh Korea Utara. Dalam buku ini juga dianalisis mengenai usaha Amerika dan Korea Utara dalam menyelesaikan permasalahan Nuklir yang dipandang oleh Amerika Serikat sangat mengancam kepentingan nasionalnya di kawasan semenanjung Korea. Karena walupun kawasan ini tidak terlalu banyak memiliki sumber daya alam seperti sumber minyak dan gas tetapi secara geostrategis wilayah ini dipandang oleh Amerika sangat memiliki posisi yang strategis. Upaya Amerika Serikat-
6 Korea Utara yang tertuang dalam Agreed Framework 1994 menjadi moment terpenting dalam penyelesaian konflik antar kedua negara yang walaupun secara prinsip tidak dipatuhi oleh Korea Utara namun tetap memberikan keyakinan bagi Amerika untuk terus menggunakan jalur diplomasi terhadap Korea Utara. Amerika Serikat sejak dan pasca perang dingin tetap melihat bahwa upaya diplomasi dengan Korea Utara merupakan prioritas. setelah ditandatanginya Agreed Framework hingga dilakukannya perundingan enam pihak Six Party Talks. Dinamika yang berkembang tidak terlalu mempengaruhi posisi Korea Utara sebagai negara pemilik nuklir. Walaupun secara ekonomi Korea Utara masih merupakan negara miskin, namun kebijakan bantuan Amerika tetap tidak mengubah posisi Korea Utara untuk tetap memiliki nuklir.
1.4 Kerangka Konseptual 1.4.1 Teori Kebijakan Luar Negeri dan Konsep Keamanan Nasional Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit internasional lain, dan diarahkan untuk mencapai tujuan nasional. Kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara memang bertujuan untuk mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya meskipun kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentukan oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu. 9 Menurut Rosenau, kebijakan luar negeri ditujukan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. 10 Dari pemikiran tersebut dapat dilihat bahwa kebijakan Amerika Serikat terhadap Semenanjung Korea dibuat untuk meraih tujuan-tujuan nasional Amerika Serikat di kawasan tersebut. Pemikir Realis menempatkan keamanan sebagai derivasi dari power atau sebagai turunan dari power. 11 Kondisi keamanan dapat di peroleh suatu negara jika sebuah Negara tersebut berupaya untuk menggunakan segenap power yang dimiliki untuk mencapai posisi dominan dalam hubungannya dengan aktor lain dan sekaligus dapat mengatasi sumber-sumber instabilitas yang dapat menggangu keamanan nasionalnya. Pemikir yang memandang keamanan sebagai turunan dari
9 Mochtar Masoed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta, LP3ES, 1994), hlm. 184 10 James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An Introduction. New York: The Free Press, hal 27. 11 Lihat coulombis dan wolfe, Pengantar Hubungan Internasional, Bandung:Abardin, 1990, h. 86-89
7 power ialah Barry Buzan yang membagi konsep keamanan menjadi dua yaitu konsep keamanan yang berdiri sendiri dan konsep keamanan yang memiliki kaitan dengan sistem internasional. 12 Jika ia berdiri sendiri maka keamanan didefinisikan sebagi kebebasan dari ancaman. Namun jika terkait dengan sistim internasional maka konsep keamanan berhubungan dengan untuk mempertahankan identitas kemandirian dan integrasi fungsional mereka. Konsekuensinya ialah konsep keamanan bersifat relasional dalam arti bersifat dinamis mengikuti pola interaksi antar negara dalam sistim internasional. 13
Keamanan memiliki beberapa karakteristik, yaitu: Pertama, keamanan bukanlah suatu konsep dengan dimensi tunggal tetapi memiliki dimensi yang beragam. Hyde-Price menyebut bahwa ada lima dimensi yaitu dimensi militer dan politik yang merpakan dimensi utama yang di sertai oleh dimensi ekonomi, social kemasyarakatan, dan lingkungan hidup. Kelima dimensi keamanan ini akan mempengaruhi dinamika sistem internasional dalam arti perubaan dalam tingkat internasional, dengan Negara sebagai unit primernya, akan menentukan stabilitas internasional. 14
Karakteristik kedua ialah keamanan bersifat relatif tidak absolut. Suatu negara selalu berada dalam keadaan aman dan tidak aman. Kerelatifan konsep keamanan ini melahirkan konsep security dillema. Konsep ini berintikan bahwa usaha untuk meningkatkan power suatu negara dengan pertimbangan keamanan akan menurunkan derajat keamanan negara lain. Karakteristik ketiga adalah keamanan berkaitan dengan power. Dan karena power hanya terdapat dalam situasi dimana ada minimal interaksi antara dua aktor maka keamanan merupakan konsep yang relasional artinya keamanan merupakan suatu fungsi yang terjadi ketika ada interaksi antara dua subjek atau lebih. Karakteristik keempat ialah secara inheren keamanan memiliki nilai, tujuan, dan kepentingan tertentu yang ingin diraih. Nilai dan, tujuan dan kepentingan tersebut tertuang dalam kebijakan keamanan nasional yang dipandu oleh pemilikan power untuk mencapai kepentingan nasional tertentu. Berdasarkan uraian diatas maka upaya yang dilakukan suatu negara untuk mengunakan kemampuan yang dimilikinya dalam rangka penciptaan keamanan nasional terwujud dalam kebijakan
12 Barry Buzan, People, States and Fear, Second Edition, (London:Harvester wheatsheaf),1991. H. 18-19 13 Mohammed Ayoob, The Security Problematic Of The Third World, World Politics, no. 43, Januari 1991. Hal. 25 14 Adrian Hyde-Price, European Security Beyond The Cold War : Four Scenario For The Year 2010, London : The royal Of International Affairs, 1991.H 10 - 11
8 keamanan nasional negara tersebut. Kebijakan keamanan nasional berisi tentang: (1) kepentingan nasional dan (2) sumber-sumber ancaman dari negara lain yang dapat mengganggu usaha pencapaian kepentingan nasional tersebut. 15
Amerika Serikat memiliki kepentinagn besar didalam Kawasan Asia Timur. Kepentingan nasional tersebut meliputi kepentingan ekonomi dan keamanan. Disamping itu dengan semakin berkembangnya kekuatan nuklir Korea Utara, Amerika Serikat juga sangat fokus terhadap keamanan nasionalnya, terutama dari kepemilikan misil jarak jauh Korea Utara. Sementara itu paradigm serangan terorisme pada 11 September membuat Amerika Serikat sangat concern dengan masalah penyebaran nuklir yang akan membawa dampak yang sangat berbahaya bagi Amerika Serikat sendiri. Amerika Serikat melihat bahwa sumber ancaman dari negara lain dapat mengganggu kepentingan nasional serta keamanan nasionalnya datang dari Korea Utara. Perkembangan nuklir Korea Utara yang mengalami perkembangan signifikan merupakan tantangan keamanan yang sangat serius bagi Amerika Serikat dan negara aliansi di kawasan. Amerika Serikat menganggap pengembangan senjata nuklir untuk tujuan politik dan militer oleh Korea Utara sangat mungkin mengancam kepentingan nasional Amerika Serikat. Oleh karena itu, Amerika Serikat mengedepankan beberapa pendekatan untuk menyelesaiakan isu tersebut, diantaranya : (1) engagement yaitu meningkatkan kerjasama dan hubungan bilateral , dengan merangkul kekuatan-kekuatan utama di dalam kawasan terutama dengan Cina, Rusia, Jepang, dan Korea Selatan untuk berperan dalam persoalan keamanan di kawasan. Kemudian (2) perundingan multilateral yaitu membentuk sebuah perundingan dengan melibatkan negara-negara dikawasan untuk menyelesaikan masalah nuklir tersebut. 16
1.4.2 Regional Security Complex Barry Buzan dalam teorinya mengatakan bahwa kawasan merupakan sebuah sub sistem dalam hubungan keamanan yang signifikan dan terpisah, yang berada antara kelompok negara yang terikat dalam kedekatan geografis satu dengan yang lainnya. Relasi antar Negara didalam suatu kawasan dapat dilihat
15 Ibid 16 Wu Xinbao, US Security Policy In East Asia,(Shanghai : Asia Foundation,2003) h. 12 - 14
9 melalui dua hal yaitu Amity dan enmity. 17 Amity (persahabatan) merupakan hubungan yang mengatur dari pertemanan antar negara menjadi sebuah hubungan yang lebih baik dan dekat dan diharapkan menuju pada perlindungan dan dukungan dalam hal keamanan sedangkan enmity adalah hubungan yang dibentuk negara- negara didalam kawasan yang dilatarbelakangi oleh rasa saling curiga dan ketakutan. 18
Barry Buzan mendefinisikan regional security complex sebagai sebuah kelompok negara dalam satu kawasan dimana fokus utama dalam konteks keamanannya berhubungan erat antar satu negara dengan negara yang lainnya. 19
Kompleksitas Keamanan adalah fenomena yang berakar pada faktor sejarah, geopolitik dan hasil interaksi antar negara. Kompleksitas keamanan kawasan merupakan sebuah definisi dari pola hubungan amity (pertemanan) dan enmity (permusuhan) yang terjadi dalam ruang lingkup geografis terbatas yang biasanya merupakan hasil dari efek hubungan permusuhan dalam jangka waktu yang lama dimasa lalu. Dalam melakukan analisis kompleksitas keamanan kawasan dapat digunakan empat level yaitu 20
1. kondisi keamanan kawasan bersumber pada kondisi keamanan domestik di sebuah negara. Apabila negara tersebut mengalami ketidak stabilan maka dikhawatirkan akan berdampak pada kondisi keamanan negara lain. 2. kondisi keamanan kawasan terbentuk oleh hubungan satu negara dengan negara lain dikawasan tersebut. 3. keamanan dikawasan dipengaruhi oleh interaksi yang terbangun oleh sebuah kawasan dengan tetangga dikawasan lain. 4. keamanan kawasan terbentuk oleh kekuatan global yang berperan dikawasan tersebut. Karena sifatnya yang terbatas pada lingkup geografis kawasan dan sifat dari keamanan Kawasan yang bertahan lama terdapat tiga kemungkinan evolusi 21 : 1. Mempertahankan staus quo mempertahankan status quo dalam arti bahwa tidak ada perubahan signifikan yang dapat merubah struktur keamanan kawasan.
17 Barry Buzan, Opcit. H. 188-189 18 Ibid. H. 190 19 Buzan dan Ole Weaver, Regions and Power: The Structure of International Security, (United Kingdom: Cambridge University Press), 2003. H. 45 20 Ibid. H. 51 21 Ibid. H. 53
10 2. Transformasi internal merupakan sebuah perubahan keamanan kawasan yang terjadi dan disebabkan oleh actor didalam kawasan tersebut, tanpa adanya campur tangan dari aktor diluar kawasan tersebut 3. Transformasi eksternal terjadi apabila ada aktor yang berada diluar geografis kawasan ikut campur atau ikut serta dalam merubah inti yang membentuk keamanan kawasan. Dalam konteks transformasi eksternal, pengaruh Amerika Serikat sangat memainkan peranan penting Dalam konteks transformasi eksternal, pengaruh Amerika Serikat sangat memainkan peranan penting dalam menciptakan kondisi keamanan di kawasan Semenanjung Korea. Intervensi Amerika Serikat tersebut diimplementasikan dalam keterlibaan Amerika Serikat dalam menekan Korea Utara. Skema Alur Pemikiran
1.5 Hipotesa Diterapkannya doktrin Pre-emptive War oleh George W. Bush setelah memasukan Korea Utara kedalam kategori Axis of Evil Faktor External Faktor Internal Six-Party Agreement on North Korean Nuclear Program (Beijing Agreement) Kegagalan Agreed Framework Six Party Talks
11 Dari rumusan masalah dan tinjauan pustaka diatas, maka penulis merumuskan hipotesa penelitian sebagai berikut: Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi perubahan kebijakan Amerika Serikat terkait krisis nuklir Semenanjung Korea: Pertama, Faktor Internal. Keputusan George W. Bush sebagai decision maker dipengaruhi oleh lima pihak yang mewakili lembaga yakni Wakil Presiden, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Penasehat Keamanan Nasional, serta Chairman Joint Chiefs of Staff yang menginginkan adanya peningkatan kapasitas diplomasi menjadi multilareal dan bukan menggunakan pendekatan militer. Kedua, Faktor Eksternal yang meliputi: 1. Perubahan kebijakan tersebut merupakan tindakan penguatan terhadap politik global Amerika Serikat di kawasan Semenanjung Korea khususnya dan Asia Timur pada umumnya. 2. Kebijakan keamanan Amerika Serikat terhadap Korea Utara merupakan bagian dari strategi Amerika Serikat dalam usahanya menjamin stabilitas keamananan di kawasan Asia Timur di satu sisi dan keamanan nasionalnya di sisi lain.
1.6 Metodologi Penelitian 1.6.1 Operasionalisasi Konsep 1.6.1.1 Proses Pembuatan Kebijakan Dalam perumusan kebijakan luar negeri AS, presiden tidak dapat melepaskan diri dari masukan-masukan yang diberikan para penasihatnya, baik staf pribadi yang berkantor di Gedung Putih maupun para anggota kabinet yang tergabung dalam National Security Council (NSC). Tidak tertutup kemungkinan, para penasihat itu tidak sekadar memberikan masukan tentang kebijakan luar negeri yang harus diambil Amerika Serikat, tapi juga menanamkan pengaruh agar presiden mengikuti nasihat yang diajukannya. Dalam merumuskan kebijakan luar negerinya Bush mendapat pengaruh dan saran informal dari lima pihak yang mewakili lembaga, yaitu; Wakil Presiden: Dick Cheney; Menteri luar Negeri: Colin Powell (2001- 2005), Condoleezza Rice (2005); Menteri Pertahanan: Donald Rumsfeld (2001-2006), Robert Gates (2006). Penasehat Keamanan Nasional:
12 Condoleezza Rice (2001-2005); serta Chairman Joint Chiefs of Staff: Richard Myers. Pemerintahan Bush menyatakan bahwa sesungguhnya krisis nuklir Korea Utara ini tidak hanya merupakan permasalahan internal Amerika Serikat saja, tetapi juga merupakan permasalahan internasional. 22 Oleh karenanya isu ini akan dapat diselesaikan dengan upaya-upaya kesepakatan dari komunitas internasional. Pemerintah Amerika pada periode ini telah meningkatkan kapasitas diplomasinya dengan melakukan pendekatan kepada Korea Selatan, Jepang, Rusia dan khususnya Cina sebagai upaya menekan Korea Utara untuk menghentikan segala aktivitas nuklirnya. Pada periode pemerintahan Bush, Amerika Serikat lebih berkonsentrasi untuk mengupayakan diplomasi Track One-nya pada jalur multilateral. Presiden Bush menyatakan pendekatan secara multilateral akan lebih tepat dan efektif dari pada pembicaraan bilateral antara Amerika Serikat dan Korea Utara. 23 Tercatat dalam periode waktu April 2003 hingga September 2007 Amerika mengupayakan diplomasi multilateral dengan mengajak Jepang, Cina, Korea Selatan dan Rusia. Perundingan pun digelar melalui Tri Party talks dan Six Party talks. Namun sebelum Bush melangkah kepada pendekatan multilateral, tercatat ada dua kali pertemuan bilateral. Yakni kunjungan perwakilan Korea Utara kepada Gubernur New Mexico, Richardson, pada 11 Januari 2002 dan kunjungan James Kelly ke Pyongyang pada Oktober 2002. Tercatat pula beberapa kali pertemuan bilateral berlangsung dalam perundingan Six Party Talks. Meskipun terdapat beberapa pendekatan diplomasi secara bilateral, pemerintahan Bush lebih berminat untuk melakukan diplomasi dalam kerangka multilateral. Pemerintahan Bush sebisa mungkin menghindari terjadinya negosiasi bilateral dengan Korea Utara karena pemerintahan Bush menilai Korea Utara sering kali melanggar perjanjian yang telah dibuat bersama.
1.6.1.2 Kebijakan Keamanan Amerika Serikat di Semenanjung Korea 2003- 2007
22 www.usinfo.state.gov/xarchives/ display.html, diakses pada 12 September 2014 23 ibid
13 Upaya Amerika Serikat untuk menyelesaikan krisis nuklir di Semenanjung Korea sebenarnya sudah dimuai pada masa pemerintahan Bill Clinton. Dimana Amerika Serikat sangat menekankan pendekatan diplomasi terhadap Korea Utara. Pada bulan Oktober 1994 Amerika Serikat sepakat untuk melakukan perundingan bilateral dengan Korea Utara yang kemudian dituangkan dalam sebuah kerangka persetujuan (Agreed Framework) yang bertujuan menghindarkan krisis keamanan militer (Military-Security Crisis) dengan meminta Korea Utara membekukan reaktor Grapit (graphite-moderated reactors) dan fasilitas nuklirnya. 24
Meskipun perjanjian Agreed Framework pada 1994 gagal, Amerika Serikat terus melanjutkan upayanya melalui perundingan multilateral untuk menghentikan program nuklir Korea Utara seperti perundingan enam pihak (Six Party Talks) yang dimulai pada tahun 2003 bersama dengan China, Rusia, Jepang, Korea Utara dan Korea Selatan. Namun perundingan tersebut mengalami hambatan setelah Pyongyang mengakui bahwa telah memiliki senjata nuklir dan menagguhkan perundingan sampai batas waktu yang tidak ditetapkan. 25
Setelah serangan 11 September 2001 Amerika Serikat memasukan Korea Utara kedalam negara-negara yang dianggap sebagai musuh Amerika Serikat. Hal tersebut sangat mempengaruhi dalam proses penyelesaian masalah nuklir tersebut. Dalam Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat yang dikeluarkan tahun 2002 telah disebutkan bahwa jika sebuah negara atau kelompok teroris mengembangkan senjata pemusnah masal dan hal itu dinilai mengancam kepentingan Amerika, tanpa menunggu jatuhnya korban, Amerika Serikat akan mengambil kebijakan Pre-Emptive war. 26
Disamping itu juga Amerika Serikat menyatakan bahwa senjata pemusnah masal dalam hal ini senjata nuklir, jika dimiliki oleh negara pembangkang (rogue states) ataupun kelompok-kelompok Teroris dianggap sebagai ancaman serius bagi stabilitas kawasan tetapi juga merupakan tantangan sistemik bagi tatanan dunia yang aman.
24 Pierre Goldschmidt, The Urgent Need to Strengthenthe Nuclear Non-Proliferation Regime, dalam Policy Outlook : Carnegie Endowment for International Peace, Januari 2006. h. 3 25 Yeon Bong Jung. 2001. Republic of Korea Army Strategy on Stilts: The U.S. Response to The North Korea Nuclear Issue. International Journal of Korean Studies Vol. 20 No.2. h.4 26 Opcit. The Report of The Center for Counterproliferations Research, At the Crossroads Counterproliferationand NationalSecurity Strategy, (Washington D.C: NationalDefenceUniversity). h. 186
14 1.6.1.3 Stabilitas Keamanan Regional Dalam Membentuk Konstruksi Sosial di Kawasan Amerika Serikat memiliki kepentinagn besar didalam Kawasan Asia Timur. Kepentingan nasional tersebut meliputi kepentingan ekonomi dan keamanan. Amerika Serikat melihat bahwa sumber ancaman dari negara lain dapat mengganggu kepentingan nasional serta keamanan nasionalnya datang dari Korea Utara. Perkembangan nuklir Korea Utara yang mengalami perkembangan signifikan merupakan tantangan keamanan yang sangat serius bagi Amerika Serikat dan negara aliansi di kawasan. Amerika Serikat menganggap pengembangan senjata nuklir untuk tujuan politik dan militer oleh Korea Utara sangat mungkin mengancam kepentingan nasional Amerika Serikat. Oleh karena itu, Amerika Serikat mengedepankan beberapa pendekatan untuk menyelesaiakan isu tersebut, diantaranya : (1) engagement yaitu meningkatkan kerjasama dan hubungan bilateral , dengan merangkul kekuatan-kekuatan utama di dalam kawasan terutama dengan Cina, Rusia, Jepang, dan Korea Selatan untuk berperan dalam persoalan keamanan di kawasan. Kemudian (2) perundingan multilateral yaitu membentuk sebuah perundingan dengan melibatkan negara-negara dikawasan untuk menyelesaikan masalah nuklir tersebut. 27
Dalam konteks transformasi eksternal, pengaruh Amerika Serikat sangat memainkan peranan penting dalam menciptakan kondisi keamanan di kawasan Semenanjung Korea. Intervensi Amerika Serikat tersebut diimplementasikan dalam keterlibaan Amerika Serikat dalam menekan Korea Utara. Intervensi Amerika Serikat sebagai actor luar kawasan ini memainkan peranan penting dalam membentuk konstruksi social di dalam Kawasan Semenanjung Korea.
1.6.2 Tipe Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian deskriptif yakni penelitian yang dimaksudkan untuk membuat deskripsi serta menjelaskan fenomena, situasi, dan kejadian. 28 Artinya penelitian ini berusaha menjelaskan mengenai faktor yang menyebabkan Amerika Serikat
27 Wu Xinbao, US Security Policy In East Asia,(Shanghai : Asia Foundation,2003) h. 12 - 14 28 Suryabrata, Sumadi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press., Pp. 75
15 mengeluarkan kebijakan keamanan serta bagaimana kemudian implementasi dari kebijakan Amerika Serikat tersebut dalam melihat paradigma perkembangan program senjata nuklir Korea Utara. 1.6.3 Jangkauan Penelitian Jangkauan dalam penelitian ini adalah sejak tahun 2003-2007 dimana pada periode ini terjadi krisis nuklir pada tahun 2003 dan 2006 yang menyebabkan Amerika Serikat menganggap hal ini sebagai ancaman stabilitas keamanan kawasan dan melakukan shifting strategy guna membendung perkembangan nuklir Korea Utara. 1.6.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan data primer berupa pengumpulan dokumen-dokumen penting seperti dokumen NSSA, dokumen Agreed Framework, dokumen KEDO, dokumen Strategi Keamanan Amerika Serikat di Asia Pasifik, serta dokumen-dokumen hasil six party talks. Adapun data yang merupakan sumber data sekunder yang berasal dari buku, jurnal, internet, serta media massa yang juga membahas mengenai kebijakan keamanan Amerika Serikat dalam menyelesaikan isu tersebut. 1.6.5 Teknik Analasis Data Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif guna menghubungkan konsep serta menjawab rumusan masalah dan membuktikan hipotesis. Dalam analisis data kualitatif peneliti menyusun secara sistematis data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, tinjauan pustaka atau studi literature, serta data-data lainnya melalui cara mengorganisasikan data kedalam kategori, dan menyusunnya ke dalam suatu pola dan menyajikannya dalam bentuk kalimat. 29 Dengan teknik analisis data ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai seberapa jauh data mendukung hubungan antar variabel dalam penelitian ini. 1.6.6 Sistematika Penulisan
29 Miles, MB and AM Huberman. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. SAGE. Baverly Hills., Pp. 129
16 Dalam upaya memberikan pemahaman mengenai isi dari penelitian secara menyeluruh, maka penelitian ini dibagi menjadi 4 bab yang terdiri dari bab dan sub-bab yang saling berkaitan satu sama lain. Bab-bab tersebut antara lain: BAB I: Pendahuluan Bab satu berisikan sub-bab latar belakang permasalahan seperti isu sejarah pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara serta kebijakan yang ambil oleh Amerika Serikat dalam merespon permasalahan tersebut dimasa sebelumnya. Selain tinjauan sejarah sub-bab latar belakang ini juga berisi permasalahan pokok, tujuan, serta manfaat penelitian. Sub-bab lainnya adalah kerangka pemikiran, yang berisikan tinjauan pustaka, kerangka teori, operasionalisasi konsep, asumsi, serta hipotesa penelitian. Sub-bab terakhir dalam bab ini adalah metode penelitian yang berisikan jenis penelitian, sumber data, teknik penulisan, serta sistematika penulisan. BAB II: Perkembangan Program Senjata Nuklir Korea Utara dan Perspektif Ancaman Amerika Serikat Bab ini akan menjelaskan kompleksitas keamanan di Semenanjung Korea serta, yang didalamnya membahas mengenai pengembangan nuklir Korea Utara serta ancaman yang dimiliki. Kemudian intervensi Amerika Serikat dalam proses transformasi keamanan yang membahas kebijakan dalam Agreed Framework dan KEDO. Disamping itu, dalam bab ini juga akan dipaparkan bentuk-bentuk kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat terkait program Nuklir Korea Utara. BAB III : Implementasi Bush Doctrin dan Proses Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Korea Utara Bab ini akan membahas mengenai bagaimana kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush terhadap Korea Utara. Bagaimana Bush Doctrine dijalankan dan apa saja yang mempengaruhi Amerika Serikat dalam membuat kebijakan terkait program Nuklir Korea Utara. BAB IV: Penutup Bab ini merupakan jawaban dari pokok permasalahan penelitian tentang factor dibalik dikeluarkannya kebijakan keamanan Amerika Serikat serta bagaimana implementasi kebijakan keamanan Amerika Serikat di Semenanjung Korea terkait penyelesaian masalah kepemilikan senjata nuklir Korea Utara. Bab ini berisi hasil pengujian hipotesis serta kesimpulan dari penelitian.
17 DAFTAR PUSTAKA Buku Beal, Tim. 1998. North Korea : The Struggle Against American Power. Princeton: Princeton University Press Brown, Christoper. 2007. East Asia In Transition: US Interests In East Asia. Southern Center For International Studies. Buzan, Barry. 1991. People, States and Fear, Second Edition. London:Harvester wheatsheaf. Buzan, Barry and Ole Weaver. 2003. Regions and Power: The Structure of International Security. United Kingdom: Cambridge University Press. De Ceuster, Koen dan Jan Melissen. 2008. Ending The North Korean Nuclear Crisis: Six Parties, Six Perspective. Den Hag: Desiree Davidse. Flint, Colin. 2006. Introduction to Geopolitics. London: Routledge. Gilpin, Robert. 2001. The Study of International Political Economy, dalam Global Political Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton: Princeton University Press Haas, Ernst B. 1971. The Study of Regional Integration: Reflections on the Joy and Anguish of Pretheorizing. In L. Lindberg, and S. Scheingold (eds) Regional Integration: Theory and Research. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. Hudson, Valerie M. 2007. The Levels of National Attributes and International System: Effects on Foreign Policy in: Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary Theory. London: Rowman & Littlefield. Hyde-Price, Adrian. 2010. European Security Beyond The Cold War: Four Scenario For The Year 2010. London: The royal Of International Affairs James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An Introduction. New York: The Free Press Moleong, LJ. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Munthe, E. R. 2001. Politik Luar Negeri Korea Selatan Era Presiden Kim Dae Jung. Yogyakarta: UPN Nopirin. 1997. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
18 Reed, Timothy S. 2002. The Korean Security Dilemma: Shifting Strategies Offer A Way. Oxford: Oxford University Press Salvatore, Dominick. 1992. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga. Sigal, Leon V. 2003. Disarming Strangers: Nuclear Diplomacy with North Korea. New Jersey: Princeton University Press. Strausz-Hup, Robert. 1942. Geopolitics: The Struggle for Space and Power. New York: G.P. Putnams Sons Stueck, William. 1995. The Korean War An International History. New Jersey: Princeton University Press. Suryabrata, Sumadi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press. Yoon, Y. S., dan Setiawati, N. A. 2003. Sejarah Korea Sejak Awal Abad hingga Masa Kontemporer. Yogyakarta: UGM Press
Jurnal Charles, Wolf. 2005. North Korea Paradoxes. Hoover Institution Press. Carter, Aidan Foster. 2013. North Korea: Questions and Solutions in 2013, dalam Strategic Review January-March 2013 Vol. 3 No. 1. Etzioni, Amitai. 2011. A Paradigm for Study of Political Unification. World Politics Journal Vol. 15, No. 1 Falleti, Sebastien dan James Hardy. 2013. US, South Korea agree North Korea contingency plan, Janes Defence Weekly Hardy, James dan Sebastien Falleti. 2013. Rhetoric heats up on Korean Peninsula, Janes Defence Weekly. Miles, MB and AM Huberman. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. SAGE. Baverly Hills. Pierre Goldschmidt. 2006. The Urgent Need to Strengthenthe Nuclear Non-Proliferation Regime, dalam Policy Outlook: Carnegie Endowment for International Peace Yeon Bong Jung. 2001. Republic of Korea Army Strategy on Stilts: The U.S. Response to The North Korea Nuclear Issue. International Journal of Korean Studies Vol. 20 No.2.
19
Internet Daryl Kimball. 2012. Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy. (http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron#1985) diakses pada 22 September 2014 John Gershman. 2005. The Six Party Talks Agreement. (http://www.fpif.org/reports/the_six -party_talks_agreement) diakses pada 22 September 2014