Anda di halaman 1dari 19

1

FAKTOR PERUBAHAN KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TERHADAP KOREA


UTARA TERKAIT KRISIS NUKLIR DI SEMENANJUNG KOREA 2003 - 2007
Oleh : Restik Anggada Pratama - 071112045

Abstrak
Setelah berakhirnya Perang Korea pada 1953 tidak serta merta menghilangkan
permasalahan di Semenanjung Korea. Kegagalan Agreed Framework sebagai bentuk
diplomasi yang digawangi oleh Amerika Serikat pada masa pemerintahan Bill Clinton guna
membendung berkembangnya teknologi senjata nuklir Korea Utara yang berujung pada krisis
nuklir pada tahun 2003 dan 2006, membuat Amerika Serikat melakukan strategy shifting
dengan mengeluarkan Kebijakan Keamanan bagi Kawasan Semenanjung Korea. Dalam
penelitian ini, akan dijelaskan tentang faktor apa saja yang mempengaruhi Amerika Serikat
mengeluarkan kebijakan tersebut, dan bagaimana implementasi serta efektivitas dari
kebijakan tersebut dalam menangani krisis keamanan di Semenanjung Korea. Dalam
menjelaskan rumusan masalah dalam penelitian ini penulis menggunakan teori kebijakan luar
negeri dan konsep keamanan nasional serta konsep regional security complex.
Hipotesa dalam penelitian ini dirumuskan berdasarkan pada tinjauan pustaka yang
penulis lakukan. Berdasarkan data dan indicator yang ada, maka penulis berasumsi bahwa
kebijakan keamanan tersebut merupakan tindakan penguatan terhadap politik global Amerika
Serikat di kawasan Semenanjung Korea khususnya dan Asia Timur pada umumnya.
Disamping itu, kebijakan keamanan Amerika Serikat terhadap Korea Utara merupakan
bagian dari strategi Amerika Serikat dalam usahanya menjamin stabilitas keamananan di
kawasan Asia Timur di satu sisi dan keamanan nasionalnya di sisi lain. Kebijakan keamanan
tersebut didasarkan atas dua factor utama. Factor pertama yakni factor internal, dimana
orang-orang terdekat Presiden Amerika Serikat yang turut mempengaruhi pembuatan
keputusan. Kemudian factor yang kedua yakni factor eksternal, Pertama, mencegah
pembangunan senjata nuklir oleh Korea Utara yang dapat membahayakan stabilitas kawasan
dan keamanan nasional Amerika Serikat sendiri dengan pengembangan senjata nuklirnya.
Kedua, melindungi kepentingan Amerika Serikat dikawasan tersebut. Ketiga, memberikan
payung keamanan terhadap negara-negara aliansi di kawasan Asia Timur.

Kata Kunci: Kebijakan Keamanan, Shifting Strategy, Keamanan nasional, Regional Security
Complex

2
1.1 Latar Belakang Masalah
Proses penyelesaian masalah nuklir Korea Utara mulai dilakukan pada masa
pemerintahan Bill Clinton. Dimana Amerika Serikat sangat menekankan pendekatan
diplomasi terhadap Korea Utara. Pada bulan Oktober 1994 Amerika Serikat sepakat untuk
melakukan perundingan bilateral dengan Korea Utara yang kemudian dituangkan dalam
sebuah kerangka persetujuan (Agreed Framework) yang bertujuan menghindarkan krisis
keamanan militer (Military-Security Crisis) dengan meminta Korea Utara membekukan
reaktor Grapit (graphite-moderated reactors) dan fasilitas nuklirnya. Dan sebagai
imbalannya Amerika Serikat berkomitmen untuk memberikan bantuan 100 Megawat
LWR (Light Water Reactor) dan memberikan suplai minyak 500.000 ton pertahun untuk
kebutuhan industri.
1

Terpilihnya Goerge W. Bush sebagai Presiden Amerika Serikat dimana kuatnya
pengaruh kaum NeoConservatives telah mengubah pendekatan terhadap penyelesaian
masalah nuklir Korea Utara tersebut. Pemerintah Bush tidak terlalu menginginkan
pendekatan lunak terhadap Korea Utara. Sehingga kesepakatan yang sudah dituangkan
dalam Agreed Framework tersebut semakin tidak diimplementasikan secara utuh oleh
Amerika Serikat.
2

Paska serangan 11 September 2001 Amerika Serikat memasukan Korea Utara
kedalam negara-negara yang dianggap sebagai musuh Amerika Serikat (Axis of Evil)
3
.
Hal tersebut sangat mempengaruhi dalam proses penyelesaian masalah nuklir tersebut.
Dalam Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat yang dikeluarkan tahun 2002 telah
disebutkan bahwa jika sebuah negara atau kelompok teroris mengembangkan senjata
pemusnah masal dan hal itu dinilai mengancam kepentingan Amerika, tanpa menunggu
jatuhnya korban, Amerika Serikat akan mengambil kebijakan Pre-Emptive war.
4

Disamping itu juga Amerika Serikat menyatakan bahwa senjata pemusnah masal dalam
hal ini senjata nuklir, jika dimiliki oleh negara pembangkang (rogue states) ataupun

1
Pierre Goldschmidt, The Urgent Need to Strengthenthe Nuclear Non-Proliferation Regime, dalam Policy Outlook :
Carnegie Endowment for International Peace, Januari 2006. h. 3
2
Ibid
3
Axis of Evil adalah istilah yang awalnya digunakan oleh mantan Presiden Amerika Serikat George W. Bush di State of the
Union pada tanggal 29 Januari 2002 dan sering diulang sepanjang kepresidenannya, menggambarkan pemerintah yang ia
dituduh membantu terorisme dan mencari senjata pemusnah massal. Bush mengecap Iran, Irak dan Korea Utara sebagai
poros setan.
4
Doktrin Pre-empetive strike merupakan doktrin dalam strategi keamanan AS, yang muncul pasca serangan 9/11 September
oleh kelompok teroris Al Qaeda, yang kemudian meluluhlantahkan gedung World Trade Center, yang merupakan
lambang supremasi perekonomian AS. Doktrin Pre-empetive strike sendiri berasumsi bahwa lebih baik menyerang dari
pada didahului untuk diserang . Hal tersebut telah dilakukan oleh AS ketika pemerintah George W. Bush mengambil
keputusan untuk menyerang Afghanistan pada bulan Oktober 2001 dan menghancurkan Irak dalam perang pada bulan
Maret 2003. Lihat Opcit. The Report of The Center for Counterproliferations Research, At the Crossroads
Counterproliferationand NationalSecurity Strategy, (Washington D.C: NationalDefenceUniversity). h. 186

3
kelompok-kelompok Teroris dianggap sebagai ancaman serius bagi stabilitas kawasan
tetapi juga merupakan tantangan sistemik bagi tatanan dunia yang aman. Amerika Serikat
tentu sangat khawatir karena sikap Korea Utara yang keras dan tertutup terkait isu nuklir
tersebut.
Sikap Amerika Serikat tersebut membuka jalan dipilihnya opsi perang sebagai
instrument utama kebijakan keamanan Amerika Serikat terhadap Korea Utara seperti
yang dilakukan di Irak dan Afghanistan. Kemudian usaha diplomasi dengan Korea Utara
yang selama ini dilakukan, tidak lagi menjadi orientasi kebijakan Amerika Serikat terkait
permasalahan nuklir ini.
5
Namun pendekatan perang terhadap Korea Utara memiliki
risiko yang sangat besar terhadap kondisi keamanan kawasan. Dalam paradigma yang
demikian Amerika dihadapkan pada pilihan sulit dalam kebijakan keamanannya yaitu
antara membiarkan Korea Utara mengembangkan teknologi senjata nuklirnya, atau
dengan menggunakan kebijakan keamanan melalui penggunaan kekuatan militer.
Untuk mencegah situasi yang semakin tidak kondusif di Asia Timur, maka
dibuatlah sebuah usaha diplomatik. Dalam upaya tersebut, AS sangat berperan dalam
mendesak denuklirisasi di Korea Utara, yaitu sebuah proses terwujudnya penghapusan
kepemilikan senjata nuklir Korea Utara.
6
Usaha diplomatik yang dilakukan adalah
memprakarsai perundingan multilateral yang dikenal dengan Six Party Talks pada tahun
2003. Six Party Talks yang dibentuk Agustus 2003 merupakan serangkaian upaya
multilateral untuk menggandeng Korea Utara kembali bergabung ke dalam meja
perundingan yang melibatkan AS, Rusia, Jepang, Cina, Korea Selatan.
7
Six Party Talks
ini bertujuan untuk mengakhiri program nuklir Korea Utara melalui proses negosiasi.
Pembicaraan dibangun sebagai respon terhadap pengunduran diri Korea Utara dari
Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir pada Januari 2003.
8


1.2 Rumusan Masalah
Dari Latar belakang masalah yang dipaparkan diatas, penulis dapat menyimpulkan
rumusan masalah sebagai berikut:
Faktor apa yang menyebabkan perubahan kebijakan keamanan Amerika Serikat di
kawasan semenanjung Korea terkait isu nuklir tahun 2003-2007?

5
Ibid
6
Daryl Kimball. 2012. Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy.
http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron#1985)
7
De Ceuster, Koen dan Jan Melissen. 2008. Ending The North Korean Nuclear Crisis: Six Parties, Six Perspective. Den
Hag: Desiree Davidse. H. 11
8
John Gershman. 2005. The Six Party Talks Agreement. (http://www.fpif.org/reports/the_six -party_talks_agreement)

4

1.3 Tinjauan Pustaka
Yeon Bong Jung (2001) dalam bukunya Republic of Korea Army Strategy on Stilts:
The U.S. Response to The North Korea Nuclear Issue, mengangkat sebuah permasalahan
utama yaitu mengenai kebijakan keamanan pemerintah Amerika Serikat dalam merespon
perkembangan nuklir Korea Utara. Setelah kegagalan pada perjanjian Agreed Framework
1994 Amerika Serikat terus melanjutkan upayanya melalui perundingan multilateral
untuk menghentikan program nuklir Korea Utara seperti perundingan enam pihak (Six
Party Talks) yang dimulai pada tahun 2003 bersama dengan China, Rusia, Jepang, Korea
Utara dan Korea Selatan. Namun perundingan tersebut mengalami hambatan setelah
Pyongyang mengakui bahwa telah memiliki senjata nuklir dan menagguhkan perundingan
sampai batas waktu yang tidak ditetapkan. Awalnya perundingan tersebut penuh
membawa optimisme setelah Cina sebagai salah satu Major Power dan kekuatan
berpengaruh serta aliansi dekat Korea Utara di kawasan menjadi tuan rumah perundingan.
Selama krisis disemenanjung Korea yang terjadi pada Oktober 2002 pemerintah Bush
mengadopsi dua prinsip dasar kebijakan yaitu bahwa Amerika Serikat tidak dapat
menerima kekurangan dalam pemeriksaan dan verifikasi nuklir Korea Utara yang kurang
dari lengkap. Kedua perundingan harus dilakukan dengan format multilateral yang
sebetulnya tidak diinginkan oleh Korea Utara.
Timothy S. Reed (2002) dalam The Korean Security Dilemma: Shifting Strategies
Offer A Way membahas mengenai tinjauan terhadap permasalahan dilemma keamanan
(security dillema) disemenanjung Korea sejak bergulirnya perang tahun 1950-1953.
Amerika Serikat yang memiliki pengaruh dan kepentingan di kawasan merasa bahwa
Korea Utara merupakan ancaman serius bagi masa depan keamanan dikawasan
semenanjung Korea dan akan berdampak pula pada kawasan Asia Timur secara
keseluruhan.dalam menghadapi ancaman Korea Utara tersebut Amerika Serikat, dilihat
dari sudut pandang realis, tetap mengedepankan opsi militer apabila Korea Utara
menyerang Korea Selatan yang secara keamanan sangat bergantung kepada Amerika
Serikat.
Leon V. Sigal (2003) dalam bukunya Disarming Strangers: Nuclear Diplomacy
with North Korea membahas mengenai bagaimana kebijakan Amerika Serikat terhadap
ketidakpatuhan negara-negara yang tergabung dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty
(NPT) dalam komitmennya untuk mematuhi segala hal-hal yang menjadi prinsip dasar

5
dalam pembentukan rejim Nuclear Non-proliferation treaty. Hal tersebut berdampak pada
pesismisme terhadap efektivitas dari NPT itu sendiri. Masing-masing negara yang dalam
hal yang menyangkut kepentingan nasional terus merongrong legitimasi dan aturan
internasional dalam membatasi penyebaran persenjataan nuklir tersebut. Iran misalnya
mengganggap bahwa, dengan memiliki persenjataan nuklir akan bisa survive dan
bertahan ditengah tekanan tekanan negara negara besar yang dari segi militer sangat
kuat seperti Amerika. Hal tersebut juga dilakukan oleh Korea Utara, yang selama menjadi
negara anggota NPT sejak tahun 1985 selalu menolak inspeksi yang dilakuakan IAEA.
Kebijakan keamanan Amerika Serikat pasca perang dingin, dikatakan bahwa tidak ingin
untuk terlalu mengedepankan kebijakan militer, karena ancaman yang ada dianggap tidak
lagi kredibel. Namun ortodoksi terhadap karakteristik kebijakan Amerika Serikat masih
tetap ada, yaitu tidak kooperativnya Amerika Serikat terhadap Negara-negara bandel yang
memiliki program senjata nuklir. Dikatakan Sigal bahwa kebijakan Amerika Serikat
politik luar negeri Amerika Serikat akan efektif berjalan apabila strategi kebijakan
kerjasama Amerika Serikat tetap dilakukan namun juga tidak mengesampingkan strategi
kebijakan koersif, misalnya embargo ekonomi ataupun militer walaupun kedua-duanya
tetap. Kebijakan Diplomatic Give and Take yang menggabungkan jaminan dengan syarat
timbal balik, dengan menjanjikan rangsangan dalam bentuk perbaikan ekonomi namun
dengan syarat bahwa negara pemilik nuklir seperti Korea Utara untuk menghentikan
program nuklirnya.
Tim Beal (1998) dalam bukunya North Korea: The Struggle Against American
Power mengangkat masalah yang menyangkut masalah dinamika hubungan Amerika dan
Korea Utara yang pasca berakhirnya konfrontasi pada tahun 1950-1953 semakin gencar.
Terutama setelah Amerika Serikat mengetahui tentang usaha Korea Utara
mengembangkan pengayaan Uranium yang berpotensi dikembangkan menjadi
persenjataan nuklir. Namun dalam perkembangannya posisi Amerika dalam
permasalahan nuklir Korea Utara ini tetap berhati-hati dalam merespon setiap
perkembangan yang dilakukan oleh Korea Utara. Dalam buku ini juga dianalisis
mengenai usaha Amerika dan Korea Utara dalam menyelesaikan permasalahan Nuklir
yang dipandang oleh Amerika Serikat sangat mengancam kepentingan nasionalnya di
kawasan semenanjung Korea. Karena walupun kawasan ini tidak terlalu banyak memiliki
sumber daya alam seperti sumber minyak dan gas tetapi secara geostrategis wilayah ini
dipandang oleh Amerika sangat memiliki posisi yang strategis. Upaya Amerika Serikat-

6
Korea Utara yang tertuang dalam Agreed Framework 1994 menjadi moment terpenting
dalam penyelesaian konflik antar kedua negara yang walaupun secara prinsip tidak
dipatuhi oleh Korea Utara namun tetap memberikan keyakinan bagi Amerika untuk terus
menggunakan jalur diplomasi terhadap Korea Utara.
Amerika Serikat sejak dan pasca perang dingin tetap melihat bahwa upaya
diplomasi dengan Korea Utara merupakan prioritas. setelah ditandatanginya Agreed
Framework hingga dilakukannya perundingan enam pihak Six Party Talks. Dinamika
yang berkembang tidak terlalu mempengaruhi posisi Korea Utara sebagai negara pemilik
nuklir. Walaupun secara ekonomi Korea Utara masih merupakan negara miskin, namun
kebijakan bantuan Amerika tetap tidak mengubah posisi Korea Utara untuk tetap
memiliki nuklir.

1.4 Kerangka Konseptual
1.4.1 Teori Kebijakan Luar Negeri dan Konsep Keamanan Nasional
Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat
oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit
internasional lain, dan diarahkan untuk mencapai tujuan nasional. Kebijakan luar
negeri yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara memang bertujuan untuk
mencapai kepentingan nasional masyarakat yang diperintahnya meskipun
kepentingan nasional suatu bangsa pada waktu itu ditentukan oleh siapa yang
berkuasa pada waktu itu.
9
Menurut Rosenau, kebijakan luar negeri ditujukan untuk
memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara.
10
Dari
pemikiran tersebut dapat dilihat bahwa kebijakan Amerika Serikat terhadap
Semenanjung Korea dibuat untuk meraih tujuan-tujuan nasional Amerika Serikat di
kawasan tersebut.
Pemikir Realis menempatkan keamanan sebagai derivasi dari power atau
sebagai turunan dari power.
11
Kondisi keamanan dapat di peroleh suatu negara jika
sebuah Negara tersebut berupaya untuk menggunakan segenap power yang dimiliki
untuk mencapai posisi dominan dalam hubungannya dengan aktor lain dan
sekaligus dapat mengatasi sumber-sumber instabilitas yang dapat menggangu
keamanan nasionalnya. Pemikir yang memandang keamanan sebagai turunan dari

9
Mochtar Masoed, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta, LP3ES, 1994), hlm. 184
10
James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An Introduction. New York: The Free
Press, hal 27.
11
Lihat coulombis dan wolfe, Pengantar Hubungan Internasional, Bandung:Abardin, 1990, h. 86-89

7
power ialah Barry Buzan yang membagi konsep keamanan menjadi dua yaitu
konsep keamanan yang berdiri sendiri dan konsep keamanan yang memiliki kaitan
dengan sistem internasional.
12
Jika ia berdiri sendiri maka keamanan didefinisikan
sebagi kebebasan dari ancaman. Namun jika terkait dengan sistim internasional
maka konsep keamanan berhubungan dengan untuk mempertahankan identitas
kemandirian dan integrasi fungsional mereka. Konsekuensinya ialah konsep
keamanan bersifat relasional dalam arti bersifat dinamis mengikuti pola interaksi
antar negara dalam sistim internasional.
13

Keamanan memiliki beberapa karakteristik, yaitu: Pertama, keamanan
bukanlah suatu konsep dengan dimensi tunggal tetapi memiliki dimensi yang
beragam. Hyde-Price menyebut bahwa ada lima dimensi yaitu dimensi militer dan
politik yang merpakan dimensi utama yang di sertai oleh dimensi ekonomi, social
kemasyarakatan, dan lingkungan hidup. Kelima dimensi keamanan ini akan
mempengaruhi dinamika sistem internasional dalam arti perubaan dalam tingkat
internasional, dengan Negara sebagai unit primernya, akan menentukan stabilitas
internasional.
14

Karakteristik kedua ialah keamanan bersifat relatif tidak absolut. Suatu
negara selalu berada dalam keadaan aman dan tidak aman. Kerelatifan konsep
keamanan ini melahirkan konsep security dillema. Konsep ini berintikan bahwa
usaha untuk meningkatkan power suatu negara dengan pertimbangan keamanan
akan menurunkan derajat keamanan negara lain.
Karakteristik ketiga adalah keamanan berkaitan dengan power. Dan karena
power hanya terdapat dalam situasi dimana ada minimal interaksi antara dua aktor
maka keamanan merupakan konsep yang relasional artinya keamanan merupakan
suatu fungsi yang terjadi ketika ada interaksi antara dua subjek atau lebih.
Karakteristik keempat ialah secara inheren keamanan memiliki nilai, tujuan,
dan kepentingan tertentu yang ingin diraih. Nilai dan, tujuan dan kepentingan
tersebut tertuang dalam kebijakan keamanan nasional yang dipandu oleh pemilikan
power untuk mencapai kepentingan nasional tertentu. Berdasarkan uraian diatas
maka upaya yang dilakukan suatu negara untuk mengunakan kemampuan yang
dimilikinya dalam rangka penciptaan keamanan nasional terwujud dalam kebijakan

12
Barry Buzan, People, States and Fear, Second Edition, (London:Harvester wheatsheaf),1991. H. 18-19
13
Mohammed Ayoob, The Security Problematic Of The Third World, World Politics, no. 43, Januari 1991. Hal. 25
14
Adrian Hyde-Price, European Security Beyond The Cold War : Four Scenario For The Year 2010, London : The royal Of
International Affairs, 1991.H 10 - 11

8
keamanan nasional negara tersebut. Kebijakan keamanan nasional berisi tentang:
(1) kepentingan nasional dan (2) sumber-sumber ancaman dari negara lain yang
dapat mengganggu usaha pencapaian kepentingan nasional tersebut.
15

Amerika Serikat memiliki kepentinagn besar didalam Kawasan Asia Timur.
Kepentingan nasional tersebut meliputi kepentingan ekonomi dan keamanan.
Disamping itu dengan semakin berkembangnya kekuatan nuklir Korea Utara,
Amerika Serikat juga sangat fokus terhadap keamanan nasionalnya, terutama dari
kepemilikan misil jarak jauh Korea Utara. Sementara itu paradigm serangan
terorisme pada 11 September membuat Amerika Serikat sangat concern dengan
masalah penyebaran nuklir yang akan membawa dampak yang sangat berbahaya
bagi Amerika Serikat sendiri.
Amerika Serikat melihat bahwa sumber ancaman dari negara lain dapat
mengganggu kepentingan nasional serta keamanan nasionalnya datang dari Korea
Utara. Perkembangan nuklir Korea Utara yang mengalami perkembangan
signifikan merupakan tantangan keamanan yang sangat serius bagi Amerika
Serikat dan negara aliansi di kawasan. Amerika Serikat menganggap
pengembangan senjata nuklir untuk tujuan politik dan militer oleh Korea Utara
sangat mungkin mengancam kepentingan nasional Amerika Serikat. Oleh karena
itu, Amerika Serikat mengedepankan beberapa pendekatan untuk menyelesaiakan
isu tersebut, diantaranya : (1) engagement yaitu meningkatkan kerjasama dan
hubungan bilateral , dengan merangkul kekuatan-kekuatan utama di dalam
kawasan terutama dengan Cina, Rusia, Jepang, dan Korea Selatan untuk berperan
dalam persoalan keamanan di kawasan. Kemudian (2) perundingan multilateral
yaitu membentuk sebuah perundingan dengan melibatkan negara-negara dikawasan
untuk menyelesaikan masalah nuklir tersebut.
16


1.4.2 Regional Security Complex
Barry Buzan dalam teorinya mengatakan bahwa kawasan merupakan
sebuah sub sistem dalam hubungan keamanan yang signifikan dan terpisah, yang
berada antara kelompok negara yang terikat dalam kedekatan geografis satu
dengan yang lainnya. Relasi antar Negara didalam suatu kawasan dapat dilihat

15
Ibid
16
Wu Xinbao, US Security Policy In East Asia,(Shanghai : Asia Foundation,2003) h. 12 - 14

9
melalui dua hal yaitu Amity dan enmity.
17
Amity (persahabatan) merupakan
hubungan yang mengatur dari pertemanan antar negara menjadi sebuah hubungan
yang lebih baik dan dekat dan diharapkan menuju pada perlindungan dan dukungan
dalam hal keamanan sedangkan enmity adalah hubungan yang dibentuk negara-
negara didalam kawasan yang dilatarbelakangi oleh rasa saling curiga dan
ketakutan.
18

Barry Buzan mendefinisikan regional security complex sebagai sebuah
kelompok negara dalam satu kawasan dimana fokus utama dalam konteks
keamanannya berhubungan erat antar satu negara dengan negara yang lainnya.
19

Kompleksitas Keamanan adalah fenomena yang berakar pada faktor sejarah,
geopolitik dan hasil interaksi antar negara.
Kompleksitas keamanan kawasan merupakan sebuah definisi dari pola
hubungan amity (pertemanan) dan enmity (permusuhan) yang terjadi dalam ruang
lingkup geografis terbatas yang biasanya merupakan hasil dari efek hubungan
permusuhan dalam jangka waktu yang lama dimasa lalu. Dalam melakukan analisis
kompleksitas keamanan kawasan dapat digunakan empat level yaitu
20

1. kondisi keamanan kawasan bersumber pada kondisi keamanan domestik di
sebuah negara. Apabila negara tersebut mengalami ketidak stabilan maka
dikhawatirkan akan berdampak pada kondisi keamanan negara lain.
2. kondisi keamanan kawasan terbentuk oleh hubungan satu negara dengan
negara lain dikawasan tersebut.
3. keamanan dikawasan dipengaruhi oleh interaksi yang terbangun oleh
sebuah kawasan dengan tetangga dikawasan lain.
4. keamanan kawasan terbentuk oleh kekuatan global yang berperan
dikawasan tersebut. Karena sifatnya yang terbatas pada lingkup geografis
kawasan dan sifat dari keamanan
Kawasan yang bertahan lama terdapat tiga kemungkinan evolusi
21
:
1. Mempertahankan staus quo
mempertahankan status quo dalam arti bahwa tidak ada perubahan
signifikan yang dapat merubah struktur keamanan kawasan.

17
Barry Buzan, Opcit. H. 188-189
18
Ibid. H. 190
19
Buzan dan Ole Weaver, Regions and Power: The Structure of International Security, (United Kingdom: Cambridge
University Press), 2003. H. 45
20
Ibid. H. 51
21
Ibid. H. 53

10
2. Transformasi internal
merupakan sebuah perubahan keamanan kawasan yang terjadi dan
disebabkan oleh actor didalam kawasan tersebut, tanpa adanya campur
tangan dari aktor diluar kawasan tersebut
3. Transformasi eksternal
terjadi apabila ada aktor yang berada diluar geografis kawasan ikut campur
atau ikut serta dalam merubah inti yang membentuk keamanan kawasan.
Dalam konteks transformasi eksternal, pengaruh Amerika Serikat sangat
memainkan peranan penting
Dalam konteks transformasi eksternal, pengaruh Amerika Serikat sangat
memainkan peranan penting dalam menciptakan kondisi keamanan di kawasan
Semenanjung Korea. Intervensi Amerika Serikat tersebut diimplementasikan dalam
keterlibaan Amerika Serikat dalam menekan Korea Utara.
Skema Alur Pemikiran















1.5 Hipotesa
Diterapkannya doktrin Pre-emptive War oleh
George W. Bush setelah memasukan Korea
Utara kedalam kategori Axis of Evil
Faktor External
Faktor Internal
Six-Party Agreement on North
Korean Nuclear Program
(Beijing Agreement)
Kegagalan Agreed Framework
Six Party Talks

11
Dari rumusan masalah dan tinjauan pustaka diatas, maka penulis merumuskan
hipotesa penelitian sebagai berikut:
Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi perubahan kebijakan Amerika
Serikat terkait krisis nuklir Semenanjung Korea:
Pertama, Faktor Internal. Keputusan George W. Bush sebagai decision maker
dipengaruhi oleh lima pihak yang mewakili lembaga yakni Wakil Presiden, Menteri Luar
Negeri, Menteri Pertahanan, Penasehat Keamanan Nasional, serta Chairman Joint Chiefs
of Staff yang menginginkan adanya peningkatan kapasitas diplomasi menjadi multilareal
dan bukan menggunakan pendekatan militer.
Kedua, Faktor Eksternal yang meliputi:
1. Perubahan kebijakan tersebut merupakan tindakan penguatan terhadap politik global
Amerika Serikat di kawasan Semenanjung Korea khususnya dan Asia Timur pada
umumnya.
2. Kebijakan keamanan Amerika Serikat terhadap Korea Utara merupakan bagian dari
strategi Amerika Serikat dalam usahanya menjamin stabilitas keamananan di kawasan
Asia Timur di satu sisi dan keamanan nasionalnya di sisi lain.

1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Operasionalisasi Konsep
1.6.1.1 Proses Pembuatan Kebijakan
Dalam perumusan kebijakan luar negeri AS, presiden tidak dapat
melepaskan diri dari masukan-masukan yang diberikan para penasihatnya,
baik staf pribadi yang berkantor di Gedung Putih maupun para anggota
kabinet yang tergabung dalam National Security Council (NSC). Tidak
tertutup kemungkinan, para penasihat itu tidak sekadar memberikan
masukan tentang kebijakan luar negeri yang harus diambil Amerika Serikat,
tapi juga menanamkan pengaruh agar presiden mengikuti nasihat yang
diajukannya.
Dalam merumuskan kebijakan luar negerinya Bush mendapat
pengaruh dan saran informal dari lima pihak yang mewakili lembaga, yaitu;
Wakil Presiden: Dick Cheney; Menteri luar Negeri: Colin Powell (2001-
2005), Condoleezza Rice (2005); Menteri Pertahanan: Donald Rumsfeld
(2001-2006), Robert Gates (2006). Penasehat Keamanan Nasional:

12
Condoleezza Rice (2001-2005); serta Chairman Joint Chiefs of Staff:
Richard Myers.
Pemerintahan Bush menyatakan bahwa sesungguhnya krisis nuklir
Korea Utara ini tidak hanya merupakan permasalahan internal Amerika
Serikat saja, tetapi juga merupakan permasalahan internasional.
22
Oleh
karenanya isu ini akan dapat diselesaikan dengan upaya-upaya kesepakatan
dari komunitas internasional. Pemerintah Amerika pada periode ini telah
meningkatkan kapasitas diplomasinya dengan melakukan pendekatan
kepada Korea Selatan, Jepang, Rusia dan khususnya Cina sebagai upaya
menekan Korea Utara untuk menghentikan segala aktivitas nuklirnya.
Pada periode pemerintahan Bush, Amerika Serikat lebih
berkonsentrasi untuk mengupayakan diplomasi Track One-nya pada jalur
multilateral. Presiden Bush menyatakan pendekatan secara multilateral
akan lebih tepat dan efektif dari pada pembicaraan bilateral antara Amerika
Serikat dan Korea Utara.
23
Tercatat dalam periode waktu April 2003 hingga
September 2007 Amerika mengupayakan diplomasi multilateral dengan
mengajak Jepang, Cina, Korea Selatan dan Rusia. Perundingan pun digelar
melalui Tri Party talks dan Six Party talks. Namun sebelum Bush
melangkah kepada pendekatan multilateral, tercatat ada dua kali pertemuan
bilateral. Yakni kunjungan perwakilan Korea Utara kepada Gubernur New
Mexico, Richardson, pada 11 Januari 2002 dan kunjungan James Kelly ke
Pyongyang pada Oktober 2002. Tercatat pula beberapa kali pertemuan
bilateral berlangsung dalam perundingan Six Party Talks. Meskipun
terdapat beberapa pendekatan diplomasi secara bilateral, pemerintahan
Bush lebih berminat untuk melakukan diplomasi dalam kerangka
multilateral. Pemerintahan Bush sebisa mungkin menghindari terjadinya
negosiasi bilateral dengan Korea Utara karena pemerintahan Bush menilai
Korea Utara sering kali melanggar perjanjian yang telah dibuat bersama.

1.6.1.2 Kebijakan Keamanan Amerika Serikat di Semenanjung Korea 2003-
2007

22
www.usinfo.state.gov/xarchives/ display.html, diakses pada 12 September 2014
23
ibid

13
Upaya Amerika Serikat untuk menyelesaikan krisis nuklir di
Semenanjung Korea sebenarnya sudah dimuai pada masa pemerintahan Bill
Clinton. Dimana Amerika Serikat sangat menekankan pendekatan
diplomasi terhadap Korea Utara. Pada bulan Oktober 1994 Amerika Serikat
sepakat untuk melakukan perundingan bilateral dengan Korea Utara yang
kemudian dituangkan dalam sebuah kerangka persetujuan (Agreed
Framework) yang bertujuan menghindarkan krisis keamanan militer
(Military-Security Crisis) dengan meminta Korea Utara membekukan
reaktor Grapit (graphite-moderated reactors) dan fasilitas nuklirnya.
24

Meskipun perjanjian Agreed Framework pada 1994 gagal, Amerika
Serikat terus melanjutkan upayanya melalui perundingan multilateral untuk
menghentikan program nuklir Korea Utara seperti perundingan enam pihak
(Six Party Talks) yang dimulai pada tahun 2003 bersama dengan China,
Rusia, Jepang, Korea Utara dan Korea Selatan. Namun perundingan
tersebut mengalami hambatan setelah Pyongyang mengakui bahwa telah
memiliki senjata nuklir dan menagguhkan perundingan sampai batas waktu
yang tidak ditetapkan.
25

Setelah serangan 11 September 2001 Amerika Serikat memasukan
Korea Utara kedalam negara-negara yang dianggap sebagai musuh Amerika
Serikat. Hal tersebut sangat mempengaruhi dalam proses penyelesaian
masalah nuklir tersebut. Dalam Strategi Keamanan Nasional Amerika
Serikat yang dikeluarkan tahun 2002 telah disebutkan bahwa jika sebuah
negara atau kelompok teroris mengembangkan senjata pemusnah masal dan
hal itu dinilai mengancam kepentingan Amerika, tanpa menunggu jatuhnya
korban, Amerika Serikat akan mengambil kebijakan Pre-Emptive war.
26

Disamping itu juga Amerika Serikat menyatakan bahwa senjata pemusnah
masal dalam hal ini senjata nuklir, jika dimiliki oleh negara pembangkang
(rogue states) ataupun kelompok-kelompok Teroris dianggap sebagai
ancaman serius bagi stabilitas kawasan tetapi juga merupakan tantangan
sistemik bagi tatanan dunia yang aman.

24
Pierre Goldschmidt, The Urgent Need to Strengthenthe Nuclear Non-Proliferation Regime, dalam Policy Outlook :
Carnegie Endowment for International Peace, Januari 2006. h. 3
25
Yeon Bong Jung. 2001. Republic of Korea Army Strategy on Stilts: The U.S. Response to The North Korea Nuclear Issue.
International Journal of Korean Studies Vol. 20 No.2. h.4
26
Opcit. The Report of The Center for Counterproliferations Research, At the Crossroads Counterproliferationand
NationalSecurity Strategy, (Washington D.C: NationalDefenceUniversity). h. 186

14
1.6.1.3 Stabilitas Keamanan Regional Dalam Membentuk Konstruksi Sosial di
Kawasan
Amerika Serikat memiliki kepentinagn besar didalam Kawasan Asia
Timur. Kepentingan nasional tersebut meliputi kepentingan ekonomi dan
keamanan. Amerika Serikat melihat bahwa sumber ancaman dari negara
lain dapat mengganggu kepentingan nasional serta keamanan nasionalnya
datang dari Korea Utara. Perkembangan nuklir Korea Utara yang
mengalami perkembangan signifikan merupakan tantangan keamanan yang
sangat serius bagi Amerika Serikat dan negara aliansi di kawasan. Amerika
Serikat menganggap pengembangan senjata nuklir untuk tujuan politik dan
militer oleh Korea Utara sangat mungkin mengancam kepentingan nasional
Amerika Serikat. Oleh karena itu, Amerika Serikat mengedepankan
beberapa pendekatan untuk menyelesaiakan isu tersebut, diantaranya : (1)
engagement yaitu meningkatkan kerjasama dan hubungan bilateral , dengan
merangkul kekuatan-kekuatan utama di dalam kawasan terutama dengan
Cina, Rusia, Jepang, dan Korea Selatan untuk berperan dalam persoalan
keamanan di kawasan. Kemudian (2) perundingan multilateral yaitu
membentuk sebuah perundingan dengan melibatkan negara-negara
dikawasan untuk menyelesaikan masalah nuklir tersebut.
27

Dalam konteks transformasi eksternal, pengaruh Amerika Serikat
sangat memainkan peranan penting dalam menciptakan kondisi keamanan
di kawasan Semenanjung Korea. Intervensi Amerika Serikat tersebut
diimplementasikan dalam keterlibaan Amerika Serikat dalam menekan
Korea Utara. Intervensi Amerika Serikat sebagai actor luar kawasan ini
memainkan peranan penting dalam membentuk konstruksi social di dalam
Kawasan Semenanjung Korea.

1.6.2 Tipe Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian kualitatif deskriptif.
Penelitian deskriptif yakni penelitian yang dimaksudkan untuk membuat deskripsi
serta menjelaskan fenomena, situasi, dan kejadian.
28
Artinya penelitian ini
berusaha menjelaskan mengenai faktor yang menyebabkan Amerika Serikat

27
Wu Xinbao, US Security Policy In East Asia,(Shanghai : Asia Foundation,2003) h. 12 - 14
28
Suryabrata, Sumadi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press., Pp. 75

15
mengeluarkan kebijakan keamanan serta bagaimana kemudian implementasi dari
kebijakan Amerika Serikat tersebut dalam melihat paradigma perkembangan
program senjata nuklir Korea Utara.
1.6.3 Jangkauan Penelitian
Jangkauan dalam penelitian ini adalah sejak tahun 2003-2007 dimana pada
periode ini terjadi krisis nuklir pada tahun 2003 dan 2006 yang menyebabkan
Amerika Serikat menganggap hal ini sebagai ancaman stabilitas keamanan
kawasan dan melakukan shifting strategy guna membendung perkembangan nuklir
Korea Utara.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data primer berupa pengumpulan
dokumen-dokumen penting seperti dokumen NSSA, dokumen Agreed Framework,
dokumen KEDO, dokumen Strategi Keamanan Amerika Serikat di Asia Pasifik,
serta dokumen-dokumen hasil six party talks. Adapun data yang merupakan
sumber data sekunder yang berasal dari buku, jurnal, internet, serta media massa
yang juga membahas mengenai kebijakan keamanan Amerika Serikat dalam
menyelesaikan isu tersebut.
1.6.5 Teknik Analasis Data
Teknik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
teknik analisis data kualitatif guna menghubungkan konsep serta menjawab
rumusan masalah dan membuktikan hipotesis. Dalam analisis data kualitatif
peneliti menyusun secara sistematis data-data yang diperoleh dari hasil wawancara,
tinjauan pustaka atau studi literature, serta data-data lainnya melalui cara
mengorganisasikan data kedalam kategori, dan menyusunnya ke dalam suatu pola
dan menyajikannya dalam bentuk kalimat.
29
Dengan teknik analisis data ini
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai seberapa jauh data mendukung
hubungan antar variabel dalam penelitian ini.
1.6.6 Sistematika Penulisan

29
Miles, MB and AM Huberman. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. SAGE. Baverly Hills., Pp. 129

16
Dalam upaya memberikan pemahaman mengenai isi dari penelitian secara
menyeluruh, maka penelitian ini dibagi menjadi 4 bab yang terdiri dari bab dan
sub-bab yang saling berkaitan satu sama lain. Bab-bab tersebut antara lain:
BAB I: Pendahuluan
Bab satu berisikan sub-bab latar belakang permasalahan seperti isu sejarah
pengembangan senjata nuklir oleh Korea Utara serta kebijakan yang ambil oleh
Amerika Serikat dalam merespon permasalahan tersebut dimasa sebelumnya.
Selain tinjauan sejarah sub-bab latar belakang ini juga berisi permasalahan pokok,
tujuan, serta manfaat penelitian. Sub-bab lainnya adalah kerangka pemikiran, yang
berisikan tinjauan pustaka, kerangka teori, operasionalisasi konsep, asumsi, serta
hipotesa penelitian. Sub-bab terakhir dalam bab ini adalah metode penelitian yang
berisikan jenis penelitian, sumber data, teknik penulisan, serta sistematika
penulisan.
BAB II: Perkembangan Program Senjata Nuklir Korea Utara dan Perspektif
Ancaman Amerika Serikat
Bab ini akan menjelaskan kompleksitas keamanan di Semenanjung Korea
serta, yang didalamnya membahas mengenai pengembangan nuklir Korea Utara
serta ancaman yang dimiliki. Kemudian intervensi Amerika Serikat dalam proses
transformasi keamanan yang membahas kebijakan dalam Agreed Framework dan
KEDO. Disamping itu, dalam bab ini juga akan dipaparkan bentuk-bentuk
kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat terkait program Nuklir Korea Utara.
BAB III : Implementasi Bush Doctrin dan Proses Pembuatan Kebijakan Luar
Negeri Amerika Serikat Terhadap Korea Utara
Bab ini akan membahas mengenai bagaimana kebijakan luar negeri Amerika
Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush terhadap Korea Utara.
Bagaimana Bush Doctrine dijalankan dan apa saja yang mempengaruhi Amerika
Serikat dalam membuat kebijakan terkait program Nuklir Korea Utara.
BAB IV: Penutup
Bab ini merupakan jawaban dari pokok permasalahan penelitian tentang
factor dibalik dikeluarkannya kebijakan keamanan Amerika Serikat serta
bagaimana implementasi kebijakan keamanan Amerika Serikat di Semenanjung
Korea terkait penyelesaian masalah kepemilikan senjata nuklir Korea Utara. Bab
ini berisi hasil pengujian hipotesis serta kesimpulan dari penelitian.

17
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Beal, Tim. 1998. North Korea : The Struggle Against American Power. Princeton: Princeton
University Press
Brown, Christoper. 2007. East Asia In Transition: US Interests In East Asia. Southern Center
For International Studies.
Buzan, Barry. 1991. People, States and Fear, Second Edition. London:Harvester wheatsheaf.
Buzan, Barry and Ole Weaver. 2003. Regions and Power: The Structure of International
Security. United Kingdom: Cambridge University Press.
De Ceuster, Koen dan Jan Melissen. 2008. Ending The North Korean Nuclear Crisis: Six
Parties, Six Perspective. Den Hag: Desiree Davidse.
Flint, Colin. 2006. Introduction to Geopolitics. London: Routledge.
Gilpin, Robert. 2001. The Study of International Political Economy, dalam Global Political
Economy: Understanding the International Economic Order, Princeton: Princeton
University Press
Haas, Ernst B. 1971. The Study of Regional Integration: Reflections on the Joy and Anguish
of Pretheorizing. In L. Lindberg, and S. Scheingold (eds) Regional Integration:
Theory and Research. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Hudson, Valerie M. 2007. The Levels of National Attributes and International System:
Effects on Foreign Policy in: Foreign Policy Analysis: Classic and Contemporary
Theory. London: Rowman & Littlefield.
Hyde-Price, Adrian. 2010. European Security Beyond The Cold War: Four Scenario For The
Year 2010. London: The royal Of International Affairs
James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An
Introduction. New York: The Free Press
Moleong, LJ. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Munthe, E. R. 2001. Politik Luar Negeri Korea Selatan Era Presiden Kim Dae Jung.
Yogyakarta: UPN
Nopirin. 1997. Ekonomi Internasional. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta

18
Reed, Timothy S. 2002. The Korean Security Dilemma: Shifting Strategies Offer A Way.
Oxford: Oxford University Press
Salvatore, Dominick. 1992. Ekonomi Internasional. Jakarta: Erlangga.
Sigal, Leon V. 2003. Disarming Strangers: Nuclear Diplomacy with North Korea. New
Jersey: Princeton University Press.
Strausz-Hup, Robert. 1942. Geopolitics: The Struggle for Space and Power. New York:
G.P. Putnams Sons
Stueck, William. 1995. The Korean War An International History. New Jersey: Princeton
University Press.
Suryabrata, Sumadi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press.
Yoon, Y. S., dan Setiawati, N. A. 2003. Sejarah Korea Sejak Awal Abad hingga Masa
Kontemporer. Yogyakarta: UGM Press

Jurnal
Charles, Wolf. 2005. North Korea Paradoxes. Hoover Institution Press.
Carter, Aidan Foster. 2013. North Korea: Questions and Solutions in 2013, dalam Strategic
Review January-March 2013 Vol. 3 No. 1.
Etzioni, Amitai. 2011. A Paradigm for Study of Political Unification. World Politics Journal
Vol. 15, No. 1
Falleti, Sebastien dan James Hardy. 2013. US, South Korea agree North Korea contingency
plan, Janes Defence Weekly
Hardy, James dan Sebastien Falleti. 2013. Rhetoric heats up on Korean Peninsula, Janes
Defence Weekly.
Miles, MB and AM Huberman. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods.
SAGE. Baverly Hills.
Pierre Goldschmidt. 2006. The Urgent Need to Strengthenthe Nuclear Non-Proliferation
Regime, dalam Policy Outlook: Carnegie Endowment for International Peace
Yeon Bong Jung. 2001. Republic of Korea Army Strategy on Stilts: The U.S. Response to The
North Korea Nuclear Issue. International Journal of Korean Studies Vol. 20 No.2.

19



Internet
Daryl Kimball. 2012. Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy.
(http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron#1985) diakses pada 22 September
2014
John Gershman. 2005. The Six Party Talks Agreement.
(http://www.fpif.org/reports/the_six -party_talks_agreement) diakses pada 22
September 2014

Anda mungkin juga menyukai