Pendahuluan Epistaksis adalah perdarahan aktif dari hidung dan merupakan kasus gawat darurat yang sering terjadi di bagian THT-KL dan dapat berakibat fatal. 1-4
Pada kebanyakan kasus, perdarahan dapat berhenti secara spontan, terutama pada pasien muda, hanya 1-2% kasus yang membutuhkan tindakan pembedahan. 1,2
Anatomi Hidung adalah organ yang kaya akan vaskularisasi dan menerima suplai darah dari cabang arteri karotis interna dan eksterna. Rongga hidung (kavum nasi) dibagi menjadi 3 bagian utama, yaitu kavum nasi anterior, posterior dan superior. 5 Kebanyakan epistaksis berasal dari anteroinferior septum hidung yang dikenal dengan area Little, yang disuplai oleh pleksus Kiesselbach (gambar 1). Pleksus ini merupakan anastomosis dari tiga arteri terminal yaitu arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior dan posterior serta arteri palatina mayor. 3,5,6,7
Kavum nasi bagian posterior disuplai oleh anyaman vena yang dikenal dengan pleksus Woodruff, yang merupakan anastmosis dari arteri sfenopalatina, arteri palatina descenden dan kontribusi kecil dari arteri etmoid posterior. 5,7
Gambar 1. Vaskularisasi septum nasi 5
Epidemiologi Sekitar 60% populasi diperkirakan pernah mengalami sekurang- kurangnya satu episode epistaksis dalam hidupnya. Dari kelompok ini, 6% populasi membutuhkan penanganan medis dan 1,6 dari 10.000 membutuhkan rawat inap. 1,7,8 Di Taiwan, ditemukan sebanyak 68,6% kasus epistaksis yang datang ke ruang emergensi. Di Spanyol, kasus ini ditemukan sebanyak 13,3%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 1 dari 200 kunjungan ke ruang emergensi merupakan kasus epistaksis. Laki-laki lebih sering ditemukan pada kasus epistaksis yang kebanyakan disebabkan sekunder oleh trauma. 3,6
Insidensi epistaksis bervariasi secara luas menurut umur. Terdapat distribusi bimodal dengan puncak pada anak dan dewasa muda dan dewasa tua (usia 45-65 tahun). 7
Etiologi Penyebab epistaksis dapat bersifat lokal maupun sistemik (tabel 1). Penyebab lokal biasanya berhubungan dengan masalah pada hidung, sinus paranasal dan nasofaring. Sementara itu, penyebab sistemik disebabkan oleh kelainan kardiovaskular, kelainan hematologi, penggunaan obat antikoagulan dan penyebab lainnya yang bersifat sistemik. Trauma merupakan penyebab tersering terjadinya epistaksis. Neoplasma juga merupakan penyebab utama epistaksis, terutama pada pasien dengan usia di atas 40 tahun. 1,3,7
Tabel 1. Etiologi Epistaksis 1,7,8 Penyebab Lokal Penyebab Sistemik Sering Jarang Sering Jarang Trauma wajah Trauma digiti Benda asing Perforasi septum Deviasi atau spina septum Polip hidung Tumor sinonasal Tumor nasofaring Hemangioma hidung Mukosa kering Inhalasi kimiawi Barotrauma Sinusitis Rinitis Lesi metastatik Angiofibroma juvenil Iritasi lingkungan Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT) Leukemia Trombositopenia Anti platelet (aspirin, clopidogrel) Polisitemia vera Anemia aplastik Hemofilia Obat antikoagulan (heparin, warfarin) Defisiensi vitamin K Penyakit Von Willebrand Tuberkulosis Mononukleosis Demam scarlet Demam reumatik Sifilis Penyakit hepar Uremia ISPA
Epistaksis spontan dan rekuren paling sering disebabkan oleh Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT). Sebanyak 50% pasien mengalami epistaksis berulang pada usia sebelum 20 tahun dan 96% pasien menderita epistaksis berulang semasa hidupnya. Insidensi epistaksis pada kasus ini meningkat seiring dengan pertambahan usia, terutama pada dekade ke-4 atau ke-5. Pada pasien ini akan terlihat gambaran telangiektasis multipel di sepanjang mukosa kavum nasi (gambar 2). 9
Gambar 2. Teleangiektasis luas pada kavum nasi dekstra, melibatkan konka inferior, konka media dan septum 9
Klasifikasi Epistaksis dikelompokkan ke dalam dua jenis berdasarkan lokasinya, yaitu epistaksis anterior dan posterior. Epistaksis anterior paling sering terjadi (95%). Sumber utama epistaksis anterior adalah pleksus Kiesselbach yang merupakan anastomosis dari pembuluh darah anterior septum hidung. Epistaksis anterior juga dapat berasal dari bagian anterior konka inferior. Sementara itu, epistaksis posterior (5%) berasal dari pleksus Woodruff yang berada di kavum nasi posterior atau nasofaring. 1,2,3,7,8
Penanganan Epistaksis
Penanganan Awal Pada saat pasien datang dengan perdarahan aktif dari hidung, dilakukan anamnesis singkat dan cepat mengenai riwayat penyakit pasien, meliputi jumlah perdarahan, frekuensi dan lamanya perdarahan. Bila memungkinkan, ditanyakan riwayat trauma dan penyakit lainnya pada kepala dan leher, terutama yang melibatkan gejala hidung. Riwayat medis lainnya, seperti hipertensi, arteriosklerosis, koagulopati, penyakit hepar dan riwayat pengobatan sebelumnya juga ditanyakan. 1,3,5
Pada penanganan awal dilakukan penilaian keadaan umum dan tanda vital dengan pendekatan ABC (airway, breathing, circulation) dan dilakukan perbaikan apabila keadaan umum buruk, meliputi akses intravena dan resusitasi cairan. Selain itu, dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap guna menilai status koagulasi darah dan langsung melakukan koreksi apabila terdapat kelainan. Pada 10% pasien epistaksis ditemukan kelainan pada profil pembekuan darah. 4,7,8,10
Sebagai langkah awal mengontrol perdarahan, dapat dilakukan penekanan pada bagian kartilago hidung selama 15 menit (gambar 3) atau kompres es pada dorsum nasi apabila perdarahan masih berlanjut. 1,11,12
Gambar 3. Penekanan pada bagian kartilago hidung 12
Preparasi Hidung Preparasi hidung dilakukan dengan menghisap (suction) bekuan darah pada kavum nasi dengan rinoskopi anterior dan lampu kepala. Bila perlu, diberikan anestesi lokal yang dioleskan pada kapas atau disemprotkan pada mukosa kavum nasi, terutama pada septum anterior (Littles area). Beberapa preparat anestesi lokal yang sering digunakan adalah campuran lidokain (0,5%, 1% atau 2%) dengan adrenalin (1/200.000), larutan kokain topikal (2% atau 5%), pasta kokain (10%), campuran lidokain (5%) dengan fenilefrin (0,5%). Sedasi ringan dengan diazepam dosis rendah dapat diberikan pada pasien hipertensi atau ansietas. 7 Pemberian kofenilkain pada hidung dapat bermanfaat sebagai efek dekongestan dan anestesi yang dapat memfasilitasi dan memberikan kenyamanan pada pasien selama dilakukan pertolongan. Kofenilkain memiliki efek dekongestan selama 6 menit dan efek anestesi maksimum setelah 9 menit. 4
Kontrol Perdarahan Tujuan penanganan epistaksis adalah untuk mengontrol perdarahan aktif dan mencari lokasi serta penyebab perdarahan. 3 Apabila sumber perdarahan tidak dapat diidentifikasi dengan lampu kepala, pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan. Apabila naso-endoskopi tidak tersedia atau tidak dapat dilakukan, dapat dipasang tampon hidung secara perlahan dan hati-hati untuk mencegah terjadinya kerusakan mukosa sehingga dapat memicu koagulasi dan mengontrol perdarahan. Apabila perdarahan berhenti dan pasien stabil, pasien dapat dipulangkan dan disarankan untuk mengoleskan Vaselin pada hidung 3 kali sehari selama 10 hari. 4
1. Kauterisasi Dapat dilakukan dengan kauter kimiawi menggunakan AgNO 3 dengan tekanan ringan pada lokasi perdarahan selama 5-10 detik.
Zat ini akan bereaksi dengan mukosa hidung yang menimbulkan kerusakan lokal secara kimiawi. Selain itu, dapat diberikan elektrokauter di bawah anestesi lokal dengan memberikan energi termal pada pembuluh darah hidung dengan radiasi. 7,11 Dengan menggunakan auroskop ujung terbuka, batang yang telah dioleskan AgNO 3 dapat dimasukkan melewati foramen distal yang sempit (gambar 4). Dengan spekulum Thudicum dilakukan kauterisasi pada pembuluh darah hidung secara langsung (gambar 5). Teknik ini merupakan teknik yang lebih sederhana dan efektif dalam kauterisasi tanpa menggunakan lampu kepala. 13
Gambar 4. Batang yang telah dioleskan AgNO 3 melalui auroskop dengan ujung terbuka 13
Gambar 5. Kauterisasi menggunakan pendekatan dua-tangan dengan iluminasi yang adekuat 13
2. Tampon anterior Untuk tampon hidung anterior dapat digunakan kasa yang telah diolesi vaselin atau tampon handscoon (gambar 6). 3,7,8,12 Apabila dalam 48-72 jam tidak terjadi perdarahan, tampon hidung dapat dilepas dan hidung dievaluasi dengan menggunakan naso-endoskopi. 4 Tampon hidung dapat dioleskan dengan salep antibiotik anti-stafilokokus topikal untuk profilaks terjadinya toxic shock syndrome. 5
Gambar 6. Insersi tampon hidung anterior di sepanjang lantai kavum nasi 7
Penggunaan antibiotik profilaksis secara sistemik selama pemasangan tampon direkomendasikan untuk mencegah terjadinya sinusitis karena pemasangan tampon. 5
Komplikasi pemasangan tampon hidung meliputi cedera pada mukosa septum (nekrosis dan perforasi) atau kartilago alar, sinusitis, syncope dan yang paling jarang sindrom syok sepsis. 2
3. Tampon posterior Dapat dilakukan dengan menggunakan tampon Bellocq atau insersi balon menggunakan kateter Foley (gambar 7) yang diinflasi dengan 3-4 ml air atau udara yang diletakkan pada koana posterior. Selain itu, dapat dengan menggunakan balon Brighton yang terdapat pada anterior dan posterior hidung (gambar 8). 7
Gambar 7. Tampon posterior dengan kateter Foley 12
Gambar 8. Balon Brighton pada kavum nasi 7
Komplikasi yang dilaporkan setelah pemasangan tampon posterior adalah perdarahan kembali atau epistaksis persisten (75%), nekrosis alar akibat tekanan (40,1%), sinusitis akut (34,9%), efek samping respirasi (20,4%) dan sindrom syok toksik (1,3%). 8 4. Pembedahan Intervensi pembedahan berupa diatermi, operasi septum dan ligasi arteri sfenopalatina, etmoid anterior/posterior, maksilaris dan karotis eksterna. 7 Kauterisasi arteri sfenopalatina dan etmoid anterior secara endoskopik direkomendasikan sebagai lini pertama pada kasus epistaksis yang gagal dengan pemasangan tampon hidung. 2,8
Epistaksis posterior lebih sering membutuhkan penanganan pembedahan dibandingkan epistaksis anterior. Tingkat kesuksesan dalam penanganan epistaksis posterior dapat dicapai sebesar 62% dengan pemasangan tampon hidung dan 97% dengan tindakan pembedahan. 1,11 Dari penelitian yang dilakukan oleh Akinpelu OVA et al (2009), didapatkan 2 kasus epistaksis yang ditatalaksana dengan ligasi arteri karotis eksterna adalah epistaksis posterior. 1,2
Ligasi Arteri Sfenopalatina secara Endoskopi Ligasi arteri sfenopalatina dilakukan dengan cara terlebih dahulu memedialisasi konka media. Kemudian dilakukan insisi pada dinding lateral kavum nasi posterior dari sinus maksilaris (Gambar 9). Mukosa kavum nasi dielevasi dan diidentifikasi krista etmoid (tandai batas paling anterior kemungkinan lokasi arteri sfenopalatina). Dilakukan kauterisasi pada arteri sfenopalatina dan mukosa hidung dikembalikan ke posisi semula. 6
Gambar 9. Lokasi insisi pada ligasi arteri sfenopalatina secara endoskopi. Titik merah menandakan lokasi arteri sfenopalatina 6
Ligasi Arteri Etmoid Anterior secara Endoskopi Langkah pertama pada ligasi arteri etmoid anterior adalah dilakukan antrostomi maksila dan etmoidektomi anterior. Kemudian diidentifikasi lamina papirasea dan atap etmoid. Selanjutnya dilakukan identifikasi kanal arteri etmoid anterior (gambar 10). Dilakukan pembuatan muara kecil menggunakan kuret kecil pada lamina papirasea di bawah kanal arteri etmoid anterior. Kemudian fragmen tulang dibersihkan dan dilakukan elevasi pada posterior dan anterior dari arteri etmoid anterior. Letakkan klip kecil pada arteri etmoid anterior di depan periosteum orbita. 6
Lokasi Insisi
Gambar 10. Gambaran anatomi arteri etmoid anterior kanan secara endoskopi 6
5. Terapi lain Pilihan terapi lain untuk epistaksis meliputi embolisasi angiografi, krioterapi dengan fibrin glue, elektrokauter secara endoskopik, irigasi dengan air hangat (gambar 11) dan laser (Nd:YAG), terutama pada kasus HHT. 1,2,7 Terapi pembedahan pada epistaksis akibat HHT meliputi elektrokoagulasi bipolar, fotokoagulasi laser, koblasi, septodermoplasti, penutupan nares anterior dan embolisasi endovaskuler. 9,11,15 Akhir-akhir ini, telah dikembangkan terapi baru yaitu dengan pemberian anti-VEGF bevacizumab intravena atau topikal. 11
Gambar 11. Pemasangan kateter balon modifikasi dengan irigasi air hangat sebagai terapi epistaksis. Tanda panah menandakan aliran cairan melewati hidung 15
Embolisasi Arteri Langkah pertama meliputi pemeriksaan angiogram sistem arteri karotis interna dan eksterna preembolisasi. Berikut ini merupakan protokol terapi embolisasi untuk epistaksis idiopatik yang sulit diatasi. 6
Protokol Terapi Embolisasi 6
1. Ipsilateral: dilakukan angiogram arteri karotis interna 2. Ipsilateral: dilakukan angiogram arteri karotis eksterna 3. Ipsilateral: dilakukan embolisasi arteri maksilaris interna (distal terhadap arteri temporalis profunda media) 4. Ipsilateral: dilakukan embolisasi arteri fasialis (distal terhadap arteri submandibula) 5. Kontralateral: ulangi langkah 1-4 6. Rawat inap untuk observasi 7. Lepaskan tampon hidung setelah 12-24 jam tindakan
6. Penanganan Epistaksis yang berhubungan dengan Antikoagulan Untuk semua jenis epistaksis akibat faktor ini dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap dan INR (International normalized ratio). Apabila INR dalam rentang terapeutik, maka dapat dilanjutkan pemberian warfarin. Namun, bila INR di luar batas terapeutik, dilakukan konsultasi ke bagian Kardiologi atau Hematologi. Pada kasus epistaksis yang berhubungan dengan aspirin atau klopidogrel, pemberian medikasi dapat diteruskan. Apabila terdapat perdarahan masif, lakukan konsultasi pada bagian Kardiologi untuk transfusi platelet. 6
Follow Up Waktu follow up rata-rata setelah penanganan epistaksis adalah 7 minggu (2-19 minggu). Perdarahan hidung rekuren dapat terjadi pada 50% kasus, terutama pada pasien dengan gangguan koagulasi darah dan diatasi dengan kauter menggunakan AgNO 3 , asam trikloroasetat, penggunaan vaselin pada vestibulum dan dekongestan hidung baik lokal maupun sistemik. 1,2,7
Algoritma Penanganan Epistaksis
*Intervensi pembedahan: ligasi arteri sfenopalatina atau arteri etmoid anterior, reseksi submukosa/septoplasti, angiografi, embolisasi, radiasi (kasus keganasan) Kaustik AgNO3/asam trikloroasetat Kauterisasi elektrik/diatermi bipolar Perdarahan (+) Tampon anterior (2x24 jam) Perdarahan (+) Tampon posterior (2x24 jam) Perdarahan (+) Intervensi pembedahan* Perdarahan (-) Evaluasi dan terapi kausa Evaluasi dan terapi komplikasi Perdarahan (-) Rawat inap Aff tampon Perdarahan (+) Tampon ulang (2x24 jam) Perdarahan (+) Intervensi pembedahan* Epistaksis Anamnesis singkat Observasi keadaan umum dan tanda vital Tekan bagian kartilago hidung dengan ibu jari dan jari telunjuk minimal selama 15 menit Cek laboratorium darah lengkap Keadaan umum baik dan stabil Keadaan umum lemah/ syok hipovolemik/ koagulopati Perbaiki keadaan umum, resusitasi cairan, koreksi koagulopati (FFP, cryoprecipitate, vitamin K, trombosit) Preparasi hidung - Hisap bekuan darah - Anestesi lokal (tampon/spray adrenalin dan lidokain) Identifikasi sumber perdarahan Rinoskopi anterior, bila memungkinkan nasoendoskopi Lokasi diketahui Lokasi tidak diketahui Anterior Posterior Tampon anterior (2x24 jam) Bila perlu tampon posterior (2x24 jam) Daftar Pustaka 1. Upile T, Jerjes W, Sipaul F, Maaytah ME, Singh S, Hopper C, Wright A. A change in UK epistaxis management. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2008;265:1349-54 2. Minni A, Dragonetti A, Gera R, Barbaro M, Magliulo G, Filipo R. Endoscopic management of recurrent epistaxis: The experience of two metropolitan hospitals in Italy. Acta Oto-Laryngol. 2010;130:1048-52 3. Akinpelu OV, Amusa YB, Eziyi JAE, Nwawolo CC. A retrospective analysis of aetiology and management of epistaxis in a South-Western Nigerian Teaching Hospital. WAJM. 2009; 28(3): 165-8 4. Daudia A, Jaiswal V, Jones NS. Guidelines for the management of idiopathic epistaxis in adults: how we do it. Clin Otolaryngol. 2008;33:607-28 5. Viehweg TL. Roberson JB, Hudson JW. Epistaxis: Diagnosis and treatment. J Oral Maxillofacial Surg. 2006;64:511-8 6. Rudmik L, Smith TL. Management of intactable spontaneous epistaxis. Am J Rhinol Allergy. 2012;26:55-60 7. Pope LER, Hobbs CGL. Epistaxis: an update on current management. Postgrad Med J. 2005;81:309-14 8. Tam S, Rotenberg B. Contemporary perspectives on the management of posterior epistaxis: Survey of Canadian otolaryngologist. J Otolaryngol Head Neck Surg. 2011;40(3):249-55 9. Sautter NB, Smith TL. Hereditary hemorrhagic telangiectasia-related epistaxis: innovations in understanding and management. Int Forum Allergy & Rhinol. 2012;2(5):422-31 10. Aneeshkumar MK, Osman E, Shahab R, Roland NJ. Look before you pack: key point in epistaxis management. Emerg Med J. 2005;22:912-3 11. Fokkens WJ. Epistaxis management: evaluation of old tricks and new treatment options. Rhinol. 2011;49:385-6 12. Butler CF. Nose bleed (Epistaxis). [update June, 2008; cited Dec, 2012]. Available from: www.alba.org 13. Tudor ECG, Hamilton NJI, Yaghchi CA, Sandhu G. The use of an auroscope in the management of epistaxis. Clin Otolaryngol. 2010;35:147-63 14. Biswas D, Mal RK. Are systemic prophylactic antibiotics indicated with anterior nasal packing for spontaneous epistaxis? Acta Oto-laryngol. 2009;129:179-81 15. Schlegel-Wagner C, Siekmann U, Linder T. Non-invasive treatment of intractable posterior epistaxis with hot-water irrigation. Rhinol. 2006;44:90-3