Anda di halaman 1dari 12

Kerajaan-Kerajaan Islam di

Indonesia

Pendahuluan
Kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia yang dibawa dari Kerjaan Turki
Usmani merupakan salah satu cikal bakal umat Islam di Indonesia. Kehadiran
Islam sebagian besar dibawa oleh para pedagang Gujarat Timur Tengah. Pastinya
kita dengar Kerajan Islam Samudara Pasai di Sumatra, Demak di Jawa dll.
Sejarah Wali Songo juga sanagt identik dengan perkembangan Islam di Jawa.
Kerajaan Islam di Indonesia diperkirakan kejayaannya berlangsung antara
abad ke-13 sampai dengan abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut
didorong oleh maraknya lalu lintas perdagangan laut dengan pedagang-pedagang
Islam dari Arab, India, Persia, Tiongkok, dll. Kerajaan tersebut dapat dibagi
menjadi berdasarkan wilayah pusat pemerintahannya, yaitu di Sumatera, Jawa,
Maluku, dan Sulawesi.
Masuknya agama islam ke nusantara (indonesia) pada abad 6 akhir dibawa
oleh Syech Abdul Kadir Jailani periode I atau Pase Pertama, telah membawa
banyak perubahan dan perkembangan pada masyrakat,budaya dan pemerintahan.
Perubahan dan Perkebangan tersebut terlihat jelas dengan berdirinya kerajaan-
kerajaan yang bercorak islam. antara lain sebagai berikut :
Kerajaan Aceh

Sejarah
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang
pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara
pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan
pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad,
1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya
yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem
pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa,
memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-
pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan
negara lain.
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun
1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian
menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup
Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah
menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. Pada tahun
1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama
Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin
digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga
tahun 1571.

Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya
selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan
Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579
karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta
kerajaan pada pengikutnya. pengantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa
bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu
binatang. Raja-raya dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat
Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera
mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang
berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal
Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada
masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta
Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan
sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan
terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal
perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi
Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal,
meskipun di tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa
penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek
Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun
1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat
ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit
van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi
kekuasaan Aceh.


Kerajaan Mataram

Sejarah
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah
berdiri pada abad ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng
Sela dan Ki Ageng Pemanahan, yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat
keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu Kadipaten di bawah
Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki
Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah
Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa keemasannya pernah menyatukan tanah
Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. Negeri ini pernah memerangi VOC di
Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya
malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang
keruntuhannya. Mataram merupakan kerajaan berbasis agraris/pertanian dan
relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat
dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, sistem
persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa
Sunda, politik feodal di Pasundan, serta beberapa batas administrasi wilayah yang
masih berlaku hingga sekarang.
Kerajaan Pajang

Sejarah
Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah
sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal
batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota
Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo. Sesungguhnya nama
negeri Pajang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut
Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365, ada seorang adik perempuan Hayam
Wuruk (raja Majapahit saat itu) menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar
Bhatara i Pajang, atau disingkat Bhre Pajang. Nama aslinya adalah Dyah Nertaja,
yang merupakan ibu dari Wikramawardhana, raja Majapahit selanjutnya.
Dalam naskah-naskah babad, negeri Pengging disebut sebagai cikal bakal
Pajang. Cerita Rakyat yang sudah melegenda menyebut Pengging sebagai
kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh bebuyutan
Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng berdirinya
Candi Prambanan. Ketika Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi
naskah babad), nama Pengging muncul kembali. Dikisahkan putri Brawijaya
yang bernama Retno Ayu Pembayun diculik Menak Daliputih raja Blambangan
putra Menak Jingga. Muncul seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang
berhasil merebut sang putri dan membunuh penculiknya.
Atas jasanya itu, Jaka Sengara diangkat Brawijaya sebagai bupati
Pengging dan dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian
bergelar Andayaningrat. Pajang terlihat sebagai kerajaan pertama yang muncul di
pedalaman Jawa setelah runtuhnya kerajaan Muslim di Pasisir. Menurut naskah
babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat terjadinya perang
antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh putranya, yang
bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu
Pengging menjadi daerah bawahan Kerajaan Demak. Beberapa tahun kemudian
Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak memberontak terhadap
Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa justru mengabdi ke
Demak. Prestasi Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia
diangkat sebagai menantu Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar
Hadiwijaya. Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira
mencakup Boyolali dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik takhta, namun
kemudian tewas dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang tahun
1549. Setelah itu, Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun
gagal. Dengan dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara dan puteri Trenggana),
Hadiwijaya dan para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun
menjadi pewaris takhta Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.

Kerajaan Demak



Sejarah
Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama
dan terbesar di pantai utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak
sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit, kemudian muncul
sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit. Kerajaan ini
tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia
pada umumnya. Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami
kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada
tahun 1568, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh
Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid
Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo. Lokasi keraton
Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara
(dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi kota Demak di Jawa
Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai
Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca
"Prawoto") dan untuk periode ini kerajaan disebut Demak Prawata.
Menjelang akhir abad ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara
praktis beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-
wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim
sebagai pewaris tahta Majapahit.
Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul
sebagai kawasan yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak
merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara Raja Demak (Raden
Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh
kemungkinan besar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po.
[2]

Kemungkinan besar puteranya adalah orang yang oleh Tom Pires dalam Suma
Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau
"Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adik Rodim, yang
bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun
1521 sampai 1546. Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja
Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun
1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukan Majapahit.








Kerajaan Makassar

Sejarah
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan
besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari
kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir
barat Sulawesi. Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa
dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling
terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang
dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh
Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung
Palakka. Perang Makassar bukanlah perang antarsuku karena pihak Gowa
memiliki sekutu dari kalangan Bugis; demikian pula pihak Belanda-Bone
memiliki sekutu orang Makassar. Perang Makassar adalah perang terbesar VOC
yang pernah dilakukannya pada abad ke-17.
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal
dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat
kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata,
Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan,
komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari
pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi
tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya
Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya
Kerajaan Samudra Pasai

Sejarah
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau
Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara
Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi
Aceh, Indonesia. Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk
dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Namun beberapa sejarahwan
memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-
raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin
berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-
Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab
Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah
(13041368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345.
Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.



Kerajaan Banten

Sejarah
Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri
di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan
Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan
menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai
pangkalan militer serta kawasan perdagangan. Maulana Hasanuddin, putera
Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan
tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan
Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten
menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan
mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa
telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan
dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta
ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan
Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada
tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di
Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan
Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia
Belanda.

Anda mungkin juga menyukai