Anda di halaman 1dari 18

17

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan
Hutan adalah lahan yang ditumbuhi pohon cukup rapat sehingga tajuknya
bertaut satu sama lain. Hutan dibedakan atas hutan boreal di bagian utara bumi,
hutan tropika di bagian khatulistiwa dan hutan temperet (temperate) di antara
hutan boreal dan hutan tropis pada daerah dengan curah hujan lebih dari 1.000
mm/tahun. Hutan tropis masih terbagi dua yaitu hutan tropika basah di daerah
yang curah hujannya banyak dan panjang serta hutan tropika kering atau hutan
gugur daun di daerah yang curah hujannya pendek (Sagala, 1994).
Hutan dipandang sebagai suatu ekosistem adalah sangat tepat, mengingat
hutan itu dibentuk atau disusun oleh banyak komponen yang masing-masing
komponen tidak berdiri sendiri, tidak bisa dipisah-pisahkan, bahkan saling
mempengaruhi dan saling bergantung. Berkaitan dengan hal tersebut di dalam
UU RI No.41 Tahun 1999 menyatakan hutan adalah kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak
dapat dipisahkan (Indriyanto, 2006).
J ika ditelaah lebih mendalam tentang beberapa pengertian atau defenisi
tentang hutan, maka di dalam pengertian hutan itu terkandung dan erat kaitannya
dengan proses alam yang saling berhubungan. Diantara proses alam yang
dimaksudkan antara lain sebagai berikut (Arief,1994 dalam Indriyanto, 2006):
14. Proses yang berkenaan dengan siklus air dan pengawetan tanah, dan disebut
dengan proses hidro-orologis.
18



15. Proses pengendalian iklim maupun pengaruh iklim terhadap eksistensi hutan.
16. Proses yang berkaitan dengan kesuburan tanah.
17. Keanekaragaman hayati. Hutan merupakan gudang plasma nuftah (sumber
genetic) dari berbagai jenis tumbuhan (flora) dan binatang (fauna).
18. Kekayaan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan
manusia.
19. Objek wisata alam.
Indonesia memiliki wilayah 750 juta hektar dengan luas daratan 193 juta
hektar (24,7%). Di atas daratan tersebut, terdapat hutan seluas 143,9 juta hektar
(75% dari luas daratan). Wilayah hutan itu sebagian besar berada di Kalimantan,
Sumatera, Irian J aya bagian timur, dan J awa yang merupakan tipe hutan tropis.
Sebagian berupa hutan tropis musiman berada di J awa Timur, Bali, NTB,
Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Irian J aya bagian selatan. Sebagian kecil dari
hutan tersebut berupa hutan rawa air tawar, yaitu di Sumatera bagian timur,
Kalimantan Selatan, dan Irian J aya (Indriyanto, 2008)
Hutan Indonesia termasuk hutan tropika basah di wilayah barat dan hutan
tropika kering di wilayah timur. Hutan tropika basah masih dibedakan atas hutan
bakau, hutan pantai, hutan rawa gambut, hutan dataran rendah, hutan perbukitan
dan hutan pegunungan. Kemudian berdasarkan komposisi jenisnya dibedakan lagi
menjadi hutan eboni, hutan meranti, hutan ramin, hutan rasamala dan lain-lain.
Dibandingkan dengan hutan lainnya, hutan tropika basah Indonesia mengandung
paling banyak jenis mahluk hidup dengan kata lain keanekaragaman hayati paling
tinggi (Sagala, 1994)
19



Menurut Vickery (1984) dalam Indriyanto (2006) hutan hujan tropis
merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan
yang terletak pada 10LU dan 10 LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk
oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000-4.000 mm per tahun,
rata-rata temperatur 25C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang
tahun, rata-rata kelembaban udara 80%. Santoso (1996) dan Direktorat J enderal
Kehutanan (1976) dalam Indriyanto (2006) mengemukakan bahwa tipe ekosistem
hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut
klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson).

Bentuk Pemanfaatan Kawasan Hutan Konservasi
Ciri dan fungsi hutan konservasi
J enis-jenis hutan berdasarkan fungsi utamanya, maka hutan di Indonesia
dikelompokkan ke dalam tiga jenis yaitu hutan lindung, hutan produksi dan hutan
konservasi. Hal ini diuraikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor
41 Tahun 1999 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990
yang defenisinya sebagai berikut:
1. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah.
2. Hutan Produksi ialah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan. Hasil utama dari hutan produksi berupa kayu,
sedangkan hasil hutan lainnya termasuk hasil hutan non-kayu mencakup rotan,
20



bambu, tumbuhan obat, rumput, bunga, buah, biji, kulit kayu, daun, lateks
(getah), resin (damar, kopal, gom, gondorukem dan jernang) dan zat ekstraktif
lainnya berupa minyak.
3. Hutan konservasi ialah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya (Indriyanto, 2008).
Hutan konservasi dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan
fungsinya yaitu:
1. Hutan suaka alam ialah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi
pokok sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan
(UU RI No. 5 tahun 1990 dan UU RI No. 41 Tahun 1999). Selain itu hutan
suaka alam didefenisikan sebagai suatu kawasan hutan karena keadaan dan
sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, tipe ekosistem, gejala, dan keunikan alam bagi
kepentingan pengawetan plasma nuftah, ilmu pengetahuan, wisata dan
pembangunan pada umumnya (Direktorat Bina Program Kehutanan, 1981
dalam Indriyanto, 2008).
2. Hutan pelestarian alam ialah hutan dengan ciri khas tertentu dan mempunyai
fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (UU RI No. 5 tahun 1990 dan UU
RI No. 41 Tahun 1999 dalam Indriyanto, 2008).
21



3. Taman buru ialah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata buru
(UU RI No. 41 Tahun 1999). Di dalam kawasan hutan yang disebut sebagai
taman buru di dalamnya terdapat satwa buru yang memungkinkan
diselenggarakannya perburuan yang teratur untuk kepentingan rekreasi
(Indriyanto, 2008).

Pengelolaan kawasan hutan konservasi
Kriteria penetapan hutan suaka alam dilakukan berdasarkan ketetapan dan
penilaian Menteri Kehutanan. Untuk menjaga agar hutan suaka alam dapat
berfungsi dengan sebaik-baiknya, maka di dalam hutan suaka alam tidak boleh
dilaksanakan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi tersebut.
Penegasan ini tercantum dalam Kepmen Pertanian Nomor 681/Kpts/Um/8/1981
tanggal 8 Agustus 1981 (Zain, 1995).
Berdasarkan fungsinya hutan suaka alam terdiri dari;
1. Cagar alam ialah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya yang
mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem
tertentu yang perlu dilindungi dan pengembangannya berlangsung secara
alami.
2. Suaka margasatwa ialah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa
keanekaragaman dan keunikan jenis satwa sehingga untuk kelangsungan
hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
3. Cagar biosfer adalah suatau kawasan yang terdiri atas ekosistem asli, ekosistem
unik dan ekosistem yang telah mengalami degradasi dan secara keseluruhan
22



unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan untuk kepentingan penelitian dan
pendidikan (Indriyanto, 2008).
Komponen di kawasan pelestarian alam terdiri dari 3 bagian yaitu:
1. Taman Nasional, adalah kawasan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola
dengan sistem zonasi yang dimanfatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.
2. Taman Hutan Raya adalah kawasan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau
satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan/atau bukan asli, yang
dimanfaatkan bagi kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
kebudayaan, budaya, pariwisata dan rekreasi.
3. Taman Wisata Alam adalah kawasan yang terutama dimanfaatkan untuk
kepentingan periwisata dan rekreasi alam (Zain, 1995).
Khusus untuk kegiatan kepariwisataan dan rekreasi, pemerintah
berdasarkan UU Konservasi dapat memberikan hak pengusahaan pada zona
kawasan pemanfaatan di Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata
dengan mengikutsertakan rakyat. Kegiatan ditujukan bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat (Zain,1995).

Tanaman Meranti
Ciri umum meranti
Meranti termasuk marga Shorea, famili Dipterocarpaceae. J umlah
spesiesnya mencapai 130 jenis dan sebagian besar tumbuh secara alami di hutan
Kalimantan dan Sumatera. Dalam perdagangan dikenal jenis meranti kuning,
meranti merah dan meranti putih.
23



Pohon Meranti dapat mencapai tinggi 60 m, bebas cabang 35 m, diameter
1 m. Banir menonjol tetapi tidak terlalu besar. Tajuk lebar, berbentuk payung
dengan ciri berwarna coklat kekuning-kuningan. Kulit coklat keabu-abuan, alur
dangkal, kayu gubal pucat, dan kayu teras merah tua. Daun lonjong sampai bulat
telur, panjang 8 - 14 cm, lebar 3,5 - 4,5 cm. Permukaan daun bagian bawah
bersisik seperti krim, tangkai utama urat daun dikelilingi domatia terutama pada
pohon muda, sedang urat daun tersier rapat seperti tangga. Bunga kecil dengan
mahkota kuning pucat, helai mahkota sempit dan melengkung ke dalam seperti
tangan menggenggam (Irwanto, 2009).

Klasifikasi ilmiah
Kingdom : Plantae
Ordo : Malvales
Family : Dipterocarpaceae
Genus : Shorea
Species : Shorea spp.

Penyebaran
Famili Dipterocarpaceae memiliki tiga sub famili yaitu Dipterocarpaceae,
Pakaraimoideae dan Monotoideae. Penyebarannya cukup luas mulai dari Afrika,
Seychelles, Srilangka, India, China hingga ke wilayah Asia Tenggara (Burma,
Thailand, Malaysia, Indonesia). J umlah jenisnya yang sudah tercatat adalah 512
jenis dari 16 genus (Rasyid et al.tahun 1991 dalam Irwanto, 2009).
Sub famili Pakaraimoideae, pertama kali dijumpai di Guyana Selatan pada
ketinggian tempat dari 0 1800 mdpl. Marga yang termasuk sub famili ini antara
24



lain Pakaraimoideae. Selanjutnya sub famili terdiri dari dua marga yaitu Monotes
A.Dc. dan Margueria Gilg. Marga Monotes memiliki 36 jenis pohon dan marga
Margueria memiliki jenis pohon yang lebih sedikit. Diantara sub family tersebut
di atas yang terpenting adalah Dipterocarpaceae, karena memiliki jumlah jenis
yang banyak dan diantaranya banyak yang diperdagangkan. Sub famili ini
memiliki 13 genus dan 470 jenis, diantaranya 9 genus terdapat di Indonesia yaitu
Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, Hopea, Vatica, Cotylelobium, Parashorea,
Anisoptera, Upuna. Secara alam jenis-jenis Dipterocarpaceae merupakan hutan
alam campuran dan relatif masih sedikit yang sudah dibudidayakan dalam bentuk
hutan tanaman murni. Penyebaran potensi hutan alamnya di Indonesia merupakan
data sementara, karena belum ada inventarisasi secara menyeluruh (Rasyid et al.
tahun, 1991 dalam Irwanto, 2009).

Tempat tumbuh
Pohon meranti banyak terbesar di kawasan tropis Asia, mulai dari Brunei,
Indonesia (terutama di Kalimantan dan Sumatera), Malaysia (terutama di Sabah
dan Serawak) dengan habitat alami pada ketinggian yang kurang dari 600 meter di
atas permukaan laut. Tanah yang baik untuk pertumbuhan pohon ini adalah liat
alluvial lahan kering pada hutan hutan dataran rendah, meskipun dapat tumbuh
pada tanah yang kadang-kadang atau selalu tergenang air, tanah berbatu, tanah
berpasir, namun kurang baik pada tanah liat berat (Rauf, 2009).
Pohon meranti tumbuh baik pada tipe iklim A dan B di daerah dengan
curah hujan berkisar antara 1000-3000 mm per tahun. Suhu udara optimal yang
diinginkan efektif lebih dari 30 cm, pada topografi datar hingga miring. Pohon
25



dewasa memerlukan sinar matahari yang cukup, namun pohon muda akan tumbuh
baik di bawah naungan (tegakan) pohon lainnya (Rauf, 2009).
Sebagian besar jenis-jenis Dipterocarpaceae terdapat pada daerah beriklim
basah dan kelembaban tinggi dibawah ketinggian tempat 800 mdpl, yaitu pada
curah hujan di atas 2000 mm per tahun dengan musim kemarau yang pendek.
Pada ketinggian tempat di atas 800 meter di atas permukaan laut (m dpl) sangat
sedikit jumlahnya. J enis pohon Dipterocarpaceae yang tumbuh sampai ketinggian
1200 m dpl adalah Shorea carapae, Shorea rubra, Vatica hepteroptera.
Kemudian yang tumbuh sampai ketinggian tempat 1500 m dpl, antara lain
Dipterocarpus longisperma, Vatica dulitensis, Shorea monticola, Shorea ovata,
Vatica oblongifolia dan yang tumbuh sampai ketinggian 1800 m dpl. adalah
Shorea platyclados, Shorea venolosa, Hopea cernua, Vatica grenulata (Rasyid
dkk., 1991 dalam Irwanto, 2009).
Adanya asosiasi dengan ekotomikorisa yang memungkinan jenis-jenis
Dipterocarpaceae dapat hidup pada tanah-tanah asam. J amur ektomikorisa
umumnya berasal dari Basidiomycetes. Temperature tanah optimum yang
dibutuhkan untuk perkembangan ektomikorisa 25,5 28,5C dan diatas 32C
perkembangan terhambat bahkan diatas 35C mati (Irwanto, 2009).
Shorea leprosula Miq. merupakan salah satu jenis asli Kalimantan yang
dikenal dengan nama Meranti merah. Di hutan alam jenis ini dapat mencapai
diameter 100 cm dengan tinggi batang bebas dahan 30 m. Kayunya dapat
digunakan untuk berbagai keperluan seperti kayu lapis, kayu gergajian dan bahan
bangunan. Hasil pengamatan pertumbuhan tanaman meranti merah di berbagai
tempat menunjukkan adanya variasi pertumbuhan baik tinggi maupun diameter.
26



Di Kamboja tanaman S. leprosula umur 10 tahun mempunyai rataan diameter
23,8 cm dengan diameter tertinggi mencapai 26,7 cm. Selanjutnya di Malinau
tanaman umur 30 tahun rataan diameternya adalah 35,6 cm dengan diameter
tertinggi mencapai 54,1 cm. Penanaman jenis ini dalam skala besar belum banyak
dilakukan, untuk itu pembangunan hutan tanaman khususnya meranti merah perlu
ditingkatkan guna menunjang industri perkayuan. Disamping itu dengan tingkat
pertumbuhan yang relatif cepat dan pasaran kayu yang sudah terkenal maka
prospek penanaman Shorea leprosula cukup cerah dan cukup menjanjikan
(Irwanto,2009).
Shorea parvifolia sering disebut Meranti Sabut, Meranti Sarang Punai,
Kantoi Burung (Kalimantan Barat); Abang Gunung (Kalimantan Timur).
Penyebarannya Sumatera, Kalimantan, Peninsula Malaysia, Thailand pada hutan
dipterocarps, jenis tanah liat di bawah 800 mdpl. Pohon raksasa tinggi mencapai
65 m; tajuk besar, terbuka, berbatang lurus, silindris, mencapai diameter 200 cm;
banir besar, mencapai tinggi 4 m. Meranti ini dikategorikan dalam jenis meranti
merah bersama-sama dengan Shorea leprosula. Meranti merah terdiri dari pohon
besar dan berbanir besar. Batang merekah atau bersisik, pada umumnya berdamar.
Kulit luar tebal, kulit dalam juga tebal, berurat-urat, warnanya merah atau
kemerah-merahan, gubalnya kuning pucat. isi kayu berwarna merah
(Irwanto, 2009).

Manfaat dan kegunaan
Kayu meranti merupakan kayu berharga dan sangat baik untuk perabot,
panel, lantai, langit-langit, dan juga untuk kayu lapis. Selain itu, kayu meranti
27



banyak digunakan untuk kontruksi berat atau sedang, untuk kosen, daun pintu dan
jendela, badan kapal dan lain-lain. Pohon meranti juga menghasilkan resin yang
dikenal dengan nama dagang damar daging yang dapat digunakan untuk obat.
Kulitnya dapat dipakai untuk produksi tannin. Ekstrak dari spesies tertentu
diketahui dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan tumor. Selain itu, biji
tengkawang yang dihasilkan dari pohon meranti merupakan salah satu hasil non-
kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Rauf, 2009).

Peran Hutan Sebagai Penyerap Karbon
Karbon adalah bahan penyusun dasar semua senyawa organik.
Pergerakannya melalui suatu ekosistem berbarengan dengan pergerakan energi,
melebihi zat kimia lain: karbohidrat dihasilkan selama fotosintesis, dan CO
2

dibebaskan bersama energi selama respirasi. Dalam siklus karbon, proses timbal
balik fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu hubungan antara
lingkungan atmosfer dan lingkungan terrestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon,
dalam bentuk CO
2
dari atmosfer melalui stomata daunnya dan
menggabungkannya ke dalam bahan organik biomassanya sendiri melalui proses
fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon
bagi konsumen. Respirasi oleh semua organisme mengembalikan CO
2
Organisme autotrofik yang umunya berupa tumbuhan hijau merupakan
komponen produsen di alam. Produsen menggunakan energi radiasi matahari
dalam proses fotosintesis, sehingga mampu mengasimilasi CO
ke atmosfer
(Widhiastuti dan Aththorick,2006).
2
dan H
2
O
menghasilkan energi kimia yang tersimpan dalam bentuk karbohidrat. Energi
28



kimia inilah sebenarnya merupakan sumber energi yang kaya senyawa karbon.
Dalam proses fotosintesis tersebut, oksigen dikeluarkan oleh tumbuhan hijau
kemudian dimanfaatkan oleh semua mahluk hidup di dalam proses pernapasan
(Indriyanto, 2006).
Hutan adalah sumber daya alam yang multi fungsi. Dalam kaiatannya
dengan efek pemanasan global hutan mengurangi kadar CO
2
di udara dan
memperangkapnya dalam bentuk biomassa hutan. Reboisasi dan penghijaun
membuat tanaman dengan jenis yang tumbuh cepat, penyerapan CO
2
akan
berjalan cepat. Karbon yang tersimpan dalam hutan tanaman akan lebih besar
daripada biomassa hutan yang rusak. Dengan demikian hutan tanaman itu akan
membantu dalam penurunan kadar CO
2
Pada ekosistem dengan komunitas tumbuhan sempurna dan
keanekaragaman spesies tumbuhannya tinggi, maka produksi karbondioksida baik
oleh aktivitas organisme pengurai, proses respirasi, maupun penggunaan bahan
bakar fosil akan diimbangi oleh proses pengikatan/fiksasi karbondioksida oleh
tumbuhan. Hal demikian menyebabkan ekosistem hutan hujan tropis memiliki
kemampuan yang lebih besar dalam mereduksi pencemaran udara khususnya yang
disebabkan gas karbon di udara. Telah diketahui bahwa meningkatnya kandungan
karbondioksida di udara akan menyebabkan kenaikan suhu bumi yang terjadi
karena efek rumah kaca, panas yang dilepaskan dari bumi diserap oleh
karbondioksida di udara dan dipancarkan kembali ke permukaan bumi, sehingga
proses tersebut akan memanaskan bumi. Oleh karena itu keberadaan ekosistem
hutan memiliki peranan penting dalam mengurangi gas karbondioksida yang ada
di udara.
29



di udara melalui pemanfaatan gas karbondioksida dalam proses fotosintesis oleh
komunitas tumbuhan hutan (Indriyanto,2006).
Hutan hujan tropis merupakan salah satu ekosistem teretrial yang paling
produktif, dan karena hutan hujan tropis menutupi sebagian besar bumi.
Ekosistem ini menyumbang dalam proporsial besar bagi keseluruhan
produktivitas planet ini (Widhiastuti dan Aththorick, 2006).
Pada setiap ekosistem jumlah karbon tersimpan berbeda-beda, hal ini
disebabkan perbedaan keanekaragaman dan kompleksitas komponen yang
menyusun ekosistem. Kompleksitas ekosistem akan berpengaruh kepada cepat
atau lambatnya siklus karbon yang melalui setiap komponennya. Pada ekosistem
hutan hujan tropis keanekaragaman biota (termasuk spesies tumbuhan) sangat
tinggi, sehingga pengembalian karbon organik ke dalam tanah berjalan dengan
cepat, dan karbon yang tersimpan dalam biomassa tumbuhan lebih besar
dibandingkan dengan ekosistem lainnya (ekosistem hutan iklim sedang, padang
rumput iklim sedang, dan ekosistem gurun). Kemampuan penyimpanan karbon
pada tiap-tiap tipe ekosistem dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kemampuan dalam Menyimpan Karbon dan Distribusinya pada Setiap
Ekosistem
Ekosistem
Karbon pada
Produksi Primer
Bersih (Ton/Ha/Th)
Karbon yang Tersimpan
pada Biomassa Tumbuhan
(Ton/Ha/Th)
Karbon Organik
Tanah (Ton/Ha/Th)
Hutan hujan tropis
Hutan iklim sedang
Padang rumput
iklim sedang
Gurun
11
6

3
0,05
11
6

0,4
0,01
80
100

150
1
Sumber data: Killham,1996 dalam Indriyanto, 2006.
Hutan tropis memiliki indeks area-daun tinggi karena spesiesnya sangat
banyak dan stratifikasinya, berakibatkan produksi primer bruto yang tinggi (70-
100 ton per hektar per tahun). Namun produksi primer netonya rendah (kira-kira
30



22 ton per hektar) karena konsumsi respirasi yang tinggi (lebih besar dari 50%)
oleh biomassa yang besar. Hutan tropis menyusun 44% produksi primer total
bumi, sehingga penting bagi keseimbangan CO
2
dunia (Rodin et al. tahun 1975
dalam Polunin, 1997). Karena struktur dan produktivitas siklus hara lewat jalur
autotrof dan heterotrof yang dapat dengan mudah diganggu oleh setiap gangguan
manusia pada hutan (Polunin, 1997).

Biomassa Dalam Komunitas Hutan
Biomassa merupakan hasil fotosintesis berupa selulosa, lignin, gula
bersama dengan lemak, pati, protein, damar, fenol dan berbagai senyawa lainnya.
Begitu pula unsur hara, nitrogen, fosfor, kalium dan berbagai unsur lain yang
dibutuhkan tumbuhan melalui perakaran. Biomassa inilah yang merupakan
kebutuhan makhluk di atas bumi melalui mata rantai antara binatang dan manusia
dalam proses kebutuhan CO
2
yang diikat dan O
2
Biomassa atau bahan organik merupakan suatu bagian yang dapat
digunakan sebagai bahan bakar, sebagai sumber energi untuk memasak, dan
memanaskan. Kandungan energi dari selulosa adalah 4.500 kkal/kg (18,8 MJ /kg),
sedangkan kayu adalah 4.200 kkal/kg (17,6 MJ /kg). Kuantitas energi potensial
dari proses fotosintesis yang diserap oleh tumbuhan digunakan untuk membentuk
biomassa. Penggunaan biomassa sebagai bahan bakar akan menghadapi beberapa
kelemahan diantaranya adalah nilai kalor rendah, kelembaban tinggi, BJ rendah,
yang dilepas. Di permukaan
bumi ini, kurang lebih terdapat 90% biomassa yang terdapat dalam hutan
berbentuk pokok kayu, dahan/cabang, daun, akar, dan sampah hutan (serasah),
hewan dan jasad renik (Arief, 2001).
31



dan secara fisik jarang yang homogeni dan tidak padat (White dan Plaskett, 1981
dalam Onrizal, 2004).
Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu biomassa di atas
permukaan tanah (above ground biomass) dan di bawah permukaan tanah adalah
(below ground biomass). Lebih lanjut dinyatakan bahwa biomassa di atas
permukaan tanah adalah berat bahan organik per unit area pada waktu tertentu
yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktivitas, umur tegakan, dan
distribusi organik (Kusmana et al, 1992, Kusmana, 1993 dalam Onrizal, 2004).
Hairiah et al., (2001) menyatakan di atas permukaan tanah terdiri atas batang
pohon, cabang, dan daun pada pohon yang masih hidup, tumbuhan menjalar,
tumbuhan pemanjat, tumbuhan bawah serta tumbuhan epifit termasuk juga
serasah. Bagian pohon yang berasal dari pohon komersial umumnya terdiri dari
batang pohon (60-65%), tajuk (5%), daun dan cabang (10-15%), tunggak (5-10%)
dan akar (5%). Kayu memiliki komposisi sebagai berikut selulosa (50%),
hemiselulosa (20%) dan lignin (30%) (White dan Piaskett, 1981 dalam Onrizal,
2004).
Hutan mengabsorpsi CO
2
selama proses fotosintesis dan menyimpannya
sebagai materi organik dalam biomassa tanaman. Banyaknya materi organik yang
tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan
pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas merupakan gambaran kemampuan
hutan dalam mengurangi emisi CO
2
di atsmosfer melalui aktivitas fisiologisnya.
Pengukuran produktivitas hutan relevan dengan pengukuran biomassa. Biomassa
hutan menyediakan informasi penting dalam menduga besarnya potensi
32



penyerapan CO
2
biomassa dalam umur tertentu yang dapat dipergunakan untuk
mengestimasi produktivitas hutan (Heriansyah, 2005).
Ada dua golongan tumbuhan utama yang membedakan efisiensi masing-
masing dalam pembentukan karbohidrat, ialah golongan C
3
termasuk jenis
tumbuhan yang tidak efisien dan golongan C
4
termasuk yang efisien. Tumbuhan
efisien merupakan tumbuhan yang mempunyai kapasitas fotosintesis tinggi, dan
sebaliknya tumbuhan non-efisien mempunyai kemampuan berfotosintesis dengan
laju rendah. Golongan tumbuhan efisien mempunyai kemampuan mengambil CO
2

mengikat pada intensitas cahaya yang tinggi. Kapasitas berfotosintesisnya
menyerap CO
2
Kelompok komponen vegetasi
pada suhu berkisar 30-40C, dan kemampuan akan menurun bila
suhu berkisar di bawah 15-20C (Sutarno dan Sudibyo, 1997).
Di dalam suatu ekosistem hutan pada umumnya terjadi distribusi vertikal
dari produktivitas primer bersih, hal itu berhubungan dengan terjadinya distribusi
vertikal dari biomassanya. Data distribusi biomassa dan produktivitas primer
bersih pada setiap kelompok komponen vegetasi yang menyusun ekosistem hutan
disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2. Biomassa dan Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kelompok
Komponen Vegetasi yang Menyusun Ekositem Hutan
Biomassa
(g/m
2
Produktivitas Primer
Bersih (g/m )
2
Pohon (bagian batang dan tajuk)
Perdu (bagian batang dan tajuk)
Semak dan herba (bagian batang dan
tajuk)
Pohon (bagian akar)
Perdu (akar)
Semak dan herba (bagian akar)
/tahun)
6.403
158
2

3.325
305
1
796
61
2

260
73
4
Total 10.194 1.196
Sumber data; Odum, 1993 dalam Indriyanto, 2006.

33



Piramida biomassa menggambarkan penurunan dan peningkatan biomassa
organisme pada tiap tahap tingkatan trofik. Piramida biomassa pada ekosistem
daratan dan ekosistem perairan terjadi perbedaan bentuk. Pada ekosistem daratan,
piramida biomassanya tegak. Pada ekosistem daratan memiliki jumlah produsen
yang lebih banyak dibandingkan jumlah organisme konsumen pada tiap tingkat
trofik, dan siklus hidup organisme produsen pada umumnya lebih panjang, maka
biomassa semua produsen pada setiap waktu selalu lebih besar, sedangkan
biomassa konsumen makin kecil menuju ke puncak piramida. Adapun pada
ekosistem perairan memiliki piramida biomassa terbalik karena biomassa
konsumen lebih besar daripada biomassa produsen (Indriyanto, 2006).
34



Tabel 3. Biomassa di Atas Permukaan Tanah pada Beberapa Tegakan
No Lokasi
Umur
(Tahun)
Biomassa
(Ton/Ha)
Sumber Data
1

Biomassa Pada Acasia Mangium
- BKPH Parung Panjang
Prov. J awa Barat
- HTI WKS Seri Tapa, Prov.
J ambi

- RPH Maribaya Prov. J awa
Barat
- Madang, PNG

- MHP, Prov. Sumatera
Selatan

10

6


10

7

9



53,89

102,92


67,73

109,20

189,50


Dahlan dkk (2005)

Ardiansyah et al (2004)
dalam Dahlan dkk (2005)
Heriansyah et al (2003) dalam
Dahlan dkk (2005)

Yanada et al. (2003) dalam
Dahlan dkk (2005)
Hardiyanto et al (2000) dalam
Dahlan dkk (2005)
2 Biomassa Tegakan di RPH
Somagede, BKPH Karang
Anyar, KPH Kedu Selatan
- Pinus
- Damar




126,28
21,6




Sukresno, et al. (2004)
Sukresno, et al. (2004)
3 Cadangan Karbon Tersimpan
pada Pohon Taman Wisata
Alam Taman Eden Desa
Sionggang Utara kecamatan
Lumban julu kabupaten Toba
samosir

- 95,82



Bakri (2009)
4 Biomassa dan Karbon Tegakan
Hutan Kerangas di Taman
Nasional Danau Sentarum,
Kalimantan Barat
- 874,9


Onrizal (2004)

Anda mungkin juga menyukai