Anda di halaman 1dari 14

Work Plan

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER


(PTSD)



DISUSUN OLEH:

FAUZAN LUTHFI AM
1307101030154














BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
RUMAH SAKIT JIWA BANDA ACEH
2014



1

1. Pendahuluan
Kejadian luar biasa dalam kehidupaan dapat dialami oleh seseorang
mulai sejak dalam kandungan sampai akhir hayatnya. Peristiwa dalam hidup
dapat disebabkan alam dan peristiwa atau permasalahan yang ditimbulkan
oleh manusia sendiri. Semakin berat peristiwa yang dialami oleh seseorang,
semakin besar peluang orang tersebut mengalami gangguan stres pasca
trauma yang dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorders (PTSD).
Stres pasca trauma umumnya terjadi setelah seseorang mengalami,
menyaksikan trauma berat yang mengancam fisik maupun psikis. Trauma ini bisa
saja pengalaman dirawat di rumah sakit maupun akibat bencana. Banyaknya
peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di negara kita, seperti tsunami, gempa bumi,
gunung meletus dan banjir yang menimbulkan banyak korban baik harta atau jiwa
umumnya menimbulkan suatu trauma psikologis yang berat baik bagi korban atau
keluarganya. Trauma yang dialami tersebut merupakan faktor stresor yang berat,
sehingga dapat menyebabkan suatu keadaan PTSD, apabila orang tersebut tidak
dapat mengatasinya. Penderita PTSD tersebut mempunyai gambaran berupa
perasaan cemas berlebihan dan ketakutan bila orang tersebut teringat atau melalui
tempat peristiwa tersebut terjadi, disertai dengan ketegangan motorik,
hiperaktivitas otonom dan kewaspadaan berlebih. Tetapi untuk mendiagnosa
PTSD yang terpenting adalah suatu trauma fisik atau psikologis sebagai faktor
stresornya. Penanganan penderita PTSD harus diperhatikan secara serius karena
pengobatan tidak hanya pada keluhan fisik saja, tetapi juga terhadap
psikologisnya, yaitu untuk membantu penderita melupakan peristiwa tersebut dan
dapat melanjutkan kehidupannya. sehingga diharapkan penderita PTSD dapat
sembuh baik fisik maupun kejiwaannya.
Beberapa pasien perawatan intensif mengalami PTSD setelah trauma
tinggal di rumah sakit, dan ini adalah pemikiran yang akan diperburuk oleh
kenangan waktu mereka di unit perawatan intensif. Saat ini telah ditemukan
bahwa jika staf dan keluarga dekat membuat buku harian untuk pasien, yang
menampilkan informasi tentang tinggal pasien, keluarga dan perawat dengan
disertai foto, kejadian PTSD dapat dikurangi secara signifikan.


2

2. Definisi
Menurut American Psychological Assosiation, Post Traumatic Stress
Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah peristiwa
atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan
dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam.
Peristiwa traumatis (traumatic experience) adalah peristiwa yang
menyakitkan yang menimbulkan efek psikologis dan fisiologis yang berat.
Peristiwa traumatis mencakup tragedi personal, seperti berada dalam kecelakaan
yang serius, menjadi korban kekerasan, atau mengalami peristiwa bencana yang
mengancam hidup. Peristiwa traumatis dapat terjadi dalam skala yang besar dan
dengan segera dapat mempengaruhi seseorang: misalnya, kebakaran, gempa bumi,
kerusuhan dan perang..
3. Etiologi
3.1 Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor resiko PTSD. Memiliki kejadian traumatis yang
dialami, prediktor PTSD mencakup ancaman yang dirasakan terhadap nyawa,
berjenis kelamin perempuan, pemisahan dari orang tua dimasa kecil, riwayat
gangguan dalam keluarga, berbagai pengalaman traumatis sebelumnya dan
gangguan yang dialami sebelumnya (suatu gagguan anxietas atau depresi).
Memiliki intelegensi tinggi tampaknya menjadi faktor protektif, mungkin
karena hal itu diasosiasikan dengan keterampilan coping yang lebih baik.
Prevalensi PTSD juga meningkat sejalan dengan parahnya kejadian traumatik:
sebagai contoh, semakin tinggi pengalaman dalam pertempuran, semakin besar
resikonya. Diantara mereka yang memiliki riwayat gangguan dalam keluarga,
bahkan sedikit pengalaman pertempuran menyebabkan tingkat kejadian PTSD
yang tinggi.
Simtom-simtom disosiatif pada saat trauma juga meningkatkan
kemungkinan terjadinya PTSD. Disosiasi dapat memiliki peran dalam
menetapnya gangguan karena mencegah pasien menghadapi ingatan tentang
trauma tersebut.
Menurut keane dan koleganya ( 2006 ) mengelompokan faktor resiko
PTSD kedalam 3 kategori, yaitu:

3

1. Faktor yang sudah ada dan unik bagi setiap individu,
Faktor yang sudah ada, seperti kontribusi genetis, jenis kelamin seperti;
para pria lebih berpeluang mengalami trauma ( seperti pertarungan ) sedangkan
para wanita lebih berpeluang mengalami PTSD.
2. Faktor yang terkait dengan kejadian traumatis
Berasal dari penyebab terjadinya kejadian taumatis. Salah satu contohnya
yaitu: pengalaman cedera tubuh. Dalam suatu penelitian, tentara yang terluka
lebih berpeluang menggalami PTSD mereka yang terlibat dalam pertempuran
yang sama, namun tidak terluka.
3. Kejadian-kejadian yang mengikuti pengalaman traumatis.
Faktor ketiga, yaitu berfokus pada apa yang terjadi setelah mengalami
trauma.
3.2 Faktor Psikologis
Para teoris belajar berasumsi bahwa PTSD terjadi karena pengondisian
klasik terhadap rasa takut. Seorang wanita yang pernah diperkosa, contohnya,
dapat merasa takut untuk berjalan di lingkungan tertentu karena diperkosa di sana.
Berdasarkan rasa takut yang dikondisikan secara klasik tersebut, terjadi
penghindaran yang secara negatif dikuatkan oleh berkurangnya rasa takut yang
dihasilkan oleh ketidakberadaan dalam lingkungan tersebut.
Suatu teori psikodinamika yang diajukan oleh Horowitz menyatakan
bahwa ingatan tentang kejadian traumatik muncul secara konstan dalam pikiran
seseorang dan sangat menyakitkan sehingga secara sadar mereka
mensupresikanya atau merepresinya.
3.3 Faktor Biologis
Sejarah kecemasan keluarga menunjukan adanya kerentanan biologis
menyeluruh untuk PTSD. True dan kawan-kawan (1993) melaporkan bahwa,
dengan adanya paparan pertempuran yang sama banyaknya dan dengan memiliki
kembaran yang mengalami PTSD, seorang pasangan kembar monozigot (identik)
memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengembangkan PTSD dibanding
pasangan kembar dizigot. Ini menunjukan adanya pengaruh genetik tertentu dalam
perkembangan PTSD.


4

3.4 Faktor Sosial dan Kultural
Faktor sosial dan kultural berperan penting dalam pengembangan
PTSD. Hasil-hasil dari sejumlah studi dengan sangat konsisten menunjukan bila
kita memiliki sekelompok orang yang kuat dan suportif, maka kemungkinan kita
untuk mengembangkan PTSD setelah mengalami trauma akan jauh lebih kecil.
Semakin luas dan mendalam jaringan dukungan sosial, semakin kecil peluang
untuk mengembangkan PTSD
4. Tanda dan Gejala
Tiga tipe gejala atau symptom yang sering terjadi pada PTSD adalah :
1. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan
peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa
seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares
(mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi
emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan
peristiwa yang menyedihkan.
2. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan
menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap
semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal.
3. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah
marah/tidak dapat mengendalikan marah, susah berkonsen -trasi,
kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu.
Simtom-simtom PTSD dikelompokan dalam 3 kategori utama. Diagnosis
dapat ditegakan jika simtom-simtom dalam tiap kategori berlangsung selama lebih
dari satu bulan.
1. Mengalami kembali kejadian traumatis. Individu kerap teringat pada kejadian
tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Penderitaan emosional yang
mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan kejadian tersebut (petir,
mengingatkan seorang veteran pada medan perang) atau tanggal terjadinya
pengalaman tertentu (hari dimana seorang wanita mengalami penyerangan
seksual). Pentingnya mengalami kembali tidak dapat diremehkan karena
kemungkinan merupakan penyebab simtom-simtom kategori lain. Beberapa teori

5

PTSD membuat mengalami kembali sebagai ciri utama dengan mengatribusikan
gangguan tersebut pada ketidak mampuan untuk berhasil mengintegrasikan
kejadian traumatik kedalam skema yang ada pada saat ini.
2. Penghindaran stimuli yang diasosiasikan dengan kejadian terkait atau mati rasa
dalam responsivitas. Orang yang bersangkutan berusaha menghindari untuk
berpikir tentang trauma atau menghadapi stimuli yang akan mengingatkan pada
kejadian tersebut (dapat terjadi amnesia pada kejadian tersebut). Mati rasa adalah
menurunya ketertarikan pada orang lain, suatu rasa keterpisahan, dan
ketidakmampuan untuk merasakan berbagai emosi positif. Simtom-simtom ini
tampaknya hampir konradiktif dengan simtom-simtom pada item 1. Pada PTSD
kenyataanya terdapat suatu fluktuasi (penderita bergantian mengalami kembali
dan mati rasa).
3. Simtom-simtom peningkatan ketegangan. Simtom-simtom ini mencakup sulit
tidur atau mempertahankanya, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan dan
respon terkejut yang berlebihan.
5. Diagnosis
. Berikut ini adalah kriteria diagnostik untuk gangguan stres pasca trauma menurut
DSM-IV yaitu:
1. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari
berikut ini terdapat :
a. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian
atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya cedera yang serius atau ancaman kepada integritas fisik diri
sendiri atau orang lain.
b. Respon orang tersebut berupa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau
horor.
Catatan: pada anak-anak hal ini diekspresikan dengan perilaku yang kacau
atau teragitasi.
2. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih)
cara berikut:
a. Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengangu tentang kejadian,
termasuk bayangan, pikiran atau persepsi.

6

Catatan: pada anak kecil, dapat menunjukan permainan berulang dengan
tema atau aspek trauma.
b. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
Catatan: pada anak-anak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi
yang dapat dikenali.
c. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatikterjadi kembali (
termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi, dan
episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau
saat terintoksikasi ).
Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik
dengan trauma.
d. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian
traumatik.
e. Reaktifitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal
yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
3. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan
kaku kerena responsivitas umum ( tidak ditemukan sebelum trauma ), seperti yang
ditujukan oleh tiga ( atau lebih ) berikut ini:
a. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang
berhubungan dengan trauma
b. Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat atau orang yang menyadarkan
rekoleksi dengan trauma.
c. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.
d. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang
bermakna.
e. erasaan terlepas atau asing dari orang lain.
f. Rentang efek yang terbatas (misalnya tidak mampu memiliki perasaan
cinta).
g. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap
memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal).


7

4. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum
trauma), seperti yang ditujukan oleh dua (atau lebih) berikut:
a. Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur
b. Iritabilitas atau ledakan kemarahan
c. Sulit berkonsentrasi
d. Kewaspadaan yang berlebihan
e. Respon kejut yang berlebihan.
5. Lama gangguan ( gejala dalam kriteria 1, 2, 3, dan 4 ) adalah lebih dari satu
bulan.
6. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi lainya.
Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stress pasca traumatik
menurut PPDGJ III (F43,1) adalah sebagai berikut:
1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun
waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat ( masa laten yang berkisar
antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui
6 bulan ). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila
tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu
6 bulan, asal saja manivestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat
alternatif gangguan lainya.
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang
kembali ( flashback ).
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
4. Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar
biasa misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan
dalam kategori F 62,0 ( perubahan kepribadian setelah mengalami
katastofa )



8

6. Penatalaksanaan
Ada 2 macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD,
yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
1. Farmakoterapi
Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat hanya dalam hal
kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal. Para klinisi mempertimbangkan
pengobatan sebagai cara pertam untuk mempertahankan diri dari penyebab
munculnya gejala-gejala tersebut. Klien yang mengalami gejala hyperexcitability
dan reaksi berulang dapat mengambil keuntungan dari obat anti kecemasan
seperti: benzodiazepin. Bagi mereka yang mengalami iritabilitas, agresi implusif
atau ingatan mundur dapat mengonsumsi anticonvulsants, seperti: karbamazepina
atau valproic acid. Anti depresi, seperti selective serotonin reuptake inhibitors dan
monoamine-oxidase inhibitor sering digunakan untuk memberikan terapi bagi
gejala kekakuan, gangguan dan menarik diri dari lingkungan sosial.
2. Psikoterapis
Meskipun pengobatan dapat mengurangi gejala yang ada, hal yang naif
jika kita berfikir bahwa obat-obatan tersebut cukup untuk mengurangi tekanan
psikologis dan masalah interpersonal yang dialami oleh para penderita PTSD.
Konsekwensinya, para klinisi merekomendasikan psikoterapi berkelanjutan, tidak
hanya untuk mengatasi masalah emosional, namun juga untuk memonitor
bagaimana reaksi individu terhadap pengobatan medis.
a. Teknik menutup, seperti: terapi suportif dan management stress,
membantu klien mengemas rasa sakit yang disebabkan oleh trauma.
Mereka juga dapat membantu klien mengurangi stres secara lebih efektif
dan selama proses tersebut, menghilangkan beberapa masalah sekunder
yang disebabkan oleh gejala-gejala tersebut. Pada anxiety management,
terapis akan mengajarkan beberapa keterampilan untuk mengatasi gejala
PTSD dengan lebih baik.
b. Teknik tidak menutup, yang termasuk pengungkapan trauma, meliputi
treatment perilaku dengan cara imaginal flooding dan disentisasi sistemik.
Menghadapkan penderita PTSD dengan tanda-tanda yang membangkitkan
kenangan terhadap kejadian traumatis pada tingkat tertentu atau pada

9

situasi ketika individu diajarkan untuk santai, dapat memecahkan reaksi
kecemasan terkondisi.
c. Terapi cognitive, terapis membantu untuk mengubah kepercayaan yang
tidak rasional yang menganggu emosi dan menganggu kegiatan-kegiatan
kita. misalnya: seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri
sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan kognitif terapi adalah
mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti
bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang
kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu
mencapai emosi yang lebih seimbang.
d. Terapi kognitif perilaku, digunakan bagi berbagai bentuk PTSD. Prinsip
dasar terapi perilaku berbasis pemaparan adalah bahwa cara yang terbaik
mengurangi atau menghapus rasa takut adalah dengan menghadapkan
orang yang bersangkutan dengan sesuatu yang ingin dihindarinya.
Semakin banyak bukti yang muncul mengindikasikan bahwa pemaparan
terstuktur terhadap kejadian yang berkaitan dengan trauma, kadang kala
dengan imajinasi, seperti dalam desentisasi sistematik, memberikan
sesuatu yang lebih bermanfaat dari pengobatan medis, dukungan sosial,
atau berada dalam lingkungan terapeutik yang aman.
e. Terapi bermain, mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD.
Terapi memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai
secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam
berproses dengan pengalaman traumatiknya.
f. Terapi debriefing, juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik.
Boyce dan condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debrefing
pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika
melahirkan.
g. Suport group terapi dan terapi bicara, dalam suport group therapy seluruh
peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (
misal: korban stunami, korban genpa bumi ) dimana proses terapi merka
saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemudian
mereka saling memberi penguatan satu sama lain ( Swalm, 2005 ).

10

Sementara dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah
studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi cerita
mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan
berbagi bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang
dipendam.bertukar cerita membuat berasa senasib,bahkan merasa dirinya
lebih baik dari orang lain. Kondisi disini memacu seseorang untuk bangkit
dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan.
h. Pendidikan dan suportive konseling juga merupakan upaya lain untuk
mengobati PTSD. Konselor ahli mepertimbangkan pentingnya penderita
PTSD (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala PTSD dan berbagai
macam treatment (terapi dan pengobatan) yang cocok bagi PTSD.
Walaupun seseorang mempunyai gejala PTSD dalam waktu lama, langkah
utama yang pada akhirnya dapat ditempuh adalah mengenali gejala dan
permasalahanya sehingga dia mengerti apa yang dilakukan untuk
mengatasinya.
i. . EMDR ( Eye Movement Desentization and Reprocessing ), pada
tahun 1989 mulai mempublikasikan sutu pendekatan untuk menangani
trauma yang disebut EMDR. EMDR dimaksudkan untuk dilakukan
dengan sangat cepat, sering kali hanya memerlukan satu atau dua sesi dan
lebih efektif dibanding prosedur pemaparan standar yang dijelaskan
sebelumnya. Dalam prosedur ini, pasien membayangkan suatu situasi yang
berkaitan dengan masalahnya seperti: kecelakaan mobil yang sangat
mengerikan. Dengan tetap membayangkan situasi tersebut, pasien
memandang jari terapis dan mengikutinya dengan pandanganya seiring
terapis mengerakanya maju mundur kira-kira satu kaki didepan pasien.
Proses ini berlangsung selama kurang lebih satu menit atau sampai pasien
menuturkan bahwa kengerian bayangan tersebut talah berkurang.
Kemudian terapis meminta pasien menceritakan semua pikiran negatif
yang muncul dipikiranya, sekali lagi dengan mengarahkan pandanganya
pada jari terapis yang terus bergerak. Terakhir terapis, mendorong pasien
untuk berfikir secara lebih positif, seperti saya dapat mengatasi hal ini

11

dan hal ini juga dilakukan sambil memandang jari-jari terapis yang
bergerak.
j. Pendekatan psikoanalisis. Pendekatan psikodinamika dari Horowitz
memiliki banyak persamaan dengan penanganan yang disebutkan diatas
karena dia mendorong pasien untuk membahas trauma dan memaparkan
diri mereka pada kejadian yang memicu PTSD. Namun Horowitz
menekankan cara trauma berinteraksi dengan kepribadian pratrauma
pasien, dan penanganan yang ditawarkanya juga memiliki banyak
persamaan dengan berbagai pendekatan psikoanlitik lain, termasuk
pembahasan mengenai pertahanan dan analisis reaksi transferensi oleh
pasien. Terapi kompleks ini memerlukan verifikasi empiris. Beberapa
studi terkendali yang dilakukan sejauh ini hanya memberikan sedikit
dukungan empiris terhadap efektifitasnya.
Dalam suatu analisis hasil 26 peneliti mengenai treatment terhadap
penderita PTSD, para peneliti membandingkan efektivitas bentuk-bentuk utama
psikoterapi terhadap lebih dari 1.500 pasien. Mereka menyimpulkan bahwa sekitar
65% dari pasien yang dirawat melalui psikoterapi PTSD dapat sembuh atau
mengalami perbaikan meskipun hampi setengah diantaranya terus mengalami sisa
gejala sebagai akibat dari pengunaan obat yang menetap selama bertahun-tahun
setelah treatment. Jelas telihat bahwa meskipun treatment dapat menjadi efektif,
tindak lanjut berkesinambungan diperlukan untuk membantu para klien menjaga
hasil yang dicapai selama masa teratment untuk jangka waktu yang lama.











12

KESIMPULAN
Post Traumatic Stress Disoreder (PTSD) merupakan ganguan kecemasan,
ketidak rentanan emosional yang berlangsung berkelanjutan terhadap suatu
kejadian traumatis. Peristiwa traumatis ( traumatic experience )adalah peristiwa
yang menyakitkan yang menimbulkan efek psikologis dan fisiologis yang
berat.peristiwa traumatis mencakup tragedi personal, seperti berada dalam
kecelakaan yang serius, menjadi korban kekerasan, atau mengalami peristiwa
bencana yang mengancam hidup.peristiwa traumatis dapat terjadi dalam skala
yang besar dan dengan segera dapat mempengaruhi seseorang: misalnya,
kebakaran, gempa bumi, kerusuhan dan perang.
Faktor penyebab PTSD yaitu: faktor-faktor resiko, faktor
psikologis,faktor biologis, faktor sosial dan kultur. Dimana klasifikasi diagnosis
dari PTSD dapat dilihat di DSM IV dan PPGDJ III. Berdasarkan diagnosis PTSD
dari DSM IV dan PPGDJ III dapat diterapkan treatment yang sesuai, seperti:
mengunakan teknik farmakoterapi dan psikoterapi.


13

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 1994. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, 4th ed". Washington, DC
Davidson, C Gerald dkk. 2004. Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Jakarta. Penerbit:
Rajawali Pers.
Maslim R. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya Jakarta.
Naomi Breslau and James C. Anthony. 2007. Journal of Abnormal Psychology,
Vol. 116, No. 3, 607611
Nevid J.S, dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilid I. Edisi 5. Penerbit Erlangga :
Jakarta
Tomb, D. A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. EGC : Jakarta
Yusak, Ranimpi Yulius. 2002. Konflik Sosial dan Post-Traumatic Post Disorder
(Gangguan Stres Pasca Trauma). Universitas Kristen Satya Wacana.
Volume 18, Nomor 2, Januari 2003.

.

.

Anda mungkin juga menyukai