Anda di halaman 1dari 51

1

TOXOPLASMOSIS

PENDAHULUAN
Toxoplasma gondii adalah suatu parasit intraselluler yang banyak terinfeksi pada
manusia dan hewan peliharaan. Penderita toxoplasmosis sering tidak memperlihatkan
suatu gejala klinis yang jelas sehingga dalam menentukan diagnosis penyakit
toxoplasmosis sering terabaikan dalam praktek dokter sehari-hari. Apabila penyakit
toxoplasmosis mengenai wanita hamil trismester ketiga dapat mengakibatkan
hidrochephalus, khorioretinitis, tuli atau epilepsi.
Penyakit toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing atau anjing tetapi
penyakit ini juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, sapi, domba, dan hewan
peliharaan lainnya. Walaupun sering terjadi pada hewan-hewan yang disebutkan di atas
penyakit toxoplasmosis ini paling sering dijumpai pada kucing dan anjing. Untuk tertular
penyakit toxoplasmosis tidak hanya terjadi pada orang yang memelihara kucing atau
anjing tetapi juga bisa terjadi pada orang lainnya yang suka memakan makanan dari
daging setengah matang atau sayuran lalapan yang terkontaminasi dengan agent
penyebab penyakit toxoplasmosis.
Dewasa ini setelah siklus hidup toxoplasma ditemukan maka usaha
pencegahannya diharapkan lebih mudah dilakukan. Pada saat ini diagnosis toxoplasmosis
menjadi lebih mudah ditemukan karena adanya antibodi IgM atau IgG dalam darah
penderita. Diharapkan dengan cara diagnosis maka pengobatan penyakit ini menjadi
lebih mudah dan lebih sempurna, sehingga pengobatan yang diberikan dapat sembuh
sempurna bagi penderita toxoplasmosis. Dengan jalan tersebut diharapkan insidensi
keguguran, cacat kongenital, dan lahir mati yang disebabkan oleh penyakit ini dapat
dicegah sedini mungkin. Pada akhirnya kejadian kecacatan pada anak dapat dihindari dan
2

menciptakan sumber daya manusia yang lebih berkualitas.
Berdasarkan hasil pemeriksaan otopsi neonatus yang meninggal dengan
toksoplasmosis congenital disimpulkan bahwa infeksi yang diperoleh janin dalam uterus
terjadi melalui aliran darah serta infeksi plasenta akibat toksoplasmosis merupakan
tahapan penting setelah fase infeksi maternal dan sebelum terinfeksinya janin.




















3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa obligat
intraseluler yaitu toksoplasma gondii. Toxoplasma gondii adalah suatu protozoa obligat
intraselular yang menginfeksi burung dan beberapa jenis mamalia terutama kucing, di
seluruh dunia. Antara 15 45% wanita usia reproduktif memiliki antibodi terhadap
toksoplasma ( IgG ) sehingga terlindung dari infeksi toksoplasma. Penyakit ini
mempunyai gejala klinik dengan manifestasi yang sangat bervariasi bahkan pada banyak
pasien tidak menimbulkan gejala. Pada pasien termasuk bayi dan pasien dengan sistem
kekebalan tubuh yang lemah, toksoplasmosis dapat mengancam jiwa.
Pada bagian obstetri dan gynekologi, toksoplasmosis penting karena dapat
menyebabkan penyakit pada ibu yang tidak diketahui penyebabnya dan sangat potensial
menyebabkan infeksi bayi dalam kandungan yang dapat menyebabkan keguguran,
kematian bayi dalam kandungan, dan kecacatan pada bayi.

2.2. SIKLUS HIDUP DAN MORFOLOGI TOXOPLASMOSIS
Penyakit yang disebabkan oleh toxoplasmosis dianggap suatu genus termasuk
famili babesiidae. Toxoplasma gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan sel-
sel endothelial pada berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau
oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar
pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, paru-paru,
otak, ginjal, urat daging, jantung. Perkembangbiakan toxoplasma terjadi dengan
membelah diri menjadi 2, 4 dan seterusnya, belum ada bukti yang jelas mengenai
perkembangbiakan dengan jalan schizogoni.
4


Gambar 1. Diagram of Toxoplasma gondii structure

Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat dalam tiga bentuk
yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit).
Bentuk Ookista
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11
mikron. Ookista mempunyai dinding, berisi satu
sporoblas yang membelah menjadi dua
sporoblas.Pada perkembangan selanjutnya ke dua
sporoblas membentuk dinding dan menjadi
sporokista. Masing-masing sporokista tersebut
berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x2 mikron dan sebuah benda residu.



Bentuk takizoit
menyerupai bulan sabit dengan ujung yang
runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran
panjang 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron dan
mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak
5

di tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi.
Tidak mempunyai kinetoplas dan sentrosom serta tidak berpigmen. Bentuk ini
terdapat di dalam tubuh hospesperantara seperti burung dan mamalia termasuk
manusia dan kucing sebagal hospes definitif. Takizoit ditemuKan pada infeksi akut
dalam berbagai jaringan tubuh.Takizoit dapat memasuki tiap sel yang berinti.

Bentuk Kista (Bradizoit )
Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang
membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista
berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi
beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron
berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam tubuh
hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot jantung, dan otot lurik.
Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti
bentuk sel otot. Kista ini merupakan stadium istirahat dari Toxoplasma gondii. Pada
infeksi kronis kista dapat ditemukan dalam jaringan organ tubuh dan terutama di otak

Pada preparat dapat dilihat dibawah mikroskop, bentuk oval agak panjang dengan
kedua ujung lancip, hampir menyerupai bentuk merozoit dari coccidium. Jika ditemukan
diantara sel-sel jaringan tubuh, berbentuk bulat dengan ukuran 4 - 7 mikron. Inti selnya
terletak dibagian ujung yang berbentuk bulat. Pada preparat, sporozoa ini bergerak, tetapi
peneliti-peneliti belum ada yang berhasil memperlihatkan flagellanya. Toxoplasma baik
dalam sel monocyte, dalam sel-sel sistem reticulo endoteleal, sel alat tubuh viceral
maupun dalam sel-sel syaraf membelah dengan cara membelah diri 2,4 dan seterusnya.
Setelah sel yang ditempatinya penuh lalu pecah parasit-parasit menyebar melalui
6

peredaran darah dan hinggap di sel-sel baru dan demikian seterusnya.
Toxoplasma gondii mudah mati karena suhu panas, kekeringan dan pembekuan.
Cepat mati karena pembekuan darah induk semangnya dan bila induk semangnya mati
jasad inipun ikut mati. Toxoplasma membentuk pseudocyste dalam jaringan tubuh atau
jaringan-jaringan tubuh hewan yang diserangnya secara khronis. Bentuk pseudocyste ini
lebih tahan dan dapat bertindak sebagai penyebar toxoplasmosis.
Hewan berdarah panas, manusia, dan unggas sebagai inang perantara. Kucing
yang terdomestikasi merupakan golongan yang sangat penting untuk penularan
terjadinya toksoplasmosis pada hewan lain ataupun manusia.


A. Tachyzoites. Dibandingkan dengan sel darah merah dan leukocytes. (Giema Stain)
B. Jaringan cysts di dalam otot. Dinding Jaringan cysts sangat tipis (panah) dan
banyak bradyzoites (arrowheads) . ( Hematoxylin Dan Eosin Stain )
C. Jaringan cysts terpisah dari jaringan dari host, otak terkena infeksi. Dinding
7

Jaringancysts (Panah) dan beratus-ratus bradyzoites. (arrowheads).
D. Schizont (Panah) dengan beberapa merozoites (arrowheads) terpisah dari massa
yangutama. Kesan dari usus kucing terkena infeksi/tersebar. Giemsa Stain.
E. Suatu gamete jantan dengan dua flagella (panah). Kesan dari usus kucing
terkenainfeksi/tersebar. Giemsa Stain.
F. Oocyst Unsporulated di dalam fecal pelampung tinja kucing. Catatan
menggandakanoocyst dinding layered (panah) memasukkan suatu massa
sepenuhnya pusat.

G. Oocyst Sporulated dengan suatu oocyst dinding tipis/encer (panah besar), 2
sporocysts(arrowheads). Masing-Masing sporocyst mempunyai 4 sporozoites
(panah kecil) yang bukanlah di dalam fokus lengkap



Kucing merupakan hospes definitif tersering dari Toxoplasma gondii. Di dalam
usus kecil kucing sporozoit menembus sel epitel dan tumbuh menjadi trofozoit. Inti
trofozoit membelah menjadi banyak sehingga terbentuk skizon. Skizon matang pecah
dan menghasilkan banyak merozoit (skizogoni). Daur aseksual ini dilanjutkan dengan
daur seksual.






8













Gambar 2. Daur Hidup Toxoplasma gondii

Merozoit masuk ke dalam sel epitel dan membentuk makrogametosit dan
mikrogametosit yang menjadi makrogamet dan mikrogamet (gametogoni). Setelah
terjadi pembuahan terbentuk ookista, yang akan dikeluarkan bersama tinja kucing. Di
luar tubuh kucing, ookista tersebut akan berkembang membentuk dua sporokista yang
masing-masing berisi empat sporozoit (sporogoni). Sporozoit menjadi menular 24 jam
atau lebih setelah kucing gudang ookista melalui feses.
Selama infeksi primer, kucing dapat mengeluarkan jutaan ookista sehari selama
1-3 minggu. Bila ookista tertelan oleh mamalia seperti domba, babi, sapi dan tikus serta
ayam atau burung, maka di dalam tubuh hospes perantara akan terjadi daur aseksual yang
menghasilkan takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah takizoit ini
berkurang secara berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit.
Penularan takizoit pada janin dapat terjadi melalui plasenta ibu setelah infeksi primer.
Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten).
9

Bila kucing sebagai hospes definitif makan hospes perantara yang terinfeksi maka
berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus muda akan terbentuk lagi.
Ketika T gondii yang tertelan, bradyzoites dilepaskan dari kista atau sporozoit
dilepaskan dari ookista, dan organisme memasuki sel pencernaan. Takizoit berkembang
biak, sel pecah, dan menginfeksi sel yang bersebelahan. Mereka diangkut melalui
limfatik dan disebarluaskan secara hematologi ke seluruh jaringan. Kemampuan T gondii
untuk secara aktif menembus sel inang menghasilkan pembentukan vakuola
parasitophorous yang berasal dari membran plasma. Vakuola ini dibentuk terutama oleh
invaginasi membran plasma sel inang. Selama invasi, sel inang pada dasarnya pasif dan
tidak ada perubahan yang terdeteksi.

2.3. CARA PENULARAN
Cara penularan terjangkitnya penyakit toxoplasmosis antara lain yaitu :
1. Toxoplasmosis kongenital, transmisi Toxoplasma gondii ke janin in utero melalui
plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil.
2. Toxoplasmosis akuisita, infeksi terjadi bila makan daging mentah atau kurang
matang (sate), kalau daging tersebut mengandung kista atau trofozoid Toxoplasma
gondii.
3. Infeksi di laboratorium binatang percobaan yang mengandung Toxoplasma gondii,
melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi. Wanita hamil
tidak dianjurkan bekerja di lingkungan yang mengandung Toxoplasma gondii hidup.
4. Tidak mencuci tangan setelah berkebun, membersihkan tempat kucing buang air
besar, atau apa saja yang bersentuhan dengan feces kucing
5. Transplantasi organ atau transfusi (jarang terjadi)

10


2.4. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Toxoplasmosis di berbagai negara berbeda-beda dan lebih
sering ditemukan didaerah dataran rendah dengan kelembapan udara yang tinggi. Di
Inggris dilaporkan angka prevalensi 30%, sedangkan di Paris 87% dan hal ini erat
hubungannya dengan kebiasaan makan daging setengah matang. Data yang diperoleh
dari National Collaborative Perinatal Project (NCPP) menunjukkan angka prevalensi
toxoplasma 38,7% dari 22.000 wanita di Amerika Serikat, dan insidensi infeksi akut pada
ibu selama kehamilan diperkirakan 1,1/1000. Menurut penelitian terakhir, insidensi dari
infeksi toxoplasma kongenital di Amerika Serikat mencapai 1-8/1000 kelahiran.
Transmisi vertikal T.gondii dari ibu ke bayi berkisar antara 30-40%, namun
angka tersebut sangat bervariasi menurut usia hehamilan dimana infeksi akut tersebut
muncul. Angka transmisi rata-rata pada trimester pertama sekitar 15%, namun meningkat
hingga mencapai 60% pada trimester ketiga.
Di Indonesia, survey prevalensi zat antitoxoplasma dengan hemaglutination test
indirect dibeberapa daerah menunjukkan bahwa seropositifvitas berkisar antara 2-53%.
Di Jakarta ditemukkan prevalensi 10-12,5%. Cross (1975) dan Beaver (1986)
mengatakan bahwa zat antitoxoplasma meningkat sesuai umur dant tidak ada perbedaan
yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Sedang di Indonesia sesuai dengan penelitian
Srissi (1980) tidak ditemukkan adanya hubungan tersebut.
Angka kejadian infeksi primer dalam kehamilan kira kira 1 : 1000. dalam
kehamilan. Resiko penularan terhadap janin pada trimester I = 15% ; pada trimester II =
25% dan pada trimester III = 65%. Namun derajat infeksi terhadap janin paling besar
adalah bila infeksi terjadi pada trimester I. Toksoplasmosis akut diperkirakan terjadi
dalam 1-5 dari 1000 kehamilan . Resiko infeksi janin meningkat sesuai usia kehamilan,
11

tetapi secara keseluruhan mencapai 50%.
Pada infeksi trimester ketiga, 60% bayi akan memperlihatkan tanda tanda
infeksi perinatal. Sebaliknya hanya 10% dari mereka yang terinfeksi pada trimester
pertama memperlihatkan toksoplasmosis kongenital. Secara keseluruhan, kurang dari
seperempet neonatus memperlihatkan gejala klinis saat lahir.
Transmisi toksoplasma kongenital hanya terjadi bila infeksi toksoplasma akut
terjadi selama kehamilan. Bila infeksi akut dialami ibu selama kehamilan yang telah
memiliki antibodi antitoksoplasmosis karena sebelumnya telah terpapar, risiko bayi lahir
memperoleh infeksi kongenital adalah sebesar 4 7/1.000 ibu hamil. Risiko meningkat
menjadi 50/1.000 ibu hamil bila tidak mempunyai antibodi spesifik.

2.5. PATOFISIOLOGI

Gambar 3 patofisiologi toxoplasmosis

12

Infeksi terjadi, di mana ada kucing yang mengeluarkan ookista bersama tinjanya.
Ookista ini adalah bentuk yang infektif dan dapat menular pada manusia atau hewan lain.
Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta ookista sehari selama 2 minggu. Di
dalam tanah yang lembab dan teduh, ookista dapat hidup lama sampai > 1 tahun.
Sedangkan tempat yang terkena sinar matahari langsung dan tanah kering dapat
memperpendek hidupnya. Bila di sekitar rumah tidak ada tanah, kucing akan berdefekasi
di lantai atau tempat lain, di mana ookista bisa hidup cukup lama bila tempat tersebut
lembab. Cacing tanah mencampur ookista dengan tanah, kecoa dan lalat dapat menjadi
vektor mekanik yang dapat memindahkan ookista dari tanah atau lantai ke makanan.
Bila ookista tertelan oleh tikus, tikus terinfeksi dan akan terbentuk kista dalam
otot dan otaknya. Bila tikus dimakan oleh kucing, maka kucing akan tertular lagi. Bila
ookista ini tertelan oleh manusia atau hewan lain, maka akan terjadi infeksi. Misalnya
kambing, sapi dan kuda pemakan rumput yang mungkin tercemar tinja kucing yang
mengandung ookista, dapat terinfeksi. Juga ayam dan burung yang mencari makan di
tanah (misal cacing tanah) juga dapat terinfeksi.

Manusia juga dapat tertular dengan ookista di tanah, misalnya bila makan sayur
sayuran mentah yang tercemar tinja kuning, atau setelah berkebun lupa mencuci tangan
sewaktu mau makan. Anak balita yang bermain di tanah juga dapat terinfeksi oleh
ookista. Invasi kista atau ookista terjadi di usus, parasit memasuki sel atau difagositosis,
berkembang biak dalam sel dan menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel
lain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara
hematogen dan limfogen ke seluruh tubuh mudah terjadi. Ookista mengambil 1-5 hari
untuk bersporulasi di lingkungan dan menjadi infektif. Host intermediate di alam
(termasuk burung dan hewan pengerat) menjadi terinfeksi setelah menelan bahan tanah,
13

air atau tanaman yang terkontaminasi dengan ookista.
Ookista berubah menjadi takizoit tak lama setelah konsumsi. takizoit melokalisasi
dalam jaringan saraf dan otot dan berkembang menjadi kista bradyzoites jaringan.
Trofozoid dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes (manusia) yaitu
semua sel yang berinti termasuk garnet, bahkan zygote sehingga terjadi kegagalan
fertilisasi. Kista dibentuk jika sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di berbagai alat
dan jaringan, mungkin untuk seumur hidup.
Kucing terinfeksi setelah host intermediate memakan menyembunyikan jaringan
kista. Kucing juga dapat terinfeksi langsung oleh menelan ookista sporulated. Hewan
dibiakkan untuk konsumsi manusia dan permainan liar juga dapat terinfeksi dengan
jaringan kista setelah menelan ookista sporulated di lingkungan. Invasi kista atau ookista
terjadi di usus, parasit memasuki sel atau difagositosis, berkembang biak dalam sel dan
menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain. Dengan adanya parasit di
dalam makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke
seluruh tubuh mudah terjadi. Ookista mengambil 1-5 hari untuk bersporulasi di
lingkungan dan menjadi infektif. Host intermediate di alam (termasuk burung dan hewan
pengerat) menjadi terinfeksi setelah menelan bahan tanah, air atau tanaman yang
terkontaminasi dengan ookista.
Kista dalam daging dapat bertahan hidup pada suhu -40C sampai 3 minggu.
Kista tersebut akan mati jika daging dalam keadaan beku pada suhu -150C selama tiga
hari dan pada suhu -200C selama dua hari. Daging yang dihangatkan dengan suhu 65C
selama 4 - 5 menit tidak mengandung kista aktif, demikian juga hasil daging siap
konsumsi yang diolah dengan garam dan nitrat.
Manusia dapat terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dengan berbagai cara yaitu
makan daging mentah atau kurang masak yang mengandung kista Toxoplasma gondii
14

atau tertelan bentuk ookista dari tinja kucing, rnisalnya bersama buah-buahan dan sayur-
sayuran yang terkontaminasi. Mungkin juga terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh
dari donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum pernah terinfeksi
Toxoplasma gondii. Kecelakaan laboratorium dapat terjadi melalui jarum suntik dan alat
laboratoriurn lain yang terkontaminasi. Infeksi kongenital, terjadi intra uterin melalui
plasenta.
Setelah terjadi infeksi Toxoplasma gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses
yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan
jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Keadaan
parasitemia yang ditimbulkan oleh infeksi maternal menyebabkan parasit dapat mencapai
plasenta. Selama invasi dan menetap di plasenta parasit berkembang biak serta sebagian
yang lain berhasil memperoleh akses ke sirkulasi janin. Telah diketahui adanya korelasi
antara isolasi toksoplasma di jaringan plasenta dan infeksi neonatus, artinya bahwa hasil
isolasi positif di jaringan plasenta menunjukkan terjadinya infeksi pada neonatus dan
sebaliknya hasil isolasi negatif menegaskan infeksi neonatus tidak ada. Perbanyakan diri
ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit
mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua setelah
terjadinya infeksi. Tahap ketiga merupakan fase kronik, terbentuk kista-kista yang
menyebar di jaringan otot dan syaraf, yang sifatnya menetap tanpa menimbulkan
peradangan local.
Di host manusia, parasit membentuk kista jaringan, paling sering di otot rangka,
miokardium, otak, dan mata; kista ini mungkin tetap sepanjang kehidupan tuan rumah.
Diagnosis biasanya dicapai dengan serologi, meskipun jaringan kista dapat diamati pada
spesimen biopsi ternoda. Diagnosis infeksi kongenital dapat dicapai dengan mendeteksi
DNA T. gondii dalam cairan ketuban menggunakan metode molekuler seperti PCR.
15

Pada anak yang terinfeksi toxoplasma gejala klinik yang ditemukan antara lain
nafsu makan menurun, muntah, sesak nafas. Pada dewasa gejala klinik tidak begitu jelas.
pada toxoplasmosis okular dapat ditemukan gejala retinitis (radang pada retina mata).
Baik toxoplasmosis didapat maupun kongenital sebagian besar asimptomatis atau
tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi kronik atau laten.
Gejala yang nampak sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lain.
Toxoplasmosis didapat biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala.
Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer, ada kemungkinan
bahwa 50% akan melahirkan anak dengan toxoplasmosis kongenital. Parasit mencapai
fetus melalui plasenta. Biasanya ibu tidak menunjukkan tanda-tanda toxoplasmosis yang
jelas. Pada anak yang menujukkan toxoplasmosis terdapat juga peninggian titer
toxoplasmosmin pada ibu pada waktu infeksi in-utero terhadap bayi, ibu belum
mempunyai antibodi yang cukup. Bila sebelum ibu melahirkan telah mempunyai
antibodi yang cukup, maka anak akan mati akibat reaksi antigen-antibodi dari ibu
terhadap anaknya.
Gambaran klinis akan tampak segera setelah beberapa waktu jaringan mengalami
kerusakan khususnya organ mata, jantung, dan kelenjar adrenal. Parasit ini juga
dipengaruhi oleh keadaan temperatur dan kelembaban. Dengan adanya kelembaban dan
temperatur yang sesuai ookista akan mampu bertahan beberapa bulan sampai lebih dari
satu tahun. Lalat, cacing, kecoak, dan serangga lain mungkin dianggap sebagai agen
mekanis dalam penyebaran parasit ini. Tingkat mortalitas dan morbiditas dari parasit ini
cukup tinggi pada pasien yang mempunyai tingkat kekebalan tubuh rendah dan pada
anak-anak yang tertular melalui ibunya.


16

2.6. MANIFESTASI KLINIS
Pada 80% - 90% penderita toksoplasmosis tidak menunjukkan gejala sama sekali
(asimptomatik). Pada beberapa penderita biasanya didapatkan adanya perbesaran
kelenjar getah bening di bagian leher (cervical lymphadenopathy). Beberapa penderita
juga dapat mengalami sakit kepala, demam (biasanya di bawah 40
o
C), lemah, dan lesu.
Sebagian kecil penderita mungkin mengalami nyeri otot (mialgia), nyeri tenggorokan,
nyeri pada bagian perut, dan kemerahan pada kulit. Gejala-gejala tersebut dapat
menghilang dalam waktu beberapa minggu, kecuali perbesaran kelenjar getah bening di
bagian leher yang dapat bertahan selama beberapa bulan. Infeksi pada kehamilan dapat
menyebabkan abortus atau janin hidup dengan kelainan tertentu. Virulensi infeksi lebih
besar pada kehamilan dini, untungnya pada awal kehamilan infeksi lebih jarang terjadi.
Bayi yang dikandung oleh ibu yang menderita toksoplasmosis mempunyai risiko
yang tinggi untuk menderita toksoplasmosis kongenital. Secara keseluruhan, kurang dari
bayi yang mengalami toksoplasmosis kongenital menampakkan gejala klinis pada saat
lahir. Sebagian besar baru akan memperlihatkan gejala kemudian hari. Gejala yang
nampak adalah berat lahir rendah, hepatosplenomegali, ikterus dan anemia. Gejala defisit
neurologis seperti kejang-kejang, kalsifikasi intrakranial, retardasi mental dan
hidrosefalus atau mikrosefalus. Pada kedua kelompok biasanya terjadi korioretinitis.
Infeksi pada wanita hamil dapat menyebabkan keguguran atau lahirnya bayi hidup
dengan tanda tanda penyakit :
Hidrosepalus
Korioretinitis
Kalsifikasi serebral
Mikrosepali
Mikroptalmia
17

Hepatosplenomegali
Perkembangan mental terganggu

2.7. PROSEDUR DIAGNOSIS
Diagnosis toksoplasmosis dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a. Gejala klinis
Diagnosis dari gejala klinis kadang kala agak sulit, dikarenakan sebagian besar
penderita tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik).
b. Pemeriksaan darah atau jaringan tubuh penderita (histopatologi)
Diagnosis dapat ditegakkan jika ditemukan parasit di dalam jaringan atau cairan
tubuh penderita. Hal ini dilakukan dengan cara menemukan secara langsung parasit
yang diambil dari cairan serebrospinal, atau hasil biopsi jaringan tubuh yang lainya.
Namun diagnosis berdasarkan penemuan parasit secara langsung jarang dilakukan
karena kesulitan dalam hal pengambilan spesimen yang akan diteliti.

Gambar 4. Toksoplasma takizoit dan kista
18



Gambar 5. Toksoplasma gondii dalam pemeriksaan histopatologi

c. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis dilakukan dengan dasar bahwa antigen toksoplasma akan
membentuk antibodi yang spesifik pada serum darah penderita.
Titer di atas 1/5 12, sangat mungkin menunjukkan infeksi akut. Penelitian
menunjukkan peningkatan kejadian mikrosefali, ketulian dan retardasi mental pada
wanita dengan titer 56 atau lebih.
Pemeriksaan IgG/IgM paLing baik pada wanita hamil pada umur 10-12 minggu
kehamilan atau uterus seukuran telur angsa atau 2 -3 jari di atas simpisis. Kalau
hasilnya negatif akan diulang pada usia kehamilan 22-24 minggu. Bila ternyata
hasilnya positif segera langsung diobati atau dilakukan abortus terapetik jika pasien
menghendaki.
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis yaitu
Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA). Metode ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay) dengan nama TOXOLISA yang bertujuan untuk mendeteksi
antibody IgM dan IgG terhadap Toxoplasma gondii pada serum manusia.
Bentuk Kista
19

Bahan (Reagen) Pemeriksaan antara lain :
a) Microwell strip, yang telah dilapisi antigen Toxoplasma murni. Bentuknya
seperti kuvet dengan 2 lubang.
b) Reagen konjugat enzim, sebagai katalisator. Disimpan pada botol berwarna
merah.
c) Pengencer sampel
d) Kontrol negatif, pada botol berwarna jernih
e) Kalibrator, pada botol berwarna kuning. Sebagai indeks Toxoplasma IgM=1.0
f) Kontrol positif
g) Reagen
h) Larutan penutup, yaitu HCl 1 N pada botol berwarna jernih.

Sampel
Sampel yang digunakan pada pemeriksaan ini adalah serum pasien, dengan gejala
klinik toksoplasmosis, yaitu demam, sakit kepala, pembesaran kelenjar getah bening,
atau pada wanita hamil dan yang baru merencanakan hamil, yang sering kontak
dengan family Felicidae.
Setelah darah vena diambil, kemudian dicentrifuge dan serum dipisahkan.Serum
yang disimpan pada suhu 2-8oC, bisa bertahan selama 3 hari. Jika disimpan pada
freezer bisa bertahan hingga 6 bulan. Hindarkan dari penyimpana berulang dalm
freezer.

Prinsip kerja
Antigen Toxoplasma murni dilapisi pada permukaan microwell. Jika di dalam serum
pasien yang ditambahkan terdapat antibodi IgG dan IgM yang spesifik terhadap
20

Toxoplasma, antibodi ini akan mengikat antigen. Bahan lain yang tidak terikat akan
tercuci. Setelah penambahan enzim, ikatan ini akan membentuk kompleks antigen-
antibodi. Enzim yang berlebih kemudian dicuci, lalu ditambahkan reagen TMB.
Reaksi katalisis enzim ini akan berhenti pada waktu tertentu. Intensitas warna yang
terjadi sebanding dengan jumlah IgG dan IgM dalam sampel. Kemudian hasilnya
dibaca pada ELISA reader dan dikomparasikan dengan kalibrator dan control.
Hasil
Negatif : Nilai indeks Toxo <= 0.90 atau <32 IU/ml, mengindikasikan tidak
adanya infeksi Toxoplasma.
Meragukan : Nilai indeks Toxo 0.91-0.99 atau 32 IU/ml, sampel harus dites ulang.
Positif : Nilai indeks Toxo >=1,0 atau >32 IU/ml.Hal ini mengindikasikan
bahwa ada infeksi terhadap Toxoplasma.

Pembahasan
Mengingat titer IgG mencapai puncaknya dalam waktu 2 bulan dan kemudian tetap
tinggi, maka pada wanita hamil sebaiknya diperiksa pada kehamilan muda sampai 2
bulan.
1. Jika IgG terhadap Toxoplasma negative, berarti pasien tidak pernah terinfeksi.
Sedangkan bila hasilnya positif, berarti pada masa lampau pasien pernah
terinfeksi Toxoplasma gondii.
2. Jika IgG positif, untuk menentukan waktu terjadinya infeksi, maka perlu
dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap IgM Toxoplasma. Fungsinya adalah
untuk memeriksa apakah saat ini pasien terinfeksi Toxoplasma.
3. Jika IgG positif dan IgM negatif. Pasien telah terinfeksi sedikitnya 2-3 bulan
yang lalu atau terjadinya infeksi sebelum kehamilan.
21

4. Jika IgG dan IgM positif. Pasien tengah mengalami infeksi dalam 2 tahun
terakhir (kemungkinan terdapat pula false pada hasil IgM) dan infeksi terjadi
setelah fertilisasi dan kemungkinan janin bisa tertular. Kemudian dilakukan
pemeriksaan ulang IgG dan IgM setelah 3 minggu dari pemeriksaan pertama.
Bila IgM tetap positif atau ada kenaikan titer, berarti pasien sedang terinfeksi
Toxoplasma gondii. Pada saat ini titer IgM sudah turun dan pengobatan segera
diberikan. Bila IgG positif ditemukan pada kehamilan lebih dari 2 bulan dan
titer IgM negatif maka dapat dipastikan infeksi terjadi sebelum kehamilan atau
sesudah kehamilan atau sesudah fertilisasi.
5. Bila IgG dan IgM keduanya hasilnya negative maka tidak ada infeksi
toxoplasmosis.



22



d. PCR (Polymerase Chain Reaction)
Telah dikembangkan teknik PCR dengan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi
untuk mendeteksi toksoplasmosis. Teknik tersebut memungkinkan diagnosis
prenatal diperoleh dalam sehari dengan melakukan pemeriksaan terhadap cairan
ketuban. Juga dapat dikerjakan untuk mendeteksi infeksi pada kehamilan kurang
dari 20 minggu. Teknik PCR ini dapat mendeteksi toksoplasma yang berasal dari
darah, cairan serebrospinal, dan cairan amnion.

Diagnosis Pranatal
Diagnosis Pranatal dipandang lebih efektif untuk menghindari atau menekan
risiko toksoplasmosis kongenital karena upaya prevensi primer pada ibu hamil berupa
nasihat menghindari makanan atau minuman yang kurang dimasak kurang berhasil. Oleh
karena itu, upaya diagnostik pranatal disebut sebagai pervalensi sekunder. Diagnosis
pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14 27 minggu (trimester II).


23

Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut :
Pemeriksaan dengan teknik PCR guna mendeteksi DNA Toksoplasma gondii pada
darah janin atau cairan ketuban yaitu dengan cara kordosentesis (pengambilan sampel
darah janin melalui tali pusat) ataupun amniosentesis (aspirasi cairan ketuban ).
Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblast, ataupun
diinokulasi ke dalam ruang peritoneum tikus diikuti isolasi parasit, ditunjukkan untuk
mendeteksi adanya parasit.
Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin guna mendeteksi antibodi IgM
janin spesifik (anti-toksoplasma).
Diagnosa pasti infeksi terhadap janin adalah dengan menemukan IgM dalam
darah talipusat. Hasil biakan plasenta pada pasien dengan infeksi toksoplasma
menunjukkan angka positif sebesar 90%. Penyakit ini jarang terdiagnosa semasa
kehamilan oleh karena sebagian besar bersifat subklinis
Diagnosa ditegakkan bila IgM positif dan titer IgG yang meningkat 4 kali lipat
pada pemeriksaan ulang selang waktu 2 3 minggu. Titer IgM akan tetap tinggi
sampai 3 4 bulan
Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi) yang
spesifik taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap
adanya benda asing (kuman. Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin M
(IgM) dan Imunoglobulin G (IgG).
Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit
(monosit dan eosinofil) dan limfosit khususnya rasio CD4 dan CD8. (Daffos et al
1988). Diagnosis toksoplasma kongenital ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
yang menunjukkan danya IgM janin spesifik (anti-toksoplasma) dari darah janin.
Ditemukan parasit pada kultur ataupun inokulasi tikus dan DNA dari Toksoplasmosis
24

gondii dengan PCR darah janin ataupun cairan ketuban.
Didahului oleh skrining serologik maternal atau ibu hamil, hasilnya harus memenuhi
kriteria tertentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnostik pranatal. Jika satu dari
empat syarat di bawah ini terpenuhi akan dilakukan kordosintesis atau amnosintesis.
Antibodi IgM (+)
Serokonversi dengan interval waktu 2 3 minggu, perubahan dari seronegatif
menjadi seropositif IgM dan IgG.
Titer IgG yang tinggi > 1/1024 (ELISA)
Aviditas IgG < 200

Ultrasonografi serial setiap 3 minggu dilakukan untuk menentukan adanya kelainan,
misalnya: asites, pembesaran rongga otak (ventrikulomegali) (V/H), pemesaran hati
(hepatomegali), perkapuran (kalsifikasi) otak. Bila pada janin terdapat kelainan maka
perlu dipertimbangkan untuk peng-akhiran (terminasi) kehamilan.
Bila mungkin, dilakukan pengambilan darah janin pada kehamilan 20-32 minggu
untuk pembiakan parasit (inokulasi) pada mencit. Bila inokulasi memberikan hasil
positif maka perlu dipertimbangkan untuk pengakhiran kehamilan.
Setelah bayi lahir perlu dilakukan pemeriksaan lengkap terhadap bayi, antara lain:
pengambilan darah talipusat ketika bayi baru saja lahir untuk pemeriksaan serologis
antibodi janin atau isolasi T. gondii, pemeriksaan titik-cahaya mata (funduskopi), dan
USG atau foto rontgen tengkorak.
Diagnosis toksoplasma bawaan pada bayi lebih sukar ditetapkan karena gejala klinis
dari infeksi toksoplasma bawaan sangat beraneka ragam dan seringkali subklinis
(tidak terlihat) pada neonatus. Oleh karena itu perlu dilakukan juga pemeriksaan
serologis pada neonatus, terutama bilamana diketahui ibunya terinfeksi selama
25

kehamilan. Antibodi IgG dapat menembus plasenta, sedangkan antibodi IgM tidak
dapat menembus plasenta. Dengan demikian, apabila pada darah bayi ditemukan
antibodi IgG mungkin hanya merupakan pindahan (transfer) IgG ibu, dan lambat-laun
akan habis. Pada usia 2-3 bulan, bayi sudah dapat membentuk antibodi IgG sendiri,
bilamana bayi terinfeksi toksoplasma bawaan maka konsentrasi IgGnya akan mulai
meningkat lagi setelah IgG yang diperoleh dari ibunya habis. Tetapi jika ditemukan
antibodi IgM, maka ini menunjukkan infeksi nyata pada bayi (toksoplasmosis
bawaan).

2.8. PENATALAKSANAAN
1. Kehamilan dengan infeksi akut
Spiramicin
Suatu antibiotika macrolide dengan spektrum antibakterial; konsentrasi tertentu
yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan ataupun membunuh
organisme. Di jaringan obat ini ditemukan kadar atau konsentrasi yang tinggi
terutama pada plasenta tanpa melewatinya serta aktif membunuh takizoit
sehingga menekan transplasental. Kelebihan spiramicin dari obat-obatan lainnya
adalah daya efek sampingnya lebih rendah dan lebih ringan untuk wanita hamil,
janin dan neonatus karena tidak mempunyai efek teratogenik. Kadar puncak
dalam plasma tercapai setelah 1,5 3 jam dan waktu paruh 8 jam. Kadar yang
tinggi dalam jaringan lebih lama bertahan daripada kadar dalam darah. Pada
jaringan plasenta konsentrasi sampai 5 kali lebih besar dari serum ibu.
Spiramycin tidak menembus plasenta dengan baik sehingga amniosentesis dan
pemeriksaan PCR untuk melihat adanya toksoplasma gondii harus dikerjakan
sekurangnya 4 minggu pasca infeksi maternal akut pada trimester ke II . Bila
26

hasil pemeriksaan PCR negatif, Spiramycin dapat diteruskan sampai akhir
kehamilan. Bila hasil pemeriksaan PCR positif maka dugaan sudah adanya
infeksi pada janin harus diterapi dengan obat lain. Spiramisin pada orang
dewasa diberikan 2 4 g/hari peroral dibagi dalam 4 dosis untuk 3 minggu,
diulangi setelah 2 minggu sampai kehamilan aterm.

Piremitamin
Merupakan fenilprimidin obat malaria, terbukti sebagai pengobatan radikal pada
hewan eksperimental yang dikenakan infeksi toksoplasmosis. Piremitamin
bersifat lipofilik dengan segera diserap disaluran cerna dan mempunyai waktu
paruh 4 5 hari. Regimen piremitamin pada dewaswa dimulai dengan dosis
loading sebanyak 2 x 100 mg pada hari pertama, dosis berikutnya adalah 20-
50mg/hari selama 2-4 minggu pada penderita yang mendapatkan
immunodepressant termasuk wanita hamil trimester ke-2 dan ke-3.
Efek sampingnya selain antagonis asam folat adalah suprsi sumsum tulang yang
sifatnya tergantung dosis, oleh karena itu pemeriksaan darah tepi dan hitung
trombosit perlu dikerjakan 2 kali seminggu. Kejadian supresi sumsum tulang
dikurangi dengan pemberian asam folinat. Dosis asam folinat 5-10 mg diberikan
perhari bersama piremitamin. Efek samping lainnya yaitu gangguan saluran
cerna, sakit kepala dan rasa tidak enak di mulut.
Piremitamin dan sulfadiazin bekerja sinergik menghasilkan khasiat 8 kali lebih
besar terhadap toksoplasma. Kombinasi pyrimethamine and sulfadiazine,( folic
acid antagonists dengan efek sinergi ) digunakan untuk menurunkan derajat
infeksi kongenital dan meningkatkan proporsi neonatus tanpa gejala. Kedua
obat ini bekerja memblokir jalur metabolisme asam folat dan asam para
27

aminobenzoat parasit karena menghambat enzim dihidrofolat reduktase dengan
akibat terganggunya pertumbuhan stadium takizoit parasit. Kombinasi kedua
obat ini mengakibatkan efek toksisitas tinggi. Sulfadiazin menimbulkan reaksi
hematuria dan hpersensitivitas.
Piremitamin menyebabkan depresi sumsum tulang dengan akibat penurunan
platelet, leukopenia, dan anemia yang menyebabkan tendensi perdarahan.
Dilaporkan pula piremitemin bersifat teratogenik, Thalhammer dan Kraubig
menganjurkan pemakaian obat ini dimulai trimester II setelah umur kehamilan
14 minggu guna menghindari efek teratogenik pada janin. Kombinasi
piremitamin dosis 1 mg/kg/hari secara oral untuk 3 4 hari, Sulfadiazin 50
100 mg/kg/hari/oral dibagi 2 dosis serta asam folinik 2 x 5 mg injeksi
intramuskular tiap minggu selama pemakaian piremitamin.

Asam Folinat untuk mencegah kerusakan pada janin
Wanita hamil harus menghindari kontak dengan kucing atau kotorannya ,
mengenakan sarung tangan karet tebal saat berkebun dan menghidari konsumsi
daging metah atau setengah matang.

2. Bagi bayi baru lahir
Pada bayi baru lahir dengan infeksi Toxoplasma, dapat diberikan kemoterapi anti-
Toxoplasma kombinasi yang terdiri dari pyrimethamine 1mg/kgBB per hari selama 2
bulan dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap 2 hari selama 10 bulan, sulfadiazine 50
mg/kgBB per hari, serta asam folat 5-10 mg 3 kali seminggu untuk mencegah efek
samping dari pyrimethamine.
Selain pemberian obat-obatan, follow up yang teratur juga diperlukan untuk
28

mendeteksi manifestasi penyakit lebih awal, melakukan terapi tambahan atau
modifikasi terapi bila diperlukan, dan menentukan prognosa. Hitung darah lengkap
1-2 kali per minggu untuk pemberian dosis pyrimethamine harian dan 1-2 kali per
bulan untuk pemberian dosis pyrimethamin tiap 2 hari dilakukan untuk memonitor
efek toksik dari obat.
Diperlukan pula pemeriksaan pediatrik yang lengkap, meliputi pemeriksaan
oftalmologi setiap 3 bulan sampai usia 18 bulan kemudian setiap tahun sekali, serta
pemeriksaan neurologis tiap 3-6 bulan sampai usia 1 tahun.

3. Penderita Imunodefisiensi
Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila tidak diobati. Pengobatan
sama halnya dengan toksoplasmosis kongenital menggunakan piremitamin,
sulfadiazin dan asam folinik dalam jangka panjang.


Profilaksis adalah tindakan yang paling efektif berupa perlindungan atas populasi yang
berisiko seperti ibu hamil dengan seronegatif. Upaya tersebut adalah sebagai berikut :
Dianjurkan memakan semua sayuran dan daging yang dimasak. Ookista mati dengan
pemanasan 90
o
C selama 30 detik, 80
o
C untuk 1 menit dan 70
o
C untuk 2 menit.
Makanan yang dibekukan bukan merupakan sumber kontaminasi.
Keadaan toksoplasmosis dipengaruhi kebiasaan makan daging kurang matang, adanya
kucing yang terutama dipelihara, kucing, tikus dan burung sebagai hospes perantara ,
sejumlah vektor seperti lalat yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke
makanan.

29

2.9. PENCEGAHAN
Perlu diadakan tindakan tindakan pencegahan selain pengobatan yang telah ada :
1. Deteksi dini
a. Skrining pada wanita hamil, yaitu memeriksa titer zat anti Toxoplasma yang
mulai hamil, dan diulang 2-3 minggu kemudian pada wanita yang
seronegatif. Sebaiknya dilakukan pada wanita sebelum hamil.
b. Dianjurkan agar calon suami-isteri menjalani pemeriksaan serodiagnosis
sebelum pernikahan.
c. Setiap wanita infertil primer/sekunder dengan gejala infeksi-infeksi subklinis,
sebaiknya dilakukan serodiagnosis terhadap Toxoplasmosis, kuman TORCH
(Toxoplasma, Rubella, Cytomegalo virus dan Herpes simplex virus).
d. Melakukan diagnosis prenatal, seperti memeriksa darah fetus langsung
terhadap kontaminasi darah ibu, mengisolasi parasit dengan mengokulasi
darah fetus pada tikus (mice); ataupun pemeriksaan serologic dari IgM
(Immunosorbent assay) dan IgG (dye test), ultrasound examination, dan lain-
lain.
e. Memeriksa titer zat anti Toxoplasma IgG pada anak beberapa kali dalam
tahun pertama dan memeriksa IgM pads neonatus. Biasanya IgG yang
diperiksa karena lebih mudah dan murah, sedangkan IgM hanya dilihat pada
bulan-bulan pertama saja dan lebih mahal dan sukar ditemukan (hanya 25%).
f. Setiap bayi dengan gejala meningoensefalitis yang disertai gejala sepsis,
hepatomegali, ikterus dan sebagainya, harus diperiksa titer antibodi
Toxoplasma.
g. Tiap anak atau orang dewasa dengan immunodefisiensi oleh obat
imunodepresi, kortikosteroid jangka panjang ataupun penyakit AIDS, harus
30

diperiksa terhadap Toxoplasma untuk mendeteksi timbulnya reaktivasi
infeksi kronik.

2. Pencegahan (terutama pada wanita hamil)
a. Memelihara kebersihan lingkungan dan kucing binatang peliharaan.
b. Jangan terlalu banyak memelihara binatang terutama kucing dan lakukan
vaksinasi yang teratur.
c. Wanita hamil jangan berdekatan dengan kucing.
d. Memasak daging sampai cukup matang (70C).
e. Mencuci dengan baik semua makanan yang tidak dimasak.
f. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah memegang daging mentah pada
waktu memasak.
g. Memakai sarung tangan jika berkebun.
h. Mencegah kontaminasi lalat dan lipas pada makanan
i. Karena binatang reservoir banyak tersebar di seluruh Indonesia maka perlu
diadakan penelitian prevalensi reservoir penyebarannya.

3. Pengobatan
a. Wanita hamil dengan infeksi aktif.
b. Toxoplasmosis kongenital (dengan atau tanpa gejala pada bayi).
c. Pasien immunodefisiensi dengan Toxoplasmosis.
d. Wanita dengan infeksi kuman TORCH (silent infection).
e. Bayi dengan IgG yang meningkat


31

2.10. KOMPLIKASI
Trias klasik toksoplasma berupa :
1. Hidrosepalus
Ruangan CSS mulai terbentuk pada minggu kelima masa embrio, terdiri dari
sistem ventrikel, sisterna magna pada dasar otak dan ruang subarakhnoid yang
meliputi seluruh susunan saraf. CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh
pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam
piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan
likuor serebrospinalis ini terdapat dalam suatu sistem yang terdiri dari dua bagian
yang berhubungan satu sama lainnya : (1) Sistem internal terdiri dari dua
ventrikel lateralis, foramen-foramen interventrikularis (Monroe), ventrikel ke-3,
akuaduktus Sylvii dan ventrikel ke-4. (2) Sistem eksternal terdiri dari ruang-ruang
subaraknoid, terutama bagian-bagian yang melebar disebut sisterna. Hubungan
antara sistem internal dan eksternal ialah melalui kedua apertura lateralis
ventrikel ke-4 (foramen Luschka) dan foramen medialis ventrikel ke-4 (foramen
Magendie).
Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-
140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan pada prematur kecil 10-20 ml
(Harsono, 1996). Cairan yang tertimbun dalam ventrikel biasanya antara 500-
1500 ml, akan tetapi kadang-kadang dapat mencapai 5 liter (Wiknjosastro, 1994).
32


Aliran CSS yang normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen monroe ke
ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus Sylvii ke
ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang
subarakhnoid melalui sisterna magna. Penutupan sisterna basalis menyebabkan
gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler.
Dalam keadaan normal tekanan likuor berkisar antara 50-200 mm, praktis sama
dengan 50-200 mmH2O. Ruang tengkorak bersama dura yang tidak elastis
merupakan suatu kotak tertutup yang berisikan jaringan otak dan medula spinalis
sehingga volume otak total (kraniospinal) ditambah dengan volume darah dan
likuor merupakan angka tetap (Hukum Monroe Kellie). Bila terdapat peningkatan
volume likuor akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Keadaan ini
terdapat pada perubahan volume likuor, pelebaran dura, perubahan volume
pembuluh darah terutama volume vena, perubahan jaringan otak (bagian putih
otak berkurang pada hidrosefalus obstruktif). Pada umumnya volume otak serta
tekanan likuor berubah oleh berbagai pengaruh sehingga volume darah selalu
akan menyesuaikan diri.

33

Hidrosefalus secara teoritis hal ini terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme
yaitu :
1. Produksi likuor yang berlebihan
2. Peningkatan resistensi aliran likuor
3. Peningkatan tekanan sinus venosa

Sebagai konsekuensi dari tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan
intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi.
Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dapat dipahami secara
terperinci, namun hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi
akibat dari ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi. Mekanisme
terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat
selama perkembangan hidrosefalus.
Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :
1. Kompresi sistem serebrovaskuler
2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler atau
keduanya di dalam system susunan saraf pusat
3. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan
viskoelastisitas otak, kelainan turgor otak)
4. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis (masih diperdebatkan)
5. Hilangnya jaringan otak
6. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya
regangan abnormal pada sutura kranial.
Produksi likuor yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh karena tumor
pleksus khoroid (papiloma atau karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan
34

akan menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dalam mempertahankan
keseimbangan antara sekresi dan resorbsi likuor, sehingga akhirnya ventrikel
akan membesar. Adapula beberapa laporan mengenai produksi likuor yang
berlebihan tanpa adanya tumor pada pleksus khoroid, di samping juga akibat
hipervitaminosis A.Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan
kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran
akan meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam upaya
mempertahankan resorbsi yang seimbang.
Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan
tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial
bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan
untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif
tinggi. Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians
tengkorak. Bila sutura kranial sudah menutup, dilatasi ventrikel akan diimbangi
dengan peningkatan volume vaskuler; dalam hal ini peningkatan tekanan vena
akan diterjemahkan dalam bentuk klinis dari pseudotumor serebri. Sebaliknya,
bila tengkorak masih dapat mengadaptasi, kepala akan membesar dan volume
cairan akan bertambah.
Gelombang ultrasound tidak dapat menembus tulang skull tetapi masih digunakan
dalam pencitraan otak neonatal dimana dilakukan melalui fontanela anterior yang
masih terbuka. Oleh karena itu penggunaannya terbatas antara kelompok usia 6
bulan sampai 2 tahun Ketika hydrochepalus didiagnosis dalam kehidupan
intrauterin, Anomali SSP/ ekstrakranial harus dicari seperti meningomyelocele,
cacat spina bifida. Sering hydrochepalus dapat didiagnosis pada usia kehamilan
15 minggu. Dalam rahim, batas untuk atrium ventrikel yaitu 10mm dianggap
35

signifikan untuk dicurigai hydrochepalus.

2. Kalsifikasi intrakranial

3. Korioretinitis
Chorioretinitis (CR) adalah suatu proses peradangan yang melibatkan
traktus uvealis bagian posterior, yaitu koroid.

Istilah chorioretinitis sering di sama
artikan dengan uveitis posterior. Pada uveitis posterior, retina juga hampir selalu
terinfeksi secara sekunder. Ini dikenal dengan chorioretinitis.
Chorioretinitis dapat terjadi akibat infeksi bakteri ataupun reaksi radang
lainnya. Proses inflamasi ini akan menyebabkan perubahan kondisi di strukur
uvea itu sendiri. Bila peradangan chorioretinitis terjadi di bagian perifer, maka
tidak akan mengganggu pada tajam penglihatan. Tajam penglihatan pada keadaan
ini hanya terjadi pada akibat penyerbukan sel radang ke dalam badan kaca atau
media penglihatan. Makin tebal kekeruhan, akan mengakibatkan bertambah
beratnya penurunan ketajaman penglihatan. Radang infeksi ini biasanya
disebabkan infeksu yang meluas, seperti tuberculosis dan infeksi fokal lainnya.
36

Bila peradangan mengenai daerah macula lutea, maka penglihatan akan
cepat menurun tanpa terlihat tanda kelainan dari luar. Biasanya radang sentral ini
disebabkan karena infeksi congenital akibat toxoplasmosis. Akibat terbentuknya
jaringan fibroblast, akan terbentuk jaringan organisasi yang merusak seluruh
susunan jaringan koroid dan retina. Jaingan fibrosis ini akan berwarna pucat
putih. Warna putih ini juga terjadi akibat sclera terlihat melalui koroid yang
menipis. Biasanya bersama-sama dengan keadaan ini terjadi pergeseran pigmen
koroid.
Pada pemeriksaan funduskopi koroid akan terlihat daerah yang
meradang berwarna kuning akibat tertimbunnya sel radang. Gambaran pembuluh
darah diatasnya atau retina semakin jelas terlihat pada dasar fundus yang lebih
pucat ini. Bila sel badan koroid masuk ke dalam retina, maka retina akan lebih
pucat. Pembuluh darah retina akan terbungkus sel radang yang akan
mengakibatkan warna pembuluh darah ini tidak cerah lagi.

Trias tersebut jarang terlihat. Sekitar 75% kasus yang terinfeksi tidak memperlihatkan
gejala saat persalinan.
Jika penyakit berlanjut maka dapat menimbulkan komplikasi berupa radang paru
(pneumonia), radang pada jaringan otot jantung (miokarditis), radang pada selaput
luar jantung (perikarditis), dan selain itu dapat juga terjadi gangguan pada saat
37

kehamilan dan persalinan berupa abortus, lahir mati, atau lahir cacat.
Macam-macam penyakit cacat akibat infeksi toxoplasmosis antara lain :
1. Hidrochepalus : kepala besar akibat penyumbatan saluran cairan otak
2. Retinokoroiditis : radang pada lapisan koroid dan retina mata
3. Kalsifikasi intrakranial : pengapuran jaringan otak
4. Jika disertai kelainan psikomotorik dikenal dengan sebutan tetrade sabin

2.11. PROGNOSIS
Bayi yang terinfeksi toxoplasma sejak lahir apabila tidak dirawat akan memiliki
prognosa yang buruk. Pada beberapa kasus yang tidak mendapatkan perawatan,
didapatkan perkembangan menjadi korioretinitis, kalsifikasi serebral, serangan
kejang, dan retardasi psikomotor. Kini, manfaat dari diagnosa dini pada periode
antenatal, terapi antenatal, dan terapi setelah bayi lahir terbukti dalam menurunkan
frekuensi dari sekuele neurologis mayor.











38

RUBELLA
2.2.1 Definisi
Infeksi virus rubella merupakan penyakit ringan pada anak dan dewasa tapi
apabila terjadi pada ibu hamil yang sedang mengandung virus ini dapat menembus
dinding plasenta dan langsung menyerang janin dan bisa menyebabkan keguguran,
kematian bayi dalam kandungan atau kelainan bawaan pada bayi. Rubella dikenal
juga dengan nama campak jerman adalah penyakit menular yang disebabkan oeh
virus rubella.

2.2.2 Etiologi
Rubella disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus, famili
Togaviridae. Virus dapat diisolasi dari biakan jaringan penderita. Secara fisiko-
kimiawi virus ini sama dengan anggota virus lain dari famili tersebut, tetapi virus
rubela secara serologik berbeda. Pada waktu terdapat gejala klinis virus ditemukan
pada sekret nasofaring, darah, feses dan urin. Virus rubela tidak mempunyai pejamu
golongan intervetebrata dan manusia merupakan satu-satunya pejamu golongan
vertebrata. Cara Penularannya melalui kontak dengan sekret nasofaring dari orang
terinfeksi. Infeksi terjadi melalui droplet atau kontak langsung dengan penderita. Pada
lingkungan tertutup seperti di asrama calon prajurit, semua orang yang rentan dan
terpajan bisa terinfeksi. Bayi dengan CRS mengandung virus pada sekret nasofaring
dan urin mereka dalam jumlah besar, sehingga menjadi sumber infeksi. Penyebab
rubella atau campak Jerman adalah virus rubella. Meski virus penyebabnya berbeda,
namun rubella dan campak (rubeola) mempunyai beberapa persamaan. Rubella dan
campak merupakan infeksi yang menyebabkan kemerahan pada kulit pada
penderitanya. Perbedaannya, rubella atau campak Jerman tidak terlalu menular
39

dibandingkan campak yang cepat sekali penularannya. Penularan rubella dari
penderitanya ke orang lain terjadi melalui percikan ludah ketika batuk, bersin dan
udara yang terkontaminasi. Virus ini cepat menular, penularan dapat terjadi sepekan
(1 minggu) sebelum timbul bintik-bintik merah pada kulit si penderita, sampai lebih
kurang sepekan setelah bintik tersebut menghilang. Namun bila seseorang tertular,
gejala penyakit tidak langsung tampak. Gejala baru timbul kira-kira 14 21 hari
kemudian. Selain itu, campak lebih lama proses penyembuhannya sementara rubella
hanya 3 hari, karena itu pula rubella sering disebut campak 3 hari.


2.2.3 Pathogenesis
Penularan terjadi melalui droplet, dari nasofaring atau rute pernafasan.
Selanjutnya virus rubela memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi di kulit
belum diketahui patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul
erupsi di kulit. Di nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi
dan kadang-kadang lebih lama. Selain dari darah dan sekret nasofaring, virus rubela
telah diisolasi dari kelenjar getah bening, urin, cairan serebrospinal, ASI, cairan
40

sinovial dan paru. Penularan dapat terjadi biasanya dari 7 hari sebelum hingga 5 hari
sesudah timbulnya erupsi. Daya tular tertinggi terjadi pada akhir masa inkubasi,
kemudian menurun dengan cepat, dan berlangsung hingga menghilangnya erupsi.
Ruam nampak akibat titer serum antibody meningkat dan mempengaruhi antigen-
antibodi dan berinteraksi di kulit. Virus telah dapat ditemukan diseluruh kulit baik
yang terlibat maupun yang tidak selama masa infeksi, dan penyebarannya karena
factor lain yang mungkin berperan dalam patogenesis eksantem. Antibody mencapai
puncaknya pada hari 12 14 setelah timbulnya ruam dan akan kembali stabil setelah
kira-kira 2 minggu kemudian. Virus rubella mempunya 3 polipeptida mayor yang
mencakup 1 kapsid protein dan 2 amplop glikoprotein E1 dan E2. Antibodi anti-E1
mungkin memegang peranan utama dalam respon serologik.
Rash rubella berwarna merah jambu, akan menghilang dalam 2-3 hari, dan
tidak selalu muncul setiap kasus infeksi. Sindroma congenital terjadi pada 25% atau
lebih pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita rubella pada trimester pertama.
Jika ibu menderita infeksi ini setelah kehamilan berusia lebih 20 minggu, jarang
terjadi kelainan bawaan pada bayi. Kelainan bawaan yang ditemukan pada bayi baru
lahir adalah tuli, katarak, mikrosefalus, keterbelakangan mental kelainan jantung
bawaan dan kelainan lainnya.

2.2.4 Infeksi Rubella pada kehamilan
Pada umumnya sebelum pasangan merencanakan untuk hamil, di anjurkan
untuk melakukan test TORCH, dimana salah satu yang ditest adalah memastikan
bahwa pasangan yang bersangkutan telah memiliki kekebalan terhadap rubella.
Pada trimester satu (minggu pertama-13), jika ibu hamil mendapatkan infeksi
rubella pada masa ini maka kemungkina dapat berakibat fatal ( kurang lebih 90%)
41

pada janin. Semakin awal usia kehamilan maka semakin besar resiko ini akan tertular
pada janin. Sesudah minggu ke sepuluh resiko cacat fisik dan non fisik pada janin
juga berkurang namun masih dimungkinkan terjadinya cacat non fisik berupa kurang
berfungsinya pendengaran ataupun penglihatan pada bayi yang kemingkinan baru bisa
disembuh ketika mereka beranjak dewasa. Pada masa-masa ini para dokter kandungan
merekomendasikan untuk menggugurkan kandungannya. Pada trimester kedua pada
minggu ke 14 dan 15 pada umumnya resiko penularan kejanin juga semakin kecil.
Namun juga masih dimungkinkan terjadi kecacatan pada pendengaran dan
penglihatan. Pada trimester ketiga setelah minggu ke 16 resiko cacat pada janin boleh
dibilang hampir tidak ada. Oleh karena itu sangat disarankan kepada ibu hamil untuk
menghindari orang yang sedang terkena rubella khususnya pada trimester pertama.

2.2.4 Manifestasi Klinis
Keluhan yang dirasakan biasanya lebih ringan dari penyakit campak. Bercak-
bercak mungkin juga akan timbul tapi warnanya lebih muda dari campak biasa.
Biasanya, bercak timbul pertama kali di muka dan leher, berupa titik-titik kecil
berwarna merah muda. Dalam waktu 24 jam, bercak tersebut menyebar ke badan,
lengan, tungkai, dan warnanya menjadi lebih gelap. Bercak-bercak ini biasanya hilang
dalam waktu 1 sampai 4 hari.
Tanda-tanda dan gejala Infeksi rubella dimulai dengan adanya demam ringan
selama 1 atau 2 hari (99 - 100 Derajat Fajrenheit atau 37.2 - 37.8 derajat celcius) dan
kelenjar getah bening yang membengkak dan perih, biasanya di bagian belakang leher
atau di belakang telinga. Pada hari kedua atau ketiga, bintik-bintik (ruam) muncul di
wajah dan menjalar ke arah bawah. Di saat bintik ini menjalar ke bawah, wajah
kembali bersih dari bintik-bintik. Bintik-bintik ini biasanya menjadi tanda pertama
42

yang dikenali oleh para orang tua. Ruam rubella dapat terlihat seperti kebanyakan
ruam yang diakibatkan oleh virus lain. Terlihat sebagai titik merah atau merah muda,
yang dapat berbaur menyatu menjadi sehingga terbentuk tambalan berwarna yang
merata. Bintik ini dapat terasa gatal dan terjadi hingga tiga hari. Dengan berlalunya
bintik-bintik ini, kulit yang terkena kadangkala megelupas halus. Gejala lain dari
rubella, yang sering ditemui pada remaja dan orang dewasa, termasuk: sakit kepala,
kurang nafsu makan, conjunctivitis ringan (pembengkakan pada kelopak mata dan
bola mata), hidung yang sesak dan basah, kelenjar getah bening yang membengkak di
bagian lain tubuh, serta adanya rasa sakit dan bengkak pada persendian (terutama
pada wanita muda). Banyak orang yang terkena rubella tanpa menunjukkan adanya
gejala apa-apa.
Berbeda dengan rubeola, tidak ada fotofobia. Angka sel darah putih normal
atau sedikit menurun, trombositopeni jarang, dengan atau tanpa purpura. Terutama
pada wanita yang lebih tua dan wanita dewasa, poliartritis dapat terjadi dengan
artralgia, pembengkakan, nyeri dan efusi tetapi biasanya tanpa sisa apapun. Setiap
sendi dapat terlibat, tetapi sendi-sendi kecil tangan paling sering terkena. Lamanya
biasanya beberapa hari; jarang artritis ini menetap selama berbulan-bulan. Parestesia
juga telah dilaporkan. Pada satu epidemi orkidalgia dilaporkan pada sekitar 8% orang
laki-laki usia perguruan tinggi yang terinfeksi.
Masa inkubasi berlangsung sekitar 10 hari, tapi bisa berkisar antara 7-18 hari
dari saat terpajan sampai timbul gejala demam, biasanya 14 hari sampai timbul ruam.
Jarang sekali lebih lama dari 19-21 hari. IG untuk perlindungan pasif yang diberikan
setelah hari ketiga masa inkubasi dapat memperpanjang masa inkubasi.
Ketika rubella terjadi pada wanita hamil, dapat terjadi sindrom rubella
bawaan, yang potensial menimbulkan kerusakan pada janin yang sedang tumbuh.
43

Anak yang terkena rubella sebelum dilahirkan beresiko tinggi mengalami
keterlambatan pertumbuhan, keterlambatan mental, kesalahan bentuk jantung dan
mata, tuli, dan problematika hati, limpa dan sumsum tulang. Penularan Virus rubella
menular dari satu orang ke orang lain melalui sejumlah kecil cairan hidung dan
tenggorokan.
Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi pada
trisemester I. mula-mula replikasi virus terjadi dalam jaringan janin, dan menetap
dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin sehingga
menimbulkan kecacatan atau kelainan yang lain. Infeksi ibu pada trisemester kedua
juga dapat menyebabkan kelainan yang luas pada organ. Menetapnya virus dan
interaksi antara virus dan sel di dalam uterus dapat menyebabkan kelainan yang luas
pada periode neonatal, seperti anemia hemolitika dengan hematopoiesis ekstra
meduler, hepatitis, nefritis interstitial, ensefalitis, pankreatitis interstitial dan
osteomielitis.
Lebih dari 50% kasusu infeksi virus rubella pada ibu hamil bersifat subklinis
atau tanpa gejala sehingga tidak disadari. Karena dapat berdampak negative pada
janin yang dikandungnya maka deteksi infeksi rubella pada ibu hamil yang belum
memiliki kekebalan terhadap infeksi rubella sangat penting, resiko tertularnya janin
yang dikandung oleh ibu terinfeksi rubella bervariasi tergantung kapan ibu terinfeksi.
Janin yang tertular beresiko mengalami sindrom rubella congenital, terutama bila
infeksi terjadi pada usia janin kurang dari 4 bulan. Meskipun infeksi dapat terjadi
sepanjang kehamilan, namun jarang terjadi kelainan bila infeksi terjadi setelah usia
kehamilan lebih dari 20 minggu.
Seiring dengan meningkatnya usia kehamilan, infeksi pada janin semakin
kecil menyebabkan malformasi kongenital. Cacat rubela dijumpai pada semua bayi
44

yang memperlihatkan tanda infeksi intrauterus sebelum minggu ke-11, tetapi hanya
35% dari mereka yang terinfeksi pada usia 13 sampai 16 minggu. Gambaran klinis
rubella congenital berkaitan dengan waktu terjadinya infeksi pada ibu dan
perkembangan organ janin. Sindrom rubella congenital mencakup satu atau lebih
dari gejala berikut:
Lesi mata, termasuk katarak, glaucoma, mikroftalmia, dan kelainan lain
Penyakit jantung, termasuk duktus arteriosus paten, defek septum, dan stenosis
arteria pulmonalis
Tuli sensorineural
Defek susunan saraf pusat, termasuk meningoensefalitis
Hambatan pertumbuhan janin
Hepatitis, hepatosplenomegali dan ikterus
Pneumonitis interstisialis difus kronik
Perubahan tulang
Kelainan kromosom
Bayi yang lahir dengan rubella congenital mengeluarkan virus selama berbulan-
bulan sehingga merupakan ancaman bagi bayi lain, serta orang dewasa yang rentan
berkontak dengan mereka.

2.2.5 Diagnosis
Konfirmasi infeksi rubella seringkali sulit dilakukan. Selain gambaran
klinisnya mirip dengan penyakit-penyakit lain, sekitar seperempat dari infeksi rubella
bersifat subklinis walaupun terjadi viremia. Tidak adanya antibody rubella
menunjukkan kerentanan. Antibodi mengisyaratkan respons imun terhadap viremia.
Apabila pada ibu hamil dijumpai antibody pada saat terpajan rubella atau sebelumnya,
45

sangat kecil kemungkinan janin untuk terkena penyakit. Walaupun terdapat imunitas
alami atau imunitas karena vaksin, tetap terjadi infeksi rubella subklinis saat timbul
ledakan kasus.
Viremia mendahului gejala klinis sekitar 1 minggu. Orang nonimun yang
mengalami viremia rubela akan memperlihatkan titer puncak antibodi 1 sampai 2
minggu setelah awitan ruam, atau 2-3 minggu setelah awitan viremia. Karena itu
cepatnya respon antibody dapat mempersulit serodiagnosisnya kecuali apabila
dilakukan pengambilan serum pertama dalam beberapa hari setelah awitan ruam.
Ada beberapa pemeriksaan laboraturium untuk mendeteksi infeksi rubella,
yang lazimnya dilakukan adalah pemeriksaan anti rubella IgM dan anti rubella IgG,
pada darah ibu. Pemeriksaan anti rubella dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
kekebalan pada saat sebelum hamil, jika ternyata belum ada kekebalan dianjurkan
untuk divaksinasi. Pemerikasaan anti rubella IgG dan IgM sangat berguna untuk
diagnosis infeksi akut pada kehamilan kurang dari 18 minggu dan resiko infeksi
rubella bawaan.
Untuk memastikan apakah janin terinfeksi atau tidak, dilakukan dengan
memeriksa adanya IgM dari darah janin melalui CVS ( chorionoc villus sampling )
atau kordosentesis dimana dilakukan pendeteksian virus rubella dengan tehnik PCR
(Polymerase Chain Reaction) dan pemeriksaannya diambil dari air ketuban atau darah
janin, harus dilakukan oleh dokter ahli kandungan dan kebidanan, hanya dapat
dilakukan setelah usia diatas 22 minggu. Konfirmasi infeksi fetus pada trimester I
dilakukan dengan menemukan adanya antigen spesifik rubella dan RNA pada CVS.
Metode ini adalah yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil konsepsi.


46

2.2.6 Pencegahan
1. Pada orang yang rentan, proteksi pasif dari atau pelemahan penyakit dapat diberikan
secara bervariasi dengan injeksi intramuskuler globulin imun serum (GIS) yang
diberikan dengan dosis besar (0,25 0,50 mL/kg atau 0,12-0,20 mL/lb) dalam 7-8
hari pasca pemajanan. Efektivitas globulin imun tidak dapat diramalkan. Tampaknya
tergantung pada kadar antibodi produk yang digunakan dan pada faktor yang belum
diketahui. Manfaat GIS telah dipertanyakan karena pada beberapa keadaan ruam
dicegah dan manifestasi klinis tidak ada atau minimal walaupun virus hidup dapat
diperagakan dalam darah. Bentuk pencegahan ini tidak terindikasI, kecuali pada
wanita hamil nonimun.
2. Sejak tahun 1979 vaksin virus hidup RA 27/3 (fibroblas paru embrional manusia
deretan WI-38) telah digunakan hanya pada imunisasi aktif terhadap rubella di
Amerika Serikat. Vaksin RA 27/3 mempunyai banyak manfaat melebihi vaksin rubela
lain yang dahulu digunakan karena ia menghasilkan antibodi nasofaring dan berbagai
variasi antibodi serum, memberikan proteksi yang lebih baik terhadap reinfeksi, dan
sangat lebih menyerupai proteksi yang diberikan oleh infeksi alamiah. Vaksin sensitif
terhadap panas dan cahaya; karenanya vaksin harus disimpan dalam lemari es pada
suhu 4c dan digunakan sesegera vaksin ini dilarutkan kembali. Vaksin diberikan
sebagai satu injeksi subkutan.
3. Antibodi berkembang pada sekitar 98% dari mereka yang divaksinasi. Walaupun
mungkin virus menetap, terutama pada nasofaring, dan pelepasan terjadi dari 18-25
hari sesudah vaksinasi, penularan nampaknya tidak merupakan masalah. Lama
persistensi antibodi rubela pasca vaksinasi dengan RA 27/3 tidak tentu tetapi mungkin
seumur hidup. Cara-cara pencegahan adalah paling penting untuk perlindungan janin.
Vaksinasi ini terutama penting sehingga wanita mempunyai imunitas terhadap rubela
47

sebelum mencapai usia subur, dengan penularan penyakit alamiah atau dengan
imunisasi aktif. Status imun dapat dievaluasi dengan uji serologis yang tepat.
4. Program vaksinasi rubela di Amerika Serikat mengharuskan untuk imunisasi semua
laki-laki dan wanita umur 12 dan 15 bulan serta pubertas dan wanita pasca pubertas
tidak hamil. Imunisasi adalah efektif pada umur 12 bulan tetapi mungkin tertunda
sampai 15 bulan dan diberikan sebagai vaksin campak-parotitis-rubela (measles-
mumps-rubela /MMR). Imunisasi rubela harus diberikan pada wanita pasca pubertas
yang kemungkinan rentan pada setiap kunjungan perawatan kesehatan. Untuk wanita
yang mengatakan bahwa mereka mungkin hamil imunisasi harus ditunda. Uji
kehamilan tidak secara rutin diperlukan, tetapi harus diberikan nasehat mengenai
sebaiknya menghindari kehamilan selama 3 bulan sesudah imunisasi. Kebijakan
imunisasi sekarang telah berhasil memecahkan siklus epidemi rubela yang basa di
Amerika Serikat dan menurunkan insiden sindrom rubella kongenital yang
dilaporkanpada hanya 20 kasus pada tahun 1994.
5. Namun imunisasi ini tidak mengakibatkan penurunan persentase wanita usia subur
yang rentan terhadap rubella. Semua orang rentan terhadap infeksi virus rubella
setelah kekebalan pasif yang didapat melalui plasenta dari ibu hilang. Imunitas aktif
didapat melalui infeksi alami atau setelah mendapat imunisasi; kekebalan yang
didapat biasanya permanent sesudah infeksi alami dan sesudah imunisasi diperkirakan
kekebalan juga akan berlangsung lama, bisa seumur hidup, namun hal ini tergantung
juga pada tingkat endemisitas. Di AS, sekitar 10% dari penduduk tetap rentan. Bayi
yang lahir dari ibu yang imun biasanya terlindungi selama 6-9 bulan,tergantung dari
kadar antibodi ibu yang didapat secara pasif melalui plasenta.


48


2.2.7 Prognosis
Kornplikasi relatif tidak lazim pada anak. Neuritis dan artritis kadang-kadang
terjadi. Resistensi terhadap infeksi bakteri sekunder tidak berubah. Ensefalitis serupa
dengan ensefalitis yang ditemukan pada rubeola yang terjadi pada sekitar 1/6.000 kasus.
Prognosis rubella anak adalah baik; sedang prognosis rubella kongenital bervariasi
menurut keparahan infeksi. Hanya sekitar 30% bayi dengan ensefalitis tampak terbebas
dari defisit neuromotor, termasuk sindrom autistik.
Kebanyakan penderitanya akan sembuh sama sekali dan mempunyai kekebalan
seumur hidup terhadap penyakit ini. Namun, dikhawatirkan adanya efek teratogenik
penyakit ini, yaitu kemampuannya menimbulkan cacat pada janin yang dikandung ibu
yang menderita rubella.
Cacat bawaan yang dibawa anak misalnya penyakit jantung, kekeruhan lensa mata,
gangguan pigmentasi retina, tuli, dan cacat mental. Penyakit ini kerap pula membuat
terjadinya keguguran.






49

DAFTAR PUSTAKA


American College of Obstetricians and Gynecologists. Perinatal viral and parasitic
infections. Technical Bulltein no 177.Washington DC . ACOG 1993
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaan-RSHS Bandung.
Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi RS Hasan Sadikin Bandung.
Bandung : 2005.
Chandra G. Toxoplasma Gondii : Aspek Biologi, Epidemiologi, Diagnosis dan
Penatalaksanaannya. Medika. 2001, No 1; 297-304.
Couvreur J, Desmonts G, Thulliez P. Prophylaxis of congenital toxoplasmosis. Effects of
spiramycin on placental infection. J Antimicrob Chemother. 1988;(Suppl B):193200.
[PubMed]
C Giannoulis, B Zournatzi, A Giomisi, E Diza, and I Tzafettas Toxoplasmosis during
pregnancy: a case report and review of the literature.
Cunningham FG. MacDonald PC. Gant NF et al. Williams Obstetric 20
th
ed. London.
Appleton & Lange, 1997.
Fabiana Maria Ruiz Lopes, Daniela Dib Gonalves, Regina Mitsuka-Bregan, Roberta
Lemos Freire, Italmar Teodorico Navarro, Toxoplasma gondii infection in pregnancy,
http://www.scielo.br.
Friedman EA, Acker DB, Sachs BP. Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan Obstetri
(terjemahan). Edisi kedua. Jakarta ; Binarupa Aksara, 1998, 150-60.
Gandahusada S, Sutanto I. Kumpulan Makalah Simposium Toxoplasmosis. Jakarta : FK UI,
1990.
Hadijanto B. Toksoplasmosis dalam Kehamilan. Simposium Kemajuan Obstetri III.
50

Semarang : POGI Cab. Semarang, 2001.
Jennifer A. Pinard, MSN, RN, C-FNP, Nan S. Leslie, PhD, RNC, Pamela J. Irvine, DVM,
Maternal Serologic Screening for Toxoplasmosis, www.medscape.com, 2003.
Mochtar, dr. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi & Obstetri Patologi. Jilid I ed. ke-2.
Jakarta : EGC. 1998.
Nies BM, Lien JM, Grossman JH III. TORCH Virus-induced Fetal Disease, in. Reece EA,
Hobbins JC, Mahoney MJ. Medicine of the Fetus and Mother. Philadelpia : JB Lippincott
Co, 1992 ; 349-52.
Obstetri Patologi, Ilmu Kesehatan Reproduksi. Jakarta: EGC, 2003.
Pedersen B.S, Infeksi TORCH pada kehamilan, Departemen of Obstetric and Gynaecology,
national Hospital, University of Oslo, Norway.
Sastrawinata, S.Martaadisoebrata,J.Wirakusumah,FW et al. Obstetri Patologi ed 2. Bandung,
Thiebaut R, Leproust S, Chene G, Gilbert R. Effectiveness of prenatal treatment for
congenital toxoplasmosis: a meta-analysis of individual patient's data. Lancet.
2007;369:115122. [PubMed]
Budipardigdo S, Lisyani. 2007. Kewaspadaan Terhadap Infeksi Cytomegalovirus Serta
Kegunaan Deteksi Secara Laboratorik. Universitas Diponegoro: Semarang
Chin, J. 2000. Infeksi Sitomegalovirus. Dalam: Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
Jakarta : Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan. h.143-4
Dwindra, Mayenru. 2009. Infeksi Cytomegalovirus. Universitas Riau : Riau Firman F,
Griffiths PD, 2002: Emery VC. Cytomegalovirus. Dalam: Clinical Virology.
Washington: ASM Press. h.433-55
Jawetz dkk. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Kim CS. 2010. Congenital and Perinatal Cytomegalovirus Infection. Korean Journal of
51

Pediatrics. 53(1): 14-20.
Marino T, B Laartz, SE Smith, SG Gompf, K Allaboun, JE Marinez, et al. 2010. Viral
Infections
and Pregnancy. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/235213-
overview. Diakses pada 31 mei 2014
Schleiss, M.R., 2010. Cytomegalovirus Infection: Treatment & Medication. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/963090-treatment. Diakses pada 31 Mei
2014

Anda mungkin juga menyukai