Anda di halaman 1dari 30

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. Landasan Teori
1. Bedah Mayor Abdomen
a. Pengertian
Bedah mayor adalah tindakan bedah besar yang menggunakan anestesi
umum/ general anestesi, yang merupakan salah satu bentuk dari
pembedahan yang sering dilakukan (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).

Bedah mayor abdomen merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan
suatu insisi pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen
(Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). Ditambahkan pula bahwa tindakan bedah
abdomen merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen
yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan obstetri ginekologi.

b. Indikasi Bedah Mayor Abdomen
Indikasi dilakukan tindakan bedah mayor abdomen menurut Smeltzer dan
Bare (2001) adalah karena disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: 1) trauma
abdomen (tumpul atau tajam); 2) Peritonitis; 3) Perdarahan saluran
pencernaan; 4) sumbatan pada usus halus dan usus besar; 5) masa pada
abdomen; 6) perforasi usus; 7) pancreatitis; 8) cholelithiasis.
c. Macam-macam Bedah Mayor Abdomen
Adapun tindakan bedah mayor abdomen yang sering dilakukan adalah
laparatomi, gasterektomi, kolesistoduodenostomi, cholesistektomi,


10

hepatektomi, splenektomi, kolostomi, dan fistulektomi (Sjamsuhidajat dan
Jong, 2005).
Setiap pembedahan selalu berhubungan dengan insisi/sayatan yang merupakan
trauma atau kekerasan bagi penderita yang menimbulkan berbagai keluhan dan
gejala. Salah satu keluhan yang sering dikemukakan adalah nyeri
(Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).

2. Nyeri
a. Pengertian
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri,
2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (Smeltzer dan Bare, 2002).

b. Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic),
dan pada daerah visceral. Oleh karena letaknya yang berbeda-beda inilah,
nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor


11

kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini
biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan (Smeltzer dan Bare,
2002).

Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
1) Reseptor A delta, merupakan serabut komponen cepat (kecepatan
tranmisi 6- 30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang
akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan;
2) Serabut C, merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5
m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat
pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya.
Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri
yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi
(Smeltzer dan Bare, 2002).

Fisiologi nyeri pada pasien pasca operasi adalah nyeri diawali sebagai respon
yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia seperti substansi P,
bradikinin, dan prostaglandin dilepaskan. Kemudian menstimulasi saraf
perifer, membantu menghantarkan rangsang nyeri dari daerah yang terluka
ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls


12

elektrokimia di sepanjang saraf ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada
spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian
dihantarkan ke thalamus, yaitu pusat sensori di otak dan sensasi seperti
panas, dingin, nyeri dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Kemudian
pesan dihantarkan ke kortex dimana intensitas dan lokasi nyeri
dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian
turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan
untuk mengurangi nyeri di daerah yang terluka (Taylor dan Le Mone, 2005).

c. Teori Pengontrolan Nyeri ( Gate Control Theory )
Ada berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor
dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori
yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori
gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007).

Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) dalam Smeltzer (2002),
menjelaskan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh
mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini
mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka
dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup
pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri. Suatu
keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden
dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta- A dan C melepaskan
substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui
mekanisme pertahanan (Smeltzer dan Bare, 2002).

Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang
lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila


13

masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup
mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat
saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan
yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang
dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka
pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika
impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di
otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat
endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang
berasal dari tubuh. Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan
dengan menghambat pelepasan substansi P. Teknik distraksi, konseling dan
pemberian placebo merupakan upaya untuk melepaskan endorphin (Potter
dan Perry, 2005).

d. Respon Nyeri
Nyeri yang dirasakan individu akan meyebabkan berbagai respon, antara lain
respon psikologis, fisiologis dan respon tingkah laku. Respon psikologis sangat
berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri
bagi klien. arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain : bahaya
atau merusak, komplikasi seperti infeksi, penyakit yang berulang, penyakit
baru, penyakit yang fatal, peningkatan ketidakmampuan, kehilangan mobilitas,
menjadi tua, sembuh, perlu untuk penyembuhan, hukuman untuk berdosa,
tantangan, penghargaan terhadap penderitaan orang lain, sesuatu yang harus
ditoleransi, bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki. Pemahaman
dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi,
pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya ( Long, 1996 ).



14

Sedangkan respon fisiologis terhadap nyeri dapat menstimulasi saraf simpatis
dan parasimpatis. Respon fisiologis stimulasi simpatis antara lain: dilatasi
saluran bronkhial dan peningkatan frekuensi pernafasan, peningkatan frekuensi
denyut jantung, vasokonstriksi perifer, peningkatan tekanan darah, peningkatan
nilai gula darah, diaphoresis, peningkatan kekuatan otot, dilatasi pupil,
penurunan motilitas gastro intestinal ( Potter dan Perry, 2006 ). Respon
fisiologis stimulus parasimpatis antara lain: muka pucat, otot mengeras,
penurunan frekuensi nadi dan tekanan darah, nafas cepat dan tidak teratur,
mual dan muntah, serta kelelahan dan keletihan ( Potter dan Perry, 2006 ).

Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup: pernyataan verbal
(mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur), ekspresi wajah (meringis,
menggeletukkan gigi, menggigit bibir), gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi,
ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan, kontak dengan orang
lain/interaksi sosial (menghindari percakapan, menghindari kontak sosial,
penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri).
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat
berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi
kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih
untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.
Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir
dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri ( Potter dan Perry, 2006 ).

Meinhart dan McCaffery (1983) dalam Potter dan Perry (2006),
mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini
bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang


15

belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran
perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan
informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat
subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.
Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan
orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang
toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum
nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana
orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar
endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit
merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih
besar. Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai
dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan
klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang
menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti
apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang
yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus
seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien
mengkomunikasikan nyeri secara efektif.



16

3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien
masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,
sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila
klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)
dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam
membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan
kemungkinan nyeri berulang.

e. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri antara lain:
1). Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah
hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit
berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan. Ebersol dan Hess (1994)
dalam Potter dan Perry (2006), mengatakan individu yang berusia lanjut
memiliki resiko tinggi mengalami situasi situasi yang membuat mereka
merasakan nyeri.
2). Jenis kelamin
Gill (1990) dalam Potter dan Perry (2006), mengungkapkan laki-laki dan
wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih
dipengaruhi faktor budaya (misalnya, tidak pantas kalau laki-laki mengeluh
nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).Toleransi terhadap nyeri dipengaruhi
oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal unik pada setiap individu
tanpa memperhatikan jenis kelamin.


17

3). Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa
nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan
kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri. Pemahaman tentang
nyeri dari segi makna budaya akan membantu perawat dalam merancang
asuhan keperawatan yang relevan untuk klien yang mengalami nyeri ( Potter
dan Perry, 2006 ).
4). Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan
cara yang berbeda-beda apabila nyeri tersebut member kesan ancaman,
suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Sehingga derajat dan kualitas
nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri ( Potter
dan Perry, 2006 ).
5). Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990) dalam Potter & Perry
(2006), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri
yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk
mengatasi nyeri.
6). Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas. Paice (1991) dalam Potter dan Perry (2006) menuliskan
bahwa stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistim limbik yang diyakini
mengendalikan emosi seseorang, khususnya kecemasan. Sistim limbik ini
dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yaitu memperburuk atau


18

menghilangkan nyeri. Sehingga individu yang sehat secara emosional
biasanya lebih mampu mentoleransi nyeri dari pada individu dengan
emosional yang kurang stabil.
7). Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa
lalu dalam mengatasi nyeri.
8). Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri. Sumber-sumber koping yang dapat digunakan seperti
berkomunikasi dengan keluarga pendukung, melakukan latihan, menyanyi
yang dapat digunakan dalam rencana asuhan keperawatan dalam upaya
mendukung klien dan mengurangi nyeri sampai tingkat tertentu ( Potter dan
Perry, 2006 ).
9).Dukungan keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
dalam menghadapi nyeri. Walaupun nyeri tetap terasa, kehadiran orang
yang dicintai akan meminimalkan rasa nyeri yang klien rasakan ( Potter dan
Perry, 2006 ).

f. Intensitas Nyeri
Gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu dinamakan
intensitas nyeri. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual
dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda
oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri


19

dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon
fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik
ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri
(Tamsuri, 2007).

Skala intensitas nyeri menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah sebagai
berikut :

Gambar 2.1. Skala Nyeri

1). Skala intensitas nyeri deskriptif

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak
nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri Nyeri
berat berat tdk
terkontrol terkontrol

2). Skala identitas nyeri numeric

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak
nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri hebat






20

3). Skala analog visual

Tidak Nyeri
Nyeri sangat hebat

Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1 3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4 6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7 9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini
berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga
sulit untuk dipastikan.

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi


21

yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini
diranking dari tidak terasa nyeri sampai nyeri yang tidak tertahankan.
Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih
intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa
jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling
tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah
kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Potter dan Perry, 2005).

Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm ( Agency for
Health Care Policy and Research/ AHCPR, 1992) dalam Potter dan Perry
(2005).

Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS
adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien
kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat
merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu
kata atau satu angka (Potter dan Perry, 2005).

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat.
Skala deskriptif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat


22

keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat
dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk
atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter dan
Perry, 2005).

g. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri berdasarkan lama/ durasinya menurut Potter dan Perry
(2006) dibedakan menjadi dua, yaitu:
1) Nyeri akut
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera, atau intervensi
bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari
berat sampai ringan . Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan
akan adanya cidera atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini terkadang
bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih
pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga
kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut
secara serius mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus
menjadi prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi
bisa memanjang dengan adanya nyeri akut yang tidak terkontrol ( Potter
dan Perry, 2006 ).

Nyeri akut berlangsung tidak melebihi enam bulan, serangan bersifat
mendadak yang sudah diketahui penyebab dan lokasinya. Nyeri akut
ditandai dengan peningkatan tegangan otot dan cemas, yang keduanya
meningkatkan persepsi nyeri ( Long, 1996 ). Hal ini seperti dalam gambar
2.2 di bawah ini,




23


Gambar 2.2. Skema Nyeri Akut ( Long, 1996 )









2) Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya
berlangsung lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang
tidak terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan
progresif lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri
kronik, tenaga kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang
mengalami nyeri kronik akan mengalami periode remisi (gejala hilang
sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Nyeri ini
biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan fisik
dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien
menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu
yang mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yan gtidak aman, karena
ia tidak pernah tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari.

Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik digambarkan dalam tabel
dibawah ini,



Nyeri
Tegangan Otot Cemas


24

Tabel 2.3 Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronis ( Potter dan Perry, 2006 )

Nyeri Akut Nyeri Kronik

1. Lamanya dalam hitungan menit
2. Ditandai peningkatan tekanan
darah, nadi, dan respirasi
3. Respon pasien:Fokus pada nyeri,
menyetakan nyeri menangis dan
mengerang
4. Tingkah laku menggosok bagian
yang nyeri.
1. Lamanya sampai hitungan bulan, >
6 bln
2. Fungsi fisiologi bersifat normal
3. Tidak ada keluhan nyeri
4. Tidak ada aktifitas fisik sebagai
respon terhadap nyeri

h. Penatalaksanaan Nyeri
Ada dua pendekatan yang digunakan untuk mengatasi nyeri, yaitu pendekatan
farmakologi dan non farmakologi.
1). Pendekatan farmakologi, merupakan tindakan kolaborasi antara perawat
dengan dokter,yang menekankan pada pemberian obat yang mampu
menghilangkan sensasi nyeri. Analgesik merupakan metode umum untuk
mengatasi nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri dengan
efektif, perawat dan dokter masih cenderung tidak melakukan upaya analgesik
dalam penanganan nyeri karena informasi obat yang tidak benar dan adanya
kekhawatiran klien akan mengalami ketagihan obat ( Potter & Perry, 2006 ).
Ada tiga jenis obat analgesik yang dipakai, yaitu non narkotik dan Non Steroid
Anti Inflamation Drug (NSAID), narkotik atau opiate, dan obat tambahan/
koanalgesik. Pada nyeri ringan sampai sedang digunakan NSAID. Karena
NSAID diyakini dapat menghambat prostaglandin dan menghambat seluler
selama inflamasi serta bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi
transmisi dan resepsi stimulus nyeri ( Potter dan Perry, 2006 ).

2). Pendekatan non farmakologi, merupakan tindakan mandiri perawat untuk
menghilangkan nyeri dengan menggunakan teknik manajemen nyeri, misalnya
dengan teknik biofeedback, Transcutan Electric Nervous Stimulating ( TENS ),


25

relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi, terapi bermain, acupressure,
aplikasi panas/ dingin, massage, dan hipnosis (Mc Closkey dan Bulecheck,
2000).

3. Hipnoterapi
a. Pengertian
Hipnoterapi adalah sebuah teknik terapi yang dilakukan pada klien yang dalam
kondisi hypnosis. Kata hipnosis berasal dari bahasa yunani, yaitu hypnos yang
berarti tidur.Istilah tersebut dikenalkan oleh James Braids pada tahun 1843
dengan arti yang lebih dalam lagi, yaitu neurohipnosis yang berarti tidur dari
sistem saraf. Seseorang yang dalam kondisi hipnosis akan cenderung lebih
mudah menerima saran atau sugesti/hyper-sugestion (Hakim, 2010). Dengan
hipnoterapi klien dibimbimg untuk sangat relaks sampai kedalam pikiran bawah
sadar/sub conscious, kemudian diberikan sugesti tertentu sehingga bisa merubah
persepsi klien terhadap stimulus nyeri.

b. Tahapan Hipnoterapi
Menurut Hakim (2010), proses hipnoterapi terdiri atas: Pre Induction, induction,
deepening, hypnotherapeutic dan termination. Berikut ini akan dijelaskan lebih
rinci dari tahapan-tahapan dalam proses hipnoterapi:
1) Pre Induction
Istilah pre induction atau pra induksi merupakan suatu proses untuk
mempersiapkan suatu situasi dan kondisi yang kondusif antara terapis dan
klien. Proses ini merupakan proses yang paling menentukan dalam setiap sesi
hipnoterapi. Sebelum sesi hipnoterapi dilakukan, pastikan klien mengetahui
secara jelas metode hipnoterapi supaya terjadi proses kerja sama antara klien
dan hipnoterapis.



26

Dalam dunia hipnoterapi konvensional, salah satu praktik yang biasa
dilakukan pada saat pra-induksi adalah sugestivity testatau tes sugestivitas.
Tes ini merupakan standar yang harus dilakukan oleh setiap hipnoterapis
pada saat melakukan sesi terapi terhadap klien yang memang belum pernah
merasakan direct hypnosis atau hipnosis langsung.

Tes sugestivitas ini bermanfaat untuk mengetahui level sugestivitas klien,
dari level sugestif rendah, sugestif sedang, hingga sugestif dalam. Melalui tes
ini seorang hipnoterapis bisa melihat apakah perintah atau ajakan yang
diinginkan oleh terapis kepada klien benar-benar ditangkap secara sempurna.
Selain itu tes sugestivitas juga digunakan sebagai bentuk latihan bagi klien
agar benar-benar merasakan sensasi hipnosis.
Ada beberapa contoh tes sugestivitas yang paling banyak digunakan dalam
terapi, antara lain:
a) Teknik Catalepsy of the eyes
Teknik ini merupakan teknik yang sangat mudah dilakukan terhadap
klien karena indera penglihatan merupakan bagian tubuh yang sangat
sensitif dan mudah dikendalikan oleh setiap orang, baik dalam membuka
maupun menutup mata. Teknik ini bisa digunakan untuk melihat sejauh
mana klien mau berinteraksi atau mematuhi saran-saran dari
hipnoterapis.

Ketika memulai teknik ini, arahkan klien untuk menutup matanya
terlebih dahulu. Kemudian, arahkan klien untuk membuka matanya
kembali.Berikan penjelasan bahwa mata tertutup dan terbuka bukan
dikontrol oleh hipnoterapis, melainkan oleh klien sendiri. Hipnoterapis
bisa mengarahkan klien untuk memejamkan mata lebih dalam lagi
sehingga kelopak mata klien seakan-akan semakin merapat. Pada


27

akhirnya, klien benar-benar mangalami sensasi sulit untuk membuka
mata atau mata klien seperti terkunci. Meskipun klien ingin membuka
membuka kelopak matanya kembali, ia memprogram dirinya seakan-
akan kedua matanya seperti tertutup sangat rapat.

Jadi, urutan kerja teknik catalepsy of eyes adalah: (1) Arahkan klien
untuk menutup mata; (2) Saat klien menutup mata, lakukan tes
sugestivitas terhadap matanya; (3) Bimbing klien sehingga tercipta efek
catalepsy of eyes; (4) Kembalikan klien ke keadaan semula, yaitu dengan
meminta klien membuka kedua matanya kembali.
b) Chevreuls Pendulum
Dalam teknik ini diperlukan sebuah pendulum atau bandul sebagai alat
bantu untuk membimbing klien berkomunikasi dengan pikiran bawah
sadarnya.
c) Teknik Locking Elbow Test
Berbeda dengan kedua tes sugestivitas di atas, locking elbow test lebih
menekankan pada klien yang lebih suka diperintah secara langsung.
Pasien diminta untuk mengangkat tangan kanannya ke depan sejajar
dengan bahu kanannya. pastikan siku tidak bengkok. Adapun urutan
kerja teknik locking elbow test adalah: (1) Klien meluruskan tangannya
sejajar dengan bahu; (2) Hipnoterapis membimbing klien untuk
membayangkan tangannya menjadi kaku, terkunci,dan sulit
dibengkokkan; (3) Saat membimbing klien untuk membayangkan
tangannya kaku, hipnoterapis mencoba untuk membengkokkan tangan
klien; (4) Kembalikan klien ke kondisi semula, yaitu siku tangan dapat
dibengkokkan dan tangan kembali lentur.




28

2) Induction
Teknik induksi/inducton bertujuan agar critical area klien beristirahat
sejenak sehingga terapis bisa berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar
klien. Prinsip dasar membuka critical area bisa dilakukan dengan berbagai
cara,antar lain memanfaatkan kelelahan tubuh /fisik klien, memanfaatkan
kelenturan otot klien, dan memanfaatkan kebingungan pikiran sadar klien.

Menurut Hakim (2010), ada beberapa teknik induksi yang sering
dipraktikkan, yaitu:
a) Teknik Arm-Drop, yaitu dengan membuat fisik klien lelah.
Klien diminta menaikkan salah satu tangan kanan atau kirinya,
sehingga posisi tangannya sedikit di atas kepala. Tangan yang
terangkat keatas tersebut dimaksudkan agar klien merasakan sebuah
efek kelelahan, sehingga dengan durasi tertentu, tangan klien turun
secara alami. Hipnoterapis bisa mengarahkan sugestinya dengan
mengatakan bahwa, Semakin tangan Anda bergerak turun ke bawah,
Anda semakin memasuki kondisi yang sangat dalam.
b) Teknik Hand Shake, yaitu dengan cara merelaksasikan otot-otot
klien.
c) Teknik Misdirection, yaitu dengan memanipulasi keyakinan klien.
Dalam induksi ini, yakinkan bahwa sebenarnya, hal yang ia lakukan
hanya latihan membayangkan saja, tanpa ada upaya untuk
mempengaruhi pikiran apapun.
d) Teknik Mental Confusion, yaitu dengan membingungkan pikiran
sadar klien.
Dalam tahap ini, klien diminta untuk berjabat tangan dengan mata
terpejam. Kemudian gerakkan dan ayunkan tangan klien seperti
berjabat tangan berkali-kali. Selanjutnya, lepaskan tangan klien,


29

bimbing klien agar tangannya terus di ayunkan seperti berjabat
tangan. Pada saat itulah pikiran sadar agak kebingungan, sehingga
critical area terbuka, lalu pandu klien untuk beristirahat.

3) Deepening
Tahapan ini merupakan tahapan dalam hipnoterapi untuk memperdalam
dan mempertahankan kondisi klien dalam keadaan gelombang otak alpha
dan theta. Pada saat terapis melakukan induksi terhadap klien, kondisi
kesadaran klien berpindah dari kondisi beta ke kondisi alpha maupun
theta. Namun, untuk lebih memperdalam kesadaran klien serta
mempertahankan kondisi tersebut diperlukan teknik deepening.

Berikut ini gambaran level kesadaran dan gelombang otak manusia bila
diukur dengan EEG:

Tabel 2.4. Level kesadaran dan gelombang otak manusia (Hakim, 2010)

Sadar biasa/
Concious
Kondisi Hipnosis/
Subconcious
Tidur biasa
BETA
24-14 HZ
AlFA THETA
14-7 HZ 7-3,5 HZ
DELTA
3,5-0,5 HZ
Non Sugestif Sugestif dan Sangat
Sugestif
Non Sugestif

Menurut Hakim (2010), saat hipnoterapis melakukan teknik deepening,
perhatikan tanda-tanda trans klien. Biasanya, kondisi ini ditandai dengan
berbagai variasi perubahan, baik secara fisik maupun mental klien.

Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan kondisi klien dan
perubahan-perubahan yang terjadi pada tahap deepening.


30

Tabel 2.5. Perubahan-perubahan pada klien tahap deepening (Hakim, 2010).












Berikut ini beberapa skrip yang biasa digunakan dalam melakukan
deepening kepada klien:
a) Skrip Teknik Hallway (lorong)
b) Skrip Teknik Ball of Light
c) Skrip The Private Place

4) Hypnotherapeutic
Dalam proses hipnoterapi, hypnotherapeutic merupakan inti dari sebuah
proses dalam mengatasi permasalahan klien. Hal yang perlu diperhatikan
sebelum hypnotherapeutic digunakan kepada klien, pastikan klien dalam
kondisi hipnosis. Adapun kondisi hipnosis sendiri memiliki minimal empat
kondisi yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Relaks
Pastikan klien dalam kondisi tenang dan santai dengan memperhatikan
reaksi pergerakan tubuh dan nafas klien. Hipnoterapis perlu memastikan
NO Tanda-tanda
Tans
Keterangan
1. Perhatian Klien Mulai fokus terhadap kata-kata hipnoterapis
Mulai fokus menatap hipnoterapis
2 Perubahan pola
tubuh klien
Perubahan pola nafas yang mulai stabil dan rileks
Denyut nadi yang lebih stabil
Perubahan warna kulit yang lebih cerah
Perubahan suhu tubuh dari kondisi dingin ke kondisi agak
hangat
3 Sensasi tubuh Merasa lebih ringan
Merasa tenggelam
Merasa lebih berat
4. Sensasi pada
mata
Mata mulai terasa berat
Mata mulai bergetar
5 Sensasi nyaman Terlihat lebih damai
Terkadang tersenyum bahagia
6 Respon terhadap
sugesti
Mampu berkomunikasi secara sempurna
Menganggukkan kepala atau menggelengkannya
7 Refleks menelan Sensasi klien pada saat membayangkan memakan jeruk


31

dan menyamakan persepsi relaks kepada klien agar tidak terjadi
perbedaan makna atau istilah.
b. Pikiran terfokus
Hipnoterapis memiliki teknik-teknik khusus untuk memindahkan
gelombang pikir klien dari gelombang pikir betha menuju gelombang
pikir alpha maupun theta. Semakin seseorang masuk ke dalam
gelombang pikir alpha dan theta, semakin fokus juga pikirannya.
c. Peningkatan kualitas penginderaan klien
Kondisi ini sangat diperlukan oleh klien karena saat hipnoterapis
menggunakan sugesti penyembuhan, saran, sugesti, himbauan, informasi
yang diberikan oleh hipnoterapis bisa langsung dicerna dan diolah oleh
pikiran bawah sadar klien melalui penginderaan baik melalui visual
(indera melihat), audio (indera mendengar), kinestetik (indera perasa),
gustatory (indera penciuman), dan olfactory (indera pengecapan).
d. Klien berada dalam kondisi pikiran Alpha atau Theta
Kondisi pikiran alpha dan theta inilah yang perlu dipertahankan oleh
hipnoterapis. Untuk menjaga agar klien terus merasa nyaman dalam
kondisi hipnosis, biasanya teknik repetisi atau pengulangan kata-kata
bisa digunakan. Penekanan kata-kata tersebut harus membuat klien
merasa lebih nyaman dan lebih tenang,sekalipun ada hal-hal yang
membuat klien mersa kurang nyaman.

Hipnoterapi adalah sebuah seni. Oleh karena itu, hypnotherapeutic
bagaikan sebuah jurus demi jurus yang jika digunakan akan terjadi
sebuah rangkaian komprehensif yang saling mendukung satu dengan
lainnya. Terkadang, pada saat berhadapan dengan klien, secara tiba-tiba
hipnoterapis bisa mengolah sebuah strategi jitu yang mungkin belum
terpikirkan sebelumnya.


32

Salah satu teknik hipnoterapi yang sering digunakan adalah teknik
sugesti. Sugesti yang diberikan kepada pikiran bawah sadar akan
menjadi nilai baru, asalkan tidak bertentangan dengan nilai dasar klien.
Pikiran bawah sadar memiliki sebuah pola yang unik. Pola tersebut perlu
dicermati agar setiap sugesti yang masuk benar-benar menjadi realitas
dalam hidup klien. Sebuah sugesti yang baik, minimum terdiri dari lima
faktor yang saling berkaitan. Kelima faktor ini merupakan sebuah
susunan dalam setiap sugesti yang akan diberikan kepada klien, yaitu:
(1) Belief (Sistem keyakinan diri)
Sebelum memberikan sugesti kepada klien, terlebih dahulu berikan
keyakinan secara umum bahwa apa yang akan disarankan sesuai
dengan apa yang klien yakini. Berikan informasi dan data yang
akurat sehingga bisa meyakinkan klien.
(2) Rule (system aturan di dalam diri)
Setelah memberikan beliefe kepada klien, lanjutkan sugesti dengan
memberikan rule atau aturan yang sesuai dengan klien. Dalam
hidup, kita sering berkecimpung dengan berbagai aturan yang
sebenarnya tanpa kita sadari sangat mengikat dalam diri kita. Aturan
atau rule manusia seringkali diciptakan oleh pikirannya sendiri.
Sebenarnya pikiran manusia tidak ada batasnya, tetapi kitalah yang
sering membuat batasan-batasan. Batasan tersebut dapat kita sebut
aturan atau rule.
(3) Value
Setelah memberikan beliefe dan rule kepada klien, sarankanlah
sebuah nilai dalam diri seseorang. Nilai-nilai tersebut merupakan
jawaban atas mengapa ada sebuah rule atau aturan dalam kehidupan
seseorang.



33

(4) Behavior (Kebiasaan yang akan dilakukan)
Setelah beliefe, rule, dan value, disarankan kepada klien bahwa ada
sebuah aktifitas yang perlu dilakukan untuk memperkuat ketiga hal
tersebut. Sebuah aktifitas yang dilakukan setiap hari, lama-kelamaan
akan menjadi sebuah kebiasaan dan secara otomatis akan
memperkuat beliefe, value dan rule klien.
(5) Goal (Tujuan yang akan dicapai)
Di akhir dari sebuah sugesti, pikiran bawah sadar klien perlu
diberikan sebuah final goal atau tujuan akhir. Tujuan yang akan
dicapai oleh klien bisa berupa output(berupa manfaat yang
langsung bisa dirasakan atau outcome(berupa manfaat yang
bersifat kemakmuran bersama).

5) Termination
Setelah hipnoterapis memberikan hypnotherapeutic dan sugesti-sugestinya,
diperlukan langkah-langkah untuk menutup serangkaian proses hipnoterapi
dengan teknik yang biasa disebut dengan termination. Teknik ini diperlukan
untuk mengembalikan gelombang pikir klien dari gelombang alpha atau theta
menuju ke kondisi semula atau menuju gelombang beta. Teknik ini
dimaksudkan agar klien bisa kembali pada kesadaraan penuhnya. Ada
beberapa langkah yang dilakukan dalam terminasi ini, yaitu:
a) Informasikan kepada klien bahwa sebentar lagi proses hipnoterapi akan
segera berakhir.
b) Lakukan hitungan maju.
c) Berikan kata kunci setiap hitungan maju.
Kalimat motivasi yang diberikan pada akhir proses hipnoterapi bagaikan
sebuah kesimpulan bagi pikiran bawah sadar klien untuk melakukan
perubahan yang akan diinformasikan kepada pikiran sadarnya pasca terapi.
d) Bimbing klien untuk membuka matanya kembali dan ke kondisi semula.


34

B. Hubungan antara Hipnoterapi dengan Penurunan Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori
subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan. (Smeltzer dan Bare, 2002).

Karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga
berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang
dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri
tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi
terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil.
Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa
bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari
upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. ( Meinhart dan Mc Caffery, 1983
dalam Potter dan Perry, 2006).

Fisiologi nyeri pada pasien pasca operasi adalah nyeri diawali sebagai respon yang
diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia seperti substansi P, bradikinin, dan
prostaglandin dilepaskan. Kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu
menghantarkan rangsang nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari
daerah yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang saraf ke
bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh
tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, yaitu pusat sensori di otak dan
sensasi seperti panas, dingin, nyeri dan sentuhan pertama kali dipersepsikan.
Kemudian pesan dihantarkan ke kortex dimana intensitas dan lokasi nyeri
dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun


35

ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk
mengurangi nyeri di daerah yang terluka (Taylor dan Le Mone, 2005).

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang
berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda
tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu
dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar. Klien bisa mengungkapkan
nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan
tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk
mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan
pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena
belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri.
Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu
klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif ( Meinhart dan Mc Caffery, 1983
dalam Potter dan Perry, 2006).

Nyeri setelah pembedahan merupakan hal yang fisiologis, namun hal ini merupakan
salah satu keluhan yang paling ditakuti oleh klien setelah pembedahan. Sensasi nyeri
mulai terasa sebelum kesadaran klien kembali penuh, yang semakin meningkat
seiring dengan berkurangnya pengaruh anestesi. Adapun bentuk nyeri yang dialami
oleh klien pasca pembedahan adalah nyeri akut yang terjadi karena adanya luka
insisi bekas pembedahan ( Potter dan Perry, 2006 ).

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera, atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yan cepat, dengan intensitas bervariasi dari
berat sampai ringan . Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan
adanya cidera atau penyakit yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang
sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak.


36

Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk
segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius mengancam proses
penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa
tertunda dan hospitalisasi bisa memanjang dengan adanya nyeri akut yang tidak
terkontrol. ( Potter dan Perry, 2006 ). Nyeri akut berlangsung tidak melebihi enam
bulan, serangan bersifat mendadak yang sudah diketahui penyebab dan lokasinya.
Nyeri akut ditandai dengan peningkatan tegangan otot dan cemas, yang keduanya
menigkatkan persepsi nyeri ( Long, 1996 ).

Perawat dengan pengetahuan dan ketrampilannya dapat mengatasi masalah nyeri
pada pasien pasca operasi, baik secara mandiri maupun kolaboratif. Ada dua
pendekatan yang digunakan untuk mengatasi nyeri, yaitu pendekatan farmakologi
dan non farmakologi. Pendekatan farmakologi merupakan tindakan kolaborasi
antara perawat dengan dokter,yang menekankan pada pemberian obat yang mampu
menghilangkan sensasi nyeri. Sedangkan Pendekatan non farmakologi, merupakan
tindakan mandiri perawat untuk menghilangkan nyeri dengan menggunakan
teknik manajemen nyeri, misalnya dengan teknik biofeedback, Transcutan Electric
Nervous Stimulating ( TENS ), relaksasi, guided imagery, terapi musik, distraksi,
terapi bermain, acupressure, aplikasi panas/ dingin, massage, dan hipnosis (Mc
Closkey dan Bulecheck, 2000).

Hipnoterapi adalah sebuah teknik terapi yang dilakukan pada klien yang dalam
kondisi hypnosis. Seseorang yang dalam kondisi hipnosis akan cenderung lebih
mudah menerima saran atau sugesti/hyper-sugestion (Hakim, 2010). Dengan
hipnoterapi klien dibimbimg untuk sangat relaks sampai kedalam pikiran bawah
sadar/sub conscious, kemudian diberikan sugesti tertentu sehingga bisa merubah
persepsi klien terhadap stimulus nyeri.



37

C. Kerangka Teori







































Gambar 2.7 Skema Kerangka Teori Penelitian
( Potter dan Perry, 2006, Long, 1996, Hakim, 2010, Mc Closkey dan Bulecheck, 2000 )





Faktor Internal:
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Kecemasan
4. Pengalaman
sebelumnya
5. Pola koping
6. Fokus perhatian
Faktor Eksternal:
1. Kultur/budaya
2. Support keluarga
dan sosial
3. Pengobatan
Tegangan otot menurun,
cemas berkurang,
dihasilkan opiate
endogen (endorphin
dan enkafelin),
merubah persepsi nyeri

Rangsang
nyeri
diterima
oleh
nosireseptor
dihantarkan
ke thalamus
(otak)
melalui
saraf spinal
Pasca
operasi
menyisakan
luka
sayatan
( incisi )
Nyeri
berkurang

Nyeri
(Skala Nyeri 0-10)
Manajemen Nyeri Non
farmakologi:
1.Hipnoterapi
2.Biofeedback
3.TENS
4.Relaksasi
5.Guided Imagery
6.Terapi Musik
7.Distraksi
8.Terapi Bermain
9.Acupressure
10.Aplikasi panas/dingin
11.Massage


38

D. Kerangka Konsep

Gambar 2.8 Skema Kerangka Konsep









E. Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri atas dua variabel, yaitu variabel bebas dan terikat. Adapun
variabel bebas (independent) dalam penelitian ini adalah hipnoterapi, sedangkan
variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah intensitas nyeri.

F. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah hipnoterapi efektif untuk menurunkan
intensitas nyeri pada pasien pasca operasi bedah mayor abdomen.

Intensitas nyeri
awal
Intensitas
nyeri setelah
pelakuan
Nyeri
berkurang

Perlakuan
dengan
Hipnoterapi

Anda mungkin juga menyukai