oleh
Kicha Kartini S
NIM 082311101035
B. Etiologi
Hemodialisa dilakukan kerena pasien menderita gagal ginjal akut dan kronik
akibat dari : azotemia, simtomatis berupa enselfalopati, perikarditis, uremia,
hiperkalemia berat, kelebihan cairan yang tidak responsive dengan diuretic,
asidosis yang tidak bisa diatasi, batu ginjal, dan sindrom hepatorenal.
C. Tujuan
1. Membuang sisa produk metabolisme protein seperti : urea, kreatinin dan
asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara
darah dan bagian cairan.
3. Mempertahankan atau mengembalikan sistim buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
D. Indikasi
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis
lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum
diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration
rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus
berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak
dilakukan lagi.
E. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi
infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut.
F. Prinsip
Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Ada tiga prinsip yang
mendasari kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat
limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak
dari darah, yang memiliki konsentrasi lebih tinggi ke cairan dialisat yang
konsentrasinya rendah. Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui
proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien
tekanan: dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih
tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini
dapar ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena
pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk
mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan )
(Smeltzer, 2001).
Prinsip dialisis digunakan dalam alat cuci darah bagi penderita gagal
ginjal, di mana fungsi ginjal digantikan oleh dialisator. Prinsip dari Hemodialisis
adalah dengan menerapkan proses osmotis dan ultrafiltrasi pada ginjal buatan,
dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Pada hemodialisis, darah dipompa
keluar dari tubuh lalu masuk kedalam mesin dialiser (yang berfungsi sebagai
ginjal buatan) untuk dibersihkan dari zat-zat beracun melalui proses difusi dan
ultrafiltrasi oleh cairan khusus untuk dialisis (dialisat).
Tekanan di dalam ruang dialisat lebih rendah dibandingkan dengan
tekanan di dalam darah, sehingga cairan, limbah metabolik dan zat-zat racun di
dalam darah disaring melalui selaput dan masuk ke dalam dialisat. Proses
hemodialisis melibatkan difusi solute (zat terlarut) melalui suatu membrane
semipermeable. Molekul zat terlarut (sisa metabolisme) dari kompartemen darah
akan berpindah kedalam kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut
dapat melewati membran semipermiabel demikian juga sebaliknya. Setelah
dibersihkan, darah dialirkan kembali ke dalam tubuh
Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri dan
monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 C
sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu
rendah ataupun melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi.
G. Komplikasi
1.Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual
muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil
(Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup
sering terjadi adalah gangguan hemodinamik. Komplikasi yang jarang terjadi
adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi
komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
Berikut adalah komplikasi hemodialisa dan penyebabnya :
No
Komplikasi
Penyebab
Hipotensi
Hipertensi
Reaksi Alergi
Aritmia
Kram Otot
Emboli Udara
Dialysis
disequilibirium
Chlorine
Kontaminasi
Fluoride
10
Kontaminasi
bakteri /
endotoksin
Gambar . Hemofilter
Darah mengalir melalui bagian ini. Hemofilter memiliki beberapa ruang di
sekitar tabung clump dan dinding plastik bening.
g. Membran
Digunakan untuk menyaring molekul-molekul yang lewat, dengan ukuran
lebih besar dari lubang-lubang membran. Membran bersifat
semipermeabel.
h. Air detector
Detektor udara ini berguna untuk memantau blood path utama, memantau
kondisi darah sebelum kembali ke tubuh pasien agar tidak terdapat udara
Tipe
Kateterisasi
Indikasi
1. Segera
Keuntungan
1. Mudah
Implikasi keperawatan
1. Mengkaji klien yang
vena lemoral
masuk
masuk
2. Agara
2. Dapat
terlihat segera
segera dipakai
masuk dalam
waktu singkat
tetap paten
3. Teknik steril sangat
penting bila mengenai
Eksternal
kateter.
1. Mengkajik lien yang
shunt
lama
masuk
(mingguan
2. Dapat
atau bulanan)
segera dipakai
2. Mengkaji kepatenan
untuk masuk
ke vaskuler
2. Masuk
lewat shunt
dalam
Kateterisasi
beberapa jam
1. Langsung
1. Aktifitas
vena
masuk
klien tidak
subclavia
2. Waktu
terbatas
pendek atau
2. Hanya
2. Teknik sterilitas
panjang
diperlukan
satu kateter
kateter
3. Perlu dibilas dengan
larutan heparin untuk
pemeliharaan kepatenan
Fistual dan
1. Perlu
1. Semua
graft
masuk yang
tempat masuk
arteriovena
permanen
sangat kurang
untuk infeksi
2. Setelah ada
memudahkan
untuk masuk
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh
pompa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan
sebagai aliran arterial, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke
dalamnya sebagai darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk
meletakkan jarum: jarum arterial diletakkan paling dekat dengan anastomosis
AV pada vistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan
normal salin yang di klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa
darah.
Pada kejadian hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem
sementara cairan normal salin yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan
cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma
ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada keadaan ini dan dibiarkan
untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik
sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan.
Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir
ke dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan
dan zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati detektor udara dan foam
yang mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara.
Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan diberikan pada dialysis
diberikan melalui port obat-obatan. Penting untuk diingat, bahwa kebanyakan
obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali memang
diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui venosa
atau selang postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri
dengan mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan
membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang
kedalam perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering membeli
peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.
Kemudian aliran darah dari tubuh pasien masuk ke dalam sirkulasi darah
mesin HD yang terdiri dari selang Inlet/arterial (ke mesin) dan selang
Outlet/venous (dari mesin ke tubuh). Kedua ujungnya disambung ke jarum dan
kanula yang ditusukkan ke pembuluh darah pasien. Selama proses HD, darah
pasien diberi Heparin agar tidak membeku ketika berada di luar tubuh yaitu dalam
sirkulasi darah mesin. Selama menjalani HD, posisi pasien dapat dalam keadaan
duduk atau berbaring. Selain menjalani HD, dalam jangka panjang, obat-obat
yang diperlukan antara lain obat yang mengatasi anemia seperti suntikan hormon
eritropoetin serta pemberian zat besi. Selain itu obat yang menurunkan kadar
fosfat darah yang meningkat yang dapat mengganggu kesehatan tulang, diberikan
obat pengikat fosfat (Phosphate binder). Obat-obat lain yang diperlukan sesuai
kondisi pasien misalnya obat hipertensi, obat-obat antigatal, vitamin penunjang
(yang bebas fosfor maupun mineral yang tidak perlu).
Nefropati Toksik
1. Pendahuluan
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi
manusia oleh karena organ ini bekerja sebagai alat ekskresi utama untuk zat-zat
yang tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh. Dalam melaksanakan fungsi ekskresi ini
maka ginjal mendapat tugas yang berat mengingat hampir 25 % dari seluruh aliran
darah mengalir ke kedua ginjal. Besarnya aliran darah yang menuju ke ginjal ini
menyebabkan keterpaparan ginjal terhadap bahan/zat-zat yang beredar dalam
sirkulasi cukup tinggi. Akibatnya bahan-bahan yang bersifat toksik akan mudah
menyebabkan kerusakan jaringan ginjal dalam bentuk perubahan struktur dan
fungsi ginjal. Keadaan inilah yang disebut sebagai nefropati toksik dan dapat
mengenai glomerulus, tubulus, jaringan vaskuler, maupun jaringan interstitial
ginjal.
Nefropati toksik penting diperhatikan, mengingat penyakit ini merupakan
penyakit yang dapat dicegah dan bersifat refersibel sehingga penggunaan berbagai
prosedur diagnostik seperti arteriografi, pielografi retrograd atau biopsi ginjal
dapat dihindarkan.
Sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti angka kejadian nefropati
toksik baik pada anak maupun orang dewasa. Nanra melaporkan bahwa
kemungkinan 60% dari semua konsultasi penyakit ginjal disebabkan oleh zat
nefrotoksik dan sebanyak 5-10 % benar-benar diketahui sebagai akibat
nefrotoksik. Cronin yang melakukan penelitian pada kasus penyakit ginjal
menemukan bahwa 20 % penderita gagal ginjal disebabkan oleh pemakaian obat
antibiotik. Penelitian lain menunjukkan bahwa hampir 25 % kasus-kasus gagal
ginjal akut dan kronik diakibatkan oleh zat nefrotoksik.
Selain obat antibiotik maka pemakaian obat analgesik jangka panjang
yang cukup luas baik di negara maju maupun negara berkembang dapat
menyebabkan timbulnya nefropati analgesik yang merupakan penyebab penting
gagal ginjal kronik.
2. Etiologi
Zat-zat yang dapat merusak ginjal baik struktur maupun fungsi ginjal
disebut sebagai nefrotoksin, yang dapat merupakan :
1. Makanan, yaitu makanan yang tercemar racun kimia, racun tanaman serangga
atau makanan yang secara alamiah sudah mengandung racun seperti jengkol,
singkong atau jamur yang dapat merusak ginjal.
2. Bahan kimia, yaitu bahan yang mengandung logam berat seperti timah
(Pb),emas, kadmium.
3. Obat-obatan; antibiotik, obat kemoterapi, siklosporin, sitostatik, dll.
4. Zat radiokontras.
Dari keempat nefrotoksin maka obat dan bahan kimia yang paling sering
menyebabkan kerusakan ginjal.
3. Patogenesis
Ginjal merupakan organ tubuh yang paling sering terpapar zat kimia dan
metabolitnya terutama obat yang dipakai secara meluas dimasyarakat. Kemudahan
keterpaparan ginjal terhadap zat-zat tersebut diakibatkan oleh sifat-sfat khusus
ginjal, yaitu :
1. Ginjal menerima 25 %, curah jantung sedangkan beratnya hanya kira-kira 0,4%
dari berat badan.
2. Untuk menampung curah jantung yang begitu besar, ginjal mempunyai
permukaan endotel kapiler yang relatif luas dianatara organ tubuh yang lain.
3. Permukaan endotel kapiler yang sangat luas ini menyebabkan bahan yang
bersifat imunologik sering terpapar didaerah kapiler glomerulus dan tubulus.
4.
Fungsi
transportasi
melalui
sel-sel
tubulus
dapat
menyebabkan
(Pb) berpotensi
terhadap zat tersebut di atas, sedangkan proses yang timbul merupakan proses
imunologik baik secara humoral seperti terbentuknya deposit imun kompleks,
reaksi antara antibodi dengan antigen membrana basalis glomerulus, maupun
secara seluler.
C. Obstruksi saluran kemih.
Umumnya obstruksi yang terjadi sebagai akibat kristalisasi zat tertentu
yang kemudian mengendap di lumen tubulus
dengan pengendapan sel tubulus yang rusak. Pengendapan kristal dan sel tubulus
yang rusak ini sering disertai proses inflamasi yang akhirnya menyebabkan
obstruksi lumen tubulus. Di Indonesia dikenal keracunan jengkol yang dapat
menyebabkan obstruksi saluran kemih baik intrarenal
maupun ekstrarenal.
4. Manifestasi klinik
Gejala nefropati toksik tergantung dari jenis-jenis bahan kimia atau obat
yang terpapar pada ginjal. kelainan ginjal yang ditimbulkan mulai dari proteinuria,
hematuria, sindrom nefritik akut, sindrom nefrotik, nefritis interstitial akut,
nefritis tubulo-interstitial, sampai gagal ginjal baik akut maupun kronik.
5. Diagnosis
Diagnosis nefropati toksik sering terlambat diketahui, kalaupun diagnosis
dapat ditegakkan, kelainan ginjal yang terjadi sudah berat, misalnya terjadi gagal
ginjal baik akut maupun kronik. Atas dasar inilah maka pada gagal ginjal
nefropati toksik harus selalu dipertimbangkan sebagai penyebab dalam diagnosis
banding. Hal-hal yang dapat membantu diagnosis nefropati toksik adalah :
1. Anamnesis: riwayat pemakaian obat tertentu atau kontak dengan bahan kimia
baik dalam waktu singkat maupun waktu lama.
2. Gejala klinik: tergantung dari kelainan ginjal yang timbul seperti yang telah
disebutkan di atas. Walaupun begitu gejala sukar jadi pegangan oleh karena
banyak penyakit ginjal dengan kausa yang berbeda memberikan gejala yang
sama dengan nefropati toksik.
3. Pemeriksaan laboratorium :berguna untuk mengetahui kadar bahan toksik
dalam darah dan urin, ada tidaknya penurunan Prostaglandin E2 dalam
urin,untuk mengetahui Kadar beta-2 mikroglobulin di urin, serta kadar enzim
di urin misalnya alkali fosfatase dan LDH.
6. Penatalaksanaan
1. Keracunan obat
Mengingat sering terlambatnya diagnosis nefropati toksik akibat obatobatan ini, maka penanganan yang dilakukan sama dengan penanganan penyakit
ginjal pada umumnya seperti sindrom nefrotik atau GGA. Bila pada pengobatan
penyakit tertentu dengan antibiotik terjadi penigkatan kadar ureum atau kretinin
dalam darah, maka pemberian obat sebaiknya dihentikan atau bila sangat perlu
maka dosis harus diturunkan sesuai dengan penurunan fungsi ginjal.
2. Keracunan zat kontras
Dengan berkembangnya prosedur diagnostik radiologik yang memakai zat
kontras pada 20 tahun terakhir ini, maka kecendrungan menigkatnya kejadian
GGA dihubungkan juga dengan menigkatnya pemakaian zat kontras tersebut.
Untuk menghindari terjadinya nefropati toksik akibat pemakaian zat kontras ini,
maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Menggunakan zat kontras dengan dosis yang tepat dan tidak melebihi dosis
maksimal.
b. Menghindari terjadinya dehidrasi.
c. Menghindarkan pemeriksaan radiologik yang memakai zat kontras secara
berturut-turut.
d.
Memperhatikan
faktor-faktor
predisposisi
seperti
azotemia,
Keluhan
Utama
dengan
perangkat
PQRST
dan
Insomnia
ROM berkurang
Sirkulasi
o
Disritmia
Pallor
Edema periorbital-pretibial
Anemia
Hiperlipidemia
Hiperparatiroid
Trombositopeni
Pericarditis
Aterosklerosis
CHF
LVH
Eliminasi
o
Poliuri pada awal gangguan ginjal, olguri dan anuri pada fase lanjut
Nutrisi/cairan
o
Edema, peningkatan BB
Dehidrasi, penurunan BB
Turgor kulit
Distensi abdomen
Rasa haus
Gastritis ulserasi
Neurosensor
o
Letih, insomnia
Iritasi kulit
Kesemutan, baal-baal
Nyeri/kenyamanan
o
Gatal, pruritus,
Oksigenasi
o
Pernapasan kusmaul
Napas pendek-cepat
Ronchi
Keamanan
o
Reaksi transfuse
Demam (sepsis-dehidrasi)
Infeksi berulang
Uremia
Asidosis metabolic
Kejang-kejang
Fraktur tulang
Seksual
o
Penurunan libido
Infertile
f. Pengkajian Psikososial
o
Integritaqs ego
Interaksi social
Stress emosional
Konsep diri
g. Laboratorium
o
Urine lengkap
Darah lengkap meliputi: Hb,Hct, L, Trombosit, LED, Ureum pre dan post,
kreatinin pre dan post, protein total, albumin, globulin, SGOT-SGPT,
bilirubin, gama gt, alkali fosfatase, kalsium, fosfor, kalium, natrium,
klorida, gula darah, SI, TIBC, saturasi transferin, feritin serum, pth, vit D,
kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, asam urat, Hbs Ag, antiHCV, anti
HIV, CRP, astrup:pH/P02/pC02/HCO3
Radiologi
o
Ronsen,
Usg,
Echo:
kemungkinan
ditemukan
adanya
gambaran
Biopsi
o
Diagnosa Keperawatan
Pola nafas tidak efektif
b.d.
Over
hidrasi:
penumpukan cairan di
paru
Asidosis:
pernapasan
kusmaul
Anemia
Hiperkalemi
Karakteristik
Klien mengeluh sesak
RR > 30 X/mnt
Terdapat pola napas
kusmaul
Retraksi interkostalis (+)
Pernapasan cuping
hidung (+)
Sianosis pada akral (+)
Pallor (+)
Ronchi (+)
Hb < 9 mg/dl
Dispneu (+)
Orthopneu (+)
Sputum berbusa darah
(+)
Gangguan
keseimbangan cairan :
berlebih b.d.
Penurunan fungsi ginjal
dalam dalam mengatur
keseimbangan cairan
dan elektrolit
Karakteristik:
Klien mengeluh
bengkak-bengkak pada
perut, wajah atau
anggota gerak, sesak
Anuri/oliguri (+)
Tujuan
Pola napas efektif dengan
kriteria:
Keluhan sesak
berkurang/hilang
Retraksi interkostalis (-)
Rr 16-20 X/mnt
Pola napas kusmaul (-)
Sianosis (-)
Hb 10-11 mg/dl
Orthopneu (-)
Dispneu (-)
Pallor (-)
Pch (-)
Intervensi
1.
Observasi tanda
vital, kaji pola
napas; kaji adanya
kusmaul, periksa
suara napas dari
adanya ronchi.
2.
Atur posisi
semifowler
3.
Berikan oksigen
lembab sesuai
kebutuhan.
4.
Atur UFR
dengan berdasar
pada BB kering
5.
Berikan dialisat
bicnat
6.
Lakukan
ultrafiltrasi terpisah
bila perlu
7.
Berikan
transfusi darah PRC
bila Hb<
8.
Lakukan
kolaborasi
pemberian therafi
obat untuk
mengkoreksi
asidosis, anemia
1. Monitor
peningkatan tensi,
edema perirbital dan
peripheral
2. Auskultasi
paru
untuk
mengidentifikasi
adanya cairan dalam
paru
3. Ajarkan klien untuk
pentingnya
pengendalian
dan
pengukuran air dan
berat badan untuk
mencegah
Hipertensi (+)
Peningkatan BB yang
signifikan
Pernapasan pendekcepat
Ronchi (+), edema paru
4.
5.
6.
7.
8.
3
overhidrasi; jumlah
air yang diminum =
500 cc + diuresis /
hari
Ajarkan
klien
tentang diet rendah
sodium
untuk
mengontrol edema
dan hipertensi
Ajarkan klien agar
peningkatan
BB
interdialitik
tidak
lebih dari 5% BB
kering
Berikan
oksigen
lembab bila sesak
Lakukan UF untuk
mencapai BB kering
Lakukan
SQHD
bila perlu
1. Lakukan
penusukkan yang
tepat dan hati-hati
untuk mengurangi
resiko nyeri yang
berlebihan
2. Berikan anestesi
local pada daerah
yang akan ditusuk
untuk mengurangi
rasa nyeri terutama
saat punksi
femoralis. Bisa
berbentuk injeksi
atau spray.
3. Ajarkan dan
anjurkan teknik
relaksasi dan
distrraksi
4. Lakukan kompres
dingin untuk
memblok rasa nyeri
5. Kaji tingkat nyeri,
apakah hilang
setelah penusukkan,
menetap atau
bertambah
DAFTAR PUSTAKA
Joane. 2004. Nursing Intervention Classification. Mosby : USA
Joane. 2004. Nursing Outcomes Classification. Mosby : USA
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Nurarif, A.H. & Kusuma, H.K. 2013. Aplikasi Asuhan Kepreawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction Publishing
Price,S.A. & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC