Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN HEMODIALISA

DI RSD dr.SOEBANDI JEMBER

oleh
Kicha Kartini S
NIM 082311101035

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

LAPORAN PENDAHULUAN HEMODIALISA


OLEH: KICHA KARTINI S
NIM.08231110101035
A. Pengertian
Proses transportasi darah dalam tubuh dapat digantikan oleh suatu mesin
dimana mesin tersebut menunjang kerja organ vital tubuh tertentu yaitu ginjal.
Penurunan fungsi ginjal terjadi karena penderita mengalami kondisi klinis gagal
ginjal kronik atau gagal ginjal terminal dimana fungsi penyaring pada organ ginjal
tidak bekerja sehingga berdampak sistemik pada organ-organ lain ditubuh
penderita. Oleh karena itu dialisa dibutuhkan oleh penderita gagal ginjal untuk
memperpanjang usia penderita.
Dialisa merupakan suatu proses pembuangan limbah metabolik dan
kelebihan cairan dari tubuh. Terdapat dua metode dialisa yaitu :
a. Hemodialisa, suatu proses dimana darah dikeluarkan dari tubuh penderita
dan dipompa ke dalam mesin yang akan menyaring zat-zat racun keluar
dari darah, kemudian darah yang sudah bersih dikembalikan lagi kedalam
tubuh penderita.
b. Dialisa peritoneal, suatu proses dimana cairan yang mengandung
campuran gula dan garam khusus dimasukkan ke dalam rongga perut dan
akan menyerap zat-zat racun dari jaringan.
Hemodialisa merupakan suatu prosedur dimana darah dikeluarkan dari
tubuh manusia/penderita dan beredar dalam suatu perangkat/mesin diluar tubuh
yang biasa disebut dialyzer.Prosedur ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah,
sehingga dibuatkan hubungan diantara arteri dan vena (fistula arteriovenosa)
melalui pembedahan.

B. Etiologi
Hemodialisa dilakukan kerena pasien menderita gagal ginjal akut dan kronik
akibat dari : azotemia, simtomatis berupa enselfalopati, perikarditis, uremia,
hiperkalemia berat, kelebihan cairan yang tidak responsive dengan diuretic,
asidosis yang tidak bisa diatasi, batu ginjal, dan sindrom hepatorenal.
C. Tujuan
1. Membuang sisa produk metabolisme protein seperti : urea, kreatinin dan
asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mempengaruhi tekanan banding antara
darah dan bagian cairan.
3. Mempertahankan atau mengembalikan sistim buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
D. Indikasi
Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas
berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus
dimulai. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan
penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan.
Pengobatan biasanya dimulai apabila penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja
purna waktu, menderita neuropati perifer atau memperlihatkan gejala klinis
lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar kreatinin serum
diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluro filtration
rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus menerus
berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak
dilakukan lagi.

1. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):


a. Kegawatan ginjal
1. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
2. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
3. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
4. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5
mmol/l )
5. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
6. Uremia ( BUN >150 mg/dL)
7. Ensefalopati uremikum
8. Neuropati/miopati uremikum
9. Perikarditis uremikum
10. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
11. Hipertermia
b. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran
dialisis.
2. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien
yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis
dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di
bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

E. Kontraindikasi
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi
infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut.
F. Prinsip
Tujuan hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Ada tiga prinsip yang
mendasari kerja hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat
limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak
dari darah, yang memiliki konsentrasi lebih tinggi ke cairan dialisat yang
konsentrasinya rendah. Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui
proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien
tekanan: dengan kata lain, air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih
tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini
dapar ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal dengan
ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena
pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk
mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan )
(Smeltzer, 2001).
Prinsip dialisis digunakan dalam alat cuci darah bagi penderita gagal
ginjal, di mana fungsi ginjal digantikan oleh dialisator. Prinsip dari Hemodialisis
adalah dengan menerapkan proses osmotis dan ultrafiltrasi pada ginjal buatan,
dalam membuang sisa-sisa metabolisme tubuh. Pada hemodialisis, darah dipompa
keluar dari tubuh lalu masuk kedalam mesin dialiser (yang berfungsi sebagai

ginjal buatan) untuk dibersihkan dari zat-zat beracun melalui proses difusi dan
ultrafiltrasi oleh cairan khusus untuk dialisis (dialisat).
Tekanan di dalam ruang dialisat lebih rendah dibandingkan dengan
tekanan di dalam darah, sehingga cairan, limbah metabolik dan zat-zat racun di
dalam darah disaring melalui selaput dan masuk ke dalam dialisat. Proses
hemodialisis melibatkan difusi solute (zat terlarut) melalui suatu membrane
semipermeable. Molekul zat terlarut (sisa metabolisme) dari kompartemen darah
akan berpindah kedalam kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut
dapat melewati membran semipermiabel demikian juga sebaliknya. Setelah
dibersihkan, darah dialirkan kembali ke dalam tubuh

Gambar 4. Skema Hemodialisa

Gambar 5. Proses Hemodialisa

Mesin hemodialisis (HD) terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan


larutan dialisat, dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk
mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler ke alat dializer.

Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung sehingga terjadi


pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Sedangkan tusukan
vaskuler merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh penderita menuju
dializer dan selanjutnya kembali lagi ketubuh penderita. Kecepatan dapat
di atur biasanya diantara 300-400 ml/menit.

Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan arteri dan
monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 C
sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu
rendah ataupun melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi.

Sistem monitoring setiap mesin HD sangat penting untuk menjamin


efektifitas proses dialisis dan keselamatan.

G. Komplikasi
1.Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual
muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil
(Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang cukup
sering terjadi adalah gangguan hemodinamik. Komplikasi yang jarang terjadi
adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung,
perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi
komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
Berikut adalah komplikasi hemodialisa dan penyebabnya :
No

Komplikasi

Penyebab

Hipotensi

penarikan cairan yang berlebihan, terapi


antihipertensi, infark jantung, tamponade, reaksi
anafilaksis

Hipertensi

kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak


adekuat

Reaksi Alergi

Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks

Aritmia

Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang


terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis

Kram Otot

Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit

Emboli Udara

Udara memasuki sirkuit darah

Dialysis
disequilibirium

Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel


menyebabkan sel menjadi bengkak, edema
serebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu
cepat

Chlorine

Hemolisis oleh karena menurunnya kolom


charcoal

Kontaminasi
Fluoride

Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus,


gejala neurologi, aritmia

10

Kontaminasi
bakteri /
endotoksin

Demam, mengigil, hipotensi oleh karena


kontaminasi dari dialisat maupun sirkuti air

H. Bagian beserta fungsi dialis


a. Pompa darah
Pompa ini berguna untuk memompa darah dari dalam tubuh ke alat
hemodialisa dan mengalirkannya ke blood path. Pompa juga berguna
untuk memompa darah dari alat ke dalam tubuh.

b. Blood path (jalur darah)

Blood path ini merupakan saluran darah pada proses hemodialisa.


Digunakan untuk mengalirkan darah dari pasien ("arterial" catheter port)
menuju filter dan detektor udara gumpalan dan kembali ke pasien.
c. Ultrafiltrate path
Ultrafiltrate path merupakan jalur yang digunakan untuk mengeluarkan air,
zat terlarut, creatinin, dan zat tertentu lainnya dari darah pasien. Zat-zat
tersebut dikeluarkan melewati detektor dan saringan ultrafiltrasi, yang
nantinya berakhir pada collection bag (kantong penampung).
d. Fluid replacement path
Cairan yang diambil oleh pompa ketiga, dipanaskan, dan dipompa kembali
ke sirkuit sebelum filter.
e. Quinton catheter
Kateter ini memiliki ujung terbuka (bercabang). Masing-masing ujung
terbuka tersebut digunakan sebagai aliran darah pasien untuk mengalir ke
luar tubuh dan kembali lagi ke tubuh.
f. Hemofilter

Gambar . Hemofilter
Darah mengalir melalui bagian ini. Hemofilter memiliki beberapa ruang di
sekitar tabung clump dan dinding plastik bening.
g. Membran
Digunakan untuk menyaring molekul-molekul yang lewat, dengan ukuran
lebih besar dari lubang-lubang membran. Membran bersifat
semipermeabel.
h. Air detector
Detektor udara ini berguna untuk memantau blood path utama, memantau
kondisi darah sebelum kembali ke tubuh pasien agar tidak terdapat udara

yang masuk. Sehingga menghindarkan terjadinya penyumbatan darah


karena adanya udara.
i. Blood leak detector
Detektor ini digunakan untuk mendeteksi adanya darah pada jalur
ultrafiltrasi (ulttrafiltrate path).
j. Transducer
Transduser berfungsi untuk memantau tekanan dalam sistem. Terdapat
beberapa macam transduser, yaitu arterial transducer, venous transducer,
dan transducer lainnya. Arterial transducer digunakan untuk mengukur
tekanan negatif, yaitu ketika darah ditarik ke luar tubuh pasien. Venous
transducer digunakan untuk mengukur tekanan positif yaitu ketika darah
dikembalikan masuk ke dalam tubuh. Transduser lainnya salah satunya
berfungsi untuk mengukur tekanan yang berasal dari blood leak detector
yang penuh dengan ultrafiltrat.
k. Circuit heater
Digunakan untuk meningkatkan suhu (panas) pada aliran replacement
fluid bags, karena cairan pada replacement fluid bags akan terasa dingin
pada tubuh pasien jika tanpa pemanasan.
I. Prosedur
Hemodialisa mencakup shunting / pengalihan arus darah dari tubuh pasien ke
dialisator dimana terjadi difusi dan ultrafiltrasi dan kemudian kembali ke sirkulasi
pasien. Untuk pelaksanaan hemodialisa terjadi yang masuk ke darah pasien, suatu
mekanisme yang mentraspor darah ke dan dari dialisator, dan dialisator (daerah
dimana terjadi pertukaran larutan elektrolit dan produk-produk sisa berlangsung).
Cara utama yang masuk ke aliran darah pasien. Ini terdiri dari yang berikut:
a. Fistula aerteriovena
b. External arteriovenous/arus arteriorvena eksternal
c. Kateterisasi vena femoral
d. Kateterisasi vena subklavia

Tipe
Kateterisasi

Indikasi
1. Segera

Keuntungan
1. Mudah

Implikasi keperawatan
1. Mengkaji klien yang

vena lemoral

masuk

masuk

sering mengenai perdarahan

2. Agara

2. Dapat

pada tempat masuk

terlihat segera

segera dipakai

2. Harus sering dibilas

masuk dalam

dengan larutan heparin agar

waktu singkat

tetap paten
3. Teknik steril sangat
penting bila mengenai

Eksternal

1. Perlu waktu 1. Mudah

kateter.
1. Mengkajik lien yang

shunt

lama

masuk

sering mengenai perdarahan

(mingguan

2. Dapat

pada tempat masuk

atau bulanan)

segera dipakai

2. Mengkaji kepatenan

untuk masuk

masuk yang sering dan

ke vaskuler

memperhatikan aliran darah

2. Masuk

lewat shunt

dalam

3. Shunt merupakan tempat

Kateterisasi

beberapa jam
1. Langsung

1. Aktifitas

potensial menjadi infeksi


1. Mengkaji klien yang

vena

masuk

klien tidak

sering mengenai perdarahan

subclavia

2. Waktu

terbatas

pada tempat masuk

pendek atau

2. Hanya

2. Teknik sterilitas

panjang

diperlukan

diperlukan bila mengelola

satu kateter

kateter
3. Perlu dibilas dengan
larutan heparin untuk
pemeliharaan kepatenan

Fistual dan

1. Perlu

1. Semua

1. Pengkajian fistula atau

graft

masuk yang

tempat masuk

graft depalpasi atau

arteriovena

permanen

sangat kurang

austkultasi bruit/bunyi arus

untuk infeksi

2. Pesankan kepada klien

2. Setelah ada

agar fistula tidak tertekan

memudahkan

oleh baju yang ketat atau

untuk masuk

mengangkat sesuatu dengan


lengan dibelokkan
3. Klien diminta untuk
mengkaji fistula mengenai
tanda-tanda gejala infeksi,
terdiri dari nyeri, merah
bengkak atau sangat panas.

Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa


keamanan peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke
system sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau
tandur arteriovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua lumen. Dua jarum
berlubang besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau
tandur AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula,
jugularis interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai
dengan kebijakan institusi.

Gambar 6. Fistula (Arteriovenous Fistula)

Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh
pompa darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan
sebagai aliran arterial, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke
dalamnya sebagai darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk
meletakkan jarum: jarum arterial diletakkan paling dekat dengan anastomosis
AV pada vistula atau tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan
normal salin yang di klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa
darah.
Pada kejadian hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem
sementara cairan normal salin yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan
cepat menginfus untuk memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma
ekspander juga dapat disambungkan ke sirkuit pada keadaan ini dan dibiarkan
untuk menetes, dibantu dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik
sebelum atau sesudah pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan.
Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir
ke dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan
dan zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati detektor udara dan foam
yang mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara.
Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan diberikan pada dialysis
diberikan melalui port obat-obatan. Penting untuk diingat, bahwa kebanyakan
obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali memang
diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui venosa
atau selang postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri
dengan mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan
membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang
kedalam perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering membeli
peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.

Gambar 7. Prosedur Hemodialisis


Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang
tindakan dialysis karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan
sarung tangan wajib untuk digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis.
Prosedur ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk memenuhi
kebutuhan ini, maka dibuat suatu hubungan buata diantara arteri dan vena (fistula
arteriovenosa), lebih populer disebut (Brescia-) Cimino Fistula, melalui
pembedahan yang cukup baik agar dapat diperoleh aliran darah yang cukup
besar. Fistula arteriovenosa dapat berupa kateter yang dipasang di pembuluh
darah vena di leher atau paha dan bersifat temporer.

Gambar 8. Pemasangan selang inlet dan outlet

Kemudian aliran darah dari tubuh pasien masuk ke dalam sirkulasi darah
mesin HD yang terdiri dari selang Inlet/arterial (ke mesin) dan selang
Outlet/venous (dari mesin ke tubuh). Kedua ujungnya disambung ke jarum dan
kanula yang ditusukkan ke pembuluh darah pasien. Selama proses HD, darah
pasien diberi Heparin agar tidak membeku ketika berada di luar tubuh yaitu dalam
sirkulasi darah mesin. Selama menjalani HD, posisi pasien dapat dalam keadaan
duduk atau berbaring. Selain menjalani HD, dalam jangka panjang, obat-obat
yang diperlukan antara lain obat yang mengatasi anemia seperti suntikan hormon
eritropoetin serta pemberian zat besi. Selain itu obat yang menurunkan kadar
fosfat darah yang meningkat yang dapat mengganggu kesehatan tulang, diberikan
obat pengikat fosfat (Phosphate binder). Obat-obat lain yang diperlukan sesuai
kondisi pasien misalnya obat hipertensi, obat-obat antigatal, vitamin penunjang
(yang bebas fosfor maupun mineral yang tidak perlu).

Nefropati Toksik
1. Pendahuluan
Ginjal merupakan salah satu organ tubuh yang sangat penting bagi
manusia oleh karena organ ini bekerja sebagai alat ekskresi utama untuk zat-zat
yang tidak dibutuhkan lagi oleh tubuh. Dalam melaksanakan fungsi ekskresi ini
maka ginjal mendapat tugas yang berat mengingat hampir 25 % dari seluruh aliran
darah mengalir ke kedua ginjal. Besarnya aliran darah yang menuju ke ginjal ini
menyebabkan keterpaparan ginjal terhadap bahan/zat-zat yang beredar dalam
sirkulasi cukup tinggi. Akibatnya bahan-bahan yang bersifat toksik akan mudah
menyebabkan kerusakan jaringan ginjal dalam bentuk perubahan struktur dan
fungsi ginjal. Keadaan inilah yang disebut sebagai nefropati toksik dan dapat
mengenai glomerulus, tubulus, jaringan vaskuler, maupun jaringan interstitial
ginjal.
Nefropati toksik penting diperhatikan, mengingat penyakit ini merupakan
penyakit yang dapat dicegah dan bersifat refersibel sehingga penggunaan berbagai
prosedur diagnostik seperti arteriografi, pielografi retrograd atau biopsi ginjal
dapat dihindarkan.
Sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti angka kejadian nefropati
toksik baik pada anak maupun orang dewasa. Nanra melaporkan bahwa
kemungkinan 60% dari semua konsultasi penyakit ginjal disebabkan oleh zat
nefrotoksik dan sebanyak 5-10 % benar-benar diketahui sebagai akibat
nefrotoksik. Cronin yang melakukan penelitian pada kasus penyakit ginjal
menemukan bahwa 20 % penderita gagal ginjal disebabkan oleh pemakaian obat
antibiotik. Penelitian lain menunjukkan bahwa hampir 25 % kasus-kasus gagal
ginjal akut dan kronik diakibatkan oleh zat nefrotoksik.
Selain obat antibiotik maka pemakaian obat analgesik jangka panjang
yang cukup luas baik di negara maju maupun negara berkembang dapat
menyebabkan timbulnya nefropati analgesik yang merupakan penyebab penting
gagal ginjal kronik.

2. Etiologi
Zat-zat yang dapat merusak ginjal baik struktur maupun fungsi ginjal
disebut sebagai nefrotoksin, yang dapat merupakan :
1. Makanan, yaitu makanan yang tercemar racun kimia, racun tanaman serangga
atau makanan yang secara alamiah sudah mengandung racun seperti jengkol,
singkong atau jamur yang dapat merusak ginjal.
2. Bahan kimia, yaitu bahan yang mengandung logam berat seperti timah
(Pb),emas, kadmium.
3. Obat-obatan; antibiotik, obat kemoterapi, siklosporin, sitostatik, dll.
4. Zat radiokontras.
Dari keempat nefrotoksin maka obat dan bahan kimia yang paling sering
menyebabkan kerusakan ginjal.
3. Patogenesis
Ginjal merupakan organ tubuh yang paling sering terpapar zat kimia dan
metabolitnya terutama obat yang dipakai secara meluas dimasyarakat. Kemudahan
keterpaparan ginjal terhadap zat-zat tersebut diakibatkan oleh sifat-sfat khusus
ginjal, yaitu :
1. Ginjal menerima 25 %, curah jantung sedangkan beratnya hanya kira-kira 0,4%
dari berat badan.
2. Untuk menampung curah jantung yang begitu besar, ginjal mempunyai
permukaan endotel kapiler yang relatif luas dianatara organ tubuh yang lain.
3. Permukaan endotel kapiler yang sangat luas ini menyebabkan bahan yang
bersifat imunologik sering terpapar didaerah kapiler glomerulus dan tubulus.
4.

Fungsi

transportasi

melalui

sel-sel

tubulus

dapat

menyebabkan

terkonsentrasinya zat-zat toksin di tubulus sendiri.


5. Mekanisme counter current sehingga medulla dan papil ginjal menjadi
hipertonik dapat menyebabkan konsentrasi zat toksik sangat meningkat di
kedua daerah tersebut.

Sifat-sifat khas yang disebut di atas inilah yang memudahkan terjadinya


gangguan struktur dan fungsi ginjal, bila didalam darah terdapat zat yang bersifat
nefrotoksik. Berikut beberapa obat serta zat kimia dengan potensi dapat merusak
ginjal, yaitu :
1. Asetaminofen, dapat menimbulkan kerusakan pada papilla renalis.
2. Salisilat, dapat menimbulkan nefritis interstitial.
3. Antibiotik golongan aminoglikosida dan golongan sefalosporin, berpotensi
menimbulkan keadaan nefritis interstitial dan kerusakan sel-sel tubulus.
4. Basitrasin, dapat menimbulkan degenerasi epitel tubulus.
5. Polimiksin B dan E, berpotensi menimbulkan kerusakan tubulus ginjal.
6. Tetrasiklin, dapat menimbulkan sindrom fanconi.
7. Amfoterisin B, berpotensi menimbulkan kerusakan pada glomerulus dan atrofi
pada jaringan tubulus ginjal.
8. Logam berat, misalnya merkuri dapat menimbulkan nekrosis pada jaringan
tubulus secara akut dan iskemia pada ginjal. Timah

(Pb) berpotensi

menimbulkan keadaan sindrom fanconi dan kerusakan pada tubulus ginjal.


Dikenal 5 macam mekanisme terjadinya nefropati toksik, yaitu :
A. Dampak langsung terhadap sel parenkim ginjal.
Kerusakan langsung ini terutama disebabkan oleh penggunaan zat yang
mengandung logam berat. Logam berat yang difiltrasi oleh glomerulus dapat
diresorpsi kembali oleh sel tubulus sehingga sel tubuluslah yang paling sering
mengalami kerusakan. Kerusakan ini mengenai hampir seluruh struktur subseluler
seperti membran plasma, mitokondria, lisosom, retikulum endoplasma dan inti
sel.
B. Reaksi imunologis
Proses imunologis lebih sering terjadi pada pemakaian obat-obatan seperti
penisilin, metisilin, dsb. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi hipersensitifitas

terhadap zat tersebut di atas, sedangkan proses yang timbul merupakan proses
imunologik baik secara humoral seperti terbentuknya deposit imun kompleks,
reaksi antara antibodi dengan antigen membrana basalis glomerulus, maupun
secara seluler.
C. Obstruksi saluran kemih.
Umumnya obstruksi yang terjadi sebagai akibat kristalisasi zat tertentu
yang kemudian mengendap di lumen tubulus

yang selanjutnya disertai pula

dengan pengendapan sel tubulus yang rusak. Pengendapan kristal dan sel tubulus
yang rusak ini sering disertai proses inflamasi yang akhirnya menyebabkan
obstruksi lumen tubulus. Di Indonesia dikenal keracunan jengkol yang dapat
menyebabkan obstruksi saluran kemih baik intrarenal

maupun ekstrarenal.

Diduga pengendapan asam jengkol yang menyumbat saluran kemih.Gangguan


fungsi ginjal yang paling sering terjadi akibat keracunan jengkol ini ialah gagal
ginjal akut.
D. Penghambatan produksi prostaglandin
Terdapat obat-obat yang dapat menghambat sintesis prostaglandin E2
yaitu aspirin dan anti inflamasi non steroid. Obat-obat ini menghambat sintesis
prostaglandin E2 dengan cara mengikat siklo-oksigenase, suatu enzim yang
dipakai untuk memproduksi Prostaglandin E2. Penggunaan obat ini dalam jangka
waktu tertentu akan menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal dan laju
filtrasi glomerulus sehingga dapat berpotensi menimbulkan keadaan gagal ginjal.
E. Memperburuk penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya.
Misalnya pielonefritis yang diperberat akibat pemakaian obat-obat
tertentu yang meningkatkan ekskresi asam urat atau obat-obat yang menyebabkan
hipokalemia.

4. Manifestasi klinik
Gejala nefropati toksik tergantung dari jenis-jenis bahan kimia atau obat
yang terpapar pada ginjal. kelainan ginjal yang ditimbulkan mulai dari proteinuria,
hematuria, sindrom nefritik akut, sindrom nefrotik, nefritis interstitial akut,
nefritis tubulo-interstitial, sampai gagal ginjal baik akut maupun kronik.
5. Diagnosis
Diagnosis nefropati toksik sering terlambat diketahui, kalaupun diagnosis
dapat ditegakkan, kelainan ginjal yang terjadi sudah berat, misalnya terjadi gagal
ginjal baik akut maupun kronik. Atas dasar inilah maka pada gagal ginjal
nefropati toksik harus selalu dipertimbangkan sebagai penyebab dalam diagnosis
banding. Hal-hal yang dapat membantu diagnosis nefropati toksik adalah :
1. Anamnesis: riwayat pemakaian obat tertentu atau kontak dengan bahan kimia
baik dalam waktu singkat maupun waktu lama.
2. Gejala klinik: tergantung dari kelainan ginjal yang timbul seperti yang telah
disebutkan di atas. Walaupun begitu gejala sukar jadi pegangan oleh karena
banyak penyakit ginjal dengan kausa yang berbeda memberikan gejala yang
sama dengan nefropati toksik.
3. Pemeriksaan laboratorium :berguna untuk mengetahui kadar bahan toksik
dalam darah dan urin, ada tidaknya penurunan Prostaglandin E2 dalam
urin,untuk mengetahui Kadar beta-2 mikroglobulin di urin, serta kadar enzim
di urin misalnya alkali fosfatase dan LDH.
6. Penatalaksanaan
1. Keracunan obat
Mengingat sering terlambatnya diagnosis nefropati toksik akibat obatobatan ini, maka penanganan yang dilakukan sama dengan penanganan penyakit
ginjal pada umumnya seperti sindrom nefrotik atau GGA. Bila pada pengobatan
penyakit tertentu dengan antibiotik terjadi penigkatan kadar ureum atau kretinin

dalam darah, maka pemberian obat sebaiknya dihentikan atau bila sangat perlu
maka dosis harus diturunkan sesuai dengan penurunan fungsi ginjal.
2. Keracunan zat kontras
Dengan berkembangnya prosedur diagnostik radiologik yang memakai zat
kontras pada 20 tahun terakhir ini, maka kecendrungan menigkatnya kejadian
GGA dihubungkan juga dengan menigkatnya pemakaian zat kontras tersebut.
Untuk menghindari terjadinya nefropati toksik akibat pemakaian zat kontras ini,
maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Menggunakan zat kontras dengan dosis yang tepat dan tidak melebihi dosis
maksimal.
b. Menghindari terjadinya dehidrasi.
c. Menghindarkan pemeriksaan radiologik yang memakai zat kontras secara
berturut-turut.
d.

Memperhatikan

faktor-faktor

predisposisi

seperti

azotemia,

anemia,proteinuria,hiperurikemia,hipertensi dan gangguan fungsi hati.


Dari seluruh faktor pencetus atau faktor predisposisi di atas maka hal yang
terpenting yang harus diperhatikan sebelum dilakukan pemeriksaan radiologik
ialah adanya azotemia yang ditandai oleh kadar kretinin serum yang meninggi.

Asuhan Keperawatan Pasien Hemodialisis


I. Pengkajian
a. Keluhan:
Klien dengan hemodialisis biasanya mengeluhkan: Lemas, pusing, gatal,
baal-baal, bengkak-bengkak, sesak, kram, BAK tidak lancar, mual, muntah, tidak
nafsu makan, susah tidur, berdebar, mencret, susah BAB, penglihatan tidak jelas,
sakit kepala, nyeri dada, nyeri punggung, susah berkonsentrasi, kulit kering,
pandangan gelap, nyeri otot, nyeri pada penusukkan jarum, rembes pada akses
darah, keringat dingin, batuk berdahak/tidak.
b.Riwayat Kesehatan Saat Ini
Pengembangan

Keluhan

Utama

dengan

perangkat

PQRST

dan

pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari.


c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Menanyakan adanya riwayat infeksi saluran kemih, infeksi organ lain,
riwayat kencing batu/obstruksi, riwayat konsumsi obat-obatan, jamu, riwayat
trauma ginjal, riwayat penyakit endokrin, riwayat penyakit kardiovaskuler,
riwayat darah tinggi, riwayat kehamilan, riwayat dehidrasi, riwayat trauma.
d.Riwayat Kesehatan Keluarga
Menanyakan riwayat polikistik, diabetes, hipertensi, riwayat penyakit
ginjal yang lain.
e.Pemeriksaan Fisik
Aktivitas istirahat/tidur
o

Lelah, lemah atau malaise

Insomnia

Tonus otot menurun

ROM berkurang

Sirkulasi
o

Palpitasi, angina, nyeri dada

Hipertensi, distensi vena jugularis

Disritmia

Pallor

Hipotensi/hipertensi, nadi lemah/halus

Edema periorbital-pretibial

Anemia

Hiperlipidemia

Hiperparatiroid

Trombositopeni

Pericarditis

Aterosklerosis

CHF

LVH

Eliminasi
o

Poliuri pada awal gangguan ginjal, olguri dan anuri pada fase lanjut

Disuri, kaji warna urin

Riwayat batu pada saluran kencing

Ascites, meteorismus, diare, konstipasi

Nutrisi/cairan
o

Edema, peningkatan BB

Dehidrasi, penurunan BB

Mual, muntah, anorexia, nyeri ulu hati

Efek pemberian diuretic

Turgor kulit

Stomatitis, perdarahan gusi

Lemak subkutan menurun

Distensi abdomen

Rasa haus

Gastritis ulserasi

Neurosensor
o

Sakit kepala, penglihatan kabur

Letih, insomnia

Kram otot, kejang, pegal-pegal

Iritasi kulit

Kesemutan, baal-baal

Nyeri/kenyamanan
o

Sakit kepala, pusing

Nyeri dada, nyeri punggung

Gatal, pruritus,

Kram, kejang, kesemutan, mati rasa

Oksigenasi
o

Pernapasan kusmaul

Napas pendek-cepat

Ronchi

Keamanan
o

Reaksi transfuse

Demam (sepsis-dehidrasi)

Infeksi berulang

Penurunan daya tahan

Uremia

Asidosis metabolic

Kejang-kejang

Fraktur tulang

Seksual
o

Penurunan libido

Haid (-), amenore

Gangguan fungsi ereksi

Produksi testoteron dan sperma menurun

Infertile

f. Pengkajian Psikososial
o

Integritaqs ego

Interaksi social

Tingkat pengetahuan tentang penyakit dan penatalaksanaannya

Stress emosional

Konsep diri

g. Laboratorium
o

Urine lengkap

Darah lengkap meliputi: Hb,Hct, L, Trombosit, LED, Ureum pre dan post,
kreatinin pre dan post, protein total, albumin, globulin, SGOT-SGPT,
bilirubin, gama gt, alkali fosfatase, kalsium, fosfor, kalium, natrium,
klorida, gula darah, SI, TIBC, saturasi transferin, feritin serum, pth, vit D,
kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, asam urat, Hbs Ag, antiHCV, anti
HIV, CRP, astrup:pH/P02/pC02/HCO3

Biasanya dapat ditemukan adanya: anemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia,


hipokalsemi, ureumikum, kreatinin meningkat, pH darah rendah, GD klien
DM menurun

Radiologi
o

Ronsen,

Usg,

Echo:

kemungkinan

ditemukan

adanya

gambaran

pembesaran jantung, adanya batu saluran kencing/ginjal, ukuran korteks,


gambaran keadaan ginjal, adanya pembesaran ukuran ginjal, vaskularisasi
ginjal.
o

Sidik nuklir dapat menentukan GFR

Biopsi
o

Mendeteksi adanya keganasan pada jaringan ginjal

ii. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


No
1

Diagnosa Keperawatan
Pola nafas tidak efektif
b.d.
Over
hidrasi:
penumpukan cairan di
paru
Asidosis:
pernapasan
kusmaul
Anemia
Hiperkalemi
Karakteristik
Klien mengeluh sesak
RR > 30 X/mnt
Terdapat pola napas
kusmaul
Retraksi interkostalis (+)
Pernapasan cuping
hidung (+)
Sianosis pada akral (+)
Pallor (+)
Ronchi (+)
Hb < 9 mg/dl
Dispneu (+)
Orthopneu (+)
Sputum berbusa darah
(+)

Gangguan
keseimbangan cairan :
berlebih b.d.
Penurunan fungsi ginjal
dalam dalam mengatur
keseimbangan cairan
dan elektrolit
Karakteristik:
Klien mengeluh
bengkak-bengkak pada
perut, wajah atau
anggota gerak, sesak
Anuri/oliguri (+)

Tujuan
Pola napas efektif dengan
kriteria:
Keluhan sesak
berkurang/hilang
Retraksi interkostalis (-)
Rr 16-20 X/mnt
Pola napas kusmaul (-)
Sianosis (-)
Hb 10-11 mg/dl
Orthopneu (-)
Dispneu (-)
Pallor (-)
Pch (-)

Intervensi
1.
Observasi tanda
vital, kaji pola
napas; kaji adanya
kusmaul, periksa
suara napas dari
adanya ronchi.
2.
Atur posisi
semifowler
3.
Berikan oksigen
lembab sesuai
kebutuhan.
4.
Atur UFR
dengan berdasar
pada BB kering
5.
Berikan dialisat
bicnat
6.
Lakukan
ultrafiltrasi terpisah
bila perlu
7.
Berikan
transfusi darah PRC
bila Hb<
8.
Lakukan
kolaborasi
pemberian therafi
obat untuk
mengkoreksi
asidosis, anemia

Klien mengatakan bengkak


berkurang/hilang
Klien mengatakan sesak
berkurang
Edema (-)
Peningkatan BB interdialitik
tidak lebih dari 5% BB
kering
Pola napas normal, RR
Normal

1. Monitor
peningkatan tensi,
edema perirbital dan
peripheral
2. Auskultasi
paru
untuk
mengidentifikasi
adanya cairan dalam
paru
3. Ajarkan klien untuk
pentingnya
pengendalian
dan
pengukuran air dan
berat badan untuk
mencegah

Hipertensi (+)
Peningkatan BB yang
signifikan
Pernapasan pendekcepat
Ronchi (+), edema paru

4.

5.

6.
7.
8.
3

Gangguan rasa nyaman:


nyeri saat insersi pada
tempat penusukkan b.d.
insersi fistula needle.
Karakeristik :
Klien mengeluh nyeri
pada akses vaskuler saat
dilakukan penusukkan.
Ekspresi wajah tampak
meringis
Terdapat
luka
penusukkan untuk akses
darah

Keluhan pada saat ditusuk


minimal
Saat penususkan ekspresi
wajah tenang

overhidrasi; jumlah
air yang diminum =
500 cc + diuresis /
hari
Ajarkan
klien
tentang diet rendah
sodium
untuk
mengontrol edema
dan hipertensi
Ajarkan klien agar
peningkatan
BB
interdialitik
tidak
lebih dari 5% BB
kering
Berikan
oksigen
lembab bila sesak
Lakukan UF untuk
mencapai BB kering
Lakukan
SQHD
bila perlu

1. Lakukan
penusukkan yang
tepat dan hati-hati
untuk mengurangi
resiko nyeri yang
berlebihan
2. Berikan anestesi
local pada daerah
yang akan ditusuk
untuk mengurangi
rasa nyeri terutama
saat punksi
femoralis. Bisa
berbentuk injeksi
atau spray.
3. Ajarkan dan
anjurkan teknik
relaksasi dan
distrraksi
4. Lakukan kompres
dingin untuk
memblok rasa nyeri
5. Kaji tingkat nyeri,
apakah hilang
setelah penusukkan,
menetap atau
bertambah

DAFTAR PUSTAKA
Joane. 2004. Nursing Intervention Classification. Mosby : USA
Joane. 2004. Nursing Outcomes Classification. Mosby : USA
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius
Nurarif, A.H. & Kusuma, H.K. 2013. Aplikasi Asuhan Kepreawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction Publishing
Price,S.A. & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai