Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ILEUS OBSTRUKTIF
Pembimbing :
dr. Kamal Agung W, Sp.B
Disusun Oleh:
Aisyah Nur Aini G4A013086
SMF BEDAH
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
HALAMAN PENGESAHAN
Telah dipresentasikan serta disetujui presentasi kasus dan referat dengan judul :
I LEUS OBSTRUKTI F
Diajukan untuk memenuhi salah satu ujian
kepanitraan klinik dokter muda SMF Bedah
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
Disusun Oleh:
Aisyah Nur Aini G4A013086
Purwokerto, Oktober 2014
Telah disetujui dan dipresentasikan
pada tanggal ;
dr. Kamal Agung W, Sp.B
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan
karuniaNya, sehingga dapat menyelesaikan presentasi kasus dan referat ini.
Presentasi kasus dan referat yang berjudul Ileus Obstruktif ini merupakan salah
satu syarat ujian kepanitraan klinik dokter muda SMF Bedah RSUD. Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Kamal Agung W, Sp.B
sebagai pembimbing atas waktu yang diluangkan, bimbingan, dan saran yang
sifatnya membangun dalam penyusunan presentasi kasus ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini masih
belum sempurna serta banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik membangun dari pembimbing serta seluruh pihak.
Purwokerto, Oktober 2014
Penulis
I. KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Ny. E
b. Umur : 40 tahun
c. Jenis kelamin : Perempuan
d. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
e. Agama : Islam
f. Alamat : Klahang RT 02/01 Sokaraja, Banyumas
g. Tanggal masuk : 10 September 2014
h. Tanggal periksa : 17 September 2014
i. Nomor CM : 00901668
B. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Tidak BAB sejak 1 minggu yang lalu.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh tidak dapat BAB sejak 1 minggu yang lalu. Terakhir
pasien BAB dengan feses yang berbentuk kecil-kecil dengan
konsistensi padat, warna BAB coklat tua. Pasien juga mengeluhkan
tidak bisa kentut sejak 4 hari yang lalu juga mengeluh kembung, serta
mual dan muntah disertai nyeri seluruh regio abdomen. Buang air
kecil lancar.
?????????????????????
c. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi disangkal
2. Riwayat diabetes mellitus disangkal
3. Riwayat sakit jantung disangkal
4. Riwayat trauma pada daerah perut disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal disangkal
6. Riwayat alergi obat disangkal
7. Riwayat operasi sebelumnya diakui yaitu operasi apendisitis 3,5
bulan yang lalu
d. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
2. Riwayat diabetes melitus disangkal
3. Riwayat hipertensi disangkal
4. Riwayat penyakit ginjal disangkal
e. Riwayat pengobtan dan alergi
Riwayat penggunaan obat dalam jangka waktu lama disangkal.
f. Riwayat sosek dan lifestyle
Pasien memiliki kebiasaan makan yang tidak teratur, sering makan
gorengan, tidak suka mengkonsumsi sayur dan buah-buahan.
C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Vital Sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,4
0
C
Tinggi Badan : 154 cm
Berat Badan : 45 kg
d. Status Generalis
1. Kepala : mesochepal, rambut sebagian hitam, distribusi rambut
merata, rambut tidak mudah dicabut.
2. Mata : Ca +/+, Si (-/-), pupil bulat isokor 3mm/3mm, reflex
cahaya (+/+) normal, mata tampak cekung -/-.
3. Hidung : deviasi septum (-), discharge (-)
4. Telinga : simetris, discharge (-)
5. Mulut : sianosis(-), lidah kotor(-) dan hiperemis (-), mukosa basah
(+)
6. Leher : kelenjar limfe tidak membesar
7. Thorax
Pulmo
Inspeksi : simetris, jejas (-) ketinggalan gerak (-), retraksi (-)
Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi : SD vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : kiri atas SIC II LPSS, kiri bawah SIC IV LMCS
: kanan atas SIC II LPSD, kanan bawah SIC IVLPSD
Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)
e. Status lokalis
Abdomen
Inspeksi : cembung (+), darm counter (+), darm staifung (+)
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Perkusi : timpani (+) , nyeri ketok kostovertebra (-/-)
Palpasi : supel (+), nyeri tekan regio epigastrik (+), hepar/lien tidak
teraba
Ekstrimitas
Superior : akral hangat -/-, edema -/-, sianosis -/-, kapilari refill 2
detik
Inferior : akral hangat +/-+, edema -/-, sianosis -/-
Pemeriksaan Rectal Toucher
Hasil pemeriksaan RT:
- Tonus Spingter Ani cukup baik
- Ampula recti colaps
- Massa (-)
- Lendir (+)
- Darah (-)
- Feses (+)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium (17 September 2014)
Darah lengkap
Hemoglobin : 11,6 g/dL
Leukosit : 6960 /uL
Hematokrit : 32 %
Eritrosit : 4,9 10^6/uL
Trombosit : 527.000 /uL
MCV : 66,2 fL
MCH : 23,9 pg
MCHC : 36,1 %
RDW : 14,7 %
MPV : 8,6 fL
Hitung Jenis
Basofil : 0,7 %
Eosinofil : 0,1 %
Batang : 0,6 %
Segmen : 63,7 %
Limfosit : 23,3 %
Monosit : 11,6 %
Kimia Klinik
Total Protein : 6,85 g/dL
Albumin : 2,92 g/dL
Globulin : 3,93 g/dL
Ureum Darah : 6,9 mg/dL
Kreatinin Darah : 0,47 mg/dL
Glukosa sewaktu : 118
Natrium : 135
Kalium : 3,1
Klorida : 95
b. Foto Abdomen AP (10 September 2014)
Terlampir
E. PENATALAKSANAAN
????????????
F. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
G. RESUME
a. Anamnesis
b. Pasien mengeluh tidak dapat BAB sejak 1 minggu yang lalu. Terakhir
pasien BAB dengan feses yang berbentuk kecil-kecil dengan
konsistensi padat, warna BAB coklat tua. Pasien juga mengeluhkan
tidak bisa kentut sejak 4 hari yang lalu juga mengeluh kembung, serta
mual dan muntah disertai nyeri seluruh regio abdomen. Buang air kecil
lancar.
c. Pemeriksaan Fisik
Status lokalis : tidak normal, menunjukan gangguan pasase
atau jalanya makanan dalam usus karena suatu sebab ditandai dengan
adefekasi dan afflatus.
H. DIAGNOSIS KERJA
I leus Obstruktif
I. DIAGNOSA BANDING
1. Ileus Obstruktif Totalis
2. Ileus Paralitik
3. Appendisitis
4. Kolesistitis,kolelithiasi, kolik bilier
II. REFERAT
A. Pendahuluan
B. Anatomi
a. Usus Halus
Usus halus berbentuk tubuler, dengan panjang 6 meter pada orang
dewasa, yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan
ileum. Duodenum merupakan segmen yang paling proksimal, terletak
retroperitoneal berbatasan dengan kaput dan batas inferior dari korpus
pancreas. Duodenum dipisahkan dari dari gaster oleh adanya pylorus
dari jejunum oleh batas ligamentum Treitz. Jejunum dan ileum terletak
di intraperitoneal dan bertambat ke retroperitoneal melalui mesenterium.
Tak ada batas anatomi yang jelas untuk membedakan antara jejunum dan
ileum; 40% panjang dari jejunoileal di yakini sebagai jejunum dan 60%
sisanya sebagai ileum. Ileum berbatasan dengan sekum dikatup
ileosekal.
5
Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter,
1-2 meter adalah bagian usus kosong atau disebut juga jejunum. Usus
penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaan manusia, ini memiliki panjang sekitar 2-4 meter dan
terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu
atau appendiks. Ileum memiliki pH atara 7 dan 8 (netral atau sedikit
basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan dan garam-garam
empedu.
5
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis
atau valvula conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang.
Lipatan ini juga terlihat secara radiografi dan membantu membedakan
usus halus dan kolon. Lipatan ini akan terlihat lebih jelas pada bagian
proksimal usus halus daripada distal. Hal lain yang juga dapat digunakan
untuk membedakan bagian proksimal dan distal usus halus ialah
sirkumferensial yang lebih besar, dinding yang lebih tebal, lemak
mesentrial yang lebih sedikit dan vasa rekta yang lebih panjang.
Pemeriksaan makroskopis dari usus halus juga didapatkan adanya folikel
limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut Peyer Patches.
5
Gambar 1. Anatomi usus halus.
5
b. Usus Besar
Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum,
dimulai dair ileocecal ke anus dan rata-rata panjangnya 1,5m dan
lebarnya 5-6cm. Usus besar terdiri atas segmen awal (sekum), dan kolon
asendens, tranversum, desenden, sigmoid, rectum, dan anus. Sisa
makanan dan yang tidak tercerna dan tidak diabsorpsi di dalam usus
halus didorong ke dalam usus besar oleh gerak peristaltik kuat
muskularis eksternus usus halus. Residu yang memasuki usus besar itu
berbentuk semi cair; saat mencapai bagian akhir usus besar, residu ini
telah menjadi semi solid sebagaimana feses umumnya. Meskipun
terdapat usus halus, sel-sel goblet pada epitel usus besar jauh lebih
banyak dibandingkan dengan usus halus. Sel goblet ini juga bertambah
dari dari bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus besar ini tidak memiliki
plika sirkularis maupun vili intestinales, dan kelenjar intestinalterletak
lebih dalam dari pada usus halus.
6
Gambar 2. Anatomi usu besar.
6
c. Suplai Vaskuler
Usus halus diperdarahi oleh arteri mesenterika superior yang
merupakan cabang dari aorta tepat dibawah arteri soelika. Arteri ini
memperdarahi seluruh usus halus kecuali duodenum yang sebagian
atasnya diperdarahi oleh arteri pankreotikoduodenalis superior, suatu
cabang dari arteri gastroduodenalis. Sedangkan separuh bawah
duodenum diperdarahi oleh arteri pankreotikoduodenalis inferior, suatu
cabang cabang arteri mesenterika superior. Pembuluh-pembuluh darah
yang memperdarahi jejunum dan ileum ini beranastomosis satu sama
lain untuk membentuk serangkaian arcade. Bagian ileum yang terbawah
juga diperdarahi oleh arteri ileocolica. Darah dikembalikan lewat vena
mesentericus superior yang menyatu dengan vena lienalis membentuk
vena porta.
7
Pada usus besar ateri mesenterika superior memperdarahi belahan
bagian kanan (sekum, kolon ascenden, deua pertiga proksimal kolon
tranversum) : (1) Ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan
arteri mesenterika inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal
kolon tranversum, kolon desenden, dan sigmoid, dan bagian proksimal
rectum) : (1) kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3) rektalis superior.
5
d. Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan
cairan limfe; (1) ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis
ke nodi lympahatici gastroduodenalis dan kemudian ke nodi limpatici
coeliacus dan (2) kebawah melalui nodi lymphatici
pancreoticoduodenalis ke nodi lymphatici mesenteries superior sekitar
pangkal aterteri mesenterika superior.
7
Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi
lymphatici mesentricus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici
mesentericus superior, yang terletak sekitar pangkal arteri mesenterikus
superior. Pembuluh limfe sekum berjalan melewati banyak nodi
lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici
mesenterikus superior. Pembuluh limfe untuk kolon mengalirkan cairan
limfe ke kelenjar limfe yang terletak di sepanjang perjalanan vena
kolika. Untuk kolon ascendens dan dua pertiga dari kolon tranversum
cairan limfenya akan masuk ke nodi limphatici mesenterikus superior,
sedangkan yang berasal dari sepertiga distal kolon tranversum dan kolon
desenden akan masuk ke nodi limphatici mesenterikus inferior.
7
e. Persarafan
Saraf-saraf duodenum berasl dari saraf simpatis dan parasimpatis
(vagus) dari pleksus mesenterikus superior dan pleksus coelicus. Saraf
untuk jejunum dan ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis
(nervus vagus) dari pleksus mesenterikus superior.
7
Rangsangan
parasimpatis merangsang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan
rangsang simpatis menghambat nyeri, sedangkan serabut-
serabutparasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsic, yang
menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang
terletak dalam lapisan muskularis, dan pleksus Meisener di lapisan
submukosa.
8
Persarafan usus besra dilakukan oleh system saraf otonom dengan
pengecualian pada sfingter eksterna yang berada di bawah control
volunteer.
8
Sekum, appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh
serabut saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf
mesenterika superior. Pada kolon tranversum dipersarafi oleh saraf
simpatis nervus vagusdan saraf parasimpatis nervus pelvikus. Serabut
simpatis berjalan dari pleksus mesenterikus superior dan inferior.
Serabut-serabut nervus vagus hanya mempersarfi dua pertiga proksimal
kolon tranversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis
nervus pelvikus. Sedangkan pada kolon desenden dipersarafi serabut-
serabut simpatis dari pleksus saraf mesenterikus inferior dan saraf
parasimpatis sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rectum,
sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek berlawanan.
8
C. Fisiologi
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan
absorbsi nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dari
dalam mulut dan lambung oleh kerja ptyalin, asam klorida dan pepsin
terhadap makana yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum
terutama oleh kerja enzim-enzim pancreas yang menghidrolisis karbohidrat,
lemak dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat
dalam sekret pancreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH
optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu
proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan
permukaan yang lebih luas untuk kerja lipase pancreas.
9
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah
usus (sukus enterikus). Banyak di antara enzim-enzim ini terdapat pada
brush border vili dan mencernakan zat-zat makanan sambil di absorbsi.
Pergerakan segmental usus halus akan mencampur zat-zat yang dimakan
dengan secret pancreas, hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan
peristaltic mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainya dengan
kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal dan suplai kontinyu isi
lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat,
lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk
digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga
diabsorbsi. Pergererakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan
absorbs bahan-bahan makanan dapat berlangsung secara maksimal.
Pergerakan usus halus terdiri dari; pergerakan mencampur (mixing) atau
pergerakan segmentasi yang mencampur makanan dengan enzim-enzim
pencernaan agar mudah untuk dicerna dan diabsorbsi. Pergerakan polpusif
atau gerak peristaltic yang mendorong makanan kea rah usus besar.
10
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktivitas otot polos usus halus
yang terdiri dari 2 lapis, yaitu lapisan otot longitudinal dan otot sirkuler.
Otot yang terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk mencampur
makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi oleh
makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus
menerus sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan
mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya di
absorbs.
9
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang
lambat yang merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran
cerna. Proses kontraksi segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada
duodenum dan sekitar 7 kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltic pada
usus halus mendorong makanan menuju kearah kolon dengan kecepatan 0,5
sampai 2 cm/detik, dimana pada bagian proksimal lebih cepat daripada
bagian distal. Gerakan peristaltic ini sangat lemah dan biasanya menghilang
setelah berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm.
9
Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama
diatur oleh adanya gelombang lambat yang menghasilkan potensial aksi
yang disebabkan oleh adanya sel-sel pace maker yang terdapat pada dinding
usus halus, diamana aktivitas dari sel-sel ini dipengaruhi oleh sitem saraf
dan hormonal. Aktivitas gerakan peristaltic akan meningkat setelah makan.
Hal ini sebagian besar disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum
sehingga menimbulkan reflex peristaltic yang akan menyebar ke dinding
usus halus. Sebaliknya sekretindan glucagon menghambat pergerakan usus
halus. Setelah makanan mencapai katup ileocecal, makan kadang-kadang
terhambat selama beberapa jam sampai seorang makan lagi. Pada saat
tersebut, reflex gastrial meningkatkan peristaltik dan mendorong makanan
melewati katup ileocaecal menuju kolon. Makan yang menetap untuk
beberapa lama pada daerah ileum oleh sfingter ileocaecal berfungsi agar
makanan dapat diabsorbi pada daerah ini. Katup ileocaecal berfungsi untuk
mencegah makanan kembali ke caecum masuk ke ileum.
10
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila
tekanan di dalam caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka
kontraksi sfingter ileocaecal akan meningkat dan gerakan peristaltic ileum
akan berkurang sehingga memperlambat pengosongan ileum. Bila terjadi
peradangan pada caecum atau pada appendiks makan sfingter ileocaecal
akan mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis sehingga
pengosongan ileum terhambat.
10
D. Definisi
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang
terjadi karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi
dinding usus sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus.
Hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu.
11
Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi
intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi
Intestinal ini merujuk pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik
parsial atau total dari usus besar dan usus halus.
11
E. Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar
pembedahan pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil
sekresi tak dapat melewati lumen intestinal karena adanya sumbatan yang
menghalangi. Obstruksi mekanik dari lumen intestinal biasanya disebabkan
oleh tiga mekanisme ;
1. blokade intralumen (obturasi)
2. intramural atau lesi intrinsik dari dinding usus
3. kompresi lumen atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari
intestinal.
Berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal
biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama. Satu pertiga dari seluruh
pasien yang mengalami ileus obstruktif, ternyata dijumpai lebih dari satu
faktor etiologi yang ditemukan saat dilakukan operasi.
12
Gambar 3. Penyebab ileus obstruktif.
13
Penyebab terjadinya ileus obstruktif beragam jumlahnya berdasarkan
umur dan tempat terjadinya obstruksi. Adhesi post operatif merupakan
penyebab utama dari terjadinya obstruksi usus halus. Pada pasien yang tidak
pernah dilakukan operasi laparotomi sebelumnya, adhesi karena inflamasi
dan berbagai hal yang berkaitan dengan kasus ginekologi harus dipikirkan.
Adhesi, hernia, dan malignansi merupakan 80 % penyebab dari kasus ileus
obstruktif. Pada anak-anak, hanya 10 % obstruksi yang disebabkan oleh
adhesi; intususepsi merupakan penyebab tersering dari ileus obstruktif yang
terjadi pada anak-anak. Volvulus dan intususepsi merupakan 30 % kasus
komplikasi dari kehamilan dan kelahiran. Kanker harus dipikirkan bila ileus
obstruktif ini terjadi pada orang tua. Metastasis dari genitourinaria, kolon,
pankreas, dan karsinoma gaster menyebabkan obstruksi lebih sering
daripada tumor primer di intestinal. Malignansi, divertikel, dan volvulus
merupakan penyebab tersering terjadinya obstruksi kolon, dengan
karsinoma kolorektal.
13
Penyebab paling umum dari ileus obstruksi adalah adhesi
pascaoperasi. Perlengketan pasca operasi dapat menjadi penyebab obstruksi
akut dalam waktu 4 minggu pasca operasi atau dekade obstruksi kronis
berikutnya. Insiden ileus obstruktif sejajar dengan meningkatnya jumlah
laparotomi dilakukan di negara-negara berkembang. Penyebab lain yang
umum diidentifikasi dari ileus obstruktif adalah hernia inkarserata. Etiologi
lainnya termasuk tumor ganas (20%), hernia (10%), penyakit inflamasi usus
(5%), volvulus (3%), dan penyebab lain-lain (2%). Penyebab ileus
obstruktif pada pasien anak termasuk atresia kongenital, stenosis pilorus,
dan intususepsi.
14
Tabel 1. : Beberapa Penyebab Obstruksi Mekanik dari Intestinal:
5,12
Obturasi Intraluminal Lesi Ekstrinsik Lesi Intrinsik
Benda Asing
- Iatrogenik
- Tertelan
- Batu Empedu
- Cacing
Adhesi Kongenital
- Atresia, stenosis, dan
webs
- Divertikulum Meckel
Benda Asing
Hernia
- Eksternal
- Internal
Intususepsi Massa Inflamasi
Pengaruh Cairan
- Barium
- Feses
- Meconium
- Anomali organ
atau pembuluh
darah
- Organomegali
- Akumulasi Cairan
- Neoplasma
- Divertikulitis
- Drug-induced
- Infeksi
- Coli ulcer
Neoplasma
- Tumor Jinak
- Karsinoma
- Karsinoid
- Limpoma
- Sarcoma
Post Operatif
Volvulus
Trauma
F. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga
kelompok:
15
a.Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu
empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.
Berdasarkan Lokasi Obstruksi :
a. Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
b. Letak Tengah : Ileum Terminal
c. Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum
Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar :
10
1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan
terjepitnya pembuluh darah.
2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya
penjepitan pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir
dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat
yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren.
3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan
keluar suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua
tempat obstruksi.
Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus
obstruktif dibagi dua:
16
1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai
duodenum, jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai
kolon, sigmoid dan rectum.
G. Patofisiologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster,
intestinal dan pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya.
Meskipun aliran cairan menuju ke intestinal bagian proksimal, sebagian
besar cairan ini akan diabsorbsi di intestinal bagian distal dan kolon. Ileus
obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di proksimal daerah
obstruksi disebabkan karena adanya gangguan mekanisme absorbsi normal
proksimal daerah obstruksi serta kegagalan isi lumen untuk mencapai daerah
distal dari obstruksi. Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah
obstruksi terjadi dalam beberapa jam dan akibat beberapa faktor. Asupan
cairan dan sekresi lumen yang terus bertambah terkumpul dalam intestinal.
Aliran darah meningkat ke daerah intestinal segera setelah terjadinya
obstruksi, terutama di daerah proksimal lesi, yang akhirnya akan
meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini bertujuan untuk menurunkan
kepekaan vasa splanknik pada daerah obstruksi terhadap mediator vasoaktif.
Pengguyuran cairan intravena juga meningkatkan volume cairan intralumen.
Sekresi cairan ke dalam lumen terjadi karena kerusakan mekanisme absorpsi
dan sekresi normal. Ileus obstruktif menyebabkan dilatasi proksimal usus
akibat akumulasi sekresi GI dan udara yang tertelan. Dilatasi usus ini
merangsang aktivitas sekretori sel, menyebabkan akumulasi lebih cair. Hal
ini menyebabkan peningkatan peristaltik atas dan di bawah obstruksi,
dengan diare dan flatus awal perjalanan penyakit. Distensi lumen
menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema intralumen, dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus
obstruktif. Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari
metabolisme bakteri. Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%), Oksigen
(12%), dan Karbon Dioksida (8%), yang komposisinya mirip dengan udara
bebas. Hanya karbon dioksida yang memiliki cukup tekanan parsial untuk
berdifusi dari lumen.
Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi
mekanik dengan cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah
berturut-turut: terjadinya hiperperistaltik, intermittent quiescent interval, dan
pada tingkat akhir terjadi ileus. Bagian distal obstruksi segera menjadi
kurang aktif. Obstruksi mekanik yang berkepanjangan menyebabkan
penurunan dari frekuensi gelombang - lambat dan kerusakan aktivitas
gelombang spike, namun intestinal masih memberikan respon terhadap
rangsangan. Ileus dapat terus menetap bahkan setelah obstruksi mekanik
terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH
2
O, sehingga
menyebabkan aliran cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan
sebaliknya aliran dari pembuluh darah ke lumen meningkat. Perubahan yang
serupa juga terjadi pada absorbsi dan sekresi dari Natrium dan Khlorida.
Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu terjadi dan mungkin
terdapat mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada mekanisme
sekresi. Peningkatan sekresi juga dipengarui oleh hormon gastrointestinal,
seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal polipeptida, prostaglandin,
atau endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi
intestinal di bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan
muntah. Proses obstruksi yang berlanjut, kerusakan progresif dari proses
absorbsi dan sekresi semakin ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi mekanik
ini mengarah pada peningkatan defisit cairan intravaskular yang disebabkan
oleh terjadinya muntah, akumulasi cairan intralumen, edema intramural, dan
transudasi cairan intraperitoneal. Selain itu dapat menyebabkan kompresi
limfatik mukosa, menyebabkan dinding usus lymphedema. Muntah terjadi
jika tingkat obstruksi proksimal. Hilangnya cairan dan dehidrasi berat dan
berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitasPemasangan
nasogastric tube malah memperparah terjadinya defisit cairan melalui
external loss. Hipokalemia, hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan
komplikasi yang sering dari obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak
dikoreksi dapat mengakibatkan terjadinya insufisiensi renal, syok, dan
kematian.
Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi
bakteri. Bakteri Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah obstruksi.
Koloni berlebihan dari bakteri dapat merangsang absorbtif dan fungsi
motorik dari intestinal dan menyebabkan terjadinya translokasi bakteri.
Gambar 4 .Patofisiologi Ileus Obstruktif.
13
Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen
obtruksi dari intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan
langsung dari vasa mesenteric atau sebagai akibat perubahan lokal pada
dinding intestinal. Komplikasi ini sering berhubungan dengan obstruksi
yang disebabkan oleh hernia dan volvulus. Obstruksi strangulasi pada kolon
paling sering disebabkan oleh volvulus. Iskemia intramural dapat terjadi
karena berbagai sebab. Distensi dan peningkatan tekanan pada intramural
dapat menyebabkan kongesti dari vena, kebocoran kapiler, edema dinding
usus besar dan perdarahan serta thrombosis dari arteri dan vena. Peningkatan
pertumbuhan bakteri terjadi dalam beberapa jam setelah strangulasi. Hal ini
menyebabkan produksi toksin intralumen dan dapat merangsang pelepasan
mediator vasoaktif seperti prostaglandin. Mukosa dari intestinal lebih peka
terhadap iskemia dan beberapa faktor tampaknya memainkan peranan
penting untuk mendukung terjadinya iskemia, termasuk hipoksia, protease
pankreas dan radikal bebas. Mukosa pada intestinal lebih peka terhadap
terjadinya iskemia dibandingkan mukosa pada kolon. Saat terjadi nekrosis
mukosa, bakteri dan toksin dapat dengan segera berpindah tempat dari
dinding intestinal menuju ke cavum peritoneal, limfe pada mesenterikum,
dan sirkulasi sistemik. Hal ini dapat menyebabkan iskemia, sepsis, perforasi
frank yang dapat disertai dengan peritonitis dan kematian akibat syok sepsis.
Gut iskemia dan terjadinya reperfusion juga mendukung terjadinya gagal
organ, seperti paru.
Tabel 2. Perbedaan ileus obstruktif simple dan strangulate.
1
Volvulus
Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan
sebab yang paling sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya perputaran
mesenterium. Obstruksi di bagian distal dari usus besar juga dapat
menyebabkan terjadinya closed loop obstruction jika katup ileocekal masih
tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen obstruksi meningkat, sekresi
cairan ke dalam lumen meningkat sementara absorbsinya menurun.
Kepentingan klinis yang mungkin terjadi akibat fenomena ini ialah
meningkatnya resiko kejadian strangulasi. Distensi pada obstruksi gelung
tertutup terjadi sangat cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih
dahulu bahkan sebelum gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.
Obstruksi Parsial Intestinal
Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi
merupakan penyebab tersering dari gangguan ini dan jarang sekali
mengakibatkan terjadinya strangulasi. Obstruksi parsial kronis dapat
menyebabkan terjadinya penebalan dinding intestinal akibat hipertrofi otot.
Perpanjangan waktu kontraksi dan peningkatan kelompok kontraksi
merupakan karakteristik yang dapat ditemukan. Kelainan motoris ini dan
kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan bakteri dapat
menyebabkan terjadinya malabsorbsi, distensi dan diare sekretorik.
Obstruksi kolon
Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan
intestinal. Kolon khususnya yang bagian distal memiliki kemampuan yang
terbatas pada absorbsi. Akumulasi Cairan dan gas di kolon terjadi lebih
lambat karena posisinya yang berada paling distal dari saluran pencernaan
dan karena sebagian besar cairan telah diabsorbsi di usus halus. Distensi
yang terjadi secara perlahan ini memungkinkan kolon untuk beradaptasi dan
dekompresi dapat terjadi karena katup ileocecal yang inkompeten. Seperti
disebutkan sebelumnya, katup ileocecal yang kompeten dapat menyebabkan
terjadinya closed loop obstruction. Dilatasi cecal dan penipisan dinding
cecum akibat penambahan diameter dapat meningkatkan resiko terjadinya
rupture. Rupture dapat disebabkan oleh iskemia yang terjadi pada dinding
kolon, diastasis dari lapisan otot, ataupun karena invasi bakteri di dinding
kolon. Obstruksi kolon berakibat pada motilitas abnormal namun tidak
hiperperistaltik.
Tabel 3. Perbedaan ileus obstruktif usus halus dan usus besar.
18
H. Manifestasi Klinis
Obstruksi dapat diklasifikasikan parsial atau totalis, sederhana atau
strangulasi. Tidak ada gambaran klinis khas untuk mendeteksi awal obstruksi
strangulasi. Nyeri perut sering digambarkan sebagai kram perut dan sifatnya
intermiten (berkala/ hilang timbul) merupakan gejala yang paling menonjol
pada obstruksi sederhana. Seringkali presentasi dapat menunjukan lokasi
perkiraan dan sifat obstruksi. Biasanya rasa sakit yang terjadi dalam jangka
waktu yang lebih singkat dan nyeri kolik disertai dengan muntah
menandakan obstruksi ileus bagian proksimal. Sedangkan pada nyeri yang
lama (beberapa hari), bersifat progresif, dan disertai dengan distensi abdomen
merupakan gejala khas pada obstruksi letaknya lebih distal. Perubahan
karakter nyeri dapat menunjukan perkembangan komplikasi yang lebih serius
misalnya nyeri yang menetap pada abdomen yang menandakan adaya
strangulasi atau tanda iskemik.
19
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan
obstipasi. Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan
ciri khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala
penyerta yang berhubungan dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah
obstruksi. Nyerinya menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering
dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen. Saat peristaltik menjadi
intermiten, nyeri kolik juga menyertai. Saat nyeri menetap dan terus menerus
kita harus mencurigai telah terjadi strangulasi dan infark.
5
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen
yang akan sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau
distensi bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus,
dan peningkatan bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume
intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin
didapatkan leukositosis ringan.
12
Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi
lebih sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat
muntah linear dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering
ditemukan pada obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga ditandai
dengan bilios vomiting dan letak rendah muntah lebih bersifat malodorus.
12
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting
untuk membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih
terjadi pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah
obstruksi. Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya
obstruksi partial.
19
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya,
namun distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah.
Tanda awal yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa
yang teraba dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun
strangulasi. Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga
kategori : loud, high pitch dengan burst ataupun rushes yang merupakan
tanda awal terjadinya obstruksi mekanik. Saat bising usus tak terdengar dapat
diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik atau
terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-
tanda strangulasi mulai tampak. Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui
adanya hernia serta rectal toucher untuk mengetahui adanya darah atau massa
di rectum harus selalu dilakukan.
19
Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus,
demam, takikardia, dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien
sehingga menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan.
Pada obstruksi karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal,
demam, leukositosis dan asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate
dehidrogenase, fosfat, dan potassium mungkin meningkat. Penting dicatat
bahwa parameter ini tak dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi
sederhana dan strangulasi sebelum terjadinya iskemia irreversible.
19
I. Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu
harus ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboratorium harus dilihat
sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang seharusnya
dilakukan segera. Diagnosa ileus obstruktif diperoleh dari :
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat
ditemukan penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena
pernah dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia.
10
Pada ileus obstruktif
usus halus, kolik dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus
obstruktif usus besar, kolik dirasakan di sekitar suprapubik. Muntah pada
ileus obstruktif usus halus berwarna kehijaun dan pada ileus obstruktif
usus besar onset muntah lama.
10
Gejala lain yang mengikuti antara lain:
a. Mual dan muntah, berhubungan dengan adanya obstruksi di bagian
proksimal
b. Nyeri perut yang intermitan meningkat saat hiperperistaltik
c. Perut kembung
d. Diare, pada temuan awal
e. Konstipasi, temuan akhir berupa afflatus dan adefekasi
f. Demam dan takikardi, terjadi terlambat dan mungkin terkait dengan
adanya strangulasi
g. Riwayat operasi panggul, terapi radiasi sebelumnya atau keduanya
h. Riwayat keganasan, terutama carcinoma colon dan carcinoma ovarium
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen
harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa
abdomen. Inspeksi pada penderita yang kurus/sedang juga dapat
ditemukan darm contour (gambaran kontur usus) maupun darm
steifung (gambaran gerakan usus), biasanya nampak jelas pada saat
penderita mendapat serangan kolik yang disertai mual dan muntah dan
juga pada ileus obstruksi yang berat. Penderita tampak gelisah dan
menggeliat sewaktu serangan kolik.
Gambar 5. Darm countur
Tanda meteorismus, dibedakan berdasarkan letak ;
1). Ileus letak tinggi : di duodenum dengan kembung di ventrikulus
2). Ileus letak tengah : kembung di umbilicus, jejunum dan ileum
proksimal
3). Ileus letak rendah : di colon dengan kembung terasa di seluruh
region perut
b. Palpasi
Distensi perut dan tidak nyeri tekan (kecuali pada saat hiperperistaltik)
tak ada defance muscular kecuali pada peritonitis. Palpasi bertujuan
mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang
mencakup defance muscular involunter atau rebound dan
pembengkakan atau massa yang abnormal.
c. Perkusi
Timpani pada seluruh region abdomen terutama di subdiafragma
d. Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik
gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush)/borborygmi
(suara seperti air dalam botol yang di kocok / seperti suara ombak.
Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan usus di
atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga bising
usus) bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bisa
juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus obstruktif
strangulata.
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah
pemeriksaan rectum dan pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur akan
didapatkan tonus sfingter ani biasanya cukup namun ampula recti sering
ditemukan kolaps terutama apabila telah terjadi perforasi akibat obstruksi
dan pada pasien yang sudah tua. Mukosa rectum dapat ditemukan licin dan
apabila penyebab obstruksi merupakan massa atau tumor pada bagian
anorectum maka akan teraba benjolan yang harus kita nilai ukuran,
jumlah, permukaan, konsistensi, serta jaraknya dari anus dan perkiraan
diameter lumen yang dapat dilewati oleh jari. Nyeri tekan dapat ditemukan
pada lokal maupun general misalnya pada keadaan peritonitis. Juga
menilai ada tidaknya feses di dalam kubah rektum. Pada ileus obstruktif
usus feses tidak teraba pada colok dubur dan tidak dapat ditemukan pada
sarung tangan. Pada sarung tangan dapat ditemukan darah apabila
penyebab ileus obstruktif adalah lesi intrinsik di dalam usus.
10
Diagnosis harus terfokus pada membedakan antara obtruksi
mekanik dengan ileus; menentukan etiologi dari obstruksi; membedakan
antara obstruksi parsial atau komplit dan membedakan obstruksi sederhana
dengan strangulasi. Hal penting yang harus diketahui saat anamnesis
adalah riwayat operasi abdomen (curiga akan adanya adhesi) dan adanya
kelainan abdomen lainnya (karsinoma intraabdomen atau sindroma iritasi
usus) yang dapat membantu kita menentukan etiologi terjadinya obstruksi.
Pemeriksaan yang teliti untuk hernia harus dilakukan. Feses juga harus
diperiksa untuk melihat adanya darah atau tidak, kehadiran darah
menuntun kita ke arah strangulasi.
10
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami
obstruksi intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood
Urea Nitrogen, kreatinin dan serum amylase. Pemeriksaan elektrolit
diperlukan karena pasien mual muntah tujuannya untuk mengevaluasi
elektrolitnya. Berikut adalah tes laboratorium yang penting dan diperlukan
sebagai berikut:
22
a. Kimia serum : hasilnya biasanya normal atau sedikit meningkat.
b. BUN (Blood Ure Nitrogen) : Jika BUN meningkat, hal ini dapat
menunjukan penurunan volume cairan tubuh (dehidrasi).
c. Kreatinin : peningkatan kreatinin mengindikasikan adanya dehidrasi.
d. CBC (Complete Blood Count): Sel darah putih (WBC) mungkin
meningkat dengan pergeseran ke kiri biasanya terjadi pada ileus
obstruktif sederhana atau strangulasi, peningkatan hematokrit adalah
indikator kondisi cairan dalam tubuh berkurang (misalnya; dehidasi).
e. World Society of Emergency Surgery memperbaharui pedomana untuk
diagnosis dan manajemen dari ileus obstruksi adhesive, meliputi hal-
hal sebagai berikut: dengan tidaka adanya strangulasi dan riwayat
muntah terus menerus atat gabungan tanda-tanda pada CT scan, pasien
dengan ileus obstruksi parsial dapat dengan aman dikelola dengan
manajemen non-operativ yaitu penggunaan tabung dekompresi atau
dikenal dengan WSCM (Water Soluble Contrast Medium) adalaha
rekomendasi kedua untuk tujuan diagnostic dan terapetik pada pasien
yang menjalani manajemen non-operativ. Manajemen non-operative
dapat diperpanjang hingga 72 jam tanpa adanya tanda-tanda
strangulasi atau peritonitis. Pemebdahan dianjurkan setelah 72 jam
manajemen nonoperativ tanpa ada perbaikan. Eksplorasi laparotomi
yang sering digunakan untuk pasien dengan ileus obstruktif strangulasi
dan setelah manajemen konservatif gagal, pendekatan laproskopi
terbuka sangat di anjurkan.
4. Pemeriksaan foto rontgen
a. Foto Polos Abdomen
Menilai foto polos untuk pasien dengan ileus obstruksi
setidaknya 2 tampilan yaitu posisi terlentang atau datar dan tegak. Foto
polos merupakan diagnose lebih akurat pada kasus ileus obstruksi
sederhana, namun tingkat kegagalan diagnostik sebanyak 30% telah
dilaporkan.
23
Pada foto abdomen dapat membedakan temuan obstruksi
sedehana atau strangulasi, dan beberapa telah menggunakanya utnuk
membedakan antara obstruksi lengkap atau parsial atau bukan suatu
ileus obstruksi. Studi Lappas et al menemukan 2 temuan lebih
prediktif dari ileus obstruktif letak tinggi dan ileus obstruktif komplit
antara lain: (1) adanya deferensial air-fluid level di usus halus, (2)
dilatasi usus lebih dari 25 mm. Studi ini menemukan bahwa ketika 2
temuan yang hadir, obstruksi kemungkinan besar letak tinggi atau ileus
obstruksi totalis. Ketika temuan kedua ini tidak ada maka ileus
obstruksi letak rendah (parisial) atau tidak ada obstruksi.
24
Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus
halus ( diameter > 3 cm ), adanya air-fluid level pada posisi foto
abdomen tegak, dan kurangnya gambaran udara di kolon. Sensitifitas
foto abdomen untuk mendeteksi adanya obstruksi usus halus mencapai
70-80% namun spesifisitasnya rendah. Pada foto abdomen dapat
ditemukan beberapa gambaran, antara lain:
25
1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi
2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang
berderet.
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi
udara dan gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari
dinding usus yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.
Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan
gambaran serupa dengan obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu
dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologis ketika letak obstruksi
berada di proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh
cairan saja dengan tidak ada udara. Dengan demikian menghalangi
tampaknya air-fluid level atau distensi usus. Keadaan selanjutnya
berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup. Meskipun terdapat
kekurangan tersebut, foto abdomen tetap merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien dengan obstruksi usus halus karena
kegunaannya yang luas namun memakan biaya yang sedikit.
20
Gambar 6. Dilatasi usus.
20
Gambar 7. Multipel air fluid level dan string of pearls sign.
20
Gambar 8. Herring bone appearance.
20
Gambar 9. Coffee bean appearance.
18
Gambar 10. Step ledder sign.
20
b. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan
juga untuk membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna
jika pada foto polos abdomen memperlihatkan gambaran normal
namun dengan klinis menunjukkan adanya obstruksi atau jika
penemuan foto polos abdomen tidak spesifik. Pada pemeriksaan ini
juga dapat membedakan adhesi oleh karena metastase, tumor rekuren
dan kerusakan akibat radiasi. Enteroclysis memberikan nilai prediksi
negative yang tinggi dan dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium
merupakan kontras yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan
aman untuk mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus
maupun perforasi. Namun, penggunaan barium berhubungan dengan
terjadinya peritonitis dan penggunaannya harus dihindari bila dicurigai
terjadi perforasi.
20
Gambar 11. Intususepsi (coiled-spring appearance).
26
f. Pemeriksaan laboratorium tumor colon
27
- Pemeriksaan enzim transaminase sebagai penanda adanya
metastase pada liver.
- Pemeriksaan marker tumor CEA ( Carcino Embryonic Antigen)
bertujuan untuk monitor pascaterapi. Jika pada pemeriksaan inisial
tidak meningkat maka penggunaa CEA untuk follow up menjadi
kurang penting.
g. Pemeriksaan imaging tumor colon
27
- Barium enema
Dengan adanya endoskopi, barium enema semakin digunakan.
Pada keadaan dimana endoskopi/ kolonoskopi tidak tersedia
barium enema dapat digunakan untuk diagnosis, lokasi, fiksasi
dengan jaringan sekitar, kanker sinkronos, ataupun lesi prakanker,
seperti polips, chronis ulcerative colitis.
- CT Scan
Terutama ditujukan untuk melihat adanya metastase pada hepar,
KGB para aorta, ataupun infiltrasi langsung ke organ sekitar.
- MRI
Digunakan untuk menggantikan CT Scan, terutama jika terdapat
kontra indikasi penggunaan kontras .
- PET Scan
Digunakan untuk melihat adanya metastase dari kanker kolon dan
tidak untuk mendiagnosis tumor kolon primer.
- Foto Thoraks &USG hepar
Digunakan untuk tujan mengetahui stadium M pada paru dan hepar
dan untuk persiapan operasi.
- Kolonoskopi
Kolonoskopi merupakan standar emas untuk mendiagnosis
kanker kolon. Digunakan untuk melihat adanya lesi prakanker,
untuk skring, dan melihat gambaran macros tumor dan biopsy.
J. Penatalaksanaan
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian
cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin
harus di monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat,
KCl harus ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan
elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk
menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk
profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi
intestinal.
21
Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga
penting untuk dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan
tube ini bertujuan untuk mengosongkan lambung, mengurangi resiko
terjadinya aspirasi pulmonal karena muntah dan meminimalkan terjadinya
distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara
konservatif dengan resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala
tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60 85% pada obstruksi parsial.
21
Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit
membutuhkan terapi operatif. Pendekatan non operatif pada beberapa
pasien dengan obstruksi intestinal komplit telah diusulkan, dengan alasan
bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak akan menimbulkan masalah
yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam, takikardia, nyeri
tekan atau leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non operatif ini
dilakulkan dengan berbagai resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi
pada daerah obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah
terjadinya injury akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel.
Penelitian retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi 12 24 jam
masih dalam batas aman namun meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi
dapat diterapi dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara
hati hati dalam pelepasan adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma
pada serosa dan untuk menghindari enterotomi yang tidak perlu. Hernia
incarcerata dapat dilakukan secara manual dari segmen hernia dan dilakukan
penutupan defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya
riwayat keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana
metastase telah menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan
yang terbaik; walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat
berhasil di terapi dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass sederhana
dapat memberikan hasil yang lebih baik baik daripada by pass yang panjang
dengan operasi yang rumit yang mungkin membutuhkan reseksi usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai
viabilitas dari segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas
usus masih meragukan, segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan
pada kondisi hangat, salin moistened sponge selama 15-20 menit dan
kemudian dilakukan penilaian kembali. Bila warna normalnya telah kembali
dan didapatkan adanya peristaltik, berarti segmen usus tersebut aman untuk
dikembalikan. Ke depannya dapat digunakan Doppler atau kontras
intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang
dikerjakan pada obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia
incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus
ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati"
bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn
disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-
ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan
operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena
keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula
dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan
anastomosis.
16
Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi
usus yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan
yang terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh
karena catatan tersebut mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat
diperlukan. Pasca bedah tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal,
walaupun terdengar bising usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus
telah berfungsi dengan efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi
sama sekali belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai
diare pasca bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit
serta menjaga keseimbangan asam basa darah dalam batas normal tetap
dilaksanakan pada pasca bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila
telah terjadi strangulasi, monitoring pasca bedah yang teliti diperlukan sampai
selama 6 - 7 hari pasca bedah. Bahaya lain pada masa pasca bedah adalah
toksinemia dan sepsis. Gambaran kliniknya biasanya mulai nampak pada hari
ke 4-5 pasca bedah. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan
disesuaikan dengan hasil kultur kuman sangatlah penting.
K. Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan
keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang
dapat menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian.
16
L. Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi
dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau
jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas
sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan tindakan
dilakukan dengan cepat.
20
KESIMPULAN
4. Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang
disebabkan oleh sumbatan mekanik. Rintangan pada jalan isi usus akan
menyebabkan isi usus terhalang dan tertimbun di bagian proksimal dari
sumbatan, sehingga pada daerah proksimal tersebut akan terjadi
distensiatau dilatasi usus.
5. Adhesi, hernia, dan tumor mencakup 90% etiologi kasus obstruksi
mekanik usus halus. Adhesidan hernia jarang menyebabkan obstruksi
pada colon. Penyebab tersering obstruksi pada colon adalah kanker,
diverticulitis, dan volvulus.
6. Gejalanya antara lain tidak BAB, tidak kentut, disertai dengan mual,
muntah dan jika kondisi ini berlangsung lama dapat menyebabkan
dehidrasi, demam, perut kembung, nyeri perut diawali dari daerah
epigastrik kemudian nyeri dirasakan secara intermiten terutama ketika
peristaltic.
Lampiran
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, S. A. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC. 2006. Hal 437-450
2. Davidson, Tish, Dionne Stephanie. 2006. Diunduh dari URL :
http://www.healthline.com (diakses 19 Februari 2013)
3. WHO. Causes of Death in 2008. Diunduh dari URL : http://www.who.int
(diakses 19 Februari 2013)
4. Dinas Kesehatan Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Diunduh
dari URL : http://www.dinkes.go.id (diakses 19 Februari 2013)
5. Whang, E. E., Ashey, S. W., & Zimnner, M. J. 2005. Small Intestine. In B.
e. al (Ed), Schwatzs Principles Of Surgery (8 ed., p. 1018). McGraw-Hill
Companies.
6. Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi
Fungsional (9 ed.). (D. Anggraini, T. M. Sikumbang, Eds., & J.
Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC
7. Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth
edition, New York
8. Price, S. A. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
(S. A. Price, L. McCarty, & Wilson, Eds.) Jakarta: EGC
9. Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of
Surgery (17 ed., pp. 1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders
10. Sjamsuhidajat. R, Jong WD. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
11. Nobie, B. A. (2014, Agustus 21). Obstruction, Small Bowel. Retrieved
June 6th, 2011, from emedicine:
http://emedicine.medscape.com/article/774140-overview
12. Thompson, J. S. 2005. Intestinal Obstruction, Ileus, and
Pseudoobstruction. In R. H. Bell, L. F. Rikkers, & M. W. Mulholland
(Eds.), Digestive Tract Surgery (Vol. 2, p. 1119). Philadelphia: Lippincott-
Raven Publisher
13. Simatupang O N. 2010. Ileus Obstruktif. Samarinda: UNMUL Retrieved
June 6th, 2011, Available at: http://www.scribd.com/doc/28090500/ileus-
obstruksi
14. van der Wal JB, Iordens GI, Vrijland WW, van Veen RN, Lange J, Jeekel
J. Adhesion prevention during laparotomy: long-term follow-up of a
randomized clinical trial. Ann Surg. Jun 2011;253(6):1118-21. [Medline].
15. Yates K. 2004. Bowel obstruction. In: Cameron P, Jelinek G, Kelly AM,
Murray L, Brown AFT, Heyworth T, editors. Textbook of adult
emergency medicine. 2nd ed. New York: Churchill Livingstone. p.306-9
16. Ullah S, Khan M, Mumtaz N, Naseer A. 2009. Intestinal Obstruction : A
Spectrum of causes. JPMI 2009 Volume 23 No 2 page 188-92
17. Sheedy SP, Earnest F 4th, Fletcher JG, Fidler JL, Hoskin TL. CT of small-
bowel ischemia associated with obstruction in emergency department
patients: diagnostic performance evaluation. Radiology. Dec
2006;241(3):729-36. [Medline].
18. Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal
Radiographs. studentBMJ April 2002;10:102-3
19. Sheedy SP, Earnest F 4th, Fletcher JG, Fidler JL, Hoskin TL. CT of small-
bowel ischemia associated with obstruction in emergency department
patients: diagnostic performance evaluation. Radiology. Dec
2006;241(3):729-36. [Medline].
20. Nobie, B. A. (2009, November 12). Obstruction, Small Bowel. Retrieved
June 6th, 2011, from emedicine:
http://emedicine.medscape.com/article/774140-overview
21. Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of
Surgery (17 ed., pp. 1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders
22. Di Saverio S, Coccolini F, Galati M, Smerieri N, Biffl WL, Ansaloni L, et
al. Bologna guidelines for diagnosis and management of adhesive small
bowel obstruction (ASBO): 2013 update of the evidence-based guidelines
from the world society of emergency surgery ASBO working group.
World J Emerg Surg. Oct 10 2013;8(1):42. [Medline].
23. Thompson WM, Kilani RK, Smith BB, Thomas J, Jaffe TA, Delong DM,
et al. Accuracy of abdominal radiography in acute small-bowel
obstruction: does reviewer experience matter?. AJR Am J Roentgenol. Mar
2007;188(3):W233-8. [Medline].
24. Lappas JC, Reyes BL, Maglinte DD. Abdominal radiography findings in
small-bowel obstruction: relevance to triage for additional diagnostic
imaging. AJR Am J Roentgenol. Jan 2001;176(1):167-74. [Medline].
25. Moses, S. 2008. Mechanical Ileus. Retrieved Agustus 24, 2014, Available
at : http://www.fpnotebook.com/Surgery/GI/MchnclIls.htm
26. Khan, A. N. (2009, September 11). Small Bowel Obstruction. Retrieved
Agust 24th, 2014, Available at emedicine:
http://emedicine.medscape.com/article/374962-overview
27. Manuaba. M, Tjakra. 2010. Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid
Peraboi 2010. Denpasar : Sagung Seto