Anda di halaman 1dari 20

RESUME

AKUNTANSI SYARIAH
SEJARAH DAN PEMIKIRAN AKUNTANSI SYARIAH





Oleh:
1. Amira Nur Latifah (11080694003)
2. Nur Maya Kholidah (11080694018)
3. Fika Shelviana (11080694029)
4. Ahmad Kholid (11080694037)
S1 Akuntansi 2011 A



UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN AKUNTANSI
2014
A. Perkembangan Awal Akuntansi Syariah
Sebelum berdirinya pemerintahan Islam, peradaban didominasi oleh bangsa besar
yang memiliki wilayah yang luas, yaitu Bangsa Romawi dan Bangsa Persia. Sebagian
besar daerah di Timur Tengah saat Nabi Muhammad SAW lahir berada dalam jajahan
dan menggunakan bahasa negara jajahan seperti Syam (sekarang meliputi Siria,
Lebabnon, Yordania, Palestina, dan Israel) yang dijajah oleh Romawi, sedangkan Irak
dijajah oleh Persia. Adapun perdagangan bangsa Arab Mekkah terbatas ke Yaman pada
musim dingin dan Syam pada musim panas.
Pada saat itu, akuntansi telah digunakan dalam bentuk perhitungan barang dagang
oleh para pedagang sejak dimulai berdagang sampai pulang kembali (Adnan dan
Labatio, 2006). Perhitungan dilakukan untuk mengetahui perubahan-perubahan dan
untung atau rugi. Selain itu, menurut Syahatah (2001), orang-orang Yahudi, yang saat itu
banyak melakukan perdagangan, menetap dan juga telah memakai akuntansi untuk
transaksi-transaksi utang-piutang mereka.
Praktisi akuntansi pada masa Rasullah mulai berkembang setelah ada perintah Allah
melalui Al-Quran untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak tunai (Al-Quran 2:282)
dan membayar zakat (Al-Quran 2:110, 177; 9:18, 71; 22:78; 58:13). Melalui Al-Quran
surat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikit pun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mendiktekannya, maka hendaklah walinya mendekatkan dengan jujur...

Dalam hal ini perintah Allah SWT untuk mencatat transaksi yang bersifat tidak tunai
telah mendorong setiap individu untuk senantiasa menggunakan dokumen ataupun bukti
transaksi. Adapun perintah Allah untuk membayar zakat telah mendorong umat Islam
saat itu untuk mencatat dan menilai aset yang dimilikinya. Perintah tersebut didasarkan
pada Al-Quran antara lain Surat Al-Baqarah ayat 110 :

Dan laksanakanlah shalat dan tunaikan zakat. Dan segala kebaikan yang kamu
kerjakan untuk dirimu, kamu akan mendapatkannya (pahala) di sisi Allah. Sungguh
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Baqarah : 110)

Secara operasional, pembayaran zakat diuraikan nabi Muhammad SAW dalam
berbagai macam hadist antara lain yang diriwayatkan oleh Bukhari.
Dari Salim Ibnu Abdullah, dari ayahnya r.a, bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa
Sallam bersabda: Tanaman yang disiram dengan air hujan atau dengan sumber air
atau dengan pengisapan air dari tanah, zakatnya sepersepuluh, dan tanaman yang
disiram dengan tenaga manusia, zakatnya seperduapuluh. Berkembangnya praktik
pencatatan dan penilaian aset, merupakan konsekuensi logis dari ketentuan
pembayaran zakat yang besarnya dihitung berdasarkan presentase tertentu dari aset
yang dimiliki seseorang yang telah memenuhi kriteria nisab dan haul. Dijelaskan
dalam kitab-kitab fikih bahwa nisab dan haul adalah kriteria yang ditetapkan atas
wajib tidaknya seseorang membayar zakat. Nisab merupakan kriteria yang
didasarkan atas batas minimal nilai kekayaan yang dikenakan kewajiban zakat,
sedang haul merupakan kriteria yang didasarkan atas jangka waktu yang dipenuhi
hingga kewajiban zakat timbul pada pembayaran zakat (muzzaki).

B. Sejarah akuntansi Syariah
Akuntansi pertama kali ditemukan di kerajaan Babilonia, di mana pada tahun 4500
sebelum masehi ditemukan pemungutan dan pengelompokan pajak di kerajaan Babilonia.
Penerapan akuntansi di kuil-kuil Babilonia dapat dilihat dari pencatatan pembayaran gaji
yang dilakukan pada lembaran tanah liat. Sistem awal penomoran dikembangkan di Mesir
dan Kasdim.3000 SM Alat penomoran awal dimunculkan seperti sempoa Cina dan quipu
Peru. Pada tahun 2000 SM Catatan pengendalian internal pertama digunakan bendahara
Mesir dalam kegiatan mengumpulkan biji-bijian diperiksa oleh seorang juru tulis.
Beberapa tahun kemudian penggunaan lembaran tanah liat berkembang, muali dari
pencatatan pembubaran kemitraan dan pembagian saham, sebagai catatan pinjaman uang,
dan, jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan, akan dikenakan bunga sebesar 20%..
Kemudian penggunaan pencatatan menggunakan kertas dan pena pertama kali muncul di
Mesir pada tahun 400 sebelum masehi. Arab ikut belajar rahasia tentang pembuatan
kertas dari Cina pada 751 sebelum masehi. Selain itu, arab juga menggunakan sistem
decimal serta angka arab juga mulai diperkenalkan ke Eropa dalam bentuk buku.
Walaupun akuntansi telah dimulai dari zaman prasejarah, saat ini kita hanya mengenal
Luca Paciolli sebagai bapak akuntansi modern. Beliau merupakan orang yang dianggap
menemukan persamaan akuntansi untuk pertama kali pada tahun 1494 dengan bukunya:
Summa de Arithmetica Geometriaet Proportionalita. Buku ini menerangkan mengenai
double entry book keeping sebagai dasar perhitungan modern. Double entry book keeping
system telah dilakukan sejak adanya perdagangan antara Venice dan Genoa pada awal
abad ke 13 M setelah terbukanya jalur perdagangan antara Timur Tengah dan kawasan
Mediterania. Ilmu matematika yang ditulis Paciolli pada tahun 1949 bukan hal yang baru,
karena sudah dikenal Islam 600 tahun sebelumnya, dan berarti kemungkinan dalam
peradaban arab sudah ada metode pencatatan akuntansi. Selain itu, Bangsa Arab pada
waktu itu sudah memiliki administrasi yang cukup maju, praktik pembukuan telah
menggunakan buku besar umum, jurnal umum, buku kas, laporan periodic dan penutupan
buku.
Menurut Litteton perkembangan akuntansi di suatu lokasi tidak hanya disebabkan
oleh masyarakat di lokasi itu sendiri, melainkan juga dipengaruhi oleh perkembangan
pada saat atau periode waktu tersebut dan dari masyarakat lainnya. Mengingat bahwa
Paciolli sendiri telah mengakui bahwa akuntansi telah dilakukan satu abad sebelumnya
dan Venice sendiri telah menjadi satu pusat perdagangan terbuka, maka sangat terbuka
kemungkinan bahwa telah terjadi pertukaran informasi dengan para pedagang muslim
yang telah mengembangkan hasil pemikiran dari ilmuwan muslim. Lieber menyatakan
bahwa para pemikir di Italia memiliki pengetahuan tentang bisnis yang baik disebabkan
hubungannya dengan rekan bisnis muslimnya. Bahkan have (1976) mengatakan bahwa
Italia meminjam konsep double entry dari Arab.
Para ilmuwan muslim sendiri telah memberikan kontribusi yang besar, terutama
adanya penemuan angka nol dan konsep perhitungan decimal. Mengingat orang-orang
Eropa mengerti aljabar dengan menerjemahkan tulisan dari bangsa Arab, tidak mustahil
bahwa merekalah yang pertama kali melakukan bookkeeping. Leonardo Fibonacci da Pisa
mengenalkan angka arab dan aljabar atau metode perhitungan ke Benua Eropa pada tahun
1202 melalui bukunya yang berjudul Liber Abacci serta memasyarakatkan penggunaan
angka arab dalam kegiatan ekonomi dan transaksi perdagangan.
Selain dari bangsa Eropa yang belajar ke Timur Tengah, pedagang-pedagang muslim
pun tak kalah andilnya di dalam mensyiarkan ilmu pengetahuan. Ini dimungkinkan,
mengingat kekuasaan Islam saat itu telah menyebar hampir separuh daratan Eropa dan
Afrika. Melalui perdagangan, kebudayaan dan teknologi muslim mulai tersebar di Eropa
Barat, Amalfi, Venice, Pisa dan Genoa.
Akuntansi sebagai bagian dari ilmu social memungkinkan terjadinya pengulangan di
berbagai masyarakat, sehingga keterlibatan akuntansi syariah dalam perkembangan
akuntansi konvensional ataupun sebaliknya masih diperdebatkan hingga saat ini.

C. Perkembangan akuntansi zaman Rasulullah dan Khalifah
Praktik akuntansi di masa Rasulullah SAW dapat dicermati pada baitul maal yang
didirikan Rasulullah SAW sekitar awal abad ke-7. Pada masa itu, baitul maal berfungsi
untuk menampung dan mengelola seluruh penerimaan negara, baik berupa zakat, ushr
(pajak pertanian dari muslim), jizyah (pajak perlindungan dari nonmuslim yang tinggal di
daerah yang diduduki umat Muslim) serta kharaj (pajak hasil pertanian dari nonmuslim).
Semua pengeluaran untuk kepentingan negara baru dapat dikeluarkan setelah masuk dan
dicatat di baitul maal.
Konsep ini cukup maju pada zaman tersebut di mana seluruh penerimaan
dikumpulkan secara terpisah dengan pemimpin negara dan baru akan dikeluarkan untuk
kepentingan negara. Meskipun pengelolaan baitul maal saat itu masih sederhana, namun
Nabi SAW telah menunjuk petugas qadi, ditambah para sekretaris dan pencatat
administrasi pemerintahan. Mereka ini berjumlah 42 orang dan dibagi dalam empat
bagian yaitu: sekretaris pernyataan, sekretaris hubungan dan pencatatan tanah, sekretaris
perjanjian dan sekretaris peperangan (Nurhayati & Wasilah, 2009). Dari sini dapat dilihat
betapa pemisahan tugas keuangan untuk menjamin terciptanya akuntabilitas sudah
dilaksanakan sejak masa Rasulullah SAW.
Praktik baitul maal terus dilanjutkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-
Shiddiq. Hingga masa itu, manajemen baitul maal masih sederhana di mana penerimaan
dan pengeluaran dilakukan secara seimbang sehingga hampir tidak pernah ada sisa.
Perkembangan fungsi baitul maal mulai dilakukan di masa kekhalifahan Umar bin
Khattab. Pada masa itu beliau memperluas fungsi baitul maal dengan fungsi Diwan
(dawwana yang berarti penulisan) yang juga mengurusi mengenai pembayaran gaji. Pada
masa itu baitul maal tidak lagi dipusatkan di Madinah tapi juga di daerah-daerah yang
dikuasai Islam. Khalifah Umar bin Khattab juga membentuk 14 departemen dan 17
kelompok, di mana pembagian departemen tersebut menunjukkan adanya pembagian
tugas dalam sistem keuangan dan pelaporan keuangan yang baik.
Pada masa itu istilah awal pembukuan dikenal dengan Jarridah atau menjadi istilah
Journal dalam bahasa Inggris yang berarti berita. Di Venice istilah ini dikenal dengan
sebutan zournal.
Fungsi akuntan telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam Islam seperti: Al-Amil,
Mubashor, Al-Katib, namun yang paling terkenal adalah Al-Katib yang menunjukan
orang yang bertanggung jawab untuk menuliskan dan mencatat informasi baik keuangan
maupun nonkeuangan. Sedangkan untuk khusus akuntan dikenal juga dengan nama
Muhasabah/Muhtasib yang menunjukkan orang yang bertanggung jawab melakukan
perhitungan.
Muhtasib adalah orang yang bertanggung jawab atas lembaga Al Hisba tidak
bertanggung jawab kepada eksekutif. Muhtasib bisa juga menyangkut pengawasan pasar
yang bertanggung jawab tidak hanya menyangkut masalah ibadah. Ibnu Tamiyah
menyatakan bahwa muhtasib adalah kewajiban publik. Muhtasib ini bertugas menjelaskan
berbagai tindakan yang tidak pantas dilakukan dalam berbagai bidang kehidupan.
Termasuk tugas muhtasib adalah mengawasi orang yang tidak shalat, tidak puasa, mereka
yang memiliki sifat dengki, berbohong, melakukan penipuan, mengurangi timbangan,
praktik kecurangan dalam industri, perdagangan, agama, dan sebagainya (Shaddiqi dalam
Boydoun, 1982).
Muhtasib memiliki kekuasaan yang luas, termasuk pengawasan harta, kepentingan
sosial, pelaksanaan iabadah pribadi, dan pemeriksaan transaksi bisnis. Akram Khan
memberikan tiga kewajiban muhtasib, yaitu:
1. Pelaksaaan hak Allah termasuk kegiatan ibadah: semua jenis shalat, pemeliharaan
masjid.
2. Pelaksanaan hak-hak masyarakat: perilaku di pasar, kebenaran timbangan, kejujuran
bisnis.
3. Pelaksanaan yang berkaitan dengan keduannya: menjaga kebersihan jalan, lampu
jalan, bangunan yang mengganggu masyarakat, dan sebagainya.
Di zaman Khalifah Umar Bin Khattab ini telah ada pula Anggaran Pendapatan
Negara, yang di zaman ini dikenal dengan APBN. Umar Bin Khattab membaginya
menjadi 4 bagian yaitu:
1. Bagian I: Khusus untuk pengeluaran harta zakat, yaitu untuk kaum fakir, miskin,
orang yang menangani zakat, orang yang terpikat oleh islam, budak, orang yang
terjerat hutang, sbilillah dan Ibnu sabil.
2. Bagian II: Khusus untuk pengeluaran dari 1/5 harta rampasan, yaitu untuk Allah
SWT.
3. Bagian III: Khusus untuk pengeluaran harta yang diserahkan kepada baitul mal
berupa barang temuan dan peninggalan yang tidak ada ahli warisnya, maka sumber
pemasukan ini digunakan untuk memberikan infaq kepada kaum fakir.
4. Bagian IV: Khusus untuk pembiayaan kemaslahatan umum. Ini dibiayai dari sumber
pemasukan Jizyah, Kharaj dan Usyur.
Perkembangan baitul maal yang lebih pesat terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin
Abi Thalib. Di mana pada masa itu sistem administrasi baitul maal sudah berjalan
dengan baik di tingkat pusat dan lokal. Tidak hanya itu, di masa kekhalifahan beliau juga
telah terjadi surplus pada baitul maal yang kemudian dibagikan secara sesuai tuntunan
Rasulullah SAW. Adanya surplus ini menunjukkan bahwa proses pencatatan dan
pelaporan telah berlangsung dengan baik.
Pada zaman kekhalifahan sudah dikenal Keuangan Negara. Kedaulatan Islam telah
memiliki departemen-departemen atau disebut dengan Diwan, ada Diwan pengeluaran
(Diwan An-nafaqat), Militer (Diwan Al Jayash), pengawasan, pemungutan hasil, dan
sebagainya. Diwan Pengawasan Keuangan disebut Diwan Al-Kharaj yang bertugas
mengawasi semua hal yang berkaitan dengan penghasilan. Pada zaman Khalifah Mansur
dikenal Khitabat al Rasul was Sirr, yang memelihara pencatatan rahasia. Untuk
menjamin dilaksanakannya hukum maka dibentuk Shahib al Shurta. Salah satu pejabat
di dalamnya itulah yang disebut Muhtasib yang lebih difokuskan pada sisi pengawasan
pelaksanaan agama dan moral, misalnya mengenai timbangan, kecurangan dalam
penjualan, orang yang tidak bayar utang, orang yang tidak shalat jumat, tidak puasa pada
bulan Ramadhan, pelaksanaan masa idah, bahkan termasuk memeriksa iman. Ia juga
termasuk menjaga moral masyarakat, hubungan laki-laki dengan perempuan, menjaga
jangan ada yang meminum arak, melarang musik yang diharamkan, mainan yang tidak
baik, transaksi bisnis yang curang, riba, kejahatan pada budak, binatang, dan sebagainya.
Akuntansi Islam sebenarnya lebih luas dari hanya perhitungan angka, informasi
keuangan, atau pertanggungjawaban. Akuntansi menyangkut semua penegakan hukum
sehingga tidak ada pelanggaran hukum baik hukum sipil atau hukum yang berkaitan
dengan ibadah. Kalau ini yang dianggap sebagai unsur utamanya akuntansi, maka lebih
compatible dengan sistem akuntansi ilahiyah dan akuntansi amal yang kita kenal
dalam Al-Quran, atau lebih dekat dengan auditor dalam bahasa akuntansi kontemporer.



D. Laporan Akuntansi di dalam Islam
Perdagangan meluas keluar dari jazira Arabiah sampai sebagian Eropa, Afrika dan
Timur Jauh menurut Ekelund et al (1990, p 26) Selama lima abad, dari 700 sampai 1200
Islam memimpin dunia, organisasi, dan pemerintahan, dalam budi pekerti sosial dan
standar kehidupan, dalam literature, akademik, ilmu pengetahuan dan filsafathal
tersebut merupakan ilmu pengetahuan. Muslim yang melestarikan dan mengembangkan
matematika Yunani, fisika, kimia, astronomi, dan kedokteran.
Ekspansi perdagangan mendorong pengembangan mekanisme untuk menjamin
akuntabilitas keuangan, barang diterima dan persekot. Pengenalan dan pengorganisasian
zakat pada tahun 624 M, mendorong akuntansi untuk tujuan pembayaran dan kalkulasi
zakat, pengembangan tersebut melahirkan pengenalan buku akuntansi, konsep dan
prosedur selama pemerintahan khalifah ke 2, Umar Bin Khattab, yang memerintah antara
13 dan 23 H (634-644) (Zaid, 2000a, pp. 75-76). Di inspirasi oleh kebutuhan kewajiban
syara yakni kalkulasi yang sesuai dan pembayaran zakat sebagai konsekuensi dalam
menjalankan bisnis dan mendapatkan keuntungan, lebih jauh Al-Quraan mewajibkan
adanya penulisan dan pencatatan hutang dan transaksi bisnis sebagaimana Allah
berfirman dalam Al-Baqarah: 282-283, yakni merupakan surat terpanjang dalam Al-
Quran dan menspesifikasi semua syarat penulisan hutang dan transaksi bisnis.
Pengembangan dan praktek akuntansi pada masyarakat Muslim merefleksikan Islam
sebagai aturan kehidupan komprehensif baik spiritual maupun material. Pengembangan
dan praktek-praktek tersebut didokumentasikan oleh sejumlah akademisi Muslim dari
tahun 150 H (768 M) dalam sejumlah cetakan dan tulisan. Pada awalnya akademisi
Muslim mendekati praktek akuntansi di negara Islam melalui berbagai sudut pandang.
Meskipun begitu, penyebutan Istilah akuntansi dan akuntan tidak digunakan pada masa
awal dan pertengahan periode negara Islam. Kepastian tanggal istilah ini mulai digunakan
tidak diketahui namun dapat dilacak dari pengaruh kolonialisasi dan pengenalan
kebudayaan barat pada abad ke 19. I
Pengembangan akuntansi pada negara Islam dimotivasi oleh agama dan diasosiasikan
dengan kewajiban zakat pada tahun 2 H (624), akuntansi nampaknya dimulai dengan
pendirian Dewans untuk pencatatan Baitul Mal pendapatan dan pengeluaran. Tanggal
yang pasti aplikasi pertama kali sistem akuntansi pada negara Islam tidak diketahui,
namun sistem tersebut didokumentasikan pertama kalinya oleh Al-Khawarizmy pada
tahun 365 H (976). Sistem akuntansi disusun untuk merefleksikan tipe proyek yang
dikerjakan oleh negara Islam sejalan dengan pemenuhan terhadap syara. Proyek-proyek
tersebut termasuk industri, pertanian, keuangan, perumahan dan proyek jasa. Sistem
akuntansi menggabungkan rangkaian pembukuan dan prosedur pencatatan, beberapa
prosedur-prosedur tersebut merupakan sifat dasar dan digunakan untuk semua sistem
akuntansi, sementara yang lain diperuntukkan bagi sistem akuntansi tertentu.
Sebagaimana disebutkan di atas, orang yang diberi tanggung jawab ini disebut dengan Al-
Kateb (Pembukuan/akuntan).
Tujuan sistem akuntansi adalah untuk menjamin akuntabilitas, memfasilitasi
pengambilan keputusan secara umum, evaluasi proyek, meskipun sistem ini diinisiasi
bagi tujuan pemerintahan, namun beberapa juga diimplementasikan oleh wiraswasta
untuk mengukur keuntungan yang akan dikenakan zakat, kesuksesan aplikasi sistem
akuntansi oleh pemerintah telah mendorong wiraswasta untuk mengadaptasi sistem yang
sama khususnya untuk tujuan zakat.
Sistem akuntansi didiskusikan dan dianalisa di sini secara mendalam telah disebutkan
oleh Al-Khawarizmy dan detailnya oleh Al-Mazenderany, sistem akuntansi tersebut
berorientasi income-statement (laporan laba rugi). Dan dirancang untuk menyediakan
kebutuhan segera negara Islam, beberapa sistem akuntansi disandingkan dengan transaksi
monetary dan monetery sementara yang lain hanya disandarkan pada ukuran moneter.
Alasan penggunaan moneter dan non moneter secara simultan adalah untuk menjamin
ketepatan pengumpulan, pembayaran, pencatatan dan kontrol pendapatan dan
pengeluaran negara.
Tujuh sistem akuntansi khusus di kembangkan dan dipraktekkan dalam negara Islam
sebagaimana didokumentasikan oleh Al-Khawarizmy dan Al-Mazendariny. Yang
sekarang akan dieksplorasi.
Stable Accounting (Accounting for Livestock): sistem ini di bawah pengendalian
manajer pemeliharaan ternak dan membutuhkan relevansi transaksi dan peristiwa dicatat
saat terjadinya hal-hal tersebut, transaksi dengan sistem ini misalnya, makanan untuk
unta, kuda, dan keledai; gaji, hewan yang dijual, disumbangkan atau telah mati.
Rancangan khusus sistem ini merefleksikan pentingnya ternak bagi individu dan negara.
Di samping hewan sebagai sumber makanan juga sebagai alat transportasi komersial,
militer. Ternak digunakan pula untuk membawa makanan dan orang lintas dunia muslim
dan di luar itu, serta alat transportasi penting khususnya bagi komunitas yang tidak
mempunyai akses pelabuhan. Meskipun stable accounting di rancang bagi negara,
implikasinya di sektor privat sama karena proporsi signifikan populasi di satukan dengan
bisnis ternak, untuk konsumsi atau transportasi dan kebutuhan akan sistem pencatatan dan
pengukuran keuntungan untuk tujuan kalkulasi pembayaran zakat, hal ini sama dengan
praktek sekarang di mana insentif akun menunjukkan keseluruhan keuntungan atau
kerugian peternakan modern sebagai syarat pendapatan daerah, begitu pula dengan
perbankan, dan (dalam kasus peternakan yang dikelola dan dimiliki oleh perusahaan
terbatas) tindakan perusahaan sebagai akun preparation untuk pemilik saham [Macve,
1994, p. 75].
Construction Accounting: Sistem ini digunakan untuk akun proyek konstruksi yang
ditangani oleh pemerintah. Sistem akuntansi konstruksi memerlukan pemeliharaan jurnal
terpisah bagi tiap situs konstruksi dan membutuhkan pencatatan untuk tiap transaksi
relevan dan peristiwa dari tiap mulainya proyek sampai selesai. Sistem akuntansi
konstruksi membutuhkan bahwa tiap proyek individual di daftar pada awal jurnal, diikuti
dengan persyaratan konstruksi. Kemudian diikuti pula denan catatan transaksi dan
pristiwa. Transaksi dicatat di bawah pengawasan penanggung jawab proyek, yang disebut
dengan arsitek. Persyaratan pengawasan yang sama juga berlaku bagi akuntansi
peternakan dan menyarankan adanya kontrol internal. Tiap item dicatat dalam jurnal
termasuk penerimaan material, pembayaran gaji bagi tukang kayu, tukang batu dan
pekerja konstruksi lainnya. Sistem akuntansi konstruksi mensyaratkan bahwa surplus atau
defisit penyelesaian proyek akan dihitung dan diungkap, dan tiap perbedaan dijelaskan.
Prasyarat ini menyarankan penggunaan budgeting (penganggaran)
Rice Farm Accounting (Agricultural Accounting): Hal ini nampaknya merupakan
sistem non-moneter karena memerlukan pencatatan kuantitas padi yang diterima dan
dibayar serta spesifikasi lahan hasil pertanian. Sistem ini dijelaskan oleh Al-Mazadarany
dan Al-Khawarizmy dengan tidak adanya pemisahan tugas antara pencatatan dan
pengaturan persediaan. Hal ini tidaklah biasa-sistem akuntansi yang lain mempersatukan
spesifik internal dan prosedur kontrol umum. Hal ini nampaknya bahwa dalam bentuk ini
didesain bagi kepemilikan negara untuk tujuan perhitungan penerimaan padi dan
distribusi zakat dibanding dalam bentuk moneter. Prasyarat untuk mengidentifikasi lahan
dimana padi dipanen dan distrik pembayaran zakat juga disarankan Sistem non-moneter
akuntansi pertanian mirip dengan akun grain-nya Zenon atau Appianus Egyptian,
sebagaimana disebutkan okeh Macve (1994, p. 59) hal ini pula memerlukan pencatatan
penerimaan dan pengeluaran butir padi dalam bentuk fisik tanpa merujuk pada ukuran
moneter.
Warehouse Accounting: jenis ini didesain untuk akun pembelian persediaan negara.
Sistem ini ditempatkan di bawah pengawasan secara langsung oleh seseorang yang
dikenal dapat dipercaya. Sistem ini mensyaratkan pencatatan detail dari tiap barang yang
diterima dan sumber pengiriman dalam buku yang dipersiapkan untuk tujuan tersebut.
Kecepatan dan ketepatan pencatatan pembayaran barang di tiap buku khusus dibutuhkan.
sehingga paling tidak ada dua buku khusus yang digunakan dalam sistem ini. Namun di
sini tidak dinyatakan apakah hanya pencatatan barang yang diterima dan dikeluarkan
dalam bentuk moneter, atau dalam bentuk fisik maupun moneter, meskipun yang terakhir
tampak seperti praktek sekarang ini. Hal tersebut juga memerlukan bahwa hitungan
persediaan dilakukan pada akhir tahun keuangan dan hasilnya diperbandingkan dengan
persediaan yang dicatat dalam buku. Menjadi kewajiban untuk menyelidiki penyebab
perbedaan dan menanyakan kepada penjaga simpanan tentang hal itu. Penjaga simpanan
secara personal mengerti tiap kejadian antara yang ada di buku dengan persediaan aktual.
Dengan demikian warehouse accounting (akuntansi gudang) berbeda dari dunia kuno, di
mana persediaan barang di jaga dalam bentuk kuantitatif, bentuk fisik (Macve, 1996, p.
6). Hal ini mengkofirmasikan bahwa sistem kontrol internal berjalan karena adanya
penjaga simpanan bukan bagian pembukuan. Skala persediaan merujuk pada akuntansi
gudang, hal ini kurang lebih sama dengan yang digunakan oleh perusahaan swasta.
Mint Accounting (Currency Accounting): Sistem akuntansi ini dirancang dan
diimplementasikan di negara Islam sebelum abad ke 14 M, sistem ini memerlukan
kecepatan konfersi emas dan perak yang diterima oleh otoritas keuangan dalam bentuk
batangan atau koin. Lebih jauh sistem ini mensyaratkan kecepatan pengiriman batang
emas dan koin kepada pihak berwenang. Hal ini menyarankan bahwa sistem tidak
mengizinkan bahan baku (emas dan perak) atau produk akhir (emas batangan dan koin)
disimpan untuk waktu lama. Syarat kecepatan konfersi, pencetakan dan penyerahan
diinisiasi untuk mencegah pencurian. Emas batangan dan koin akan diserahkan pada
departemen yang setara dengan departemen keuangan sekarang. Sistem akuntansi
pencetakan uang mensyaratkan tiga jurnal khusus. Yang pertama digunakan untuk
mencatat persediaan, kedua untuk mencatat penerimaan dan yang ketiga digunakan untuk
mencatat pengeluaran. Pembelian dan gaji adalah contoh biaya yang dimasukkan oleh
otoritas pencetakan, dan juga merupakan kewajiban untuk mencatat perjanjian dan
kondisi layanan yang disediakan oleh otoritas pencetakan dalam jurnal pengeluaran.
Penerimaan otoritas pencetakan dikalkulasikan sekitar 5% dari biaya emas dan perak,
atau sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan. Kriteria aplikasi dan kalkulasinya tidak
disebutkan oleh Al-Mazandarany dan Al-Khawarimy.
Sheep Grazing Accounting: Akuntansi bentuk ini diinisiasi dan diterapkan oleh
otoritas pemerintahan di negara Islam, dan digunakan oleh pihak swasta untuk mengukur
keuntungan atau kerugian untuk tujuan zakat. Akuntansi penggembalaan (Sheep Grazing
Accounting) ini berbeda dengan akuntansi peternakan ala Yunani dan Roma dimana
akun-akunnya tidak dimaksudikan untuk menunjukkan lebih dari pergerakan kas dan
sejenisnya, [Macve, 1994, p. 78] dibawah sistem ini semua hewan yang diserahkan
pada penggembala dicatat dalam buku yang dirancang sesuai tujuan tersebut. Penerimaan
pendapatan baik dalam bentuk kas atau yang lainnya juga dicatat. Penerimaan yang
diterima oleh penggembala termasuk binatang dan produk kambing. Sistem ini sepertinya
menggunakan beberapa buku khusus karena persyaratan untuk mencatat hewan yang
diserahkan-aset, dalam sebuah buku yang digunakan untuk mencatat pengeluaran. Hal
ini belum jelas apakah binatang yang diterima dicatat sebagai penerimaan atau
dikapitalisasikan dan dicatat dalam buku aset. Baik Al-Mazendarany atau Al-
Khawarizmy tidak mengelaborasi isu ini. Klasifikasi yang sesuai dan pengungkapan yang
memadai merupakan corak akuntansi peternakan yang membutuhkan pemisahan
klasifikasi domba jantan, domba betina, kambing dan yang sejenisnya. Sistem ini juga
mensyaratkan pencatatan yang sesuai dan klasifikasi penyembelihan domba dan
pendistribusian produk daging, sekali lagi, buku yang relevan tidak di spesifikasikan baik
oleh Al-Mazendarany atau Al-Khawarizmy. Kerugian juga dicatat dalam buku, termasuk
hal yang berkaitan dengan bencana seperti kekeringan.
Treasury Accounting: sistem ini digunakan oleh pemerintah dan memerlukan catatan
rutin semua penerimaan perbendaharaan dan pembayaran. Sepertinya pengukuran
moneter dan non moneter digunakan sebagai catatan penerimaan perbendaharaan dan
pembayaran dalam bentuk kas dan yang sejenisnya. Hal ini termasuk persediaan yang
dibutuhkan oleh pemerintah dan atau sultan seperti emas, perak, obat-obatan dll.
Meskipun terdapat prasyarat umum untuk mencatat transaksi dengan cepat dan aplikatif
bagi semua sistem akuntansi, (lihat prosedur 1 dibawah), tidak seperti sistem lain, sistem
ini secara khusus dibutuhkan dalam akuntansi perbendaharaan.
Sistem akuntansi perbendaharaan memerlukan ketetapan pemisahan kolom bagi
transaksi kas. Transaksi non kas diklasifikasikan menurut sifat, warna dan spesifikasi lain,
dan kemudian di catat secara detail. Sistem ini juga membedakan dua metode pencatatan
yakni metode Arab dan Persia. Metode Arab membutuhkan pencatatan arus kas masuk
dan barang di sebelah kanan jurnal dan arus kas keluar di sisi kiri jurnal, hal ini
menyarankan bahwa fungsi jurnal baik untuk jurnal dan buku besar, dan hal ini dapat pula
menjelaskan ketiadaan buku besar terpisah dalam sistem ini. Halaman berbeda juga
dialokasikan bagi tiap item (akun). Nyatanya bahwa sebagian besar pembukuan adalah
orang Arab yang mendorong penggunaan metode Arab. Metode persia membutuhkan dua
buku terpisah, satu untuk arus kas masuk dan barang dan yang satunya untuk arus kas
keluar dan barang. Metode Persia tidak membutuhkan itemisasi arus masuk dan arus
keluar kas dan barang, sebagaimana metode Arab, dengan demikian hal ini menjelaskan
mengapa metode Arab dianggap superior.
Kebutuhan akan standarisasi informasi nampaknya menjadi prioritas dalam
perencanaan dan implementasi sistem akuntansi. Sistem yang sama diaplikasikan bagi
siapa saja yang berwenang. Standarisasi informasi juga terbukti pada laporan akuntansi
pada periode berbeda Misal dari pelaporan ini adalah Al-Khatimah (laporan bulanan) dan
Al-Khatimah Al-Jameah (Laporan terahir keseluruhan), [Al-Khawarizmy, 1984, pp. 52,
81]. Sejalan dengan sistem akuntansi dan kebutuhan bagi generasi penerus, laporan
terstandar lebih jauh didorong spesifikasi dokumen pendukung dan prosedur pencatatan
umum. Yang terakhir adalah subjek bahasan selanjutnya.
Pengembangan dan implementasi sistem akuntansi pada negara Islam didukung oleh
prosedur wajib pencatatan. Beberapa prosedur-prosedur tersebut memilki sifat-sifat
umum dan digunakan untuk tiap sistem akuntansi sementara yang lain memilki sifat
khusus dan berhubungan dengan sistem tertentu. Pengenaan zakat dan perbedaan dari
sejumlah pendapatan, pengeluaran dan aktivitas terkait yang besar di negara Islam
karenanya memerlukan adanya prosedur kontrol. Prosedur-prosedur ini dapat membuat
petugas mampu memonitor dan menemukan tiap difisit dan surplus pada perbendaharaan
negara yang muncul dari imbalanced book. Dua kasus yang merefleksikan efektifitas
kontrol internal ini adalah. Pertama temuan difisit satu dirham dalam Baitul Maal yang
ditemukan oleh sahabat nabi Saw Amer Bin Al-Jarrah yang melaporkannya pada khalifah
kedua, Umar Bin Khattob (Lasheen, 1973, p. 13). Al-Mazendarany (765 H, 1363) juga
menguraikan pentingya kontrol internal untuk diimplementasikan di seluruh Diwan.
Kasusu kedua adalah temuan pengeluaran tidak tercatat yang menghasilkan defisit.
Defisit ini mengakibatkan akuntan membayar 1.300 dinar untuk tidak mencatat
transaksinya. Biaya penghapusan ini kemudian terungkap ketika neraca pembukuan
diperbandingkan dengan jadwal dan neraca lain di diwan utama pada tahun keuangan
terakhir (Lasheen, 1973, p. 13) hal ini juga mengindikasikan bentuk audit telah
dipraktekkan setelah pendirian negara Islam pada tahun 622 M.
Lasheen (1973, pp.163-165) mencatat beberapa prosedur pencatatan umum
diimplementasikan setelah abad ke 2 H (8 M) contoh prosedur pencatatan yang
dikembangkan dan diaplikasikan oleh pemerintah dan swasta pada negara Islam adalah
sebagai berikut:
1. Transaksi harus dicatat sesegera mungkin ketika terjadi
2. Transaksi diklasifikasikan menurut sifatnya. Hal ini membutuhkan tiap transaksi
yang sama dan homogen diklasifikasikan dibawah satu akun dan satu pencatatan]
3. Penerimaan dicatat di sebelah kanan dan sumber penerimaan diidentifikasi dan
diungkap
4. Pembayaran dicatat dan secukupnya dijelaskan di sisi kiri
5. Catatan Transaksi secara hati-hati dijelaskan
6. Tidak ada tempat yang ditinggalkan di antara dua transaksi. Jika adanya ruang
yang ditinggal karena alasan tertentu, maka garisnya harus digambar melewati
ruang. Garis ini disebut Attarkeen
7. Koreksi catatan Transaksi dengan menulis ulang atau menghapus adalah hal yang
dilarang. Jika Al-Kateb (Akuntan) salah dalam estimasi jumlah, ia harus
membayar perbedaan tersebut kepada Diwan. Jika pengeluaran telah dihapus,
Alketab diharuskan membayar dalam bentuk tunai walaupun dapat dibuktikan
pengeluaran tersebut benar-benar terjadi.
8. Jika Akun telah ditutup, tanda tangan tertentu di tempatkan dalam pembukuan
untuk merefleksikan pengungkapan akun
9. Tiap Transaksi yang sama dicatat dalam buku utama yang kemudian diposting
dalam buku khusus yang disediakan untuk tipe transaksi tersebut
10. Posting pada tiap transaksi yang serupa dilakukan oleh orang yang tidak
berhubungan dengan pencatat transaksi harian dan buku lain.
11. Neraca, disebut Al-Hasel (perbedaan di antara dua jumlah), harus diekstrak
12. Laporan bulanan dan/atau tahunan harus disiapkan. Laporan ubu harus detail dan
menyediakan informasi yang cukup, contohnya, panen yang akan datang, ketika
terjadi dan bagaimana distribusinya
13. Pada akhir tiap tahun keuangan, sebuah laporan harus disiapkan oleh Al-Kateb
mendetailkan semua barang dan dana dibawah wewenang dan managementnya
14. Laporan berkala disiapkan oleh Al-Kateb akan direview (audit) dan
diperbandingan dengan laporan tahun sebelumnya dan dengan laporan yang
disimpan dalam Iwan
Prosedur 1 dan 2, terkait dengan waktu pencatatan dan kepentingan klasifikasi, yang
diinisiasi untuk tujuan zakat. Sesuai dengan ketentuan syariah tipe pendapatan tertentu
adalah subjek zakat, sementara aset (kecuali untuk kebutuhan personal) adalah subjek
zakat hanya jika sudah mencukupi 12 bulan sejak pembelian. Periode 12 bulan ini
dikenal dengan istilah Al-Hawl. Konsep periodesasi ini telah menjadi corak dalam
Akuntansi Islam sejak tahun 624 M. kecepatan pencatatan dan klasifikasi adalah suatu
hal penting dalam perhitungan zakat pendapatan dan kekayaan yang disimpan. Asset
diklasifikasikan menurut tipenya masing-masing seperti peralatan, hutang, kas dll. Untuk
tujuan zakat aset tertentu diklasifikasikan lebih jauh lagi. Ini adalah kasus hutang di
mana hutang disubklasifikasikan ke dalam tiga kategori seperti Ar-Raej Men Al- Mal
(collectable debts), Al-Munkaser Men Al-Mal (uncollectable debts) and Al-
Muthaadhdher Wal Mutahayyer Wal Mutaakked Men Al- Mal (difficult, doubtful and
complicated debts) [AlKhawarizimy, 1984, p. 82].
Prosedur 3 terkait dengan credit entries sementara prosedur empat menggambarkan
debit entries. Sementara Heaps (1985) menyatakan bahwa Dunia kuno memasukan
penerimaan dan pengeluaran uang pada halaman yang berlawanan seperti Debet dan
Kredit (pp.19-20) ia tidak mengidentifikasikan sejarah ini walaupun mereka
memasukkan negara Islam. Prosedur 3 dan 4 menyiratkan Metode Arab di bawah
akuntansi perbendaharaan yang mensyaratkan pencatatan arus masuk, debit di sebelah
kanan dan arus keluar kredit di sebelah kiri. Hal ini memungkinkan dua halam tersebut
digunakan, di mana debit entries dicatat di sebelah kanan dan kredit entries di sebelah
kiri. Sehingga, halaman tersebut dibagi dalam dua kolom untuk mencatat debit dan
kredit. Format ini berbeda dengan Yunani dan Romawi di mana pembukuan ditetapkan
sebagian besar dalam istilah penerimaan dan pengeluaran daripada debit
kreditmereka tidak pernah sejauh memisahkan apa yang sekarang kita sebut debit dan
kredit dengan memasukkan keduanya dalam kolom terpisah [de Ste Croix, 1956, p. 14].
Tidak ada bukti untuk menyarankan bahwa bentuk pencatatan ini, sebagaimana di minta
dalam prosedur 3 dan 4 merepresentasikan bentuk double-entry bookkeeping, namun hal
ini menjadi pendahuluan bagi pengembangan sistem double entry bookkeeping.
Prosedur 5 membutuhkan kehati-hatian dalam menjelaskan pencatatan transaksi.
Seperti diasosiasikan dengan audit. Auditing mewajibkan dan fokus pada buku akun Al-
Kalkashandy (1913, vol 1, pp. 130-139 menjelaskan peran reviewer (auditor) dengan
mengatakan:
adalah suatu hal yang umum bagi seseorong untuk tidak melihat kesalahannya
namun bisa melihat kesalahan orang lain, maka penting bagi kepala Diwan untuk
menunjuk seseorang untuk mereviewnya. Orang ini harus memilki standar bahsa yang
tinggi, penghafal Quran (hafidz), cerdas, bijaksana, dapat dipercaya dan bukan orang
yang merugikan ataupun bermusuhan, ketika reviewer puas dengan isi buku yang
telah direview, ia harus menandatangani pada buku tersebut sebagai indikasi
kepuasannya akan konten yang terkandung di dalamnya.

Prosedur 6 membutuhkan tidak ada ruang sisa antar transaksi dan jika ada ruang yang
tertinggal dengan berbagai alasan, sebuah garis dibutuhkan untuk digambar pada
seberang halaman. Hal ini menunjukkan risiko misinterpertasi dan manipulasi, jika garis
kosong atau halaman tertinggal dalam buku akuntansi. Prosedur ini sebagai pelengkap
prosedur 1, dan dirancang untuk menghindari perhitunan ganda transaksi daripa kejadian
aktualnya. Dengan demikian hal ini mengindikasikan signifikansi kotroling dalam negara
Islam.
Bentuk lain dari kontrol internal yang melengkapi prosedur 1 dan 6 dikhususkan pada
prosedur 7. Pelarangan penulisan berlebihan dan penghapusan pada prosedur ini
dimaksudkan untuk koreksi atas pencatatan transaksi. Yang bisa diinterpertasikan
sebagai peringatan bagi mereka yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik sebagai
hukumannya adalah dikenakan denda pada tiap perbedaan antara transaksi aktual dengan
apa yang dicatat. Pembayaran denda oleh al-kateb meski kejam namun cukup efektif.
Prosedur 8 dimaksudkan untuk mencegah Al-Kateb dari memasukkan transaksi
setelah tanggal penutupan, prosedur ini memerlukan tanda tangan khusus pada buku
sifat dari tanda khusus tersebut tidak dijelaskan namun merujuk pada tanda uniq sebagai
tanda tangan orang yang berwenang dalam diwan (Departemen Akuntanasi). Pensyaratan
prosedur ini lebih jauh mengkonfirmasikan aplikasi cut-off dan periodisasi.
Prosedur 9 membutuhkan posting bagi transaksi yang mirip dari buku utama ke buku
khusus. Posting ini dapat diinisiasi untuk tujuan persiapan pernyataan keuangan seperti
Al-Khitmah and AlKhitmah Al-Jameah, meski tidak dinyatakan dalam buku khusus
atau jurnal khusus, namun nampaknya dinyatakan dalam lajur. Kegunaan lajur khusus
tersebut digunakan pada saat khalifah ke 5, Omar bin Abdul Aziz (khalifah bani
Umayah), yang hidup antara tahun 61 dan 101 H (681-720 M) dan memerintah antara
tahun 99 dan 101 H (718-101 M) (Ibn Saad, 1957, vol 1, p 400). Prosedur pencatatan ini
dapat berfungsi sebagai kontrol internal untuk pengumpulan dan pembayaran zakat
sebagaimana tercatat pengumpulan zakat dan distribusinya dalam yang pertama kali
dicatat dalam jurnal umum dan kemudian diposting ke dalam jurnal khusus yang sesuai,
merepresentasikan tipe zakat yang dikumpulkan atau dibayarkan. Pernyataan ini
didukung oleh prosedur 10.
Pelaksanaan akuntansi pada negara islam terjadi terutama adanya dorongan kewajiban
zakat, yang harus dikelola dengan baik melalui Baitul Maal. Dokumentasi yang pertama
kali dilakukan oleh Mazenderany (1363 M) mengenai praktik akuntansi pemerintahan
yang dilakukan selama Disnati Khan IIpada buku Risalah Falkiyah Kitabus Siyakat.
Namun, dokumentasi yang baik mengenai sistem akuntansi negara Islam tersebut
pertama kali dilakukan oleh Al Khawarizmy pada Tahun 976 M.
Kontribusi besar yang diberikan oleh Al-Khawarizmy adalah membuat sistem
akuntansi dan pencatatan dalam negara Islam dan membaginya dalam beberapa jenis
daftar.
Ada tujuh hal khusus dalam sistem akuntansi yang dijalankan oleh negara Islam
sebagaimana dijelaskan oleh Al-Khawarizmy dan Al-Mazendarany, yaitu:
1. Sistem akuntansi untuk kebutuhan hidup.
2. Sistem akuntansi untuk konstruksi
3. Sistem akuntansi untuk pertanian
4. Sistem akuntansi gudang
5. Sistem akuntansi mata uang
6. Sistem akuntansi peternakan
7. Sistem akuntansi perbendaharaan
Prosedur dalam pencatatan di negara Islam adalah sebagai berikut:
1. Transaksi harus dicatat setelah terjadi
2. Transaksi harus dikelompokkan berdasarkan jenisnya
3. Penerimaan akan dicatat di sisi sebelah kanan, dan pengeluaran dicatat di sebelah kiri
4. Pembayaran harus dicatat dan diberikan penjelasan yang memadai di sisi kiri halaman
5. Pencatatan transaksi harus dilakukan dan dijelaskan secara hati-hati
6. Tidak diberikan jarak penulisan di sebelah kiri,dan harus diberi garis penutup
7. Koreksi atas transaksi yang telah dicatat tidak boleh dengan cara menghapus atau
menulis ulang
8. Jika akun telah ditutup, maka akan diberi tanda tentang hal tersebut
9. Seluruh transaksi yang dicatat di buku jurnal akan dipindahkan pada buku khusus
berdasarkan pengelompokan transaksi
10. Orang yang melakukan pencatatan untuk pengelompokan berbeda dengan orang yang
melakukan pencatatan harian
11. Saldo diperoleh dari selisih
12. Laporan harus disusun setiap bulan dan setiap tahun
13. Pada setiap akhir tahun, laporan disampaikan oleh Al Kateb harus menjelaskan
seluruh informasi secara detail barang dan dana yang berada di bawah wewenangnya.
14. Laporan tahunan yang disusun Al Kateb akan diperiksa dan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya dan akan disimpan di Diwan Pusat
Dihubungkan dengan prosedur tersebut, terdapat beberapa istilah seabgai berikut:
1. Al-Jaridah buku untuk mencatat transaksi dalam bahasa Arab
2. Daftar Al yaumiah, digunakan sebagai dasar untuk pembuatan Ash-Shahed
3. Beberapa jenis laporan keuangan di antaranya:
a. Al Khitmah, merupakan yang dibuat setiap akhir bulan yang menunjukkan total
penerimaan dan pengeluaran.
b. Al Khitmah Al Jameeah, merupakan laporan yang disiapkan oleh Al Khateb
tahunan dan diberikan kepada atasannya.
c. Bentuk perhitungan dan laporan zakat akan dikelompokkan pada laporan
keuangan terbagi dalam 3 kelompok, yaitu;
1) Ar-Raj Minal Mal (yang dapat tertagih)
2) Ar-Munkasir Minal Mal (Piutang tidak dapat tertagih)
3) Al Mutaadhir Wal Mutahayyer wal Mutaakkid (piutang yang sulit dan
piutang bermasalah sehingga tidak tertagih)
Perkembangan akuntansi tidak berhenti pada zaman Khalifah, tetapi juga
dikembangkan oleh filsuf Islam lain. Akuntansi sudah ada sebelum Paciolli dan bahkan
sebelum peradaban Islam dan akuntansi sudah ada sejak masa kejayaan islam dari 610
M1250 M.
Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia tahun 2007 telah mengeluarkan Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan untuk transaksi kegiatan usaha dengan mempergunakan
akuntansi berdasarkan kaidah syariah. Berikut ini daftar Standar Akuntansi Keuangan
yang juga akan berlaku bagi perbankan syariah :
1. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah,
2. PSAK 101 tentang Penyajian Laporan Keuangan Syariah,
3. PSAK 102 tentang Akuntansi Murabahah,
4. PSAK 103 tentang Akuntansi Salam,
5. PSAK 104 tentang Akuntansi Istishna,6. PSAK 105 tentang Akuntansi
Mudharabah,
6. PSAK 106 tentang Akuntansi Musyarakah.
Asumsi dasar akrual seharusnya dirubah menjadi Sinergi Akrual dan Cash Basis.
Khusus akrual diperlukan penjelasan lebih detil khusus pencatatan potensi untuk
menghindari terjadinya transaksi dan kejadian ekonomi lainnya yang bertentangan
paradigma transaksi dan kejadian ekonomi syariah. Sedangkan asumsi dasar
kelangsungan usaha dirubah menjadi asumsi dasar kerja sama usaha yang berbasis pada
shariate enterprise theory. Asumsi dasar kerja sama usaha mengakui bahwa akuntabilitas
bukan hanya pada kepentingan pemilik modal dan investor saja, tetapi akuntabilitas yang
lebih luas. Akuntabilitas pada partisipan langsung (pemegang saham, karyawan,
pemerintah, kreditor, pemasok, pelanggan dan lainnya) tidak langsung (mustahiq,
lingkungan alam) serta dilakukan dalam rangka ketundukan (pertanggungjawaban
kepada Allah/abdAllah) dan kreativitas (pertanggungjawaban kepada manusia, sosial
dan alam/khalifatullah fil ardh).
Perubahan asumsi dasar akan berdampak pada unsur laporan keuangan, terutama pada
unsur laba (income). Perubahan laba dari laba akuntansi menjadi nilai tambah syariah
harus selalu bernilai suci (tazkiyah) mulai dari proses pembentukan sumber, proses,
sampai distribusinya. Semua harus jelas pengakuan dan pengukurannya yang sesuai
syariah. Artinya, unsur atau elemen laba dirubah menjadi elemen nilai tambah syariah.
Berdasarkan pada perubahan-perubahan, maka bentuk laporan keuangan yang diperlukan
perubahannya adalah:
.1. Laporan Laba Rugi dirubah menjadi Laporan Nilai Tambah Syariah
2. Neraca dirubah menjadi Neraca Berbasis Nilai Sekarang
3. Perlu penambahan Laporan Sosial dan Lingkungan















DAFTAR PUSTAKA

Yaya, Rizal, dkk. Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: Salemba Empat, 2014.
http://imanph.wordpress.com/materi-kuliah/akuntansi-syariah
http://duniaislamnet.wordpress.com/ekonomi-islam/prosedur-dan-sistem-akuntansi-pada-
masa-awal-pemerintahan-islam
http://www.iaiglobal.or.id/v02/prinsip_akuntansi/standar.php?cat=SAK%20Syariah&id=63

Anda mungkin juga menyukai