Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidak
cukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jarngan,dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis.
Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Celland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah
keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan.Syok merupakan respon tubuh terhadap gangguan
pada system peredaran darah yang menghambat darah mengalir dalam jumlah yang cukup keseluruh bagian
tubuh, terutama ke alat tubuh yang penting. cedera pada jantung atau pembuluh darah, atau berkurangnya
jumlah darah yang mengalir, bias menyebabkan syok
Klasifikasi syok menurut etiologi :
1. Syok hipovolemik: dehidrasi, kehilangan darah, luka bakar.
2. Syok distributif: kehilangan tonus vascular (anafilaktik, septik, syok toksik).
3. Syok kardiogenik: kegagalan pompa jantung.
4. Syok obstruktif: hambatan terhadap sirkulasi oleh obstruksi instrinsik atau ekstrinsik.
Emboli paru, robekan aneurisma dan tamponade perikard.

Syok hemoragik adalah syok hipovolemik yang disebabkan kehilangan darah yang
banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau tersembunyi dalam
organ tubuh. Syok hipovolemik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah syok
hipovolemik hemoragik perioperatif, yaitu syok yang terjadi preoperatig, intraoperatif,
ataupun postoperatif.
Pasien yang kehilangan darah akan mengalami masa hipotensi sampai akhirnya
pemberian infus cairan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Hal ini disebut
sebagai syok ireversibel. Sebagian klinisi percaya bahwa pasien syok dapat diresusitasi
dengan pemberian cairan, koreksi hipotermia dan pemberian obat inotropik. Tapi tetap saja
masih banyak pasien yang meninggal tidak hanya karena efek akut dari syok ireversibel tapi
juga dari efek syok berat yang lama.
Penatalaksanaan pasien syok tidak hanya pada awal saja karena sebenarnya banyak
pasien yang tetap mengalami kegagalan sirkulasi setelah perdarahan berat ditangani. Hal ini
terjadi karena koagulopati dan hipotermia berat. Pada pasien dengan perdarahan kecil namun
terus menerus dapat terjadi asidosis dan hipotermia. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
yang baik mengenai bagaimana penanganan syok hemorargik perioperatif. Langkah-langkah
apa saja yang perlu dilakukan, bagaimana langkah selanjutnya, dan kapan transfusi darah
diperlukan
Pada makalah ini dibahas mengenai evaluasi dan penatalaksanaan awal kehilangan
darah akut. Penatalaksanaan syok hemoragik yang akan dibahas meliputi penangana awal,
pemberian resusitasi cairan, transfusi darah, dan penghentian perdarahan yang masih
berlangsung.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Cairan Tubuh dan Kehilangan Darah
Terdapat cairan sedikitnya setengah dari berat badan pada orang dewasa yang sehat. Volume
total cairan (dalam liter) sebanding dengan 60% berat badan (dalam kilogram) pada pria, dan
50% pada wanita. Jumlah cairan dan perkiraan volume darah berdasarkan berat badan
ditunjukkan pada tabel 1.
1


Tabel 1. Cairan Tubuh dan Volume Darah
Cairan Pria Wanita
Total cairan tubuh 600 mL/kg 500 mL/kg
Whole blood 66 mL/kg 60 mL/kg
Plasma 40 mL/kg 36 mL/kg
Eritrosit 26 mL/kg 24 mL/kg

Respons Kompensasi
Hilangnya darah memicu respons kompensasi tertentu yang membantu untuk
mempertahankan volume darah dan perfusi jaringan. Respons yang paling awal meliputi
perpindahan cairan interstisial ke dalam kapiler. Pengisian transkapiler ini dapat
menggantikan sekitar 15% dari volume darah, namun hal ini menyebabkan terjadinya
kekurangan cairan interstisial.
Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium. Natrium yang dipertahankan berdistribusi
dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan interstisial menyusun sekitar
2
/
3
cairan
ekstraseluler, natrium yang dipertahankan akan membantu menggantikan kekurangan cairan
interstisial yang diakibatkan oleh pengisian transkapiler. Kemampuan natrium untuk
menggantikan kekurangan cairan interstisial, bukan volume darah interstisial, merupakan
alasan bahwa cairan kristaloid yang mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai
sebagai cairan resusitasi untuk perdarahan akut.
Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai meningkatkan
produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahan-lahan, dan penggantian
sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2 bulan.
Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang adekuat pada
kasus perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume darah). Saat darah yang hilang
melebihi 15% volume darah, umumnya diperlukan penggantian volume darah.

Perdarahan Progresif
Perdarahan Kelas I (kehilangan 0-15%)
1. Bila tidak ada komplikasi, hanya terlihat takikardia minimal.
2. Biasanya tidak ada perubahan dalam TD, tekanan nadi, atau frekuensi napas.
3. Keterlambatan pengisian kembali kapiler lebih dari 3 detik sebanding dengan
kehilangan volume 10%.

Perdarahan kelas II (kehilangan 15-30%)
1. Gejala klinik mencakup takikardia ( >100 detak permenit), takipnea, penurunan
tekanan nadi, kulit dingin dan lembab, pengisian kapiler terlambat dan sedikit cemas.
2. Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari peningkatan kadar katekolamin yang
menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah tepi yang disusul dengan
peningkatan TD diastolik.

Perdarahan Kelas III (kehilangan 30-40%)
1. Pada titik ini, biasanya pasien sudah takipnea dan takikardia mencolok, TO sistolik
turun, oliguria, perubahan status mental bermakna, misal bingung atau gaduh gelisah.
2. Pada pasien tanpa cedera lain atau tanpa kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah
terkecil dari kehilangan darah yang selalu menyebabkan penurunan TD sistolik.
3. Sebagian besar dari pasien ini membutuhkan transfusi darah, namun keputusan
memberikan darah harus didasarkan atas respons awal terhadap pemberian cairan.

Perdarahan Kelas IV (kehilangan >40%)
1. Gejala-gejala mencakup: takikardia dan penurunan TD sistolik mencolok, tekanan
nadi mengecil (atau tekanan diastofik tidak terukur), jumlah urin sedikit atau tidak
ada, status mental depresi (atau kehilangan kesadaran), kulit dingin dan pucat.
2. Jumlah perdarahan ini mengancam jiwa.
3. Pada pasien trauma, perdarahan biasanya dianggap sebagai penyebab syok.
Walaupun demikian, ini harus dibedakan dari sebab-sebab syok lainnya, antara
lain:tamponade jantung ( bunyi jantung halus, vena leher distensi), tension
pneumothorax (deviasi trakea, bunyi napas berkurang pada satu sisi), dan trauma
medulla spinalis (kulit hangat, takikardia tidak sebesar yang diduga, defisit
neurologis).

II.2 Evaluasi Klinis
Evaluasi klinis pada pasien-pasien yang mengalami perdarahan bertujuan untuk menentukan
seberapa besar kekurangan volume darah dan pengaruhnya terhadap aliran sirkulasi dan
fungsi organ.
1,3,4


Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis pada pasien dengan syok hemoragik dilakukan untuk mengetahui sebab dan
jumlah darah yang keluar akibat terjadinya perdarahan seperti mekanisme trauma, lama
perdarahan, dan kelainan yang terdapat pada pasien. Selain itu, perlu ditanyakan penanganan
pre rumah sakit terutama pemberian cairan, perubahan tanda vital, dan lama penanganan yang
diberikan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi:
1. Kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan
a. Sumber perdarahan biasanya terlihat
b. Aliran darah kulit kepala banyak dan dapat menghasilkan perdarahan yang signifikan
c. Perdarahan intrakranial terutama pada usia muda
2. Dada
a. Perdarahan rongga toraks dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik
b. Hemotoraks dapat meliputi distres pernapasan, penurunan bunyi napas, dan perkusi
pekak
c. Tension hemothorax
3. Abdomen
a. Perlukaan terhadap hati atau limpa adalah penyebab umum syok perdarahan. Ruptur
spontan aneurisma aorta abdominal dapat juga menyebabkan perdarahan
intraabdominal berat dan syok
b. Darah dapat mengiritasi rongga peritoneal dan dapat menimbulkan nyeri tekan dan
peritonitis
c. Distensi abdominal progresif pada syok perdarahan menjadi temuan pada perdarahan
intraabdominal
4. Pelvis
a. Fraktur dapat menyebabkan perdarahan masif
b. Ekimosis pada panggul belakang dapat mengindikasikan perdarahan retroperitoneal
5. Ekstremitas
a. Perdarahan ekstremitas dapat terlihat atau tersembunyi
b. Fraktur femur dapat menyebabkan kehilangan darah signifikan
6. Sistem Saraf
a. Agitasi dapat dilihat pada tahap awal syok perdarahan
b. Penurunan kesadaran dapat timbul apabila terjadi hipoperfusi serebral

Tanda Vital
Takikardi (denyut nadi > 90 kali per menit) sering diasumsikan sebagai hal yang umum
ditemukan pada pasien hipovolemik, namun pada posisi terlentang tidak dtemukan takikardi
pada mayoritas pasien dengan perdarahan sedang hingga berat. Kenyataannya, dapat lebih
sering ditemukan bradikardi pada perdarahan akut. Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90
mmHg) pada posisi terlentang juga merupakan penanda perdarahan akut yang tidak sensitif.
Hipotensi umumnya timbul pada hipovolemia tahap lanjut, saat kehilangan darah melebihi
30% dari volume darah total. Metode yang digunakan untuk mengukur tekanan darah
merupakan pertimbangan yang penting pada pasien yang mengalami perdarahan, karena pada
tahap aliran rendah, pengukuran noninvasif sering memberikan nilai rendah yang palsu.
Untuk mendapatkan hasil yang sebenarnya, direkomendasikan pemeriksaan intraarterial
langsung untuk memonitor tekanan darah pada pasien yang mengalami perdarahan.


Hematokrit
Penggunaan hematokrit (dan konsentrasi hemoglobin dalam darah) untuk menentukan
luasnya perdarahan akut cukup sering dilakukan meskipun tidak pada tempatnya. Perubahan
kadar hematokrit tidak terlalu berkorelasi dengan kurangnya volume darah dan eritrosit pada
perdarahan akut. Perdarahan akut meliputi kehilangan whole blood, dengan penurunan yang
proporsional pada volume plasma dan eritrosit. Akibatnya, hematokrit tidak akan berubah
secara signifikan pada periode awal setelah darah hilang. Bila resusitasi volume tidak
dilakukan, pada akhirnya hematokrit akan menurun karena hipovolemia mengaktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron, sehingga memicu ginjal untuk mempertahankan natrium dan air
dan menambah volume plasma. Proses ini dimulai pada 8 hingga 12 jam setelah perdarahan
akut dan diperlukan beberapa hari untuk benar-benar terbentuk.

II.3 Penatalaksanaan Syok Hemorargik
Penatalaksanaan pasien dengan syok hemoragik adalah resusitasi cairan. Selain itu dicari
sumber perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan perdarahan yang terjadi. Seperti
halnya resusitasi kasus lain, jalan napas dan pernapasan (airway dan breathing) tetap
diperhatikan.
2,5
Kombinasi dari syok dan gagal napas mengakibatkan mortalitas yang sangat
tinggi. Dengan demikian setiap pasien syok harus diberikan oksigen tinggi menggunakan
masker. Bila pernapasan tidak adekuat, intubasi secepatnya dilakukan.
Perdarahan luar yang terlihat segera dikontrol dengan penekanan lokal. Bila usaha
resusitasi menunjukkan kemungkinan perdarahan intraabdominal atau perdarahan intratorakal
yang sedang berlangsung. Pemeriksaan yang rumit seminimal mungkin dilakukan dan usaha
operasi definitif secepatnya dilakukan.

II.4 Dasar Resusitasi Cairan
Keberhasilan dalam penanganan pasien dengan hipovolemi ditentukan oleh penggantian
cairan dengan cepat, di mana angka kematian akibat syok hipovolemik secara langsung
berhubungan dengan derajat dan durasi hipoperfusi organ. Di bawah ini dibahas mengenai
resusitasi cairan dan hal-hal yang berhubungan.
4


Kanulasi Vena
Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses pemberian cairan. Pada pasien
dengan trauma multipel berat syok hemoragik, akses vena diperlukan untuk mengembalikan
cairan yang hilang. Faktor yang mempengaruhi akses vena adalah letak anatomis vena,
beratnya cedera pada tubuh serta kemampuan dan pengalaman dokter yang menolong. Akses
vena tidak boleh diberikan pada ekstremitas yang terluka. Jika terdapat cedera pada tubuh
dibawah difragma, akses vena setidaknya pada vena yang berhulu pada vena kave superior.
Pada pasien dengan trauma dada dan abdomen, akses vena diberikan pada satu vena di atas
dan satu vena di bawah diafragma. Kateter yang digunakan sebaiknya yang pendek dengan
diameter yang besar. Terdapat kecenderungan untuk melakukan kanulasi vena sentral untuk
resusitasi karena vena yang lebih besar memungkinkan jumlah cairan masuk lebih banyak.
Walaupun begitu laju volume infus tidak bergantung pada besar vena melainkan pada
panjang kateter vena. Kateter yang digunakan pada kanulasi vena sentral panjangnya bisa
mencapai 15-20 cm sementara kateter vena perifer hanya 5 cm saja. Dengan begitu untuk
resusitasi cairan pada hipovolemi, kanulasi vena perifer pendek lebih dipilih dibanding
kanulasi vena sentral yang panjang.
Diameter kateter yang besar akan menghasilkan laju yang lebih cepat. Laju yang
sangat cepat dapat dicapai dengan penggunaan kateter introducer. Panjang kateter ini adalah
12,5-15 cm dengan diameter 2,7-3 mm. Kateter introducer umumnya digunakan pada
pemasangan kateter vena sentral tapi alat ini dapat digunakan bila diinginkan laju infus yang
cepat. Dengan gaya gravitasi, laju cairan viskositas rendah bebas sel lewat kateter ini
mencapai 15 ml/detik, sedikit lebih rendah dari kateter vena biasa dengan diameter 3 mm
yaitu 18 ml/detik.
Menurut acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena yang disarankan
adalah dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan pertama adalah infus perifer seperti
vena pergelangan tangan dan punggung tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena.
Tempat lain yang jarang dipilih adalah vena femoralis dan jugularis. Vena subklavia dan
jugular interna sebaiknya tidak secara rutin diberikan pada syok hipovolemik. Komplikasinya
tinggi dan keberhasilannya rendah karena vena sering kolaps. Akses cairan melalui vena
perifer dapat menjadi sulit pada pasien syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps,
edema, kegemukan, jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka bakar. Pada
keadaan tertentu akses vena sentral dengan kateter diameter besar dapat dicoba pada vena
femoral secara perkutan atau vena seksi. Akses vena subklavia menyediakan akses cepat dan
aman di tangan ahli. Komplikasi tersering adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada
paru kiri karena secara anatomis pleura pada paru kiri lebih tinggi. Komplikasi lainnya seperti
perforasi vena atau arteri atau emboli udara vena. Pada pasien trauma, akses vena jugular
jarang digunakan karena kecurigaan trauma servikal.

Aliran Cairan Resusitasi
Terdapat tiga jenis cairan resusitasi, yaitu:
1. Cairan yang mengandung sel darah merah (whole blood dan konsentrat eritrosit/
packed cells)
2. Cairan yang mengandung molekul-molekul besar yang kemampuan terbatas untuk
keluar dari pembuluh darah (cairan koloid)
3. Cairan yang hanya mengandung elektrolit (natrium dan klorida) dan molekul-molekul
kecil yang dapat keluar masuk pembuluh darah secara bebas (cairan kristaloid)
Laju aliran ketiga jenis cairan resusitasi ini bergantung pada viskositasnya. Cairan yang
mengandung sel darah merah adalah satu-satunya cairan resusitasi yang memiliki viskositas
lebih tinggi dari air. Viskositas yang tinggi ini adalah akibat dari kepadatan eritrosit atau
hematokrit. Dengan demikian laju aliran whole blood lebih rendah dari air dan albumin 5%
sementara aliran packed RBCs adalah yang paling lambat. Aliran yang lambat ini dapat
ditingkatkan dengan pemberian tekanan pada kolf darah menggunakan manset. Dapat juga
ditambahkan cairan garam faal pada infus yang dapat menurunkan viskositas darah.
Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pernyataan bahwa laju aliran koloid lebih rendah
dibanding laju aliran cairan kristaloid atau air. Viskositas adalah fungsi dari densitas sel
sehingga laju aliran cairan tanpa sel sama dengan laju aliran air.

II.5 Strategi Resusitasi
Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdrir atas dua tahap yaitu
resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat (late resuscitation).
6
Pembagian
kedua tahapan ini dikarenakan adanya suatu siklus yang menyebabkan resusitasi tidak dapat
dilakukan hanya di awal saja. Ketika terjadi syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan,
akan terjadi dilusi dari sel darah merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal
tersebut akan menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu, cairan tubuh yang
meningkat akan meningkatkan tekanan darah, dan karena adanya efek reversal dari
vasokonstriksi pembuluh darah akan menyebabkan perdarahan yang semakin banyak
sehingga membutuhkan lebih banyak cairan resusitasi. Pada akhirnya, siklus kenaikan
tekanan darah dalam waktu singkat, perdarahan yang makin banyak, dan kembali ke
hipotensi akan terjadi terus menerus bila resusitasi tidak dilakukan dalam dua tahap.
Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung pada pasien.
Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat dikontrol. Karena dilakukan
pada kondisi yang berbeda, maka tujuan dari kedua resusitasi ini berbeda.
Tujuan dari resusitasi dini adalah:
6

- Mempertahankan tekanan darah sistolik pada level 80-100 mmHg.
- Mempertahankan hematokrit 25-30%.
- Mempertahankan PT dan PTT pada kisaran normal.
- Mempertahankan trombosit > 50.000.
- Mempertahankan kalsium terionisasi serum dalam batas normal.
- Mempertahankan suhu > 35C.
- Mempertahankan fungsi oksimetri denyut.
- Mencegah peningkatan serum laktat.
- Mencegah perburukan asidosis.
Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase selanjutnya yaitu fase lambat.
Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah:
6

- Mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.
- Memperahankan hematokrit di atas batas transfusi individu.
- Normalisasi status koagulasi.
- Normalisasi keseimbangan elektrolit.
- Normalisasi temperatur tubuh.
- Mengembalikan output urin ke batas normal.
- Maksimalisasi curah jantung dengan metode invasif maupun non invasif.
- Memperbaiki asidosis sistemik.
- Menurunkan laktat ke batas normal.
Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap dilakukan sampai
diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat.
Tujuan utama penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah mempertahankan
ambilan oksigen (VO
2
) oleh jaringan dan mempertahankan kelangsungan metabolisme
aerobik.
4
Cairan pengganti logikanya sesuai dengan cairan yang keluar atau yang mendekati.
Kontroversi masih terjadi seputar penggunaan cairan kristaloid maupun koloid sebagai
pengembang plasma. Pendukung koloid berpendapat bahwa resusitasi menggunakan koloid
lebih cepat dan aman bagi paru-paru. Sementara pengguna kristaloid berpendapat bahwa
kristaloid lebih tepat menangani syok karena menggantikan cairan intravaskular dan
ekstravaskular (karena pada syok terjadi pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid
lebih murah walaupun dibutuhkan volume yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan
kristaloid agar efek resusitasinya sama dengan koloid). Cairan koloid memiliki efek alergi
lebih sedikit. Walaupun begitu tidak terdapat bukti yang mengharuskan seseorang
menggunakan salah satu cairan. Penggunaan kedua cairan bersama-sama sering digunakan
dalam klinis sehari-hari.
Kehilangan darah akut mempengaruhi dua komponen yaitu curah jantung dan konsentrasi
hemoglobin dalam darah. Dengan begitu resusitasi mencakup bagaimana cara meningkatkan
curah jantung dan mengoreksi kekurangan hemoglobin.

Meningkatkan Curah J antung
Konsekuensi dari curah jantung yang menurun jauh lebih membahayakan dari konsekuensi
anemia, jadi prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien dengan perdarahan adalah
meningkatkan curah jantung.
Cairan resusitasi dan curah jantung
Kemampuan setiap jenis cairan untuk meningkatkan curah jantung dinilai dengan mengukur
dan membandingkan infus whole blood (1 unit = 450 ml), packed cells (2 unit = 500 ml),
dextran-40 (500 ml). Didapatkan efek infus ketiga cairan ini selama satu jam dalam
meningkatkan curah jantung adalah sama. Sedangkan kemampuan cairan Ringer laktat (1 L)
adalah dua kali cairan lainnya. Bila dibandingkan volume per volume maka cairan koloid
adalah yang paling efektif. Koloid dua kali lebih efektif dibanding whole blood, enam kali
lebih efektif dari packed cells dan delapan kali lebih efektif dibanding cairan kristaloid (RL).
Kemampuan darah yang terbatas untuk meningkatkan curah jantung adalah karena efek
viskositas darah. Jika peningkatan curah jantung adalah prioritas pertama dalam
penatalaksanaan perdarahan akut maka darah bukanlah cairan yang dipilih sebagai terapi
awal resusitasi cairan.
Cairan koloid dan kristaloid
Kedua jenis cairan ini memiliki viskositas mendekati air karena keduanya tidak mengandung
sel. Perbedaan keduanya adalah pada distribusi volume cairannya. Cairan kristaloid tersusun
atas natrium yang terdistribusi merata pada cairan ekstraselular. Plasma darah mewakili 20%
cairan ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya 20%
cairan yang masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan interstisial. Cairan
koloid di lain pihak akan menambah volume plasma karena molekul koloid yang besar tidak
dengan mudah keluar pembuluh darah. Sekitar 75 atau 80% cairan infus koloid akan tetap
berada di ruang vaskular dan menambah volume plasma paling tidak pada jam-jam awal
infus. Peningkatan curah jantung adalah efek dari peningkatan preload (peningkatan volume
darah) dan efek penurunan afterload (efek dilusi dari viskositas darah). Berikut poin penting
dalam resusitasi cairan:
Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan kristaloid untuk
meningkatkan curah jantung
Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung sehingga
sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi
Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid menambah
volume interstisial
Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus cairan
kristaloid setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan koloid

Memperkirakan volume cairan total
Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan menghitung berat
badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).
Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah < 15% volume
darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah, kelas III bila kehilangan
darah 30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah lebih dari 40% volume darah.
Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal dikali %
kehilangan darah
Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang dibutuhkan dengan
anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah 100% volume infus whole blood, 50-
75% volume infus cairan koloid dan 20-25% volume infus cairan kristaloid. Volume
resusitasi setiap cairan dihitung dari defisit volume dibagi persen retensi cairan. Sebagai
contoh jika defisit volume 2 L dan cairan resusitasi yang digunakan adalah koloid (50-
75% tertahan di intra vaskular) maka volume resusitasi adalah 2/0,75 = 3 L hingga 2/0,5
= 4 L cairan koloid.
Tabel 4. Estimasi Volume Resusitasi
Tahapan Determinasi Jumlah Volume
1. Estimasi volume darah normal (BV) BV = 66mL/kg ()
= 60 mL/kg ()
2. Estimasi % volume darah yang hilang Kelas I: < 15%
Kelas II: 15-30%
Kelas III: 30-40%
Kelas IV: > 40%
3. Kalkulasi defisit volume (VD) VD = BV x % BV yang hilang
4. Determinasi volume resusitasi (RV) RV = VD x 1 (koloid)
= VD x 3 (kristaloid)
Setelah volume penggantian total dihitung, kecepatan penggantian cairan dihitung
berdasarkan kondisi klinis pasien.

Pemantauan Resusitasi
Selama resusitasi perlu dipantau laju jantung, tekanan darah, frekuensi napas, urin yang
keluar, status mental dan suhu tubuh. Vena sentral dapat digunakan untuk memantau preload
pada ventrikel kanan. Pemeriksaan laboratorium rutin termasuk diantaranya gas darah,
elektrolit dan keseimbangan asam basa, fungsi hati dan ginjal, gula darah, hematologi dan
koagulasi rutin. Kadar laktat cukup sering digunakan untuk mengetahui efektivitas dukungan
kardiovaskular.

II.6. Transfusi Darah
Tujuan dasar pemberian transfusi darah adalah oksigenasi jairngan tubuh. Dengan
meningkatkan nilai Hb maka kapasitas pengangkutan oksigen ikut meningkat. Keadaan itu
menjamin suplai oksigen ke jaringan yang mengalami hipoksia.

Rekomendasi transfusi sel darah merah
9

1. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb <7g/dl,
terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimtomatik dan/atau
penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah
dapat diterima. (Rekomendasi A)
2. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan
hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium.
(Rekomendasi C)
3. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu,
misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen lebih tinggi
(contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).
(Rekomendasi A)
4. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb 11 g/dl;
bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dl (seperti pada anemia
bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang
membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi adalah Hb 13
g/dl. (Rekomendasi C)

Rekomendasi transfusi trombosit
9

1. Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung trombosit
<50.000/l, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi
<100.000/l. Pada kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada penatalaksanaan
masing-masing. (Rekomendasi C)
2. Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/lpada pasien yang akan
menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif.
(Rekomendasi C)
3. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan. (Rekomendasi
C)

Rekomendasi transfusi plasma beku segar (fresh frozen plasma)
9

1. Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibisi koagulasi baik yang
didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi.
(Rekomendasi C)
2. Netralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang
mengancam nyawa. (Rekomendasi C)
3. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfuse
masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.
(Rekomendasi C)

Rekomendasi transfusi kriopresipitat
9

1. Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani prosedur
invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan. (Rekomendasi C)
2. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan
atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani
operasi. (Rekomendasi C)

Algoritma Transfusi Darah Perioperatif
10

1. Evaluasi preoperatif
Evaluasi preoperatif menilai riwayat kesehatan/penyakit sebelumnya, melakukan
pemeriksaan fisik dan menanyakan faktor risiko pasien, misalnya penyakit kardiorespirasi
atau koagulopati. Pada koagulopati, pemakaian warfarin, clopidogrel, dan aspirin dapat
mempengaruhi komponen darah transfusi. Selain itu, evalusai preoperatif juga perlu
menilai adanya penyakit darah kongenital atau didapat, penggunaan vitamin atau
suplemen herbal yang dapat mengganggu koagulasi, serta pemakaian obat seperti
aprotinin yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Pasien perlu diberi tahu (informed
consent) terhadap segala risiko atau komplikasi yang timbul akibat reaksi transfusi.
a. Anamnesis
Mengkaji riwayat kesehatan/penyakit pasien
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Kondisi pasien
b. Tes laboratorium
Hb atau Ht
Profil koagulasi
2. Persiapan preoperatif
a. Langkah-langkah untuk mencegah perdarahan
Menghentikan antikoagulasi
Menunda operasi sampai efek obat yang sebelumnya diminum (warfarin,
clopidrogel, aspirin) menurun
b. Mencegah/mengurangi jumlah darah transfusi allogenik
Obat untuk mencegah anemia perioperatif (eritropoietin dan vitamin K)
Mempersiapkan darah autolog
Obat untuk merangsang koagulasi dan meminimalkan perdarahan (aprotinin, -
asam aminokaproat, asam traneksamat)
3. Intervensi intraoperatif dan postoperatif
a. Transfusi sel darah merah
Memantau perfusi dan oksigenasi (tekanan darah, frekuensi nadi, suhu, dan
saturasi oksigen). Echokardiografi bila memungkinkan.
Memantau indikasi transfusi (apakah ada iskemia jantung, Hb, Ht, profil
koagulasi)
Transfusi dilakukan bila Hb <6 g/dl. Tidak diberikan bila Hb masih >10 g/dl. Bila
Hb antara 6-10 g/dl, menentukan perlu tidaknya transfusi adalah dengan melihat
apakah ada organ iskemia, potensi perdarahan berlanjut, status volume
intravaskular pasien, dan faktor risiko komplikasi terhadap oksigenasi inadekuat.
Transfusi eritrosit allogenik
Transfusi darah autolog
b. Tatalaksana koagulopati
Menilai lapangan pembedahan dan monitoring laboratorium terhadap tanda
koagulopati. Lapangan pembedahan perlu dinilai bersamaan antara dokter bedah dan
anestesiologis, apakah terjadi perdarahan mikrovaskular yang masif. Penilaian
perdarahan masif perlu juga dinilai dari darah suction, spons, dan drainase.
Laboratorium: trombosit, PT dan APTT. Tes lain adalah kadar fibrinogen, fungsi
trombosit, tromboelastogram, D-dimer, dan thrombin time.
Transfusi trombosit
Transfusi trombosit jarang diindikasikan bila trombosit >100 x 10
9
/l dan baru
diberikan bila <50 x 10
9
/l. Indikasi lain adalah bila didapatkan disfungsi
trombosit. Pada kasus trombositopenia yang terjadi karena dekstruksi trombosit
seperti heparin-induced thrombocytopenia, idiopathic thrombocytopenic purpura,
thrombotic thrombocytopenic purpura, transfusi trombosit profilaksis tidak
/efektif.
Transfusi FFP
Bila mungkin, uji koagulasi (PT dan APTT) dilakukan sebelum memberikan FFP.
Transfusi FFP tidak diberikan bila PT dan APTT normal serta tidak diindikasikan
untuk meningkatkan volume plasma. Indikasi FFP adalah (1) perdarahan
mikrovaskular masif (koagulopati) dengan PT >1,5 kali, INR >2 kali, atau APTT
>2 kali dari normal; (2) perdarahan mikrovaskular masif akibat sekunder dari
defisiensi faktor koagulasi atau ketika PT/APTT tidak dapat diperiksa pada saat
itu; (3) penghentian tiba-tiba terapi warfarin; (4) diketahuinya faktor koagulasi
yang mengalami defisiensi tetapi komponen transfusi tersebut tidak tersedia; (5)
resistensi heparin (defisiensi antitrombin III) pada pasien yang memerlukan
heparin.
Transfusi kriopresipitat
Sebelum memberikan kriopresipitat, kadar fibrinogen perlu diperiksa. Transfusi
kriopresipitat jarang diindikasikan bila kadar fibrinogen >150 mg/dl. Indikasi (1)
kadar fibrinogen <80-100 mg/dl dengan perdarahan mikrovaskular masif, (2)
defisiensi fibrinogen kongenital. Satu unit kriopresipitat mengandung 150-250 mg
fibrinogen. Satu unit FFP mengandung 2-4 mg fibrinogen/ml. Oleh karena itu,
satu unit FFP memberikan jumlah fibrinogen yang sama dengan 2 unit
kriopresipitat.
Obat untuk mengurangi perdarahan masif (desmopresin, atau hemostatik topikal
seperti lem fibrin, gel trombin)
Patogenesis dan Patofisiologi Syok Kardiogenik
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitasmiokard yang
mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah jantung, tekanan darahrendah,insufisiensi
koroner, dan selanjutnya terjadi penurunan kontraktilitas dan curah jantung. Syok
kardiogenik ditandai dengan gangguan fungsi ventrikel kiri, yangmengakibatkan gangguan
berat pada pefusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok
kardiogenik oleh infark miokardium akut adalahhilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada
ventrikel kiri. Selain dari kehilangan masif jaringan otot ventrikel kiri juga ditemukan
daerah-daerah nekrosis fokal diseluruhventrikel. Nekrosis fokal diduga merupakan kibat dari
ketidak seimbangan yang terus terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen
jantung oleh aktivitas responkompensatorik seperti perangsangan simpatik. Sebagai akibat
dari proses infark,kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat
terganggu.Ventrikel kiri gagal bekerja sebagai pompa dan tidak mampu menyediakancurah
jantung yang memadai untuk mempertahankan perfusi jaringan. Maka dimulailahsiklus
berulang. Siklus dimulai dengan terjadinya infark yang berlanjut dengangangguan fungsi
miokardium. Gangguan fungsi miokardium yang berat akanmenyebabkan menurunnya curah
jantung dan hipotensi arteria. Akibatnya terjadinyaasidosis metabolik dan menurunnya
perfusi koroner, yang lebih lanjut mengganggufungsi ventrikel dan menyebabkan terjadinya
aritmia
Patogenesis Syok Septik
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif yang berada dalam
darah/endotoksin. Jamur dan jenis bakteri juga dapat menjadi penyebabsepticemia. Syok
septik sering diikuti dengan hipovolemia dan hipotensi. Hal ini dapatdisebabkan karena
penimbunan cairan disirkulasi mikro, pembentukan pintasanarteriovenus dan penurunan
tahanan vaskuler sistemik, kebocoran kapiler menyeluruh,depresi fungsi miokardium.
Beberapa faktor predisposisi syok septic adalah trauma,diabetes, leukemia, granulositopenia
berat, penyakit saluran kemih, terapikortikosteroid jangka panjang, imunosupresan atau
radiasi. Syok septik sering terjadi pada bayi baru lahir, usia di atas 50 tahun, dan penderita
gangguan sistem kekebalan



Patogenesis Syok Neurogenik
Syok neurogenik disebut juga syok spinal merupakan bentuk dari syok distributif
.Syok neurogenik terjadi akibat kegagalan pusat vasomotor karena hilangnyatonus pembuluh
darah secara mendadak di seluruh tubuh sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah
pada pembuluh darah pada capacitance vessels. Hasil dari perubahan resistensi pembuluh
darah sistemik ini diakibatkan oleh cidera pada sistemsaraf (seperti : trauma kepala, cedera
spinal atau anestesi umum yang dalam). Syok neurogenik juga disebut sinkop.
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yangmengakibatkan terjadinya
vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus sehinggaaliran darah ke otak berkurang.
Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhulingkungan yang panas, terkejut, takut, atau
nyeri hebat. Pasien merasa pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan,
umumnya keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan. Trauma kepaa yang
terisolasi tidak akanmenyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus dicari
penyebab yang lain.Trauma pada medulla spinalis akan menyebabkan hipotensi akibat
hilangnya tonussimpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik adalah hipotensi tanpa
takikardi atau vasokonstriksi perifer.
Stadium-Stadium Syok Syok memiliki beberapa stadium sebelum kondisi menjadi
dekompensasi atauirreversibel sebagaimana dilukiskan dalam gambar berikut:
Stadium 1:
anticipation stage




Stadium 2.
pre-shock slide


Compensated shock
bisa berangkat dengan tekanan darah yang normal rendah,suatu kondisi yang disebut
normotensive, cryptic shock
. Banyak klinisi gagal
mengenali bagian dini dari stadium syok ini.
Compensated shock
memiliki artikhusus pada pasien DBD dan perlu dikenali dari tanda-tanda berikut:
Capillaryrefill time
> 2 detik; penyempitan tekanan nadi, takikardia, takipnea, akraldingin
Stadium 4:
decompensated shock, reversible


Di sini sudah terjadi hipotensi. Normotensi hanya bisa dipulihkan dengan cairan intravena
dan/atau vasopresor.
Stadium 5.
decompensated irreversible shock





Syok anafilaktik
AnamnesisPada anamnesis didapatkan zat penyebab anafilaksis (injeksi, minum obat,disengat
hewan, makan sesuatu atau setelah test kulit ), timbul biduran mendadak, gataldikulit, suara
parau sesak ,sekarnafas, lemas, pusing, mual,muntah sakit perut setelahterpapar sesuatu.
Pemeriksaan fisik:
1.Keadaan umum : baik sampai buruk
2.Kesadaran: composmentis sampai koma
3.Tensi : hipotensi,
4.Nadi :takikardi,
5.Kepala dan leher : sianosis, dispneu, konjungtivitis, lakrimasi, edema periorbita, perioral,
rinitis
6.Thorax aritmia sampai arrest pulmo bronkospasme, stridor, rhonki dan
wheezing
,abdomen : nyeri tekan, bising usus meningkat7.Ekstremitas : urtikaria, edema.Pemeriksaan
Penunjang:
1.Pemeriksaan Tambahan Hematologi : Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah seldarah
putih yang banyak atau sedikit, dan jumlah faktor pembekuan yang menurun.Jika terjadi
gagal ginjal, kadar hasil buangan metabolik (seperti urea nitrogen)dalam darah akan
meningkat. Hitung sel meningkat hemokonsentrasi,trombositopenia eosinofilia naik/ normal /
turun. Biakan darah dibuat untuk menentukan bakteri penyebab infeksi.
2.Analisa gas darah menunjukkan adanya asidosis dan rendahnya konsentrasioksigen.
3.X foto : Hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis karena mukus plug,
4.EKG : Gangguan konduksi, atrial dan ventrikular disritmia atau menunjukkan
ketidakteraturan irama jantung, menunjukkan suplai darah yang tidak memadai ke otot
jantung.

Diferensial Diagnosis
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti :
1.Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan,
pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal
nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanandarahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.

2.Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atautanpa
penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi
saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
3. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat anti diabetes atau sebab lain.Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darahkadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas.Sedangkan pada reaksi
anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
4.Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atausianosis.
Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas
dijumpai pada reaksi anafilaksis.
5.Carsinoid syndrome
Pada sindrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala,diare,
serangan sesak napas seperti asma.
6.Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapamenit
setelah mengkonsumsi MSG (monosodium glutamat) lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih
dari 5gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah,kecepatan denyut nadi, dan
pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yangdiberi makanan tanpa MSG.
7.Asma bronkial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang berbunyi
ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu,aktivitas fisik, dan
makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
8.Rinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidungyang
hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus, mis. debu,terutama di
udara dingin.dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA





Syok neurogenik
Anamnesis
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik darianamnesis
biasanya terdapat cedera pada sistem saraf (seperti: trauma kepala, cideraspinal, atau anestesi
umum yang dalam).
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik terdapat tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat,
bahkan dapat lebih lambat (bradikardi) kadang disertai denganadanya defisit neurologis
berupa quadriplegia atau paraplegia

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1.Darah (Hb, Ht, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum,kreatinin, glukosa
darah.2.Analisa gas darah3.EKG
Diferensial Diagnosis
1. Semua jenis syok.
2. Sinkop (pingsan)
3. Hipoglikemia

Syok kardiogenik
Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan mengetahui adanya tanda-tandasyok dan dijumpai
adanya penyakit jantung, seperti infark miokard yang luas,gangguan irama jantung, rasa nyeri
daerah torak, atau adanya emboli paru, tamponade jantung, kelainan katub atau sekat jantung
Syok kardiogenik ditandai dengan tekanan sistolik rendah (kurang dari 90mmHg), diikuti
menurunnya aliran darah ke organ vital :
1.Produksi urin kurang dari 20 ml/jam
2.Gangguan mental, gelisah, sopourus
3.Akral dingin
4.Aritmia yang serius, berkurangnya aliran darah koroner, meningkatnya laktatkardial.
5. Meningkatnya adrenalin, glukosa,
free fatty acid cortisol
, rennin, angiotensin plasma serta menurunnya kadar insulin plasma Pada keadaan lanjut akan
diikuti hipoksemia primer ataupun sekunder, terjadikarena ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi, hipovolemia, dan asidosis metabolik.Hipovolemia merupakan komplikasi yang
sering terjadi pada syok kardiogenik,disebabkan oleh meningkatnya redistribusi cairan dari
intravaskular ke interstitiel, stresakut, ataupun penggunaan diuretika.
Kriteria hemodiamik syok kardiogenik adalah hipotensi terus menerus (tekanandarah sistolik
< 90 mmHg lebih dari 90 menit) dan bekurangnya cardiac index (<2,2/menit per m2) dan
meningginya tekanan kapiler paru (>15 mmHg)
Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai berikut:
1.Tensi turun : sistolik < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30-60 mmHg darisemula,
sedangkan tekanan nadi < 30 mmHg.
2.Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2.
3.Tekanan di atrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun, normal,rendah sampai
meninggi.
4.Tekanan diatrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai meninggi.
5.Resistensi sistemis.
6.Asidosis

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang segera dilakukan :
1.Serum elektrolit, fungsi ginjal dan fungsi hepar.
2.Jumlah sel darah merah, leukosit (infeksi), trombosit (koagulopati)
3.Enzim Jantung (Creatinine Kinase, troponin, myoglobin, LDH)
4.Analisa gas darah arteri, dapat menggambarkan keseimbangan asam-basa dankadar
oksigen. Defisit basa penting, menggambarkan kejadian dan derajat renjatan,harus dipantau
terus selama resusitasi.
5.Pemeriksaan serial kadar laktat, menggambarkan hipoperfusi dan prognosis.
6.Pemeriksaan yang harus direncanakan adalah EKG, ekokardiografi. foto polos dada

Syok sepsis
Pada anamnesis sering didapatkan riwayat demam tinggi yang berkepanjangan,sering
berkeringat dan menggigil, menilai faktor resiko menderita penyakit menahun,mengkonsumsi
antibiotik jangka panjang, pernah mendapatkan tindakanmedis/pemebedahan.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan demam tinggi, akral dingin, tekanan darah turun < 80
mmHg dan disertai penurunan kesadaran
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah putih yang
banyak atau sedikit, dan jumlah faktor pembekuan yang menurun. Jika terjadi gagal ginjal,
kadar hasil buangan metabolik (seperti urea nitrogen) dalam darah akan meningkat.
Analisagas darah menunjukkan adanya asidosis dan rendahnya konsentrasi
oksigen.Pemeriksaan EKG jantung menunjukkan ketidakteraturan irama jantung,
menunjukkansuplai darah yang tidak memadai ke otot jantung. Biakan darah dibuat
untuk menentukan bakteri penyebab infeksi.
Diferensial Diagnosis
-Semua penyakit infeksi

Syok kardiogenik
Prehospital care: bertujuan untuk meminimalisir iskemik dan syok yang sedangterjadi. Pasien
dipasang akses intravena, oksigen high flow, dan monitor jantung/ EKG.Dengan EKG dapat
segera dideteksi terjadinya ST elevasi yang terjadi pada infark miokard. Obat-obatan
inortropik sebaiknya dipersiapkan. Bila perlu, dapat dilakukan pemberian ventilasi tekanan
positif dan intubasi. Pemasangan CPAP (Continuous positive airway pressure ) atau BIPAP (
bilevel positive airway pressure) dapat dipertimbangkan. Berikut adalah algoritme sindroma
koroner akut.



Berdasarkan penelitian yang terdahulu, terapi pilihan untuk syok tipe ini adalah
percutaneus coronary intervention (PCI) atau bypass arteri koroner. Dengan terapi ini maka
angka kematian dapat turun dalam 1 tahun pertama. PCI terbaik dilakukan saatonset dengan
kejadian infark sekitar 90 menit sampai 12 jam pertama. Jika fasilitasseperti ini tidak ada,
maka terapi dengan trombolitik dapat dipertimbangkan. Beberapa penelitian menunjukkan
pemberian trombolitik pada tekanan darah yang rendah tidak dapat mengakibatkan lisis
thrombus di pembuluh darah. Tatalaksana dimulai dengan manajemen ABC. Pada pasien
yang sangat sesak dapat dipertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik. Pemberian
vasopresor intravena baik untuk meningkatkan inortropik dan memaksimalkan perfusi ke
miokardium yang iskemik. Yang perlu diperhatikan pemberian vasopresor itu sendiri dapat
berakibat peningkatan denyut jantung yang pada akhirnya akan memperluas infark yang telah
terjadi. Sehingga penggunaan vasopresor di sini harus digunakan secara hati-hati. Beberapa
vasopresor yang dapat diberikan seperti:
-Dopamin, dengan dosis tinggi mengakibatkan peningkatan konsumsioksigen miokard, dosis
yang digunakan 5-10 mcg/kg/min-Dobutamin selain memiliki sifat inortropik tetapi juga
memiliki efek vasodilatasi sehingga dapat mengurangi preload dan afterload-Norepinefrin per
infus dapat diberikan pada syok kardiogenik yang refrakter, obat ini dapat mengakibatkan
peningkatan afterload, dosisyang dapat digunakan 0.5 mcg/kg/minPreparat nitrat atau morfin
digunakan untuk analgetik, tetapi perlu diingat bahwa keduanya dapat mengakibatkan
hipotensi sehingga jangan sampai memperparahkeadaan syok pasien dengan pemberian
preparat ini. Alat yang dapat membantu pasiendalam syok kardiogenik secara mekanis yakni
intraaortic balloon pump (IABP) bermanfaat terutama pada syok kardiogenik yang sudah
tidak dapat ditangani denganobat-obatan.
Antiagregasi trombosit seperti aspirin tersedia dalam 81 mg, 325 mg, 500 mg,dapat
menurunkan mortalitas akibat infark miokard. Vasodilator yang juga dapatdigunakan adalah
nitrogliserin IV yang bekerja dengan merelaksasikan otot polos pembuluh darah sehingga
menurunkan resistensi perifer.

Beberapa komplikasi syok kardiogenik
Henti jantung-Disritmia-Gagal ginjal-Kegagalan multiorgan-Aneurisma ventrikel-Sekuele
trombo embolik -Stroke-Kematian
Syok neurogenik
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif sepertifenilefrin dan
efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena
kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.
1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisiTrendelenburg).2.
Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya denganmenggunakan
masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan
endotracheal tube
dan ventilator mekanik sangat dianjurkan.Langkah ini untuk menghindari pemasangan
endotracheal yang darurat jika terjadidistres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga
dapat menolongmenstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari
otot-otot respirasi.
3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasicairan. Cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat
250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadaptekanan darah, akral, turgor kulit,
dan urin output untuk menilai respon terhadapterapi.4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer
tidak segera pulih, berikan obat-obatvasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra
bila ada perdarahan sepertiruptur lien) :
Dopamin
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan
norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor terjadinya
hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagaldalam menaikkan tekanan
darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diseraptidak sempurna jadi sebaiknya
diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi
perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini
dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita
hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus
Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolismecepat dalam
badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum
pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik.
Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada
pasien syok neurogenic

Syok septik
Pada SIRS (systemic inflammation response syndrome)
dan sepsis, bila terjadisyok ini karena toksin atau mediator penyebab vasodilatasi. Prinsip
utama semua syok tetap ABC. Pengobatan berupa resusitasi cairan segera dan setelah kondisi
cairanterkoreksi, dapat diberikan vasopressor untuk mencapai MAP optimal. Perfusi
jaringandan oksigenasi sel tidak akan optimal kecuali bila ada perbaikan preload. Dapat
dipakai dopamin, norepinephrine dan vasopressin. Untuk menurunkan suhu tubuh yang
hiperpireksia dapat diberikan antipiretik. Pengobatan lainnya bersifat simtomatik.Pengobatan
kausal dari sepsis.

Pemilihan antibiotik untuk sepsis biasanya secara empiris dapat digunakan:vankomisin,
ceftazidim, cefepime, ticarcilin, pipercilin, imipenem, meropenem,cefotaxim, klindamisin,
metronidazole.

Syok anafilaktik
Penanggulangan syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada
keadaan gawat. Sebenarnya, pengobatan syok anafilaktik tidaklah sulit,asal tersedia obat-obat
emerjensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin. Hal ini
diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian atau
cacat organ tubuh menetap
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zatkimia, baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
1.Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggidari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usahamemperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah.
2.Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:



A.
Airway
'penilaian jalan napas'. Jalan napas harus dijaga tetap bebas,tidak ada sumbatan sama sekali.
Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke
belakangmenutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke
depan, dan buka mulut.
B.
Breathing support,
segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui
mulut ke mulut atau mulut kehidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring,
dapatmengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen.Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolongdengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atautrakeotomi.
C.
Circulation support
, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.karotis, atau a. femoralis), segera lakukan
kompresi jantung luar.Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan
hidupdasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
3.Segera berikan adrenalin 0.3--0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasaatau 0.01
mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapatdiulang tiap 15 menit
sampai keadaan membaik. Beberapa penulismenganjurkan pemberian infus kontinyu
adrenalin 2--4 ug/menit.
4.Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang memberi respons,
dapat ditambahkan aminofilin 5--6 mg/kgBB intravena dosisawal yang diteruskan 0.4--0.9
mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
5.Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau deksametason 5--10
mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau
syok yang membandel.
6.Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat.Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat
terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3--4 kali dari perkiraankekurangan
volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakanterdapat kehilangan cairan
20--40% dari volume plasma. Sedangkan biladiberikan larutan koloid, dapat diberikan
dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu
dipikirkan juga bahwalarutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin.
7.Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalauterpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian sudah harussemaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu
dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
8.Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapiharus
diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan penderitayang telah
mendapat terapi adrenalin lebih dari 2--3 kali suntikan, harus dirawatdi rumah sakit semalam
untuk observasi
Komplikasi syok anafilaktik: Pada syok anafilaktik, bisa terjadi bronkospasme
yangmenurunkan ventilasi.
















DAFTAR PUSTAKA
1.Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency Surgery.
2006. 1-14
2.Martel MJ. Hemorrhagic shock. J Obstet Gynaecol Can. Vol 24 (6). 2002. 504-11
3.Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic shock:Helpful or
harmful? Curr Opin Crit Care 7:422, 2001
4.Sjamsuhidayat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. 119-24
5.Udeani J. Shock, Hemorrhagic. 2008 [cited November 26th 2011
6.Brandler ES, editor. Cardiogenic shock in emergency medicine [monograph onthe Internet].
7.Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]
Lenneman A, Ooi HH, editors. Cardiogenic shock. [monograph on theInternet].
Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]
8.Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan syok pada dewasa. [Clinical updatesemergency
case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 2008
9.Japardi, Iskandar. 2002. Manifestasi Neurologik Shock Sepsis

Anda mungkin juga menyukai