Anda di halaman 1dari 14

Rangkuman

Hukum Perbankan
Syariah

Oleh :Arya Pratama Putra
NPM :2011.74201.03275
Semester :5



Fakultas Hukum
Universitas Trunajaya Bontang
Kalimantan Timur
A. PENGERTIAN PERBANKAN SYARIAH

Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari
oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau
yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan
haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha
media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan
konvensional.
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan
pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang sesuai dengan syariah. Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem
perbankan syariah antara lain :
Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman
dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil
usaha institusi yang meminjam dana.
Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya
merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai
intrinsik.
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak
harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah
transaksi.
Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam
islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

B. Sejarah Perbankan syariah

1. 1 Praktek Bank Pada Zaman Rasulullah SAW

Secara Umum Bank adalah lembaga yang memiliki tiga fungsi utama yaitu menerima
simpanan uang, meminjamkan uang dan memberikan jasa pengiriman uang. Di dalam
sejarah perekonomian umat Islam, pembiayaan yang dilakukan sesuai dengan akad syariah
telah dilakukan sejak zaman Rasululllah SAW. Praktek-praktek seperti menerima titipan
harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta
melakukan pengiriman uang telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW. Rasulullah
SAW yang dikenal dengan julukan Al-Amin, dipercaya oleh masyarakat Makkah menerima
simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, beliau meminta Ali
bin Abi Thalib r.a untuk mengembalikan semua titipan itu kepada pemiliknya. Dalam konsep
ini, pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan.
Seorang sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin Awwam r.a memilih tidak menerima
titipan harta, ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini
menimbulkan implikasi yang berbeda yaitu pertama, dengan mengambil uang itu sebagai
pinjaman ia mempunyai hak untuk memanfaatkan, kedua karena bentuknya pinjaman maka
ia wajib mengembalikan secara utuh. Dalam riwayat Ibnu Abbas. r.a juga pernah melakukan
pengiriman uang ke Kufah dan Abdullah bin Zubair r.a melakukan pengiriman uang dari
Makkah ke adiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak. Pada masa sekarang perihal ini
biasa kita sebut dengan Transfer.
Penggunaan cek juga tela dikenal luas seiring dengan meningkatnya lalu lintas
perdagangan antara negeri Syam dan negeri Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali
dalam setahun. Bahkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab r.a menggunakan cek
untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan cek ini,
mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu di impor dari Mesir. Disamping itu
pemberian modal kerja seperti mudharabah, muzaraah dan musawah juga telah dikenal
sejak awal diantara kaum muhajirin dan anshor.
Beberapa Istilah Perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqh, seperti
istilah kredit (Inggris : credit, Romawi : credo) yang diambil dari istilah qord. Credit dalam
bahasa Inggris berarti meminjamkan uang, credo berarti kepercayaan sedangkan qord
dalam fiqh beraarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu juga dengan istilah
cek (Inggris :check, Prancis : cheque) yang diambil dari istilah Suq, Suq dalam bahasa Arab
berarti pasar, sedangkan cek adalah alat pembayaran yang biasanya digunakan di pasar.
Gagasan awal diadakanya bank islam adalah untuk menghindari riba, pada masa
Rasulullah, yang membawa risalah Islam bagi umat manusia, telah memberikan rambu-
rambu tentang bentuk-bentuk perdagangan mana yang dapat dikembangkan pada masa
berikutnya. Serta bentuk-bentuk usaha mana yang yang dilarang karena tidak sesuai
dengan ajaran Islam. Salah satu larangan itu adalah usaha yang mengandung riba, dimana
ayat tentang larangan riba ini diperkirakan turun menjelang Rasulullah wafat pada usia
sekitar 60 tahun. Sehingga beliau tidak sempat menjelaskan secara rinci tentang riba ini.
Dalam hubungan inilah peranan ijtihad para cendekiawan muslim sangat diharapkan untuk
menggali konsepsi dasar tentang sistem perbankan modern yang sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah.
Dengan demikian jelas, bahwa meskipun pada zaman Rasulullah secara formal
belum ada lembaga perbankan, namun dari realitas amalan para sahabat pada saat itu
menggambarkan fungsi lembaga Perbankan. Bahkan akad-akad yang dilakukan oleh para
sahabat pada saat itu, seperti fungsi penitipan, memberikan pinjaman, pengiriman uang,
melakukan pembiayaan modal kerja, dan lain-lainyang menjadi prinsip-prinsip utama dalam
mengembangkan Perbankan Syariah. Di zaman Rasulullah SAW fungsi-fungsi tersebut
dilakukan oleh perorangan dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi.
Pada zaman bani Abbasiyah ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu.
Fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu telah dikenal sejak zaman Bani
Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika banyak beredar jenis mata uang
pada saat itu, sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antar mata uang. Hal ini
diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlaianan
sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini
disebut naqid, sarraf, dan jihbiz.
Istilah Jihbiz itu sendiri mulsi dikenal sejak Khalifah Muawiyah (661-680) ynag
sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan
Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah.
Kemajuan Praktik perbankan pada zaman Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah ini
ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan
peranan bankir telah meliputi tiga aspek yaitu menerima depositi, menyalurkan dan
mentransfer uang.Sehingga dari masa inilah istilah-istilah perbankan mulai dikenal luas oleh
umat islam pada saat itu.

1. 2 Sejarah Hukum Perbankan Islam di dunia Internasional
Gagasan awal mengenai Bank Islam memang sempat memberikan banyak komentar dari
beberapa kalangan yang saat itu banyak orang menilai mustahil dan tidak akan dapat
memberikan keuntungan jika mendirikan, karena memang dalam system manajemen
oprasinya ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, Terbukti awal abad ke 20
merupakan masa kebangkitan Islam dari ketertidurannya ditengah pergolakan dunia, Islam
mampu mengimplementasikan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari dengan mendirikan
bank yang berbasis syariah.
Dalam kancah Internasional, Mesir selain tempat beridirnya Bank Islam pertama kali
juga sebagai pelopor perkembangan perbankkan Islam pertama kali, yang memang
sebelumnya tercetus dari konsep para pemikir-pemikir Islam yaitu Anwar Qureshi (1946),
Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952), dengan menawarkan sistem bagi hasil
untuk perbankan. Yang kemudian dibuat gagasan pendahuluan oleh ulama besar Pakistan
Abal Ala Al Mawdudi (1961) dan Muhammad Hamidullah (1962).
Perintisan penerapan sistem profit and loss sharing, sebagai inti bisnis lembaga
keuangan yang berbasis syariah, tercatat telah ada sejak tahun 1940-an, yaitu upaya dalam
mengelola dana jamaah haji secara non konvensional di Pakistan dan Malaysia.Barulah
kemudian dalam konsep kelembagaan dari perwujudan perbankkan syariah mendirikan
Islamic Rural Bank di daerah Mit Ghamr pada tahun 1963, yang tercatat sebagai bank Islam
pertama kali, atas binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz El- Nagar yang dalam hal pendanaannya
mendapatkan bantuan dari Raja Faisal pada tahun 1963 hingga 1967 di Kairo Mesir. selain
itu Bank Islam pertama ini dianggap berhasil mendapatkan prestasi dengan memadukan
manajemen perbankkan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan
menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang
sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian, akan tetapi pada tahun 1975 bank ini
di tutup karena persoalan politik saat itu. Kemudian seiring pembentukan konsepsi-konsepsi
perbankan Islam dalam dunia internasional Mesir kembali berhasil mendirikan bank Islam
dengan nama Nasser Social yang lebih cenderung bersifat sosial dibanding komersil.
Secara kolektif gagasan awal berdirinya bank sayariah di tingkat internasional,
muncul pertama kali dalam konfrensi Negara-negara Islam se-dunia di Kuala Lumpur
Malaysia pada bulan april 1969, yang di ikuti 19 negara peserta. Dari hasil konfrensi tersebut
lahir beberapa hal, diantaranya:
1. Tiap keuntungan haruslah tunduk kepada hukum untung dan rugi, jika tidak ia termasuk
riba dan riba itu sedikit/banyak haram hukumnya.
2. Diusulkan supaya dibentuk suatu bank syariah yang bersih dari system riba dalam waktu
secepat mungkin.
3. Sementara waktu menunggu berdirinya bank syariah, bank-bank yang menerapkan
bunga diperbolehkan beroprasi, namun jika benar-benar dalam keadaan darurat.
Kemudian untuk melebarkan kiprah perbankkan Islam di dunia Internasioanl
pemerintah Mesir dalam hal ini terwakili oleh menteri luar negeri mengajukan proposal
tentang studi pendirian bank Islam internasional untuk pembangunan dan perdagangan
serta pengajuan proposal pendirian fedrasi bank Islam dalam rapat menteri luar negeri
Negara-negara Organisasi Konfrensi Islam (OKI) yang saat itu di Karchi Pakistan, bulan
Desember 1970, Dalam persetujuan pengesahan proposal itu juga memberikan beberapa
usulan tambahan yaitu pembentukan badan infestasi dan pembangunan Negara-negara
Islam, serta pembentukan asosiasi bank-bank Islam sebagai badan konsultatif masalah-
masalah ekonomi dan perbankkan Islam. Kemudian dalam follow up nya pada sidang
menteri luar negeri OKI di Benghazi Libya bulan maret 1973 rencana tersebut kembali
diagendakan dengan menghasilkan beberapa kesimpulan, sampai pada berikutnya pada
bulan Juli 1973 diadakan pertemuan komite ahli, perwakilan dari Negara-negara Islam
penghasil minyak yang bertemu di Jeddah dengan pembahasan agenda yang sama
(pendirian bank Islam). Kemudian dalam follow up nya yang kedua pertemuan antara
menteri-menteri luar negeri OKI di Jeddah menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan IDB
(ISLAMIC DEVELOPMENT BANK) yang bermodalkan awal 20 Milyar Dinar atau ekuivalen 2
Milyar SDR (special drawing right) IMF dengan beranggotakan semua Negara OKI.
Kemudian dalam dekade awal 1980-an setelah resmi didirikannya IDB dalam hasil
kesepakatn pertemuan beberpa menteri luar negeri OKI di Jeddah, tumbuh beberapa Bank-
Bank Islam lainnya yaitu Dubai Islamic Bank pada tahun 1975 yang dalam kedudukannya
adalah sebagai Bank Islam swasta pertama kali, Faysal Islamic Bank yang berdiri di Mesir
dan Jedah pada tahun 1977, Kuwait Fenance House pada tahun 1975, Jordan Islamic Bank
for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance
and Development atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies,
seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic
Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic
Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
Dalam perkembangan berikutnya, system perbankkan syariah mendapatkan
sambutan baik di mata internasional terbukti pada bulan Agustus 1998 tercatat ada 200
buah, di antaranya 160 berupa bank, dan sisanya adalah lembaga keuangan non bank, ini
semua memang terpengaruh dari system menejemen syariah yang berorientasi pada etika
bisnis yang sehat. Tak hanya itu perkembangan perbankkan Islam juga merambah pada
Negara-negara non Islam yang jumlahnya pun juga relative besar. Lain dari itu atas
prestasinya dalam menggaet perhatian internasional kedudukan bank syariah berhasil
menjalin kerjasama dengan bank konvensional untuk menawarkan produk-produk bank
syariah. Hal tersebut terlihat dari tindakan beberapa bank konvensional yang membuka
sistem tertentu di dalam masing-masing bank dalam menawarkan produk bank syariah,
misalnya Islamic Windows di Malaysia, The Islamic Transaction di cabang Bank Mesir, dan
The Islamic Services di cabang-cabang bank perdagangan Arab Saudi. Produk-produk
investment banking yang islami juga di tawarkan oleh Fund Manager Konfensional seperti
The Wellington Management Company (USA), Oasis Internasional Equity Fund dari
Flemings Bank (Inggris), State Street Investment (USA), Kleintwonth Benson Bank (Inggris),
Hongkong Shanghai Bangkong Corp. (HSBC-London), dan ANZ Bank (Melbourne-London).
Dan sisi pengguna jasa perbankkan syariah, tercatat beberapa perusahaan multinasional
seperti KFC, XEROX, General Motors, IBM, General Electric, dan Chrysler. Dari pesatnya
pertumbuhan bank syariah di mata internasional ironi memang terhitung sampai tahun 2007
tak ada satupun bank syariah yang masuk kedalam 100 bank terbesar didunia dilihat dari
jumlah asetnya maupun modalnya.

1.3 Sejarah Hukum Perbankan Islam di Indonesia
Seperti yang telah diuraikan Pengurus Besar Muhammadiyah Periode 1937-1944 K.
H Mas Mansur bahwa penggunaan bank konvensional pada masa itu dilakukan karena
terpaksa oleh umat Islam karena umat Islam belum mempunyai bank sendiri yang terbebas
dari riba. Sehingga disusul ide-ide untuk mendirikan bank syariah kerap sekali yang
sebenarnya sejak pertengahan tahun 1970-an sudah muncul. Pada tahun 1974 wacana ini
telah dibicarakan dalam seminar nasional Hubungan Indonesia dengan Timur Tengah,
disusul pada tahun 1976 diadakan seminar Internasional yang dilaksanakan oleh LSIK dan
yayasan Bhineka Tunggal Ika. Perjalanan proses yang cukup panjang ini menemui
hambatan untuk merealisasikan ide-ide tersebut, yaitu: Operasi bank Syariah yang
notabene menerapkan prinsip bagi hasil oleh pemerintah / UU belum diatur, dan juga tidak
sejalan dengan UU Pokok Perbankan UU No. 14 tahun 1967. Di sisi lain pemerintah tidak
menghendaki konsep bank syariah tersebut dengan alasan bank syariah dari segi politis
dianggap berkonotasi ideologis, yang ada kaitannya dengan konsep negara Islam. Sehingga
pada saat itu juga masih banyak pertanyaan siapa yang bersedia menaruh modal dalam
ventura semacam itu (sistem bagi hasil) tentunya para pengusaha yang ingin masuk
sebagai penanam modal juga masih khawatir akan kelangsungan Investasinya. Sementara
pendirian bank baru dari Timur Tengah masih di cegah oleh pemerintah lantaran adanya
kebijakan pembatasan bank Asing yang ingin mebuka kantor cabang di Indonesia.
Namun, hambatan-hambatan yang ada tidak menyurutkan niat para tokoh Islam
(pendiri) pada saat itu untuk terus berjuang mendirikan lembaga keuangan yang terbebas
dari riba. Pada tahun 1980-an pertama kali didirikan di Bandung yaitu Koperasi Baitul
Tamwil Jasa Keahlian Teknosa pada tanggal 30 Desember 1980, dengan adanya akta
perubahan menajdi tertanggal 21 Desember 1982. Kemudian di Jakarta didirikan Baitut
Tamwil kedua dengan nama Koperasi Simpan-Pinjam Ridho Gusti pada tanggal 25
September 1988.
Hal ini diakui atau tidak, berdirinya bank Islam di Indonesia relative lambat
dibandingkan dengan sesama Negara OKI, terbukti awal 1980-an konsepsi perbankan Islam
masih sebatas diskusi-diskusi yang di pelopori beberapa orang, salah satu diantranya
Karmen A. Perwataatamadja, M. Dawam Rahardjo, AM. Saefuddin, M. Amin Aziz, dll yang
mengusung tema BANK ISLAM SEBAGAI PILAR EKONOMI ISLAM Sebagai gambaran, M.
Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syariat Islam
sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab
tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi
masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan
berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Kemudian dalam
pembentukannya sebagai uji coba gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang
relatif terbatas.
Pada tahun 1990 tepatnya bulan Agustus konsepsi pembentukan perbankan Islam
mendapatkan perhatian khusus terbukti diadakannya lokakarya bunga bank dan perbankan
di Cisarua Bogor tanggal 18-20 Agustus yang di selenggarakan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI). Kemudian dalam follow up nya pembahasan hasil dari lokakarya di bahas
dalam musyawarah nasional IV MUI di Jakarta tanggal 22-25 Agustus 1990, dengan
menghasilkan kesimpulan pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia.
Dalam peranannya dari tim pembentukan kelompok kerja membuahkan hasil terbukti
dengan berdirinya PT BANK MUAMALAT INDONESIA (BMI) pada tanggal 1 November
1991, dan resmi beroperasi pada awal Mei 1992 dengan modal awal Rp. 106.126.382.000,-
dan dalam perkembangannya mulai awal beroperasi hingga September 1999 BMI memiliki
45 outlet di seluruh wilayah di Indonesia.
Dalam komentar keterbelakangan Indonesia dalam pembentukan Bank Islam yang di
lontarkan oleh K.H Hasan Basri mengatakan bahwa kondisi keterlambatan ini
karena political-will belum mendukung, selanjutnya sampai diundangkannya Undang-
undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan
usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain,
yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri
yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri,
serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah
mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank
Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.





C. DASAR HUKUM PERBANKAN SYARIAH

1. Dasar Hukum Perbankan Menurut Hukum Islam
Islam mengajak kepada para pemilik harta untuk mengembangkan harta mereka dan
menginvestasikannya, sebaliknya melarang mereka untuk membekukan dan tidak
memfungsikannya.
Demikian juga tidak diperbolehkan bagi pemilik uang untuk menimbun dan
menahannya dari peredaran, sedangkan ummat dalam keadaan membutuhkan untuk
memfungsikan uang itu untuk proyek-proyek yang bermanfaat dan dapat membawa dampak
berupa terbukanya lapangan kerja bagi para pengangguran dan menggairahkan aktivitas
perekonomian. Tidak heran jika Al Quran memberi peringatan kepada orang-orang yang
menyimpan harta dan yang bersikap egois dengan ancaman yang berat. Allah SWT
berfirman:
34. . Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada
jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih,
35. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya
dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: Inilah harta
bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari)
apa yang kamu simpan itu. (At-Taubah : 34-35)

2. Dasar Hukum Perbankan Menurut Perundang-undangan
Bank Syariah secara yuridis formal di Indonesia memiliki dasar diantaranya:
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 tahun 1992 tentang Perbankan
Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah sekumpulan peraturan-peraturan atau
kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku
yang berlaku dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan
suatu sanksi
Perbankan menurut Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang
bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.
Syariah dalam versi Bank Syariah Indonesia adalah aturan perjanjian berdasarkan
yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau
pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam.
Perbankan Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha
Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.
Jadi dapat disimpulkan Hukum Perbankan Syariah adalah segala aturan hukum yang
mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya.
Selain itu perlu juga diketahui dua pengertian berikut:
Bank menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
Bank Syariah menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah
dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.
Pengertian syariah dijelakskan dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998, pasal
13 sebagai berikut : Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.
Ketentuan syariah dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
pasal 1 angka 12 sebagai berikut : Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Dalam Kerangka Dasar Akuntansi Syariah, yang disusun oleh Dewan Standard
Akuntansi Keuangan (Ikatan Akuntan Indonesia). Dewan Syariah Nasional (Majelis Ulama
Indonesia), Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan praktisi, menjelaskan : Syariah
merupakan ketentuan hukum Islam yang mengatur aktivitas umat manusia yang berisi
perintah dan larangan, baik yang menyangkut hubungan interaksi vertikal dengan Tuhan
maupun interaksi horizontal dengan sesama makhluk. Prinsip syariah yang berlaku umum
dalam kegiatan muamalah (transaksi syariah) mengikat secara hukum bagi semua pelaku
dan stakebolder entitas yang melakukan transaksi syariah. Akhlak merupakan norma dan
etika yang berisi nilai-nilai moral dalam interaksi sesama makhluk agar hubungan tersebut
menjaadi saling menguntungkan, strategis dan harmonis.


D. JASA BANK BERBASIS SYARIAH

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
I. Jasa untuk peminjam dana
1. Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha.
Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang
disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian
yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan
pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
2. Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau
joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati
sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-
masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini
ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak
ada campur tangan.
3. Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan
membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya
kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin
keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang
tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya
angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah,
500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah
peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal
antara Bank dan Nasabah. (asuransi islam)

II. Jasa untuk penyimpan dana
1. Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat
mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak
berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.
Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
2. Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu
yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan
bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.


1. Mudharabah

Secara bahasa mudharabah berasal dari akar kata dharaba yadhribu dharban
yang bermakna memukul. Dengan penambahan alif pada dho, maka kata ini memiliki
konotasi saling memukul yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para
fukoha memandang mudharabah dari akar kata ini dengan merujuk kepada pemakaiannya
dalam al-Quran yang selalu disambung dengan kata depan fi kemudian dihubungkan
dengan al-ardh yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi.
Mudharabah merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan
penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata qirodh untuk merujuk pola perniagaan yang
sama. Mereka menamakan qiradh yang berarti memotong karena si pemilik modal
memotong dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya.
Mudharabah juga dinamakan dengan muqaradhah yang berarti sama-sama memiliki hak
untuk mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara
pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan. Dalam istilah
fikih muamalah, mudharabah adalah suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal
menyetorkan modalnya kepada pengusaha/pengelola, untuk diniagakan dengan keuntungan
akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan
kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal.
Para ulama sepakat bahwa landasan syariah mudharabah dapat ditemukan dalam al-Quran,
as-Sunnah, Ijma dan qiyas. Menurut para ulama, Pihak pemodal (Investor) menyerahkan
sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat
bagian tertentu dari keuntungan.


Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang
yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi
yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran. (Qs.
Al Muzammil: 20



Maka apabila shalat (jumat) telah ditunaikan, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah
keutamaan Allah dan ingatlah allah banyak-banyak, sup[aya kamu beruntung (Q.S al-
Jumah : 10)

Dipandang secara umum, kandungan ayat di atas mencakup usaha mudharabah
karena mudharabah dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan
salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.
Menurut Madzhab Hanafi rukun mudharabah itu ada dua yaitu Ijab dan Qobul.
Sedangkan menurut Jumhur Ulama rukun mudharabah ada tiga macam yaitu :
Adanya pemilik modal dan mudhorib,
Adanya modal, kerja dan keuntungan,
Adanya shighot yaitu Ijab dan Qobul.

Secara umum mudharabah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
1. Mudharabah muthlaqoh
Dimana pemilik modal (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh kepada
pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang
dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab
untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang
sehat (uruf).
2. Mudharabah muqoyyadah
Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam
penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.

SYARAT DAN RUKUN MUDHAROBAH
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
1. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola
(mudharib).
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan
pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf)
dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang
beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus
muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan
melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak
mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang
kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan
terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari
praktek riba dan haram.
2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.

A. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
1. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma
atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.
2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
3. Modal yang diserahkan harus tertentu.
4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya
langsung dan dapat beraktivitas dengannya.
Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan
penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar
seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa
barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad
transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya
seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib
(pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan
harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah
tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian
keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika
akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu,
sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.

B. Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya,
seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang
permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.
3. Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang
terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan
transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras
dan sebagainya.
4. Pembatasan Waktu Penanaman Modal, diperbolehkan membatasi waktu usaha
dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah. Dengan dasar
dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan
berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.

C. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah.
Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal
(investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk
pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: Mudharabah dengan pembagian 1/3
keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka
tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga
menjadi qiraadh bersama dua orang. Seandainya dikatakan: separuh keuntungan
untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku, maka
ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
2. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja.
Seandainya dikatakan: Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan
keuntungan sepenuhnya untukmu maka ini dalam madzhab Syafii tidak sah.
3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal
(investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase
bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan
nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian
keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku maka akadnya tidak sah.
Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan
sebagian lainnya untukku.

Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya
ditanggung pemilik modal. Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan:
Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua. Lalu dijelaskan dengan
pernyataan: Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada
perselisihannya dalam Al Mudharabah murni. Ibnul Mundzir menyatakan: Para
ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal
1/3 keuntungan atau atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui
dengan jelas dalam bentuk persentase.
2. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila
keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang
umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor). Ibnu Qudamah
menyatakan: Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian)
pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat
sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini
secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun
dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian
ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya.
Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafii, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Rai
(Hanafiyah). Beliaupun merajihkan pendapat ini.
3. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali
modal secara sempurna. Berarti tidak seorangpun berhak mengambil bagian
keuntungan sampai modal doserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian
dan keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik baik kerugian
dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu perniagaan dan
keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu perjalanan
niaga dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan adalah
kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan keuntungan.
Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.
4. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua pihak
saling ridha dan sepakat. Ibnu Qudamah menyatakan: Keuntungan jika tampak
dalam mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa
izin pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan diantara para
ulama.

Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:
1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada kerugian
yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak
menjadi keuntungan
2. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi
keuntungan tersebut untuk dirinya.
3. Kepemilikannya tas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya
untuk menutupi kerugian. Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk
mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka
berdua.

Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum
dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan
masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan
tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh
bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan
itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa
saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya
bisa dua macam:
Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa
menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah
pihak.
Kedua: Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan
aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila
pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti
harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.

D. Pelafalan perjanjian.
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi
yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul.
Transaksi Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan
yang menunjukkan maksudnya.

Syarat Dalam Mudharabah
Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah
satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat
dalam Al Mudharabah ini ada dua:
1. Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan
akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut.
Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi
harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan
perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang
didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama
dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan
dan maksud akad perjanjian mudharabah.
2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:
Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti
mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau
tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya.
Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan
maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti
mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah
kepadanya dari harta yang lainnya.
Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan
kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan
keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini
untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan
nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati
kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari
salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali.
Sehingga akadnya batal.


2. Murabahah

Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan
dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas akad
jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murabahah
dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga
barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
Penjualan dapat dilakukan secara tunai atau kredit , jika secara kredit harus
dipisahkan antara keuntungan dan harga perolehan .Keuntungan tidak boleh berubah
sepanjang akad , kalau terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau
kesulitan bayar karma lalai dapat dikenakan denda. Denda tersebut akan dianggap sebagai
dana kebajikan . Uang muka juga dapat diterima , tetapi harus dianggap sebagai pengurang
piutang.

A. JENIS MURABAHAH
1. Murabahah Berdasarkan Pesanan (Murabahah to the purcase order)
Murabahah ini dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Mengikat bahwa apabila telah
memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan
barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau
membatalkan barang tersebut

2. Murabahah Tanpa Pesanan
Murabahah ini termasuk jenis murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini
dilakukan tidak melihat ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan
sendiri oleh penjual.

B. RUKUN DAN SYARAT MURABAHAH
A. Pengertian Rukun Murabahah
Rukun adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau
lembaga, sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut maka kegiatan terdebut
dinyatakan tidak sah atau lembaga tersebut tidak eksis.
Menurut Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang
menjual(Ba'I'),orang yang membeli(Musytari), Sighat dan barang atau sesuatu yang
diakadkan.

B. Syarat Murabahah
1. Pihak yang berakad,yaitu Ba'i' dan Musytari harus cakap hukum atau balik
(dewasa), dan mereka saling meridhai (rela)
2. Khusus untuk Mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis
yang akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram.
3. Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya,
semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan
tertulis.


C. DASAR HUKUM MURABAHAH
Dalam islam,perdagangan dan perniagaan selalu dihubungkan dengan nilai-nilai
moral,sehingga semua transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan tidaklah
bersifat islami.

Al-Qur'an

"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka rela diantaramu, dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu." (QS.An-Nisa : 29)

"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS.2:275)

Al-Hadist
Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli
itu harus dilakukan suka sama suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut
Ibnu Hibban)

D. KETENTUAN UMUM MURABAHAH
1. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak
kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan
biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli..
3. Ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase
sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah
4. Dalam sistem murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli
untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik
syarat seperti itu tidak ditetapkan.
5. Transaksi pertama (antara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak
sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang
menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah.

Anda mungkin juga menyukai