Complete Spinal Transection (Transeksi Medula Spinalis) merupakan kerusakan total medula spinalis akibat lesi transversal yang menyebabkan hilangnya seluruh fungsi neurologis medula spinalis di bawah area yang terkena. Fungsi neurologis yang dimaksud adalah sensoris, motoris, dan otonom. Manifestasi yang paling terasa oleh penderita adalah kelumpuhan (disfungsi motorik). Definisi asia menyebutkan bahwa Complete injury merupakan hilangnya fungsi sensoris dan motoris di segmen sacral terakhir (S4-S5), disebut dengan klasifikasi ASIA A. 1 Kelumpuhan merupakan salah satu morbiditas yang paling ditakutkan manusia. Tubuh yang awalnya aktif dan enerjik tiba-tiba tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya terbaring di tempat tidur. Pekerjaan, pendidikan, kesenangan bermain dengan teman akhirnya sirna akibat tidak berfungsinya organ motoriktubuh. Apabila kelumpuhan diderita seorang ayah yang menjadi tulang punggung keluarga, ia menjadi tidak bisa melakukan fungsinya, bahkan akan menjadi beban dalam keluarga. Kadangkala kelumpuhan menimbulkan komplikasi psikologis yang justru lebih berat. Pasien menjadi depresi dan kualitas hidupnya menjadi terus menurun, tak jarang pasien mencoba bunuh diri akibat rasa malu dan tertekan. Perceraian akibat kelumpuhan 2,5 kali lebih sering terjadi pada pasangan suami istri akibat suami tak bisa memenuhi kebutuhan biologis istri karena mengalami disfungsi seksual. 2 Complete spinal transection (CST) merupakan salah satu penyakit yang mengakibatkan kelumpuhan kedua kaki. CST paling sering diakibatkan oleh trauma kecelakaan kendaraan bermotor. Dengan berkembangnya ilmu pengobatan modern, 94% pasien dapat bertahan hidup dengan raawat inap awal, dibandingkan pada tahun 1927 ketika perang dunia pertama, hingga 80% korban dengan cedera medula spinalis meninggal dalam beberapa 2
minggu pertama akibat komplikasi. 3 Permasalahannya kini, penyakit ini seringkali memerlukan rehabilitasi seumur hidup yang membutuhkan biaya besar. Di Amerika Serikat (AS) pembiayaan bagi pasien-pasien dengan tetraplegia (lumpuh keempat anggota gerak) dan paraplegia (lumpuh anggota gerak bawah) memerlukan biaya yang besar seperti dapat dilihat di Tabel 1. 2 Tabel 1. Pembiayaan Pasien-pasien dengan Tetraplegia dan Paraplegia di AS. 2
Prognosis kelumpuhan pada cedera tulang belakang termasuk buruk, karena regenerasi neuron hampir bisa dikatakan mustahil terjadi. Karenanya, penanganan cedera medula spinalis lebih dititikberatkan pada pencegahan primer dan sekunder. Pada makalah ini akan dibahas Complete Spinal Transection (CST) yang mengakibatkan manifestasi lumpuh kedua kaki (paraplegia).
B. EPIDEMIOLOGI Insiden tahunan Cidera Korda Spinalis/Spinal Cord Injury (SCI) kira-kira 40 kasus per 1 juta populasi di AS atau 12.000 kasus per tahun. Jumlah populasi di AS pada tahun 2012 yang hidup dengan SCI sekitar 270.000 orang. Secara keseluruhan, 80,6% SCI terjadi pada pria. Rata-rata 3
penderita mengalami SCI pada usia 16 30 tahun. Gambar 2 memaparkan berbagai penyebab SCI. 2
Gambar 2. Penyebab Spinal Cord I njury di AS. 2
Berdasarkan tingkat pendidikan, siswa SMA (high school) merupakan korban cedera medula spinalis terbanyakPada tahun 2005 kategori neurologis paling banyak pada penderita SCI adalah incomplete tetraplegia (40,8%), diikuti complete paraplegia (21.6%), incomplete paraplegia (21.4%) dan complete tetraplegia (15.8%). Kurang dari 1% penderita mengalami pemulihan neurologis sempurna setelah keluar dari rumah sakit. 2
Oklusi arteri 2. Systemic degeneration Multiple sclerosis Motor Neuron disease Subacute combined degeneration of cord 3. Infeksi Transverse myelitis Akut: Staphylococcal, Kronis: Tuberculous, Syphilitic (Neurosyphilis=Tabes Dorsalis) Parasit: Hydatid, Cysticercosis, Schistosomiasis, Falciparum Malaria Viral: Thypus Fever, Spotted Fever Fungal: Cryptococcus, Actinomycosis, Coccidiomycosis 4. Autoimun Guillain-Barre Syndrome (paraplegia without sensory loss) Kelainan autoimun Sindrom post-vaksin (Rabies, Tetanus, Polio) D. PATOFISIOLOGI Respon awal setelah adanya trauma yang menyebabkan SCI adalah stimulasi simpatis yang hebat dan aktivitas reflek parasimpatis yang biasanya bertahan 3 4 menit dan dimediasi oleh reseptor alfa-adrenergik. Efek hemodinamik yang ditimbulkan adalah severe hypertension, reflek bradikardi atau takiaritmia. 4 Setelah respon awal ini muncul defisit fungsi neurologi yang disebut spinal shock yang ditandai dengan flaccid paralysis bersamaan dengan menghilangnya seluruh reflek di bawah lesi termasuk reflek bulbocavernosus. Paralisis flasid di GI tract dan kandung kemih menyebabkan ileus dan retensi urin. Hilangnya inervasi autonomik 5
menyebabkan vasodilatasi pada area yang terkena. Lesi di atas T5 menyebabkan bradikardi dan hipotensi arterial akibat terputusnya inervasi simpatis yang menuju ke jantung. Fase spinal shock ini berlangsung beberapa minggu dan bisa sampai berbulan-bulan. 4,7 Fase spinal shock diikuti fase peningkatan spastisitas otot dan munculnya kembali reflek spinal (hyperreflexia phase). Awalnya gerakan spastik spontan pada pasien dikira gerakan sadar dan menyebabkan kesalahan asesmen proses penyembuhan. Biasanya aktifitas hiperefleksia ini ditandai dengan peningkatan ekstrim tekanan darah arteri selama manipulasi kandung kemih dan saluran cerna dan diakibatkan oleh hilangnya inhibisi dari aktifitas reflek di daerah di bawah level lesi. 6
Patofisiologi kerusakan sel neuron pada medula spinalis dimulai dari cedera primer. Mekanisme cedera primer dibagi menjadi empat: 1. Tumbukan ditambah dengan kompresi yang menetap; 2. Tumbukan saja, tanpa kompresi; 3. Distraksi; dan 4. Laserasi atau transeksi. Laserasi atau transeksi merupakan bentuk akhir dari mekanisme primer cedera. Berbagai jenis cedera primer ini menyebabkan hipoksia dan iskemia jaringan yang akhirnya berujung pada infark yang diawali oleh substansia grisea (gray matter) medula spinalis. Neuron-neuron yang melawati daerah ini secara fisik terputur dan mengalami penipisan myelin. Transmisi saraf juga lama kelamaan akan terputus oleh karena microhemorrhage atau edema di sekitar daerah cedera. Dalam satu jam gray matter rusak secara irreversibel, sedangkan white matter dalam 72 jam. 5
Cedera medula spinalis dapat menyebabkan neurogenic shock (perfusi jaringan yang inadekuat akibat dari kelumpuhan input vasomotor), ditandakan dengan bradikardi, hipotensi, dan hipotermia dengan penurunan resistensi kapiler dan penurunan cardiac output. Hal ini bisa memperparah kerusakan jaringan saraf. 5
6
Seperti dijelaskan sebelumnya peran vaskular dapat memperparah cedera medula spinalis. Venul dan kapiler rusak di sekitar tempat cedera baik ke arah rostral maupun kaudal akibat cedera mekanis awal. Keberlanjutan iskemik postrauma ini tergantung dari kemampuan aliran darak. Vasospasme sering terjadi akibat trauma langsung. Trombosis intravaskular dapat juga berkontribusi pada iskemik postrauma ini. Kelainan autoregulasi homeostasis (penurunan kemampuan memelihara aliran darah pada cakupan tekanan yang luas) dapat memperparah iskemia akibat hipoperfusi sistemik (neurogenic shock) atau dapat juga memperparah perdarahan dengan peningkatan tajam tekanan darah sistemik. Proses reperfusi dapat memperparah cedera dan kematian sel akibat dihasilkannya radikal bebas dan produk toksik lainnya (cedera sekunder). 5 Kekacauan biokimia bersamaan dengan gangguan cairan dan elektrolit berperan utama dalam mekanisme sekunder pada cedera akut medula spinalis. Neurotransmiter excitator dilepaskan dan terkumpul dan hal ini menyebabkan kerusakan langsung pada jaringan medula spinalis bersamaan dengan kerusakan tidak langsung akibat dari produksi ROS dan RNS, juga dari perubahan fungsi mikrosirkulasi dan iskemia sekunder.glutamat, neurotransmiter excitatory utama di CNS, dilepaskan secara eksesif setelah cedera. Aktivasi reseptor NMDA dan AMPA-kainate penting dalam mennyebabkan iskemia. Proses ini disebut excitotoxicity yaitu aktivasi eksesif reseptor glutamat yang menyebabkan cedera neuron. Lebih lanjut, proses ini menyebabkan akumulasi awal natrium intraseluler, sehingga menyebabkan edema sitotoksik dan asidosis intraseluler. Kegagalan Na-K-ATPase memperparah penumpukan air dan natrium intrasel dan hilangnya kalium ekstrasel. Sebagai tambahan, kalsium intrasel menumpuk dan menyebabkan perubahan fisiologi dan kerusakan yang akan 7
datang. Akumulasi kalsium intrasel ini disebut sebagai hasil akhir toxic cell death di CNS. Konsentrasi tinggi ion kalsium dalam sel berkontribusi dalam kerusakan sekunder melalui berbagai mekanisme. 1. Bekerjasama dengan fungsi mitokondria. Keterkaitan ini berperan dalam menghambat respirasi sel yang sebelumnya sudah terganggu oleh hipoksia dan iskemia. 2. Stimulasi penyusunan calpain, fosfolipase A2, lipooksigenase dan siklooksigenase. a. Aktivitas dan ekspresi calpain meningkat pada sel-sel glia dan inflamasi di penumbra pada lesi medula spinalis. Calpain dapat menghancurkan struktur penting di CNS termasuk protein di unit akson-myelin. b. Calcium-dependent protease dan kinse lainnya menghancurkan membran sel dan berakibat pada larutnya komponen ultrastruktur sel seperti neurofilament. c. Aktivasi Lipase, lipooksigenase, siklooksigenase mengakibatkan konversi asam arakhidonat menjadi tromboksan, prostaglandin, leukotrien, dan peningkatan level metabolit-metabolit ini. d. Peningkatan asam arakhidonat yang lambat berhubungan dengan penghambatan Na-K-ATPase dan edema jaringan. e. COX-1 menumpuk menyebabkan penurunan aliran darah dan menyebabkan agregasi platelet serta vasokonstriksi. f. Semuanya ini menyebabkan respon inflamasi dan peroksidasi lipid dan akhirnya kerusakan membran sel 8
g. Peroksidasi lipid menyebabkan pembentukan radikal bebas. Lingkaran ini terus berputar kecuali bila dihentikan dengan entioksidan endogen seperti vitamin E dan SOD. Setelah cedera, regulasi homeostasis oleh sel glia gagal, menyebabkan asidosis jaringan dan proses excitotoxic. Aktivitas sel glia yang lain yang berfungsi untuk membuang debris sel menyebabkan peningkatan oksidatif tertentu dan enzim lisosom yang menyebabkan kerusakan sel lebih lanjut. Pada fase awal infiltrasi neutrofil mendominasi. Pelepasan enzim lisis dari leukosit dapat memperparah kerusakan neuron, sel glia dan pembuluh darah. Fase kedua berkaitan dengan rekrutmen dan migrasi makrofag yang memfagosit jaringan yang rusak. Mekanisme ekstrinsik (receptor dependent) apoptosis sel dipengaruhi sinyal TNF. Mekanisme intrinsik (receptor independent) dipengaruhi sinyal intraseluler saat konsentrasi kalsium dalam sel tinggi menginduksi kerusakan mitokondria, pelepasan sitokrom c, dan aktivasi caspase. Kerusakan mitokondria dapat menyebabkan kematian sel secara langsung maupun tidak langsung melalui toleransi kepada stress seluler. Trauma pada CNS menyebabkan gangguan respirasi dan fosforilasi oksidatif. 5
9
Gambar 3. Patofisiologi Spinal Cord Injury (Penekanan pada Peran Faktor Lokal)
CEDERA PRIMER FAKTOR LOKAL Peradangan Peningkata n permeabilit as Kegagalan autoregula si: vasospas m, thrombosis , hemorrhag e Edema interstisial dan compresi medula Release Glutamat ISCHEMIA Faktor sistemik: syok neurogenik, gagal napas Dampak vaskular EKSITOTOKSISIT AS Perubahan pada potensial membran dan aktivasi kanal ion Aktivasi reseptor glutamat: NMDA, metabotrobik Perubahan pada ekspresi gen APOPTOSIS KEMATIAN SEL ROS Reperfusi/ reoksigenas i Microgli a Neutrof il Kerusakan membran sel Sitokin IL6, TNF, IL1 10
Gambar 4. Patofisiologi Spinal Cord Injury (Penekanan pada Peran Iskemia) O 2 , Kegagalan energi glukosa Depolarisa si membran Vasospasm e Ca 2+ INTRASEL RO S Lipoli sis Kerusakan oksidatif protein, lipid, DNA dan degradasi membran Kerusakan mitokondria Aktivasi caspase dan calpain Proteolisis dan kerusakan sitoskeleton Transisi permeabilitas, release sitokrom C
produksi ATP APOPTOSI S KEMATIAN SEL CEDERA PRIMER FAKTOR LOKAL: dampak vaskular, kerusakan membran, kompresi medula, release glutamat, edema, peradangan ISKEMI A Faktor sistemik: syok neurogenik, gagal napas Pembengkaka n sel 11
E. KLASIFIKASI 7
1. TMS Cervical TMS cervical, di atas Ver. C.III fatal karena dapat menghilangkan fungsi N. frenikus dan N. interkostales secara total sehingga dapat menghentikan pernapasan. Pasien hanya akan dapat bertahan apabila diberikan ventilasi buatan dalam beberapa menit setelah trauma penyebabnya. Keadaan ini sangat jarang dijumpai. Gejala lain: nyeri hebat di occiput dan leher, bisa diikuti oleh gejala N. V. Transeksi pada tingkat cervical di bawahnya (C5-C6) dapat menyebabkan quadriparesis dengan keterlibatan otot-otot intercostal, pernapasan dapat sangat terganggu. Muscle wasting: deltoid, biceps, brakhioradialis, infraspinatus, supraspinatus, rhomboideus. Autonomic dysreflexia peningkatan tekanan darah abnormal, berkeringat, dan respon otonom lainnya terhadap gangguan sensoris. Ketidakmampuan untuk meregulasi tekanan darah, pengeluaran keringat, dan suhu tubuh. 2. TMS Thoraks TMS Thoraks bagian atas tidak mengganggu ekstrimitas atas tapi mengganggu pernapasan dan menimbulkan ileus paralitik melalui keterlibatan N. splankhnikus. Cidera di atas T6 menimbulkan autonomic dysreflexia (kehilangan regulasi kranial) hipertensi, retensi urin/alvi, berkeringat, nyeri kepala. TMS thoraks bagian bawah tidak mengganggu otot abdomen dan pernapasan. 3. TMS Lumbal TMS Lumbal sering menyebabkan gangguan yang berat karena diikuti kerusakan arteri utama yang menyuplai medulla spinalis bagian bawah, arteri radikularis mayor (Adamkiewicz). Hasilnya adalah infark seluruh medulla spinalis lumbalis dan sakralis. 12
Efek cedera medula spinalis lumbal menyebabkan disfungsi kandung kemih, usus, dan seksual. 4. Sindrom Epikonus Sindrom epikonus isebabkan lesi medulla spinalis setinggi L4-S1: kelemahan rotasi eksterna panggul, ekstensi panggul, fleksi lutut, fleksi dan ekstensi pergelangan kaki dan jari-jari kaki. Reflek Achilles menghilang, reflek lutut tetap ada, potensi seksual hilang, pengosongan kandung kemih dan rectum secara refleksif, kemampuan berkeringat hilang sementara. 5. Sindrom Konus Sindrom konus disebabkan oleh lesi medulla spinalis S3 ke bawah. Sering disebabkan oleh tumor spinal, iskemia atau herniasi diskus lumbal yang masif. Menifestasi: arefleksia detrusor inkontinensia overflow, retensi urin, inkontinensia alvi, impotensi, saddle anesthesia, hilangnya reflek ani. Ekstrimitas bawah tidak paresis dan reflek Achilles tetap ada.
F. TANDA DAN GEJALA KLINIS Transeksi Medula Spinalis menyebabkan terputusnya jaras sensoris dari bawah level lesi dan jaras desendens dari atas lesi seperti terlihat pada Gambar 5. 8 Meskipun kelainan sensoris mencakup seluruh modalitas terjadi di bawah level lesi, letak lesi sebenarnya dapat diketahui dari adanya nyeri radikuler atau parestesia yang segmental. Kelemahan, baik itu paraplegia maupun tetraplegia muncul di bawah level lesi akibat terputusnya jaras corticospinal desenden. Awalnya paralisis bisa berupa flaccid dan arefleksif akibat spinal shock. Selanjutnya muncul hipertonus, hiperrefleksia, paraplegia atau tetraplegia disertai dengan menghilangnya reflek dinding abdomen dan cremaster. Pada level lesi 13
muncul manifestasi Lower Motor Neuron (paresis, atrofi, fasciculasi, dan arefleksia) pada distribusi segmentalnya. Disfungsi sfingter rektal dan uretral yang menyebabkan inkontinensia, disfungsi seksual dan tanda-tanda disfungsi otonom (anhidrosis, perubahan tropis kulit, kegagalan mengontrol suhu tubuh, dan ketidakstabilan vasomotor) dibawah level lesi juga muncul. 7
Gambar 5. Modalitas Neurologis yang Terganggu pada Spinal Cord Injury dan Tanda serta Gejala Klinis Spinal Cord Injury
G. PEMERIKSAAN FISIK 1. Inspeksi: deformitas pada tulang belakang (akibat trauma, proses destruktif neoplasma atau infeksi) 2. Palpasi: nyeri radikuler, krepitasi, tenderness di tulang belakang (akibat trauma, proses destruktif neoplasma atau infeksi) 3. Pemeriksaan khusus sensoris: menggunakan pinprick dan sentuhan ringan pada tubuh (Gambar 6) 14
4. Pemeriksaan khusus motoris: pasien diminta menggerakan kelompok otot sesuai dengan miotom masing-masing radiks medulla spinalis. 5,6,7
(Tabel 2)
Gambar 6. Titik-titik Lokasi Pemeriksaan Pinprick dan Sentuhan Ringan Pada Tubuh
15
Tabel 2. Otot-otot Kunci untuk Pemeriksaan Neurologis
Gambar 7. Bagan ASIA yang Digunakan untuk Mendeteksi Kelumpuhan Neurologis 16
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Plain foto: Cervical, thoraks, abdomen/lumbal (AP/Lat) untuk melihat adanya fraktur vertebrae. Dapat ditambah posisi Odontoid (open mouth), Swimmers view (untuk melihat C7 dan T1). Tanda degenerasi spina: Ruang intervertebral menyempit Foramina intervertebral menyempit Bentukan osteofit Pelebaran foramina 2. Darah lengkap, urin lengkap 3. Pungsi Lumbal analisis CSF 4. MRI Vertebral: merupakan definitive imaging technique 5. Neurofisiologi: EMG (untuk memeriksa continuitas myelin dan akson) 6. Tes perspirasi menilai fungsi saraf otonom
I. DIAGNOSIS 1. Anamnesa a. Cara kejadian: trauma, riwayat infeksi b. Usia muda: penyakit bawaan c. Usia tua: keganasan d. Durasi: akut (GBS, transverse myelitis, kompresi), kronis (MND, polyneuropathy, muscle dystrophy) e. Gangguan sfingter retensi urin/alvi f. Nyeri radikuler g. Keluhan unilateral/bilateral h. Nyeri kepala i. Nyeri punggung 17
2. Pemeriksaan fisik a. Kesadaran lesi cerebral/spinal shock b. Meningeal sign tanda infeksi meningen c. Penilaian skor ASIA (motoris dan sensoris) d. Pemeriksaan tonus otot, reflek fisiologis dan reflek patologis 3. Pemeriksaan penunjang a. Tes perspirasi menilai fungsi saraf otonom b. Analisis CSF c. X-ray cervical, thoracal, lumbal, sacral (AP/Lat/Obl) menilai abnormalitas tulang d. MRI vertebrae menilai abnormalitas medula spinalis (jaringan lunak). Pemeriksaan penunjang foto thorax sebagai penafsiran semua penyakit, X foto vertebral seperti Foto toraco/thoracolumbal/lumbosacral: AP/lateral (untuk lesi thorakal/torakal bawah/lumbal/sacral tergantung pasien dicuragai mendapat lesi dimana. Pemeriksaan Ct scan/MRI Vetebral untuk memastikan apakah benar pada tulang belakangnya mengalami kerusakkan disampaing memastikan etiologi. Dan pemeriksaan lab lain untuk mengekslusi diagnosis banding lain.
18
J. DIAGNOSIS BANDING 10
Diagnosis banding Transeksi Medula Spinalis adalah penyakit-penyakit yang dapat bermanifestasi paraplegia yang berasal dari medula spinalis seperti dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Differential Diagnosis Paraplegia DDx. Penyakit-penyakit dengan manifestasi Paraplegia dengan tipe LMN maupun yang berasal dari Cerebri 10 : 1. Lesi LMN a. Poliomyelitis b. MND c. Myasthenia gravis d. Muscular dystrophy 2. Lesi UMN cerebral: a. Tumor b. Thrombosis c. Hydrocephalus 19
Tingkat cedera didefinisikan oleh Skala Gangguan ASIA (dimodifikasi dari klasifikasi Frankel), dengan menggunakan kategori berikut: A = Lengkap: Tidak ada fungsi sensoris atau motoris dipertahankan dalam segmen sakral S4-S5 [5] B = Incomplete: Sensory, tetapi tidak motorik, fungsi dipertahankan di bawah tingkat neurologis dan meluas melalui segmen sakral S4-S5 C = Incomplete: Fungsi motorik dipertahankan di bawah tingkat neurologis, dan otot yang paling utama di bawah tingkat neurologis memiliki kelas otot kurang dari 3 D = Incomplete: Fungsi motorik dipertahankan di bawah tingkat neurologis, dan otot yang paling utama di bawah tingkat neurologis memiliki kelas otot yang lebih besar dari atau sama dengan 3 E = normal: Sensory dan motorik fungsi normal Dengan demikian, definisi cedera tulang belakang komplit dan inkomplit, karena berdasarkan ASIA definisi di atas, dengan sakral- sparing, adalah sebagai berikut:
Complete: Tidak adanya fungsi sensorik dan motorik di segmen sacral terendah Incomplete: Preservasi fungsi sensoris atau motoris di bawah tingkat cedera, termasuk segmen sakral terendah ASIA telah membentuk definisi yang bersangkutan. Tingkat cedera neurologis adalah yang terendah (paling ekor) tingkat dengan fungsi sensorik dan motorik normal.
K. PROKNOSIS Pasien dengan cedera tulang belakang komplit memiliki kesempatan kurang dari 5% unuk pemulihan. Jika kelumpuhan komplit berlanjut pada 72 jam setelah 20
cedera, tingkat kesembuhan adalah nol. Prognosis jauh lebih baik untuk inkomplit cord sindrom .Jika beberapa fungsi sensorik yang diselamatkan, kemungkinan bahwa pasien akhirnya akan dapat berjalan lebih besar dari 50%. Pada akhirnya, 90% pasien dengan cedera tulang belakang kembali ke rumah mereka dan menjadi independan. Memberikan prognosis yang akurat untuk pasien dengan cedera batang otak akut biasanya tidak mungkin di departemen darurat (ED) dan sebaiknya dihindari. Sekitar 10-20% dari pasien yang telah menderita cedera tulang belakang tidak bertahan untuk mencapai rumah sakit akut, sedangkan sekitar 3% dari pasien meninggal selama rawat inap akut.
21
DAFTAR PUSTAKA 1. Jacob dan Nash. 2010. Exercise Recommendations for Individuals with Spinal Cord Injury. Sport Medicine 2010. 2. The National SCI Statistical Center. 2012. Spinal Cord Injury Facts and Figures at a Glance. The University of Alabama: Birmingham. 3. John F. Ditunno, Jr., and Christopher S. Formal, 2012, Chronic Spinal Cord Injury, The New England Journal of Medicine 4. Meenakshi. Syndrome of Spinal Cord.2010. Departement of Medicine, Stanley Medical College. 5. M. Baehr dan M. Frotscher. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. 6. Gregory Gruener dan Jose Biller. 2008. Spinal Cord Anatomy, Localization, And Overview Of Spinal Cord Syndromes. American Academy of Neurology. 7. Veteran Health Initiative. 2013. Medical Care of Person with Spinal Cord Injury. Departement of Veterans Affairs Employee Education System. Washington DC.