Share on facebookShare on twitterShare on emailShare on printMore Sharing Services15
Asitektur Indonesia terdiri dari klasik-tradisional, vernakular dan bangunan baru kontemporer. Arsitektur klasik-tradisional adalah bangunan yang dibangun oleh zaman kuno. Arsitektur vernakular juga bentuk lain dari arsitektur tradisional, terutama bangunan rumah hunian, dengan beberapa penyesuaian membangun oleh beberapa generasi ke generasi. Arsitektur Baru atau kontemporer lebih banyak menggunakan materi dan teknik konstruksi baru dan menerima pengaruh dari masa kolonial Belanda ke era pasca kemerdekaan. Pengenalan semen dan bahan-bahan modern lainnya dan pembangunan dengan pertumbuhan yang cepat telah menghasilkan hasil yang beragam.
Arsitektur Klasik Indonesia Ciri khas arsitektur klasik Indonesia dapat dilihat paada bangunan candi dengan struktur menaranya. Candi Buddha dan Hindu dibangun dari batu, yang dibangun di atas tanah dengan cirikhas piramida dan dihiasi dengan relief. Secara simbolis, bangunan adalah sebagai representasi dari Gunung Meru yang legendaris, yang dalam mitologi Hindu-Buddha diidentifikasi sebagai kediaman para dewa. Candi Buddha Borobudur yang terkenal dari abad ke-9 dan Candi Prambanan bagi umat Hindu di Jawa Tengah juga dipenuhi dengan gagasan makro kosmos yang direpresentasiken dengan sebuah gunung. Di Asia Timur, walau dipengaruhi oleh budaya India, namun arsitektur Indonesia (nusantara) lebih mengedapankan elemen-elemen masyarakat lokal, dan lebih tepatnya dengan budaya petani.
Budaya Hindu paling tidak 10 abad telah mempengaruhi kebudayaan Indonesia sebelum pengaruh Islam datang. Peninggalan arsitektur klasik (Hindu-Buddha) di Indonesia sangat terbatas untuk beberapa puluhan candi kecuali Pulau Bali yang masih banyak karena faktor agama penduduk setempat.
Arsitektur vernakular di Indonesia Arsitektur tradisional dan vernakular di Indonesia berasal dari dua sumber. Pertama adalah dari tradisi Hindu besar dibawa ke Indonesia dari India melalui Jawa. Yang kedua adalah arsitektur pribumi asli. Rumah-rumah vernakular yang kebanyakan ditemukan di daerah pedesaan dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti atap ilalang, bambu, anyaman bambu, kayu kelapa, dan batu. Bangunan adalah penyesuain sepenuhnya selaras dengan lingkungan sekitar. Rumah-rumah di pedalaman di Indonesia masih banyak yang menggunakan bambu, namun dengan seiring dengan proses modernisasi, bangunan-bangunan bambu ini sedikit demi sedikit diganti dengan bangunan dinding bata.
Arsitektur tradisional di Indonesia
Bangunan vernakular yang tertua di Indonesia saat ini tidak lebih dari sekitar 150 tahun usianya. Namun dari relief di dinding abad ke-9 di candi Borobudur di Jawa Tengah mengungkapkan bahwa ada hubungan erat dengan arsitektur rumah vernakular kontemporer yang ada saat ini. Arsitektur vernakular Indonesia juga mirip dengan yang dapat ditemukan di seluruh pulau-pulau di Asia Tenggara. Karakteristik utamanya adalah dengan digunakannya lantai yang ditinggikan (kecuali di Jawa), atap dengan kemiringan tinggi menyerupai pelana dan penggunaan material dari kayu dan bahan organik tahan lama lainnya.
Pengaruh Islam dalam Arsitektur Budaya Islam di Indonesia dimulai pada tahun 13 Masehi ketika di Sumatra bagian utara muncul kerajaan Islam Pasai di 1292. Dua setengah abad kemudian bersama-sama juga dengan orang- orang Eropa, Islam datang ke Jawa. Islam tidak menyebar ke kawasan Indonesia oleh kekuatan politik seperti di India atau Turki namun lebih melalui penyebaran budaya. Budaya Islam pada arsitektur Indonesia dapat dijumpai di masjid-masjid, istana, dan bangunan makam.
Menurunnya kekuatan kerajaan Hindu Majapahit di Jawa menandai bergantinya periode sejarah di Jawa. Kebudayaan Majapahit tersebut meninggalkan kebesarannya dengan dengan serangkaian candi-candi monumental sampai abad keempat belas. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa "Zaman Klasik" di Jawa ini kemudian diganti dengan zaman "biadab" dan juga bukanlah awal dari "Abad Kegelapan". Selanjutnya kerajaan-kerajaan Islam melanjutkan budaya lama Majapahit yang mereka adopsi secara jenius. "New Era" selanjutnya menghasilkan ikon penting seperti masjid-masjid di Demak, Kudus dan Banten pada abad keenam belas. Juga dengan situs makam Imogiri dan istana-istana Yogyakarta dan Surakarta pada abad kedelapan belas. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam tidak memperkenalkan bentuk-bentuk fisik baru dan ajaran-ajarannyapun diajarkan lebih dalam cara-cara mistis oleh para sufi, atau dengan kata lain melalui sinkretisme, sayangnya hal inilah yang mempengaruhi gagalnya Islam sebagai sebuah sistem baru yang benar-benar tidak menghapuskan warisan Hindu ( lihat Prijotomo, 1988).
Masjid Kudus dengan Gaya Hindu untuk Drum Tower dan Gerbang
Penyebaran Islam secara bertahap di kawasan Indonesia dari abad ke-12 dan seterusnya dengan memperkenalkan serangkaian penting pengaruh arsitektur. Namun, perubahan dari gaya lama ke baru yang lebih bersifat ideologis baru kemudian teknologi. Kedatangan Islam tidak mengarah pada pengenalan bangunan yang sama sekali baru, melainkan melihat dan menyesuaikan bentuk-bentuk arsitektur yang ada, yang diciptakan kembali atau ditafsirkan kembali sesuai persyaratan dalam Islam. Menara Kudus, di Jawa Tengah, adalah contoh dalam kasus ini. Bangunan ini sangat mirip dengan candi dari abad ke-14 di era kerajaan Majapahit, menara ini diadaptasi untuk kepentingan yang lebih baru dibangun masjid setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Demikian pula, masjid-masjid di awal perkembangan Islam di Indonesia murni terinspirasi dari tradisi bangunan local yang ada di Jawa, dan tempat lain di Nusantara, dengan empat kolom utama yang mendukung atap tengahnya. Dalam kedua budaya ini empat kolom utama atau Saka Guru mempunyai makna simbolis.
Gaya Belanda dan Hindia Belanda Pengaruh Barat di mulai jauh sebelum tahun 1509 ketika Marco Polo dari Venesia melintasi Nusantara di 1292 untuk kegiatan perdagangan. Sejak itu orang-orang Eropa berusaha untuk merebut kendali atas perdagangan rempah-rempah yang sangat menguntungkan. Portugis dan Spanyol, dan kemudian Belanda, memperkenalkan arsitektur mereka sendiri dengan cara awal tetap menggunakan berbagai elemen arsitektur Eropa, namun kemudian dapat beradaptasi dengan tradisi arsitektur lokal. Namun proses ini bukanlah sekadar satu arah: Belanda kemudian mengadopsi unsur-unsur arsitektur pribumi untuk menciptakan bentuk yang unik yang dikenal sebagai arsitektur kolonial Hindia Belanda. Belanda juga sadar dengan mengadopsi arsitektur dan budaya setempat kedalam arsitektur tropis baru mereka dengan menerapkan bentuk-bentuk tradisional ke dalam cara-cara modern termasuk bahan bangunan dan teknik konstruksi.
Gereja Blenduk dan Lawang Sewu bangunan, contoh dari arsitektur Belanda
Bangunan kolonial di Indonesia, terutama periode Belanda yang sangat panjang 1602 - 1945 ini sangat menarik untuk menjelajahi bagaimana silang budaya antara barat dan timur dalam bentuk bangunan, dan juga bagaimana Belanda mengembangkan aklimatisasi bangunan di daerah tropis. Menurut Sumalyo (1993), arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah fenomena budaya unik yang pernah ditemukan di tempat lain maupun di tanah air mereka sendiri. Bangunan-bangunan tesebut adalah hasil dari budaya campuran kolonial dan budaya di Indonesia.
Perbedaan konsep Barat dan Indonesia ke dalam arsitektur adalah terletak pada korelasi antara bangunan dan manusianya. Arsitektur Barat adalah suatu totalitas konstruksi, sementara itu di Timur lebih bersifat subjektif, yang lebih memilih penampilan luar terutama faade depan. Kondisi alam antara sub-tropis Belanda dan tropis basah Indonesia juga merupakan pertimbangan utama bangunan Belanda di Indonesia.
Sebenarnya, Belanda tidak langsung menemukan bentuk yang tepat untuk bangunan mereka di awal perkembangannya di Indonesia. Selama awal kolonisasi Eropa awal abad 18, jenis bangunan empat musim secara langsung dicangkokkan Belanda ke iklim tropis Indonesia. Fasade datar tanpa beranda, jendela besar, atap dengan ventilasi kecil yang biasa terlihat di bagian tertua kota bertembok Belanda, juga digunakan seperti di Batavia lama (Widodo, J. dan YC. Wong 2002).
Menurut Sumintardja, (1978) VOC telah memilih Pulau Jawa sebagai pusat kegiatan perdagangan mereka dan bangunan pertama dibangun di Batavia sebagai benteng Batavia. Di dalam benteng, dibangun rumah untuk koloni, memiliki bentuk yang sederhana seperti rumah asli di awal tapi belakangan diganti dengan rumah gaya Barat (untuk kepentingan politis). Dinding batu bata rumah, mereka mengimpor bahan langsung dari Belanda dan juga dengan atap genteng dan interior furniture. Rumah-rumah yang menjadi tradisi pertama rumah-rumah tanpa halaman, dengan bentukan memanjang seperti di Belanda sendiri. Rumah-rumah ini ada dua lantai, sempit di faade tapi lebar dalam. Rumah tipe ini selanjutnya banyak digunakan oleh orang-orang cina setelah orang Belanda beralih dengan rumah-rumah besar dengan halaman luas. Rumah-rumah ini disebut sebagai bentuk landhuizen atau rumah tanpa beranda dalam periode awal, setelah mendapat aklimatisasi dengan iklim setempat, rumah-rumah ini dilengkapi dengan beranda depan yang besar seperti di aula pendapa pada bangunan vernakular Jawa.
Pada awalnya, rumah-rumah ini dibangun dengan dua lantai, setelah mengalami gempa dan juga untuk tujuan efisiensi, kemudian rumah-rumah ini dibangun hanya dalam satu lantai saja. Tetapi setelah harga tanah menjadi meningkat, rumah-rumah itu kembali dibangun dengan dua lantai lagi.
Penentuan desain arsitektur menjadi lebih formal dan ditingkatkan setelah pembentukan profesi Arsitek pertama di bawah Dinas Pekerjaan Umum (BOW) pada 1814-1930. Sekitar tahun 1920- an 1930-an, perdebatan tentang masalah identitas Indonesia dan karakter tropis sangat intensif, tidak hanya di kalangan akademis tetapi juga dalam praktek. Beberapa arsitek Belanda, seperti Thomas Karsten, Maclaine Pont, Thomas Nix, CP Wolf Schoemaker, dan banyak lainnya, terlibat dalam wacana sangat produktif baik dalam akademik dan praksis. Bagian yang paling menarik dalam perkembangan Arsitektur modern di Indonesia adalah periode sekitar 1930-an, ketika beberapa arsitek Belanda dan akademisi mengembangkan sebuah wacana baru yang dikenal sebagai "Indisch-Tropisch" yaitu gaya arsitektur dan urbanisme di Indonesia yang dipengaruhi Belanda
Tipologi dari arsitektur kolonial Belanda; hampir bangunan besar luar koridor yang memiliki fungsi ganda sebagai ruang perantara dan penyangga dari sinar matahari langsung dan lebih besar atap dengan kemiringan yang lebih tinggi dan kadang-kadang dibangun oleh dua lapis dengan ruang yang digunakan untuk ventilasi panas udara.
Arsitek-arsitek Belanda mempunyai pendekatan yang baik berkaitan dengan alam di mana bangunan ditempatkan. Kesadaran mereka dapat dilihat dari unsur konstruksi orang yang sangat sadar dengan alam. Dalam Sumalyo (1993,): Karsten pada tahun 1936 dilaporkan dalam artikel: "Semarangse kantoorgebouwen" atau Dua Office Building di Semarang Jawa Tengah:
1. Pada semua lantai pertama dan kedua, ditempatkan pintu, jendela, dan ventilasi yang lebar diantara dia rentang dua kolom. Ruangan untuk tiap lantai sangat tinggi; 5, 25 m di lantai pertama dan 5 m untuk lantai dua. Ruangan yang lebih tinggi, jendela dan ventilasi menjadi sistem yang baik untuk memungkinkan sirkulasi udara di atap, ada lubang ventilasi di dinding atas (di atas jendela)
2. Disamping lebar ruang yang lebih tinggi, koridor terbuka di sisi Barat dan Timur meliputi ruang utama dari sinar matahari langsung.
Ketika awal urbanisasi terjadi di Batavia (Jakarta), ada begitu banyak orang membangun vila mewah di sekitar kota. Gaya arsitekturnya yang klasik tapi beradaptasi dengan alam ditandai dengan banyak ventilasi, jendela dan koridor terbuka banyak dipakai sebagai pelindung dari sinar matahari langsung. Di Bandung, Villa Isolla adalah salah satu contoh arsitektur yang baik ini (oleh Schoemaker1933)
Villa Isolla, salah satu karya arsitektur Belanda di Indonesia
Arsitektur Kontemporer Indonesia Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, bangunan modern mengambil alih Indonesia. Kondisi ini berlanjut ke tahun 1970-an dan 1980-an ketika pertumbuhan eknomi yang cepat Indonesia yang mengarah pada program-program pembangunan besar-besaran di setiap sector mulai dari skema rumah murah, pabrik-pabrik, bandara, pusat perbelanjaan dan gedung pencakar langit. Banyak proyek bergengsi yang dirancang oleh arsitek asing yang jarang diterapkan diri mereka untuk merancang secara khusus untuk konteks Indonesia. Seperti halnya kota-kota besar di dunia, terutama di Asia, sebagai korban dari globalisasi terlepas dari sejarah lokal, iklim dan orientasi budaya.
Rumah-rumah kontemporer di Indonesia
Arsitektur modern Indonesia umumnya mulai di sekitar tahun 50an dengan dominasi bentuk atap. Model bangunan era kolonial juga diperluas dengan teknik dan peralatan baru seperti konstruksi beton, AC, dan perangkat lift. Namun, sepuluh tahun setelah kemerdekaan, kondisi ekonomi di Indonesia belum cukup kuat. Sebagai akibat, bangunan yang kurang berkualitas terpaksa lahir. Semua itu sebagai upaya untuk menemukan arsitektur Indonesia modern, seperti halnya penggunaan bentuk atap joglo untuk bangunan modern.
Arsitektur perumahan berkembang luas pada tahun 1980-an ketika industri perumahan booming. Rumah pribadi dengan arsitektur yang unik banyak lahir tapi tidak dengan perumahan massal. Istilah rumah rakyat, rumah berkembang, prototipe rumah, rumah murah, rumah sederhana, dan rumah utama dikenal baik bagi masyarakat. Jenis ini dibangun dengan ide ruang minimal, rasional konstruksi dan non konvensional (Sumintardja, 1978)
Permasalahan untuk Arsitektur Indonesia Gerakan-gerakan baru dalam arsitektur seperti Modernisme, Dekonstruksi, Postmodern, dll tampaknya juga diikuti di Indonesia terutama di Jawa. Namun, dalam kenyataannya, mereka menyerap dalam bentuk luar saja, bukan ide-ide dan proses berpikir itu sendiri. Jangan heran jika kemudian muncul pandangan yang dangkal; "Kotak-kotak adalah Modern, Kotak berjenjang adalah pasca Modern" (Atmadi, 1997). Arsitektur hanya hanya dilihat sebagai objek bukan sebagai lingkungan hidup.
Sumalyo, (1993) menyatakan bahwa pandangan umum arsitektur Barat: 'Purism', di mana untuk menunjuk Bentuk dan Fungsi, adalah berlawanan dengan konsep-konsep tradisi yang memiliki konteks dengan alam. Kartadiwirya, dalam Budihardjo (1989,) berpendapat, mengapa prinsip tropis 'nusantara' arsitektur jarang dipraktekkan di Indonesia adalah karena pemikiran dari proses perencanaan tidak pernah menjadi pemikiran. Mereka hanya hanya mengajarkan tentang perencanaan konvensional selama 35 tahun tanpa perubahan berarti sampai beberapa hari. Sayangnya hamper semua bahan pengajaran dalam arsitektur berasal dari cara berpikir Barat yang menurut Frick (1997) telah menghasilkan kelemahan arsitektur Indonesia. Dia juga menjelaskan bahwa Bahan menggunakan bangunan modern hanya karena alasan produksi massal yang lebih 'Barat' dan jauh dari tradisi setempat. Kondisi ini telah memicu penggunaan bahan yang tidak biasa dan tanpa kondisi lokal. Lalu bagaimanakah seharusnya arsitektur Indonesia?
http://archiholic99danoes.blogspot.com/2012/01/sejarah-arsitektur-indonesia.html sejarah arsitektur kontemporer indonesia 1) PENDAHULUAN Sebelum masa kemerdekaan dunia arsitektur di Indonesia didominasi oleh karya arsitek Belanda. Masa kolonial tersebut telah mengisi gambaran baru pada peta arsitektur Indonesia. Kesan tradisional dan vernakuler serta ragam etnik di Negeri ini diusik oleh kehadiran pendatang yang membawa arsitektur arsitektur di Indonesia Bentuk arsitektur di Indonesia asli kemudian dimulai dari sebuah institusi arsitektur di era setelah kemerdekaan. Selama periode tersebut sampai sekarang arsitektur berkembang melalui proses akademik dan praktek arsitektur pada sebuah arsitektur kontemporer Indonesia. Di masa penjajahan Belanda sebenarnya mata kuliah arsitektur diajarkan sebagai bagian dari pendidikan insinyur sipil. Namun, setelah Oktober 1950, sekolah arsitektur yang pertama didirikan di Institut Teknologi Bandung yang dulu bernama Bandoeng Technische Hoogeschool (1923). Disiplin ilmu arsitektur ini diawali dengan 20 mahasiswa dengan 3 pengajar berkebangsaan Belanda, yang pada dasarnya pengajar tersebut meniru system pendidikan dari tempat asalnya di Universitas Teknologi Delft di Belanda. Pendidikan arsitektur mengarah pada penguasaan keahlian merancang bangunan, dengan fikus pada parameter yang terbatas, yaitu fungsi, iklim, konstruksi, dan bahan bangunan. Semenjak konflik di Irian Barat pada tahun 1955 semua pengajar dari Belanda dipulangkan ke negaranya, kecuali V.R. van Romondt yang secara rendah hati bersikeras untuk tinggal dan memimpin sekolah arsitektur sampai tahun 1962. Selama kepemimpinannya, pendidikan arsitektur secata bertahan memperkaya dengan memberikan aspek estetika, barat ke tanah Indonesia. Sekitar awal 1910-an beberapa karya arsitek Belanda seperti Stasiun Jakarta Kota, Hotel Savoy Homan dan Villa Isola di bandung sudah memberikan pemandangan barubudaya dan sejarah ke dalam sebuah pertimbangan desain. Van Romondt berambisi menciptakan Arsitektur Indonesia baru, yang berakar pada prinsip tradisional dengan sentuhan modern untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan kata lain Arsitektur Indonesia adalah penerapan gagasan fungsionalisme, rasionalisme, dan kesederhanaan dari desain modern, namun sangat terinspirasi oleh prinsip-prinsip arsitektur tradisional. 2) KEMAJUAN, MODERNITAS, DAN MONUMENTALITAS Pada tahun 1958, mahasiswa arsitektur ITB sudah mencapai 500 orang, dengan 12 orang lulusan. Yang kemudian beberapanya menjadi pengajar. Pada bulan September 1959, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) didirikan. Sejak tahun 1961, kepemimpinan sekolah arsitektur berpindah tangan pada bangsa Indonesia dengan Sujudi sebagai ketuanya. Kemudian Sujudi mendirikan sekolah arsitektur di perguruan tinggi lainnya. Masa ini juga juga dipelopori oleh Sujudi cs. bersama teman-temannya yang menamakan diri ATAP. Awal tahun 1960-an, literature barat mulai masuk dalam diskursus pendidikan arsitektur di Indonesia. Karya dan pemikiran para arsitek terkemukan seperti Walter Gropius, Frank Lloyd Wright, dan Le Corbusier menjadi referensi normative dalam diskusi dan pelajaran. Iklim politik pada saat itu juga sangat berpengaruh terhadap pola fikir masyarakat terhadap teori dan konsep arsitektur modern. Karena di masa kepemimpinan Sukarno, modernitas diberikan olah kepentingan simbolis yang merujuk pada persatuan dan kekuatan nasional. Sukarno telah berhasil mempengaruhi secara mendasar karakter arsitektur yang diproduksi pada masa iai memegang kekuasaan. Modern, revolusioner, dan heroik dalam arsitektur membawa kita pada program pembangunan besar-besaran terutama untuk ibukota Jakarta. Ia berusaha mengubah citra Jakarta sebagai pusat pemerintahan kolonial menjadi ibukota Negara yang merdeka dan berdaulat yang lahir sebagai kekuatan baru di dunia. Pada akhir 1950-an Sukarno mulai membongkar bangunan-bangunan lama dan memdirikan bangunan baru, pelebaran jalan, dan pembangunan jalan bebas hambatan. Gedung pencakar langit dan teknologi bangunan modern mulai diperkenalkan di negeri ini. Dengan bantuan dana luar negeri proyek-proyek seperti Hotel Indonesia, Pertokoan Sarinah, Gelora Bung Karno, By pass, Jembatan Semanggi, Monas, Mesjid Istiqlal, Wisma Nusantara, Taman Impian Jaya Ancol, Gedung DPR&MPR dan sejumlah patung monumen. Ciri khas proyek arsitektur Sukarno adalah kemajuan, modernitas, dan monumentalitas yang sebagian besar menggunakan langgam International Style. Seorang arsitek yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Sukarno pada masa itu adalah Friedrich Silaban. Ia terlibat hampir semua proyek besari pada masa itu. Desainnya didasari oleh prinsip fungsional, kenyamanan, efisiensi, dan kesederhanaan. Pendapatnya bahwa arsitek harus memperhatikan kebutuhan fungsional suatu bangunan dan factor iklim tropis seperti temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, dan radiasi matahari. Desainnya terekspresikan dalam solusi arsitektur seperti ventilasi silang, teritisan atap lebar, dan selasar-selasar. 3) KESATUAN DAN KERAGAMAN BUDAYA Sejak kejatuhan Sukarno pada tahun 1965, pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto menyalurkan investasi asing ke Jakarta dan telah melaksanakan rencana modernisasi dengan tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia. Proyek yang ditinggalkan Sukarno kemudian diselesaikan oleh Gubernur DKI Jakarta pada saat itu Ali Sadikin. Ali Sadikin juga bermaksud menjadikan Jakarta sebagai tujuan wisata bagi wisatawan dari Timur dan Barat. Sehingga pada tahun 1975, dikembangkan suatu program konservasi bagian Kota Tuan di Jakarta dan beberapa situs-situ sejarah lainnya. Program ini sedikit demi sedikit mengubah sikap masyarakat terhadap warisan arsitektur kolonial. Sejak awal 1970-an, kondisi ekonomi di Indonesia semakin membaik, yang berdampak pada kebutuhan akan jasa perencanaan dan perancangan arsitektur berkembang pesat. Maka munculla biro-biro arsitektur yang menangani proyek badan pemerintahan, BUMN, dan para orang kaya baru. Sayangnya para arsitek professional di Indonesia tidak siap menerima tantangan besar tersebut. Yang tidak memiliki pilihan doktrin fungsional dari arsitektur modern membelenggu pengembangan karakter unik dalam arsitektur kontemporer pada masanya. Sementara itu kalangan elit dan golongan menengah keatas mengekspresikan kekayaan dan status sosialnya melalui desain yang monumental dan eklektik dengan meminjam ornamen arsitektur Yunani, Romawi, dan Spanyol. Kekecewaan terhadap kecenderungan meniru dan eklektik ini membawa arsitek Indonesia pada suatu gagasan untuk mengembangkan karakter arsitektur Indonesia yang khas. Suharto memegang peran utama untuk membangkitkan kembali kerinduan pada kehidupan pedesaan Indonesia, melalui tema-tema arsitektur etnik. Jenis arsitektur ini kemudian dipahami sebagai langgam resmi yang dianjurkan. Ditandai juga dengan pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Para arsitek muda sebagian besar juga kecewa terhadap tendensi eklektis dari arsitektur modern di dalam negeri. Yang kemudian semakin menyoroti secara simpatik pada arsitektur tradisional. Mereka menyoroti perbedaan kontras antara arsitektur modern dengan arsitektur tradisional sedemikian rupa sehingga arsitektur tradisional diasosiasikan dengan nasional, dan arsitektur modern dengan asing dan barat. 4) MENCARI IDENTITAS ARSITEKTUR INDONESIA Pada pertengahan tahun 1970-an, masalah langgam dan identitas arsitektur nasional menjadi isu utama bagi arsitek Indonesia. Terhadap masalah langgam dan identitas arsitektur nasional pandangan arsitek Indonesia menjadi tiga kelompok yang berbeda. Kelompok pertama berpendapat bahwa arsitektur Indonesia sebenarnya sudah ada, terdiri atas berbagai jenis arsitektur tradisional dari berbagai daerah. Implikasinya adalah penerapan elemen arsitektur tradisional yang khas, seperti atap dan ornamen. Kelompok arsitek kedua bersikap skeptis terhadap segala kemungkinan untuk mencapai langgam dan identitas arsitektur nasional yang ideal. Kelompok ketiga adalah sebagian akademisi arsitektur yang secara konsisten mengikuti langkah bapak mereka, V.R. van Romondt. Mereka berpendapat bahwa arsitektur Indonesia masih dalam proses pembentukan, dan hasilnya bergantung pada komitmen dan penilaian kritis terhadap cita-cita budaya, selera estetis, dan perangkat teknologi yang melahirkan model dan bentuk bangunan tradisional pada masa tertentu dalam sejarah. Mereka yakin bahwa pemahaman yang lebih mendalam terhadap prinsip tersebut dapat memberikan pencerahan atau inspirasi bagi arsitek kontemporer untuk menghadapi pengaruh budaya asing dalam konteks mereka sendiri. Dalam periode 1980-1996 institusi keprofesian dan pendidikan arsitektur mengalami perkembangan pesat, Pertumbuhan sector swasta yang subur serta investasi dengan korporasi arsitektur asing mulai mengambil alih segmen pasar kelas atas di ibukota dan daerah tujuan wisata seperti Pulau Bali. Dapat dikatakan bahwa arsitektur kontemporer di Indonesia tidak menunjukkan deviasi yang radikal terhadap perkembangan arsitektur modern di dunia pada umumnya. Sebenarnya pada pertengahan 1970-an telah ada usaha untuk menciptakan suatu langgam khusus, suatu bentuk identitas Indonesia, tetapi hanya terbatas pada proyek arsitektur yang prestisius seperti bandara udara internasional hotel, kampus, dan gedung perkantoran. Sangat jelas bahwa proyek penciptaan langgam dan identitas arsitektur Indonesia termotivasi secara politis. 5) ARSITEKTUR KONTEMPORER INDONESIA Awal tahun 1990-an ditandai pengaruh postmodernisme pada bangunan umum dan komersil di Jakarta dan kota besar lainnya. Hadirnya kontribusi signifikan dari para arsitek muda yang berusaha menghasilkan desain yang khas dan inovatif untuk memperkaya khasanah arsitektur kontemporer di Indonesia. Di antaranya adalah mereka yang terhimpun dalam kelompok yang sering dianggap elitis, yaitu Arsitek Muda Indonesia (AMI). Dengan motto semangat, kritis, dan keterbukaan kiprah AMI juga didukung oleh kelompok muda arsitek lainnya seperti di Medan, SAMM di Malang, De Maya di Surabaya dan BoomArs di Manado. Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha kreatif di kalangan arsitek praktisi, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) juga mulai memberikan penghargaan desain (design award) untuk berbagai kategori tipe bangunan. Karya-karya arsitektur yang memperoleh penghargaan dimaksudkan sebagai tolok ukur bagi pencapaian desain yang baik dan sebagai pengarah arus bagi apresiasi arsitektural yang lebih tinggi. Penghargaan Aga Khan Award dalam arsitektur yang diterima Y.B. Mangunwijaya pada tahun 1992 untuk proyek Kali Code, telah berhasil memotivasi arsitek-arsitek Indonesia untuk melatih kepekaan tehadap tanggung jawab sosial budaya. Krisis moneter tahun 1997 mengakibatkan jatuhnya pemerintahan Orde Baru telah melumpuhkan sector property dan jasa professional di bidang arsitektur. Diperlukan hampir lima tahun untuk kembali, namun kerusakan yang sedemikian parah mengakibatkan kemunduran pada semua program pembangunan nasional. Kini, arsitek kontemporer Indonesia dihadapkan pada situasi paradoksikal: Bagaimana melakukan modernisasi sambil tetap memelihara inti dari identitas budaya? Karya-karya kreatif dan kontemporer kini menjadi tonggak baru dalam perkembangan arsitektur Indonesia. Dengan pemikiran dan isu baru yang menjadi tantangan arsitek muda. Seiring pergerakan AMI memberikan semangat modernisme baru yang lebih sensitif terhadap isu lokalitas dan perubahan paradigma arsitektur di Indonesia. 6) EKOLOGI, FLEKSIBILITAS, DAN TEKNOLOGI Dunia arsitektur dewasa ini juga kini dihadapkan pada suatu isu baru. Krisis energi karena sumber daya alam yang dieksploitasi sejak era industrialisasi dunia kini terasa gejalanya. Perubahan iklim, pemanasan global, dan bencana lainnya menjadi dampak dari krisis energi dan perusakan lingkungan. Jelas sekali dunia konstruksi menjadi salah satu penyebabnya. Sepertinya pernyataan tentang isu berkelanjutan melalui konferensi internasional yang menghasilkan pernyataan: Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs(Bruntdland report, 1987) Kini menjadi keharusan karena tekanan keadaan. Fenomena ini yang kemudian memberikan pelajaran bagi arsitektur kontemporer Indonesia. Dimana modernitas, lokalitas dan faktor ekologis kita yang memiliki iklim tropis harus dikedepankan. Pencarian beralih menuju arsitektur modern tropis. Beberapa arsitek muda kini juga berlomba-lomba untuk menyelamatkan keberadaan bumi ini. Seperti Adi Purnomo yang banyak menghasilkan karya rumah tinggal yang kaya akan area hijau, Jimmy Priatman yang berhasil membuat bangunan hemat energi dan masuk nominasi Aga Khan Award, dan tokoh arsitek muda lainnya. Isu lainnya yang menjadi berkembang adalah ketersediaan lahan. Kurang berhasilnya penerapan otonomi daerah pemerintahan reformasi kita ini tetap menjadikan kota sebagai pusat perekonomian nasional. Akibatnya lahan di perkotaan semakin menipis. Membuat karya arsitektur selain ramah lingkungan kini dihadapkan pada suatu kenyataan penyempitan ruang binaan. Bangunan yang efisien dengan keadaan dan compact dengan segala bentuk keadaan mulai ditinjau dalam penerapan arsitektur kontemporer. Tantangan ini yang kemudian menjadi pekerjaan rumah (PR) para arsitek muda kita sekarang dan untuk masa akan datang. Menjaga unsur lokalitas dan arus globalitas, antara tradisi dan isu terkini harus segera dijawab dengan sebuah karya yang nyata dan berkesinambungan. http://atelierriri.com/blog/?page_id=33