I. PENDAHULUAN Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi : terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah yang rusak , membusuk, hangus terbakar dan kecelakaan masal, bencana alam, huru hara yang mengakibatkan banyak korban meninggal, serta potongan tubuh manusia atau kerangka. 1,2
Mutilasi merupakan sebuah kejahatan yang pada dasarnya telah terjadi selama ratusan bahkan ribuan tahun. Maraknya metode mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan karena berbagai faktor, yaitu karena kondisi psikis dari seseorang dimana terjadi gangguan terhadap kejiwaannya, selain itu faktor dari sosial, faktor ekonomi, dan keadaan rumah tangga dari pelaku. 1,3 Penyebab dilakukannya tindakan mutilasi oleh pelaku terhadap korban tentunya dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu seperti pelaku menderita gangguan jiwa. Pelaku terpuaskan bila orang lain menderita, terbunuh, terpotong-potong. Ini bisa diketahui dengan hanya melihat potongan-potongan tubuh tersebut. Pada umumnya jika motif yang dilatarbelakangi oleh motif cinta, potongannnya adalah di bagian-bagian genitalia seperti payudara, penis, dan yang lain. Namun jika motifnya dendam, umumnya yang dimutilasi adalah bagian kepala. Kedua motif ini biasanya dilakukan dengan sengaja dan terencana yang disebabkan oleh rasa tidak puas pelaku mutilasi terhadap korban. Namun, terlepas dari semua hal itu, kejahatan mutilasi sering sekali terjadi dilakukan oleh orang-orang yang memang mengalami depresi dan gangguan kejiwaan, bahwa dengan tidak memotong-motong tubuh korbannya, pelaku sering kali tidak puas untuk menyelesaikan kejahatannya. 3
2
Namun tidak semua pelaku mutilasi mempunyai kelainan jiwa karena mutilasi dapat dilakukan dalam keaadaan masih hidup atau pun pada korban tidak bernyawa. Namun kebanyakan peristiwa mutilasi dilakukan dalam keadaan korban tidak lagi bernyawa. Mutilasi hanya mungkin dilakukan dalam keadaan seseorang tersebut yang tidak stabil, misalnya dalam keadaan seorang pelaku tersebut panik ketakutan atau emosi yang berlebihan karena tidak semua orang dapat melakukan mutilasi, hanya orang-orang yang mempunyai kemampuan tertentu yang dapat mencabut nyawa orang lain. 3 Dengan ini ada dua hal atau penyebab mutilasi dilakukan. Pertama, mutilasi dilakukan untuk menghilangkan jejak atau barang bukti dengan cara memotong atau menyayat tubuh korban, sehingga akan membuat korban sulit diidentifikasi dengan harapan agar penyidikan akan menjadi sulit dan sekaligus memudahkan pelaku untuk menyimpan atau membuang mayat korban. Jika organ-organ penting untuk identifikasi hilang, uji DNA (deoxyribonucleic acid) menjadi satu-satunya cara. Tapi itu bukan hal mudah, sebab uji DNA hanya dapat dilakukan jika ada pembanding Kedua, mutilasi dilakukan dengan alasan dendam kepada korban sehingga kematian korban dengan cara sadis yang diinginkan oleh si pelaku. Dengan demikian mutilasi dengan alasan untuk menghilangkan jejak dan mutilasi dengan alasan dendam pribadi merupakan dua hal yang berbeda. 3
II. SEJARAH MUTILASI Perilaku mutilasi ternyata telah berlangsung selama ribuan tahun. Menurut catatan sejarah, mutilasi berlangsung sejak 100 SM di Amazon, Amerika Selatan. Waktu itu di suku-suku Amazon, yang memegang kekuasaan masyarakat adalah perempuan. Dalam suku-suku itu, yang berperang juga perempuan, bukannya laki-laki. Bahkan, apabila anak yang baru lahir laki-laki langsung dibunuh dan dimutilasi. 2
Beberapa kebudayaan mengizinkan dilakukannya mutilasi. Misalnya di Cina, ada budaya mengikat kaki seorang anak perempuan. 3
Ikatan tersebut tidak boleh dilepaskan hingga ia tua, dengan demikian kakinya akan tetap kecil. Kaki kecil (khusus wanita) di Cina melambangkan kecantikan. Dalam kebudayaan Islam, mutilasi diberlakukan bagi mereka yang terbukti mencuri, biasanya berupa amputasi pada tangan atau lengan. Namun bila terdakwa memiliki alasan kuat untuk mencuri (misalnya dalam kondisi sangat kelaparan), maka hukuman tersebut dapat dihindarkan. 2
Di Indonesia sebenarnya terdapat juga praktik mutilasi, yakni memenggal kepala orang atau kepala musuh pada saat terjadi perang di kalangan suku dayak dengan tujuan untuk mengambil kekuatan dari korban dan menunjukkan eksistensi dewasa pada masyarakat.
III. DEFINISI MUTILASI Menurut beberapa sarjana peristilahan kata mutilasi dapat diartikan dalam terminologi sebagai berikut : a. Stedman's Medical Dictionary 4
disfigurement or injury by removal or destruction of any conspicuous or essential part of the body. b. Merriam Webster's Collegiate Dictionary, 10th ed. (1999) 4 1. to cut up or alter radically so as to make imperfect 2. to cut off or permanently destroy a limb or essential part of; cripple." c. Blacks Law Dictionary memberikan definisi mengenai mutilasi atau (mutilation) sebagai the act of cutting off maliciously a persons body, esp. to impair or destroy the vistims capacity for self-defense.
IV. TEKNIK IDENTIFIKASI PADA KORBAN MUTILASI Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses 4
peradilan. Dengan diketahuinya identitas korban, pihak penyidik dapat melakukan penyidikan untuk mengungkap kasus menjadi lebih terarah, oleh karena secara kriminologis pada umumnya ada hubungan antara pelaku dengan korbannya dan mereka akan lebih mudah membuat satu daftar dari orang-orang yang patut dicurigai. 5,6,7
Identifikasi adalah suatu proses menentukan identitas seorang korban tindak pidana. Pemeriksaan bertujuan untuk menentukan apakah potongan berasal dari manusia atau binatang. Bila berasal dari manusia, ditentukan apakah potongan-potongan tersebut berasal dari satu tubuh. Penentuan juga meliputi jenis kelamin, ras, umur, tinggi badan dan keterangan lain seperti cacat tubuh, penyakit yang pernah diderita, status sosial ekonomi, kebiasaan-kebiasaan tertentu dan sebagainya serta cara pemotongan tubuh yang mengalami mutilasi. 1 Untuk memastikan bahwa potongan tubuh berasal dari manusia dapat digunakan beberapa pemeriksaan seperti pengamatan jaringan secara makroskopik, mikroskopik dan pemeriksaan serologik berupa reaksi antigen-antibodi (reaksi presipitin). Penentuan jenis kelamin dilakukan dengan pemeriksaan makroskopik dan diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopik yang bertujuan menemukan kromatin seks wanita seperti drum stick pada lekosit dan Barr body pada sel epitel. 1 Pemeriksaan identitas seseorang memerlukan berbagai metode, antaranya: 1. Metode sederhana i. Cara Visual 1,7,8,9
Metode ini dilakukan dengan memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah yang belum membusuk, sehingga masih mungkin dikenali wajah dan bentuk tubuhnya oleh lebih dari satu orang. Hal ini perlu diperhatikan 5
mengingat adanya kemungkinan faktor emosi (sedang berduka, sedih dan stres) yang turut berperan untuk membenarkan atau sebaliknya menyangkal identitas jenazah tersebut. ii. Melalui kepemilikan. Identitas cukup dapat dipercaya terutama bila kepemilikan tersebut masih melekat pada tubuh korban. Dari pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenazah, mungkin dapat diketahui merek atau nama pembuat, ukuran, inisial nama pemilik, badge yang semuanya dapat membantu proses identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah tersebut. Khusus anggota ABRI, identifikasi dipemudah oleh adanya nama serta NRP yang tertera pada kalung logam yang dipakainya. 7,8,9
Perhiasan seperti anting-anting, kalung, gelang, serta cincin yang ada pada tubuh korban, khususnya bila pada perhiasan itu terdapat initial nama seseorang yang biasanya terdapat pada bagian dalam gelang atau cincin, akan membantu dokter atau pihak penyidik di dalam menentukan identifikasi korban. Mengingat kepentingan tersebut maka penyimpanan dari perhiasan haruslah dilakukan dengan baik. 7,8,9
iii. Dokumentasi Dokumen seperti kartu identitas (KTP, SIM, Paspor) dan foto diri atau foto keluarga yang ditemukan dalam dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah tersebut. 1, 7,10
6
2. Metode Ilmiah i. Sidik jari 1,5,7,8,10,11
Metode ini membandingkan sidik jari jenazah dengan data sidik jari antemortem. Sampai saat ini, pemeriksaan sidik jari merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang. Dengan demikian harus dilakukan penanganan yang sebaik-baiknya terhadap jari tangan jenazah untuk pemeriksaan sidik jari, misalnya dengan melakukan pembungkusan kedua tangan jenazah dengan kantong plastik.
Tipe-tipe sidik jari:. (ab) Loop patterns: (a) ulnar loop; (b) radial loop. (cd) Arch patterns: (c) plain arch; (d) tented arch. (eh) Whorl patterns: (e) plain whorl; (f) central pocket loop; (g) double loop; (h) accidental whorl. Sistem sidik jari yang sekarang dipakai dikenal dengan sistim Henry. Pada sistem ini tiap jari terdapat suatu gambar sentral yang terbagi menjadi 4 macam, yaitu busur (arc), tented arc, 7
gelung (loop), ikal (whorl), serta bisa pula merupakan campuran/majemuk (composite). Selanjutnya, garis-garis tersebut dapat membentuk berbagai maxam konfigurasi, seperti delta, tripod, kait, anastomose, dll. Identifikasi sidik jari dinyatakan positif bila terdapat minimal 16 ciri yang sama, di mana secara matematis untuk memperoleh sidik jari yang persis sama kemungkinannya adalah 1:64,000,000,000. ii. Serologi 7,10, 11
Penentuan golongan darah yang diambil baik dari dalam tubuh korban, maupun bercak darah yang berasal dari bercak- bercak yang terdapat pada pakaian, akan dapat mengetahui golongan darah korban. Dan bila orang yang diperiksa kebetulan termasuk golongan sekretor (penentuan golongan darah dapat dilakukan dari seluruh cairan tubuh), maka pemeriksaan ini selain untuk menentukan jati diri seseorang dalam arti sempit, akan bermanfaat pula di dalam membantu penyidikan; misalnya pada kasus pemerkosaan, tabrak lari, seta kasus bayi yang tertukar dan penentuan bercak darah milik siapa yang terdapat pada senjata dan pada pakaian tersangka pelaku kejahatan di dalam kasus-kasus pembunuhan. iii. Odontologi 2,5, 7,10, 11
Gigi telah dikenal sebelumnya sebagai alat yang berguna bagi petugas hukum medis untuk menentukan identitas personal dari objek. Perkiraan umur berdasarkan gigi secara umum cukup dapat diandalkan karena gigi tersebut tetap bertahan bahkan setelah jaringan tisu dan tulang telah terintegrasi. Tidak seperti tulang, gigi juga dapat diinspeksi 8
pada orang yang masih hidup, juga dapat pada mereka yang telah meninggal. Pemeriksaan ini meliputi data gigi (Odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar-X dan pencetakan gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi dan sebagainya. Seperti halnya dengan sidik jari, maka setiap individu memiliki susunan gigi yang khas. Dengan demikian dapat dilakukan indentifikasi dengan cara membandingkan data temuan dengan data pembanding antemortem. Namun, perkiraan umur dapat menjadi lebih sulit setelah 14 tahun karena semua gigi permanen, kecuali molar ketiga akan telah berkembang, sehingga gigi-gigi ini menjadi satusatunya petunjuk dalam perkiraan umur. Sangat sedikit metode alternatif yang dapat digunakan dalam interval pertengahan remaja hingga awal umur 20 tahun. Molar ketiga memberikan kelebihan unik dibandingkan dengan gigi lain karena pertumbuhannya terus berlanjut lebih lama dibandingkan dengan gigi lain. Kebanyakan penelitian terkait dengan molar ketiga terfokus pada keberadaannya atau ketiadaannya. Tahapan radio grafis yang dapat dibedakan dari formasi gigi dideskripsikan dalam sedikit sekali kasus. Beberapa peneliti lebih memilih formasi gigi dibandingkan dengan erupsi gigi (misalnya kemunculan dari gigi dalam rongga oral atau mulut) sebagai perkiraan umur karena erupsi gigi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksogenus seperti infeksi, luka, obstruksi, terlampau banyaknya gigi, ekstraksi gigi sebelumnya dan lainnya. Dimana formasi 9
gigi adalah proses yang berlanjut hingga gigi sepenuhnya terkalsifikasi. Penelitian terkini dalam perkembangan molar ketiga telah diadopsi karena alasan kurangnya data dalam penelitian sejenisnyadi Gujarat dan kelompok umur yang telah ditentukan (15, 16, 18 tahun) memiliki peran penting bagi medis hukum. Umur dental dapat ditentukan diantara anak-anak dengan akurasi yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan banyak gigi yang sedang mengalami perkembangan dan kalsifikasi secara bersamaan. Bagaimanapun juga, akurasi ini berkurang dengan selesainya proses perkembangan dental seseorang. Untuk kelompok umur remaja, ada 2 metode identifikasi: pemeriksaan morfologi dari bentuk skeletal dan pemeriksaan radiologis dari pertumbuhan molar ketiga. Pemeriksaan morfologi dan radiologis dari molar ketiga menjadi bagian dari orthodontic dan oral surgical treatment serta memberikan informasi penting bagi pemeriksa. Dalam perkembangan dewasanya, setelah formasi dari premolar dan taring, hanya molar ketiga yang terus tumbuh. Berdasarkan beberapa penelitian, walaupun molar ketiga merupakan gigi yang paling dinamis dalam kedokteran gigi, mereka tetap menjadi indikator biologis terpercaya yang ada untuk menentukan umur dari pertengahan remaja hingga awal 20an. Ketepatan dari perkiraan umur menggunakan molar ketiga sangatlah penting ketika adanya kebutuhan untuk menentukan status remaja atau dewasa dari seorang individu ketika tidak ada dokumen valid yang memberikan informasi yang diinginkan. 10
Estimasi umur forensik menggunakan gigi secara umum digunakan dalam identifikasi manusia karena sifatnya yang lebih akurat dari indikator lain dalam tubuh. Namun dari umur 14 tahun, estimasi menjadi lebih sulit karena kebanyakan proses perkembangan gigi telah selesai. Molar kedua merupakan gigi yang paling terakhir berkembang setelah molar ketiga dan dapat verguna dalam menentukan umur remaja. M3 digunakan secara umum dalam menentukan umur dalam masa transisi antara non-dewasa dan dewasa serta banyak laporan perkiraan umut menggunakan gigi ini. Selebihnya, dalam kasus individu yang masih hidup, kedewasaan M2 dan M3 cenderung merupakan metode perkiraan umur terbaik karena sifatnya yang non invasif dan dapat dengan mudah didapatkan informasinya melalui radiograf. iv. DNA fingerprinting 11,12
Metode ini menjadi semakin luas dikenal dan semakin banyak digunakan akhir-akhir ini, khususnya pada beberapa kasus bencana alam dan kasus-kasus terorisme di Indonesia, misalnya kasus Bom Bali I dan II, Bom JW Marriott, Bom Kuningan, kasus tenggelamnya KMP Levina, dll. Pemeriksaan sidik DNA diperkenalkan pertama kali oleh Jeffreys pada tahun 1985. Metode ini umumnya membutuhkan sampel darah dari korban yang hendak diperiksa, namun demikian dalam keadaan tertentu di mana sampel darah tidak dapat diambil, maka dapat pula diambil dari tulang, kuku, dan rambut meskipun jumlah DNA-nya tidak sebanyak jumlah DNA dari sampel darah. DNA dapat ditemukan pada inti sel tubuh ataupun pada mitokondria (organ dalam sel yang berperan untuk pernafasan sel-sel tubuh) yang biasa disebut 11
DNA mitokondria. Untuk penentuan identitas seseorang berdasarkan DNA inti, dibutuhkan sampel dari keluarga terdekatnya. Misalnya, pada kasus Bom GBIS Solo baru-baru ini, sampel DNA yang didapat dari korban tersangka pelaku bom bunuh diri akan dicocokkan dengan sampel DNA yang didapat dari istri dan anaknya. DNA inti anak pasti berasal setengah dari ayah dan setengah dari ibunya. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu, bila tidak dijumpai anak-istri korban, maka dicari sampel dari orang tua korban. Bila tidak ada juga, dicari saudara kandung seibu, dan diperiksakan DNA mitokondrialnya karena DNA mitokondrial diturunkan secara maternalistik (garis ibu). Kromosom Y dan semua gen diwariskan dari ayah dalam garis keturunan langsung dari ayah, ke anak, ke cucu, dan sebagainya. Lokus STR pada kromosom Y adalah semua berhubungan dan karena itu diwariskan bersama sebagai satu unit. 3. Metode Superimposisi 13
Superimposisi adalah suatu sistem pemeriksaan untuk menentukan identitas seseorang dengan membandingkan korban semasa hidupnya dengan tengkorak yang ditemukan. Kesulitan dalam menggunakan teknik ini adalah: i. Korban tidak pernah membuat foto semasa hidupnya ii. Foto korban harus baik posisinya maupun kualitasnya iii. Tengkorak yang ditemukan sudah hancur dan tidak berbentuk lagi
12
V. KESIMPULAN Mutilasi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dari anggota tubuh lainnya oleh sebab yang tidak wajar yang merupakan sebuah kejahatan yang pada dasarnya telah terjadi selama ratusan bahkan ribuan tahun. Maraknya metode mutilasi ini digunakan oleh para pelaku kejahatan karena berbagai faktor, yaitu karena kondisi psikis dari seseorang dimana terjadi gangguan terhadap kejiwaannya, selain itu faktor dari sosial, faktor ekonomi, dan keadaan rumah tangga dari pelaku. Menentukan identitas personal dengan tepat amat penting dalam penyidikan karena adanya kekeliruan dapat berakibat fatal dalam proses peradilan. Dengan diketahuinya identitas korban, pihak penyidik dapat melakukan penyidikan untuk mengungkap kasus menjadi lebih terarah, oleh karena secara kriminologis pada umumnya ada hubungan antara pelaku dengan korbannya dan mereka akan lebih mudah membuat satu daftar dari orang-orang yang patut dicurigai. Terdapat berbagai teknik identifikasi yang dapat dilakukan pada korban mutilasi, seperti metode visual, sidik jari, odontologi, dokumen, dan DNA finger printing. Pada saat ini, teknik yang paling dapat dipercaya untuk digunakan pada identifikasi korban mutilasi adalah DNA finger printing karena hasilnya yang akurat. Namun kekurangan dari pemeriksaan ini adalah memerlukan biaya yang tinggi sehingga tidak semua keluarga korban mampu membayarnya. Penanganan identifikasi korban mutilasi berdasarkan standar yang berlaku merupakan suatu proses yang dapat dipertanggung jawabkan, baik secara ilmiah dan secara hukum. Untuk mencegah terjadinya hal yang sama, dibutuhkan sosialisasi ajaran agama dalam penanaman kesadaran keluarga tentang perlunya keharmonisan kehidupan sosial secara intensif dari seperti Dinas sosial. Para penegak hukum hendaknya memecahkan berbagai masalah kejahatan pembunuhan yang dilanjutkan mutilasi ini dengan cara penegakan hukum yang baik, teknik pelacakan korban dan pelaku yang canggih, pengamanan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang 13
ketat serta ditunjang autopsi dan forensik yang tepat dan tentunya hal tersebut haruslah didukung oleh masyarakat dalam melaporkan kejadian dan siap menjadi saksi serta peran media massa sangat dibutuhkan agar masyarakat mengetahui kejahatan itu. Diperlukan kerjasama dan pengertian yang baik di antara semua pihak yang terlibat dalam penerapannya, sehingga proses identifikasi mencapai ketepatan dalam identifikasi dan bukan hanya kecepatan dalam prosesnya.
14
DAFTAR PUSTAKA 1) Idries AM. Identifikasi Dalam Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta; Binarupa Aksara. 2002.hal.32-51 2) Wirasuta IM. Ruang Lingkup Ilmu Forensik Dalam Pengantar Menuju Ilmu Forensik. Jakarta; hal.1-10 3) Agustian RA. Kriminologi: Pelaku Mutilasi, Pantas Dihukum Mati.[online]. 2012 [cited 9th November 2012]. Available from: URL: http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php 4) Lund-Molfese NC. What is Mutilation In The American J of Bioethics Volume 3, Number 2.[online]. 2003 [cited 18th November 2012]. Available from: URL: http://www.login.htm 5) Knight B. Identification of The Living and Dead In Simpsons Forensic Medicine, Eleventh edition.USA; Arnold a member of the Hodder Headline Group.1997.p.32-37 6) Deadman WJ. Medico-legal: Identification of Human Remains In Canad Med Ass J.p.808-811 7) Budiyanto A, Widiatmaka W. Identifikasi Forensik Dalam Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta; Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1997.hal.197-199 8) Dix J, Graham M. Chapter 2: Identification In Time of Death, Decomposition and Identification An Atlas. Washington D.C; CRC Press.2000.p.81-113 9) Anonymous. Identification of The Dead. Department of Forensic Medicine, University of Dundee. 10) Lawrence N. Forensic Identification Techniques [online]. 2012 [cited 9th November 2012]. Available from: URL: http://www.ehow.com/info_8241406_forensic-identification-techniques.html 11) Hogge JP, Messmer JM, Doan QN. Radiographic Identification of Unknown Human Remains and Interpreter Experience Level In J of Forensic Sciences. ASTM International.1994.p.373-377 12) Barlow-Stewart K. DNA Genetic Testing-Paternity and Forensic Use In The Australasian Genetics Resource Book. 2007.p.1-6 15
13) Singh S. Penatalaksanaan Identifikasi Korban Dalam Majalah Kedokteran Nusantara Volume 41.2008.h.254-258