Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PREFORMULASI

1.1 Tinjauan Farmakologi Zat Aktif
1.1.1. Indikasi
Parasetamol merupakan derivat dari asetanilida yang
merupakan metabolit dari fenasetin yang dahulu banyak digunakan
sebagai analgetikum, tapi pada tahun 1978 ditarik dari peredaran karena
efek sampingnya berupa nefrotoksisitas dan karsinogen. Khasiat dari
parasetamol ini adalah sebagai analgesik dan antipiretik, tetapi tidak
untuk antiradang. Dewasa ini parasetamol dianggap sebagai zat antinyeri
yang paling aman juga untuk swamedikasi (pengobatan sendiri) (Tjay
dan Rahardja, 2008).
Parasetamol tidak mempengaruhi kadar asam urat dan sifat
penghambatan plateletnya lemah. Obat ini berguna untuk nyeri ringan
sampai sedang seperti sakit kepala, mialgia, nyeri pascapersalinan, dan
keadaan lain di mana aspirin tidak efektif sebagai analgesik (Katzung,
2002). Parasetamol dapat diberikan per oral dan per rektal untuk
mengatasi keluhan nyeri ringan hingga sedang, serta demam (Reynolds,
2007).
1.1.2. Farmakokinetika
Parasetamol diberikan secara oral. Penyerapannya
berhubungan dengan tingkat pengosongan perut, dan konsentrasi darah
puncak yang biasanya tercapai dalam 30-60 menit. Parasetamol sedikit
terikat pada protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim
mikrosomal hati dan diubah menjadi sulfat dan glukoronida
acetaminophen, yang secara farmakologis tidak aktif. Kurang dari 5%
diekskresikan dalam keadaan tidak berubah. Metabolit minor, tetapi
sangat aktif (N-acetyl-p-benzoquinone) penting dalam dosis besar karena
efek toksiknya terhadap hati dan ginjal. Waktu paruh parasetamol adalah
2-3 jam dan relatif tidak berpengaruh oleh fungsi ginjal. Dengan
kuantitas toksik atau penyakit hati, waktu paruhnya dapat meningkat dua
kali lipat atau lebih (Katzung, 2002).
Parasetamol yang diberikan per rektal memiliki kecepatan
absorpsi yang lebih lambat dibandingkan bila diberikan secara per oral.
Parasetamol didistribusikan ke hampir sebagian besar jaringan tubuh.
Parasetamol dapat menembus plasenta dan terekskresi dalam air susu.
Parasetamol dimetabolisme terutama di liver dan diekskresikan melalui
urin terutama sebagai konjugat glukoronid dan sulfatnya. Kurang dari 5%
diekskresikan dalam bentuk tidak berubah (Reynolds, 2007).
Adapun bioavailabilitas dari parasetamol: 70 90% dengan
ikatan protein plasma antara 8 sampai 40%. T

plasma pada dewasa


sekitar 1 sampai 3 jam, dan pada neonatus sekitar 5 jam. Volume
distribusi (Vd) parasetamol adalah 1 L/kg danClearent (Cl) sekitar 5
mL/min/kg (Clarke, 2005).
1.1.3. Mekanisme
Parasetamol dapat menurunkan demam dengan bekerja pada
hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi (Mashford, 2007).
Parasetamol memiliki daya analgetik ringan karena kerjanya
menghambat sintesis prostaglandin pada sistem saraf perifer dan
memblok impuls nyeri. Sedangkan daya antipiretik diperoleh karena
kerjanya memberikan rangsangan terhadap pusat pengatur kalor di
hipothalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan
bertambahnya pengeluaran kalor yang disertai keluarnya banyak keringat
(Tjay dan Rahardja, 2008). Pada dosis terapeutik, inhibisi sintesis
prostaglandin tidak signifikan pada jaringan peripheral, sehingga
parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang rendah. Meskipun
parasetamol menginhibisi dengan lemah isolasi cyclo-oxygenase (COX)-
1 dan COX-2 secara in vitro, tetapi inhibitor kuat dari sintesis
prostaglandin di dalam sistem selular pada saat konsentrasi dari asam
arachidonat rendah (Mashford, 2007).


1.1.4. Dosis
Tabel 1.Dosis Parasetamol untuk Anak dan Bayi
Umur
Dosis Lazim
Sekali Sehari
6 12 bulan 50 mg 200 mg
1 5 tahun 50 mg 100 mg 200 mg 400 mg
5 10 tahun 100 mg 200 mg 400 mg 800 mg
10 tahun ke atas 250 mg 1 Gram
(Depkes RI, 1979)
Dosis Parasetamol untuk dewasa
- Dosis lazim sekali : 500 mg
- Dosis lazim sehari : 500 mg 2 g
(Depkes RI, 1979)
1.1.5. Efek Samping
Efek samping jarang terjadi lewat dosis sedang seperti mual,
muntah, nyeri perut, menggigil. Dosis berkepanjangan dapat
mengakibatkan neutropenia, leukopenia, trombositopenia, pensilopenia,
agranulositosis, reaksi hipersensitivitas, udem laring, lesi mukosa,
eritemia atau ruam, udem angioneurotik dan demam. Reaksi
hipersensitivitas meliputi gejala urtikaria, disponoea, dan hipotensi dapat
terjadi setelah penggunaan parasetamol baik pada dewasa maupun anak-
anak juga dilaporkan terdapat (Sweetman, 2009).
1.1.6. Kontra Indikasi
Hipersensitifitas terhadap parasetamol dan komponen formulasi lainnya.
Penderita dengan gangguan fungsi hati yang berat, gangguan fungsi
ginjal, diabetes mellitus dan penderita G6PD (Lacy, et al., 2006).
1.1.7. Peringatan
Limit dosis < 4 g/hari dapat menyebabkan toksisitas hati pada kasus
overdosis akut, pada beberapa pasien dewasa dapat menyebabakan
kerusakan hati pada dosis harian kronis. Digunakan dengan perhatian
pada pasien dengan penyakit hati karena alkoholik dan pasien dengan
defisiensi G6PD yang tidak diketahui (Lacy, et al., 2006). Hati-hati jika
digunakan pada pasien dengan penyakit ginjal, infeksi virus, alkoholik
sebab dapat menyebabkan meningkatnya hepatotoksik. Jika terjadi
sensitivitas, pemakaian obat harus dihentikan. Tidak dianjurkan untuk
batuk berdahak dan keadaan-keadaan di mana terjadi gangguan
pernafasan, misalnya asma bronchial. Bila setelah 5 hari nyeri tidak
menghilang, atau demam tidak menurun setelah 2 hari, segera hubungi
unit pelayanan kesehatan (Tjay dan Rahardja,2008).
1.1.8. Interaksi Obat
Pemberian bersama-sama diflusinal mengakibatkan kenaikan konsentrasi
plasma. Resin penukar anion (kolestiramin) menurunkan absorbsi
parasetamol. Penggunaan antikoagulan dan parasetamol dalam jangka
waktu yang lama mungkin meningkatkan konsentrasi warfarin.
Metoclopramide dan domperidon metoclopramid mempercepat absorbsi
parasetamol (meningkatkan efek). Efek analgetik parasetamol diperkuat
oleh kodein dan kafein. Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek
antikoagulansia tetapi pada dosis biasa tidak interaktif. Dapat
memperpanjang masa paruh kloramfenikol. Kombinasi dengan obat
AIDS zidovudin meningkatkan resiko akan neutropenia (Tjay dan
Rahardja, 2008). Barbiturat, karbamazepin, hydantoins, isoniazid,
rifampin, sulfinpyrazone dapat meningkatkan potensi hepatotoksik dan
menurunkan efek analgesik dari parasetamol.Kolesteramin dan
propantelin dapat menurunkan absorpsi parasetamol.Etanol dapat
meningkatkan resiko induksi hepatotoksik dari parasetamol (Lacy, et al.,
2006).
1.1.9. Penyimpanan
Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya (Depkes RI, 1979).
Suppositoria disimpan pada suhu di bawah 27
0
C (80
0
F) atau dalam
kulkas.




1.2 Tinjauan Fisikokimia Zat Aktif dan Bahan Tambahan
1.2.1. Acetaminophen (Parasetamol)



Gambar 1. Struktur Kimia Parasetamol

a) Rumus kimia : C
8
H
9
NO
2

b) Berat molekul : 151,16 gram/mol
c) Kandungan : Acetaminophen mengandung tidak kurang dari
98,0 % dan tidak lebih dari 101,0% C
8
H
9
NO
2
,
dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
d) Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau,
rasa pahit.
e) Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol
(95%) P, dalam 13 bagian aseton P, dalam 40
bagian gliserol P dan dalam 9 bagian
propilenglikol P, larut dalam larutan alkali
hidroksida
f) Interaksi obat : Disolusi Parasetamol akan menurun dengan
adanya peningkatan kadar sorbitol.
g) Suhu lebur : 169
0
Csampai 172
0
C
h) pH : Larutan jenuh acetaminophen memilki pH antara
5,3-6,5 (codex).
i) Penetapan kadar: Lakukan penetapan dengan cara penetapan kadar
nitrogen, menggunakan 300 mg yang ditimbang
saksama dan 8 ml asam sulfat bebas nitrogen P
j) Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya.
k) Khasiat : Analgetikum dan antipiretikum.
l) Stabilitas : Hidrolisis dapat terjadi pada keadaan asam
ataupun basa. Hidrolisis minimum terjadi pada
rentang pH antara 5-7.
(Depkes RI,1995).

1.2.2. Polietilen Glikol 4000 (PEG 4000)/ Macrogolum 4000/ Makrogol
4000
a) Rumus molekul : H(O-CH
2
-CH
2
)nOH ; harga n antara 68 dan 84
b) Pemerian : serbuk licin putih atau potongan putih kuning
gading; praktis tidak berbau; tidak berasa.
c) Kelarutan : mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) P dan
dalam kloroform P; praktis tidak larut dalam eter
P.
d) Berat molekul : 3000 sampai 3700 (Depkes RI, 1979).
e) Titik Leleh : 50-58
0
C (Rowe dkk,2009)
f) Kekentalan : 776 cS sampai 110 cS pada suhu 210 F
dinyatakan sebagai kekentalan kinematik.
g) Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat
h) Penguunaan : zat tambahan
(Depkes RI, 1979).

1.2.3. Polietilen Glikol 6000 (PEG 6000)/ Macrogolum 6000/ Makrogol
6000
a) Rumus molekul : H(O-CH
2
-CH
2
)nOH ; harga n antara 158 dan
204
b) Pemerian : serbuk licin putih atau potongan putih kuning
gading; praktis tidak berbau; tidak berasa.
c) Kelarutan : mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) P dan
dalam kloroform P; praktis tidak larut dalam eter
P.
d) Berat molekul : 7000 sampai 9000 (Depkes RI, 1979).
e) Titik Leleh : 55-63
0
C (Rowe dkk,2009)
f) Kekentalan : 470 cS sampai 900 cS pada suhu 210 F
dinyatakan sebagai kekentalan kinematik.
g) Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat
h) Penguunaan : zat tambahan
(Depkes RI, 1979).

1.2.4. Tween 80
a) Rumus molekul : C
64
H
124
O
26

b) Pemerian : Cairan kuning berminyak, rasa agak pahit
c) Kelarutan : Larut dalam etanol dan air
d) Berat molekul : 1310
e) Nilai HLB : 15
f) Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat
g) Penggunaan : sebagai zat tambahan, surfaktan
(Rowe dkk, 2009).


1.3 Bentuk sediaan, dosis dan rute pemakaian
1.3.1. Bentuk sediaan : Suppositoria (parasetamol).
Supositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur,
berbentuk torpedo, dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu
tubuh. Bahan dasar yang digunakan harus dapat larut dalam air atau
meleleh pada suhu tubuh. Basis dasar yang sering digunakan adalah
lemak coklat (oleum cacao), polietilenglikol berbobot molekul tinggi
atau lemak yang lain. Bobot supositoria kalau tidak dinyatakan lain
adalah 3 g untuk orang dewasa dan 2 g untuk anak. Supositoria supaya
disimpan dalam wadah tertutup baik dan di tempat yang sejuk (
Depkes RI, 1979).
Umumnya, suppositoria rektum panjangnya 32 mm (1,5
inci), berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Beberapa
suppositoria untuk rectum diantaranya ada yang berbentuk seperti
peluru, torpedo atau jari-jari kecil tergantung kepada bobot jenis
bahan obat dan habis yang digunakan, beratnya pun berbeda-beda.
USP menetapkan berat suppositoria 2 gram untuk orang dewasa
apabila oleum cacao yang digunakan sebagai basis. Sedang
suppositoria untuk bayi dan anak-anak, ukuran dan beratnya dari
ukuran dan berat untuk orang dewasa, bentuknya kira-kira seperti
pensil. Suppositoria untuk vagina yang juga disebut pessarium
biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai dengan
kompendik resmi beratnya 5 gram, apabila basisnya oleum cacao.
Suppositoria untuk saluran urin yang juga disebut bougie bentuknya
ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam saluran
urin pria atau wanita. Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-
6 mm dengan panjang 140 mm, walaupun ukuran ini masih
bervariasi satu dengan lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao
maka beratnya 4 gram. Suppositoria untuk saluran urin wanita
panjang dan beratnya dari ukuran untuk pria, panjang 70 mm dan
beratnya 2 gram dan basisnya oleum cacao (Ansel, 2008).

1.3.2. Dosis
Dosis obat yang digunakan melalui rektum mungkin lebih besar atau
lebih kecil daripada obat yang dipakai secara oral, tergantung kepada
faktor-faktor seperti keadaan tubuh pasien, sifat fisika kimia obat dan
kemampuan obat melewati penghalang fisiologi untuk absorpsi dan
sifat basis suppositoria serta kemampuannya melepaskan obat supaya
siap untuk diabsorpsi (Ansel, 2008). Bobot suppositoria bila tidak
dinyatakan lain adalah 3 gram untuk orang dewasa dan 2 gram untuk
anak (Anief, 1997).
Tabel 1. Dosis Suppositoria Parasetamol
Umur Dosis
1-5 tahun 125-250 mg tiap 4-6 jam
6-12 tahun 250-500 mg tiap 4-6 jam
> 12 tahun 0,5-1 gram tiap 4-6 jam

BNFC merekomendasikan dosis rektal pada bayi :
a) Neonatus usia 28-32 minggu, 20 mg/kg sebagai dosis tunggal,
kemudian 15 mg/kg tiap 12 jam bila diperlukan, dengan dosis
maksimum 30 mg/kg sehari.
b) Neonatus usia diatas 32 minggu, 30 mg/kg sebagai dosis tunggal,
kemudian 20 mg/kg tiap 8 jam bila diperlukan, dengan dosis
maksimum 60 mg/kg sehari.
c) Bayi usia 1-3 bulan, 30-60 mg tiap 8 jam bila diperlukan, dengan
dosis maksimum 60 mg/kg sehari.
d) Bayi usia 2-12 bulan, 60-125 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan
hingga maksimum 4 kali dalam 24 jam.
e) Anak usia 5-12 tahun, 250-500 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan
hingga maksimum 4 kali dalam 24 jam.
f) Pada gejala yang berat, anak-anak usia 1-3 bulan dapat diberikan
30 mg/kg sebagai dosis tunggal, kemduian diikuti dengan 20 mg/kg
tiap 8 jam hingga maksimum 60 mg/kg sehari. Anak-anak dengan
usia lebih besar dapat diberikan 40 mg/kg dalam dosis tunggal yang
diikuti dengan 20 mg/kg tiap 4-6 jam hingga maksimum 90 mg/kg
sehari dalam 48 jam, bila diperlukan, sebelum diturunkan mencapai
15 mg/kg tiap 6 jam
(Sweetman, 2009).
1.3.3. Rute Pemakaian
a) Satu supositoria digunakan setiap 4-6 jam jika diperlukan untuk nyeri
dan demam. Petunjuk pemakaian : Cuci tangan sampai bersih, buka
pembungkus suppositoria, kemudian tidur dengan posisi miring, dan
masukkan suppositoria ke dalam rektum dengan jari kanan. Jangan
berikan lebih dari 6 suppositoria dalam periode 24 jam. Supositoria
digunakan 15 menit setelah buang air besar atau tahan pengeluaran air
besar selama 30 menit setelah pemakaian (Monson and Schoenstadt,
2007).
b) Begitu dimasukkan, basis suppositoria meleleh, melunak, atau melarut
menyebarkan bahan obat yang dibawanya ke jaringan-jaringan di
daerah tersebut. Obat ini bisa dimaksudkan untuk ditahan dalam ruang
tersebut untuk efek kerja lokal, atau bisa juga dimaksudkan agar
diabsorpsi untuk mendapatkan efek sistemik. Suppositoria rektal
dimaksudkan untuk kerja lokan dan paling sering digunakan untuk
menghilangkan konstipasi dan rasa sakit, iritasi, rasa gatal dan radang
sehubungan dengan wasir atau kondisi anorektal lainnya (Ansel,
2008).
Informasi khusus : Hanya untuk pemakaian rektal. Hentikan penggunaan
dan hubungi dokter jika sakit berlanjut hingga 3 hari.
Jauhkan dari jangkauan anak-anak. Jika tertelan atau
terjadi overdosis, segera hubungi dokter (Monson and
Schoenstadt, 2007).

















BAB II
FORMULASI

2.1. Permasalahan
Adapun masalah dari pembuatan sediaan suppositoria dengan zat aktif
paracetamol dan basis PEG yaitu :
a. Pada saat pencetakan suppositoria mudah melekat pada cetakan.
b. Suppositoria dengan basis PEG dapat menyebabkan rangsangan pada
membran mukosa setelah dipakai.
c. Jumlah PEG 4000 lebih besar daripada PEG 6000 sehingga dapat
menyebabkan suppositoria terlalu keras karena BM dari PEG 6000 > 4000
yakni 7000-9000 gr/mol > 3000-3700 gr/mol.
d. Pada saat penimbangan, kemungkinan terjadi kehilangan bobot bahan

2.2. Pencegahan Permasalahan
a. Cetakan suppositoria dilapisi terlebih dahulu dengan gliserin.
b. Suppositoria dengan basis PEG harus mengandung sedikitnya 20% air
untuk mencegah rangsangan membran mukosa (Ansel, 2008). Pada etiket
sediaan suppositoria harus diberi petunjuk basahi dengan air sebelum
digunakan, meskipun dapat disimpan tanpa pendinginan, suppositoria ini
harus dikemas dalam wadah tertutup rapat (Depkes RI, 1995).
c. Di dalam formula harus ditambahkan air agar suppositoria tidak terlalu
keras
d. Ditambahkan 10% bobot setiap bahan yang ingin ditimbang

2.3. Macam-Macam Formulasi (Formula Standar dan Formula Kerja)
a. Formulasi I
R/ Progesteron, micronized q.s
Polietilen glikol 400 60%
Polietilen glikol 8000 40 %
(Ansel, 2008)

b. Formulasi II
R/ Parasetamol 120 mg
PEG 300 180,8 mg
PEG 4000 723,2 mg
(Reynolds, 1989).
c. Formulasi III
R/ PEG 4000 33%
PEG 6000 47%
Aqua 20%
d. Formulasi IV
R/ PEG 1540 33%
PEG 6000 47%
Aqua 20%
(Anief, 1997).

2.4. Formula yang Akan Diajukan Untuk Dibuat Dalam Praktikum
R/ Parasetamol 500 mg
PEG 4000 33%
PEG 6000 47%
Air 19,5%
Tween 80 0,5%

2.5. Pembuatan Supositoria dengan 100% basis (untuk 1 batch)
1 bacth berisi 3 buah suppo dengan bobot masing-masing suppo adalah 3
gram. Dengan demikian bobot total suppo dalam 1 batch adalah 9 gram
Perhitungan :
a. PEG 4000 = 33% x 9 gram
= 2,97 gram
b. PEG 6000 = 47% x 9 gram
= 4,23 gram

c. Air = 19,5% x 9 gram
= 1,755 gram
d. Tween 80 = 0,5% x 9 gram
= 0,045 gram
Penimbangan dengan penambahan 10% bahan sebagai antisipasi kehilangan
bahan, sehingga perhitungannya:
a. PEG 4000 = 2,97 gram + (10% x 1,97 gram)
= 3,267 gram
b. PEG 6000 = 4,23 gram + (10% x 4,23 gram)
= 4,653 gram
c. Air = 1,755 gram + (10% x 1,755 gram)
= 1,9305 gram
BJ air = 1 gram/mL
Volume air =
, gram
gramm

= 1,9305 mL
d. Tween 80 = 0,045 gram + (10% x 0,045 gram)
=0,0495 gram

2.6. Pembuatan Supositoria dengan 10% zat aktif dan 90% basis (untuk 1
batch)
1 batch berisi 3 suppo dengan bobot masing-masing suppo adalah 3 gram.
Dengan demikian bobot total suppo dalam 1 batch adalah 9 gram.
Perhitungan :
a. Parasetamol = 10% x 9 gram
= 0,9 gram
b. Basis = 90% x 9 gram
= 8,1 gram
- PEG 4000 = 33% x 8,1 gram
= 2,673 gram
- PEG 6000 = 47% x 8,1 gram
= 3,807 gram
- Air = 19,5% x 8,1 gram
= 1,5795 gram
BJ air = 1 gram/mL
Volume air =
, gram
gramm

= 1,5795 mL
- Tween 80 = 0,5% x 8,1 gram
= 0,0405 gram

Penimbangan dengan penambahan 10% bahan tambahan sebagai antisipasi
kehilangan bahan, sehingga dihasilkan perhitungan:
a. Parasetamol = 0,9 gram
b. PEG 4000 = 2,673 gram + (10% x 2,673 gram)
= 2,940 gram
c. PEG 6000 = 3,807 gram + (10% x 3,807 gram)
= 4,188 gram
e. Air = 1,5795 gram + (10% x 1,5795 gram)
= 1,737 gram
BJ air = 1 gram/mL
Volume air =
, gram
gramm

= 1,737 mL
d. Tween 80 = 0,0405 gram + (10% x 0,0405 gram)
= 0,045 gram

2.7. Penimbangan bahan dengan Bilangan Pengganti (F)
a. Parasetamol = 6 x (500 x (F1))
= (G1) gram
Parasetamol = 500 mg x 6
= 3000 mg atau 3 gram
b. Basis = 18 gram (G1) gram
= (H1) gram
- PEG 4000 = 33% x (H1) gram
= (I1) gram
- PEG 6000 = 47% x (H1) gram
= (J1) gram
- Air = 19,5% x (H1) gram
= (K1) gram
- Tween 80 = 0,5% X (H1) gram
= (L1) gram
Penimbangan dengan penambahan 10% bahan tambahan sebagai antisipasi
kehilangan bahan, sehingga perhitungannya :
a. Parasetamol = 3 gram
b. PEG 4000 = (I1) gram + (10% x (I1) gram)
= (M1) gram
c. PEG 6000 = (J1) gram + (10% x (J1) gram)
= (N1) gram
d. Air = (K1) gram + (10% x (K1) gram)
= (O1) gram
BJ air = 1 gram/mL
Volume air =
gram
gramm

= (P1) mL
e. Tween 80 = (L1) gram + (10% x (L1) gram)
= (Q1) gram







BAB III
PRODUKSI

3.1. Tabel Penimbangan
No. Bahan Jumlah Fungsi
1
Suppo
dengan basis
100%
PEG 4000 3,267 gram
Basis
PEG 6000 4,653 gram
Air 1,9305 mL
Tween 80 0,0495 gram
2
Suppo
dengan 10%
zat aktif &
90% basis
Parasetamol 0,9 gram Zat aktif
PEG 4000 2,940 gram
Basis
PEG 6000 4,188 gram
Air 1,737 mL
Tween 80 0,045 gram
3
Suppo
dengan
bilangan
pengganti
Parasetamol 3 gram Zat aktif
PEG 1500 (M1) gram
Basis
PEG 4000 (N1) gram
Air (P1) mL
Tween 80 (Q1) gram

3.2. ALAT DAN BAHAN
3.2.1 Alat
- Timbangan
- Gelas beaker
- Penangas air
- Sendok tanduk
- Kertas perkamen
- Tisu
- Batang pengaduk
- Cawan porselen
- Cetakan suppositoria
- Termometer
- Aluminium foil


3.2.2 Bahan
- Parasetamol
- PEG 4000
- PEG 6000
- Air
- Tween 80

3.3. CARA KERJA
3.3.1. Pembuatan Suppositoria dengan 100% basis


Ditimbang sesuai perhitungan


dilebur pada suhu 55
0
C-63
0
C


Suhu pemanasan diturunkan, dilebur
pada suhu 55
0
-58
0
C secara perlahan-
lahan, kemudian dimasukan PEG 4000



Ditambahkan tween 80 dan Air.
Kemudian diaduk hingga homogen




PEG 6000 yang telah ditimbang
Leburan PEG 6000
PEG 4000 dan PEG 6000
Leburan PEG 6000 dan PEG 4000
Campuran homogen




Dimasukkan ke dalam cetakan yang
telah dilapisi gliserin dan telah
dikalibrasi sebelumnya.
Didiamkan dan disimpan di lemari
pendingin sampai membeku









Dikeluarkan dari cetakan.
Ditimbang bobot setiap suppositoria
Dihitung bobot suppositoria rata-rata




3.3.2. Pembuatan Suppositoria Basis 90% + 10% Paracetamol



Ditimbang sesuai perhitungan


Suppositoria basis yang telah membeku
Bobot Suppositoria rata-rata
Paracetamol, PEG 6000 dan PEG 4000
PEG 6000 yang telah ditimbang
Basis suppositoria



Dilebur pada suhu 55
0
C-63
0
C



Ditambahkan PEG 4000 kemudian
suhu pemanasan diturunkan, dilebur
pada suhu 50
0
-58
0
C secara perlahan-
lahan


Ditambahkan tween 80




Parasetamol dilarutkan dengan air.
Ditambahkan larutan parasetamol
sedikit demi sedikit, diaduk hingga
homogen


Dimasukkan ke dalam cetakan yang
telah dilapisi gliserin dan telah
dikalibrasi sebelumnya.

Didiamkan dan disimpan di lemari
pendingin sampai membeku


Campuran basis dan parasetmol
Suppositoria yang telah membeku
Leburan PEG 6000
Campuran homogen
Leburan PEG 6000 dan PEG 4000
Dikeluarkan dari cetakan.
Dibungkus dengan aluminium foil



3.3.3. Pembuatan Suppositoria untuk Masing-Masing Formula dalam 1
Batch


Ditimbang sesuai perhitungan



Dilebur pada suhu 55
0
C-63
0
C



Ditambahkan PEG 4000 dan air
kemudian suhu pemanasan diturunkan,
dilebur pada suhu 50
0
-58
0
C secara
perlahan-lahan


Ditambahkan tween 80




Parasetamol dilarutkan dengan air.
Ditambahkan larutan parasetamol
sedikit demi sedikit, diaduk hingga
homogen
Paracetamol, PEG 6000 dan PEG 4000
Campuran homogen
Leburan PEG 6000
PEG 6000 yang telah ditimbang
Suppositoria parasetamol
Leburan PEG 6000 dan PEG 4000



Dimasukkan ke dalam cetakan yang
telah dilapisi gliserin dan telah
dikalibrasi sebelumnya.
Didiamkan dan disimpan di lemari
pendingin sampai membeku


Dikeluarkan dari cetakan.
Dibungkus dengan aluminium foil dan
dimasukkan kedalam kemasan



3.3.4. Evaluasi Sediaan
a. Uji Keseragaman Bobot



Ditimbang satu persatu


Dicatat bobotnya, dihitung selisih bobot
dan 5 penyimpangan






Suppositoria Parasetamol
Data keseragaman bobot
Suppositoria yang telah ditimbang

Campuran basis dan parasetmol
Suppositoria yang telah membeku
Suppositoria parasetamol dalam kemasan, suppositoria dievaluasi
b. Uji Kisaran Leleh


Dimasukan kedalam gelas beker berisi
air yang telah dipanaskan pada suhu
37
0
C, dibiarkan meleleh.


Dicatat waktu yang diperlukan
suppositoria untuk meleleh sempurna






















Suppositoria
Suppositoria meleleh sempurna
Data uji kisaran leleh
BAB IV
KEMASAN DAN LIFLET

4.1. KEMASAN
4.1.1. Kemasan Sekunder






4.1.2. Kemasan Primer
- Aluminium foil
- Kotak Plastik







4.2. LIFLET




















DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM Press.
Ansel, H.C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta : UI Press.
Clarke, E.G.C. 2005. Clarke`s Analysis of Drugs and Poisons. London:
Pharmaceutical Press.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Katzung, B. G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika.
Lacy, C. F., et al. 2006. Drug Information Handbook. Ohio : Lexi-comp.
Mashford, M. L. 2007. Therapeutic Guidelines: Analgesic, version 5. Australia:
Therapeutic Guidelines Limited.
Monson, K and A. Schoenstadt. 2007. Acetaminophen Suppository Dosing Chart
(cited 2013 Nov, 3). Available at:
http://kids.emedtv.com/acetaminophen-suppositories/acetaminophen-
suppository-dosage.html
Reynolds, J.E.F., et al. 2007. Martindale The Extra Pharmacopeia. London : The
Pharmaceutical Press.
Rowe, C. R, Sheskey, P. J., Quinn, M. E. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients 6
th
Edition. Amerika : Pharmaceutical Press
Sweetman, S.C. 2009. Martindale; The Complete Drug Reference. USA:
Pharmaceutical Press.
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2008. Obat-obat Penting Khasiat Penggunaan dan
Efek-efek Sampingnya. Jakarta: PT Elex Media Computindo.

Anda mungkin juga menyukai