Anda di halaman 1dari 2

ETNISITAS DALAM PEMILIHAN PRESIDEN

A. PENDAHULUAN
Pemilihan umum presiden merupakan salah satu perhelatan akbar di Indonesia yang
terjadi setiap lima tahun sekali, setelah diadakannya pemilihan legislatif. Acara ini bertujuan
untuk menentukan pemimpin bangsa untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Pemilihan
presiden pada tahun 2014 merupakan kali ketiga kita memilih presiden dan wakil presiden
secara langsung. Setelah sebelumnya pemilihan presiden terjadi pada tahun 2004 dan 2009,
dimana pada dua periode tersebut Susilo Bambang Yudhoyono terpilih menjadi Presiden
Republik Indonesia. Dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, siapapun
warganegara Indonesia berhak mencalonkan diri asalkan diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling
sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR
(UU Th.2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden).
Calon presiden dan wakil presiden yang disyaratkan oleh undang-undang,
menyebutkan bahwa seluruh warganegara Indonesia boleh mengajukan diri, tanpa terkecuali
dan tanpa melihat apa agama dan apa etnisnya. Etnis yang berasal dari bahasa Yunani
ethnos, secara etimologis berarti penyembahan atau pemuja berhala. Menurut Donald I.
Horowitz dalam Mardiansyah (2001), terminologi etnis sangat berkaitan dengan kelahiran
dan darah meskipun tidak selalu demikian. Dia juga menyebutkan bahwa kelompok etnis
dibedakan berdasarkan warna kulit, bahasa dan kepercayaan yang mencakup suku, ras,
nasionalis dan kasta. Menurut Schemerhorn dalam Poerwanto (2003) kelompok etnis
merupakan kolektiva dalam suatu masyarakat yang lebih luas, yang memiliki persamaan asal
nenek moyang naik yang secara nyata atau semu, yang mempunyai pengalaman sejarah sama
dan suatu kesamaan fokus budaya yang terpusat pada unsur-unsur simbolik dalam bentuk
yang melambangkan suatu persamaan bangsa. Misalnya persamaan ciri-ciri fenotip, religi,
bahasa, pola kekerabatan, nasionalitas, afiliasi kesukubangsaan atau gabungan dari semua itu.
Persamaan tersebut menjadi sebuah identitas bagi individu dalam bermasyarakat. Kelompok
besar dari individu-individu yang memiliki kesamaan tersebut, nantinya menjadi dasar dalam
pembentukan suku bangsa. Dalam sebuah bangsa menurut Ben Anderson, terdapat ikatan
kuat kebangsaan yang muncul karena adanya akar kultural yang mendekati religius yang
menopang komunitas tersebut.
Permasalahan kemudian muncul ketika suatu etnis atau suku bangsa dijadikan salah
satu faktor penting dalam proses pemilihan umum presiden atau wakil presiden. Dalam
pelaksanaan proses pemilihan umum, terutama pada masa kampanye isu mengenai kelompok
etnis, ras, agama atau golongan sering sekali muncul dan menjadi isu yang seksi untuk
diperbincangkan. Indonesia yang memiliki lebih dari 1300 suku bangsa, dimana populasi
terbesar yaitu suku Jawa yang mencapai 95,2 juta jiwa atau sekitar 40% populasi penduduk di
Indonesia. Sedangkan dari kelompok agama, populasi terbesar penduduk Indonesia beragama
Islam dengan jumlah 207,2 juta jiwa atau 87,18% populasi penduduk Indonesia (SP BPS
2010). Akan menjadi suatu permasalahan jika kemudian muncul calon presiden atau wakil
presiden tidak berasal dari kelompok mayoritas. Atau bahkan misal beraasal dari kelompok
mayoritas, isu etnis dan agama ini akan tetap mengemuka sebagai alat untuk menyerang
calon pasangan lain demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Keragaman suku bangsa,
agama atau golongan yang seharusnya menjadi kekayaan budaya negara bangsa Indonesia
justru akan menjadi penyulut perpecahan ketika isu ini digunakan dalam kancah politik.
Banyak pihak pengamat politik, tokoh masyarakat bahkan kalangan akademisi sering
menjadikan alasan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden sebaiknya mewakili
seluruh etnis di Indonesia. Misalnya saja pada saat pemilihan presiden tahun 2009, banyak
pihak yang menyayangkan terpilihnya pasangan wakil presiden Boedione sebagai
pendamping Susilo Bambang Yudhoyono. Selain karena alasan bukan berasal dari partai
politik, kepanjangan tangan dari neoliberalisme dan alasan menarik lainnya adalah karena
Boediono tidak mewakili pasangan Jawa dan luar Jawa (Sugiono, 2009).
Menarik untuk dianalisis mengenai isu yang berkaitan dengan etnis, ras, agama dan
golongan dalam masa pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia. Permasalahan
etnis dalam kancah politik menurut Epstein dalam Poerwanto (2003) disebut dengan etnisitas,
dia mengatakan bahwa etnisitas merupakan sebuah fenomena politk yang melibatkan
perjuangan untuk memperoleh kekuasaan antara kelompok etnis sebagai kelanjutan dan
pertahanan kepentingan kolektif mereka. Sehingga diharapkan dari analisis ini akan
memunculkan apakah isu etnis yang dimunculkan dalam proses pemilihan presiden dan wakil
presiden ini, relevan digunakan ataukah hanya untuk meraih kepentingan dari kelompok
tertentu.

Anda mungkin juga menyukai