030. 10. 179 Mirad Aditya 030. 10. 189 Muhammad Dainul M. 030. 11. 009 Ady Fitrah Saragih 030. 11. 019 Amanda Shabrina Putri 030. 11. 129 Herdandy Driya P. 030. 11. 139 Imam Kurniawan
030. 11. 209 Nani Oktapiani 030. 11. 259 Rokhim Suryadi 030. 11. 289 Tri Wendha Setia Ningsih 030. 12. 159 Marsella N. Karauwan 030. 12. 189 Ni Ketut Putri Angga D.
JAKARTA Selasa, 28 Oktober 2014 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI 1
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN 2
BAB II : ISI : SKENARIO KASUS 3
BAB III : PEMBAHASAN 4 1. ETIKA KEDOKTERAN 4 2. 4 KAIDAH DASAR MORAL (AUTONOMI, BENEFICENCE, NON MALAFICENCE, JUSTICE) 3. INFORMED CONCENCE 5 4. DAMPAK HUKUM 7 5. KODE ETIK KEDOKTERAN 8 6. ASPEK HUKUM 10
BAB IV : KESIMPULAN 11
BAB V : DAFTAR PUSTAKA 12
2
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktek kedokteran. Tertuang dalam SK PB IDI no 221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia. Dan sebagai bahan rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran Internadional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XIII, tahun 1983. Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua bulan terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Ada berbagai faktor yang melatar belakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), danf aktor-faktor lainnya
Profesi kedokteran dan tenaga medis lainnya dianggap sebagai profesi yang mulia (officium nobel) dan terhormat dimata masyarakat. Seorang dokter sebelum melakukan praktek kedokterannya atau melakukan pelayanan medis telah melalui pendidikan dan pelatihan yang cukup panjang. Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi dokter makin tinggi.Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan di bidang medis bermunculan. Di negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah malpraktik medis ini ternyata tuntutan terhadap dokter yang melakukan ketidak layakan dalam praktek juga tidak surut.Biasanya yg menjadi sasaran terbesar adalah : dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), dokter spesialis anestesi , dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.
3
BAB I I LAPORAN KASUS Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obgyn B sewaktu melahirkan, dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B maupun C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat disana. Sepuluh hari pasca lahir orang tua bayi menemukan benjoloan dipundak kanan bayi.
Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai penunjangnya, pasien dinyatakan menderitafraktur klavikula kanan yang sudah berbentuk kalus. Kepada dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi patah tulang klavikula, dan kapan kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah tulang tersebut terjadi sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karna telah mengakibatkanpatah tulang dan dokter C karena lalai tidak mendiagnosisnya. Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompeten sehingga sebaiknya ia merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa yang sebaiknya ia katakan.
4
BAB III PEMBAHASAN
1. Etika kedokteran
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mills). Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian). Etika adalah cabang ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap atau perbuatan dilihat dari moralitas. Etik deskriptif yaitu bidang sains yang mempelajari moralitas merupakan pengatuan empiris tentang moralitas dan menjelaskan pandangan moral tentang isu-isu yang terjadi pada ketika itu. Etika sendiri terbagi kepada : Etika normatif : Penegakan terhadap apa yang benar secara moral dan mana yang salah secara moral dalam kaitannya. Etika metaetik: Memperlihatkan analisis dari kedua konsep moral yang telah disebutkan. 1
2. 4 Kaidah dasar moral
Beuchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa aturan dibawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah:
5
1. Prinsip otonomi : yaitu prinsip moral yang menghargai hak-hak pasien, terutama hak otomi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent. 2. Prinsip beneficence: yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditunjukan kekebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar dari sisi buruknya. 3. Prinsip non-maleficence : yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini juga dikenal dengan primum non nocere atau above all, do no harm. 4. Prinsip J ustice: prinsip moral yang mementingkan fairness dankeadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
3. Informed concence
Informed Consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed concence memiliki 3 elemen, yaitu : Threshold elements; sifatnya lebih kearah syarat yaitu, pemberi concent haruslah orang yang kompeten. Secara hukum orang yang dianggap kompeten adalah apabila telah dewasa, sadar, dan berada dalam keadaan mental yang tidak terganggu. Information elements; terdiri dari 2 bagian, yaitu disclosure (pengungkapan) dan tidak understanding (pemahaman). Consent elements; terdiri dari 2 bagian, yaitu voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan). Persetujuan tindakan medic (Informed Consent) Peraturan menteri kesehatan No 585/MenKes/Per/I X/1989 tentang persetujuan tindakan medis Pasal 1. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989 1. Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut; 2. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik atau terapeutik; 3. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh;
6
4. Dokter adalh dokter umum/spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik, atau praktek perorangan atau bersama. 6
Pasal 2. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989 1. Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan. 2. Persetujuan dapat diberi secara bertulis atau lisan 3. Persetujuan sebagaiman dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya. 4. Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien 6
Pasal 3. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989 1. Setiap tindakan medis yang berisiko tinggi harus dengan persetujuan bertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan 6
Pasal 4. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989 1. Informasi tentang tindakan medik harus diberi kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta. 2. Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi. 6
Pasal 5. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989 1. Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang kan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik 2. Informasi diberikan secara lisan 3. Informasi harus diberiakn jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien, 4. Dalam hal dimaksud dalam ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien. 6
Pasal 8. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989 1. Persetujuan diberiakan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sedar dan sehat mental
7
2. Pasien dewasa yang dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 tahun atau telah menikah. 6
4. Dampak hukum
Cara dan tahapan mekanisme perlindungan hukum terhadap dokter yang di duga melakukan tindakan malpraktek medis adalah dengan di bentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesa (MKDKI) yang bekerja sama dengan pihak Kepolisian RI (POLRI) atas dasar hubungan lintas sektorat dan saling menghargai komunitas profesi. Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran disiplin kedokteran. MKDKI menentukan tiga jenis pelanggaran yaitu pelanggaran etik, disiplin , dan pidana. Untuk pelanggaran etik akan di limpahkan kepada Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Pelanggaran disiplin di limpahkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dan pelanggaran pidana dilimpahkan kepada pihak pasien untuk dapat kemudian dilimpahakan kepada kepolisian atau ke pengadilan negeri.
5. Kode etik kedokteran Indonesia Merupakan pedoman bagi dokter Indonesia anggota IDI dalam melaksanakan praktek kedokteran. Tertuang dalam SK PB IDI no 221/PB/A.4/04/2002 tanggal 19 April 2002 tentang penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam Musyawarah Kerja Susila Kedokteran Indonesia. Dan sebagai bahan rujukan yang dipergunakan pada saat itu adalah Kode Etik Kedokteran Internadional yang telah disempurnakan pada tahun 1968 melalui Muktamar Ikatan Dokter Sedunia ke 22, yang kemudian disempurnakan lagi pada MuKerNas IDI XIII, tahun 1983. KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1 Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter. Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standard profesi yang tertinggi. Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu
8
yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Pasal 5 Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien. Pasal 6 Setiap dokter harus senantiasa berhati hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan tehnik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Pasal 7 Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.. Pasal 7a Seorang dokter harus, dalam setiappraktek medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang ( compassion ) dan penghormatan atas martabat manusia. Pasal 7b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dansejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien. Pasal 7c Seorang dokter harus menghormati hak hak pasien, hak hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien. Pasal 7d Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup mahluk insani. Pasal 8 Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh ( promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ),
9
baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar benarnya. Pasal 9 setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat dibidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati. KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Pasal 11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya. Pasal 12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Pasal 13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya. KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 14 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Pasal 15 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis. KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
10
Pasal 16 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik. Pasal 17 Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi kedokteran/kesehatan, 6. Aspek hukum
A. ASPEK HUKUM MALPRAKTEK 1. Penyimpangan dari standar profesi medis 2. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik berupa kesengajaan ataupun kelalaian 3. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian materil atau non materil maupun fisik atau mental
B. SANKSI HUKUM PERDATA Pasal 1365 KUH perdata Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut Pasal 1366 KUH perdata Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hati Pasal 1371 KUH perdata Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, menurut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atu cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini di nilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan. Pasal 54 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan 1. Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin 2. Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 ditentukan oleh majelis disiplin tenaga kesehatan 3. Ketentuan mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja majelis disiplin tenaga kesehatan ditetapkan dengan keputusan presiden Pasal 55 Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan 1. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan 2. Ganti rugi sebagaimana diatur dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku
11
BAB IV KESIMPULAN
Berdasarkan pada kasus di atas, tidaklah mudah untuk menentukan adanya malpraktek yang dilakukan oleh seorang dokter. Di perlukan pemeriksaan dan penyelidikan yang menyeluruh terhadap kasus yang terjadi dari awal untuk menentukan sebab-akibat. Sebagai dokter yang memegang teguh kode etik kedokteran pun kita tidak boleh menjelek-jelekkan dan menjatuhkan rekan sejawat. Solusi yang dapat kita berikan adalah dengan mengedukasi pasien agar tidak langsung membawa kasus tersebut ke pengadilan karena belum terbukti dokter-dokter tersebut telah melakukan tindakan malpraktek. Selain itu kita juga dapat meyakinkan pasien agar mempertimbangkan penyelesaian masalah secara kekeluargaan.
12
BAB V DAFTAR PUSTAKA 1. Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. 2 nd ed. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran UI;1997.
2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran: Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2005. 4.
3. Wiradharma D. Hak-Hak dan Kewajiban Pasien: Hukum Kedokteran. Jakarta: Binarupa Aksara;1996.