Anda di halaman 1dari 12

BAB II

Miastenia gravis merupakan penyakit kelemahan otot yang dapat dijumpai pada anak,
orang dewasa, dan pada orang tua. Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun.
Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara
itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Insidens miastenia gravis di
Amerika Serikat sering dinyatakan sebagai 1 dalam 10.000. Tetapi beberapa ahli
menganggap angka ini terlalu rendah karena sesungguhnya banyak kasus yang tidak pernah
terdiagnosis (Patofisiologi, 1995)..
2.1. Definisi
Istilah miastenia gravis berarti kelemahan otot yang parah. Miastenia gravis merupakan
satu-satunya penyakit neuromuskular yang merupakan gabungan antara cepatnya terjadi
kelemahan otot-otot voluntar dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10 hingga 20
kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis ialah gangguan oto-imun yang menyebabkan
otot skelet menjadi lemah dan lekas lelah
1
. Selain itu,miastenia gravis juga merupakan suatu
penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka akibat
defisiensi reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuskular
3
.
2.2. Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular, maka
membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin akan
dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung
dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan
perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba menyebabkan
depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir (EPP). Jika EPP ini
mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan
dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu
serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati
hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam
penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada membran presinaps.
Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan itu maka jarak
antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin
dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu
jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end
plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat
berlangsung lama.
Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis
kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada
kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita
hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi
menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-
menerus
3
.
Pembuktian etiologi oto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa kelenjar timus
mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang
abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-
penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus tanpa
perubahan di jaringan limfoster lainnya
5
.
2.3. Manifestasi Klinis
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, miastenia gravis diduga merupakan
gangguan otoimun yang merusak fungsi reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi
hubungan neuromuskular. Keadaan ini sering bermanifestasi sebagai penyakit yang
berkembang progresif lambat. Tetapi penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok
otot tertentu saja.
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan
sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat gejala
kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai
gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20% penderita didapati
kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan
ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa
minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular).
Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau malam. Pada pagi
hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan kelumpuhan
bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit
tidak terbebas dari kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral
atau bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis
dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun
otot levator palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja,
maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada pemeriksaan
dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat LMN, kelemahan otot
pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-otot farings dan lidah. Keadaan
ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan,
menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut
yang dinamakan sebagai tanda rahang yang menggantung.
Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut sekali. Yang
pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan.
Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi otot ringan dapat
ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi
8
.
Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya
dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan lendir.
Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat dan dengan
memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih atau mengalami
eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama
siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan infeksi
yang disertai diare dan demam.
3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka
berada dalam keadaan tegang.
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu obat
yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya
3
.
2.4. Klasifikasi
Klasifikasi klinis miastenia gravis dapat dibagi menjadi
3
:
1. Kelompok I: Miastenia okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak
ada kasus kematian.
2. Kelompok IIA: Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan
bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka
kematian rendah.
3. Kelompok IIB: Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat
dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria, disfagia, dan sukar
mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan miastenia gravis umum ringan. Otot-
otot pernapasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan
aktifitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai
mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal
dalam waktu 6 bulan. Respons terhadap obat buruk. Insiden krisis miastenik,
kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Miastenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan gejala-
gejala kelompok I atau II. Miastenia gravis berkembang secara perlahan-lahan atau
secara tiba-tiba. Respons terhadap obat dan prognosis buruk.
Disamping klasifikasi tersebut di atas, dikenal pula adanya beberapa bentuk varian
miastenia gravis, ialah
1
:
1. Miastenia neonatus
Jenis ini hanya bersifat sementara, biasanya kurang dari bulan. Jenis ini terjadi pada bayi
yang ibunya menderita miastenia gravis, dengan kemungkinan 1:8, dan disebabkan oleh
masuknya antibodi antireseptor asetilkolin ke dalam melalui plasenta.
2. Miastenia anak-anak (juvenile myastenia)
Jenis ini mempunyai karakteristik yang sama dengan miastenia gravis pada dewasa.
3. Miastenia kongenital
Biasanya muncul pada saat tidak lama setelah bayi lahir. Tidak ada kelainan imunologik dan
antibodi antireseptor asetilkolin tidak ditemukan. Jenis ini biasanya tidak progresif.
4. Miastenia familial
Sebenarnya, jenis ini merupakan kategori diagnostik yang tidak jelas. Biasa terjadi pada
miastenia kongenital dan jarang terjadi pada miastenia gravis dewasa.
5. Sindrom miastenik (Eaton-Lambert Syndrome)
Jenis ini merupakan gangguan presinaptik yang dicirikan oleh terganggunya pengeluaran
asetilkolin dari ujung saraf. Sering kali berkaitan dengan karsinoma bronkus (small-cell
carsinoma). Gambaran kliniknya berbeda dengan miastenia gravis. Pada umumnya penderita
mengalami kelemahan otot-otot proksimal tanpa disertai atrofi, gejala-gejala orofaringeal dan
okular tidak mencolok, dan refleks tendo menurun atau negatif. Seringkali penderita
mengeluh mulutnya kering.
6. Miastenia gravis antibodi-negatif
Kurang lebih daripada penderita miastenia gravis tidak menunjukkan adanya antibodi.
Pada umumnya keadaan demikian terdapat pada pria dari golongan I dan IIB. Tidak adanya
antibodi menunjukkan bahwa penderita tidak akan memberi respons terhadap pemberian
prednison, obat sitostatik, plasmaferesis, atau timektomi.
7. Miastenia gravis terinduksi penisilamin
D-penisilamin (D-P) digunakan untuk mengobati arthritis rheumatoid, penyakit Wilson, dan
sistinuria. Setelah penderita menerima D-P beberapa bulan, penderita mengalami miastenia
gravis yang secara perlahan-lahan akan menghilang setelah D-P dihentikan.
8. Botulisme
Botulisme merupakan akibat dari bakteri anaerob, Clostridium botulinum, yang menghalangi
pengeluaran asetilkolin dari ujung saraf motorik. Akibatnya adalah paralisis berat otot-otot
skelet dalam waktu yang lama. Dari 8 jenis toksin botulinum, tipe A dan B paling sering
menimbulkan kasus botulisme. Tipe E terdapat pada ikan laut (see food). Intoksikasi biasanya
terjadi setelah makan makanan dalam kaleng yang tidak disterilisasi secara sempurna.
Mula-mula timbul mual dan muntah, 12-36 jam sesudah terkena toksin. Kemudian muncul
pandangan kabur, disfagia, dan disartri. Pupil dapat dilatasi maksimal. Kelemahan terjadi
pola desendens selama 4-5 hari, kemudian mencapai tahap stabil (plateau). Paralisis otot
pernapasan dapat terjadi begitu cepat dan bersifat fatal. Pada kasus yang berat biasanya
terjadi kelemahan otot ocular dan lidah. Sebagian besar penderita mengalami disfungsi
otonom (mulut kering, konstipasi, retensi urin).
2.5. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik.
Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis. Diagnosis dapat
dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai timbul tanda-tanda
kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:

1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna untuk
menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita miastenia gravis
golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi ini umumnya berkolerasi
dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan lebih kurang 30%
penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak ada antibodi ini dan juga
tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka kemungkinan adanya timoma adlah sangat
kecil.
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat apabila
pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau hasil
pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya miastenia gravis.
Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka disuntikkan lagi 5-8 mg
tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan otot yang jelas (misalnya
dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis, lengan dapat dipertahankan dalam posisi
abduksi lebih lama, dan meningkatnya kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung
lebih lama dari 5 menit. Jika diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis
banding antara miastenia gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita
sindrom miastenik mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi
penyebabnya ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan
keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor pembeda
yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom miastenik
biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang kalau patologi yang
mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan pemeriksaan EMG.
4. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat apakah
ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg. Penderita
diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua mata beberapa
lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan intramuskular atau
subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang dan tenaga membaik.
2.6. Terapi
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida 15-45
mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi kombinasi
tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat
diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg
subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat
menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera
dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90%
dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat
pada miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase
disebabkan oleh stimulasi parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi
berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian
propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari bahwa
gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga dosis
berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena neostigmin
cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini dapat diberikan lebih
dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek smping tersebut.


2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis, dan diberikan
sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek samping. Dosis
awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk
menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai dengan dosis tinggi.
Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara selang-
seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi,
setiap hari, dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat
segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium.
Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5
mg/bulan) dengan tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian
prednisolon secara mendadak harus dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang baik, efek
sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa gangguan saluran
cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB
selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan
fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian
prednisolon bersama-sama dengan azatioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol jalan
napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi
dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya
infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB. Cara
ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis bila
dikombinasikan dengan pemberian obat imusupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang
berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa terapi demikian ini dapat memberi
hasil yang baik sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis
mungkin efektif padakrisi miastenik karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada
reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
2.7. Krisis Pada Miastenia Gravis
Pada miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis
krisis, yaitu:
1. Krisis miastenik
Krisis miastenik yaitu keadaan dimana dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak.
Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak memperoleh obat secara cukup dan dapat
dicetuskan oleh infeksi. Tindakan terhadap kasus demikian adalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Pemberian antikolinesterase
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator), obat-obat
antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat memperbanyak
sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis
terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis dapat
diturunkan.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu keadaan yang diakibatkan kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal
ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau
mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit
dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis
yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali hanya
parsial. Tindakan terhadap kasus demikianadalah sebagai berikut:
- Kontrol jalan napas
- Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1 mg
intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus diawasi secara
ketat, karena secret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau mungkin
gumpalan lender dapat menyumbat bronkus, menyebabkan atelektasis. Kemudian
antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah.
- Bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg intravena.
Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan
memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.
Kesimpulan
1. Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang bermanifestasi sebagai kelemahan dan
kelelahan otot yang bersifat progresif, dimulai dari otot mata dan berlanjut keseluruh tubuh
hingga ke otot pernapasan.
2. Miastenia gravis disebabkan oleh kerusakan reseptor asetilkolin pada hubungan
neuromuskular akibat penyakit otoimun.
3. Gejala utama miastenia gravis adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga yang
sembuh kembali setelah istirahat.
4. Diagnosis miastenia gravis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit dan gambaran klinis,
serta tes diagnostik yang terdiri atas: antibodi anti-reseptor asetilkolin, antibodi anti-otot
skelet, tes tensilon, foto dada, tes wartenberg, dan tes prostigmin.
5. Pengobatan miastenia gravis adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase yang
kerjanya menghancurkan asetilkolin.



DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi klinis 2
nd
ed., Gajah Mada University Press,
Yogyakarta
2. Howard, J.F., 1997, Department of Neurology, The University of North Carolina at
Chapol Hill. http://www.myasthenia.org/information/summary.htm
3. Lombardo,M.C., 1995, Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf,
dalam S.A. Price, L.M. Wilson, (eds), Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit 4
th
ed., EGC, Jakarta
4. Mardjono, M., 2003, Neurologi Klinis Dasar 9
th
ed., hal 55,149,348, Dian Rakyat,
Jakarta
5. Murray, R.K., 1997, Dasar Biokimiawi Beberapa Kelainan Neuropsikiatri, dalam
R.K. Murray, D.K. Granner, P.A. Mayes, V.W. Rodwell, (eds), Biokimiawi Harper
24
th
ed., EGC, Jakarta
6. NINDS Myasthenia Gravis Fact Sheet, 2003.
http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm
7. Sidharta, P., 1999, Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, hal 129,142, 167, 174,
421, Dian Rakyat, Jakarta
8. Sidharta, P., 1999, Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, hal 139, 280, 317, 366,
390, 421, 576, Dian Rakyat, Jakarta
9. Walshe III, T.M., 1995, Disease of Nerve And Muscle, dalam M.A. Samuels, (eds),
Manual Of Neurologic Therapeutics 5
th
ed., Little brown And Company, London

Anda mungkin juga menyukai