Keterangan:
C = Konsentrasi larutan sampel yang terbaca dari kurva standar (g/ml)
V = Volume ekstrak sampel (10 ml)
B = Berat sampel (gram)
19
3.2.2 Analisis Seng
Kadar seng dalam sampel beras analog dianalisis dengan menggunakan alat
spektrofotometri serapan atom yang berada di Laboratorium Jasa Analitik, Fakultas Teknologi
Pertanian IPB.
3.2.2.1 Persiapan sampel uji
a. Sampel beras atau nasi diambil sebanyak 5 gram dan dimasukkan dalam cawan porselen.
b. Kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105
o
C hingga tercapai berat konstan, lalu
setelah kering ditimbang dan dihitung kadar airnya.
c. Sampel kering dimasukkan ke dalam furnace atau tanur pada temperatur 100
o
C dan sedikit
demi sedikit suhunya dinaikkan sampai 550
o
C selama 8 jam.
d. Sampel didinginkan dan dilarutkan dalam 10 mL HCl pekat kemudian dipanaskan hingga
setengah volume awal.
e. Kemudian disaring dengan kertas Whatman no. 40.
f. Filtrat hasil penyaringan diencerkan dengan akuades pada labu takar 50 mL.
3.2.2.2 Pembuatanlarutan baku logam seng, Zn 100 mg/L (SNI 06-6989.7-2004)
a. Dengan menggunakan pipet diambil 10 mL larutan induk logam seng, (Zn) 1000 mg/L ke
dalam labu ukur 100 mL.
b. Kemudian ditambahkan akuades sampai tanda batas.
Pembuatan larutan logan seng, Zn 10 mg/L (SNI 06-6989.7-2004)
a. Dengan menggunakan pipet diambil 10 mL larutan induk logam seng, (Zn) 100 mg/L ke dalam
labu ukur 100 mL.
b. Kemudian ditambahkan akuades sampai tanda batas.
Pembuatan larutan standar logam seng (Zn) (SNI 06-6989.7-2004)
a. Dengan menggunakan pipet diambil 0 mL; 0,5 mL; 1 mL; 2 mL; 5 mL; dan 10 mL larutan
baku seng (Zn) 10 mg/L ke dalam labu ukur 100 mL.
b. Tambahkan larutan pengancer sampai tepat tanda batas sehingga diperoleh konsentrasi logam
seng 0,0 mg/L; 0,05 mg/L; 0,1 mg/L; 0,2 mg/L; 0,5 mg/L; dan 1,0 mg/L.
c. Nilai absorbansinya diukur dengan menggunakan spektrofotometri serapan atom (SSA) pada
panjang gelombang 213,90 nm.
Pengukuran konsentrasi logam seng (Zn) dengan AAS
a. Mengoptimalkan Alat ASS sesuai petunjuk penggunaan alat
b. Beberapa parameter pengukur untuk logam seng (Zn) ditetapkan sebagai berikut.
Tabel 6. Parameter Pengukuran Untuk Logam Seng (Zn)
No. Parameter Spesifikasi
1. Panjang gelombang 213,90 nm
2. Tipe nyala Asetilen/ udara
3. Lebar celah 0,05 nm
4. Lampu katoda 5,0 mA
Sumber : Petunjuk penggunaan alat ASS Tipe Buck Scientific
c. Kemudian diukur nilai absorbansi masing-masing larutan standar (larutan kerja) yang telah
dibuat.
d. Dibuat kurva kalibrasi untuk mendapatkan persamaan garis regresi
e. Dilanjutkan dengan pengukuran contoh uji yang sudah dipersiapkan.
20
3.2.3 Analisis Asam Folat
Metode analisis asam folat dan analognya dapat dilakukan secara mikrobiologi, radioassay,
kromatografi dan kimia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kromatografi
menggunakan HPLC.
3.2.3.1 Pembuatan Larutan Standar
Asam folat standar dibuat dengan cara dilarutkan dalam buffer 0.1 M dibasic potasium
fosfat (pH 8-8.5) yang telah mengandung 0.1% asam askorbat dan 0.1% 2-mercaptoetanol
sehingga konsentrasi asam folat menjadi 200 g/mL. Larutan standar harus digunakan sesegera
mungkin untuk menghidari kerusakan asam folat.
3.2.3.2 Enzim
Enzim -amilase yang digunakan adalah enzim (EC 3.2.1.1) yang dihasilkan oleh
Aspergillus oryzae .Enzim dilarutkan dalam air distilasi sehingga konsentrasinya adalah 25
mg/mL, 1 mL digunakan untuk 1 gram sampel. Protease yang digunakan, dilarutkan dalam air
hingga konsentrasinya adalah 5 mg/ml
3.2.3.3 Sampel
Sampel yang akan dianalisis (5 g) harus dihomogenisasikan selama 1 jam dalam larutan 50
mL 0.1 M dibasic potasium fosfat (pH 8-8.5), asam askorbat 0.1 % dan 0.1% 2-mercaptoetanol .
Sampel dipanaskan dalam autoclave selama 15 menit dalam suhu 120C, didinginkan dalam bak es
lalu sampel dihomogenisasikan. Hasil sampel yang telah di homogenisasikan, diinkubasi dengan
1.25 ml -amilase pada suhu 37C selama 4 jam. Selanjutnya, sampel direaksikan dengan 1 mL
protease selama 1 jam pada suhu 37C kemudian dipanaskan pada air mendidih selama 5 menit.
Setelah inkubasi, sampel disentrifuse selama 20 menit pada kecepatan 4000 rpm. Supernatan
diambil sebanyak lalu disaring dengan whatman 42 lalu disimpan dalam suhu (-20C) atau
langsung diinjeksikan.
21
Gambar 6. Tahap persiapan sampel analisis asam folat
Tidak dalam 24 jam
Sampel 1
g
10 mL K
2
HPO
4
0.1 M
Asam
askorbat
0.1%
2-Merkaptoetanol
0.1%
Homogenisasi
Dipanaskan dalam
autoclave 120C
Inkubasi selama 4 jam
pada suhu 37C
-amilase
1.25 ml
Inkubasi selama 1 jam
pada suhu 37C
protease 1
ml
Dipanaskan dalam air
mendidih 5 menit
Sentrifuse pada
kecepatan 4000 rpm 20
menit
Supernatan disaring
Injeksi
ke
HPLC
Disimpan pada
suhu -20C
Langsung injeksikan
22
Analisis asam folat dilakukan dengan menggunakan Reverse phase-HPLC dengan
menggunakan UV/Vis detektor. Aliran 1 mL/min digunakan pada analisis. Fase gerak dibuat
dengan menggunakan larutan A(28 mmol/L dibasic potasium fosfat dan 60 mmol/L asam pospat
dalam air) dan larutan B((28 mmol/L dibasic potasium fosfat dan 60 mmol/L asam pospat dalam
200mL/L asetonnitril dan 800mL/L air). Pada 3 menit pertama digunakan 100% larutan A secara
konstan. Setelah menit ke-3 berakhir, fase gerak diubah, dengan proporsi konsentrasi larutan A
diturunkan sampai 70% dan larutan B ditingkatkan sampai 30% selama 10 menit selanjutnya.
Komposisi eluen kembali diubah setelah memasuki menit ke-13, menjadi 45 % larutan A dan 55
% larutan B sampai menit ke 30. Komposisi fase gerak diubah mejadi A; 43% dan B: 57% pada
menit ke 30 sampai menit ke-45. Absorbansi asam folat akan dimonitor oleh detector UV-Vis pada
panjang gelombang 280 (Arcot & Shrestha, 2005).
Gambar 7. Diagram alir pembuatan fase gerak
Injeksi sampel
Proses kromatografi dengan
fase gerak 100% larutan A
selama 3 menit
Proses kromatografi dengan
fase gerak 70% larutan A dan
30% larutan B selama 10 menit
Proses kromatografi dengan
fase gerak 45% larutan A dan
55% larutan B selama 17 menit
Proses kromatografi dengan
fase gerak 43% larutan A dan
57% larutan B selama 15 menit
equilibrasi
23
3.2.4 Uji Indeks Glikemik
Pengujian IG dapat dilakukan denga metode EL (1999). Pada metode tersebut pengujian
indeks glikemik dilakukan dengan sampel darah manusia. Digunakan manusia sebagai objek
pengujian indeks glikemik karena metabolisme tubuh manusia sangat rumit sehingga sulit untuk
ditiru secara in vitro (ragnhild et al 2004). Relawan yang akan diuji sampel darahnya dalah 10
orang dengan persyaratan individu yg sehat dan tidak menderita penyakit diabetes (kadar glukosa
darah normal). Kadar glukosa darah normal menurut rimbawan dan siagian (2004) adalah <110
mg/dl. Kadar glukosa darah minimum 40-60 mg/dl diperlukan untuk menyediakan energi bagi
susunan saraf pusat (Sardesai 2003). Sebelum pengambilan sampel darah, relawan harus menjalani
puasa penuh (kecuali air) selama 1 malam (20.00-08.00). pada hari pegambilan sampel darah,
relawan mengonsumsi 1 porsi nasi yg mengandung 50 gr karbohidrat.
Jumlah porsi (%)=25 gr karbohidrat/kadar karbohidrat sampelx100%
Setelah itu relawan diambil darah sebanyak 20uL (finger prick capillary blood sampel
method) setiap 30 menit selama 2 jam. Pada hari lain juga dilakukan pengujian indeks glikemik
glukosa murni sebaai standar. Glukosa murni g dikonsumsi relawan sebanyak 25 gr. Kada glukosa
darah yang didapat lalu dibuat kurva dengan sumbu X sebagai waktu pengambilan darah dan
sumbu Y sebagai kadar glukosa darah. Nilai IG dapat dihitung setelah megetahui luas kurva
sampel dan glukosa.
IG= luas kurva sampel/luas kurva glukosa x 100
3.2.5 Uji Daya Cerna Pati (Muchtadi et al, 1992)
Pada pengukuran daya cerna pati, sampel dianalisis daya cernanya secara in vitro karena
hal ini relatif lebih mudah sebab jika dianalisis secara in vivo, pati biasanya sudah diubah menjadi
energi sehingga relatif sulit untuk dianalisis daya cernanya. Pertama-tama, sampel akan
ditambahkan dengan akuades dan dimasukkan ke dalam waterbath hingga mencapai suhu 90C
agar pati terlarut sehingga dapat dicerna oleh enzim nantinya. Kemudian larutan pati tersebut
didinginkan hingga 37C. Setelah itu, larutan pati tersebut dibagi ke dalam dua tabung, lalu
ditambahkan akuades agar lebih encer dan ditambahkan bufer fosfat pH 7.0 agar tingkat
keasamannya berada pada pH 7.0 dan tetap. Kemudian, kedua larutan tersebut diinkubasi pada
suhu 37C selama 15 menit untuk menciptakan kondisi agar enzim dapat bekerja maksimum
nantinya. Lalu, larutan yang satu (tabung A) ditambahkan enzim amilase, sedangkan larutan yang
lain (tabung B) ditambahkan bufer fosfat pH 7.0. Setelah itu, kedua tabung tersebut diinkubasi
selama 30 menit pada suhu 37C agar sesuai dengan suhu tubuh manusia dan enzim bisa bekerja.
Setelah selesai inkubasi, larutan segera diambil dan ditambahkan perekasi DNS (1 g 3,5-asam
dinitrosalisilat + 30 g Na-K tartarat + 1.6 g NaOH dalam 100 ml akuades). Kemudian, campuran
tersebut dididihkan selama 10 menit, lalu ditambahkan akuades agar tidak terlalu pekat ketika
dianalisis dengan spektrofotometer. Setelah itu, larutan tersebut diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 520 nm. Semakin banyak kadar gulanya, maka semakin oranye (merah)
larutannya, yang ditunjukkan dengan semakin tinggi nilai absorbansinya.
24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Rendemen
Dalam pembuatan beras analog teknologi ekstrusi, data rendemen diperlukan untuk
mengetahui produktivitas beras analog yang dihasilkan. Selain itu nilai rendemen juga
menunjukkan adanya kehilangan produk selama proses berlangsung. Analisis rendemen beras
analog teknologi ekstrusi disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Data rendemen produk beras analog teknologi ekstrusi
W produk sebelum ekstrusi (g) W produk setelah ekstrusi (g) Rendemen (%)
434.50 356.20 81.98
461.90 448.90 97.19
465.20 363.40 78.12
Rataan 85.76
Perhitungan rendemen produk beras analog teknologi ekstrusi yang dihasilkan didasarkan
pada rumus (1):
Rendemen beras analog teknologi ekstrusi dengan berkisar antara 78.12%-97.19%.
Keragaman nilai rendemen ini dikarenakan faktor-faktor dalam proses pembuatan beras analog
teknologi ekstrusi antara lain: kadar air adonan, kecepatan pemasukan adonan ke alat ekstruder,
dan pemotongan produk keluaran yang masih dilakukan secara manual.
4.2 Kondisi Penyimpanan
Beras yang mengalami penyimpanan mengalami perubahan pada sifat fisik maupun
akibat kerusakan mikrobiologis. Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang sangat
berpengaruh dalam proses penyimpanan beras. Beras yang memiliki kadar air yang tinggi akan
mudah rusak dan mengalami penurunan mutu. Kadar air beras IR-64 hasil penelitian Setianingsih
(2008) yaitu 10,8 % (bb). SNI menyaratkan kadar air maksimum beras giling adalah 13%. Beras
pada penelitian ini mempunyai kadar air yang berkisar antara 4.67%- 10.24% (bb). Hal ini berarti
kadar air beras analog berbagai perlakuan hasil penelitian sesuai dengan persyaratan dari BSN.
Gambar 8. Grafik kadar air beras analog
0.00%
2.00%
4.00%
6.00%
8.00%
10.00%
12.00%
0 2 4 6
% =
x 100%
25
Berdasarkan hasil analisis kadar air diketahui bahwa beras analog pada minggu ke nol
memiliki kadar air yang sangat rendah yaitu mencapai 5%. Rendahnya nilai kadar air ini
dipengaruhi oleh proses pengeringan dengan oven yang terlalu berlebihan waktunya sehingga air
pada beras dipaksa keluar melewati titik kesetimbangannya. Rendahnya kadar air pada beras
menyebabkan beras menjadi lebih aman dari pertumbuhan mikroba namun menjadi tidak efisien
energi dan biaya karena terjadi susut bobot.
Kadar air pada minggu selanjutnya terus mengalami peningkatan akibat makin banyak air
yang diserap dari lingkungan. Hal ini terjadi karena produk mencoba membuat keseimbangan
kadar air dengan RH lingkungan. Produk mengalami peningkatan kadar air yang cukup besar pada
minggu ke-2 dan minggu ke-4. Peningkatan ini disebabkan karena gradien yang cukup besar
antara RH udara sekitar dan AW produk. Peningkatan kadar air melambat pada minggu ke-6, hal
ini disebabkan nilai AW produk telah mendekati RH udara sekitar dan kesetimbangan hampir
tercapai. Penelitian masih akan dilanjutkan sehingga dapat diketahui waktu sampai kadar air tidak
mengalami perubahan lagi. Dengan demikian pada minggu ke-6 beras analog masih aman
dikonsumsi secara mikrobiologi karena masih kurang dari batas 13%.
Proses pembuatan tepung menir diawali dengan pencucian menir dengan air bersih
sebanyak satu kali dan dilanjutkan dengan perendaman selama 1 jam. Setelah itu menir
dikeringkan dengan oven dan digiling dengan mesin disc mill. Setelah digiling, tepung diayak
dengan ukuran 60 mesh. Terhadap tepung dan produk dilakukan analisis proksimat.
Tabel 8. Data kadar air tepung beras
Sampel
(S)
Cawan (C) S+C sesudah
oven (SC)
Ka (b/b) Rataan
Ka (b/b)
Ka (b/k) Rataan
Ka (b/k)
HJ1 1.0296 4.5550 5.4412 13.93 14.04 16.18 16.33
HJ2 1.0297 4.5237 5.4092 14.00 16.28
HJ3 1.0218 4.6147 5.4916 14.18 16.52
HT1 1.0457 4.1142 5.0102 14.32 12.73 16.70 14.66
HT2 1.0840 4.3909 5.3194 14.35 16.74
HT3 1.0918 3.6391 4.6267 9.54 10.55
K1 1.0688 4.6595 5.6096 11.11 11.08 12.49 12.45
K2 1.0677 3.1572 4.1052 11.21 12.62
K3 1.0158 3.1875 4.0924 10.92 12.25
Keterangan :
HT = Tepung beras dengan penambahan ekstrak teh hitam
HJ = Tepung beras dengan penambahan ekstrak teh hijau
K = Tepung beras tanpa penambahan ekstrak teh (baik hijau maupun hitam)
Tabel 9. Data kadar air produk beras analog teknologi ekstrusi (produk sesudah ekstrusi)
Sampel
(S)
Cawan (C) S+C sesudah
oven (SC)
Ka (b/b) Rataan
Ka (b/b)
Ka (b/k) Rataan
Ka (b/k)
P1
1
2.0342 4.5590 6.4556 6.76 7.09 7.25 7.64
P1
2
2.0307 3.2135 5.1032 6.94
7.46
P1
3
2.0400 4.6830 6.5685 7.57
8.19
P2
1
2.0380 4.9475 6.7967 9.26 8.92 10.21 9.79
P2
2
2.0372 3.1779 5.0303 9.07
9.98
P2
3
2.0232 4.5894 6.4423 8.42
9.19
P3
1
2.0357 4.8647 6.7170 9.01 9.52 9.90 10.53
P3
2
2.0411 4.6477 6.4863 9.92
11.01
P3
3
2.0124 4.4541 6.2725 9.64
10.66
26
Tabel 10. Data Aw produk beras analog teknologi ekstrusi
keterangan Aw T (C)
P1
1
0.481 29.7
P1
2
0.486 29.7
P2
1
0.400 29.7
P2
2
0.387 29.8
P3
1
0.571 29.8
P3
2
0.580 29.7
Keterangan :
P1 = Perlakuan ekstrak teh sebelum milling
P2 = Perlakuan ekstrak teh sebelum ekstrusi
P3 = Perlakuan ekstrak teh sebelum milling dan sebelum ekstrusi
Analisis kadar air tepung beras hasil penelitian adalah 14.04%, 12.73%, dan 11.08% atau
sedikit lebih tinggi dari persyaratan SNI 2549:2009 untuk bahan pangan tepung beras yaitu kadar
air maksimum 13.00% (b/b). Kadar air tepung sangat berpengaruh terhadap proses pembuatan
beras analog teknologi ekstrusi, terutama dalam penentuan penambahan air maupun ekstrak teh
untuk mencapai kadar air adonan sesuai perlakuan. Kadar air tepung beras yang tinggi
menyebabkan adonan beras analog teknologi ekstrusi lebih lembek/basah sehingga kadang proses
gelatinisasi di dalam ekstruder terjadi kurang sempurna. Alternatif proses yang dapat dilakukan
antara lain dengan mengeringkan kembali tepung beras sebelum digunakan pada proses pembuatan
beras analog teknologi ekstrusi maupun dengan mengekstrusi ulang adonan sehingga
tergelatinisasi sempurna. Namun pemrosesan ulang dapat mengakibatkan nilai daya cerna pati
yang dihasilkan produk tidak sesuai dengan yang diharapkan.
4.3 Komposisi Proksimat
4.3.1 Kadar Abu
Tabel 11. Kadar abu beras analog
No Bobot cawan Bobot sampel awal Bobot cawan+sampel Kadar abu
1 23.7349 2.3981 23.7451 0.4253%
2 27.8095 1.4894 27.8125 0.2014%
rata-rata 0.31%
SD 0.11%
Kadar abu menunjukan jumlah mineral dan zat anorganik yang terkandung dalam produk
(Winarno, 2008). Semakin tinggi kadar abu maka semakin tinggi kandungan mineral dalam
produk tersebut. Menurut tabel beras analog yang dibuat memiliki kadar abu sebesar 0. 31%.
Sementara kadara abu beras IR64 hasil penelitian Setianingsih (2008) yaitu 0.56% (bk).
Kandungan mineral pada beras sangat dipengaruhi oleh kondisi pra panen dan varietas sehingga
tetap dimungkinan adanya variasi kadar abu.
4.3.2 Kadar Lemak
Tabel 12. Kadar lemak beras analog
No Bobot labu Bobot sampel awal Bobot cawan+sampel Kadar lemak
1 100.8102 2.7878 100.8184 0.29%
2 84.5939 2.1596 84.6057 0.55%
3 79.4882 2.9092 79.496 0.27%
rata-rata
0.37%
SD 0.13%
27
Lemak adalah komponen senyawa yang memiliki gugus non-polar sehingga bersifat tidak
larut dalam air, namun larut dalam pelarut organik. Kadar lemak pada beras analog mencapai
0.37% . Kadar lemak ini terrgolong rendah jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
Muslikatin(2011) yang melakukan analisis proksimat pada beras analog yaitu sebesar 0.34%-
0.62%.
4.3.4 Kadar Protein
Tabel 13. Kadar protein beras analog
No Jumlah HCl
bobot sampel awal
(mg)
Konsentrasi HCl
(M)
%n
Kadar
protein
1 15.9 212.2 0.0155 1.63% 10.17%
2 10.6 180.9 0.0155 1.27% 7.95%
3 18.1 224 0.0155 1.75% 10.96%
rata-rata
9.69%
SD 1.27%
Protein penting dalam metabolisme tubuh manusia, terutama dalam pembentukan sel
jaringan. Protein bertindak sebagai makronutrien yang berperan dalam proses pembentukan
biomolekul. Selain itu protein juga mampu bekerja sebagai pembentuk enzim, bertindak sebagai
plasma dan sumber energi. Kadar protein beras analog mencapai 9.69 %, nilai ini mendekati nilai
protein hasil penelitian dari Setianingsih(2008) yaitu 10.9%(bk).
Karbohidrat adalah zat gizi yang merupakan penyusun utama beras. Karbohidrat disimpan
dalam bentuk pati pada jenis serealia. Penentuan kadar karbohidrat dalam analisis proksimat
dilakukan secara by difference. Sehingga secara keseluruhan hasil analisis proksimat ditunjukan
oleh tabel 14.
Tabel 14. Kandungan proksimat produk.
Keterangan Jumlah
Kadar Air 4.67%
Kadar Abu 0.31%
Kadar Lemak 0.37%
Kadar protein 9.69%
Kadar karbohidrat (by difference) 84.96%
4.4 Iodin
Fortifikasi iodin dilakukan dengan mikroenkapsulasi iodium yang mengacu pada Manurung
(2008). Mikroenkapsulasi iodium bertujuan untuk mendapatkan fortifikan iodium yang lebih
stabil. Iodium yang digunakan bersumber dari KIO
3
karena sifatnya yang lebih stabil dibanding
bentuk senyawa iodium lain. Pada proses mikroenkapsulasi iodium, dilakukan beberapa
modifikasi, yaitu pada proses pencampuran. Proses pencampuran dilakukan secara bersamaan
untuk maltodekstrin, susu skim, dan KIO
3
. Hasil yang diperoleh dari mikroenkapsulasi iodium
adalah mikroenkapsulan yang berwarna putih dan tidak mudah dilarutkan dengan air.
Sebelum dilakukan proses produksi beras ekstrusi fortifikasi, dilakukan uji kadar total
iodium pada mikroenkapsulan iodium untuk mengetahui jumlah iodium yang harus ditambahkan
karena terdapat pengurangan konsentrasi iodium setelah mikroenkapsulasi. Analisis kadar total
iodium menggunakan metode spektrofotometri dengan metode Slamet dkk. (1990).
Spektrofotometer yang digunakan adalah spektrofotometer double beam yang berada di
laboratorium kimia pangan. Pada uji kandungan total iodium, tahap awal yang dilakukan adalah
persiapan larutan dan pembuatan kurva standar. Kurva standar yang dihasilkan dapat dilihat pada
Gambar 9.
28
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5 min
0
25
50
75
100
125
150
175
200
mV
Detector A Ch1:280nm
2
0
.
4
3
4
/
6
2
9
6
2
6
4
Gambar 9. Kurva standar kadar total iodium
Tahap selanjutnya adalah perhitungan kadar total iodium pada mikroenkapsulan iodium.
Hasil pembacaan absorbansi dengan spektrofotometer double beam dan perhitungan kadar total
iodium untuk mikroenkapsulan iodium dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil perhitungan kadar total iodium pada mikroenkapsulan iodium
W sampel
(g)
Abs [ ] pada kurva
std (ppm)
Abs [0] - abs
[x]
FP V larutan abu
(L)
Kadar total
iodium
(mg/g)
0.0681 0.344 21 0.048 10 0.01 30.8370
0.0696 0.342 22 0.050 10 0.01 31.6092
Rata-rata 31.2231 +
SD 0.5460
4.5 Asam Folat
Penelitian mengenai kestabilan asam folat telah mencapai kurva standar. Gambar xx
menunjukan kromatograf standar asam folat. Pada gambar ini peak area asam folat memiliki
retention time 20.384 menit. Pemisahan standar asam folat dilakukan dengan kolom C-18
Reversed Phase High Performance Liquid Chromatography. Konsentrasi yang digunakan pada
kurva linieritas standar asam folat adalah 10 mg/L - 50mg/L, kurva yang dihasilkan memilii nilai
koefisien sebesar 0.95.
y = 0.0022x + 0.0061
R = 0.9341
0.000
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
0 5 10 15 20 25
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
konsentrasi (ppm)
a)
29
Gambar 9. Profil asam folat dalam standar(a), kurva standar asam folat(b)
4.6 Beras Rendah Indeks Glikemik
Pengujian total fenol dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kandungan senyawa fenol
di dalam ekstrak teh yang digunakan dalam penelitian. Ekstrak teh yang digunakan pada penelitian
ini adalah ekstrak teh hijau Citra dan teh hitam Walini BP 1 yang diproduksi oleh PT Perkebunan
Nusantara Gunung Mas Bogor.
Proses ekstraksi teh dilakukan cara yang berbeda antara teh hijau dan teh hitam. Hal ini
didasarkan pada pengkajian beberapa penelitian untuk mendapatkan nilai variabel suhu dan waktu
penyeduhan masing-masing ekstrak teh yang optimal dalam penghambatan enzim alfa amilase dan
alfa glukosidase. Dari pengkajian didapat bahwa suhu dan waktu ekstraksi untuk teh hijau sebesar
100C 5 menit dan untuk teh hitam sebesar 70C 15 menit.
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan reagen Folin Ciocalteau yang dapat
mereduksi. Adanya senyawa fenol ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau (warna
reagen Folin Ciocalteau) menjadi warna biru akibat telah teroksidasi dan mereduksi senyawa
antioksidan. Perubahan warna tersebut diukur absorbansinya deangan panjang gelombang 725 nm
dan dibandingkan dengan kurva standar asam galat 250 mg/L.
Tabel 15. Data kurva standar kadar fenol
[Fenol] (mg/l) Absorbansi
0 0.000
50 0.412
100 0.560
150 0.664
200 0.700
250 0.925
y = 74052x + 6E+06
R = 0.9523
0
2000000
4000000
6000000
8000000
10000000
0 10 20 30 40 50 60
L
u
a
s
A
r
e
a
konsentrasi (ppm)
Kurva Linearisasi Asam Folat
b)
30
Gambar 10. Kurva standar kadar fenol
Dengan menggunakan persamaan kurva standar kadar total fenol di atas, yaitu y =
0.003x+0.144, dan nilai r
2
sebesar 0.898, didapat nilai x sebagai kadar total fenol (mg/l) dan nilai y
sebagai absorbansi. Dari hal tersebut diketahui kadar total fenol yang dikandung oleh ekstrak teh
yang digunakan dapat ditentukan.
Tabel 16. Data total fenol teh
Sampel Absorbansi Kadar fenol (mg/L) Rataan (mg/L)
HT1 0.659 160.9375 166.875
HT2 0.697 172.8125
HJ1 1.215 334.6875 35.3125
HJ2 1.219 335.9375
Keterangan :
HT 1 = Ekstrak teh hitam sampel 1
HT 2 = Ekstrak teh hitam sampel 2
HJ 1 = Ekstrak teh hijau sampel 1
HJ 2 = Ekstrak teh hijau sampel 2
Gambar 11. Kadar total fenol ekstrak teh
y = 0.003x + 0.144
R = 0.898
0.000
0.200
0.400
0.600
0.800
1.000
0 50 100 150 200 250 300
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
[fenol] (mg/l)
160.9375
172.8125
334.6875 335.9375
0
50
100
150
200
250
300
350
400
HT1 HT2 HJ1 HJ2
k
a
d
a
r
t
o
t
a
l
f
e
n
o
l
(
m
g
/
l
)
31
Data menunjukkan jumlah fenol pada teh hijau lebih banyak dari teh hitam. Hal ini terjadi
karena pada proses pembuatan teh hijau tidak melalui proses fermentasi (oksidasi enzimatis)
sedangkan pada proses pembuatan teh hitam melalui proses fermentasi. Teh hijau merupakan teh
yang berasal dari pucuk daun teh yang sebelumnya mengalami pemanasan dengan uap air untuk
menonaktifkan enzim oksidase atau fenolase sehingga oksidasi terhadap katekin dapat dicegah.
Sedangkan teh hitam merupakan teh yang berasal dari pucuk daun teh segar yang dibiarkan layu
sebelum digulung, kemudian daun-daun tersebut dibiarkan selama beberapa jam sebelum
dipanaskan dan dikeringkan. Selama itu, enzim yang terdapat pada daun-daun teh akan
mengkatalisis reaksi oksidasi senyawa-senyawa yang ada di dalam teh sehingga menghasilkan
warna, rasa, dan aroma (Hartoyo 2003). Selain itu, proses fermentasi menyebabkan perubahan
struktur molekul yaitu letak dan posisi gugus hidroksil polyphenol sehingga tidak dapat bereaksi
dengan reagen folin ciocalteu sehingga total phenol yang terukur lebih rendah (Shi dkk 2010).
Daya cerna pati menunjukkan kemampuan pati untuk dicerna dan diserap oleh tubuh.
Dalam penelitian ini daya cerna pati dianalisis secara in vitro. Hasil analisis terhadap daya cerna
pati beras ekstrusi disajikan dalam Gambar 13.
Tabel 17. Data kurva standar maltosa
[Maltosa] (mg/ml) Absorbansi
0 0
0.1 0.053
0.2 0.126
0.3 0.226
0.4 0.280
0.5 0.396
Gambar 12. Kurva standar maltosa
Dengan menggunakan persamaan kurva standar maltosa di atas, yaitu y = 0.788x 0.017,
dan nilai r
2
sebesar 0.988, didapat nilai x sebagai kadar maltosa (mg/ml) dan nilai y sebagai
absorbansi. Dari hal tersebut diketahui kadar maltosa yang dikandung oleh sampel (kadar maltosa
awal) dan kadar maltosa sampel setelah reaksi hidrolisis enzim sehingga daya cerna pati pada
sampel dapat ditentukan.
y = 0.788x - 0.017
R = 0.988
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6
A
b
s
o
r
b
a
n
s
i
[maltosa] (mg/ml)
32
Perhitungan daya cerna pati didasarkan pada rumus (1):
Keterangan :
A = kadar maltosa sampel
a = Kadar maltosa blanko sampel
B = kadar maltosa pati murni
b = Kadar maltosa blanko pati murni
Tabel 18. Data daya cerna pati
Absorbansi (y) Kadar maltosa (x) DC pati
Tab A Tab B Tab a Tab b Tab A Tab B Tab a Tab b
Ka 0.6114
0.2019
0.7975
0.2778
73.86
P1a 0.5305
0.2043
0.6948
0.2808
58.83
P2a 0.6115
0.2114
0.7976
0.2898
72.16
P3a 0.6329
0.2067
0.8247
0.2839
76.87
Pati
0.7138
0.1948
0.9274
0.2688
Keterangan :
K = Perlakuan tanpa penambahan ekstrak teh (Kontrol)
P1 = Perlakuan ekstrak teh sebelum milling
P2 = Perlakuan ekstrak teh sebelum ekstrusi
P3 = Perlakuan ekstrak teh sebelum milling dan sebelum ekstrusi
Gambar 13. Grafik daya cerna pati
Pada penelitian ini dilakukan empat perlakuan pada cara penambahan ekstrak teh (seperti
ditunjukkan pada Tabel 19. dalam pembuatan beras analog teknologi ekstrusi dengan
menggunakan proses ekstrusi untuk menentukan cara penambahan ekstrak teh yang paling
optimal. Perlakuan tersebut antara lain :
1) K yaitu tanpa penambahan ekstrak teh (control)
2) P1 yaitu penambahan esktrak teh dilakukan pada saat sebelum proses milling
3) P2 yaitu penambahan ekstrak teh dilakukan pada saat sebelum proses ekstrusi, dan
4) P3 yaitu pengambahan ekstrak teh dilakukan pada saat sebelum proses penggilingan
tepung beras dan saat sebelum proses ekstrusi. Dari perlakuan tersebut dilakukan perhitungan daya
cerna pati sebagai parameter proses.
73.86
58.83
72.16
76.87
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
M1a M2a M3a M4a
D
a
y
a
c
e
r
n
a
p
a
t
i
(
%
)
K P1 P2 P3
% =
A a
x 100%
33
Tabel 19. Metode penambahan ekstrak teh pada pengolahan beras ekstrusi
Perlakuan Penambahan Ekstrak Teh
saat perendaman saat akan diekstrusi
Kontrol
1
2
3
-
v
-
v
-
-
v
v
Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh
enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana. Secara umum, daya cerna pati dapat
diasumsikan sebagai proses pemecahan pati dan penyerapannya oleh tubuh. Pemecahan dan
penyerapan karbohidrat dalam tubuh terlebih dulu harus diubah menjadi komponen yang lebih
kecil yaitu glukosa. Enzim yang dapat memecah pati adalah amilase yang terdapat dalam air liur
yang dihasilkan oleh kelenjar saliva dan pankreas. Enzim ini stabil pada kisaran pH 5-5,8. Enzim
amilase yang berasal dari saliva menjadi inaktif oleh pH rendah lambung. Enzim amilase yang
berasal dari pankreas memecah pati di usus menjadi unit-unit dimerik terutama maltose (Sardesai
2003).
Pati dihidrolisis oleh enzim alfa amilase menjadi gula-gula sederhana. Semakin tinggi daya
cerna suatu pati maka akan semakin banyak pati yang dapat dihidrolisis dalam waktu tertentu. Hal
ini ditunjukkan oleh semakin banyaknya glukosa dan maltosa yang dihasilkan. Kedua zat ini akan
bereaksi dengan DNS (asam dinitrosalisilat) sehingga kadar keduanya dapat diukur secara
spektrofotometri. Pengolahan bahan pangan mengakibatkan perubahan struktur dan mempengaruhi
karakteristik pati termasuk daya cerna pati (Singh et al. 2010).
Perhitungan daya cerna pati beras analog teknologi ekstrusi yang dihasilkan dengan
penambahan ekstrak teh menunjukkan penurunan pada M1a dan M2a (Gambar 13) dibandingkan
dengan beras analog teknologi ekstrusi kontrol (Ka). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau
yang ditambahkan pada beras analog teknologi ekstrusi memiliki komponen aktif, dalam hal ini
polifenol, yang berpengaruh dalam menurunkan daya cerna pati in vitro (Tabel 18). Namun pada
perlakuan beras analog teknologi ekstrusi P3a nilai daya cerna pati mengalami peningkatan.
Sehingga nilai daya cerna pati yang didapat berturut-turut dari yang terbesar adalah perlakuan P3a,
Ka, P2a, dan P1a.
Pada proses pembuatan beras analog teknologi ekstrusi daya cerna kontrol sebesar 73.86%.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Muslikatin (2011) yang menyebutkan bahwa kisaran daya
cerna pati pada beras ekstrusi sebesar 73%. Proses ekstrusi diketahui dapat mempengaruhi struktur
fisik granula pati mentah, membuatnya menjadi kurang kristalin, lebih mudah larut air, dan mudah
terhidrolisis enzim. Istilah tersebut dikenal dengan istilah pemasakan, atau gelatinisasi. Karena
kondisi kelembapan rendah pada ekstruder, gelatinisasi secara tradisional yang melibatkan
perobekan (swelling) dan hidrasi granula pati tidak terjadi (Zakaria et al. 2007). Panlasigui et al
(1992) dalam penelitiannya menyatakan beras yang diekstrusi secara signifikan menurunkan daya
cerna pati sebanyak 15% dan indeks glikemik pada sukarelawan yang sehat sebesar 36%.
Pengaruh ekstrusi berhubungan dengan gelatinisasi pati dan retrogradasi yang terjadi selama
pengolahan yang diindikasikan dengan viskositas yang lebih rendah dan konsistensi gel yang lebih
lembut dari produk mie dari beras. Puspowati (2003) menyatakan semakin besar derajat
gelatinisasi suatu produk maka akan semakin tinggi pula daya cerna patinya, demikian pula
Widowati (2007) yang menyatakan bahwa beras yang mengalami gelatinasi akan lebih mudah
dicerna sehingga nilai daya cernanya akan mengalami peningkatan.. Derajat gelatinisasi
merupakan indikator tejadinya degradasi pati. Jadi, apabila derajat gelatinisasi meningkat maka
degradasi pati juga meningkat. Adanya peningkatan degradasi pati akan mengakibatkan
penyerangan enzim yang lebih mudah sehingga akan meningkatkan daya cerna pati.
34
Pada perlakuan P2a dan P1a, adanya penambahan ekstrak teh menyebabkan penurunan
nilai daya cerna pati dikarenakan ekstrak teh memiliki komponen aktif, yaitu polifenol, yang
berpengaruh dalam menurunkan daya cerna pati in vitro. Dampak adanya polifenol adalah
terbentuknya senyawa kompleks dengan protein yang bersifat tidak larut sehingga cenderung
menurunkan daya cerna protein maupun pati (Palupi, Zakaria, & Prangdimurti, 2007). Polifenol
dapat mengendapkan protein, alkaloid, dan polisakarida tertentu serta mengandung gugus hidroksi
dan gugus lain seperti karboksilat sehingga membentuk kompleks yang kuat dengan protein dan
makromolekul lain. Thompson et al. (1984) menyatakan ada beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa adanya polifenol dapat menghambat aktivitas enzim-enzim pencernaan,
terutama tripsin dan amilase. Enzim -amilase adalah protein dalam tubuh yang bertugah
memecah karbohidrat mejadi gugus gula sederhana. Oleh karena itu, pembentukan kompleks
antara protein dan senyawa polifenol akan menganggu daya cerna karbohidrat. Kemungkinan
lainnya adalah tipe ikatan antara polifenol dengan karbohidrat melalui jembatan H+ dan interaksi
hidrofobik sangat penting dalam bentuk kompleks tersebut. Lebih lanjut dinyatakan bahwa ukuran
molekul dan fleksibilitas konformasi berperan dalam ikatan antara polifenol dengan polisakarida
dan dipengaruhi oleh tingkat keasaman (pH). Bentuk kompleks tersebut akan memodifikasi
struktur polisakarida atau polifenol sehingga mengubah afinitasnya. Namun informasi mengenai
tipe ikatan antara polifenol dan karbohidrat sendiri masih sangat terbatas. Selain itu, adanya
adsorpsi substansi polifenol secara selektif oleh pati akan menurunkan daya cerna pati in vitro.
Perlakuan P1a (penambahan ekstrak teh sebelum proses milling) memiliki nilai daya cerna
pati yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan P2a (penambahan ekstrak teh sebelum
proses ekstrusi) dikarenakan pada perlakuan P1a terdapat proses perendaman ekstrak teh ke dalam
beras menir selama satu jam sehingga struktur ikatan kompleks antara senyawa fenol dan pati
lebih kuat. Hal tersebut menyebabkan daya hambat terhadap enzim alfa amylase lebih baik
sehingga nilai daya cerna pati yang dihasilkan lebih rendah. Sedangkan pada proses P2a
penambahan ekstrak teh dilakukan tepat sebelum proses ekstrusi (untuk menaikkan kadar air
menjadi sekitar 45%) sehingga ikatan anatara senyawa fenol dan pati belum terlalu terbentuk
dengan kuat dan langsung melalui proses pemanasan dan gelatinisasi saat ekstrusi sehingga
menyebabkan daya hambat terhadap enzim alfa amylase pada pati masih rendah. Dampak dari
bentuk kompleks antara pati dengan fenol menyebabkan sisi atau bagian pati yang secara normal
dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi tidak dikenali. Semakin banyak ikatan pati dengan
polifenol maka semakin banyak sisi-sisi yang tidak dapat dikenali oleh enzim pencernaan,
sehingga kemampuan hidrolisis pati menurun. Akibatnya, daya cerna pati menjadi rendah. Namun
adanya proses pengolahan pangan seperti pemanasan dapat mempengaruhi nilai daya cerna pati.
Pada Gambar 13 terlihat bahwa perlakuan P3a justru memiliki nilai daya cerna pati yang
paling tinggi diantara data yang lainnya. Diasumsikan bahwa penambahan ekstrak teh sebanyak
dua kali pada proses pembuatan beras analog tidak berpengaruh terhadap penurunan daya cerna
patinya. Hal ini dikarenakan proses penghambatan enzim alfa amilase yang dapat menurunkan
nilai daya cerna pati merupakan proses penghambatan dapat balik (reversible) secara kompetitif.
Nilai indeks glikemik suatu bahan pangan tidak hanya ditentukan oleh satu faktor tetapi
beberapa faktor yang saling berkaitan. Varietas tanaman, dalam hal ini padi, yang berbeda dapat
menyebabkan perbedaan nilai indek glikemik. Faktor yang mempengaruhi indeks glikemik antara
lain ukuran partikel dan keberadaan gula, kadar serat, pengolahan pangan, perbandingan amilosa
dan amilopektin, pati resisten, lemak, protein, dan zat antigizi pangan (Rimbawan dan Siagian
2004). Pada penelitian ini digunakan dua faktor utama: 1) proses pengolahan pangan yaitu dengan
proses ekstrusi dan 2) penambahan zat antigizi pangan yaitu penambahan ekstrak teh untuk
menurunkan nilai indeks glikemik pangan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mekanisme adanya hubungan negatif antara
asupan polifenol dengan indeks glikemik masih belum jelas. Diduga hal ini berhubungan langsung
dengan interaksi antara pati dan polifenol yang belum dapat digambarkan secara rinci. Hal ini
35
menyebabkan data daya cerna pati merupakan parameter penting pada penelitian ini. Dari data
daya cerna tersebut dipilih satu sampel yang memiliki nilai terendah. Sampel tersebut nantinya
akan dianalisis nilai indeks glikemik dan analisis fisiko-kimia secara keseluruhan. Diasumsikan
bahwa daya cerna pati memiliki korelasi positif terhadap nilai indeks glikemik. Dan pada
penelitian ini, didapatkan kesimpulan sementara bahwa sampel yang memiliki nilai daya cerna pati
terendah adalah sampel dengan perlakuan 1 (P1a) yaitu proses penambahan ekstrak teh dilakukan
sebelum proses ekstrusi, dengan nilai daya cerna pati sebesar 58.83%.
36
KESIMPULAN
Pembuatan beras analog fungsional dengan menggunakan teknologi ekstrusi mampu
menjadi salah satu solusi untuk fortifikasai pada beras, karena mampu mencegah terjadinya
kehilangan fortifikan saat dilakukan proses pencucian dan pemasakan. Penelitian ini belum selesai
dan dalam tahap penyimpanan untuk mengetahui kestabilan fortifikan dalam kodisi penyimpanan.
Daya cerna beras yang telah dimodifikasi menunjukan bahwa memiliki penurunan jika
dibandingkan dengan beras pada umumnya secara in vitro. Penelitian selanjutnya akan difokuskan
pada kondisi in vivo untuk mengukur respon indeks glikemik.
37
DAFTAR PUSTAKA
Allen, L. H. 1998. Zinc and Micronutrient Supplement for Chirdren. Am J Clin Nutr.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis 960.52 Modified, Chapter 12.1.07, p7.
Arcot J, Shrestha A. 2005. Folate: methods of analysis. Trend in Food Science & Technology, 253-
266.
Ball G. 1998. Bioavailability and analysis of vitamin in foods. London: Chapman and Hall.
Balentine, D., & I, P.-R. (2000). Tea as a Source of Dietary Antioxidants with a Potential in
Prevention of Chronic Diseases. Pennsylvania, USA: Technomic Pub. Com. Inc.
Basil, S. H., & Potter, B. J. 1983. Iodine deficiency and the role of thyroid hormones in brain
development. In E. D. Ivor, R. M. Smith, E. D. Ivor, & R. M. Smith (Eds.), Neurobiology of
the trace elements (Vol. 1, pp. 83-). United State of America: The Humana Press Inc.
Behall, K.M. and J. Hallfrisch. 2002. Plasma glucoce and insulin reduction after consumption of
bread varying in amylase content. Eur. J. Clin. Nutr. 56(9):913-920.
Black, M. M. 1998. Zinc deficiency and child development. Am. J. Clin. Nutr.
Botto L, Moore C, Khoury M, Erickson J. 1999. Neural Tube Defect. J.Med.341, 1509-1510.
BPS Nasional. 2009. Penduduk Indonesia menurut provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, dan 2000.
Jakarta : BPS.
Cragan J, Edmond H, Khoury L, Kirby M. 1995. Surveillance for anencephaly and spina bifida
and the impact of prenatal diagnosis. United States: Morb. Mortal. Wkly.
Daly L, Kirke P, Molloy A, Weir D, Scott J. 1995. Folate levels and neural tube defects.
Implications for prevention. JAMA, 274: 1698-1702.
Damardjati D. 1981. Struktur dan Komposisi Beras[Tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Pangan,
Fakultas Pasca Sarjana IPB.
Damardjati D. 1983. Pyhsical and Chemical Properties and protein Characteristic of some
indonesian Rice Varieties [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB.
Damardjati, D. S. 1988. Struktur Kandungan Gizi Beras. Bogor: Balitbang Pertanian.
Daniells S. 2008. Green tea catechins go nano: study (terhubung berkala) http://www.ritc.or.id [14
November 2011].
Dick M, Harisson I, Farreer K. 1948. The thermal stability of folic acid. Australian Journal of
Experimental Biology Medicinal Science, 239.
Eschelemen, M. M. 1996. Introductory Nutrition and Nutrition Therapy. Lippincott: Raven
Publisher.
FAO/WHO. 2001. Chapter 12: Iodine. In: Human Vitamin and Mineral Requirements. Report of a
joint FAO/WHO expert consultation Bangkok, Thailand, Food and Nutrition Division,FAO
Rome, p. 181-194.
Fellow P. 2008. Food Processing Technology : Principle and Practice. New York: CRC Press.
Figueiredo J, Grau M, Haile R, Sandler R, Summers R, Bresalier R. 2009. Folic acid and risk of
prostate cancer: result from a randomized clinical trial. Journal of the National Cancer
Institute 101 (6), 432-435.
Francis F. 1999. Encyclopedia of food science and technology. New York: John Wiley & Sons.
Gillespie, S. R. 1998. Major Issues in The Control of Iron Deficiency. The Micronutrient
Inititative. Canada: Unicef.
Green N S. 2002. Folic Acid Supplementation and Prevention of Birth Defects. The Journal of
Nutrition, 2356-2360.
Gregory J. 1997. Bio-availability of folate. J.Clin.Nutr, 554-559.
Griffiths DW, Moseley G. 1980. The effect of diets containing field beans of high or low
polyphenolic content on the activity of digestive enzymes in the intestines of rats. J Sci
Food Agric 31:255-259.
Haryadi. 2008. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta: UGM Press.
38
Hartoyo A. 2003. Teh & Khasiatnya Bagi Kesehatan. Yogyakarta : Kanisius
Heather R et al. 2001. Tea effect of flexible low glycemic index dietary advice versus
Houtson D. 1972. Rice chemistry and Technology. Minnesota: American Association of Cereal
Chemist.
Indrasari SD, P Wibowo, Aan AD. 2008. Kandungan mineral beras varietas unggul baru.
Disampaikan pada Seminar Nasional Padi. Sukamandi, 23-24 Juli 2008.
Juliano B. 1979. The chemical basis rice grain quality. Workshop on Chemical aspects of Rice
Grain Quality. Los Banos: IRRI.
Khomsan A. 2009. Teh Hijau [terhubung berkala]. www.yaskum.info [14 November 2011].
King, F. S., & Ann, B. 1993. Nutrition for Developing Countries. Oxford: Oxford University
Press.
Kodyat, B. A., Thaha, A. R., & Minarto. 1998. Penuntasan Masalah Gizi Kurang. Jakarta: LIPI.
Kurniawan, A. 2007. Kebijakan Penanggulangan Masalah Defisiensi Seng (Zn) di Indonesia.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat, DepKes RI.
Lehninger, A.L. 1982. Principles of Biochemistry. Jakarta : Erlangga.
Miller et al. 2003. Low-glycemic index diets in the management of diabetes. A meta-analysis of
randomized controlled trials. diabetes care 26 : 2261-2267.
Muchtadi D. 1992. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Jenderal Pendidikan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB.
Muchtadi D. 2010. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bandung: CV Alfabeta.
Muslikatin. 2011. Pembuatan beras ekstrusi dengan penambahan ekstrak rumput laut [Skripsi].
IPB: Bogor.
National Academy of Sciences. 1998. Dietary Reference Intakes: Folate, other B Vitamins and
Choline. Wasington D.C.: National Academy Press.
Panlasigui L N, Thompson LU, Juliano BO, Perez CM, Jenkins, DJA, Yiu SH. 1992. Extruded
rice noodles: starch digestibility and glycemic response of healthy and diabetic subjects
with different habitual diets. J of Nutrition Research 1992 v.12(10) p.1195-1204.
Prangdimurti E, Palupi NS, Zakaria FR. 2007. Metode evaluasi nilai biologis karbohidrat dan
lemak, metode e-learning ENBP. Bogor : Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.
Prihananto. 2004. Fortifikasi Pangan Sebagai Upaya Penanggulangan Anemia Zat Besi. Dipetik
November 1, 2011, dari http://rudyct.com
Purwani, E. Y. 2001. Sifat Fisiko Kimia Beras dan Indeks Glikemiksnya. Teknologi dan Industri
Pangan, 59-66.
Puspowati. 2003. Kajian formulasi, mikrostruktur, daya cerna, dan umur simpan biskuit garut
untuk MP ASI.[tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Rasalakhsi D, Narasimhan S. 1996. Food antioxidant: Sources and methods of evaluation. Di
dalam: Madhavi DL, Deshpande SS, Salunkhe DK, editor. Food Antioxidants
Technological, Toxilogical and Health Perspectives. New York: Marcel Dekker
Rimbawan. 2000. Studi Keterkaitan antara Defisiensi Selenium dan Defisiensi Iodium dalam
Menentukan Masalah GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium) dan Upaya
Penanggulangannya Melalui Fortifikasi Ganda. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks glikemik pangan. Jakarta : Penebar Swadaya.
Samad. 2003. Pembuatan Beras Tiruan (Artificial Rice) dengan Bahan Baku Ubi Kayu dan Sagu.
Prosiding Seminar Teknologi untuk Negeri 2003, Vol. II pp 36-40. Jakarta: BPPT.
Sardesai, V.M. 2003. Introduction to clinical nutrition. New York, Marcel Dekker Inc. p. 339-354.
Sarwono et al. 2003. Indeks glikemik berbagai makanan di Indonesia. Jakarta : UI.
Schersten et al. 1983. Improvement of periphera; nerve function after institution of insulin
treatment in diabetes mellitus. Acta Medica Scandinavica Vol 213, Issue 4, pp 283-287.
Scott J, Weir D. 1994. Folate/vitamin B12 interrelationships. Essays in Biochemistry, 63-72.
39
Shi J dkk. 2010. Functional Foods of The East. USA: CRC Press.
Singh J, Dartois A, Kaur L. 2010. Starch digestibility in food matrix: a review. Trends in Foods
Science & Technology, 21: 168-180.
Slamet, D. S. 1990. Pedoman analisis zat gizi. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Standar Nasional Indonesia. 2010. Garam Konsumsi Beryodium. SNI 3556:2010
Suhadjo. 1990. Defisiensi Vitamin dan Mineral. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor.
Tjokroprawiro, A. 2001. Diabetes mellitus: klasifikasi, diagnosis, dan terapi. Edisi ketiga.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
USDA. 2009. Dipetik November 1, 2011, dari United States Department of Agriculture:
http://www.usda.gov
Waries, A. 2006. Teknologi Penggilingan Padi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
West, C. E., Jooste, P. L., & Pandav, S. C. 2004. Iodine and Iodine deficiency. In M. J. Gibney, B.
M. Margetts, J. M. Kearney, & L. Arab, Public Health Nutrition (pp. 263-276). Oxford:
Blackwell Publishing Ltd.
Widjayanti, E. 2004. Potensi dan prospek pangan fungsional indigenous Indonesia. Disampaikan
pada Seminar Nasional: Pangan Fungsional Indigenous Indonesia: Potensi, Regulasi,
Keamanan, Efikasi, dan Peluang Pasar. Bandung 6-7 Oktober 2004.
Widowati, S. 2007. Pemanfaatan ekstrak teh hitam Hijau (Camellia sinensis) dalam
pengembangan beras fungsional untuk penderita diabetes mellitus. Disertasi Sekolah
Pasca-Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Winarno, F. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: Mbrio Press.
Willet, W., J. Manson, and S. Liu. 2002. Glycemic index, glycemic load and risk of type 2
diabetes. Am. J. Clin. Nutr. 76(1):274S-280S.
Widowati, S. 2007 Pemanfaatan ekstrak teh hijau Hijau (Camellia sinensis) dalam pengembangan
beras fungsional untuk penderita diabetes mellitus. Disertasi Sekolah Pasca-Sarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Willet, W., J. Manson, and S. Liu. 2002. Glycemic index, glycemic load and risk of type 2
diabetes. Am. J. Clin. Nutr. 76(1):274S-280S.
Wright A, PM F,. Southon, S. 2001. Proposed mandatory fortification of the UK diet with folic
acid : Have potential risks been underestimated. Trends in food science and technology,
12(9), 313-321.
[WHO]. Expert Committee on Diabetes Mellitus. 1980. Second Report. Technical Report
Series.646. Geneva: WHO. Pp 66.
Xiao-Fu B. 2008. Asian noodles: History, classification, raw materials, and processing. Food
Research International, 41: 888-902.
Yang CS, Landau JM.Effects of tea consumption on nutrition and health. J. Nutr.
2000; 130(10): 2409-12.
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1. Rekapitulasi data analisis kadar air
kadar air minggu ke-0
No ulangan Bobot cawan
Bobot Sampel
Awal Bobot cawan+sampel Kadar air
1 2.8302 2.7915 5.4924 4.63%
2 2.4907 4.2574 6.548 4.70%
rata-rata
4.67%
SD 0.03%
kadar air minggu ke-2
No ulangan Bobot cawan bobot sampel awal Bobot cawan+sampel Kadar air
1 4.439 4.482 8.6122 6.89%
2 2.6654 2.3913 4.9033 6.41%
3 2.8308 6.4833 8.8965 6.44%
4 4.0941 2.2017 6.1541 6.44%
rata-rata
6.55%
SD 0.20%
kadar air minggu ke-4
No ulangan Bobot cawan bobot sampel awal Bobot cawan+sampel Kadar air
1 4.4323 2.2924 6.4978 9.90%
2 2.6618 1.0657 3.6196 10.12%
3 2.8302 1.2158 3.9308 9.48%
4 4.0836 1.4129 5.362 9.52%
rata-rata
9.75%
SD 0.27%
kadar air minggu ke-6
No ulangan Bobot cawan bobot sampel awal Bobot cawan+sampel Kadar air
1 4.4328 1.855 6.0952 10.38%
2 2.6587 1.4621 3.9721 10.17%
3 2.8281 2.4052 4.9866 10.26%
4 4.0834 3.2777 7.0285 10.15%
rata-rata
10.24%
SD 0.09%
42
Lampiran xx. Kromatograf asam folat standar
Standar asam folat konsentrasi 10ppm
Standar asam folat konsentrasi 20ppm
Standar asam folat konsentrasi 30 ppm
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5 min
0
25
50
75
100
125
150
175
200
mV
Detector A Ch1:280nm
2
0
.
4
3
4
/
6
2
9
6
2
6
4
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5 30.0 min
0
25
50
75
100
125
150
175
200
225
250
mV
Detector A Ch1:280nm
2
0
.
3
8
4
/
7
1
3
4
0
2
5
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5 30.0 min
0
25
50
75
100
125
150
175
200
225
250
275
mV
Detector A Ch1:280nm
2
0
.
3
6
0
/
7
6
6
5
0
3
1
43
Standar asam folat konsentrasi 40 ppm
Standar asam folat konsentrasi 50 ppm
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5 30.0 min
0
50
100
150
200
250
300
mV
Detector A Ch1:280nm
2
0
.
3
8
8
/
9
0
6
6
6
0
4
0.0 2.5 5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 22.5 25.0 27.5 30.0 min
0
50
100
150
200
250
300
mV
Detector A Ch1:280nm
2
0
.
3
7
2
/
8
9
9
8
5
1
5