Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan Laporan tinjauan pustaka parafimosis ini sebagai suatu laporan atas hasil belajar penulis terkait materi parafimosis yang berhubungan dengan kegiatan yang dilakukan pada Blok XIII semester V ini. Pada laporan yang berjudul parafimosis ini, penulis membahas masalah yang berkaitan dengan parafimosis dimulai dari angka kejadian parafimosis sampai ke pengobatan parafimosis beserta komplikasi dan prognosisnya. Penulis mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam menggali semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan parafimosis ataupun pada pembahasan yang kurang memuaskan. Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai manusia. Tetapi, kami berharap laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kapada para pembaca.
Penulis
I. Anatomi penis normal Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 2 Penis (penis) adalah salah satu bagian organ genitalia eksterna pada pria. Penis merupakan organ kopulasi yang diselimuti oleh kulit yang longgar dan memuat uretra pars spongiosa dan di dalamnya terdapat 3 jaringan erektil yang akan terisi darah apabila ada stimulasi seksual saat koitus (Van De Graaff, 2001).
Penis dibagi menjadi 3 bagian : (Van De Graaff, 2001)
Pangkal penis Terdapat dibawah tulang pubis yang berfungsi untuk stabilitas penis pada saat ereksi. Pangkal penis meluas kearah posterior membentuk bulb of the penis dan crus of the penis. Bulb terletak pada urogenital triangle pada perineum dan melekat pada permukaan bawah diafragma urogenital dan dibungkus oleh musculus bulbocavernosus. Sedangkan crus, menyambungkan pangkal penis ke ramus isopubicus dan ke membran perineal. Crus yang terletak superior dari bulb, dibungkus oleh musculus ischiocavernosus.
Batang penis (body/ shaft) Merupakan bagian mayor penis yang terdiri dari 2 korpora kavernosa (kor'por-a kav''er-no'sa) dan korpus spongiosum. Jaringan fibrosa diantaraa dua korpora kavernosa membentuk septum penis. Korpus spongiosum (spon''je-o'sum) terletak ventral dari kedua korpora kavernosa dan mengelilingi uretra pars spongiosa. Penis dalam keadaan flaccid apabila jaringan seperti sponge ini tidak terisi darah dan sebaliknya akan ereksi apabila terisi darah.
Glans penis Adalah bagian distal dari korpus spongiosum yang berbentuk kerucut yang biasanya dilapisi oleh kulit longgar (prepusisium) pada individu yang tidak disirkumsisi. Jaringan melingkar dibelakang glans penis disebut sulkus koronarius. Pada ujung glans penis terdapat orifisium uretra eksterna, yaitu tempat keluarnya urin dan semen. Pada bagian bawah glans penis, terdapat lipatan jaringan vertikal yang disebut frenulum (fren'yu-lum) yang melekatkan kulit yang melapisi penis dengan glans penis. Kulit yang melapisi penis tidak ditumbuhi rambut, mengandung sedikit sel lemak dan biasanya terpigmentasi lebih gelap dari bagian kulit yang lain. Kulit ini Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 3 melapisi glans penis dengan longgar dan disebut prepusisium / prepuce (pre'pyoos) / foreskin.
Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 4
Penis yang belum disirkumsisi Penis yang telah disirkumsisi
Penis diinervasi oleh nervus dorsalis dextra dan sinistra (saraf sensori yang utama) yang merupakan cabang dari nervus pudendus (Van De Graaff, 2001 ; Schuenke & Faller, 2004). Penis merupakan organ yang kaya pembuluh darah dan disuplai oleh arteri pudenda interna yang berasal dari arteri iliaka interna yang bercabang menjadi deep penile artery, bulbar artery dan urethral artery. Deep penile artery menjadi arteri cavernosa, yang akan menyuplai seluruh korpus kavernosum. Urethral artery menyuplai glans penis dan korpus spongiosum. Bulbar artery menyuplai uretra pars bulbaris dan otot bulbospongiosus (Van De Graaff, 2001 ; Schuenke & Faller, 2004).
(Schuenke & Faller, 2004) Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 5
Penis dan hubungannya dengan struktur lain (Schuenke & Faller, 2004)
I I . Penile I njury Injuri penis dapat dibagi menjadi 3, yaitu (American College of Emergency Physician, 1999) : a. Fraktur penis Fraktur penis terjadi dengan rupturnya corpora kavernosa akibat robeknya tunika albuginea yang mengakibatkan hematoma subcutaneous yang luas. Hal ini sering terjadi akibat penis yang ereksi yang dipaksa dan tertahan oleh benda solid, seperti pubis, pada saan berhubungan seksual. Pasien dapat mendengar cracking sound yang diikuti nyeri, pembengkakan dan deformitas penis. Konsultasi di bidang urologi dibutuhkan untuk penanganan terbaik.
b. Zipper injuries Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 6 Injuri yang terjadi pada prepusisium ketika zipper / resleting celana ikut meresleting bagian prepusisium penis pada anak yang belum disirkumsisi. Injuri ini paling sering terjadi pada anak usia 3-6 tahun yang tergesa-gesa memakai celana setelah berkemih.
c. Torniquet injuries Biasanya disebabkan oleh balanitis, parafimosis atau selulitis pada penis. Injuri ini terjadi apabila terbentuk cincin jeratan yang mengelilingi sulkus koronarius. Injuri biasanya bersifat local, namun dapat juga menyebar ke uretra dan korpora. Pengobatan biasanya dilakukan melalui pelepasan cincin jeratan dan pengobatan terhadap infeksi yang dialami. Apabila dicurigai injuri pada bagian dalam penis, maka perlu dilakukan follow up.
III. Parafimosis Kelainan structural maupun inflamasi prepusisium dan glans penis merupakan keluhan yang sering dijumpai pada keadaan gawat darurat. Dokter harus dengan akurat mengidentifikasi dan mengatasi kondisi ini serta dapat mengenali kapan harus melakukan rujukan untuk penanganan pasien yang lebih maksimal (Huang, 2009).
A. Definisi Paraphimosis (say: para-fim-oh-sus) / Parafimosis merupakan kondisi terperangkapnya prepusisium yang fimotik proximal dari korona penis (prepusisium yang diretraksi sampai di sulkus koronarius tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula sehingga timbul jeratan pada penis dibelakang sulkus koronarius) yang menyebabkan edema dan pembengkakan glans dan prepusisium (Cranston & Reynard, Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 7 2005 ; Choe, 2000). Parafimosis berbeda dengan fimosis yang merupakan suatu keadaan dimana prepusisium tidak bisa diretraksi ke belakang corona glandis. Parafimosis merupakan suatu kegawatdaruratan di bidang urologi sedangkan fimosis bukan merupakan keadaan kegawatdaruratan (Donohoe, 2009). Gambaran skematis parafimosis : (Donohoe, 2009)
B. Epidemiologi Parafimosis relatif jarang ditemui dan lebih jarang ditemui daripada fimosis. Parafimosis paling sering terjadi pada laki-laki yang setelah melakukan hubungan seksual kemudian tertidur dan terbangun dengan gejala parafimosis atau pada kondisi dilakukannya tindakan medis, pada pasien yang prepusisiumnya diretraksi untuk membersihkan smegma pada pemasangan kateter, tidak dapat dikembalikan pada posisi semula (Cranston & Reynard, 2005). Parafimosis juga sering terjadi pada remaja (Huang, 2009). Berdasarkan survei yang dilakukan di National Hospital di United States, tren pada 30-40 tahun terakhir ini mengarah ke banyaknya orang yang tidak disirkumsisi. Persentase pasien yang disirkumsisi yang awalnya sebesar 78-80% pada tahun 1960an, menurun menjadi 55-60% pada tahun 2003. Dengan bertambahnya jumlah individu yang tidak disirkumsisi, parafimosis memiliki potensial untuk terjadi lebih sering (Donohoe, 2009).
C. Faktor risiko Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 8 Parafimosis terjadi hanya pada pasien yang belum melakukan sirkumsisi atau telah melakukan sirkumsisi parsial (Donohoe, 2009).
D. Etiologi Penyebab tersering dari parafimosis adalah fimosis (fibrosis dan konstriksi dari prepusisium yang terletak distal dari glans sehingga tidak memungkinkan retraksi prepusisium). Ini mengarah ke pembentukan skar sirkular yang nantinya dapat membentuk seperti tourniquet pada glans ketika prepusisium diretraksi, yang akan mengganggu aliran vena dan limfatik (Chad & Julie, 2009). Parafimosis sering terjadi setelah retraksi prepusisium setelah pemeriksaan penis, pembersihan penis, kateterisasi atau sistoskopi. Sebelum insersi kateter uretral, klinisi biasanya meretraksi prepusisium untuk membersihkan smegma untuk melakukan proses secara steril. Prepusisium yang teretraksi tersebut dapat tetap dalam posisi teretraksi selama beberapa jam atau beberapa hari. Kegagalan untuk mengembalikan prepusisium ke posisi semula kadang kala mengarah ke kejadian parafimosis. Parafimosis sekunder setelah ereksi juga dapat terjadi (Donohoe, 2009). Pada studi kasus yang dilakukan Ramdass et al pada sebuah festival perayaan di Trinidad & Tobago, telah terbukti bahwa akibat tradisi dansa yang kerap kali dilakukan, menimbulkan hasrat seksual pada laki-laki yang dapat bertahan selama beberapa jam. Hasrat seksual ini timbul akibat gerakan memutar pada bagian pinggul dan daerah pelvis pada laki-laki dan wanita yang bersentuhan pada saat dansa tradisional ini. Ereksi yang lama dan friksi dari penis ini ditambah faktor tight preputitium, dapat berkontribusi terhadap perkembangan menjadi parafimosis (Ramdass et al, 2000). Penyebab lain dari parafimosis adalah higienitas urogenital yang buruk, balanopostitis kronis dan tindikan pada daerah genital (Chad & Julie, 2009). Parafimosis dapat terjadi pada pasien yang belum disirkumsisi yang melakukan tindikan penis. Perhiasan yang dimasukkan ke dalam glans penis pada pasien yang melakukan tindikan pada penis juga akan mengganggu aliran urin (Meltzer, 2005).
Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 9 E. Patofisiologi Ketika prepusisium terperangkap dibelakang corona glandis dalam waktu yang lama, terbentuk berkas jaringan yang erat disekitar penis. Keadaan ini dapat menimbulkan konstriksi pada penis yang akan mengganggu aliran darah vena dan limfatik pada glans penis dan prepusisium sehingga dapat mengakibatkan edema glans. Seiring dengan bertambah parahnya edema, aliran darah arterial juga menjadi terganggu sehingga lama kelamaan dapat terjadi iskemia jaringan, pembengkakan dan nyeri pada glans dan prepusisium. Apabila keadaan ini tidak ditangani, maka akan mengarah ke gangrene atau autoamputasi penis bagian distal (Donohoe, 2009).
F. Manifestasi Klinis Pasien dewasa dengan parafimosis yang simptomatik paling sering mengeluhkan rasa nyeri di daerah penis. Namun nyeri tidak selalu ada pada pasien parafimosis Pada pasien pediatri, parafimosis dapat bermanifestasi sebagai obstruksi saluran kemih akut dan dapat menimbulkan gejala saat berkemih, gejala obstruksi (bila parah), disuria dan hematuria (Donohoe, 2009 ; Huang, 2009 ; Choe, 2000). Selain itu gejala dapat pula berupa nyeri saat ereksi (Huang, 2009). Glans penis tampak membesar dan terkongesti, dengan cincin prepusisium yang edema disekeliling sulcus coronarius. Bagian lain dari penis tetap normal dan dalam keadaan flaccid. (Choe, 2000)
G. Penegakan diagnosis Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 10 Ketika mengevaluasi pasien yang suspek parafimosis, riwayat manipulasi penis harus digali, misalnya : instrumentasi, bedah endoskopik, pembedahan pada kandung kemih maupun uretra, self-retraction, sirkumsisi, perubahan dari tekstur dan warna kulit (Choe, 2000). Pemeriksaan fisik yang dilakukan harus terfokus ke bagian penis, kateter uretra (apabila sedang dipasang kateter) dan skrotum. Inspeksi dilakukan untuk melihat adanya prepusisium, derajad konstriksi disekitar korona penis dan turgor prepusisium. Dengan tidak adanya prepusisium pada inspeksi, diagnosa parafimosis dapat disingkirkan. Warna merah muda pada glans menunjukkan adanya suplai darah yang baik pada glans. Apabila prepusisium atau glans berwarna hitam, menandakan autonekrosis telah terjadi (Choe, 2000). Palpasi pada glans dapat memberikan informasi tambahan mengenai viabilitas glans. Glans yang normal biasanya lembut dan kenyal. Apabila glans teraba keras dan tidak elastik disertai warna hitam, maka nekrosis penis harus dicurigai. Selain itu, perlu dilakukan inspeksi pada bagian skrotum untuk melihat warna, tekstur dan turgor, kemudian dilakukan palpasi untuk menilai adanya hidrokel maupun tumor (Choe, 2000). Pada pemeriksaan fisik, biasanya tampak glans penis membesar dan terdapat kongesti oleh prepusisium yang tidak dapat kembali ke tempatnya semula. Prepusisium yang terkontriksi ini terletak di belakang kepala penis (Donohoe, 2009).
Seringkali, pasien datang dengan edema dan nyeri glans dan ketidakmampuan untuk menarik kembali prepusisium yang teretraksi. Diagnosa biasanya langsung dapat ditegakkan dengan melihat striktur yang disebabkan oleh prepusisium yang tidak dapat diretraksi tersebut dan edema pada glans. Reaksi alergi, trauma dan hair tourniquets dapat mengakibatkan manifestasi klinis yang mirip dengan parafimosis. Harus dibedakan antara berbagai infeksi glans penis (balanitis yang merupakan infeksi Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 11 hanya pada daerah glans, balanopostitis yang merupakan infeksi glans dan prepusisium) dengan striktur penis (Chad & Julie, 2009).
H. Penatalaksanaan Poin penting dalam penatalaksanaan parafimosis adalah prevensi dan intervensi (Choe, 2000). Apabila didiagnosa pada saat awal, parafimosis dapat disembuhkan dengan mudah. Prinsip terapi dari parafimosis adalah mengurangi nyeri dan mencegah iskemia glans (Chad & Julie, 2009). Terapi untuk parafimosis meliputi menenangkan pasien, mengurangi edema prepusisium dan mengembalikan prepusisium ke posisi dan kondisi yang mormal. Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengurangi edema pada glans penis, meliputi : penggunaan ice packs, penile wraps dan kompresi manual yang secara mekanis akan mengurangi edema, agen osmotic seperti granulated sugar, hyaluronidase yang meningkatkan difusi cairan yang akan mengurangi edema lokal dapat diberikan pada pasien pediatri (Donohoe, 2009). Pengobatan awal pada pasien biasanya diberikan analgesia dan anastesi local, kemudian penis ditekan selama 2-3 menit untuk mengurangi pembengkakan, sebelum mencoba untuk mengurangi edema pada kulup. Beberapa klinisi juga telah melakukan teknik pungsi menggunakan fine needle untuk mengurangi edema pada prepusisium. Apabila semua pengobatan ini gagal, maka perlu dilakukan sirkumsisi segera (Cranston & Reynard, 2005).
Terapi untuk parafimosis dapat dibagi menjadi (Little & White, 2005) :
1) Compression method / metode kompresi manual Anastesi pasien dapat menggunakan anastesi lokal dengan lidokain 1% tanpa epinefrin, morfin / midazolan i.v pada kasus-kasus tertentu kemudian melakukan kompresi manual untuk mengurangi edema. Tentukan terlebih dahulu lokasi cincin sikatrik / jeratan yang membuat edema, kurangi edema dengan menurunka cincin sikatrik dengan satu tangan dan tangan yang lainnya mengompresi glans dan menekan edema. Setelah 2-3 kali kemudian dilakukan prosedur sirkumsisi metode dorsal slit (Donohoe, 2009). Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 12 (Donohoe, 2009) Teknik kompresi manual untuk mengurangi edema prepusisium Untuk mereposisi prepusisium, letakkan kedua jempol pada glans penis dan jari yang lain dibelakang prepusisium. Lakukan penekanan secara lembut pada prepusisium dengan penekanan dengan arah yang berbeda ke glans penis sehingga prepusisium tertarik ke bawah. Pada pasien yang tidak ingin dilakukan sirkumsisi, oleskan triamcinolone cream 0.1% untuk mengurangi risiko fibrosis. Setelah 6 minggu pemakaian cream ini, prepusisium dapat secara mudah diretraksi dan dikembalikan ke posisi semula, namun tetap ada risiko berulangnya fimosis dan parafimosis. Untuk mencegah berulangnya kondisi ini, sebaiknya dilakukan sirkumsisi (Donohoe, 2009). 2) Osmotic method / metode osmotic Metode osmotic dan puncture digunakan untuk pasien yang tidak dapat ditangani dengan metode manual akibat besarnya edema prepusisial dan glandular yang ada akibat penanganan yang terlambat. Pada pasien anak-anak, sulit melakukan anastesi dengan penile block, biasanya dilakukan anastesi total. Bila melakukan anastesi total, prepusisium dapat dikembalikan tanpa menggunakan metode puncture/ pungsi maupun insisi. Pada metode osmotik, digunakan substansi yang memiliki konsentrasi zat terlarut yang tinggi dan substansi ini diletakkan pada permukaan penis dan prepusisium yang edema. Substansi ini akan menarik air dari jaringan sesuai dengan gradien osmotiknya, hal ini akan mengurangi edema jaringan. Beberapa substansi yang digunakan antara lain : (1) glyserin magnesium sulfat ; (2) granulated sugar ; (3) larutan dextrose 50% sebanyak 50 ml biasanya digunakan pada UGD, menggunakan kain yang dibasahi dengan larutan tersebut, kemudian penis dibungkus dengan kain tersebut selama 1 jam. Kelemahan dari metode osmotik adalah membutuhkan banyak waktu untuk mengurangi edema (Little & White, 2005).
Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 13 3) Puncture-aspiration method Teknik pungsi yang sering dilakukan untuk mengobati parafimosis adalah metode Perth-Dundee. Teknik invasive yang minimal ini memerlukan anastesi penis (penile block). Jarum 26-G digunakan untuk membuat 20 pungsi pada prepusisium yang edema untuk mengeluarkan cairan yang terperangkap (Donohoe, 2009 ; Little & White, 2005). Menurut penelitian yang telah dilakukan dengan metode cohort, teknik ini berhasil pada semua sampel penelitian (17 pasien) dan 82% pasien dianastesi dengan menggunakan anastesi local. Dari penelitian yang telah dilakukan, tak ada pasien yang terinfeksi akibat komplikasi teknik ini, sehingga penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis tidak diindikasikan (Little & White, 2005). Pada beberapa instansi kesehatan, teknik ini telah dilakukan dan dimodifikasi dengan melakukan injeksi hyaluronidase 150 U/cc sebanyak 1 ml pada 2-3 tempat pada prepusisium. Hyaluronidase iini memecah asam hyaluronat yang kental pada cairan ekstrasellular dan dapat mengurangi edema. Teknik ini telah dilaporkan sebagai inti dari teknik DeVries yang dapat mengurangi edema dalam waktu yang singkat. Namun, kelemahan dari teknik ini adalah sering tidak tersedianya hyaluronidase pada berbagai unit gawat darurat. (Little & White, 2005).
Metode pungsi dengan menggunakan jarum yang dipungsi pada beberapa tempat Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 14 ` (Huang, 2009) Selain itu telah dikembangkan metode alternatif lain, yaitu setelah melakukan anastesi lokal pada penis, tourniquet dipasang pada bagian tengah penis, kemudian dimasukkan jarum berukuran 20-G yang telah dipasang pada spuit 10 ml paralel dengan uretra dan dilakukan aspirasi darah. Aspirasi darah sebanyak 3-12 ml biasanya dapat mengurangi ukuran glans penis (Little & White, 2005).
4) Sharp incision method Apabila semua metode diatas telah dilakukan dan tidak berhasil, maka perlu dilakukan insisi pada jeratan penis. Pada pasien dewasa, dapat dilakukan anastesi penile-block, namun pada anak membutuhkan anastesi total. Tidak ada referensi valid yang menyebutkan bahwa diperlukan profilaksis antibiotik setelah melakukan insisi. Sebelumnya, prepusisium yang edema terlebih dulu dibersihkan dengan povidone iodine dan mengidentifikasi cincin jeratan. Kemudian dilakukan insisi longitudinal 1-2 cm. Apabila insisi ada pada sisi yang panjang, maka perlu dilakukan penjahitan dengan benang undyed 3/0 vicryl rapide (Little & White, 2005).
Metode gabungan yang dapat mengurangi edema granular dan prepusisial dengan efektif (Donohoe, 2009) : Bungkus penis dengan plastic dan kompres dengan es Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 15 Bungkus penis dengan compressive elastic dressings Lakukan kompresi manual secara sirkumferensial (gunakan anastesi topical seperti gel lidokain 2% atau campuran prilocaine 2,5% dengan 2,5% lidokain pada kulit penis beberapa menit sebelum dilakukannya kompresi) Oleskan granulated sugar ke permukaan prepusisium yang edema kemudian bungkus dengan kondom. Cairan hipotonik edema akan bergerak sesuai gradient osmotic ke gula yang hipertonik yang akan mengurangi edema prepusisium Dengan spuit, injeksi 1 ml hyaluronidase (150U/ml Wydase) ke beberapa lokasi prepusisium yang edema. Hyaluronidase akan memecah asam hyaluronat pada jaringan ikat dan mempercepat difusi cairan antar jaringan yang akan mengurangi edema prepusisium.
5) Sirkumsisi : metode dorsal slit Pada kontriksi / jeratan yang parah harus dilakukan sirkumsisi metode dorsal slit. Pada saat melakukan sirkumsisi, penis harus dalam keadaan yang steril, kemudian ditentukan lokasi cincin sikatrikal / jeratan, kemudian cincin tersebut dijepit dengan hemostat pada jam 12 kemudian digunting, pastikan cincin tersebut telah diinsisi. Ketebalan cincin tersebut biasanya tidak lebih dari 5-10 mm. Setelah proses ini dilakukan, prepusisium dapat dengan mudah dikembalikan ke posisi semula. Penjahitan dapat dilakukan untuk mengontrol pendarahan. Manajemen jangka panjang perlu didiskusikan dengan pasien. Pilihan terapi yang dilakukan berupa pembedahan via sirkumsisi atau terapi konservatif dengan triamcinolone cream selama 6 minggu dan watchful waiting. Sirkumsisi merupakan terapi definitif untuk parafimosis (Donohoe, 2009). Langkah-langkah dalam melakukan metode dorsal slit dan sirkumsisi (Donohoe, 2009) : Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 16
(1) Gunting prepusisium diarah jam 12, sebelumnya diklem dengan haemostat diantaranya.
(2) Bagian yang diinsisi dijahit dengan benang yang dapat diserap (absorbable)
(3) Prosedur dorsal slit telah selesai dilakukan
(4) Melakukan sirkumsisi untuk memotong prepusisium setelah metode dorsal slit untuk mengobati parafimosis
(5) Selama sirkumsisi, prepusisium diinsisi diantara 2 klem haemostat
Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 17
(6) Prepusisium / kulit yang berlebih dibuang dengan menggunakan electrocautery
(7) Tepi kulit prepusisium dengan mukosa penis dijahit dengan benang absorbable
Indikasi dilakukannya sirkumsisi emergensi metode dorsal slit adalah keadaan fimosis dan parafimosis yang tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan konservatif. Biasanya metode dorsal slit ini digunakan untuk parafimosis yang berat dan kompleks. Tindakan terbaik yang dapat mencegah terulangnya parafimosis adalah sirkumsisi (Donohoe, 2009). Kontraindikasi dilakukannya sirkumsisi adalah hipospadia, penis dengan ukuran kecil dan yang mengalami deformitas (Donohoe, 2009).
I. Pencegahan Pencegahan parafimosis dapat dilakukan dengan memberikan edukasi dan klarifikasi mengenai cara merawat prepusisium yang benar pada pasien. Memperlakukan penis dengan hati-hati merupakan pencegahan parafimosis yang terbaik (Donohoe, 2009). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari antara lain : (1) setelah melakukan hubungan seksual, perlu dilakukan pembersihan pada daerah penis dan pastikan prepusisium telah kembali ke posisi semula, (2) jangan membiarkan Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 18 prepusisium berada dibelakang kepala penis terlalu lama, (3) setelah pemasangan kateter, perlu diperhatikan posisi prepusisium apakah telah diposisikan seperti semula (Choe, 2000). Pada pasien pediatri, orang tua seharusnya diberikan informasi terkait dengan risiko penis yang tidak disirkumsisi. Sirkumsisi / pemotongan prepusisium penis hingga ke daerah sulcus, sering dilakukan untuk mencegah inflamasi pada penis (contoh : balanopostitis) dan stenosis atau penyakit konstriktual prepusisium (fimosis dan parafimosis). Sirkumsisi dapat mengurangi insidensi kanker penis, infeksi saluran kencing dan penyakit menular seksual (Rudolph et al, 2003).
J. Prognosis Parafimosis tidak akan kambuh setelah dilakukan sirkumsisi dengan teknik yang baik (terutama dengan teknik dorsal slit). Namun, permasalahan yang sering dihadapi oleh para klinisi adalah banyak pasien menolak dilakukannya sirkumsisi (Donohoe, 2009).
K. Komplikasi Parafimosis merupakan kegawatan di bidang urologi dan merupakan hasil akibat retraksi pada fimosis. Nyeri pada parafimosis berasal dari retraksi fimosis. Apabila prepusisium penis tidak dikembalikan ke tempat semula, maka akan menyebabkan nyeri dan bengkak. Apabila kondisi ini berlanjut maka akan menekan glans penis dan menyebabkan rasa nyeri dan bengkak. Semakin lama hal ini berlanjut maka akan semakin sulit untuk diatasi dan akan menyebabkan glandular ischemia (Cranston & Reynard, 2005). Bila iskemia terus berlanjut, maka dapat terjadi nekrosis glans penis dan terjadi autoamputasi bagian distal penis (Donohoe, 2009 ; Choe, 2000). Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 19
Komplikasi parafimosis meliputi nyeri, infeksi dan edema glans penis. Bagian distal penis dapat terjadi iskemik dan bahkan nekrosis. Komplikasi potensial yang terkait dengan sirkumsisi meliputi perdarahan, infeksi, pemendekan kulit penis dan injuri uretra (Donhoe, 2009). Parafimosis juga dapat menyebabkan obstruksi traktus urinarius yang mengakibatkan retensi urin pada pria. Penyebab lain retensi urin pada pria meliputi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), meatal stenosis, dan kanker prostat (Selius & Subedi, 2008). Perdarahan postoperative adalah komplikasi yang tersering, oleh karena itu, perlu diperhatikan hemostasis pada saat melakukan sirkumsisi. Apabila terjadi infeksi setelah sirkumsisi, dapat ditangani dengan antibiotic oral. Injuri uretra dapat terjadi tetapi jarang (Donhoe, 2009).
IV. Referensi :
American College of Emergency Physician. 1999. Pediatric Emergency Medicine. McGrawHill : United States of America Chad & Julie. 2009. Non-Traumatic Urologic Emergencies in Men : A Clinical Review. Western Journal of Emergency Medicine, Department of Emergency Medicine, UC Irvine. Accessed at : http://www.escholarship.org/uc/item/2cj981j1 Choe, Jong M. 2000. Paraphimosis : Current Treatment Options. American Family Physician. Accessed at : http://www.aafp.org/afp/20001215/2623.html Blok XIII - Uropoetika
Riri Kumala Sari H1A008026 20 Choe, Jong M. 2000. Paraphimosis : What it is and how to prevent it. American Family Physician, vol. 62, Iss 12; pg. 2628. Accessed at : http://proquest.umi.com/pqdweb?did=65923517&sid=1&Fmt=3&clientId=1238 04&RQT=309&VName=PQD Cranston & Reynard. 2005. Urology A Handbook for Medical Students. BIOS Scientific Publishers Ltd : United Kingdom Donohoe, Jeffrey M. 2009. Paraphimosis. Accessed at : http://emedicine.medscape.com/ article/ 442883-overview Huang, Craig J. 2009. Problems of the Foreskin and Glans Penis. Elsevier : Clinical Pediatric Emergency Medicine 10:56-59 Little & White. 2005. Treatment options for paraphimosis. Journal of Clinical Practice, 59, 5, 591-593. Blackwell Publishing Ltd, UK. Ramdass et al. 2000. Case report : Paraphimosis due to erotic dancing. Tropical Medicine and International Healt, vol. 5, no.12, p. 906-907. Blackwell Science Ltd. Rudolph et al. 2003. Rudolphs Pediatrics, 21 st ed. McGraw-Hill Meltzer, Donna I. 2005. Complications of Body Piercing. American Family Physician. 15;72(10):2029-2034. Accessed at : http://www.aafp.org/afp/2005/1115/p2029.html Selius & Subedi. 2008. Urinary Retention in Adults : Diagnosis and Initial Management. American Family Physician, 1;77(5):643-650. Accessed at : http://www.aafp.org/afp/2008/0301/p643.html Schuenke & Faller. 2004. The Human Body : An Introduction to Structure and Function. Thieme Stuttgart : New York Van De Graaff, Kent M. 2001. Van De Graaff : Human Anatomy. The McGraw-Hill Companies