Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Nodul tiroid atau struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid
terletak tepat dibawah laring pada kedua sisi dan sebelah anterior trakea. Tiroid
mengekskresikan dua hormon utama yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Kelenjar
tiroid ini dipengaruhi oleh kecukupan asupan iodium untuk membentuk hormon tiroid.
Resiko untuk mengalami nodul diperkirakan sebesar 5-10% dan lebih sering pada wanita
namun keganasan pada penderita nodul tiroid ditemukan 0.004% dari total populasi.
Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat, termasuk
dalam tindakan total tiroidectomy pada kasus multi nodul tiroid. Kata anesthesia berarti
pembiusan yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anesthesia digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Terdapat beberapa jenis anesthesia, antara lain local / infiltrasi, blok / regional,
umum / general. Anesthesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen
anesthesia yang ideal terdiri dari: hipnotik (hilang kesadaran), analgesia (hilang rasa
sakit), dan relaksasi otot.
Persiapan prabedah harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya kesalahan
anesthesia. Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka
kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang
sebab-sebab terjadinya kesalahan anesthesia. Dokter spesialis anesthesiaologi melakukan
kunjungan pasien sebelum pasien dibedah untuk memantau kondisi pasien agar pasien
dalam kondisi yang optimal pada waktu menjalani operasi. Berbagai penilaian harus
dilakukanseperti anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
sehingga kodisi pasien dapat dinilai.
Pada saat operasi, dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat satu hingga dua
jam sebelum induksi anesthesia. Setelah itu, dilakukan induksi anesthesia yaitu membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan
pembedahan. Sebelum memulai induksi anesthesia sebaiknya disiapkan peralatan dan
obat-obatan yang diperlukan sehingga seandainya terjadi kegawatan dapat diatasi dengan
cepat dan baik. Setelah itu rumatan anesthesia dapat dikerjakan dengan secara intravena
atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Setelah pembedahan, pemulihan dari anesthesia umum atau dari analgesia
regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anesthesia (RR,
Recovery Room atau PACU, Post Anesthesia Care Unit). Idealnya ketika pasiensadar
secara bertahap, tanpa keluhan. Namun sering ditemukan beberapa hal akibat stres pasca
bedah atau pasca anesthesia yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular,
gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang perdarahan.

1.1 Rumusan Masalah
Bagaimana tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis perforata?

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis perforata.




1.3 Manfaat
Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai tatalaksana
anestesi pada appendektomi appendisitis perforata.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif
2.1.1 Penilaian Preoperatif
Sebelum tindakan operasi dilakukan, penting diperhatikan persiapan preoperasi
salah satunya adalah pemeriksaan pasien sebelum dibedah sehingga dapat diketahui
kelainan di samping kelainan yang akan dioperasi.
Tujuannya adalah:
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu maupun
urtikaria).
3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status praoperasi
(pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)
5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent)
kepada pasien.
6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat induksi
(Latief dkk, 2009)

Pemeriksaan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan
anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio cordis.
Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Kunjungan preoperasi
pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi
preoperasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dan sebagainya. Selanjutnya
dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen
anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent (Latief dkk, 2009).

2.1.1.1 History Taking
History taking dapat dimulai dengan menanyakan riwayat alergi terhadap
makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus
dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit
sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat
herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat
operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada.
Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit
atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.

2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan
yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda
vital (tekanan darah, nadi, laju pernapasan, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-
paru, dan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada
anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan
anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi,
tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk
anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah yang
signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah
yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint
atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk
dilakukan intubasi trakeal.
Skoring Mallampati:
I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan
II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula
III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula
IV. Hanya terlihat palatum durum




Gambar 4.1. Kriteria Mallampati

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek
samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA
diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk
ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga
berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying disease hanyalah
satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka tidak
mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus
fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring (Barash et al, 2009).

Tabel 2.1 Klasifikasi ASA
Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari.
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun
tanpa operasi.
Kelas V

Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan
operasi sebagai upaya resusitasi.
Kelas VI

Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil
untuk tujuan donor
E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I VI diatas.

2.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang
Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur pasien, ada
tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari prosedur bedah yang
direncanakan.

Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan

Pemeriksaan rutin Indikasi
Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi
glukosa darah jika glukosa urine positif)
FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun;
semua bedah mayor
Ureum, Creatinin, Elektrolit Bedah mayor
ECG Umur > 50 tahun
Foto Torak Umur > 60 tahun
Tes fungsi hati (Liver Function
Test)
Bedah mayor pada pasien umur > 50
tahun.

Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:
No Test Indikasi
1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya
Penyakit ginjal
Pasien yang menjalani kemoterapi
2 Ureum, creatinin dan
konsentrasi elektrolit
Penyakit ginjal
Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus
Nutrisi abnormal
Riwayat diare, muntah
Obat-obatan yang merubah keseimbangan
elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari
adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik,
diuretic, antihipertensi, kortikosteroid,
hipoglikemik agent.
3 Konsentrasi glukosa
darah
Diabetes Mellitus
Penyakit hati yang berat
4 Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru
kronik
Diabetes Mellitus
5 Chest X-ray Penyakit respirasi
Penyakit kardiovaskuler
6 Arterial blood gases Pasien sepsis
Penyakit paru
Pasien dengan kesulitan respirasi
Pasien obesitas
Pasien yang akan thorakotomi
7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi
Penyakit paru sedang sampai berat seperti
COPD, bronchiectasis
8 Skreen koagulasi Penyakit hematologic
Penyakit hati yang berat
Koagulopati
Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral
(warfarin) atau heparin
9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilier
Riwayat penyahgunaan alkohol
Tumor dengan metastase ke hepar
10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroid
Riwayat penyakit thyroid
Curiga abnormalitas endokrin seperti tumor
pituitari


Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1
minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG),
sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut;
Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah
Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk hipokalemia,
terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan gagal ginjal, produk
darah untuk koreksi koagulopati.

2.1.1.4 Informed Consent
Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent. Inform
consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila
ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan
informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.

2.1.2 Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang
menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa)
selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist, 2011)
Usia
pasien
Intake oral Lama puasa
(jam)
puasa yg diberikan
< 6 bln Clear fluid
Breast milk
Formula milk
2
3
4
20 cc/kg
6 bln 5
thn
Clear fluid
Formula milk
Solid
2
4
6
10 cc/kg
>5 thn Clear fluid
Solid
2
6
10 cc/kg
Adult,
op.
pagi
Clear fuid
Solid
2
Puasa mulai
jam 12 mlm

Adult,
op.
siang
Clear fluid
Solid
2
Puasa mulai
jam 8 pagi


2.1.3 Terapi Cairan
Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,
kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake
oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin,
sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible water losses yang terus menerus dari kulit
dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2006)

Berat Badan Jumlah
10kg pertama 4 mL/kg/jam
10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit
cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan
maintenance dengan waktu puasa.

2.1.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan

Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi
No. Jenis Obat Dosis (Dewasa)
1 Sedatif:
Diazepam
Difenhidramin
Promethazin
Midazolam

5-10 mg
1 mg/kgBB
1 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat
Petidin
Morfin
Fentanil
Analgetik non opiat

1-2 mg/kgBB
0,1-0,2 mg/kgBB
1-2 g/kgBB
Disesuaikan
3 Antikholinergik:
Sulfas atropine

0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik:
Ondansetron
Metoklopramid

4-8 mg (iv) dewasa
10 mg (iv) dewasa
5 Profilaksis aspirasi
Cimetidin
Ranitidine
Antasid

Dosis disesuaikan

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler,
diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan 5-10
menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan
diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang
dijumpai pada pasien (Miller et al, 2009).

2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat
dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; Pulse
Oxymeter dan Capnograf.
i. Kartu catatan medic anestesia
j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel 2.7 Komponen STATICS
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang
sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

2.2 Pemilihan Teknik Anestesi
Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan keamanan
dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah:
1. Usia pasien
Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien dewasa
untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dapat dilakukan teknik anestesi lokal
atau umum.
2. Status fisik pasien
a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui apakah
pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah ada komplikasi
anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu. Pertanyaan mengenai
riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada tidaknya gejala penyakit
kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus
menjadi suatu perhatian saat pasien memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi
bila didapati atau dicurigai adanya penyakit neuromuskular, antara lain
poliomielitis dan miastenia gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah
untuk pasien dengan neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk
gejala yang telah ada.
b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari penggunaan
anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal atau regional.
c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan jiwa
sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul gangguan
sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional, spinal, atau
anestesi umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi umum
endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga dengan
pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi perdarahan,
relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dan lain-
lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi
Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat menentukan
pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu
bila belum ada pengalaman dan keterampilan.
6. Keinginan pasien
Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan
dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak
membahayakan keberhasilan operasi.
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah pilihan
utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.
8. Pendidikan
Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama karena
sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau perawat. Oleh
sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal
atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup (Latief dkk, 2009).

2.3 General Anesthesia
General anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri
secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).
Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi.
Trias anestesi ini dapat dicapai dengan menggunakan obat yang berbeda secara
terpisah. Sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut
namun lebih luas, hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit),
arefleksia (hilangnya reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien),
relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi
trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur)
Perjalanan anestesi umum terdiri dari enam bagian yang berbeda yang meliputi:
premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan dan masa pasca
operasi. Obat yang dipakai pada masing masing bagian berinteraksi dengan obat
yang dipakai pada bagian lain dan interaksi obat ini merupakan hal yang penting.
Anestesi umum bukan hanya masalah farmakologi melainkan juga merupakan suatu
keseimbangan antara kerja obat dan rangsangan pembedahan (Soenarto, 2012).
Pada tahap premedikasi ada dua tujuan jelas dalam penggunaan obat premedikasi
yang pertama, adalah mencegah efek parasimpatometik anastesi, dan yang kedua
berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan sedasi aktif atau untuk
menimbulkan amnesia. Tahap Induksi adalah bagian kedua anestesi, tujuan dari tahap
ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk memulai agar proses anestesi cepat
dan nyaman. Masa pemeliharaan merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah
masa sesudah induksi dan ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain
dilaksanakan. Sesudah masa pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu
masa pengembalian. Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangat
penting dan berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan
dan dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya
dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum adalah masa
pasca operasi.

2.3.1 Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III
dibagi menjadi 4 plana), yaitu :
Stadium I (analgesi):
Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium
analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-operasi
kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya
refleks bulu mata.
Stadium II (eksitasi):
Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil
melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak
mata.
Stadium III (pembedahan):
Plana 1: Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat dgn
pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya
eksentrik, pupil mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan
meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
Plana 2: Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan
frekuensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola
mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun
dan refleks kornea menghilang. Reflek kornea dan laring hilang.
Plana 3: Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada
torakal karena paralisis otot interkostal yang makin bertambah sehingga pada
akhir plana 3 terjadi paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadi
paralisis otot-otot diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan
menghilang pada akhir plana 3 ini, lakrimasi refleks faring & peritoneal
menghilang, tonus otot-otot makin menurun.
Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal.
Pernafasan tidak adekuat, irreguler, jerky karena paralisis otot
diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma, tonus
otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya
(-), refleks sfingter ani menghilang.

Stadium IV (paralisis medulla oblongata):
Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4.
Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan
akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernafasan pada stadium ini tidak dapat
diatasi dengan pernafasan buatan (Soenarto, 2012).
Komplikasi general anestesi meliputi durante operasi dan pasca operasi.
Komplikasi yang mungkin terjadi pada durante operasi dapat meliputi obstruksi
respirasi, batuk, depresi respirasi, hipotensi, hipertensi, aritmia, hiccup
(cegukan), gigi patah, mual muntah, menggigil.

2.4 Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea
sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.
Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu memudahkan atau
mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea adalah :
Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).
Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).
Relaksasi otot yang baik.

Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting yang harus
diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang disebut SALT, yaitu:
Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien terdapat
benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping itu, aspirasi dari
paru juga harus dihindari.
Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya lidah ke
bagian belakang faring.
Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu penempatan
pipa endotracheal.
Tube. Pipa Endotrakeal memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya pada orang
dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9

Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk:
Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi udara
inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai stetoskop.
Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk ke bronkus kanan sehingga
bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik sedikit, lalu periksa
kembali dengan stetoskop.
Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat diketahui
dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup).
Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak bergerak
(malposisi).

2.5 Monitoring
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah:
- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.6 Manajemen Anestesi Post-Operasi
2.6.1 Recovery dari General Operasi
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa tiap 5
menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus dimonitor
terus menerus pada pasien yang masih berada dalam proses recovery dari general
anestesi, paling tidak sampai pasien mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus
dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri
(skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan output
cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus mendapatkan
oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hipoksemia pada pasien yang sehat
sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada pasien-pasien yang menjalani operasi
di daerah upper abdominal atau toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse
oxymeter dan mungkin memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama.
Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika mengeluarkan
pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan
udara ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.

2.6.2 Kriteria Discharge dari PACU
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan
kriteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score.
Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit
(ICU) atau ke ruangan biasa.

Tabel 2.8 Aldrete Score
Objek Kriteria Nilai
Aktivitas 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas
2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas
3. Tidakmampu menggerakkan ekstremitas
2

1

0
Respirasi 1. Mampu nafas dalam dan batuk
2. Sesak atau pernafasan terbatas
3. Henti nafas
2

1

0
Tekanan Darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah
2. Berubah 20-50% dari pra bedah
3. Berubah > 50% dari pra bedah
2

1

0
Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik
2. Sadar setelah dipanggil
3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang
2

1

0
Warna Kulit 1. Kemerahan
2. Pucat agak suram
3. Sianosis
2
1
0
Nilai Total

2.6.3 Kunjungan Post-Operatif
Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 48 jam setelah operasi dan
dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari rekam
medis, anamnesis terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan
pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan komplikasi
seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cedera saraf, cedera okular,
pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus dilakukan terapi
atau konsultasi lebih lanjut. (Dunn, et al, 2007).
















BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien
Nama : GKR
Usia : 38 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Semarapura, Klungkung
Pekerjaan : Pedagang
No. Register : 484688
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 165 cm

Tanggal dilakukan Anesthesia : 11 September 2014
Lama anesthesia : 3 jam (09.00 11.00)
Diagnosa pra bedah : Multiple Nodul Tiroid
Jenis pembedahan : Total Tiroidektomi
Jenis anesthesia : General Anesthesia
Anesthesia dengan : Induksi dengan Propofol, Analgesia dengan
Fentanyl, Maintenance dengan Isofluran + O2 + N
2
O

3.2 Pre-op
Anamnesa Pre-op
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan pada leher yang dirasakan sejak
1 tahun yang lalu. Benjolan awalnya dirasakan sebesar kelereng dan semakin membesar.
Benjolan dirasakan sepanjang hari dan tidak mengganggu aktifitas hanya dikeluhkan
mengganggu penampilan. Benjolan dikatakan tidak disertai nyeri. Pasien menyangkal
keluhan dada berdebar, tangan gemetar, susah tidur, badan terasa panas, peningkatan
nafsu makan dan penurunan berat badan. Keluhan sulit bernafas dan menelan disangkal
oleh pasien
Riwayat penyakit terdahulu
Tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat HT, DM, asma, penyakit jantung dan
sistemik dsangkal oleh pasien. Riwayat alergi makanan (-), alergi obat (-)
Riwayat pengobatan
Pasien tidak pernah berobat untuk mengurangi keluhannya. Penggunaan obat hipertensi (-
), pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya.
Riwayat sosial
Pasien bekerja sebagai pedagang, makan dikatakan 3 kali sehari. Merokok, konsumsi
alcohol disangkal pasien. Makan dan minum terakhir pasien pukul 12.00 10 september
2014 (9 jam sebelum operasi)

Pemeriksaan Fisik Pre-op
B1 : Airway paten, napas spontan simetris, RR 20x/mnt, Rh (-), Wh(-), Struma
(+), Stiffness (-), Buka mulut > 3 jari, Mandibulahyoid < 2 cm,
Mallampati score II, pernafasan cuping hidung (-), gigi geligi dbN, oklusi
dbN, gerak leher bebas, nyeri telan (-), massa di leher (+) ukuran 6x8cm
konsistensi padat, mobile di kulit, terfiksir didasar, batas tegas, nyeri tekan
(-), trakea deviasi ke kanan.
B2 : Akral hangat, kering, merah, CRT<2 , nadi 80x/mnt kuat angkat, TD
120/80, S1S2 tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,5
o
C
B3 : GCS 456, Reflek Kornea +/+, Reflek Cahaya +/+
B4 : BAK (+), kateter (-)
B5 : Flat, distensi (-) , Bising Usus (+)Normal,
B6 : Mobilitas (+), CRT< 2 detik, anemis (-),ikterik (-), sianosis (-), edema (-)

Pemeriksaan Laboratorium (15 Januari 2014)
Darah Lengkap
o Hb :12,8 gr/dl (N : 11 - 16)
o Eritrosit : 4,24 10
6
/ l (N : 4,0 5,5)
o Leukosit : 7,6 10
3
/l (N : 4,0 - 10.0)
o Trombosit : 230.000 /l (N : 150.000 - 450.000)
o Hematokrit : 37,1% (N : 37 - 54,0)
Serum Elektrolit
o Natrium : 140 mmol/l (N : 136 - 145)
o Kalium : 3,50 mmol/l (N : 3,5 - 5,0)
o Chlorida : 105 mmol/l (N : 98 - 106)
Faal Hemostasis
o BT : 130 (Kontrol 1-6 detik)
o CT : 700 (Kontrol 10-15 detik)
Kesimpulan : BT dan CT Dalam Batas Normal
Kimia klinik: Faal Hati
o AST/SGOT : 17 U/L (N : 0-40)
o ALT/SGPT : 18 U/L (N : 0-41)
Metabolisme Karbohidrat : Glukosa darah sewaktu : 114 mg/dL (N : < 200)
Imunologi
o TSH : 0,490 IU/mL (0,250-5000)
o FT4 : 1,19 ng/dL (0,930-1700)
Faal Ginjal
o Ureum : 24 mg/dL (N : 16,6 -48,5)
o Kreatinin : 10,8 mg/dL (N : < 1,2)
Pemeriksaan Electrocardiogram (28 Maret 2014)
Kesan : EKG normal

Pemeriksaan Foto Rontgen Thorax:
Kesan : cor dan pulmo dalam batas normal
Tulang tulang intak

Foto cervical AP/Lateral
Kesan : massa colli sinistra yang mendesak trakea ke kanan

3.3 Laporan Anestesi Preoperatif
Assessment: ASA II
Diagnosa pra bedah : Multiple Nodul Tiroid
Keadaan pra bedah (11 September 2014):
TB: 165 cm, BB 55 kg
TD: 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, RR 20x/menit, suhu 36,5
o
C
Hb: 12,8 gr/dl
Pasien puasa pre-operasi
Jenis pembedahan : Total tiroidektomi
Jenis anesthesia : General Anastesi
Teknik anesthesia : OTT
3.4 Tindakan anastesi umum dengan intubasi
Pasien di posisikan supine
Memastikan kondisi stabil dengan vital sign dan saturasi oksigen
Premedikasi : Ondansentron 4 mg (i.v)
Fentanyl 100mcg (i.v)
Ketorolac 30 mg (i.v)
Induksi secara intravena profopol 200mg dan vecuronium 5 mg
Pasien diberi O2 100% 6 liter melalui fask mask selama 2-5 menit
Bantuan nafas dengan ventilasi mekanik
Memastikan airway paten
Dilakukan ETT
Cuff dikembangkan cek suara nafas di semua lapang paru dan lambung
memastikan suara nafas (+), ETT disambungkan dengan ventilator
Maintenance inhalasi O2 2 lpm , N2O 2 lpm dan sevoflurance MAC 1 %
Durasi operasi 3 jam monitor tanda-tanda vital pasien dan saturasi oksigen,
penambahan pemberian vecuronimum 2 mg 1 jam pertama, 2 mg 1 jam kedua dan 1
mg 1 jam ketiga.
Cairan masuk:
Pre operatif : RL 1500 cc
Durante operatif : RL 700 cc
Cairan keluar:
Perdarahan: +100 cc
Produksi urin : -
Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, mampu bernafas spontan da nada
reflek-reflek jalan nafas atas dan dapat menuruti perintas sederhana
Evaluasi kembali airway, breathing, dan circulation pasien
Operasi selesai mobilsasi pasien ke ruang pulih

3.4 Postoperatif di ruang pulih
Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-), saturasi
dengan O2 nasal canul 4 lpm.
B2 : Akral hangat, kulit merah, nadi 81x/menit, TD 150/80 mmHg, S1S2
tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,6
o
C
B3 : GCS 456, Reflek Cahaya +/+,
B4 : pasien tidak dipasangkan kateter
B5 : Bising Usus (+) Normal, soefl, mual (-), muntah (-)
B6 : Mobilitas normal, CRT< 2 detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-)
Terapi Pasca Bedah
IVFD RL 28 tpm
Sanmol 3 x 1 fls
Ketorolac 3 x 3mg

BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien wanita berusia 38 tahun datang ke RS Sanjiwani Gianyar dengan keluhan benjolan
pada leher yang dirasakan sejak 1 tahun yang lalu dan didiagnosa Multipel Nodul Tiroid
dengan rencana pembedahan total tiroidektomi. Berdasarkan history talking pada
pemeriksaan preoperative didapatkan bahwa pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-
obatan dan puasa sejak pukul 12.00 malam. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini
meliputi vital sign seperti tekanan darah, nadi, temperatur, dan respirasi masih dalam
batas normal. Begitu juga dengan airway, jantung dan paru tidak ditemukan kelainan
dalam pemeriksaan fisik.
B1 Breathing
Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi yang perlu
diperhatikan. Lain-lain dalam breathing dalam batas normal.
B2 Blood
Pada blood, dalam batas normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan anatomis
dan fungsional dari sistem sirkulasi.
B3 Brain
Dalam batas normal.
B4 Bladder
pasien tidak terpasang kateter sehingga tidak dapat dievaluasi
B5 Bowel
Pada bowel, didapatkan bising usus normal.
B6 Bone
Tulang dan sendi pasien termasuk mobilitas dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang juga telah dilakukan seperti pemeriksaan DL, BTCT, TSA dan
FTA dengan hasil masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan foto rontgen cervikal
ditemukan deviasi trakhea ke kanan. Dari hasil pemeriksaan fisik dan penunjang dalam
kondisi sehat dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang. Sehingga diklasifikasikan
ASA II.
Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah menjalani puasa
selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa pada pasien ini telah sesuai
dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American Society of Anesthesiologist yakni
konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi, makanan rendah lemak 6 jam preoperasi,
dan makanan tinggi lemak 8 jam preoperasi, dimana pasien tidak mengkonsumsi
makanan sejak pukul 12.00 (9 jam sebelum operasi).
Jenis anastesi pada pasien ini adalah General anastesi dengan ETT, karena posisi
operasi di daerah leher kepala. General anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan
menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat
pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik,
analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat dicapai dengan menggunakan obat yang
berbeda secara terpisah. Sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai ketiga
komponen tersebut namun lebih luas, hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia
(hilangnya rasa sakit), arefleksia (hilangnya reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan
imobilisasi pasien), relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi
intubasi trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur).
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anastesi denga tujuan untuk
melancarakan induksi rumatan dan bangun dari anastesi. Pemberian premedikasi bisa
diberikan secara intra muskuler 30-45 menit sebelum induksi dan intra vena 5-10 menit
sebelum induksi. Pada pasien ini diberikan premedikasi ondancenton 4 mg, fentanyl 100
ug, dan ketorolac 30 mg melalu IV 5 menit sebelum induksi. Setelah itu dilakukan
induksi dengan profopol 200 mg dan vecuronium bromid 5 mg. kemudian dilakukan
pemasangan ETT 7.5 dan saat maintenance diberikan sevofluran 1%, O2 dan N2O 2 lpm.
Proses monitoring pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pesien tidak
pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S: 110 - 130, D: 50 -
70), nadi antara 70-90x/menit. RR : 16-20x/menit. Kemudian dilakukan ekstubasi setelah
pasien sadar dan mampu bernafas spontan.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa di
PACU(RR OK sentral) sampai pasien stabil. Monitoring tambahan didapatkan tidak ada
mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, dan perdarahan dalam
batas normal. Pasien mendapatkan oksigen 4 lpm melalui NC serta dimonitor dengan
pulse.
Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum
dimobilisasi berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini didapatkan Aldrete score
dengan total 10. Dengan nilai total aldrete score pasien kemudian dipindahkan ke ruang
biasa dengan rencana monitoring yang dilakukan sudah benar dan sesuai kebutuhan
pasien.






















BAB V
KESIMPULAN
Pasien wanita berusia 38 tahun datang dengan diagnosa multipel nodul tiroid
dengan rencana operasi total tiroidektomi. Tindakan anestesi yang dilakukan adalah
general anestesi dengan intubasi. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan
indikasi general anestesi.
Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan
kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya general anestesi.
Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif stabil
sampai operasi selesai.
Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak
didapatkan keluhan. Selama di PACU (Post Anesthesy Care Unit) pasien cukup stabil
dengan Aldrete Score bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien dapat
dipindahkan ke ruang rawat biasa. Seluruh tatalaksana pasien dilakukan dengan baik.














LAPORAN KASUS
GENERAL ANASTESI PADA OPERASI
TOTAL TIROIDEKTOMI


OLEH:
Wayan Suryasana Eka Putra (0970121013)
Putu Okitra Surya (0970121015)
I Putu Mega Sidhiartha (1070121042)
Putu Yudis Pramana K (1070121044)

PENGUJI :

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK
DI BAGIAN/SMF ILMU ANASTESI
RSUD SANJIWANI GIANYAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WARMADEWA
2014

Anda mungkin juga menyukai