BENGKULU, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Serikat Perusahaan Pers (SPS), Asmono Wikan menyebutkan gempuran media sosial digital dan media online, cukup membuat industri cetak (print) terpengaruh.
Hal ini tercatat dari rendahnya pertumbuhan sirkulasi oplah dari 1.100 media di Indonesia pada akhir tahun 2013, yang hanya mengalami pertumbuhan sebesar 0,25 persen. Angka itu sedikit lebih baik dibanding pertumbuhan oplah media di Amerika.
Namun, jika dibandingkan dengan negara lain seperti China, India dan Brazil, pertumbuhan oplah media cetak di Indonesia masih kalah jauh.
"Karena itu media harus meng-update diri di era digitalisasi. Konsepsi industri print bahwa digitalisasi belum menghasilkan uang harus dibongkar. Tanpa upgrade dan update, ya repot," ujar Wiskan saat menggelar konfrensi pers Serikat Perusahaan Pers (SPS) di Bengkulu, Kamis (6/2/2014).
Dari hasil kajian SPS, perkembangan media cetak di Indonesia memang mengalami turbulensi yang kuat. Generasi pembaca baru mulai bermunculan, yakni generasi pembaca yang tidak lagi membaca hal-hal serius, generasi yang tidak menyenangi kerumitan bahasa di media cetak dan generasi yang tidak menyenangi tata wajah di media cetak.
"Inilah yang menjadi tantangan bagi industri media cetak saat ini. Bagaimana media melayani pembacanya menjadi sangat penting. Kalau tetap ingin bertahan menghadapi konvergensi di era multiplatform saat ini," ujar Wiskan.
Dia menuturkan, keberlanjutan hidup dari sebuah media sangat bergantung dengan kemampuannya menangkap keinginan pembaca. Melalui penyajian konten berita yang berkaitan dengan kebutuhan pembaca, diyakini akan tetap menghidupkan industri media, khususnya cetak di Indonesia.
"Salah satu kuncinya adalah lewat penyajian konten berita. Konten harus nyambung dengan pembaca, tanpa ini bisa berbahaya bagi media," bebernya.
Sementara itu, dalam konferensi pers jelang Rapat Kerja Nasional (Rakernas) SPS yang digelar dalam rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) di Bengkulu pada 7-8 Februari 2014 ia menyebutkan, SPS kembali menyerahkan penghargaan pemenang bagi sampul muka media cetak komersial (Indonesia Print Media Awards/IPMA) dan majalah internal (Indonesia Inhouse Magazine Awards/INMA) di Indonesia.
Termasuk pemberian penghargaan desain rubrik anak muda Surat kabar (Indonesia Young Readers Awards/IYRA) dan sampul muka pers mahasiswa (Indonesia Student Print Media Awards/ISPRIMA).
IPMA diikuti lebih 749 pendaftar dari 207 perusahaan media, INMA berhasil menghimpun 201 pendaftar dari 57 lembaga dan korporasi. Adapun IYRA diikuti 121 entri dari 20 perusahaan pers dan ISPRIMA menyedot 54 entri dari 17 pers mahasiswa.
Hasil penjuriannya akan diumumkan pada Sabtu (8/2/ 2014). Selain agenda tersebut, juga akan digelar CEO Media Conference. Dengan mengusung tema sentral "Konvergensi di era multiplatform dan tantangan monetisasi", direncanakan menghadirkan dua pembicara talkshow media, yakni Direktur Pengembangan Bisnis Kelompok Kompas Gramedia Edi Taslim dan CEO Harian Pikiran Rakyat Djoko Hertanto.
----------------------------------------------------- Earl J Wilkinson, Executive Director & CEO, International News Media Association (INMA) akan menjadi pembicara pada Asia Pacific Media Forum (APMF) 2014 di Bali, 18-20 September 2014. Info lengkap mengenai APMF dapat dilihat di www.apmf.com.
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik: Asia Pacific Media Forum 2014 Penulis : Kontributor Bengkulu, Firmansyah Editor : Bambang Priyo Jatmiko
Konvergensi Media ala Indonesia http://komunitas.yellowpages.co.id/konvergensi-media-ala-indonesia-2/
(Kandidat) anggota komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY Periode 2014-2017. Pun seorang pengamen dan selengkapnya
Implikasi Teknologi Digital dan Internet (Paperless Newspaper) pada Industri Media Cetak di Indonesia OPINI | 16 December 2013 | 23:37 Dibaca: 448 Komentar: 8 3 Rekan-rekan Kompasianer di manapun Anda berada, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Kehadiran teknologi Internet sejak tahun 1960-an silam, memiliki implikasi besar pada peradaban manusia. Terutama dalam bidang telekomunikasi, media, dan informatika. Termasuk dalam bidang industri media cetak di Indonesia. Surat kabar tanpa kertas (paperless newspaper), kini telah menjadi tren baru yang tak bisa dikesampingkan dalam pengelolaan bisnis media. Kini media cetak, media online, media elektronik, dan teknologi telekomunikasi, media, dan informatika (telematika) sudah saling meleburkan diri, bersinergi. Di era konvergensi media massa, pengintegrasian bisnis media massa tidak hanya bersifat horisontal saja, tetapi sekaligus vertikal. Bahkan tren yang terjadi di Indonesia belakangan ini, para pemilik media massa itu terjun dalam dunia politik dengan menjadi politisi. Internet merupakan puncak teknologi telekomunikasi, media dan informatika (telematika) sepanjang Abad XX-XXI ini. Ada yang menyebut Internet sebagai tonggak sejarah (milestone) dari teknologi informasi dan komunikasi (TIK), tangga atau jembatan (gangplank) antar TIK. Pengadopsian dan pengimplementasian teknologi Internet dalam berbagai bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan-keamanan, kesehatan, pariwisata, bisnis dll.) menjadi bukti sahih akan realitas sosial di atas. Perkembangan jumlah pemakai teknologi Internet sejak ditemukannya pertama kali pada tahun 60-an oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat melalui proyek militer (rahasia) dengan menginisiatifi proyek ARPANET (Advanced Research Project Agency Network) yang menghasilkan TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol) hingga Agustus 2013 ini sungguh luar biasa. Semula ARPANET hanya menghubungkan empat situs yakni Stanford Reseacrh Institute, University of California (Santa Barbara dan Los Angeles) dan University of Utah, namun kini setelah lebih dari setengah abad (53 tahun), pengguna Internet sedunia mencapai lebih dari 2 miliar pengguna. Berdasarkan data Internet World Stat Web Directory pada akhir tahun 2012 kemarin, tercatat jumlah pemakai Internet sedunia sebesar 2,27 miliar pemakai. Secara historis, banyak tokoh berkontribusi dalam menemukan dan mengembangkan Internet. Mereka adalah Claude Shannon (idenya tentang A Mathematical Theory of Communication), Paul Baran (gagasannya tentang On Distributed Communication), Bob Taylor (The Computer as a Communication Device), Douglas Englebart (perintis domain dan penemu mouse), Larry Roberts (idenya Telenet), Vint Cerf dan Bob Kahn (desainer TCP/IP, Bapak Internet), Paul Mockapetris (pencetus DNS/Domain Name System), David Clark (membuat regulasi dalam berinternet), Steve Wolff (mendesain salah satu jejaring gigabit yang mampu mempunyai kecepatan tinggi), Marc Andreesen & Eric Bina (penemu Mosaic yakni leluhur dari Internet Explorer, Mozilla Firefox, dan semua browser yang telah beredar hingga kini) dan Leonard Kleinrock (pelopor jaringan komunikasi digital) (Rosmawaty, 2010: 158-162). Kita harus jujur mengakui bahwa sejak ditemukannya teknologi Internet tersebut mampu mengubah peradaban dunia, dari yang berjalan lambat, menjadi sangat cepat hingga sekarang. Internet juga mampu mengawinkan antara teknologi telekomunikasi, media dan informatika (telematika). Implikasinya, setiap orang mampu berkomunikasi dengan sangat cepat, menembus batas-batas negara melalui koneksi jaringan Internet. Sejarah dunia komunikasi menjadi terbaharui kembali. Kejayaan peradaban kertas semakin menipis dengan munculnya gelombang radio. Kedigdayaan peradaban radio juga terus menipis, seiring penemuan teknologi televisi. Apakah nanti ketangguhan teknologi televisi di atas juga akan terkalahkan oleh Internet? Tanda-tanda ke arah tersebut sudah sangat kuat di masa kini. Babak baru peradaban industri media massa terkini, terstimulusi melalui teknologi Internet, yang berhasil mengintegrasikan berbagai jenis media massa dalam saluran tunggal yang terintegrasi. Babak baru tersebut dinamai sebagai era konvergensi media massa, yang kemudian meningkat kompleksitasnya menjadi konvergensi multimedia massa. Tren televisi digital, yang mengawinkan antara televisi analog dan teknologi berjaringan Internet yang merebak saat ini sebagai akhir dari peradaban televisi (analog). Perkawinan antara teknologi Internet dan radio analog telah melahirkan radio digital. Persilangan genetis antara media cetak dan teknologi Internet juga sudah melahirkan surat kabar digital, atau yang disebut sebagai electronic-paper (e- paper); dan pada konteks lain melahirkan media online. Fleksibilitas teknologi Internet yang bisa disinergisasikan dengan berbagai jenis media massa yang sudah ada sebelumnya menjadi sisi keunggulan dari teknologi maya ini, pada aspek lain menimbulkan permasalahan kompleks pada sektor industri media cetak, media radio, media televisi dan media online yang tidak bisa mengikuti tren perkembangan dunia telematika mutakhir. Sebagai contoh sederhana, di kancah Jateng dan DIY, kasus gulung tikarnya Harian Pagi Jogja Raya (Jawa Pos Group) yang berkantor di DIY pada tahun 2011 serta KR Bisnis milik KR Group yang sebelumnya bernama Koran Merapi; lantas berganti nama menjadi Koran Merapi Pembaruan pada tahun 2012 kemarin, serta bermetamorfosisnya koran kuning Meteor menjadi Jateng Pos dan Jogjakarta Post dan juga Warta Jateng milik Kompas Group menjadi Tribun Jateng yang berkantor pusat di Jateng pada tahun 2013; menunjukkan betapa bisnis media cetak di kawasan DIY dan Jateng cukup riskan mengalami fluktuasi tinggi. Di luar negeri, kolapsnya perusahaan koran tertua di Amerika Serikat sekaliber The New York Times (salah satu surat kabar terbaik di AS) akhir tahun 2011, menjadi pukulan telak bagi para pengusaha media cetak di Amerika (Kontan edisi 29 Desember 2011). Media cetak lain, Newsweek, The Rocky Mountain News, The Seattle Post Intelligencer, Lee Enterprises juga termasuk daftar media cetak di Amerika Serikat yang bangkrut. Di Jerman, surat kabar Financial Times Deutschland (FTD) sudah tamat nasibnya pada 23 November 2012 kemarin. Koran Berliner Zeitung juga tinggal menunggu ajalnya kini. Bahkan NewPage, pabrik kertas di Ohio yang beroperasi di Amerika Serikat dan Kanada dengan produksi total kertas 3,5 juta ton per tahun untuk koran, majalah dan brosur, sudah tutup pada 30 Juni 2011. Tren penurunan oplah surat kabar menimpa juga koran dengan oplah tertinggi sedunia, yang sekarang dipegang Yomiuri Shimbun (surat kabar di Jepang) dengan oplah 10 juta per hari dan Asahi Newspaper yang beroplah 7,5 juta eksemplar per hari. Dalam The 33rd NSK-CAJ Fellowship Program di Nippon Press Centre (24/9/2012), terungkap bahwa industri pers Jepang tengah mengalami masalah besar; karena turunnya jumlah oplah sebanyak 1- 2 juta eksemplar dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya generasi- generasi muda Jepang (usia 20-30 tahun) tak mau membaca koran (Media Jepang Hadapi Masalah Besar, Kedaulatan Rakyat edisi 25 September 2012, halaman 1). Tentunya mengkaji secara komprehensif tentang pengaruh teknologi digitalisasi dan Internet terhadap industri media cetak di Indonesia, bahkan dalam konteks dunia; bakal menjadi wilayah kajian etik-emik-epik yang menarik dari berbagai sudut pandang ethos (spirit jiwa, etika), logos (ilmu), pathos (pengaruh), dan telos (tujuan). Pertumbuhan fantastis jumlah pengguna Internet di berbagai negara dalam 15 tahun terakhir, berimplikasi besar pada pergeseran tren masyarakat dunia dalam berkomunikasi. Negara-negara dengan penetrasi Internet sangat tinggi (angkanya lebih dari 70 persen dari jumlah penduduknya), adalah Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, dan Kanada. Negara-negara dengan penetrasi Internet cukup tinggi (angkanya lebih dari 50-69 persen dari jumlah penduduknya) adalah Italia, Spanyol, Prancis dan Argentina (Internet World Start, 2010). Bercermin dari negara-negara di atas, nyatanya eksistensi media cetak mengalami tren penurunan jumlah tiras. Bahkan berbagai perusahaan media cetak di negara mengalami kebangkrutan (kolaps) dalam beberapa tahun terakhir. Majalah dan surat kabar di Amerika Serikat yang bangkrut itu misalkan The New York Times, Newsweek, The Rocky Mountain News, The Seattle Post Intelligencer, dan Lee Enterprises. Media cetak di Jerman yang kolaps yakni Financial Times Deutschland (FTD) dan sebentar lagi akan menyusul Berliner Zeitung. Yomiuri Shimbun, surat kabar di Jepang dengan oplah tertinggi sedunia mencapai 10 juta per hari, danAsahi Newspaper yang beroplah sebanyak 7,5 juta eksemplar per hari terus mengalami penurunan oplah sebanyak 1-2 juta eksemplar dalam beberapa tahun terakhir (Media Jepang Hadapi Masalah Besar, Kedaulatan Rakyat edisi 25 September 2012, halaman 1). Jika perusahaan media cetak tidak melakukan berbagai strategi dan perubahan inovatif (kreatif) dalam menyikapi perkembangan zaman, dipastikan eksistensi surat kabar yang kini sudah berusia sekitar 404 tahun jika dihitung sejak surat kabar pertama di dunia bernama Relation yang dicetak dengan menggunakan mesin cetak di Staarsburg dan diterbitkan oleh Johan Carolus pada tahun 1609 (Barus, 2010: 5) bakal musnah, atau setidaknya kehilangan jumlah pembaca loyal dalam jumlah besar. Berikut ini dibeberkan sebanyak empat ancaman yang menimpa media cetak di tengah sengitnya bisnis media massa saat ini. Pertama, kehadiran teknologi Internet menjadi ancaman besar bagi eksistensi media cetak berbasiskan kertas. Pemerataan infrastruktur Internet pada sebuah negara, tentulah menjadi kiamat bagi peradaban media cetak berbasis kertas. Pemanfaatan teknologi Internet untuk mendukung kehadiran media online maupun media elektronik, secara langsung maupun tidak langsung menarik pembaca media cetak untuk beralih dalam mengonsumsi jenis media massa yang terintegrasikan ke jaringan Internet. Akibatnya jumlah pembaca atau pelanggan media cetak menjadi berkurang. Ancaman kedua bersumber dari perubahan perilaku anak-anak muda zaman sekarang yang lebih care pada teknologi Internet daripada teknologi kertas. Menurut Agung Adiprasetyo, dalam Sularto (2007: 238), pada tahun 2006 sebanyak 16 persen anak muda sedunia memanfaatkan Internet sebagai sumber informasi, 42 persen anak muda masih membaca koran, 28 persen menonton televisi dan 10 persen mengakses informasi dari radio. Berdasarkan survei lapangan yang dilakukan Supadiyanto (akhir Desember 2012) di Kampus UIN Sunan Kalijaga dan AKRB (AMIKOM Grup) Yogyakarta terhadap sebanyak 150 mahasiswa; hasilnya adalah 95 persen mahasiswa mengakses informasi dari Internet, 50 persen menikmati televisi, 5 persen mendengarkan radio dan tinggal 10 persen yang membaca surat kabar. Dari angka-angka di atas menunjukkan penetrasi Internet di kalangan anak muda sangat tinggi, dan surat kabar berbasis kertas semakin tidak populer di kalangan anak muda. Ancaman ketiga, yakni bermigrasinya para pengiklan media cetak ke media jenis lainnya, terutama ke media online. Menurut Danny Oey Wirianto (Ketua Pengembangan Digital Advertising P3I), sejak tahun 2009-2011 belanja iklan digital naik 100 persen per tahun. Belanja iklan digital (media online) pada tahun 2012 kemarin berhasil meraup Rp 1 triliun, belanja iklan di televisi sebesar Rp 55,98 triliun; belanja iklan di surat kabar Rp 28,9 triliun, dan belanja iklan di majalah dan tabloid mencapai Rp 2,6 triliun. Total belanja iklan media Indonesia mencapai Rp 87,471 triliun sepanjang tahun 2012. Memang belanja iklan untuk media digital masih kecil, namun laju perkembangannya setiap tahun menunjukkan tren positif. Berdasarkan hasil survei AGB Nielsen pada 22 Agustus 2011, didapatkan fakta menarik bahwa 73 persen konsumen di Asia Tenggara merasa hidupnya lebih mudah setelah membaca/melihat iklan di Internet. Keempat, ancaman lainnya yakni semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan hidup. Bahan baku kertas yang bersumber dari pohon-pohon hutan; jelaslah menimbulkan permasalahan kompleks terhadap lingkungan hidup. Sebab pabrik-pabrik kertas itu membutuhkan suplai pohon- pohon hutan dalam jumlah besar. Hal tersebut memicu terjadinya penebangan pohon-pohon hutan secara liar (illegal logging). Kesadaran penduduk dunia untuk peduli pada kelestarian lingkungan hidup; berpeluang besar untuk memunculkan gerakan pemboikotan untuk tidak memakai, membeli, maupun membaca segala produk yang berasal dari kertas; termasuk di dalamnya media cetak. Di samping ancaman besar di atas, ada lima peluang emas yang dimiliki media cetak di tengah sengitnya kompetisi bisnis media massa, terutama agresivitas media online, yaitu: Pertama, media cetak tetap memiliki peluang dalam merebut perhatian pembaca tradisional (loyal) di mana usia mereka saat ini berada pada kisaran lebih dari 40 tahun ke atas. Model pembaca tradisional menjadikan surat kabar sejak usia kecil hingga sekarang atau dalam sepanjang hidupnya menjadi rujukan informasi utama. Sangat sulit bagi mereka untuk mengubah/menggeser gaya hidup dalam menjadikan media cetak sebagai sumber rujukan utamanya. Mario R. Garcia, CEO Garcia Media pernah mengelompokkan pembaca surat kabar dalam tiga jenis. Satu, pembaca tradisional yang serius, yang ingin membaca koran dengan lebih santai. Dua, pembaca selintas (scanner), yang hanya melihat judul, foto dan membaca potongan-potongan baris, serta berita sekilas. Tiga, pembaca yang sangat cepat (supersonic readers), yang hanya memiliki waktu lima menit di pagi hari untuk melihat sekilas berita-berita yang ada (Garcia, 2005; Sularto, 2007: 78). Kedua, dari sisi konten media cetak tidak bisa tergantikan oleh jenis media massa lainnya. Dari sisi kedalaman, kelengkapan dan keragaman dimensi berbagai persoalan yang disajikan sebagai total news atau lebih tepatnya news in its totality. Setiap total news siap untuk dibedah dalam arti dibuat terbuka untuk diperikan (description), dijelaskan (explanation) dan bersama itu penyelesaian soal ditawarkan (solution) (Dhakidae, 2005; Sularto, 2007: 77). Ketiga, teknologi surat kabar sangat welcome untuk dipersilangkan dengan teknologi Internet sehingga menghasilkan tablet newspaper atau paperless newspaper; di mana surat kabar tidak lagi berwujud kertas, melainkan berujud media digital. Secara substansial, konten yang ada di surat kabar berbasis kertas sama persis yang terkandung dalam tablet newspaper maupun paperless newspaper atau electronic paper (e-paper). Masyarakat di dalam negeri maupun luar negeri memiliki dua pilihan dalam mengakses surat kabar bersangkutan, yakni dalam bentuk kertas atau dalam versi lain yang berbentuk digital. Dalam perspektif lain, peluang yang ketiga ini bisa bersifat dekonstruktif terhadap eksistensi media cetak berbasis kertas; sebab akan banyak pembaca surat kabar kertas yang mengalihkan pilihannya pada e-paper; mengingat lebih mudah diakses dan dapat diunduh secara gratis. Namun juga bersifat konstruktif terhadap media cetak berbasis kertas, sebab konten yang disajikan oleh media bersangkutan tersampaikan kepada pembaca dalam jumlah yang lebih besar lagi. Dengan kata lain, hadirnya paperless newspaper (tablet newspaper atau e-paper) akan mengurangi oplah/tiras surat kabar berbasis kertas, yang otomatis menurunkan tingkat keterbacaan (readership) koran tersebut; namun pada saat bersamaan berpeluang besar menambah jumlah pembaca surat kabarnya dalam versi digitalnya, yang otomatis meningkatkan derajat keterbacaan (readership) koran elektronik tersebut. Keempat, adanya peluang pasar di Indonesia yang belum tersentuh oleh media cetak masih sangat besar. Hal tersebut menjadi peluang emas bagi industri media cetak. Dengan membandingkan tingkat penetrasi Internet di Indonesia pada Agustus 2013 yang masih berkisar antara 40 juta - 85 juta pengguna (penetrasi Internet di Indonesia sebesar 16,7 - 35,4 persen); sedangkan jumlah oplah/tiras seluruh media cetak di Indonesia mencapai 21 juta eksemplar (artinya tingkat penetrasi media cetak di Indonesia baru mencapai 8,75 persen); sedangkan komposisi penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 240 juta jiwa; masih terbuka peluang bisnis untuk mengembangkan industri media cetak di Indonesia. Kelima, sektor industri media cetak dapat menggerakkan sektor perekonomian yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan industri media online. Pada media cetak melibatkan para wartawan, penulis, desainer, editor, tukang pengecer/loper koran, agen, pengiklan, karyawan pabrik kertas, karyawan percetakan, sopir, dsb. Sedangkan pada media online hanya melibatkan kalangan tertentu saja. Dari sisi pemberdayaan masyarakat secara massal, media cetak lebih unggul. Namun dari sisi efesiensi biaya produksi, media online jauh lebih unggul. Catatan: tulisan ini saya kutip dari bagian prolog dalam makalah yang akan saya sajikan (presentasikan) dalam Seminar Nasional Menuju Masyarakat Madani 2013 pada Rabu, 18 Desember 2013 di Ruang Auditorium Perpustakaan Kampus Terpadu UII Yogyakarta dengan keynote speaker Mantan Ketua MK Profesor Mohammad Mahfud M.D. dan Rektor UII Profesor Edy Suandi Hamid. Keterangan foto: sumber foto diambil dari Sekretariat PPWI. Foto ini diambil ketika saya (duduk di kursi nomor lima dari kiri-depan) ketika diundang berbicara dalam Diklat J urnalisme Warga bagi puluhan Anggota Paspampres RI di Markas Komando Pasukan Pengamanan Presiden RI J akarta Pusat pada 25 J uni - 02 J uli 2013. Tags:
RABU, 21 MEI 2014 | 20:06 WIB Industri Media Cetak di Luar Jawa Lebih Prospektif TEMPO.CO, Jakarta - Hasil riset PT.Nielsen Indonesia menunjukkan potensi industri media cetak di luar Pulau Jawa lebih besar dibanding di dalam Pulau Jawa. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya konsumsi media cetak tersebut di luar Pulau Jawa.
"Jawa memang paling padat dan infrastrukturnya paling baik. Tapi potensinya lebih besar luar Jawa. Ini harus digarap betul," kata Managing Director Media Nielsen Indonesia Irawati Pratignyo di kantor Nielsen Indonesia, Mayapada Tower, Jakarta, Rabu, 21 Mei 2014. (Baca: 7 Media Ini Dituding Berpihak dan Tendensius)
Menurut hasil riset Nielsen sepanjang 2010-2014, tingkat konsumsi media cetak di lima kota besar luar Jawa, seperti Medan, Palembang, Denpasar, Makassar, dan Banjarmasin, lebih tinggi dibanding lima wilayah besar di Jawa. (Baca: PT Temprint Sudah Cetak 10 Juta Surat Suara)
Kelima wilayah besar di Jawa yang dimaksud meliputi Jakarta dengan wilayah megapolitannya, Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi); Surabaya dengan Gerbangkertosusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan); Bandung; Semarang; dan Yogyakarta yang berdekatan dengan Sleman dan Bantul.
Temuan selama empat tahun itu didapat dari pemantauan kepemirsaan televisi, pengukuran teknologi meter dengan GSM & GPRS, serta berbagai metode lainnya sesuai dengan jenis media. Survei dilakukan di sepuluh kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung, Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin. Namun PT.Nielsen Indonesia menegaskan hasil survei tak mewakili populasi Indonesia.
Lebih jauh, Irawati menjelaskan, dalam temuan Nielsen itu, praktis hanya konsumsi media via Internet di Jawa yang lebih tinggi ketimbang wilayah luar Jawa. Konsumsi media via Internet di Jawa sebanyak 34 persen, sementara luar Jawa 32 persen. Selebihnya, konsumsi media via televisi, radio, koran, tabloid, dan majalah tercatat lebih tinggi di luar Jawa.
Tingginya pertumbuhan tingkat konsumsi media cetak di luar Jawa ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan pertumbuhan penduduk di luar Jawa lebih tinggi dibanding Jawa. Besaran dan laju peningkatan produk domestik bruto (PDB) di luar Jawa juga lebih tinggi dibanding Jawa, dan akan bertahan hingga 2030. "Perkembangan di luar Jawa sangat luar biasa. Ini merupakan peluang luar biasa bagi para pelaku industri," kata Irawati. http://www.tempo.co/read/news/2014/05/21/090579407/Industri-Media-Cetak-di-Luar-Jawa-Lebih- Prospektif
Dahlan Iskan: Era media cetak hampir selesai 10 April 2013 pukul 0:45 JAKARTA. Pengusaha media, Dahlan Iskan mensinyalir era bisnis media cetak hampir selesai di Indonesia. Dahlan Iskan yang kini menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut bilang, tidak akan banyak pelaku bisnis media cetak yang mampu mempertahankan bisnisnya saat ini.
Banyak hal yang menjadi pemicunya, salah satunya adalah perkembangan teknologi informasi yang kina maju. Akses informasi yang cepat melalui media internet menjadi salah satu sumber petaka bagi bisnis media cetak. Nanti di satu kota hanya ada satu, dua atau tiga media cetak saja, terang pemilik group bisnis Jawa Pos ini di dalam diskusi buku berjudul Dapur Media di kantor Aliansi Jurnalis Independen di Jakarta, Selasa (9/4).
Selain masalah akses informasi yang kian dekat dengan pembaca, bisnis media cetak juga berhadapan dengan ongkos produksi yang mahal. Maklum, bisnis media cetak berupa koran, tabloid serta majalah bergantung dengan harga kertas yang sumber dayanya terbatas. Khusus majalah akan mengalami masa sulit, imbuhnya.
Namun sebaliknya, industri media online malah bertumbuh dan mengkristal. Namun begitu, Dahlan Iskan yakin hanya beberapa situs media online saja yang bisa besar dengan skala pembaca yang banyak. Sekarang menuju kristalisasi media online yang jumlahnya nanti akan banyak sekali, ungkap Dahlan Iskan yang pernah menjadi Direktur Utama PLN itu.
Masa suram industri media Peliknya nasib bisnis media khususnya cetak sudah dirasakan oleh pekerja media yang tergabung dalam Federasi Pekerja Media Independen (FSPMI). Hal ini disampaikan oleh Abdul Manan, Ketua Umum FSPMI dalam kesempatan yang sama.
Manan menyebutkan, dari 3.000 media termasuk cetak, online, elektronik yang beroperasi di Indonesia, hanya segelintir yang bisa dibilang menguntungkan secara bisnis. Dalam catatan kami, hanya ada 300 media atau 10% yang mencatat untung dalam bisnis media, jelasnya.
Kondisi memprihatinkan terjadi di industri media cetak. Bahkan saat ini masih ada media yang saat ini kadang terbit terkadang tidak. Sebab, kepentingan mendirikan media bukan bertujuan untuk melayani informasi, melainkan untuk kepentingan lain. https://id-id.facebook.com/notes/catatan-dahlan-iskan/dahlan-iskan-era-media-cetak-hampir- selesai/10152736447145360
Kisah konvergensi media di Indonesia adalah buah dari proses perubahan gradual yang melanda industri media itu sendiri. Efisiensi, perluasan pasar, kecepatan menyiarkan, dan integrasi sumberdaya adalah esensi konvergensi media di Indonesia. Teknologi informasi dan komunikasi menjadi penopang di bawahnya. Hampir satu dekade belakangan, industri media di Indonesia mengalami hingar-bingar seiring kemajuan pesat teknologi informasi dan komunikasi. Awalnya adalah ketika sejumlah media melakukan resizing dan reformat produk, terutama suratkabar harian, pada medio dekade 2000-an. Perubahan format itu membawa implikasi pada penyesuaian ukuran dan kualitas konten di masing- masing media. Budaya jurnalisme pun ikut berubah. Gaya menulis tidak bisa lagi sepanjang dan sebanyak tatkala masih menggunakan ukuran dan format lama (murni broadsheet). Ini karena surakatkabar-suratkabar di Indonesia telah mengubah ukuran produk mereka menjadi enam atau tujuh kolom (junior broadsheet), bahkan hingga yang berukuran kompak (compact size). Pada saat yang bersamaan, sejumlah perusahaan media cetak mulai serius mengembangkan versi digitalnya. Patut dicatat, hampir satu dekade sebelumnya, beberapa perusahaan suratkabar telah merilis versi online, seperti Republika dan Kompas, namun baru sekadar sebagai komplimentari versi cetak dan belum digarap serius dalam konteks konvergensi media. Perubahan format tersebut dipicu oleh tren multimedia yang dihasilkan teknologi komunikasi melalui kehadiran internet. Belakangan, internet dan mobile communication menjadikan orang semakin mudah mengakses informasi media melalui aneka platform. Secara umum, dalam kasus Indonesia, konvergensi media berangkat dari basis model suratkabar cetak yang berkolaborasi dengan versi online. Inilah jejak otentik konvergensi media di Indonesia. Dalam perkembangannya kemudian, kolaborasi surakabar cetak dengan media online, lalu menular dengan mengikutsertakan medium radio dan televisi dalam line up konvergensi. Bahkan, model lain yang berangkat dari majalah cetak dan online juga muncul. Akar konvergensi media sebagaimana dikutip Aulia Nastiti (2012) mendapat penjelasan dari Dailey, et.al (2005). Menurutnya, konvergensi media merupakan kolaborasi yang terdiri dari lima tahap aktivitas: (1) cross-promotion, (2) cloning, (3) coopetition, (4) content-sharing, dan (5) full convergence. Konvergensi media membuat khalayak memiliki lebih banyak pilihan media dengan konten yang semakin beragam pula (Grant dan Wilkinson, 2009). Tidak hanya berkaitan produksi dan konsumsi, konvergensi media juga penanda perubahan berbagai elemen komunikasi: media, kultur, khalayak, teknologi, dan industrinya. Dalam bukunya, Understanding Media Convergence: The State of the Field, Grant dan Wilkinson menjelaskan bahwa konvergensi media meliputi lima dimensi besar konvergensi teknologi, konten multimedia, kepemilikan, kolaborasi, dan koordinasi (Grant dan Wilkinson, 2009: 3 15). Namun, Grant dan Wilkinson (2009) sendiri menyatakan bahwa kelima dimensi ini tidak dapat dipandang secara statis dan eksklusif, karena inti dari konvergensi sebenarnya adalah perubahan. Kolaborasi menekankan pada kerja sama oleh media yang berada dalam kepemilikan atau platform berbeda. Cara-cara yang dilakukan misalnya, sharing content, kerja sama promosi (cross-promotion), atau koordinasi antarmedia (Grant dan Wilkinson, 2009). Dari segi operasional, konvergensi media menuntut pekerja media menjadi multitasking karena hasil satu peliputan berita dimuat di berbagai jenis media sehingga lebih efisien. Konvergensi media juga berimplikasi pada perubahan struktur industri media massa yang cenderung mengarah kepada crossownership atau kerja sama kepemilikan (Straubhaar dan La Rose, 2006). Pergeseran struktur industri ini diakibatkan oleh tuntutan produksi konten multimedia yang harus terdistribusi dalam berbagai platform media, baik media cetak, siar, maupun online. Konvergensi kepemilikan media memainkan peranan penting dalam menentukan konsolidasi antar pemain dalam industri media karena berorientasi pada skala ekonomi produksi, yang berarti produkproduk media yang terkonvergen berpotensi menjadi produksi massal (Grant dan Wilkinson, 2009). Dua Model di Indonesia Dalam konteks Indonesia, pola konvergensi media yang belakangan dianut sejumlah perusahaan pers nasional, tampaknya lebih mendekati pola yang disebutkan Grant dan Wilkinson (2009), yang mencakup konvergensi teknologi, konten multimedia, kepemilikan, kolaborasi, dan koordinasi. Hampir semua perusahaan pers di Indonesia yang telah mengembangkan praktik konvergensi media, berangkat dari kepemilikan konten multimedia dalam tubuh satu kelompok usaha yang sama. Seperti konten suratkabar, majalah, radio, televisi, dan online. Konvergensi media di Indonesia juga memiliki dua arus besar: Arus suratkabar harian dan arus majalah mingguan. Pada arus suratkabar harian, bisa disebutkan di sini antara lain dipelopori oleh Kompas, Seputar Indonesia, Bisnis Indonesia, Republika, Media Indonesia, Bali Post, dan masih banyak yang lain. Sementara dari arus majalah berita mingguan, Tempo adalah pelopornya yang selanjutnya diikuti oleh Gatra. Di Bisnis Indonesia, misalnya, yang telah mengaplikasikan konvergensi sejak 2009, model konvergensi dibangun secara multiplatform, multichannel, dan multimedia. Mereka mengkonvergensikan media cetak, radio, outdoor, dan online, serta mobile application sekaligus. Aplikasi konten pun lalu menjadi multichannel, bisa dalam format tablet dan mobile dengan program android dan OS. Berita atau artikel hasil riset Bisnis Indonesia dipublikasikan melalui berbagai saluran medium tersebut, tutur Endy Subiantoro, Direktur Pemasaran dan Penjualan Bisnis Indonesia. Benefit dari praktik konvergensi tentu saja memberikan nilai tambah bagi audiens dan memperluas audiens pembaca koran maupun target pasar produk Bisnis Indonesia yang lain. Dalam kasus majalah Tempo, malah tidak ada satupun model konvergensi di dunia yang mereka anut. Gagasan aplikasi konvergensi media di Tempo telah menampakkan jejaknya mulai akhir 2009. Dua tahun kemudian, uji coba pun dilakukan secara terbatas, dimulai dari kompartemen seni yang bekerja melayani semua platform media di bawah kelompok usaha media Tempo. Namun, seperti diakui Toriq Hadad, Kepala Divisi Pemberitaan Korporat Tempo, uji coba ini tidak memuaskan, karena faktor leadership dan bukannya faktor model konvergensi yang sedang dikembangkan. Model konvergensi media mensyaratkansatu hal: penyatuan lokasi newsroom. Sulit membayangkan sebuah kelompok usaha media yang memiliki beberapa format media, menjalankan model konvergensinya dari sejumlah lokasi newsroom yang terpisah. Inilah yang awalnya menjadi kendala di Tempo. Setelah terjadi penyatuan newsroom di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, proses agregasi dan konvergensi media bisa lebih mudah dijalankan. Setelah berhasil menyelesaikan kendala internalnya, termasuk faktor leadership, praktis sejak Januari 2012, Tempo telah resmi melakoni konvergensi media. Kini, Tempo memiliki tiga platform yang dikembangkan secara serentak cetak, digital, dan TV (Tempo TV). Khusus platform digital berwujud dalam Tempo online dan format aplikasi berbasis tablet (majalah) dan android (Koran Tempo). Tempo juga dikenal memelopori konsep aplikasi berbayar yang bisa diunduh di Scoop dan iTunes. Tak lama kemudian, Sindo pun mengikuti jejak Tempo. Setelah melalui proses bertahap, sejak Juni 2012, berbagai platform media di MNC Grup (induk usaha Sindo) disatukan dalam payung SindoMedia yang terdiri dari SindoTV, Sindo Radio, Koran Sindo, Sindo Weekly, dan Sindonews.com. Konvergensi media pun berlangsung di tubuh kelompok usaha media ini. Sama seperti yang berlangsung pada Tempo, penyatuan newsroom juga menjadi faktor krusial bagi kemulusan Sindo tatkala menjalankan praktik konvergensi. Menurut penuturan Sururi Alfaruq, Pemimpin Redaksi Sindo, seiring perjalanan waktu, proses sinergi akan semakin banyak sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki oleh masing- masing media platform. Saat ini proses itu sedang berjalan secara bertahap. Yang jelas pertama dilakukan adalah konvergensi nama yang semua bernada sama: Sindo. Tujuannya untuk memudahkan orang mengingat karena brand Sindo dinilai sudah melekat di hati audience saat Koran Seputar Indonesia diluncurkan pertama kali tahun 2005. Konvergensi yang dilakukan Sindo Media hampir sama dengan yang dilakukan grup media lain. Tidak ada satu model yang secara khusus dianut dalam konvergensi ini, tapi bisa campuran dari sejumlah model konvergensi media yang telah ada sebelumnya. Bentuk konkret konvergensi yang dilakukan adalah dengan menggabungkan semua multiplatform ke dalam portal berita Sindonews.com dimana tv, radio, majalah, koran, dan online bisa dilihat, didengarkan dan dibaca oleh pengunjung portal Sindonews.com. Kini, platform Sindomedia bisa diakses melalui PC, mobile, dan tablet. Secara jangkauan audience diharapkan akan meningkat dan bertambah luas. Secara bisnis juga diyakini bertambah kuat dengan model saling melengkapi antarmedia platform. Jika melongok media di daerah, Bali Post rasanya pantas dijadikan salah satu contoh media yang juga telah menjalankan konvergensi media. Sama seperti halnya Harian Sindo dan Bisnis Indonesia, Bali Post mengembangkan versi digitalnya yang bisa diakses dalam format tablet, yang dikombinasikan dengan saluran televisi miliknya, Bali TV. Di saluran TV mereka, setiap informasi aktual dari wartawan Bali Post juga ditayangkan dalam bentuk running text. Pilihan Strategis Konvergensi media apapun bentuk dan skalanyapada akhirnya adalah pilihan strategis yang harus ditempuh perusahaan media di Indonesia jika hendak mengembangkan pasarnya (pembaca dan pengiklan) lebih luas di masa depan. Paling tidak ada dua alasan penting menjelaskan hal ini. Pertama, karena keniscayaan teknologi dan perangkat telekomunikasinya yang hadir di depan kita dan tidak bisa dihindarkan. Kedua, karena kultur audience (baca: pasar) yang terus berubah. Audience hari ini berbeda dengan audience di masa lalu ketika antara media cetak, penyiaran, dan online belum disatukan oleh jaringan teknologi informasi dan komunikasi. Kini, melalui jasa jaringan telekomunikasi dan informasi, setiap orang bisa mengakses berbagai platform media dalam satu format digital. Efek positif paling besar yang dinikmati perusahaan pers tentu saja berupa ekstensi pasar produk mereka. Pasar menjadi tidak bersekat, melintasi batasbatas geografis. Tinggal kini, isu berikutnya setelah praktik konvergensi berlangsung adalah bagaimana mengelola aset dan produk konvergensi media ini menjadi bernilai (kapitalisasi). How to monetizing? Selama beberapa tahun terakhir, upaya mengkapitalisasi aplikasi digital dan belakangan konvergensi media ini menjadi diskusi sentral para pelaku usaha pers. Keyakinan bahwa digitalisasi produk dan konvergensi akan menciptakan nilai tambah bagi perusahaan pers memang membumbung tinggi. Paling tidak karena buah dari proses tersebut berupa efisiensi produksi, massifikasi produk, agregasi sumber daya manusia, dan perluasan pasar (pembaca dan pemirsa) produk sudah berhasil dinikmati. Namun secara bisnis? Sebagaimana diakui Toriq Hadad, memang pertumbuhan bisnis hasil digitalisasi dan konvergensi media cukup eksponensial. Walaupun jika dibandingkan dengan pendapatan dari bisnis konvensional (cetak) nilai bisnisnya masih jauh, katanya terus terang. Sungguh pun demikian, model konvergensi media adalah pilihan strategis yang mengandung tantangan besar bagi para pelaku pers di Indonesia untuk terus berinovasi sekaligus mengedukasi pasar. Bukan sekadar pasar pembaca yang kini telah menikmati produk konvergensi. Lebih dari itu adalah pasar pengiklan. Dalam hemat saya, kunci dari pengembangan bisnis konvergensi media tetaplah bersandar pada faktor konten. Kualitas dan kredibilitas konten menjadi basis utama bisnis media. Kredo Content is King, hingga kapan pun masih berlaku. Apalagi di tengah sorotan masih banyaknya potensi pelanggaran etika jurnalistik yang berasal dari platform media online yang secara natural lebih mengedepankan kecepatan dibanding akurasi, ini menjadikan konten butuh perhatian khusus. Apapun platformnya, konten tetaplah yang utama! Pendek kata, keberhasilan meraih pasar semakin besar bagi praktik konvergensi media sangat ditentukan pertama-tama karena faktor (inovasi) konten. Selebihnya, adalah kepemimpinan. Dalam bisnis apapun, kepemimpinan yang kuat dan handal, akan mampu men-drive perusahaan untuk mencapai sukses. Termasuk perusahaan media. (Asmono Wikan)