Wakorumba Selatan
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa yang penuh problema. Dalam masa ini tidak sedikit remaja
yang mengalami kegoncangan yang menyebabkan munculnya
emosional yang belum stabil sehingga mudah melakukan pelanggaran terhadap norma-norma
dalam masyarakat.
Remaja sebagai manusia yang sedang tumbuh dan berkembang terus melakukan interaksi
sosial baik antara remaja maupun terhadap lingkungan lain. Melalui proses adaptasi, remaja
mendapatkan pengakuan sebagai anggota kelompok baru yang ada dalam lingkungan
sekitarnya. Remaja pun rela menganut kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam suatu
kelompok remaja.
Dalam pergaulan remaja, kebutuhan untuk dapat diterima bagi setiap individu merupakan
suatu hal yang sangat mutlak sebagai mahluk sosial. Setiap anak yang memasuki usia remaja
akan dihadapkan pada permasalahan penyesuaian sosial, yang diantaranya adalah
problematika pergaulan teman sebaya. Pembentukan sikap, tingkah laku dan perilaku sosial
remaja banyak ditentukan oleh pengaruh lingkungan ataupun teman-teman sebaya. Apabila
lingkungan sosial itu menfasilitasi atau memberikan peluang terhadap remeja secara positif,
maka remaja akan mencapai perkembangan sosial secara matang. Dan apabila lingkungan
sosial memberikan peluang secara negatif terhadap remaja, maka perkembangan sosial
remaja akan terhambat (Devy irawati, 2002).
Pengaruh lingkungan diawali dengan pergaulan dengan teman. Pada usia 9-15 tahun
hubungan perkawanan merupakan hubungan yang akrab yang diikat oleh minat yang sama,
kepentingan bersama, dan saling membagi perasaan, saling tolong menolong untuk
memecahkan masalah bersama.
Peran teman sebaya dalam pergaulan remaja menjadi sangat menonjol. Hal ini sejalan dengan
meningkatnya minat individu dalam persahabatan serta keikut sertaan dalam kelompok.
Kelompok teman sebaya juga menjadi suatu komunitas belajar di mana terjadi pembentukan
peran dan standar sosial yang berhubungan dengan pekerjaan dan prestasi (Santrock, 2003 :
257).
Berdasarkan pra penelitian di lapangan bahwa dalam suasana belajar ataupun waktu istrahat
sedang berlangsung, baik siswa laki-laki maupun perempuan menghabiskan banyak
waktunya bersama dengan teman-temannya. Seorang guru SLTP Negeri I wakorumba selatan
juga mengatakan bahwa ada dua bentuk perilaku yang muncul dari pengaruh teman sebaya,
yang pertama kelompok siswa yang selalu berprestasi dan yang kedua yakni kelompok siswa
yang suka melanggar aturan sekolah.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan
judul Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Perilaku siswa Pada SLTP Negeri I Wakorumba
Selatan
A.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini yaitu
Apakah ada pengaruh teman sebaya terhadap perilaku siswa di sekolah?
B.Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah :
a.Untuk mengetahui pergaulan teman sebaya pada SLTP Negeri I Wakorumba Selatan.
b.Untuk mengetahui perilaku siswa pada SLTP Negeri I Wakorumba Selatan.
c.Untuk mengetahui pengaruh pergaulan teman sebaya terhadap perilaku siswa pada SLTP
Negeri I Wakorumba Selatan.
2. Manfaat penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
a.Sebagai bahan informasi bagi instansi terkait dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
b.Sebagai bahan informasi bagi masyarakat agar mereka dapat memberikan informasi kepada
siswa untuk lebih termotivasi belajar dan dapat meminimalisir pengaruh negatif yang muncul
dan mempertahankan pengaruh positif.
c.Sebagai bahan informasi bagi peneliti dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama
perkuliahan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Segi utama yang perlu diperhatikan adalah bahwa manusia secara hakiki merupakan mahluk
sosial. Sejak dilahirkan ia membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan biologisnya, makanan, minuman dan lain-lain. Apabila seorang
individu mulai bergaul dengan kawan-kawan sebayanya, ia pun tidak lagi hanya menerima
kontak sosial itu, tetapi ia juga dapat memberikan kontak sosial. Ia mulai mengerti bahwa di
dalam kelompok sepermainannya terdapat peraturan-peraturan tertentu, norma-norma sosial
yang hendaknya ia patuhi dengan rela guna dapat melanjutkan hubungannya dengan
kelompok tersebut secara lancar. Ia pun turut membentuk norma-norma pergaulan tertentu
yang sesuai dengan interaksi kelompok.
A.Pengertian Teman Sebaya.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, teman sebaya diartikan sebagai kawan, sahabat atau
orang yang sama-sama bekerja atau berbuat (Anonim, 2002 : 1164). Sementara dalam
Mutadin (2002:1) menjelaskan bahwa teman sebaya adalah kelompok orang-orang yang
seumur dan mempunyai kelompok sosial yang sama, seperti teman sekolah atau teman
sekerja.
Teman sebaya (peer) sebagai sebuah kelompok sosial sering didefinisikan sebagai semua
orang yang memiliki kesamaan ciri-ciri seperti kesamaan tingkat usia. Lebih lanjut Hartup
dalam Santrock (1983 : 223) mengatakan bahwa teman sebaya (Peers) adalah anak-anak atau
remaja dengan tingkat usia atau kedewasaan yang sama. Akan tetapi oleh Lewis dan
Rosenblum dalam Samsunuwiyati (2005 : 145) Definisi teman sebaya lebih ditekankan pada
kesamaan tingkah laku atau psikologis.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka saya mendefinisikan teman sebaya sebagai
interaksi individu pada anak-anak atau remaja dengan tingkat usia yang sama serta
melibatkan keakraban yang relatif besar diantara kelompoknya
B.Fungsi Kelompok Teman Sebaya
Kelompok teman sebaya merupakan interaksi awal bagi anak-anak dan remaja pada
lingkungan sosial. Mereka mulai belajar bergaul dan berinteraksi dengan orang lain yang
bukan anggota keluarganya. Ini dilakukan agar mereka mendapat pengakuan dan penerimaan
dari kelompok teman sebayanya sehingga akan tercipta rasa aman.
Sejumlah penelitian telah merekomendasikan betapa hubungan sosial dengan teman sebaya
memiliki arti yang sangat penting bagi perkembangan pribadi. Salah satu fungsi kelompok
teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi dan
perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak atau remaja menerima umpan balik
tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok temam sebaya. Mengevaluasi
apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh anak-
anak lain.
Kelompok memenuhi kebutuhan pribadi remaja, menghargai mereka, menyediakan
informasi, menaikan harga diri, dan memberi mereka suatu identitas. Remaja bergabung
dengan suatu kelompok dikarenakan mereka beranggapan keanggotaan suatu kelompok akan
sangat menyenangkan dan menarik serta memenuhi kebutuhan mereka atas hubungan dekat
dan kebersamaan. Mereka bergabung dengan kelompok karena mereka akan memiliki
kesempatan untuk menerima penghargaan, baik yang berupa materi maupun psikologis.
Kelompok juga merupakan sumber informasi yang penting. Saat remaja berada dalam suatu
kelompok belajar, mereka belajar tentang strategi belajar yang efektif dan memperoleh
informasi yang berharga tentang bagaimana cara untuk mengikuti suatu ujian.
Hartup dalam Didi Tarsadi mengidentifikasi empat fungsi teman sebaya, yang mencakup :
1.Hubungan teman sebaya sebagai sumber emosi (emotional resources), baik untuk
memperoleh rasa senang maupun untuk beradaptasi terhadap stress
2.Hubungan teman sebaya sebagai sumber kognitif (cognitive resources) untuk pemecahan
masalah dan perolehan pengetahuan
3.Hubungan teman sebaya sebagai konteks di mana keterampilan sosial dasar (misalnya
keterampilan komunikasi sosial, keterampilan kerjasama dan keterampilan masuk kelompok)
diperoleh atau ditingkatkan; dan
4.Hubungan teman sebaya sebagai landasan untuk terjalinnya bentuk-bentuk hubungan
lainnya (misalnya hubungan dengan saudara kandung) yang lebih harmonis. Hubungan teman
sebaya yang berfungsi secara harmonis di kalangan anak-anak prasekolah telah terbukti dapat
memperhalus hubungPeranan Hubungan Teman Sebaya dalam Perkembangan Kompetensi
Sosial Anak
Lebih lanjut lagi secara lebih rinci Kelly dan Hansen dalam Samsunuwiyati (2005 : 220)
menyebutkan 6 fungsi positif dari teman sebaya, yaitu :
1.Mengontrol impuls-impuls agresif.
2.Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih independen. Teman-teman
dan kelompok teman sebaya memberikan dorongan bagi remaja untuk mengambil peran dan
tanggung jawab baru mereka.
3.Meningkatkan keterampilan-keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan penalaran,
dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara-cara yang lebih matang.
4.Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin.
5.Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai.
6.Menigkatkan harga diri (self-esteem). Menjadi orang yanh disukai oleh sejumlah besar
teman-teman sebayanya membuat remaja merasa enak atau senang senang tentang dirinya.
Kelompok teman sebaya biasanya beranggotakan perempuan saja, laki-laki saja atau
campuran, kalau kelompoknya beranggotakan laki-laki saja biasanya sebagaian besar
anggotanya tidak terlampau dekat secara emosional, sedangkan apabila kelompok
beranggotakan perempuan biasanya anggotanya lebih akrab.
C.Jenis Kelompok Teman Sebaya
Dalam kehidupan sehari-sehari remaja selalu bersama dengan teman-temannya, sehingga
remaja sering tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu.
Pra ahli psikologi sepakat bahwa terdapat kelompok-kelompok yang terbentuk dalam masa
remaja. Kelomppok tersebut adalah sebagai berikut :
a.Sahabat Karib (Chums)
Chums yaitu kelompok dimana remaja bersahabat karib dengan ikatan persahabatan yang
sangat kuat. Anggota kelompok biasanya terdiri dari 2-3 orang dengan jenis kelamin sama,
memiliki minaat, kemauan-kemauan yang mirip.
b.Komplotan sahabat (Cliques)
Cliques biasnya terdiri dari 4-5 remaja yang memiliki minat, kemampuan dan kemauan-
kemauan yang relatif sama. Cliques biasanya terjadi dari penyatuan dua pasang sahabat karib
atau dua Chums yang terjadi pada tahun-tahun pertama masa remaja awal. Jenis kelamin
remaja dalam satu Cliques umumnya sama.
c.Kelompok banyak remaja (Crowds)
Crowds biasanya terdiri dari banyak remaja, lebih besr dibanding dengan Cliques. Karena
besrnya kelompok, maka jarak emosi antra anggota juga agak renggang. Dengan demikian
terdapat jenis kelamin berbeda serta terdapat keragaman kemampuan, minat dan kemauan
diantara para anggota. Hal yang dimiliki dalam kelompok ini adalah rasa takut diabaikan atau
tidak diterima oleh teman-teman dalam kelompok remja. Dengan kata lain remaja ini sangat
membutuhkan penerimaan peer-groupnya.
D.Penerimaan dan Penolakan Teman Sebaya
Dalam kelompok teman sebaya, merupakan kenyataan adanya remaja yang diterima dan
ditolak. Hal ini disebabkan oleh beberapafaktor sebagai berikut :
1.Faktor-faktor yang menyebabkan seorang remaja diterima
a.Penampilan (performance) dan perbuatan meliputi antara lain : tampang yang baik, atau
paling tidakrapi danaktif dalamkegiatan-kegiatan kelompok
b.Kemampuan pikir antara lain : mempunyai inisiatif, banyak memikirkan kepentingan
kelompok dan mengemukakan buah pikirannya
c.Sikap, sifat, perasaan antara lain : bersikap sopan, memperhatikanorang lain, penyabar atau
dapat menahan marah jika berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan dirinya
d.Pribadi meliputi : jujur dan dapat dipercaya, bertanggung jawab dan suka menjalankan
pekerjaannya, mentaati peraturan-peraturan kelompok, mampu menyesuaikan diri dalam
berbagai situasi dan pergaulan sosial.
2.Faktor-faktor yang menyebabkanseorang remaja ditolak
a.Penampilan (performance) dan perbuatan antaralain meliputi :
sering menantang, malu-malu, dan senang menyendiri
b.Kemampuan pikir meliputi :
bodoh sekali atau sering disebut tolol
c.Sikap, sifat meliputi : suka melanggar normadan nilai-nilai kelompok, suka menguasai anak
lain, suka curiga, dan suka melaksanakan kemauan sendiri
d.Ciri lain : faktor rumah yang terlalujauh dari tempat teman sekelompok
Arti penting dari penerimaan atau penolakan teman sebaya dalam kelompok bagi seseorang
remaja adalah bahwa mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pikiran, sikap, perasaan,
perbuatan-perbuatan dan penyesuaian diri remaja.
Akibat langsung dari penerimaan teman sebaya bagi seseorang remaja adalah adanya rasa
berharga dan berarti serta dibutuhkan bagi kelompoknya. Hal yang demikian ini akan
menimbulkan rasa senang, genbira, puas bahkan rasa bahagia.
Hal yang sebaliknya dapat terjadi bagi remaja yang ditolak oleh kelompoknya yakni adanya
frustasi yang menimbulkan rasa kecewa akibat penolakan atau pengabaian itu.
E.Ciri-ciri dan tugas Perkembangan remaja
Menurut Gunarsa (1987 : 6) remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak kemasa dewasa,
meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan masa dewasa.
Oleh Wibowo dalam Simanjutak (1984 : 14) mengemukakan bahwa remaja adalah mereka
yang berusia 12 tahun sampai 18 tahun dan merupakan ciri-ciri fisik yang lebih menonjol
sesuai dengan ritme perkembangan dalam tahap-tahapannya.
Selanjutnya menurut Mapiare dalam Sudarsono (1991 : 13) mengungkapkan tentang adanya
rentang kehidupan remaja yaitu masa remaja awal dari 13 tahun sampai dengan 17 tahun
dan masa remaja akhir dari 17 tahun sampai 20 tahun.
1.Ciri-ciri Masa Remaja
Usia remaja adalah tahap yang banyak terjadi perubahan baik dalam aspek fisik maupun
psikologis, mereka diharapkan untuk dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan yang
dialamai maupun efek dari perubahan yang dialami oleh mereka.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hurlock dalam Nurmiyati (1994 : 7) menyebutkan beberapa
ciri yang ada dimasa remaja :
a.Masa remaja sebagai periode yang penting
b.Masa remaja sebagai periode peralihan
c.Masa remaja sebagai perubahan
d.Masa remaja sebagai usia bermasalah
e.Masa remaja sebagai masa mencari identitas
f.Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan
g.Masa remaja sebagai yang tidak realistis
h.Masa remaja sebagai masa ambang dewasa
2.Tugas Perkembangan Masa Remaja
Proses perkembangan pada masa remaja lazimnya berlangsung selama kurang lebih 11 tahun,
mulai usia 12-21 pada wanita dan 13-22 tahun pada pria. Masa remaja yang panjang ini
dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran dan persoalan, bukan saja bagi si remaja sendiri
melainkan juga bagi para orang tua, guru, dan masyarakat sekitar. Bahkan tak jarang para
penegak hukum pun ikut direpotkan oleh ulah dan tindak tanduknya yang dipandang
menyimpang.
Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja pada umumnya meliputi pencapaian dan
persiapan segala hal yang berhubungan dengan kehidupan masa dewasa. Tugas-tugas remaja
tersebut adalah sebagai berikut :
1.Mencapai pola hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya yang berbeda jenis
kelamin sesuai dengan keyakinan dan etika moral yang berlaku dalam masyarakat.
2.Mencapai peranan sosial sebagai seorang pria (jika ia seorang pria) dan peranan sosial
sebagai seorang wanita (jika ia seorang wanita) selaras dengan tuntutan sosial dan kultural
masyarakat.
3.Menerima kesatuan organ-organ tubuh sebagai seorang pria (jika ia seorang pria) dan
kesatuan organ-organ sebagai seorang wanita (jika ia seorang wanita) dan menggunakan
secara efektif sesuai dengan kodratnya masing-masing.
4.Keinginan menerima dan mencapai tingkah laku sosial tertentu yang bertanggung jawab di
tengah-tengah masyarakat.
5.mencapai kemerdekaan/kebebasan emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya dan mulai menjadi seorang person (menjadi dirinya sendiri).
6.Mempersiapkan diri untuk mencapai karir (jabatan dan profesi) tertentu dalam kehidupan
ekonomi.
7.Mempersiapkan diri untuk memasuki dunia perkawinan (rumah tangga) dan kehidupan
berkeluarga yakni sebagai suami dan istri.
8.Memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman bertingkah laku dan
mengembangkan ideologi untuk keperluan kehidupan kewarganegaraan.
Menurut Syamsu Yusuf (2000 : 20) menjelaskan bahwa masa remaja merupakan masa yang
banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khasnya dan peranannya yang menentukan dalam
kehidupan individu, dalam masyarakat orang dewasa. Masa ini dapat diperinci lagi menjadi
beberapa masa yaitu sebagai berikut:
1.Masa Pra Remaja (remaja awal)
Masa pra remaja biasanya berlangsung hanya dalam waktu yang relatif singkat, masa ini
ditandai oleh adanya sifat-sifat negatif dengan gejalanya seperti tidak tenang, kurang suka
bekerja, pesimistik, dan sebagainya. Secara garis besar sifat-sifat negatif dapat diringkas yaitu
a). Negatif dalam prestasi, baik prestasi jasmani maupun prestasi mental, dan b). Negatif
dalam sikap sosial, baik dalam bentuk menarik diri dalam masyarakat (negatif pasif) maupun
dalam bentuk agresi terhadap masyarakat (negatif aktif)
2.Masa Remaja Tengah (remaja madya)
Pada masa ini mulai tumbuh dalam diri remaja dorongan untuk hidup, kebutuhan akan
adanya teman yang akan memahami dan menolongnya, teman yang dapat turut merasakan
suka dan dukanya pada masa ini, sebagai masa yang mencari sesuatu yang dapat dipandang
bernilai, pantas dijunjung tinggi sebagai gejala remaja.
3.Masa Remaja Akhir
Setelah remaja dan dapat menentukan pendirian hidupnya, pada dasarnya telah tercapailah
remaja akhir dan terpenuhilah tugas-tugas masa remaja, yaitu penemuan pendirian hidup.
F.Pengertian perilaku
Perilaku atau aktifitas yang ada pada individu atau organisme itu tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi sebagai akibat dari adanya stimulus atau rangsang yang mengenai individu
atau organisme itu. Perilaku atau aktifitas itu merupakan jawaban atau respon terhadap
stimulus yang mengenainya. Apa yang ada dalam diri organisme itu yang berperan
memberikan respon adalah apa yang telah ada pada diri organisme, atau apa yang telah
dipelajari oleh organisme yang bersangkutan.
Perilaku pada manusia dapat dibedakan atas perilaku yang refleksif dan perilaku yang non-
refleksif. Perilaku yang refleksif merupakan perilaku yang terjadi atas reaksi yang secara
spontan terhadap stimulus yang mengenai organisme tersebut. Misalnya reaksi kedip mata
bila kena sinar. Perilaku refleksif adalah perilaku yang terjadi dengan sendirinya, secara
otomatis. Dalam perilaku refleksif, respon langsung timbul begitu menerima stimulus. Lain
halnya dengan perilaku yang non-refleksif. Perilaku ini merupakan perilaku yang dibentuk,
dapat dikendalikan, karena itu dapat berubah dari waktu ke waktu, sebagai hasil proses
belajar. Disamping itu perilaku dapat dikendalikan atau terkendali, yang berarti bahwa
perilaku itu dapat diatur oleh individu yang bersangkutan.
Perilaku atau gejala yang tampak pada manusia dapat dipengaruhi oleh bebereapa faktor
seperti faktor genetik (keturunan) dan faktor lingkungan.
Perilaku dipandang dari segi biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas dari
organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku maanusia pada hakekatnya adlah suatu aktivitas
dari manusia. Oleh karena itu perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat luas yang
dapat mencakup berjalan, bereaksi, berpakaian, dan lain sebagainya. Bahkan kegiataan
internal (internal aktivities) seperti berpikir, persepsi, dan emosi juga merupakan perilaku
manusia. Untuk kepentingan analitis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang
dikerjakan oleh organisme (manusia) baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang
diamati secara tidak langsung. (Notoatmojo dalam Sulwati, 2007 : 14).
Oudum dalam Sulwati (2007 : 15) mengemukakan bahwa perilaku merupakan tindakan yang
tegas dari suatu organisme untuk melanjutkn hidupnya.
Sedangkan Sarwono dalam Sulwati (2007 : 15) menyatakan bahwa Perilaku merupkan segala
macam pengalaman dan interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap dan tindakan.
Selanjutnya Ndara mengartikan perilaku sebagai operasionalisasi dan aktualisasi seseorang
atau suatu kelompok terhadap suatu situasi dan kondisi lingkungan (masyarakat, alam,
teknologi, dan organisasi).
Berdasarkan beberapa uraian tentang pengertian perilaku tersebut diatas maka dapat
disimpulkan bahwa perilaku adalah tindakan yang dilakukaan oleh individu sebagai akibat
dari aktualisasi seseorang atau kelompok terhadap suatu sutuasi dan kondisi lingkungan.
G.Teori Belajar Sosial
Terbentuknya perilaku dapat terjadi karena proses kematangan dan dari proses interaksi
dengan lingkungan. Cara yang kedua inilah yang paling besar pengaruhnya terhadap perilaku
manusia.
Terbentuknya dan perubahan perilaku karena proses interaksi antara individu dengan
lingkungan ini melalui suatu proses yakni proses belajar. Oleh sebab itu, perubahan perilaku
dan proses belajar itu sangat erat kaitannya. Perubahan perilaku merupakan hasil dari proses
belajar.
Untuk melangsung kehidupan, manusia perlu belajar. Dalam hal ini ada 2 macam belajar,
yaitu belajar secara fisik, misalnya menari, olah raga, mengendarai mobil, dan sebagainya,
dan belajar psikis.
Dalam belajar psikis ini termasuk juga belajar sosial (social learning) dimana seseorang
mempelajari perannya dan peran-peran orang lain dalam konteks sosial. Selanjutnya orang
tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya dengan peran orang lain atau peran sosial yang
telah dipelajari. Cara yang sangat penting dalam belajar sosial menurut teori stimulus-respons
adalah tingkah laku tiruan (imitation). Teori dengan tingkah laku tiruan yang penting
disajikan disini adalah teori dari Millers, NE dan Dollard, serta teori Bandura A. dan Walter
RH.
1. Teori Belajar Sosial dan Tiruan Dari Millers dan Dollard
Pandangan Millers dan Dollard bertitik tolak pada teori Hull yang kemudian dikembangkan
menjadi teori tersendiri. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu merupakan
hasil belajar. Oleh karena itu untuk memahami tingkah laku sosial dan proses belajar sosial,
kita harus mengetahui prinsip-prinsip psikologi belajar.
Prinsip belajar itu terdiri dari 4, yakni dorongan (drive), isyarat (cue), tingkah laku balas
(respons), dan ganjaran (reward). Keempat prinsip ini saling mengait satu sama lain, yaitu
dorongan menjadi isyarat, isyarat menjadi respons, respons menjadi ganjaran, dan seterusnya.
Dorongan adalah rangsangan yang sangat kuat terhadap organisme (manusia) untuk
bertingkah laku. Stimulus-stimulus yang cukup kuat pada umumnya bersifat biologis seperti
lapar, haus, seks, kejenuhan, dan sebagainya. Stimulus-stimulus ini disebut dorongan primer
yang menjadi dasar utama untuk motivasi. Menurut Miller dan Dollard semua tingkah laku
(termasuk tingkah laku tiruan) didasari oleh dorongan-dorongan primer ini.
Isyarat adalah rangsangan yang menentukan bila dan dimana suatu respons akan timbul dan
terjadi. Isyarat ini dapat disamakan dengan rangsangan diskriminatif. Didalam belajar sosial,
isyarat yang terpenting adalah tingkah laku orang lain, baik yang langsung ditujukan orang
tertentu maupun yang tidak, misalnya anggukan kepala merupakan isyarat untuk setuju,
uluran tangan merupakan isyarat untuk berjabat tangan.
Mengenai tingkah laku balas (respons), mereka berpendapat bahwa manusia mempunyai
hirarki bawaan tingkah laku. Pada saat manusia dihadapkan untuk pertama kali kepada suatu
rangsangan tertentu maka respons (tingkah laku balas) yang timbul didasarkan pada hirarki
bawaan tersebut. Setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman maka tingkah laku
balas yang sesuai dengan faktor-faktor penguat tersebut disusun menjadi hirarki resultan
(resultant hierarchy of respons).
Disinilah pentingnya belajar dengan coba-coba dan ralat (trial and error learning). Dalam
tingkah laku sosial, belajar coba-ralat dikurangi dengan belajar tiruan dimana seseorang
tinggal meniru tingkah laku orang lain untuk dapat memberikan respons yang tepat. Sehingga
ia tidak perlu membuang waktu untuk belajar dengan coba-ralat.
Ganjaran adalah rangsang yang menetapkan apakah tingkah laku balas diulang atau tidak
dalam kesempatan yang lain. Menurut Miller dan Dollard ada 2 reward atau ganjaran, yakni
ganjaran primer yang memenuhi dorongan-dorongan primer dan ganjaran sekunder yang
memenuhi dorongan-dorongan sekunder.
Lebih lanjut mereka membedakan 3 macam mekanisme tingkah laku tiruan, yakni
a. Tingkah Laku Sama
Tingkah laku ini terjadi pada 2 orang yang bertingkah laku balas (respons) sama terhadap
rangsangan atau isyarat yang sama. Contoh 2 orang yang berbelanja di toko yang sama dan
dengan barang yang sama. Tingkah laku yang sama ini tidak selalu hasil tiruan maka tidak
dibahas lebih lanjut oleh pembuat teori.
b. Tingkah laku Tergantung (Matched Dependent Behavior)
Tingkah laku ini timbul dalam interaksi antara 2 pihak dimana salah satu pihak mempunyai
kelebihan (lebih pandai, lebih mampu, lebih tua, dan sebagainya) dari pihak yang lain. Dalam
hal ini, pihak yang lain atau pihak yang kurang tersebut akan menyesuaikan tingkah laku
(match) dan akan tergantung (dependent) pada pihak yang lebih.
c. Tingkah Laku Salinan (Copying Behavior)
Seperti tingkah laku tergantung, pada tingkah laku salinan, peniru bertingkah laku atas dasar
isyarat yang berupa tingkah laku pula yang diberikan oleh model. Demikian juga dalam
tingkah laku salinan ini, pengaruh ganjaran dan hukuman sangat besar terhadap kuat atau
lemahnya tingkah laku tiruan.
Perbedaannya dengan tingkah laku tergantung adalah dalam tingkah laku tergantung ini si
peniru hanya bertingkah laku terhadap isyarat yang diberikan oleh model pada saat itu saja.
Sedangkan pada tingkah laku salinan, si peniru memperhatikan juga tingkah laku model di
masa yang lalu maupun yang akan dilakukan di waktu mendatang.
Hal ini berarti perkiraan tentang tingkah laku model dalam kurun waktu yang relatif panjang
ini akan dijadikan patokan oleh di peniru untuk memperbaiki tingkah lakunya sendiri dimasa
yang akan datang sehingga lebih mendekati tingkah laku model.
2. Teori Belajar Sosial dari Bandura dan Walter
Teori belajar sosial yang dikemukakan Bandura dan Walter ini disebut teori proses pengganti.
Teori ini menyatakan bahwa tingkah laku tiruan adalah suatu bentuk asosiasi dari rangsang
dengan rangsang lainnya. Penguat (reinforcement) memang memperkuat tingkah laku balas
(respons) tetapi dalam proses belajar sosial, hal ini tidak terlalu penting.
Aplikasi teori ini adalah apabila seseorang melihat suatu rangsang dan ia melihat model
bereaksi secara tertentu terhadap rangsang itu maka dalam khayalan atau imajinasi orang
tersebut, terjadi rangkaian simbol-simbol yang menggambarkan rangsang dari tingkah laku
tersebut. Rangkaian simbol-simbol ini merupakan pengganti dari hubungan rangsang balas
yang nyata dan melalui asosiasi, si peniru akan melakukan tingkah laku yang sama dengan
tingkah laku model.
Terlepas dari ada atau tidak adanya rangsang, proses asosiasi tersembunyi ini sangat dibantu
oleh kemampuan verbal seseorang. Selain dari itu, dalam proses ini tidak ada cara-coba dan
ralat (trial and error) yang berupa tingkah laku nyata karena semuanya berlangsung secara
tersembunyi dalam diri individu.
Hal yang penting disini adalah pengaruh tingkah laku model pada tingkah laku peniru.
Menurut Bandura, pengaruh tingkah laku model terhadap tingkah laku peniru ini dibedakan
menjadi 3 macam, yakni :
a. Efek modeling (modelling effect), yaitu peniru melakukan tingkah-tingkah laku baru
melalui asosiasi sehingga sesuai dengan tingkah laku model.
b. Efek menghambat (inhibition) dan menghapus hambatan (disinhibition) dimana tingkah-
tingkah laku yang tidak sesuai dengan tingkah laku model dihambat timbulnya sedangkan
tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku model dihapuskan hambatannya sehingga
timbul tingkah laku yang dapat menjadi nyata.
c. Efek kemudahan (facilitation effect), yaitu tingkah-tingkah laku yang sudah pernah
dipelajari oleh peniru lebih mudah muncul kembali dengan mengamati tingkah laku model.
Akhirnya bandura dan Walter menyatakan bahwa teori proses pengganti ini dapat pula
menerangkan gejala timbulnya emosi pada peniru yang sama dengan emosi yang ada pada
model. Contohnya seseorang yag mendengar atau melihat gambar tentang kecelakaan yang
mengerikan maka ia berdesis, menyeringai bahkan sampai menangis ikut merasakan
penderitaan tersebut.
H.Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Remaja
Santrock dalam Amelia sari : 2008 menytakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
remaja adalah sebagai berikut :
a.Identiti
Zaman remaja, ada masanya pada tahap di mana remaja mengalami masalah identiti.
Perubahan biologi dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi pada
keperibadian remaja: satu, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan
dua, tercapainya identiti peranan, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-
nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peranan yang dituntut dari remaja.
b.faktor keluarga, Hal ini sangat berpengaruh terhadap perilaku remaja. Kurangnya dukungan
keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktiviti anak, kurangnya penerapan
disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi pemacu timbulnya
perilaku remaja. Pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap remaja dan penerapan
disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam
menentukan munculnya perilaku remaja
c.teman sebaya, hubungan pertemanan juga mempengaruhi tingkat kenakalan remaja.
d.Kontrol diri, remaja telah mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima
dan tingkah laku yang tidak dapat diterima.
e.Lingkungan tempat tinggal
Lingkungan dapat berperan dalam memunculkan perilaku remaja. Lingkungan masyarakat
yang lebih luas dengan keragaman perilaku memungkinkan remaja mengamati berbagai
model perilaku tersebut.
Selanjutnya Herien Puspitawati (2008) menyatakan rasa ingin mendapatkan pengakuan sosial
(social recognition) dan perhatian orang tua merupakan faktor pemicu remaja dalam
berperilaku
I.Pengaruh Teman Sebaya Terhadp Perilaku
Selain lingkungan keluarga yang ikut mempengaruhi perkembangan seorang individu jika
individu tersebut telah berinteraksi dengan individu lain adalah lingkungan sosial.
Lingkungan sosial merupakan lingkungan tempat dimana seorang individu mulai berinteraksi
dengan individu lain diluar anggota keluarga. Lingkungan sosial yang dimaksudkan adalah
teman sebaya. Teman sebaya merupakan lingkungan bergaul seorang anak dan melalui
interaksi dengan teman sebaya, individu akan berkenalan dan mulai bergaul dengan teman-
temannya dengan pola perilaku yang berbeda-beda, sehingga melalui interaksi inilah masing-
masing individu akan saling memahami keinginan-keinginan dan tidak jarang individu akan
membentuk kelompok-kelompok jika perilaku teman-temannya tersebut telah dirasa cocok.
Pergaulan teman sebaya dapat mempengaruhi perilaku. Pengaruh tersebut dapat berupa
pengaruh positif dan dapat pula berupa pengaruh negatif. Pengaruh positif yang dimaksud
adalah ketika individu bersama teman-teman sebayanya melakukan aktifitas yang bermanfaat
seperti membentuk kelompok belajar dan patuh pada norma-norma dalam masyarakat.
Sedangkan pengaruh negatif yang dimaksudkan dapat berupa pelanggaran terhadap norma-
norma sosial, dan pada lingkungan sekolah berupa pelanggaran terhadap aturan sekolah.
Dari teman sebaya remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Remaja
cenderung untuk mengikuti pendapat dari kelompoknya dan menganggap bahwa
kelompoknya itu selalu benar. Kecenderungan untuk bergabung dengan teman sebaya
didorong oleh keinginan untuk mandiri, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hurlock dalam
Mutadin (2002 : 22) bahwa melalui hubungan teman sebaya remaja berpikir mandiri,
mengambil keputusan sendiri, memerima bahkan menolak pandangan dan nilai yang berasal
dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima didalam kelompoknya.
Kelompok begaul/kelompok teman sebaya dapat memberikan pengaruh, baik pengaruh
positif maupun pengaruh negatif. Teman sebaya menuntut nilai kebersamaan, kekerabatan,
kemanusiaan serta persaudaraan. Namun jika perilaku dalam kelompok didominasi oleh
pencurian, tawuran, serta tindak kriminal, maka akan memberikan pengaruh negatif pada
perkembangan remaja.
Menurut Wahyurini (2003 : 2) manfaat menjalin persahabatan dengan teman sebaya yaitu
sebagai berikut :
b.Bisanya dengan teman dekat seseorang dapat berbicara terbuka dan jujur. Hal ini
memberikan kemampuan untuk peka pada kekuatan, kelemahan, kebutuhan, dan keinginan
orang lain. Persahabatan memungkinkan seseorang untuk saling berbagi dalam banyak hal,
termasuk persoalan yang bersifat pribadi. Persahabatan dapat memberikan kesempatan bagi
seseorang untuk menggali dan mengenali diri sendiri.
c.Kepekaan karena persahabatan akan meningkatkan rasa empati atau dapat merasakan apa
yang dirasakan orang lain. Kebersamaan dengan teman menjadikan kita akan merasa
memperoleh dukungan, termasuk saat sedang bermasalah atau mengalami stres.
d.Sikap positif yang ada pada teman seperti disiplin, rajin belajar, patuh pada orang tua, bisa
ditiru dan diikuti.
Sedangkan hal-hal negatif yang ditimbulkan akibat pergaulan dengan teman sebaya menurut
Wahyurini (2003 : 2) adalah sebagai berikut :
a.Karena ingin diakui atau diterima, seseorang kadang melakukan hal-hal yang kurang pas.
Karena takut dibilang aneh, walau salah teman sebaya lebih menerima pendapat teman dari
pada pendapat sendiri.
b.Seseorang juga bisa termakan tren atau gaya yang sedang berkembang, misalnya mengikuti
gaya hidup teman meskipun kita tidak mampu.
c.Karena terlalu sering bersama-sama dengan teman, kita tidak punya waktu untuk belajar
atau membantu orang tua.
d.Ingin mencoba-coba yang dilakukan oleh salah seorang diantara teman, misalnya merokok,
minuman beralkohol, memakai narkoba, dan seks bebas.
Sejumlah ahli teori lain menekankan pengaruh negatif dari teman sebaya terhadap
perkembangan anak-anak dan remaja. Bagi sebagian remaja, ditolak atau diabaikan oleh
teman sebaya, menyebabkan munculnya perasaan kesepian atau permusuhan. Sejumlah ahli
teori juga telah menjelaskan budaya teman sebaya remaja merupakan suatu bentuk kejahatan
yang merusak nilai-nilai dan kontrol orang tua. Lebih dari itu, teman sebaya dapat
memperkenalkan remaja pada alkohol, obat-obatan (narkoba), kenakalan, dan berbagai
bentuk perilaku yang dipandang orang dewasa sebagai mal adaptif (Santrock dalam
Samsunuwiyati, 2005 : 221).
J.Penelitian yang relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan judul proposal penelitian ini adalah sebagai berikut
antara lain sebagai berikut :
1.Penelitian yang dilakukan oleh Rita Damayanti dengan judul Peran Biopsikososial
Terhadap Perilaku Beresiko Tertular HIV pada Remaja SLTA di DKI Jakarta, 2006 yang
menyimpulkan bahwa dalam proses pendewasaan, pengaruh keluarga telah bergeser menjadi
pengaruh teman sebaya.
2.Penelitian tentang Peranan hubungan teman sebaya dalam perkembangan kompetensi sosial
anak oleh Didi Tarsadi Menyimpulkan bahwa hubungan dengan teman sebaya tampak
mempunyai berbagai macam fungsi, yang banyak di antaranya dapat memfasilitasi proses
belajar dan perkembangan anak.
K.Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah : Ada pengaruh yang
signifikan antara pergaulan teman sebaya dengan perilaku sisiwa SLTP Negeri I Wakorumba
Selatan
Secara statistik hipotesis di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :
Ho : p = 0
Ha : p > 0
Dimana :
Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara pergaulan teman sebaya dengan perilaku
siswa SLTP Negeri I Wakorumba Selatan.
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara pergaulan teman sebaya dengan perilaku siswa
SLTP Negeri I Wakorumba Selatan.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 di SLTP Negeri I Wakorumba
Selatan.
B Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat ex post facto yang digunakan untuk mengetahui gejala-gejala yang
terjadi pada diri responden. Sugiyono dalam Riduwan (1999 : 50) mengemukakan bahwa
penelitian ex post facto adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk meneliti peristiwa
yang telah terjadi dan kemudian melihat kebelakang untuk mengetahui faktor-faktor yang
dapat menimbulkan kejadian tersebut. Lebih lanjut dikatakan penelitian ini menggunakan
logika dasar yang sama dengan penelitian eksperimen yaitu jika X, maka Y, hanya saja
penelitian ini tidak dapat memanipulasi langsung terhadap variabel bebas (independen)
C Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat.
Variabel bebas yang disimbolkan dengan X adalah teman sebaya, sedangkan variabel terikat
yang disimbolkan dengan Y adalah prilaku siswa pada SLTP Negeri I Wakorumba Selatan
Desain penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh kedua variabel tersebut,
dan dapat dituliskan sebagai berikut :
X Y
B.Defenisi Operasional
Untuk memudahkan memahami variabel dalam penelitian ini, maka perlu didefenisikan
secara operasional.
a.Teman sebaya adalah interaksi individu remaja di SLTP Neg. I Wakorumba Selatan dengan
tingkat usia relatif sama yang melibatkan keakraban yang lebih besar diantara induvidu.
b.Perilaku adalah tindakan yang dilakukan oleh individu sebagai akibat dari aktualisasi
seseorang atau kelompok terhadap suatu situasi dan kondisi lingkungan
C.Populasi dan Sampel
1.Populasi
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas II SLTP Negeri I Wakorumba Selatan dengan
jumlah 78 orang. Kelas II terdiri dari tiga ruangan kelas dengan jumlah masing-masing kelas
sebagai berikut : kelas IIa dengan jumlah siswa 28 orang, IIb dengan jumlah siswa 26 orang
dan kelas IIc berjumlah 24 orang.
2.Sampel
Penarikan sampel pad penelitian ini mengacu pada pendapat Arikunto (1998 : 120) yang
mengatakan bahwa jika jumlah subjek kurang dari 100 maka sebaiknya diambil semuanya,
dan jika jumlah subjeknya lebih dari 100, maka sampel penelitian diambil 10 15 % atau 20
25.Berdasarkan teori ini maka saya mengambil keseluruhan populasi sebagai sampel.
D.Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.Angket yaitu pemberian sejumlah pertanyaan kepada responden (sisiwa) untuk mengetahui
pengaruh teman sebaya terhadap perilaku siswa di sekolah.
2.Observasi
Observasi digunakan untuk mengamati secara langsung kegiatan-kegiatan siswa sehubungan
dengan pengaruh pergaulan teman sebaya terhadap perilaku siswa.
E.Tehnik Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik
inferensial.
1.Analisis Deskriptif
Langkah-langkah yang dilakukan untuk mengolah data hasil belajar siswa sebagai berikut :
a.Menentukan nilai rata-rata tes hasil belajar, dengan rumus :
= (Sudjana, 2002 : 67).
b.Menentukan variansi dengan rumus :
(Sudjana, 2002: 70).
c.Menentukan simpangan baku :
(Sudjana, 2002 : 93)
2.Analisis Inferensial
Untuk mengetahui pengaruh teman sebaya terhadap perilaku siswa dilakukan analisis regresi
sederhana, dengan rumus sebgai berikut :
= a + bX (Riduwan,2004 : 148)
Dimana :
= (baca y topi) subjek variabel terikat yang diproyeksikan
X = variabel bebas yang mempunyai nilai tertentu untuk diprediksikan
a = nilai konstant harga Y jikaa X = 0
b = nilai arah sebagai penentu ramalan (prediksi) yang menunjukan nilai peningkatan (+) atau
nilai penurunan (-) variabel Y
Untuk mengetahui nilai a dan b maaka di gunakaan rumus sebagai berikut:
b = a =
Sementara itu langkah-langkah untuk menjawab regresi sederhana adalah :
Langkah 1 : Membuat Ha dan Ho dalam bentuk kalimat
Langkah 2 : membuat Ha dan Ho dalam bentuk statistic
Langkah 3 : membuat tabel penolong untuk menghitung angka statistik
Langkah 4 : Masukan angka-angka statistik dengan tabel penolong dengan rumus
b = a =
Langkah 5 : mencari jumlah kuadrat regresi (JK reg(a)), dengan rumus
JKreg(a) =
Langkah 6 : Mencari jumlah kuadrat regresi (JK reg (b/a)), dengan rumus
JK reg (b/a) = b.
Langkaah 7 : Mencari jumlah kuadrat residu (JK res) dengan rumus
JK res = JKreg (b/a) JK reg (a)
Langkah 8 : Mencri rata-rata jumlah kuadrat Regresi (RJK reg (a)) dengan rumus
RJK reg (a) = JKreg (a)
Langkah 9 : Mencri rata-rat jumlah kuaadrat regresi (RJK reg (b/a)) dengan rumus
RJK reg (b/a) = JK reg (b/a)
Langkah 10 : Mencari rata-rata jumlah kuadrat residu (RJK res) dengan rumus
RJK res =
Langkah 11 : Menguji signifikansi dengan rumus :
Fhitung =
Kaidah pengujin signifikansi :
Jika Fhitung Ftabel, maka tolak Ho artinya signifikan
Fhitung Ftabel maka terima Ho artinya tidak signifikan.
Dengan taraf signifikan : = 0,01 atau = 0,05
Mencari nilai Ftabel dengan menggunakn tabel F dengan rumus :
F tabel = F
Langkah 12 : Membuat kesimpulan
(Riduwan, 2004 : 149)
http://hasmansulawesi01.blogspot.com/2009/03/pengaruh-teman-sebaya-terhadap-perilaku.html
Cooperative Learning Strategies
By: Colorn Colorado (2007)
Cooperative Learning has been proven to be effective for all types of students, including
academically gifted, mainstream students and English language learners (ELLs) because it
promotes learning and fosters respect and friendships among diverse groups of students. In
fact, the more diversity in a team, the higher the benefits for each student. Peers learn to
depend on each other in a positive way for a variety of learning tasks.
Students typically work in teams of four. This way, they can break into pairs for some
activities, and then get back together in teams very quickly for others. It is important,
however, to establish classroom norms and protocols that guide students to:
Contribute
Stay on task
Help each other
Encourage each other
Share
Solve problems
Give and accept feedback from peers
Cooperative Learning for ELLs
Cooperative Learning is particularly beneficial for any student learning a second language.
Cooperative Learning activities promote peer interaction, which helps the development of
language and the learning of concepts and content. It is important to assign ELLs to different
teams so that they can benefit from English language role models. ELLs learn to express
themselves with greater confidence when working in small teams. In addition to 'picking up'
vocabulary, ELLs benefit from observing how their peers learn and solve problems. If you
decide to assign each student in a team a role (such as reporter, recorder, time keeper, and
materials manager), you might want to rotate roles each week or by activity. This prevents
what typically happens if students select their own roles - the same students wind up
performing the same tasks. By rotating, students develop the skills they most need to practice.
Some Cooperative Learning strategies
There are some popular strategies that can be used with all students to learn content (such as
science, math, social studies, language arts, and foreign languages). However, they are
particularly beneficial to ELLs for learning English and content at the same time. Most of
these strategies are especially effective in teams of four:
1. Round Robin
Present a category (such as "Names of Mammals") for discussion. Have students take
turns going around the group and naming items that fit the category.
2. Roundtable
Present a category (such as words that begin with "b"). Have students take turns
writing one word at a time.
3. Writearound
For creative writing or summarization, give a sentence starter (for example: If you
give an elephant a cookie, he's going to ask for...). Ask all students in each team to
finish that sentence. Then, they pass their paper to the right, read the one they
received, and add a sentence to that one. After a few rounds, four great stories or
summaries emerge. Give children time to add a conclusion and/or edit their favorite
one to share with the class.
4. Numbered Heads Together
Ask students to number off in their teams from one to four. Announce a question and
a time limit. Students put their heads together to come up with an answer. Call a
number and ask all students with that number to stand and answer the question.
Recognize correct responses and elaborate through rich discussions.
5. Team Jigsaw
Assign each student in a team one fourth of a page to read from any text (for example,
a social studies text), or one fourth of a topic to investigate or memorize. Each student
completes his or her assignment and then teaches the others or helps to put together a
team product by contributing a piece of the puzzle.
6. Tea Party
Students form two concentric circles or two lines facing each other. You ask a
question (on any content) and students discuss the answer with the student facing
them. After one minute, the outside circle or one line moves to the right so that
students have new partners. Then pose a second question for them to discuss.
Continue with five or more questions. For a little variation, students can write
questions on cards to review for a test through this "Tea Party" method.
After each Cooperative Learning activity, you will want to debrief with the children by
asking questions such as: What did you learn from this activity? How did you feel working
with your teammates? If we do this again, how will you improve working together?
Other ideas
A simple way to start Cooperative Learning is to begin with pairs instead of whole teams.
Two students can learn to work effectively on activities such as the following:
1. Assign a math worksheet and ask students to work in pairs.
2. One of the students does the first problem while the second acts as a coach.
3. Then, students switch roles for the second problem.
4. When they finish the second problem, they get together with another pair and check
answers.
5. When both pairs have agreed on the answers, ask them to shake hands and continue
working in pairs on the next two problems.
Literature circles in groups of four or six are also a great way to get students working in
teams. You can follow these steps:
1. Have sets of four books available.
2. Let students choose their own book.
3. Form teams based on students' choices of books.
4. Encourage readers to use notes, post-its, and discussion questions to analyze their books.
5. Have teams conduct discussions about the book.
6. Facilitate further discussion with the whole class on each of the books.
7. Have teams share what they read with the whole class.
8. For the next literature circles, students select new books.
References
References
Click the "References" link above to hide these references.
Caldern, M. (1984, 1986, 1990, 1994, 1996, 1998). Cooperative Learning for Bilingual
Instruction: Manual for Teachers and Teacher Trainers. El Paso, TX: MTTI.
Caldern, M. (1984, 1986, 1990, 1994). Second Language Acquisition: Manual for Teachers
and Teacher Trainers. El Paso, TX: MTTI
Caldern, M. (1984, 1986, 1990, 1994, 1996). Sheltered Instruction: Manual for Teachers
and Teacher Trainers. Baltimore, MD: Center for Data-Driven Reform in Education, Johns
Hopkins University).
Ferreiro, R. & M. Calderon, (1998) El A B C del apendizaje cooperativo. Mexico, D.F.:
Trillas. (can be ordered from Baltimore, MD: Center for Data-Driven Reform in Education,
Johns Hopkins University).
Slavin, R.E. (1995). Cooprative learning: Theory, research, and practice (2nd ed.). Boston:
Allyn & Bacon.
Peer Education Theory
The main goal of most peer education activities is to change attitudes and behaviours that
may be hindering young peoples own and others well-being. But the question is why and
how young people change?
The fields of psychology, pedagogy and health have given us important theories which shed
some light into the subject and how peer education plays an important role. The Training of
Trainers Manual in Peer Education published by a UNs sub-committee on Peer Education
mentions a few important theories.
THEORY OF REASONED ACTION
This theory states that the intention of a person to adopt a recommended behaviour is
determined by:
the persons attitudes towards this behaviour and his or her beliefs about the consequences
of the behaviour. For example, a young woman who thinks that using contraception will have
positive results for her, will have a positive attitude towards contraceptive use; and
the persons subjective (a persons personal viewpoint about an issue) and normative (that
which is the norm or the standard in their society or group beliefs) based on what others think
he or she should do, and whether important individuals approve or disapprove the behaviour.
IN THE CONTEXT OF PEER EDUCATION
this concept is relevant considering that:
young peoples attitudes are highly influenced by their perception of what their peers do
and think;
and
young people may be highly motivated by the expectations of respected peer educators. I f
such expectations are associated to behaviours that lead to well-being, then there are
higher chances for behaviour to change.
SOCIAL LEARNING/SOCIAL COGNITIVE THEORY
This theory is largely based upon the work of psychologist Albert Bandura
1
. He states that
people learn:
indirectly, by observing and modelling on others with whom the person identifies (for
example, how young people see their peers behaving); and
through training in skills that lead to confidence in being able to carry out behaviour. This
specific condition is called self-efficacy, which includes the ability to overcome any barriers
to performing the behaviour. For example, confronting discrimination or bullying at school.
IN THE CONTEXT OF PEER EDUCATION
this means that the selected peer educators should be trustworthy and credible opinion
leaders within the group they are working with. The opinion leaders role as educators is
especially important in outreach work, where the target audience is not reached through
formally planned activities but through everyday social contacts..
DIFFUSION OF INNOVATIONS THEORY
This theory argues that social influence plays an important role in behaviour change. The role
of opinion leaders in a community, acting as agents for behaviour change, is a key element of
this theory.
Their influence on group norms or customs is predominantly seen as a result of person-to-
person exchanges and discussions.
I N THE CONTEXT OF PEER EDUCATION
this means that the inclusion of interactive experimental learning activities are
extremely important, and peer educators can be important role models.
THEORY OF PARTICIPATORY EDUCATION
This theory claims that empowerment and a full participation of the people affected by a
given problem is a key to behaviour change.
IN THE CONTEXT OF PEER EDUCATION
the relevance of this theory is obvious: many advocates of peer education claim that the
(horizontal) process of peers talking among themselves and determining a course of action
is a key to the success of a peer education project.
HEALTH BELIEF MODEL
The health belief model was developed in the early 1950s by social psychologists Godfrey
Hochbaum, Stephen Kegels and Irwin Rosenstock. It was used to explain and predict health
behaviour, mainly through perceived susceptibility, perceived barriers and perceived benefits.
This model suggests that if a person has a desire to avoid illness or to get well (value) and the
belief that a specific health action would prevent illness (expectancy), then a positive
behavioural action would be taken towards that behaviour. Unfortunately, this model of
behaviour change does not sufficiently take into account things like habits, attitudes and
emotions. So, although the model is useful, the effects of a number of factors on behaviour
(culture, social influence, socio-economic status, personal experiences, etc.) need to be
considered if the model is to be integrated into peer education work.
I N THE CONTEXT OF PEER EDUCATION
the health belief models most relevant concept is that of perceived barriers, or a
persons opinion of the tangible and psychological costs of the advised action. In this
regard, a peer educator could reduce perceived barriers through reassurance, correction of
misinformation, incentives and assistance.
IMBR MODEL: INFORMATION, MOTIVATION, BEHAVIOURAL
SKILLS AND RESOURCES
The IMBR model, an adapted model upon which much of this manual is based, addresses
health-related behaviour in a way that is comprehensive and clear and that can be applied to
and across different cultures. It focuses largely on the information (the what), the
motivation (the why), the behavioural skills (the how) and the resources (the where) that
can be used to target risky behaviour. For example, in peer education on sexual health, if a
young man knows that using condoms properly may prevent the spread of HIV, he may be
motivated to use them and know how to employ them correctly, but he may not be able to
purchase or find them. This is why the concept of resources was added to the model.
IN THE CONTEXT OF PEER EDUCATION
a programme that does not have a comprehensive approach including all four I MBR
concepts probably lacks essential components for reducing risk behaviour and promoting
healthier life-styles. A programme might, for example, explain to young people the need
for contraception and describe contraceptive methods, but might omit demonstrating their
proper use. Participants would then be informed about what to do but not how to do it.
Other programmes might inform participants of the what and the how of certain healthy
behaviours, but not give them strong emotional or intellectual reasons as to why they
would want to practise such behaviours. Although resources can be considered part of
information, it is important to provide young people with information about where to
access appropriate resources or services beyond the scope of peer education sessions
Whether you are providing training of trainers (ToT), training of peer educators, or peer
education sessions with the target population, there are some basic methodological
considerations for translating the theory into practice. Most important are learning based on
experience and observation (experiential learning), and use of interactive methodologies and
of drama.
EXPERIENTIAL LEARNING
There is an ancient proverb that says: Tell me I forget, show me I remember, involve
me I understand. Involving the participants in a training workshop in an active way that
incorporates their own experience is essential. Such experiential learning gives the trainees an
opportunity to begin developing their skills with immediate feedback. It also gives them the
opportunity to participate in many of the training exercises and techniques firsthand, before
they engage other peer educator trainees in such exercises. The training of trainers proposed
in this manual is based upon an experiential learning model, using highly interactive
techniques.
The model includes four elements: direct experience (an activity in which learners create an
experience), reflection on the experience, generalization (lessons learned) and applying
lessons learned.
(MODEL HERE)
THEORY OF PARTICIPATION
23
The Theory of Participatory Education has also been important in the development of peer
education (Freire, 1970). Empowerment, in the Freirian sense, results through the full
participation of the people affected by a given problem or condition. Through such dialogue
the affected community collectively plans and implements a response to the problem
condition in question.
I N THE CONTEXT OF PEER EDUCATION
Many advocates of peer education claim that this horizontal process of peers (equals)
talking among themselves and determining a course of action is key to the impact of
peer education on behavioural change.
1 http://en.wikipedia.org/wiki/Social_Foundations_of_Thought_and_Action
2 Freire P. 1970/1993. The Pedagogy of the Oppressed. Penguin: London.
3 Freire P. 1973. Education for Critical Consciousness. Continnum: New York.